Anda di halaman 1dari 45

1

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Sistem reproduksi pria meliputi organ-organ reproduksi, spermatogenesis


dan hormon pada pria. Organ reproduksi pria antara lain organ reproduksi dalam
dan organ reproduksi luar. Organ reproduksi dalam pria terdiri atas testis, saluran
pengeluaran dan kelenjar asesoris. Sedangkan untuk organ reproduksi luar pria
terdiri dari penis dan skrotum.
Seperti halnya organ lain, organ reproduksi manusia juga dapat mengalami
gangguan atau kelainan. Kelainan fungsi organ reproduksi pria ini meliputi
kelainan fungsi seksual dan kelainan fungsi dan bentuk sperma. Salah satu contoh
kelainan fungsi seksual pria yaitu pada kelainan yang menyerang kelenjar prostat
pada organ reproduksi pria. Di Amerika Serikat, kanker prostat merupakan
keganasan pada pria dan menduduki peringkat  kedua setelah  kanker paru-paru.
Setiap tahun sekitar 200.000 kasus baru yang didiagnosis dan sekitar 30.000 orang
meninggal akibat Kanker Prostat.  Kanker prostat juga merupakan penyebab
kematian kedua akibat kanker pada pria setelah   kanker paru-paru. Kanker prostat
terjadi pada 1 dari 6  orang.  Kasus meningkat pesat dalam beberapa tahun
terakhir dan tingkat kematian menurun, yang mungkin karena skrining meningkat
dan deteksi dini. Risiko terkena  kanker prostat meningkat secara signifikan
dengan usia, dan 60% dari kasus baru didiagnosa terjadi pada pria di atas usia 70.

Untuk kelainan fungsi dan bentuk sperma salah satu contohnya yaitu
seperti yang memiliki dua kepala, bentuk kepala yang tidak normal, atau ekor
yang tidak normal. Selain yang telah di sebutkan sebenarnya masih banyak lagi
kelainan-kelainan yang terdapat pada organ reproduksi pria.
2

I.2 Tujuan dan Manfaat

I.2.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui kelainan fungsi dan organ reproduksi pria.


I.2.2 Tujuan Khusus

 Untuk mengetahui kelainan fungsi seksual hubungannya


dengan organ dan hormon reproduksi pria
 Untuk mengetahui kelainan fungsi dan bentuk sperma
hubungannya dengan proses spermatogenesis dan faktor yang
mempengaruhi
 Untuk mengetahui korelasi klinis
I.2.3 Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh dari disusunnya referat ini adalah


mampu memberikan pengetahuan dan wawasan mengenai kelainan
fungsi dan organ reproduksi pria diantaranya kelainan fungsi seksual
hubungannya dengan organ dan hormon reproduksi pria, kelainan
fungsi dan bentuk sperma hubungannya dengan proses
spermatogenesis dan faktor yang mempengaruhi dan korelasi klinis
bagi mahasiswa dan penulis.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi dan Histologi Organ Reproduksi Pria

II.1.1 Anatomi Organ Reproduksi Pria

A. Trigonum Urogenital

Bagian depan trigonum urogenital dibatasi oleh arcus pubicus dan


bagian lateral oleh tuber ischiadicum. Fascia superficialis trigonum
urogenitalis dapat dibagi menjadi panniculus adiposus dan stratum
membranosum. Panniculus adipose (fascia champer) melanjutkan diri
sebagai corpus adiposum, fascia analis superfiscialis, dan fascia
superfiscialis paha. Pada scrotum lemak diganti menjadi otot polos, tunica
dartos. Musculus dartos berkontraksi sebagai reaksi terhadap dingin dan
mengurangi luas permukaan kulit scrotum. (Snell, 2006)

Stratum membranosum (fascia Collesi), menyatu dengan fascia


scarpa abdomen dan melekat pada ramus ischiopubicus; lapisan ini
melengkung di sekelilingi musculus transverses perinea superfiscialis,
kemudian menyatu dengan fascia perinea profunda dan centrum
tendineum perinea. (Snell, 2006)

Sfingter uretra eksterna terletak di sebelah dalam membrane


perinealis dalam suatu kapsul fasialis yang disebut kavum perineal
profunda (fascia Gallaudeti). Selain sfingter, terdapat dua kelenjar
Cowper. Duktus dari kelenjar ke depan dan mengalir ke bulbus uretra.
(Snell, 2006)

Di sebelah inferior membrana perinealis terdapat kavum perineal


superfiscialis yang berisi m. perinealis transverses suprfisialis yang
berfungsi untuk memfiksasi corpus perineal pada pertengahan perineum;
m. bulbospongiosus menutupi korpus spongiosum dan berfungsi menekan
uretra pars spongiosa dan mengosongkan sisa urin atau semen. Korpus
4

spongiosum adalah struktur yang menutupi uretra pars spongiosa; m.


ischiokavernosus yang keluar dari sisi ramus ischiadika dan menutupi
kavum kavernosum. Fungsinya untuk menekan crus penis dan membantu
proses ereksi penis. Pembesaran sinus venosus dalam korpus kavernosa
adalah yang menimbulkan dan mempertahankan ereksi (Snell, 2006).

Terdapat beberapa organ dalam trigonum urogenital pria, yaitu:

 Corpus penis

Corpus penis terdiri atas tiga jaringan erektil yang diliputi sarung
fascia berbentuk tubular (fascia Buck). Jaringan erektil dibentuk dari
corpora cavernosa penis yang terletak di dorsal dan satu corpus
spongiosum penis pada permukaan ventralnya. Pada ujung distal penis
korpus spongiosum membesar membentyuk glans penis. Pada ujung glans
uretra membuka menjadi meatus uretra eksterna. Kulit luarnya melekat ke
glans di bawah meatus membentuk lipatan frenulum (Harjadi Widjaja,
2011).

Gambar 1. Struktur penis. (Sumber: poltekkes jakarta)

Corpora cavernosa penis didarahi oleh arteri profunda penis;


corpus spongiosum didarahi oleh arteri bulbi penis dan yang terakhir
terdapat arteri dorsalis penis. Ketiga arteri diatas merupakan cabang dari
5

arteri pudenda interna. Venanya bermuara ke vena pudenda interna.


Persarafannya berasal dari nervus pudendus dan plexus pelvicus. Aliran
limfe kulit penis ke nodi supermedialis dari nodi inguinalis superfisialis.
Struktur profunda penis mengalirkan cairan limfe ke nodi iliaci interni
(Snell, 2006).

 Skrotum

Kulit skrotum tipis, memiliki rugae dan mengandung banyak


kelenjar sebasea. Di garis tengahnya tampak jelas raphe media. Di bawah
kulit ini terdapat lapisan tipis m. dartos yang involunter. Korda spermatika
terminalis, testis dan epididimisnya terdapat di dalam skrotum.

Gambar 2. Struktur skrotum. (Sumber: poltekkes jakarta)

Scrotum didarahi oleh aa. Scrotalis posterior, cabang dari a.


pudenda interna dan aa. Scrotalis anterior, cabang dari a. pudenda
eksterna. Nervus yang menyarafi adalah nn. Scrotalis posterior cabang
superficial nn. Perinialis, rami perinealis nervi cutanei femoris posterior
dan nn. Scrotalis anterior cabang dari n.ilioinginalis (Snell, 2006).
6

 Testis dan Epididimis

Testis bertanggungjawab atas terjadinya spermatogenesis.


Letaknya yang turun menjadi organ ekstra abdominal mengoptimalkan
spermatogenesis karena suhu di sekitar skrotum kira-kira 3oC lebih rendah
daru suhu tubuh (Snell, 2006).

Di bagian dalam testis terbagi oleh rangkaian septa menjadi sekitar


200 lobuli. Tiap lobules mengandung 1-3 tubulus seminiferus yang
membentuk anastomosis menjadi pleksus yang disebut rete testis. Duktus
eferens menghubungkan rete testis dengan kaput epididimis. Fungsinya
untuk mengantarkan sperma dari testis ke epididimis. Tunika vaginalis
berasal dari peritoneum merupakan lapisan ganda tempat invaginasi testis.
Tunika albuginea merupakan kapsula fibrosa kuat yang melapisi testis.
Epididimis terletak sepanjang batas posterolateral dan superior testis.
Tunika vaginalis menutupi epididimis kecuali di batas posterior. Kutub
atas testis berisi appendiks testis dan kutub atas epididimis berisi
appendiks epididimis (Snell, 2006).

Pasokan darahnya berasal dari arteri testikularis. Drainase vena


testis menuju pleksus vena pampiniformis. Pleksus ini terletak dalam
korda spermatika namun membentuk vena tunggal di annulus interna.
Vena testukularis sinistra mengalir ke vena renalis sinistra sedangkan vena
testikilaris dekstra mengalir langusng ke vena cava inferior. Aliran
limfatiknya menuju kelenjar getah bening para-aorta. Persarafannya dari
serabut simpatis Thorakal 10 melalui pleksus renalis dan pleksus aorta
(Omar Faiz dan David Moffat, 2002 ).

 Prostat

Dalam keadaan normal prostat berukuran kira-kira sebesar kenari.


Letaknya mengelilingi uretra pars prostatika dan di antara leher kandung
kemih dan diafragma urogenitalis. Apeks prostat terletak di atas sfingter
uretra eksterna kandung kemih. Di anterior berbatasan dengan simfisis
pubis namun dipisahkan oleh lemak ekstraperitoneal pada rongga
7

retropubis (kavum Retzius). Di posterior, prostat dipisahkan dari rectum


oleh fasia Denonvilliers (Omar Faiz dan David Moffat, 2002 ).

Prostat teridiri dari lobus-lobus anterior, posterior, media dan


lateral. Lobus-lobus prostat mengandung banyak kelenjar yang mensekresi
cairan tipis seperti susu yang mengandung asam sitrat dan fosfatase asam.
Cairan ini ditambahkan ke dalam semen pada waktu ejakulasi (Omar Faiz
dan David Moffat, 2002 ).

Aliran darahnya dari a.vesikalis inferior cabang a.iliaca interna.


Pleksus vena prostatika terletak di antara kapsula prostat dan selubung
fibrosa luar. Pleksus ini menerima darah dari v. dorsalis penis dan
mengalirkannya ke v. iliaca interna (Omar Faiz dan David Moffat, 2002 ).

 Vas deferens
Vas deferens merupakan saluran berdinding tebal dengan panjang
kurang lebih 18 inci, yang membawa sperma dari epididimis menuju
duktus ejakulatorius dan kemudian dialirkan ke uretra. Vas deferen keluar
dari kauda epididimis dan melalui kanalis inguinalis menuju annulus
profunda, dan belok ke arah medial untuk mencapai basis kandung kemih
di mana kemudian saluran ini bergabung dengan duktus dari vesikula
seminalis membentuk duktus ejakulatorius (Omar Faiz dan David Moffat,
2002 ).

