BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Cidera kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif–non konginetal yang terjadi akibat
ruda paksa mekanis eksteral yang menyebabkan kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan
psikososial baik sementara atau permanen, dan bisa juga mengakibatkan kelumpuhan sampai
kematian. Cidera kepala berat adalah cidera kepala dengan skala koma glassgow 3 – 8.(Giles dan
Memon, 2009).
2.1.2 Epidemiologi
Cidera kepala merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada usia muda di
berbagai Negara. Insiden cidera kepala meningkat secara tajam di seluruh dunia, hal ini terutama
Insiden bervariasi antara 67 sampai 317 per 100.000 individu dan rasio mortalitas berkisar antara
4% sampai 7% untuk cidera kepala sedang dan sekitar 50% pada cidera kepala berat (Brun Jr,
2003).
Terdapat sekitar 1,7 juta kasus cidera kepala setiap tahunnya di Amerika Serikat dimana
10% meninggal sebelum sampai rumah sakit, sisanya yang sampai rumah sakit 80% termasuk
cidera kepala ringan, 10% cidera kepala sedang dan 10% cidera kepala berat (CDC, 2010).
Kejadian cidera kepala berat di Indonesia berkisar antara 6% sampai 12% dari semua cidera
kepala dengan mortalitas berkisar antara 25 sampai 37% (Neurotrauma Team Surabaya, 2010).
11
Angka kejadian cidera kepala tertinggi adalah pada kelompok usia dewasa muda yang
berusia 15-24 tahun, dimana kejadian pada laki-laki 58% lebih banyak dibandingkan dengan
Berdasarkan morfologi, cidera kepala bisa dikelompokkan menjadi cidera fokal dan cidera difus
(David, 2009).
SCALP merupakan jaringan lunak yang melapisi tulang tengkorak, yang terdiri dari: kulit,
subkutis, epicranial aponeurosis, jaringan ikat longgar, dan perikranium. Cidera fokal pada
SCALP berupa abrasi dan laserasi yang bisa sebagai petunjuk tempat benturan dan
memperkirakan arah objek yang mengakibatkan cidera kepala. Laserasi pada SCALP bisa
menimbulkan perdarahan yang signifikan dan bisa sebagai jalur masuknya kuman yang
mengakibatkan infeksi.
Terjadinya fraktur pada tulang tengkorak menunjukkan daya yang besar yang mengenai kepala,
hal ini juga berhubungan dengan terjadinya cidera di intrakranial seperti terjadinya perdarahan
intrakranial. Fraktur pada tulang tengkorak bisa berupa fraktur linear, fraktur depressed, fraktur
Kontusio Otak
Memar (kontusio) pada otak sering terjadi akibat terjadinya laserasi pada membran pial, akibat
mekanisme coup dan kontra coup. Kontusio yang terjadi akibat mekanisme coup berhubungan
12
dengan adanya fraktur diatasnya. Sedangkan kontusio yang terjadi akibat mekanisme kontra
coup terjadi akibat gerakan kontinyu pada otak terhadap kavitas kranial, terutama setelah
deselerasi cepat. Kontusio kontra coup biasanya terjadi pada tulang tengkorak dengan permukaan
interna yang tidak teratur, seperti pada pole frontal, permukaan orbita pada lobus frontal, pole
Perdarahan Intrakranial
Hematoma Epidural
Hematoma epidural merupakan perdarahan di ruang potensial antara tabula interna dan
duramater, yang sering berhubungan dengan fraktur tulang kepala dan robekan dari arteri
meningea media. Hematom epidural menimbulkan gejala berupa nyeri kepala, muntah, kejang,
penurunan kesadaran, terjadinya lusid interval selama beberapa jam, kemudian terjadi defisit
Hematoma Subdural
Hematoma subdural merupakan hematoma yang terjadi pada ruang antara duramater dan
arachnoid, biasanya diakibatkan oleh robekan dari bridging vein. SDH berhubungan dengan
trauma akselerasi deselerasi cepat pada kepala. Perdarahan ini sering terjadi pada pasien usia tua,
yang diakibatkan oleh terjadinya atrofi otak sehingga meningkatkan kapasitas otak untuk
bergerak terhadap kavitas kranial. Hematoma subdural bisa dibedakan menjadi: perdarahan
subdural akut yang terjadi segera setelah trauma, perdarahan subdural subakut yang terjadi 1-2
minggu setelah trauma, dan perdarahan subdural kronik yang terjadi lebih dari dua minggu
Perdarahan Subarachnoid
13
Perdarahan subarachnoid sering terjadi pada pasien cidera kepala, terutama berhubungan dengan
subarachnoid massive terjadi di sekitar bagian ventral batang otak karena laserasi arteri vertebra,
arteri basilari atau arteri yang lebih kecil. Pasien yang mampu bertahan dengan perdarahan
Perdarahan Intraparenkim
Perdarahan parenkim dapat terjadi secara sekunder dari kontusio atau berhubungan dengan
diffuse axonal injury, dimana biasanya terjadi pada tempat yang dalam di basal ganglia, thalamus
Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular yang terjadi akibat trauma biasanya merupakan perdarahan sekunder
Difuse axonal injury merupakan kerusakan axon yang luas pada otak akibat dari trauma,
hypoksia, iskemia dan hipoglikemia. Mekanisme trauma yang mengakibatkan traumatic axonal
injury adalah mekanisme akselerasi deselerasi cepat pada kepala terutama akibat gerakan
rotasional dan koronal pada kepala. Traumatic axonal injury ditandai dengan kerusakan axon
dan perdarahan petekie, terutama pada corpus callosum, splenium, kuadran dorsolateral di atas
Beberapa pasien cidera kepala meninggal dengan cepat setelah perluasan perdarahan petekie
pada otak. Pasien tersebut tidak bisa bertahan lama untuk terjadinya perubahan axonal.
Edema Otak
Edema otak sering didapatkan pada pasien anak-anak dan dewasa muda dengan trauma kepala
yang signifikan. Edema ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti cidera otak primer,
perdarahan intrakranial, epilepsi, dan komplikasi sistemik seperti hipoksia, iskemia dan sepsis.
Setelah cidera kepala terjadi peningkatan volume darah di otak akibat vasodilatasi, kebocoran
cairan akibat sawar darah otak yang tidak kompeten (edema vasogenik) dan edema sel akibat
gangguan sistem saraf pusat (edema sitotoksik). Edema otak menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial dan mengurangi tekanan perfusi serebral, yang pada akhirnya mengakibatkan
kerusakan otak.
Patofisiologi cidera kepala dapat dikelompokkan menjadi fase cidera kepala primer dan fase
cidera kepala sekunder (ayman and Othman, 2013). Pembagian ini didasarkan pada kerusakan
otak yang terjadi akibat kekuatan fisik langsung saat trauma, yang kemudian diikuti oleh proses
patologis yang berkembang mengikuti trauma dan sebagian besar bersifat permanen.
Cidera kepala primer adalah cidera ireversibel sebagai akibat langsung dari