 Vesikula seminalis

Vesikula seminalis teridri dari dua buah organ yang berlobus


dnegan panjang kurang lebih 2 inci dan terletak di ekstraperitoneal di basis
kandung kemih di sebelah lateral vas deferens (Omar Faiz dan David
Moffat, 2002 ).

Fungsinya adalah menghasilkan sekret yang ditambahkan pada


cairan semen. Sekretnya mengandung zat yang penting sebagai makanan
spermatozoa (Snell,2006)
8

 Uretra

Uretra pria kira-kira panjangnya 20 cm. Uretra pria dibagi menjadi


3 bagian, yaitu: (1) Uretra pars prostatika (3cm), memiliki lipatan uretra
pada dinding posteriornya. Di tiap sisi lipatan terdapat lekukan dangkal,
sinus prostatikus, yang menandai titik drainase dari 15-20 duktus
prostatikus. Utrikulus prostatikus adalah traktus buntu dengan panjang 5
mm yang membuka ke suatu eminensia di tengah lipatan verumontanum.
Duktus ejakulatorius membuka di kedua sisi utrikulus. (2) Uretra pars
membranosa (2cm), terletak di diafragma urogenitalis dan dikelilingi oleh
sfingter uretra eksterna. (3) Uretra pars penis (15 cm), melalui corpus
spongiosum menuju meatus uretra eksterna (Omar Faiz dan David Moffat,
2002 ).

II.1.2 Histologi Organ Reproduksi Pria

A. Skrotum adalah kantong longgar yang tersusun dari kulit, fascia, dan
otot polos yang membungkus dan menopang testis di luar tubuh pada
suhu optimum untuk memproduksi spermatozoa.

- Dua kantong skrotal setiap skrotal berisi satu testis tunggal,


dipisahkan oleh septum internal.

- Otot dartos adalah lapisan serabut dalam fascia dasar yang


berkontraksi untuk membentuk kerutan pada kulit skrotal sebagai
respons terhadap udara dingin atau eksitasi seksual. (Sloane,
2004)

B. Testis adalah organ lunak, berbentuk oval, dengan panjang 4cm sampai
5cm dan berdiameter 2,5 cm. (Sloane, 2004) fungsi testis adalah
menghasilkan hormon dan spermatozoa (Junqueira, 2007)

Tunika albuginea menebal pada permukaan posterior testis dan


membentuk mediastinum testis, tempat penjuluran septa fibrosa ke
dalam kelenjar, yang membagi kelenjar menjadi sekitar 250
kompartemen piramis yang disebut lobulus testis. (Junqueira, 2007)
9

Tubulus seminiferus, tempat berlangsungnya spermatogenesis.


Terdiri atas jaringan ikat fibrosa, lamina basalis yang berkembang baik,
dan suatu epitel germinal yang kompleks yang terdiri atas dua jenis sel:
sel sertoli dan sel-sel yang membentuk garis keturunan spermatogenik.
(Sloane, 2004)

C. Duktus pada organ reproduksi pria adalah tubulus rektus, rete testis, dan
duktuli eferentes. Duktus-duktus tersebut membawa spermatozoa dan
cairan dari tubulus seminiferus ke duktus epididimis. (Junqueira, 2007)

D. Saluran keluar organ reproduksi pria

Epididimis adalah tuba terlilit yang panjangnya mencapai 20 kaki


(4m-6m) yang terletak di sepanjang sisi posterior testis. Bagian ini
menerima sperma dari duktus eferen. Epididimis menyimpan sperma dan
mampu mempertahankannya sampai enam mingggu. Selama enam minggu
tersebut, sperma akan menjadi motil, matur sempurna, dan mampu
melakukan fertilisasi. Selama eksitasi seksual, lapisan otot polos dalam
dinding epididimal berkontraksiuntuk mendorong sperma ke dalam duktus
deferen (Sloane, 2004).

Duktus deferen, yaitu suatu saluranberdinding otot tebal, yang


berlanjut dan mencurahkan isinya ke dalam uretra pars prostatika. Segmen
yang memasuki prostat disebut duktus ejakulatorius (Junqueira, 2007).

Uretra merentang dari kantung kemih sampai ujung penis dan terdiri
dari 3 bagian:

1. Uretra prostatik merentang mulai dari bagian dasar kantung


kemih, menembus prostat dan menerima sekresi kelenjar tersebut.

2. Uretra membranosa panajngnya mencapai 1cm-2cm. Bagian ini


dikelilingi sfingter uretra eksternal.

3. Uretra penis (kavernosus, berspons) dikelilingi oleh jaringan


erektil berspons (korpus spongiosum). Bagian ini membesar ke
10

dalam fosa navicularis sebelum berakhir pada mulut eretra


eksternal dalam glans penis (Sloane, 2004).

E. Kelenjar aksesoris organ reproduksi pria

Kelenjar kelamin tambahan menghasilkan sekret yang diperlukan


untuk fungsi reproduksi pria. Kelenjar kelamin tambahan meliputi
(Junqueira, 2007):

1. Vesikula seminalis

Sekretnya adalah cairan kental dan basa yang kaya akan fruktosa.
Berfungsi untuk memberi nutrisi dan melindungi sprema. Setengah
lebih sekresi vesikula seminalis adalah semen (cairan sperma yang
meninggalkan tubuh).

2. Kelenjar prostat

Prostat mengeluarkan cairan basa menyerupai susu yang


menetralisir asiditas vagina selama senggama dan meningkatkan
motilitas sperma yang akan optimum pada pH 6,0-6,5.

3. Kelenjar bulbouretra

Kelenjar bulbouretra mensekresi cairan basa yang mengandung


mukus ke dalam uretra penis untuk melumasi dan melindungi serta
ditambahkan pada semen.

4. Penis

Komponen utama penis adalah akar, badan (dua korpus


kavernosum dan satu korpus spongiosum), dan glans penis yang
membesar yang banyak mengandung ujung-ujung saraf sensorik.
Organ ini berfungsi untuk tempat keluar urine dan semen. Penis juga
termasuk organ kopulasi.
11

II.2 Kelainan Fungsi Seksual Hubungannya dengan Organ dan Hormon


Reproduksi Pria

II.2.1 Testosteron dan hormon kelamin pria lainnya

Sekresi Testosteron oleh Sel-Sel Interstisial Leydig di dalam Testis.


Testis menyekresi beberapa hormon kelamin pria, yang secara keseluruhan
disebut androgen, meliputi testosteron, dihidrotestosteron dan androstenedi-
on. Testosteron jumlahnya lebih banyak dari yang lainnya sehingga dapat
dianggap sebagai hormon testis yang penting, walaupun kita akan
mengetahui, banyak testosteron yang akhirnya diubah menjadi hormon
dihidrotestosteron yang Iebih aktif di jaringan sasaran. (Guyton, 2012)
Testosteron dibentuk oleh sel-sel interstisial Leydig, yang terletak di
celah-celah antar tubulus seminiferus dan kira-kira merupakan 20% massa
testis dewasa. Sel-sel Leydig hampir tidak ditemukan di testis pada masa
kanak-kanak, sewaktu testis hampir tidak menyekresi testosteron, tetapi
hormon tersebut terdapat dalam jumlah yang banyak pada bayi pria yang
baru lahir dan juga pada pria dewasa setelah pubertas; pada kedua masa
tersebut, testis menyekresi sejumlah besar testosteron. Lebih lanjut lagi,
ketika tumor berkembang dari sel-sel interstisial Leydig, sejumlah besar
testosteron disekresikan. Akhirnya, ketika epitel germinativum testis
mengalami kerusakan akibat terapi dengan sinar-X atau oleh pemanasan yang
berlebihan, sel-sel Leydig yang tidak begitu mudah rusak, sering kali terus
membentuk testosterone (Guyton, 2012).
II.2.2 Fungsi Hormonal

Pusat pengendalian dari sistem reproduksi adalah sumbu


hipotalamus-hipofisis. Dibawah pengaruh berbagai hal seperti
keturunan, lingkungan, rangsangan kejiwaan, dan kadar hormone
yang bersikulasi, hipotalamus memproduksi gonadotropin hormone-
releasing hormone (GnRH). Hormon-hormon ini adalah follicle-
stimulating hormone-releasing hormone (FSHRH) dan luteinizing
hormone- hormone releasing (LHRH). Hormon-hormon ini dibawa
ke hipofisis anterior untuk merangsang sekresi follicle stimulating
12

hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH), yang pada pria lebih
umum dikenal sebagai interstitial cell-stimulating hormone (ICSH).
Hormon-hormon gonadotropin disekresi dalam kadar yang tetap pada
pria. Testosterone mengarahkan dan mengatur cirri-ciri tubuh pria,
yaitu, perkembangan testes dan genitalia pria, desencus testes dari
rongga abdomen ke dalam skrotum selama masa janin, perkembangan
ciri seksual primer dan sekunder, dan spermatogenesis. Produksi
testosteron oleh sel-sel interstitial leydig pada pria akan sangat
meningkat pada permulaan pubertas. Awal pubertas ditandai oleh
meningkatnya kadar hormon-hormon ICSH secara nyata, yang mula-
mula diproduksi sewaktu tidur. Kadar yang tinggi pada awal pubertas
ini menyebabkan meningkatnya produksi testosteron oleh testes.
Estron dan estradiol juga diproduksi dan berasal dari konversi
testosteron yang dibuat oleh adrenal dan testes, dan dari
androstenedion.

Kadar globulin pengikat hormon-hormon seksual akan


menurun selama pubertas, sehingga menyebabkan lebih banyak
testosteron bebas dalam sirkulasi. Pertumbuhan yang pesat terjadi
pada setiap sistem organ dalam tubuh kecuali sistem saraf pusat dan
sistem limfatik. Yang paling menonjol adalah perubahan dalam
tinggi, berat badan, serta ciri-ciri seksual sekunder. Puncak dari
pesatnya pertumbuhan terjadi pada usia sekitar 14 tahun. Tingkat
kecepatan pertumbuhan rata-rata pada persentil ke-50 adalah 5 inci
dari usia 12 hingga 14,5 tahun dan 3 inci lagi sampai pada usia 16
tahun; puncak pertambahan berat badan terjadi pada usia 14 tahun
dengan separuhnya terjadi pada usia antara 12 dan 16 tahun, dan
kebanyakan berupa otot-otot baru. Ciri-ciri seksual sekunder yang
muncul paling awal adalah bertambahnya ukuran testes dan skrotum,
dan kemudian penis. Perkembangan testes disebabkan oleh bertambah
dan berkembangannya tubulus seminifetus, dan jumlah sel-sel leydig
dan sertoli. Perkembangan genitalia untuk mencapai ukuran dan
bentuk dewasa membutuhkan waktu 5 sampai 6 tahun. Ciri-ciri
13

seksual primer kemudian mencapai kematangan fungsi reproduksinya,


namun untuk dapat mencapai ini, pria harus mampu menghasilkan
sperma yang hidup (Price, 2006).

II.2.2 Kelainan Fungsi Seksual Hubungannya dengan Organ

1. Hidrokel
Hidrokel adalah kumpulan cairan di dalam ruang potensial di
antara kedua lapisan membran tunika vaginalis. Hidrokel kongenital
terjadi akibat adanya prosesus vaginalis yang menetap (hubungan antara
kantong skrotum dan rongga peritoneum), sehingga cairan peritoneum
dapat terkumpul di dalam skrotum. Biasanya juga sering ditemukan
hernia inguinalis. (Price, 2012)
Pada orang dewasa, hidrokel tidak berhubungan dengan rongga
peritoneum; kumpulan cairan terbentuk sebagai reaksi terhadap infeksi,
tumor, atau trauma, yaitu akibat produksi cairan yang berlebihan oleh
testis, maupun obstruksi aliran limfe atau vena di dalam funikulus
spermatikus. Hidrokel yang kronik biasanya timbul pada pria yang
berusia di atas 40 tahun. Cairan yang terkumpul massa yang terbentuk
dalam lunak, kistik, atau keras. (Price, 2012)

2. Karsinorna Prostat
Dengan berkembangnya tumor dapat terjadi perluasan
langsung ke uretra, leher kandung kemih, dan vesikula seminalis.
Kanker prostat dapat juga menyebar melalui jalur limfatik atau
hematogen. Bagian yang paling sering terkena metastasis adalah
kelenjar limfe pelvis dan kerangka. Metastasis kerangka secara
berurut adalah tulang-tulang pelvis, vertebra lumbalis, femur, vertebra
torasika, dan kosta. Metastasis organ timbul setelahnya dan
seringkali pada hati dan paru-paru. Perjalanan penyakit kanker prostat
tidak dapat diperkirakan. Kanker dapat berkembang sangat lambat
pada beberapa laki-laki dan dapat tumbuh dan bermetastasis secara
cepat dan menyebabkan kematian dalam perjalanan penyakit
14

pada laki-laki lain. Oleh karena itu, kebanyakan dokter mengobati


pasien-pasien dengan kanker prostat secara agresif (Price, 2012)

3. Karsinoma Testis

Kanker testikular adalah bentuk kanker yang relatif jarang.


Walaupun kanker ini hanya 1% pada laki-laki, kanker testikular
adalah keganasan padat yang paling sering pada laki-laki muda.
Usia puncak untuk kanker testis adalah 15 hingga 35 tahun.
Insidens meningkat perlahan setelah usia 40 tahun. (Price, 2012)
Tanda kanker testikular yang paling sering adalah
pembengkakan tanpa rasa nyeri dan massa dalam satu testis.
Sekitar sepertiganya, laki-laki akan mengalami nyeri tumpul
yang terus menerus atau merasakan berat pada abdomen bagian
bawah, lipat paha, atau daerah skrotum. Semua laki-laki seharusnya
sudah mengetahui tentang ukuran dan rasa dari testis mereka
sehingga mereka dapat mendeteksi berbagai perubahan yang terjadi.
(Price, 2012)

4. Karsinoma Penis

Karsinoma penis lebih sering terjadi pada laki-laki yang tidak


disirkumsisi daripada laki-laki yang disirkumsisi. Sirkumsisi
neonatal telah diharapkan dapat menghilangkan kejadian karsinoma
penis. Karsinoma serviks pada pasangan seksualnya
meningkatkan risiko berkembangnya kanker penis deoksiribonuklea
t. (DNA) HI- v yang ditularkan melalui hubungan seksual telah
teridentifikasi pada kasus kanker penis. Kebanyakan keganasan
penis adalah karsinoma sel skuamosa tingkat rendah. Luasnya
metastasis ke kelenjar mengindikasikan prognosis Karsinoma penis
dimulai dengan lesi kecil yang berawal dibawah prepusium atau
pada bagian korona yang secara perlahan-lahan meluas dan meli-
batkan seluruh glans, preputium, korona, dan batang penis. (Price,
2012)
15

5. Balanitis
Balanitis adalah peradangan glans; balanopostitis adalah
peradangan glans dan prepusium pada pria yang tidak disirkumsisi.
Peradangan dapat disebabkan oleh gonore, trikomoniasis, sifilis,
Candida albicans, tinea, atau organisme koliform; dapat pula sebagai
komplikasi dari dermatitis seperti psoriasis; atau dermatitis kontak
akibat celana, pemakaian kondom, dan jeli kontrasepsi. (Price, 2012)
Balanopostitis juga disebabkan oleh prepusium yang ketat atau
kurang menjaga kebersihan. Sekresi normal di bawah kulit prepusium
menjadi terinfeksi dengan bakteri anaerob, menyebabkan peradangan
dan nekrosis. (Price, 2012)

6. Uretritis

Uretritis adalah peradangan uretra oleh berbagai penyebab


dan merupakan sindrom yang sering terjadi pada pria. Infeksi
uretritis diklasifikasikan sebagai gonokok atau nongonokok (NGU),
bergantung pada organisme penyebabnya. Organisme yang . paling
sering adalah Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Ureaplasma
urealyticum, Trichomonas vaginal's, virus herpes simpleks (tipe 1
maupun 2), dan HPV. Organisme-organisme tersebut kebanyakan
ditularkan melalui aktivitas seksual. Tanda-tanda dan gejala-
gejala yang klasik adalah sekret uretra; peradangan meatus; rasa
terbakar, gatal, urgensi, atau sering berkemih. (Price, 2012)

7. Prostatitis

Prostatitis adalah peradangan prostat; dapat bersifat akut maupun


kronik, dan penyebabnya dapat berupa bakterial atau nonbakterial.
Sekitar 50% laki-laki mengalami gejala peradangan prostatik selama
masa dewasa, dan hanya sekitar 5% dari kasus-kasus ini disebabkan
oleh infeksi bakterial. Kebanyakan infeksi bakteri pada prostat
disebabkan oleh organisme gram negatif; organisme yang paling sering
adalah Escherichin coll. Organisme penyebab lain adalah entero-
16

kokus, stafilokokus, streptokokus, Chlamydia trachomatis, Ureaplasma


urealyticum, dan Neisseria gonorrhoeae. Infeksi bakteri prostatik dapat
merupakan akibat dari infeksi uretra yang terjadi bersamaan atau yang
terjadi sebelumnya dengan langsung naiknya bakteri dari uretra
melalui duktus duktus prostatik masuk kedalam prostat, refluks urine
dari kandung kemih yang terinfeksi, atau penyebaran langsung
melalui aliran limfe atau darah. (Price, 2012)
Prostatitis bakterial akut paling sering terjadi pada pria antara usia
20 hingga 40 tahun; menyebabkan demam antara 39 0 hingga 40° C,
menggigil, nyeri pinggang, nyeri perineum, disuria, spasme uretra,
dan nyeri bagian suprapubik. Pada pemeriksaan rektal, prostat
teraba nyeri, membengkak, hangat, dan keras. Palpasi pada prostat
harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Selain itu, pemijatan yang
kuat akan menimbulkan nyeri yang sangat bagi pasien, dapat
menyebabkan epididimitis sekunder atau septikemia karena bakteri
yang banyak dilepaskan secara sistemik. Karena biasanya juga
terdapat sistitis, maka urinalisis dan biakan urine seringkali dapat
mengidentifikasi organismenya. (Price, 2012)

8. Epididimitis

Epididimitis adalah respons peradangan epididimis akibat


infeksi atau trauma. lnfeksi menyebar dari uretritis atau prostatitis
yang sudah ada, dan dapat terjadi unilateral atau bilateral. Epididimitis
bakterial kronik atau berulang adalah infeksi kronik sekunder pada
bagian ini atau karena kateter ureter yang terus menerus dipasang.
Dapat juga terjadi pembentukan abses. Penyebaran organisme
melalui darah dari bagian lain dapat terjadi walaupun jarang.
Organisme dari faring dan infeksi tuberkulosis paru ditularkan
melalui aliran darah. (Price, 2012)

Tanda epididimitis yang paling sering adalah nyeri dan


pembengkakan skrotum yang disertai eritema; dapat terbentuk
17

hidrokel. Sekret uretra, disuria, sering berkemih dan urgensi adalah


gejala yang biasa. Awitan dapat timbul secara akut dalam 1 hingga 2
hari atau timbul secara perlahan-lahan. Uji laboratorium yang
dilakukan untuk mengidentifikasi organisme adalah apusan uretra,
urinalisis, biakan urine, biakan darah, dan biak untuk penyakit
menular seksual. Epididimitis diklasifikasikan sebagai epididimitis
bakterial nonspesifik dan epididimitis yang ditularkan secara
seksual. Epididimitis bakterial nonspesifik disebabkan oleh E. coli,
streptokokus dan stafilokokus, disebabkan oleh keadaan patologis
urologik yang rnendasarinya. Epididimitis yang ditularkan secara
seksual disebabkan oleh gonorea, chlamydia, Treponema pallidum, dan
T. vaginalis. Identifikasi organisme dan pengobatan antibiotika harus
dilakukan sesegera mungkin karena ada ancaman sterilitas atau
infertilitas sebagai akibat obstruksi mekanik karena parut.
(Price, 2012)

9. Orkitis

Orkitis adalah peradangan testis; yang jika bersama dengan


epididimitis menjadi epididimoorkitis dan merupakan komplikasi
yang serius dari epididimitis. Orkitis berbeda dari infeksi traktus
genitalia lain dalam dua hal: jalur utama infeksi adalah hematogen,
dan virus adalah organisme penyebab orkitis yang paling sering.
Infeksinya diklasifikasikan sebagai orkitis viral, orkitis bakterial
piogenik, atau orkitis granulomatosa. (Price, 2012)

Virus adalah penyebab orkitis yang paling sering. Orkitis


parotiditis adalah infeksi virus yang paling sering terlihat, walaupun
imunisasi untuk mencegah parotiditis pada masa anak-anak telah
menurunkan insidens. Dua puluh hingga tiga puluh persen kasus
parotiditis pada orang dewasa terjadi bersamaan dengan orkitis;
terjadi bilateral pada sekitar 15% pria dengan orkitis parotiditis.
Pada laki-laki pubertas atau dewasa, biasanya terdapat kerusakan
18

tubulus seminiferus dengan risiko infertilitas, dan pada beberapa


kasus, terdapat kerusakan sel-sel Leydig yang mengakibatkan
hipogonadisme defisiensi testosteron. Orkitis parotiditis jarang
terjadi pada laki-laki prapubertas, namun bila ada, dapat diharapkan
kesembuhan yang sempurna tanpa disfungsi testiskular sesudahnya.
(Price, 2012)
Tanda dan gejala berkisar dari ketidaknyamanan ringan pada
testiskular dan edema hingga nyeri testiskular yang parah dan
terbentuknya edema dalam waktu sekitar 4 hingga 6 hari setelah
awitan penyakit dengan demam tinggi, mual, dan muntah.
Epididimitis dan funikulitis (infeksi vas deferens) adalah
komplikasi yang mungkin terjadi. (Price, 2012)

10. Fimoris

Fimoris adalah keadaan dimana prepusium penis tak mungkin


direktasi. Ini bisa merupakan komplikasi sirkumsisi, dimana terlalu
banyak prepusium tertinggal, atau bisa sekunder terhadap infeksi yang
timbul di bawah prepusium yang berlebihan. Pada yang terakhir,
prepusium menjadi melekat dan fibrotik kronis di bawah prepusium dan
mencegah retraksi. Keadaan ini biasanya akibat kebersihan yang buruk,
dan terapi melibatkan tindakan lokal untuk membasmi infeksi.
Pembelahan dorsal pada prepusium mungkin diperlukan. Bila infeksi
akut dan radang menyembuh, maka terapi definitif adalah sirkumsisi.
(Price, 2012)

11. Parafimosis

Parafimosis adalah keadaan dimana prepusium setelah diretraksi di


belakang glans, tak dapat dikembalikan ke posisi aslinya. Prepusium
menjadi terperangkap di belakang sulkus koronarius oleh
pembengkakan glans sekunder. Biasanya dapat sembuh dengan tekanan
lembut. Jika glans dibiarkan tanpa reposisi, maka pembengkakan
kontinyu bisa membuat reposisi tak mungkin dilakukan. Untuk
19

mengobati keadaan akut, maka insisi bisa dibuat untuk menginsisi lesi
kontriksi. Sirkumsisi bisa diperlukan nanti untuk mencegah
kekambuhan. (Price, 2012)

12. Priapismus

Priapismus merupakan kelainan yang jarang ditemukan dimana


pria mengalami ereksi yang lama yang tak disertai dengan rangsangan
seks dan bisa nyeri. Dalma keadaan ini yang bisa menetap selama
beberapa hari jika dibiarkan tanpa diobati maka korpus kavernosum
terisi darah kental. Dalam 60 persen pasien, priapismus bersifat
idiopatik. Juga bisa disertai leukemia, karsinoma metastatic, trauma
lokal dan anemia sel sabit. Banyak jenis penelataksanaan nonbedah
telah dicoba dengan jumlah keberasilan bervariasi. Obat penghambatan
ganglion, anestesi spinal, anestesi hipotensif, DES dan antikoagulan,
semuanya telah digunakan dengan hasil campuran. Anak dengan
anemia sel sabit biasanya berespon terhadap transfusi tukar. Dalam
pasien leukemia berhasil diterapi. Jika penatalaksanaan konservatif
gagal maka intervensi bedah diindikasikan. Telah ditemukan tindakan
bedah untuk memintas darah dari korpora kevernosa untuk menciptakan
penis yang lembek dan untuk mencegah komplikasi jangka lama seperti
impotensi. Dalam tindakan tindakan pintas Winter beberapa fistula
dibentuk dengan jarung biospi dari korpus kavernosum-spongiosum
yang kemudian dijahit bersatu. Ini memungkinkan darah dari korpus
kavernosum terbentuk untuk mengalir melalui melalui kopus
spongiosum. Anastomosis vena safena ke korpus kavernosum juga telah
digunakan untuk memintas darah dari korpora kavernnosa. Dalam
penatalaksanaan pasien priapisme penting diingat bahwa impotensi
sering merupakan gejala sisa dari priapisme. Walaupun ada intervensi
bedah yang tepat dan cepat pasien masih bisa menjadi impoten secara
permanen. (Price, 2012)
20

13. Tumor Testis

Tumor sel interstisial Leydig jarang berkembang pada testis, tetapi


bila hal tersebut terjadi, tumor tersebut terkadang membentuk
testosteron 100 kali lebih banyak dari jumlah normal. Bila tumor seperti
itu berkembang pada masa kanak-kanak, tumor tersebut akan
menyebabkan pertumbuhan otot dan tulang yang cepat tetapi juga
menyebabkan penyatuan epifisis yang dini, sehingga tinggi badan akhir
dewasa sebenarnya kurang dari tinggi badan yang akan dicapai pada
keadaan lain. Tumor sel interstisial juga menyebabkan perkembangan
organ kelamin pria yang berlebihan pada pria, semua otot rangka, dan
karakteristik kelamin pria lainnya. Pada pria dewasa, tumor sel
interstisial yang kecil sulit untuk didiagnosis karena gambaran maskulin
sudah ditemukan. (Price, 2012)

14. Varikokel

Varikokel adalah pelebaran abnormal (varises) dari pleksus


pampiniformis vena yang mengalirkan darah ke setiap testis; lebih
sering terjadi pada sisi kiri dibandingkan sisi kanan. Varikokel pada sisi
kanan dapat merupakan tanda obstruksi yang disebabkan tumor.
Varikokel dapat teraba pada 10% laki-laki pada populasi umum, dan
30% pada laki-laki infertil. Konsentrasi dan pergerakan sperma
menurun secara signifikan sebanyak 65% hingga 75% pada laki-laki
dengan varikokel. Mekanisme yang menghubungkannya dengan
infertilitas tidak diketahui, tetapi mungkin berkaitan dengan peninggian
suhu, karena salah satu dari fungsi pleksus pampiniformis adalah untuk
menjaga suhu testes1 atau 2˚F lebih rendah dari suhu tubuh guna
memberikan keadaan yang optimal untuk produksi sperma. (Price,
2012)
21

15. Hipospadia
Hipospadia terjadi pada 1 dalam 300 kelahiran anak laki-laki dan
merupakan anomali penis yang paling sering. Perkembangan uretra in
utero dimulai sekitar usia 8 minggu dan selesai dalam 15 minggu. Uretra
terbentuk dari penyatuan lipatan uretra sepanjang permukaan ventral penis.
Glandula uretra terbentuk dari kanalisasi funikulus ektoderm yang tumbuh
yang menyatu. Hipospadia terjadi bila penyatuan di garis tengah lipatan
uretra tidak lengkap sehingga meatus uretra terbuka pada sisi ventral penis.
Ada berbagai derajat kelainan letak ini seperti pada glandular (meatus
yang salah pada glans), korona (pada sulkus korona), penis (disepanjang
batang penis), penoskrotal (pada pertemuan ventral penis dan skrotum),
dan perineal (pada peritoneum). Prepusium tidak ada pada sisi ventral dan
menyerupai topi yang menutupi sisi dorsal glans. Pita jaringan fibrosa
yang dikenal sebagai chordee, pada sisi ventral menyebabkan kurvatura
(lengkungan) ventral dari penis. (Price, 2012)
Tidak ada masalah fisik yang berhubungan dengan hipospadia pada
bayi baru lahir atau pada anak-anak remaja. Namun pada orang dewasa,
chordee akan menghalangi hubungan seksual; infertilitas dapat terjadi
pada hipospadia penoskrotal atau perineal; dapat timbul stenosis meatus,
menyebabkan kesulitan dalam mengatur aliran urin; dan sering terjadi
kriptorkidisme. (Price, 2012)

16. Epispadia

Epispadia adalah suatu anomali kongenital yaitu meatus uretra


terletak pada permukaan dorsal penis. Insidens epispadia yang lengkap
sekitar 1 dalam 120.000 laki-laki. Keadaan ini biasanya tidak terjadi
sendirian, tetapi juga disertai anomali saluran kemih. Epispadia
diklasifikasikan berdasarkan letak meatus kemih di sepanjang batang
penis: glandular (pada glans bagian dorsal), penis (antara symphisis pubis
dan sulkus koronarius), dan penopubis (pada pertemuan antara penis dan
pubis). Meatus uretra meluas, dan perluasan alur dorsal dari meatus
22

terletek di bawah glans. Prepusium menggantung dari sisi ventral penis.


Penis pipih dan kecil serta kemungkinan akan melengkung ke dorsal akibat
adanya chordee. Inkontinensia urine timbul pada epispadia penopubis
(95%) dan penis (75%) karena perkembangan yang salah dari sfingter
urinarius. (Price, 2012)

II.2.3 Kelainan Fungsi Seksual Hubungannya dengan Hormon

1. Kanker Prostat

Kelenjar prostat secara relatif tetap kecil sepanjang masa kanak-


kanak dan mulai tumbuh pada masa pubertas akibat rangsangan
testosteron. Kelenjar ini mencapai ukuran hampir tetap pada usia 20
tahun dan tetap dalam ukuran ini sampai berusia kira-kira 50 tahun.
Pada waktu tersebut, beberapa pria kelenjarnya mulai berinvolusi,
bersamaan dengan pengurangan pembentukan testosteron oleh testis.
(Guyton, 2012)
Fibroadenoma prostat jinak sering terbentuk di prostat pada banyak
pria yang sudah tua dan dapat menyebabkan penyumbatan urin.
Hipertrofi tersebut tidak disebabkan oleh testosteron oleh testis.
(Guyton, 2012)
Kanker kelenjar prostat merupakan masalah lain dan sering
menjadi penyebab kematian yang umum, dan bertanggung jawab atas 2
sampai 3 persen dari seluruh kematian pria. Begitu kanker kelenjar
prostat terjadi, sel-sel karsinogen biasanya dirangsang untuk tumbuh
lebih cepat lagi oleh testosteron dan dihambat dengan pengangkatan
testis, sehingga testosteron tidak dapat dibentuk. Kanker prostat
biasanya dapat dihambat dengan pemberian estrogen. Bahkan beberapa
pasien yang mengalami kanker prostat yang telah bermetastasis ke
hampir semua tulang tubuh behasil diobati dengan sukses selama
beberapa bulan sampai beberapa tahun dengan pengangkatan testis,
dengan terapi estrogen, atau keduanya; setelah pengobatan ini, ukuran
metastasis biasanya berkurang dan tulang pulih sebagian. Pengobatan
23

ini tidak benar-benar menghentikan kanker tetapi dapat memperlambat


pertumbuhannya dan sering kali sangat mengurangi rasa nyeri pada
tulang. (Guyton, 2012)

2. Hipogonadisme
Saat testis fetus pria tidak berfungsi, yaitu selama masa janin, tidak
ada karakteristik kelamin pria yang akan berkembang. Bahkan, organ-
organ wanitalah yang akan terbentuk. Alasan untuk keadaan ini adalah
bahwa karakteristik genetik dasar dari janin, baik pria maupun wanita,
adalah pembentukan organ kelamin wanita bila tidak terdapat hormon-
hormon kelamin. Tetapi dengan adanya testosteron, pembentukan organ
kelamin wanita akan ditekan, dan organ-organ pria dirangsang.
(Guyton, 2012)
Bila seorang anak laki-laki kehilangan testisnya sebelum pubertas
terjadi suatu keadan eunuchism, yang menyebabkan si anak tetap
memiliki ciri organ seksual infantil dan ciri seksual infatil lainnya
sepanjang kehidupannya. Tinggi badannya pada saat dewasa sedikit
lebih besar daripada pria normal, walaupun tulang-tulangnya lebih
kecil, otot-ototnya lebih lemah daripada pria normal. Suaranya seperti
suara anak-anak, tidak terjadi kerontokan rambut kepala, dan tidak
terjadi penyebaran pertumbuhan rambut normal pada wajah dan tempat
lain. (Guyton, 2012)
Bila pria dikastrasi setelah pubertas, beberapa ciri seksual sekunder
kembali ke ciri seksual yang terdapat pada anak-anak, dan sifat
maskulin lainnya masih tetap terdapat. Organ-organ seksual sedikit
berkurang ukurannya tetapi tidak kembali pada ukuran pada masa
kanak-kanak, kualitas suara bassnya sedikit berkurang. Sebaliknya,
terjadi kehilangan pertumbuhan rambut yang menandakan
maskulinisasi, kehilangan tulang maskulin yang tebal, dan kehilangan
otot pria sejati. (Guyton, 2012)
Pada pria dewasa yang dikastrasi, gairah seksual juga turun tetapi
tidak hilang sama sekali, jika aktivitas seksual telah dilakukan
24

sebelumnya. Ereksi masih dapat terjadi seperti sebelumnya, walaupun


sedikit lebih sukar, tetapi sangat jarang terjadi ejakulasi, secara primer
karena organ yang membentuk semen berdegenerasi, dan hilangnya
gairah psikis yang didorong oleh testosteron. (Guyton, 2012)
Beberapa kasus hipogonadisme disebabkan oleh ketidakmampuan
genetik hipotalamus untuk menyekesi GnRH dalam jumlah yang
normal. Hal ini sering terjadi bersamaan dengan suatu kelainan yang
terjadi di pusat makan hipotalamus, yang menyebabkan orang tersebut
makan berlebihan. Akibatnya, terjadi obesitas yang sejalan dengan
eunuchism. (Guyton, 2012)

3. Hipotiroidisme dan Hipertiroidisme


Keadaan jumlah hormon tiroid dalam darah menurun.
Hipotiroidisme dapat bersifat primer atau sekunder. Keadaan ini
mempengaruhi hampir semua fungsi tubuh termasuk fungsi seks. Gejala
karakteristik dari hipotiroidisme ialah perasaan lemah, mudah lelah
kulit kering dan kasar, tidak tahan dingin, bicara pelan dan badan
kelihatan seolah-olah gemuk. Penderita hipotiroidisme akan mengalami
menurunnya fungsi seks termasuk ereksi yang lemah. Besar
kemungkinan gejala penyakitnya sendiri secara langsung sudah jauh
lebih berat, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan kehidupan
seks lagi. Bila hormon tiroid terlalu banyak dalam darah disebut
hipertiroidisme atau tirotoxikosis, terjadilah gangguan yang
menyebabkan gangguan fungsi seks termasuk ereksi. Gejala klinik di
sini ialah kulit selalu lebih panas dan lembab karena keringat terlalu
banyak dan jantung berdebar-debar. Sebanyak 40% penderita
mengalami disfungsi ereksi tetapi mekanisme dan korelasinya belum
jelas. Besar kemungkinan kehabisan tenaga karena metabolisme terlalu
tinggi. Disfungsi ereksi karena hipertiroidisme adalah reversible atau
akan kembali normal bila gejala hipertiroidisme sudah sembuh.
(Tobing, 2006)
4. Hiperplasia Prostat
25

Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan


oleh penuaan. Tanda klinis BPH biasanya muncul pada lebih dari 50%
laki-laki yang berusia 50 tahun ke atas. Hiperplasia prostatik adalah
pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat;
pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi
yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang
tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan
stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Prostat
tersebut mengelilingi uretra, dan pembesaran bagian periuretral akan
menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra pars prostatika,
yang mengakibatkan berkurangnya aliran kemih dari kandung kemih.
Penyebab BPH berkaitan dengan penuaan dan disertai dengan
perubahan hormon. Dengan penuaan, kadar testosteron serum menurun,
dan kadar estrogen serum meningkat. (Price, 2012)

5. Kriptorkidisme
Pada masa gestasi sekitar 32 minggu, testis turun ke dalam skrotum
di bawah pengaruh testosteron. Kriptorkidisme adalah kegagalan satu
atau kedua testis untuk turun dari rongga abdomen ke dalam skrotum.
Pada kebanyakan kasus diakibatkan oleh hipogonadisme atau obstruksi
mekanik. Kegagalan testis ektopik dalam mengikuti penurunan jalur
normal dan akan terletak pada tempat yang abnormal. Letak yang
paling sering untuk testis yang ektopik adalah kanalis inguinalis,
perineum, daerah femoral, atau pada pangkal penis. (Price, 2012)
Testis yang tidak turun biasanya lebih kecil daripada normal, tidak
menghasilkan sperma dengan baik, dan rentan terhadap perubahan
keganasan. Pada sebagian kasus testis yang tidak teraba terdapat
agenesis testis. (Price, 2012)
Testis yang tidak turun pada bayi baru lahir dapat turun secara
spontan menjelang usia 1 tahun di bawah pengaruh testosteron yang
dise Kriptorkidisme. (Price, 2012)
26

Pada masa gestasi sekitar 32 minggu, testis turun ke dalam skrotum


di bawah pengaruh testosteron. Kriptorkidisme adalah kegagalan satu
atau kedua testis untuk turun dari rongga abdomen ke dalam skrotum.
Pada kebanyakan kasus diakibatkan oleh hipogonadisme atau obstruksi
mekanik. Kegagalan testis ektopik dalam mengikuti penurunan jalur
normal dan akan terletak pada tempat yang abnormal. Letak yang
paling sering untuk testis yang ektopik adalah kanalis inguinalis,
perineum, daerah femoral, atau pada pangkal penis. (Price, 2012)
Testis yang tidak turun biasanya lebih kecil daripada normal, tidak
menghasilkan sperma dengan baik, dan rentan terhadap perubahan
keganasan. Pada sebagian kasus testis yang tidak teraba terdapat
agenesis testis. (Price, 2012)
Testis yang tidak turun pada bayi baru lahir dapat turun secara
spontan menjelang usia 1 tahun di bawah pengaruh testosteron yang
disekresi oleh testes neonatus. (Price, 2012)

II.3. Kelainan Fungsi dan Bentuk Sperma Hubungannya dengan Proses


Spermatogenesis dan Faktor yang Mempengaruhi

II.3.1 Spermatogenesis

Selama pembentukan embrio, sel germinal primordial bermigrasi


ke dalam testis dan menjadi sel germinal imatur yang disebut
spermatogonia yang berada di dua atau tiga lapisan permukaan dalam
tubulus seminiferus (salah satu potongan melintangnya di perlihatkan pada
gambar 80-2A). Spermatogonia mulai mengalami pembelahan mitosis,
yang dimulai saat pubertas, dan terus berproliferasi dan berdiferensiasi
melalui berbagai tahap perkembangan untuk membentuk sperma, yang
tampak pada gambar 80-2B. (Guyton, 2012)

II.3.2 Tahap-Tahap Spermatogenesis


27

Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus selama masa


seksual aktif akibat stimulasi oleh hormon gonadotropik hipofisis anterior,
yang dimulai rata-rata pada umur 13 tahun dan terus berlanjut hampir di
seluruh sisa kehidupan, namun sangat menurun pada usia tua. (Guyton,
2012)

Pada tahap pertama spermatogenesis, spermatogonia bermigrasi di


antara sel-sel Sertoli menuju lumen sentral tubulus seminiferus. Sel-sel
Sertoli ini sangat besar, dengan pembungkus sitoplasma yang berlebihan
yang mengelilingi spermatogonia yang sedang berkembang sampai menuju
bagian tengah lumen tubulus.. Meiosis pada Spermatogonia yang
melewati lapisan pertahanan masuk ke dalam lapisan sel Sertoli akan
dimodifikasi secara berangsur-angsur dan membesar untuk membentuk
spermatosit primer yang besar. Setiap spermatosit tersebut, selanjutnya
mengalami pembelahan mitosis untuk membentuk dua spermatosit
sekunder. Setelah beberapa hari, spermatosit sekunder ini juga membelah
menjadi spermatid'yang akhirnya dimodifikasi menjadi spermatozoa
(sperma). (Guyton, 2012)

Selama masa pergantian dari tahap spermatosit ke tahap


spermatid, 46 kromosom spermatozoa (23 pasang kromosom) dibagi
sehingga 23 kromosom diberikan ke satu spermatid dan 23 lainnya ke
spermatid yang kedua. Keadaan ini juga membagi gen kromosom sehingga
hanya setengah karakteristik genetik bayi yang berasal dari ayah,
sedangkan setengah sisanya diturunkan dari oosit yang berasal dari ibu.
(Guyton, 2012)

Keseluruhan proses spermatogenesis, dari spermatogonia menjadi


spermatozoa, membutuhkan waktu sekitar 74 hari. Kromosom Kelamin
pada setiap spermatogonium, satu dari ke-23 pasang kromosom
mengandung informasi genetik yang menentukan jenis kelamin masing-
masing anak. Pasangan ini terdiri atas satu kromosom X, yang disebut
kromosom wanita, dan satu kromosom Y, yang disebut kromosom pria.
Selama pembelahan meiosis, kromosom Y pria pergi menuju sebuah
28

spermatid yang kemudian menjadi sebuah sperma jantan, dan kromo-


som X wanita menuju spermatid lain yang akan menjadi sperma betina.
Jenis kelamin anak ditentukan oleh kedua jenis sperma tersebut yang
membuahi ovum. (Guyton, 2012)

II.3.3 Pembentukan Sperma

Ketika spermatid dibentuk pertama kali, spermatid tetap memiliki


sifat-sifat yang lazim dari sel-sel epiteloid, tetapi spermatid tersebut segera
berdiferensiasi dan memanjang menjadi spermatozoa. Masing-masing
spermatozoa terdiri atas kepala dan ekor. Kepala terdiri atas inti sel yang
padat dengan hanya sedikit sitoplasma dan lapisan membran sel di
sekeliling permukaannya. Di bagian luar, dua pertiga anterior kepala
terdapat selubung tebal yang disebut akrosom yang terutama dibentuk oleh
aparatus Golgi. Selubung ini mengandung sejumlah enzim yang serupa
dengan enzim yang ditemukan pada lisosom dari sel-sel yang khas, meliputi
hialuronidase (yang dapat mencerna filamen proteoglikan jaringan) dan
enzim pro-teolitik yang sangat kuat (yang dapat mencerna protein). Enzim
ini memainkan peranan penting sehingga memung-kinkan sperma untuk
memasuki ovum dan membuahinya. Ekor sperma, yang disebut flagelum,
memiliki tiga komponen utama: (1) kerangka pusat yang dibentuk dari 11
mikrotubulus, yang secara keseluruhan disebut aksonema. Struktur tersebut
serupa dengan struktur silia yang terdapat pada permukaan sel tipe lain; (2)
membran sel tipis yang menutupi aksonema; dan (3) sekelompok
mitokondria yang mengeli-lingi aksonema di bagian proksimal ekor (yang
disebut badan ekor). (Guyton, 2012)

Gerakan maju-mundur ekor (gerakan flagela) memberikan motilitas


pada sperma. Gerakan ini disebabkan oleh gerakan meluncur longitudinal
secara ritmis di antara tubulus posterior dan anterior yang merribentuk
aksonema. Energi untuk proses ini disuplai dalam bentuk adenosin trifosfat
yang disintesis oleh mitokondria di badan ekor. (Guyton, 2012)
29

Sperma yang normal bergerak dalam medium cair dengan


kecepatan 1 sampai 4 mm/menit. Kecepatan ini akan memungkinkan
sperma untuk bergerak melalui traktus genitalia wanita untuk mencapai
ovum. (Guyton, 2012)

II.3.4 Faktor-Faktor Hormonal yang Merangsang Spermatogenesis

Kita akan membahas peran hormon-hormon dalam reproduksi


kemudian, tetapi pada kesempatan ini, marilah kita mempertahankan bahwa
beberapa hormon memainkan peranan yang penting dalam
spermatogenesis. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Testosteron yaitu hormon yang disekresi oleh sel-sel Leydig yang terletak
di interstisium testis, penting bagi pertumbuhan dan pembelahan sel-sel
germinal testis, yang merupakan tahap pertama pembentukan sperma.
(Guyton, 2012)
2. Luteinizing hormone, yaitu hormon yang disekresi oleh kelenjar
hipofisis anterior, merangsang sel-sel Leydig untuk menyekresi
testosteron. (Guyton, 2012)
3. Hormon perctngsang-folikel (FSH), yaitu hormon yang juga disekresi
oleh sel-sel kelenjar hipofisis anterior, merangsang sel-sel Sertoli;
tanpa rangsangan ini, pengubahan spermatid menjadi sperma (proses
spermiogenesis) tidak akan terjadi. (Guyton, 2012)
4. Estrogen, yaitu hormon yang dibentuk dari testosteron oleh sel-sel
Sertoli ketika sel Sertoli dirangsang oleh hormon perangsang folikel,
mungkin juga penting untuk spermiogenesis. (Guyton, 2012)
5. Hormon pertumbuhan (dan sebagian besar hormon tubuh lainnya)
yaitu hormon diperlukan untuk mengatur latar belakang fungsi
metabolisme testis. Hormon pertumbuhan secara spesifik
meningkatkan pembelahan awal spermatogonia itu sendiri; bila tidak
terdapat hormon pertumbuhan, seperti pada dwarfisme hipofisis,
spermatogenesis sangat berkurang atau tidak ada sama sekali sehingga
menyebabkan infertilitas. (Guyton, 2012)
30

II.3.5 Pematangan Sperma di Epididimis

Setelah terbentuk di tubulus seminiferus, sperma mem-butuhkan


waktu beberapa hari untuk melewati tubulus epididimis yang panjangnya 6
meter. Sperma yang ber-gerak dari tubulus seminiferus dan dari bagian
awal epi-didimidis merupakan sperma yang tidak motil, dan tidak dapat
membuahi ovum. Akan tetapi, setelah sperma be-rada dalam epididimis
selama 18 sampai 24 jam, sperma memiliki kemampuan motilitas,
walaupun beberapa inhibitor protein dalam cairan epididimidis masih
mencegah motilitas akhir sampai setelah ejakulasi. (Guyton, 2012)

Penyimpanan Sperma pada dua testis orang dewasa membentuk


sperma dengan jumlah mencapai 120 juta per hari. Sejumlah kecil sperma-
sperma ini dapat disimpan di epididimis, narnun sebagian besar disimpan di
vas deferens. Sperma tersebut dapat tetap disimpan sehingga fertilitas-nya
dapat dipertahankan paling tidak selama sebulan.Se-lama waktu tersebut,
sperma-sperma itu dijaga pada ke-adaan yang sangat inaktif oleh berbagai
zat inhibitor yang terdapat dalam sekresi duktus. Sebaliknya, pada aktivitas
seksual dan ejakulasi yang tinggi, penyimpanan dapat berlangsung tidak
lebih dari beberapa hari. (Guyton, 2012)

Setelah ejakulasi, sperma menjadi motil, dan juga mampu untuk


membuahi ovum, suatu proses yang disebut pematangan. Sel-sel Sertoli dan
epitel epididimis menye-kresikan suatu cairan nutrisi khusus yang
diejakulasikan bersama dengan sperma. Cairan ini mengandung hormon
(meliputi testosteron dan estrogen), enzim-enzim, dan zat nutrisi khusus
yang sangat penting untuk pematangan sperma. (Guyton, 2012)

II.3.6 Fisiologi Sperma yang Matang.

Sperma normal yang motil dan infertil, mampu menggerakan fiagel


melalui medium cair dengan kecepatan kira-kira 1 sampai 4 mm/menit.
Aktivitas sperma sangat meningkat dalam suatu medium yang netral dan
sedikit basa, seperti yang terdapat dalam semen yang diejakulasi, namun
31

sangat menurun dalam medium yang sedikit asam. Suatu medium yang
sangat asam dapat mematikan sperma dengan cepat. (Guyton, 2012)

Aktivitas sperma meningkat dengan nyata bersama-an dengan


peningkatan suhu, namun kecepatan meta-bolismenya juga ikut meningkat,
sehingga umur sperma berkurang. Walaupun sperma dapat hidup selama
beberapa minggu dalam duktus genitalia testis pada keadaan inaktif,
harapan hidup sperma dalam ejakulat di traktus genitalia wanita hanya 1
sampai 2 hari. (Guyton, 2012)

II.3.7 Fungsi Vesikula Seminalis

Setiap vesikula seminalis merupakan tubulus berlokus-lokus dan


berkelok-kelok, yang dilapisi oleh epitel sekreto-ris yang menyekresi
bahan-bahan mukus yang mengandung banyak fruktosa, asam sitrat, dan
zat nutrisi lainnya, dan sejumlah besar prostaglandin dan fibrinogen.
Selama proses emisi/pengisian dan ejakulasi, setiap vesikula seminalis
mengeluarkan isinya ke dalam duktus ejakulatorius sesaat setelah vas
deferens mengeluarkan sperma. Hal ini sangat menambah jumlah semen
yang diejakulasi, dan fruktosa serta zat lain dalam cairan seminalis
merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh sperma yang diejakulasikan
sampai salah satu sperma tersebut membuahi ovum. Prostaglandin diyakini
membantu proses pembuahan dengan dua cara: (1) bereaksi dengan mukus
serviks wanita sehingga serviks lebih dapat menerima pergerakan sperma,
dan (2) mungkin menyebabkan kontraksi peristaltik balik dalam uterus dan
tuba fallopii untuk menggerakkan sperma ejakulat mencapai ovarium
(beberapa sperma mencapai ujung atas tuba fallopii dalam waktu 5 menit).
(Guyton, 2012)

II.3.8 Fungsi Kelenjar Prostat

Kelenjar prostat mengekresi cairan encetf, seperti susu, yang


mengandung kalsium, ion sitrat, ion fosfat, enzim pembekuan, dan
profibrinolisin. Selama pengisian, simpai kelenjar prostat berkontraksi
32

sejalan dengan kontraksi vas deferens sehingga cairan encer seperti susu
yang dikeluar-kan oleh kelenjar prostat menambah jumlah semen lebih
banyak lagi. Sifat cairan prostat yang sedikit basa mungkin penting untuk
keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan vas deferens relatif asam akibat
adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolisme sperma, dan sebagai
akibatnya, akan menghambat fertilisasi sperma. Selain itu, sekret vagina
bersifat asam (dengan pH 3,5 sampai 4,0). Sperma tidak dapat bergerak
optimal sampai pH sekitamya me-ningkat menjadi sekitar 6,0 sampai 6,5.
Akibatnya, cairan prostat yang sedikit basa mungkin dapat menetralkan sifat
asam cairan seminalis Iainnya selama ejakulasi, dan juga meningkatkan
motilitas dan fertilitas sperma. (Guyton, 2012)

II.3.9 Semen

Semen, yang diejakulasikan selama aktivitas seksual pria, terdiri


atas cairan dan sperma yang berasal dari vas defe-rens (kira-kira 10 persen
dari keseluruhan semen), cairan vesikula seminalis (hampir 60 persen),
cairan kelenjar prostat (kira-kira 30 persen), dan sejumlah kecil cairan
kelenjar mukosa, terutama kelenjar bulbouretra. Jadi, bagian terbesar
semen adalah cairan vesikula seminalis, yang merupakan cairan terakhir
yang diejakulasikan dan berfungsi untuk mendorong sperma melalui duktus
ejaku-latorius dan uretra. pH rata-rata campuran semen sekitar 7,5. Cairan
prostat yang bersifat basa lebih menetralkan keasaman yang ringan dari
bagian semen Iainnya. Cairan prostat membuat semen terlihat seperti susu,
sementara cairan dari vesikula seminalis dan kelenjar mukosa membuat
semen menjadi agak kental. Selain itu, enzim pembekuan dari cairan
prostat menyebabkan fibrinogen cairan vesikula seminalis membentuk
koagulum fibrin yang lemah, yang menahan semen di daerah vagina yang
lebih dalam, tempat serviks uterus berada. Koagulum kemudian dilarutkan
15 sampai 30 menit kemudian karena terjadinya lisis oleh fibrinoli-sin yang
dibentuk dari profibrinolisin prostat. Pada menit pertama setelah ejakulasi,
sperma masih relatif tidak bergerak, yang mungkin disebabkan oleh
33

viskositas koagulum. Sewaktu koagulum dilarutkan, sperma secara simul-


tan menjadi sangat motil. (Guyton, 2012)

Walapun sperma dapat hidup selama beberapa minggu dalam duktus


genitalia pria, begitu sperma diejakulasikan ke dalam semen, jangka waktu
hidup maksimal sperma ha-nya 24 sampai 48 jam pada suhu tubuh. Akan
tetapi, pada suhu yang lebih rendah, semen dapat disimpan untuk beberapa
minggu; dan ketika dibekukan pada suhu di bawah -100°C, sperma dapat
disimpan sampai bertahun-tahun. (Guyton, 2012)

II.3.10 "Kapasitasi" Spermatozoa Membuat Spermatozoa dapat


Menembus Ovum

Walaupun spermatozoa dianggap menjadi "matang" saat


spermatozoa meninggalkan epididimis, aktivitas spermatozoa diatur oleh
berbagai faktor penghambat yang dise-kresikan oleh epitel-epitel duktus
genitalia. Oleh karena itu, saat spermatozoa pertama kali dikeluarkan di
dalam semen, spermatozoa tidak dapat melaksanakan fungsinya dalam
membuahi ovum. Akan tetapi, sewaktu berhubung-an dengan cairan dari
traktus genitalia wanita, terjadi berbagai perubahan yang mengaktifkan
sperma untuk proses akhir fertilisasi. Kumpulan perubahan ini disebut
kapasitasi spermatozoa. Kapasitasi ini biasanya membutuhkan waktu 1
sampai 10 jam. Beberapa perubahan yang diyakini terjadi adalah sebagai
berikut:

1. Getah uterus dan tuba fallopii mencuci bersih bermacam-macam faktor


penghambat yang menekan aktivitas sperma di dalam duktus genitalia
pria.
2. Sementara spermatozoa tetap tinggal di dalam cairan duktus
genitalia pria, spermatozoa secara terus menerus terpapar dengan
banyak vesikel yang mengapung dari tubulus seminiferus, yang
mengandung sejumlah besar kolesterol. Kolesterol ini terus menerus
diberikan ke membran sel yang menutupi akrosom sperma, yang akan
memperkuat membran sel dan mencegah pelepasan enzim. Setelah
34

ejakulasi, sperma yang terdapat di dalam vagina berenang menjauhi


vesikel-vesikel kolesterol menuju rongga uterus, dan secara berangsur-
angsur sperma kehilangan sebagian besar kelebihan kolesterolnya
dalam waktu beberapa jam kemudian. Sementara itu, membran di
bagian kepala sperma (akrosom) menjadi lebih lemah.
3. Membran sperma juga menjadi jauh lebih permeabel terhadap ion
kalsium, sehingga sekarang ionkalsium memasuki sperma dalam
jumlah banyak dan mengubah aktivitas flagel, dan menimbulkansuatu
gerakan cambuk yang kuat pada sperma yang berlawanan dengan
gerakan sebelumnya, yang lemah dan bergelombang. Selain itu, ion-
ion kalsium menyebabkan perubahan-perubahan di dalam membran
sel yang menutupi bagian ujung akrosom, dan membuat akrosom dapat
melepaskan enzimnya dengan cepat dan mudah sewaktu sperma
menembus massa sel granulosa yang mengelilingi ovum, dan bahkan
lebih dari itu, sewaktu sperma mencoba untuk menembus zona pelusida
ovum itu sendiri. (Guyton, 2012)
Jadi, berbagai perubahan terjadi selama proses kapasitasi. Tanpa
kapasitasi ini, sperma tidak dapat masuk ke dalam bagian dalam ovum
untuk menimbulkan fertilisasi. (Guyton, 2012)

II.3.11 Enzim-Enzim Akrosom, "Reaksi Akrosom," dan Penetrasi


Ovum

Enzim hialuronidase dan enzim proteolitik disimpan dalam jumlah


besar di dalam akrosom sperma. Hialuronidase mehdepolimerisasikan
polimer-polimer asam hialuronat di dalam semen antar sel yang menahan
sel granulosa ovarium bersama-sama. Enzim-enzim proteolitik mencer-
nakan protein dalam elemen-elemen dasar jaringan yang masih menempel
pada ovum. (Guyton, 2012)

Saat ovum dikeluarkan dari folikel ovarium ke dalam tuba


fallopii, ovum masih membawa serta sejumlah lapisan sel granulosa.
Sebelum satu sperma dapat membuahi ovum, sperma harus melarutkan
lapisan sel granulosa tersebut, dan kemudian harus berpenetrasi menembus
35

selubung tebal dari ovum itu sendiri, yaitu zona pelusida. Untuk
tercapainya tujuan tersebut, enzim-enzim yang tersimpan di akrosom mulai
dilepaskan. Diyakini bahwa hialuronidase yang terdapat di antara enzim-
enzim ini terutama penting untuk membuka jalan di antara sel-sel
granulosa sehingga sperma dapat mencapai ovum. (Guyton, 2012)

Saat sperma mencapai zona pelusida ovum, membran anterior


sperma berikatan secara khusus dengan protein reseptor di zona pelusida.
Kemudian, dengan cepat, seluruh akrosom melarut dan semua enzim
akrosom dilepaskan. Dalam waktu beberapa menit, enzim-enzim tersebut
membuka suatu jalur penetrasi untuk masuknya kepala sperma melewati
zona pelusida ke bagian dalam ovum. Dalam waktu 30 menit selanjutnya,
membran sel kepala sperma dan oosit bersatu satu sama lain untuk
membentuk sebuah sel tunggal. Pada saat yang sama, materi genetik
sperma dan oosit bergabung untuk membentuk suatu ge-nom sel yang baru,
yang mengandung kromosom dan gen dengan jumlah yang sama yang
berasal dari ibu dan ayah. Proses ini disebut fertilisasi; kemudian embrio
mulai berkembang. (Guyton, 2012)

II.3.12 Spermatogenesis Abnormal dan Fertilitas Pria

Epitel tubulus seminiferus dapat dihancurkan oleh sejumlah


penyakit. Contohnya, orkitis bilateral testis aki-bat parotitis menyebabkan
sterilitas pada sejumlah pria yang terkena. Sebagian bayi pria juga lahir
dengan epitel tubulus yang berdegenerasi akibat striktur di duktus genitalia
atau akibat abnormalitas lainnya. Akhirnya, penyebab sterilitas lain, yang
biasanya berlangsung se-mentara, adalah suhu testis yang berlebihan.
(Guyton, 2012)

II.3.13 Pengaruh Suhu pada Spermatogenesis.

Peningkatan suhu pada testis dapat mencegah spermatogenesis


dengan menyebabkan degenerasi sebagian besar sel-sel tubulus seminiferus
selain spermatogonia. Sering di-nyatakan bahwa alasan testis terletak di
dalam kantung skrotum adalah untuk mempertahankan suhu kelenjar ini
36

di bawah suhu tubuh, walaupun biasanya hanya sekitar 2°C di bawah suhu
bagian dalam tubuh. Pada cuaca yang dingin, refleks skrotum
menyebabkan otot-otot skrotum berkontraksi, dan menarik testis mendekati
tubuh untuk mempertahankan perbedaan 2° suhu tersebut. Jadi, skrotum
secara teoritis bek'erja sebagai suatu mekanisme pendingin bagi testis
(tetapi sebagai suatu pengatur pendinginan), yang tanpanya
spermatogenesis dapat menjadi berkurang selama cuaca panas. (Guyton,
2012)

II.3.14 Pengaruh Jumlah Sperma Terhadap Fertilitas.

Jumlah semen yang biasanya diejakulasikan pada setiap koitus rata-


rata sekitar 3,5 mililiter, dan setiap mililiter semen mengandung rata-rata
120 juta sperma, walaupun bahkan pada pria "normal" jumlah ini dapat
bervariasi dari 35 juta sampai 200 juta. Hal ini berarti bahwa rata-rata total
dari 400 juta sperma biasanya terdapat di beberapa mililiter ejakulat di
setiap ejakulasi. Ketika jumlah sperma dalam setiap milimiter turun kira-
kira di bawah 20juta, orang tersebut sepertinya mengalami infertilitas.
Sehingga, walaupun hanya satu sperma yang diperlukan untuk membuahi
ovum, dengan alasan yang belum di-mengerti, ejakulasi biasanya hams
mengandung sejum-lah besar sperma agar hanya satu sperma yang
membuahi ovum. (Guyton, 2012)

II.3.15 Pengaruh Morfologi dan Motllitas Sperma Terhadap Fertilitas.

Kadang-kadang orang memiliki jumlah sperma yang normal tetapi


tetap infertil. Bila hal ini terjadi, kadang-kadang ditemui separuh dari
jumlah sperma yang memiliki kelainan fisik, seperti memiliki dua kepala,
bentuk kepala yang tidak normal, atau ekor yang tidak normal, seperti yang
tampak pada Gambar 80-5. Pada saat yang lain, sperma terlihat normal
secara struktural, tetapi dengan alasan yang tidak dimengerti, sperma
tersebut seluruhnya tidak motil atau relatif tidak motil. Bilamana sebagian
besar sperma secara morfo-logis mengalami kelainan atau tidak motil,
37

maka orang tersebut agaknya infertil, walaupun sisa sperma lainnya terlihat
normal. (Guyton, 2012)

II.3.16 Infertilitas pada Pria

Infertilitas yang didefinisikan sebagai gagalnya kehamilan setelah


melakukan hubungan seks teratur selam 6-12 bulan tanpa kontrasepsi
mengenai sekitar 15-20% pasangan suami -istri. Infertilitas disebabkan
oleh pihak pria hal ini disebabkan aoleh beragam penyakit. Hanya 30-50%
kasus yang diketahui penyebabnya, sisanya bersifat idiopatik. (Price &
willson, 2006).

Penyebab-penyebab infertilitas pria dibagi menjadi tiga kategoti


etiologi. Di bawah ini merupakan pembagian etiologinya.

a. Pra-Testis
Kausa ini mencakuppenyakit endokrin, misalnya gangguan hipotalamus
atau hipofisis, dengan kegagalan sekresi hormone gonadotropik yang
menyebabkan gangguan fungsi testis. Kausa lain mencakup keadaan
intensitivitas androgen, penyakit tiroid dan adrenal, serta beberapa obat
dapat menurunkan kadar FSH. (Price & willson, 2006).
b. Testis
Kausa dapat disebabkan oleh varikokel, trauma infeksi obat-obatan dan
toksin, kelainan kromosom dan kelainan perkembangan miasalnya
kriptorkismus. Kelainan kromososm menyebabkan sekitar 2% kasus
infertilitas pria dan sekitar 15% kasus azoospermia. (Price & willson,
2006).
c. Pasca Testis
Masalah yang paling sering dijumpai pada kausa ini adalah obstruksi
bilateral saluran keluar spermatozoa, yang menyebabkan ketiadaan
sperma dalam semen (azoospermia). Obstruksi menjadi penyebab
hingga 50% kasus infertilitas pria. Ketiadaan vas deferens bilateral
congenital, menyebabkan 1-2% kasus infertilitas pria dan sedikitnya
38

6% kasus azoospermia obstruktif, timbul akibat fibrosis kistik.


Ketiadaan vas deferens congenital dianggap sebagai bentuk fibrosis
kistik yang ringan. Penyakit lain yang menyababkankausa ini yaitu,
ejakulasi retrogad, tidak sekresi vesicular seminalis, anomaly
perkembangan, disfungsi seksual dan teknik koitus yang buruk (Price &
willson, 2006).

II.3.17 Kelainan fungsi sperma dan bentuk sperma

Betapa pentingnya fungsi sperma dalam sebuah proses kehamilan.


Sehingga kelainan pada sperma dapat mengakibatkan terganggunya fungsi
reproduksi pria. Penyebab yang banyak terjadi pada pria adalah :

1. Jumlah sperma
Cairan yang di keluarkan pria pada saat ejakulasi sewaktu
senggama disebut cairan semen. Volume normal cairan semen sekitar 2-
5 ml. Cairan semen ini berwarna putih mutiara dan berbau khas langu
dengan PH 7-8. Volume cairan semen di anggap rendah secara
abnormal jika kurang dari 1,5 ml. Volume semen melebihi 5ml juga di
anggap normal. (Guyton, 2012)
Dalam cairan semen inilah jumlah spermatozoa merupakan penentu
keberhasilan memperoleh keturunan. Yang normal, jumlah spermatozoa
sekitar 20 juta/ml. Pada pria di temukan kasus spermatozoa yang
kurang (oligzoospermia) atau bahkan tak di temukan sel sperma sama
sekali (azoosperma). Kecuali sel – sel spermatozoa, dalam cairan semen
ini terdapat zat-zat yang berasal dari kelenjar-kelenjar sekitar
reproduksi pria. Zat-zat itu bersuplai mensuplai makanan dan
mempertahankan kualitas spermatozoa sehingga bisa bertahan hidup
sampai kedalam saluran reproduksi wanita. (Guyton, 2012)
2. Kelainan sperma

Sperma yang normal bentuk seperti kecebong. Terdiri dari kepala,


tubuh dan ekor. Kelainan seperti kepala kecil atau tak memiliki ekor
akan mempengaruhi gerakan sperma.
39

Gambar 5. Struktur spermatozoa manusia (Guyton and Hall,


2007).

Epitel tubulus seminiferus dapat dihancurkan oleh sejumlah


penyakit. Contohnya, orkitis bilateral testis akibat parotitis
menyebabkan sterilitas pada sejumlah pria yang terkena. Orkitis yaitu
peradangan yang terjadi pada testis karena infeksi oleh virus dan
hematogen. Orkitis pada orang dewasa dapat menyebabkan infertilitas
dan kerusakan pada sel-sel leydig. Sebagian bayi pria juga lahir dengan
epitel tubulus yang berdegenerasi akibat struktur di duktus genitalia
atau akibat abnormalitas lainnya. Akhirnya, penyebab sterilitas lain,
yang biasanya berlangsung sementara, adalah suhu testis yang
berlebihan. (Guyton, 2012)

Gambar 6. Sperma infertil abnormal, dibandingkan dengan


sperma normal di sebelah kanan. (Guyton and Hall, 2007)

Pengaruh Morfologi dan Motilitas Sperma Terhadap Fertilitas.


Kadang-kadang orang memiliki jumlah sperma yang normal tetapi tetap
40

infertil. Bila hal ini terjadi, kadang-kadang ditemui separuh dari jumlah
sperma yang memiliki kelainan fisik, seperti memiliki dua kepala, bentuk
kepala yang tidak normal, atau ekor yang tidak normal. Pada saat yang
lain, sperma terlihat normal secara struktural, tetapi dengan alasan yang
tidak dimengerti, sperma tersebut seluruhnya tidak motil atau relatif tidak
motil. Bilamana sebagian besar sperma secara morfologis mengalami
kelainan atau tidak motil, maka orang tersebut agaknya infertil, walaupun
sisa sperma lainnya terlihat normal. (Guyton and Hall, 2012).

3. Pergerakan lemah
Untuk mencapai sel telur, sel sperma harus mampu melakukan
perjalanan panjang ini pun menentu terjadinya pembuahan. Jumlah sel
sperma yang cukup, jika tidak di barengi pergerakan yang normal,
membuat sel sperma tak akan mencapai sel telur. Sebaliknya kendati
jumlahnya sedikit namun pergerakannya cepat bisa mencapai sel telur.
Kasus lemahnya pergerakan sperma (asthenozoospermia) kerap di
jumpai. Adakalanya malah spermatozoa mati (noecrozoospermia).
Gerakan spermatozoa dibagi menjadi 4 kategori :
1. Bergerak cepat dan maju terus
2. Bergerak lambat dan sulit maju terus
3. Tidak bergerak maju ( bergerak di tempat )
4. Tak bergerak
Sperma dikatakan normal bila memiliki gerakan normal dengan
kategori A lebih besar atau sama dengan 25% atau kategori B lebih
besar atau sama dengan 50%, spermatozoa yang normal satu sama lain
terpisah dan bergerak sesuai arahnya masing-masing. Dalam keadaan
tertentu, spermatozoa abnormal bergerombol, berikatan satu sama lain,
dan tak bergerak, keadaan tersebut dikatakan sebagai algutinasi.
Aglutinasi dapat terjadi karena kelainan imunologis dimana sel telur
menolak sel sperma. (Guyton, 2012)

4. Cairan semen terlalu kental


41

Cairan semen yang terlalu kental mengakibatkan sel sperma sulit


bergerak. Pembuahan pun sulit terjadi sulit karena sel sperma tak
berhasil mencapai sel telur. Pada saat normal, saat diejakulasikan,
cairan semen dalam bentuk yang kental akan mencair ( liquifaksi )
antara 15 – 60 menit. (Guyton, 2012)
5. Saluran tersumbat
Saat ejakulasi, sperma keluar dari testis menuju penis melalui
saluran yang sangat halus. Jika saluran-saluran itu tersumbat, maka
sperma tak bisa keluar. Umumnya hal ini disebabkan trauma pada
benturan. Bisa juga karena kurang menjaga kebersihan alat kelamin
sehingga menyuburkan kehidupan virus atau bakteri. (Guyton, 2012)

6. Kerusakan testis
Testis dapat rusak karena virus dan berbagai infeksi, seperti
gondongan, gonorrhea, sifilis, dan sebagainya. Testis merupakan pabrik
sperma, oleh karena itu kesehatannya harus dijaga agar dapat
mengahsilkan sperma dengan kulalitas dan kuantitas yang baik.
(Guyton, 2012)
Testis ini sangat sensitif. Mudah sekali dipengaruhi oleh faktor-
faktor luar. Jika testis terganggu, produksi sperma bisa terganggu.
Mungkin saat berhubungan, pria tetap mengeluarkan sperma. Hanya
saja tanpa sel sperma (azoospermia) (Guyton, 2012).

7. Tidak terdapat sperma ( azoospermia )


Cairan semen tidak mengandung sperma. keadaan ini dapat
disebabkan oleh sumbatan atau kegagalan testis. Kelainan sperma ini
dapat dibagi menjadi 2 berdasarkan penyebabnya. Akibat ada sumbatan pada
saluran sperma atau testis tidak mampu (gagal) menghasilkan sel-sel sperma.
Untuk memastikan penyebabnya harus dilakukan dengan diagnosa yaitu
mengambil contoh sperma dari kelenjar epididimis atau dari testis. Contoh
sperma yang ada, sebagian akan disimpan untuk terapi lanjutan yang
dibutuhkan. Namun, pria dengan azoospermia tidak selalu mandul selama
testisnya tidak mengalami kerusakan dan masih dapat memproduksi sel-sel
42

sperma. Kecuali bila terjadi kerusakan fungsi dan organ sehingga tidak dapat
menghasilkan sel sperma lagi. Memang, pria azoospermia tidak mungkin
dapat menghamili pasangannya karena tidak ada “benih” yang dikeluarkan
saat berhubungan intim (Guyton and Hall, 2012).

II.4 Korelasi Klinis

1. Torsio Testis
Testis dapat berputar dalam kantong skrotum (torsio) akibat
perkembangan abnormal dari tunika vaginalis dan funikulus spermatikus
dalam masa perkembangan janin. Insersi abnormal yang tinggi dari tunika
vaginalis pada struktur funikulus akan mengakibatkan testis dapat bergerak
seperti anak genta di dalam genta, sehingga testis kurang melekat pada
tunika vaginalis viseralis. Testis yang demikian mudah memutir dan
memutar funikulus spermatikus. Jenis torso ini disebut sebagai torsio
funikulus spermatikus intravaginalis. Insidens tertinggi terdapat pada
remaja dan dewasa muda. Trauma dapat menjadi faktor penyebab pada
sekitar 50% pasien, torsio timbul ketika seseorang sedang tidur karena
spasme otot kremaster. Kontraksi otot ini karena testis kiri berputar
berlawanan dengan arah jarum jam dan testis kanan berputar dengan jarum
jam. Aliran darah terhenti, dan terbentuk edema; kedua keadaan tersebut
menyebabkan iskemia testis. (Price, 2012)

2. Gamet abnormal
Spermatozoa abnormal sering ditemukan, dan hampir 10% dari
semua spermatozoa memperlihatkan kecacatan. Kepala atau ekor mungkin
abnormal, spermatozoa mungkin berukuran raksasa atau cebol, dan
kadang-kadang dua spermatozoa menyatu. Sperma dengan kelainan
morfologi tidak memiliki kemampuan motilitas normal dan mungkin tidak
dapat membuahi oosit. (Sadler, 2010)
Jika telah terbentuk sempurna, spermatozoa masuk ke lumen
tubulus seminiferus. Dari sini, sel ini didorong ke arah epididimis oleh
43

elemen-elemen kontraktil di dinding tubulus seminiferus. Meskipun pada


awlnya hanya bergerak sedikit, spermatozoa memperoleh motilitas
penuhnya di epididimis. (Sadler, 2010)

3. Impotensi
Kelainan yang dialami oleh laki-laki yaitu suatu keadaan penis
yang tidak dapat melakukan ereksi, sehingga sulit untuk melakukan
kopulasi (fertilisasi). Biasanya impotensi disebabkan oleh faktor hormonal
yaitu terhambatnya fungsi hormon reproduksi, bisa juga disebabkan oleh
faktor psikologis atau emosional seseorang. (Price, 2012)
44

BAB III
PENUTUP

III.1 Simpulan
Pada spermatogenesis terdapat abnormalitas pada sperma.
Beberapa penyebab dari abnormalitas yaitu, jumlah sperma, kelainan
morfologi sperma, motilitas sperma lemah, viskositas semen, dan kerusakan
pada testis. Pada kelainan morfologi sperma seperti berkepala dua, berekor
ganda, tidak berekor, ekor yang melengkung, ekor yang pendek, dan bagian
kepala yang besar.

III.2 Saran
Seharusnya kita harus lebih mempelajari lebih dalam lagi
mengenai kelainan fungsi dan organ reproduksi pria yang diantaranya yaitu
kelainan fungsi seksual hubungannya dengan organ dan hormon reproduksi
pria, kelainan fungsi dan bentuk sperma hubungannya dengan proses
spermatogenesis dan faktor yang mempengaruhi dan korelasi klinis.
45

DAFTAR PUSTAKA

Guyton, Hall. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed 11. EGC. Jakarta.

Lesson, Paparo. Buku Ajar Histologi. Ed 5. EGC. Jakarta.

Price, SA dan Willson, LM. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit Volume 2. Ed 6. EGC. Jakarta.

Sadler, T.W. 2010. Langman Embriologi Kedokteran. Ed 12. EGC. Jakarta

Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. EGC. Jakarta.

Snell, R. 2006. Anatomi Klinik. EGC. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai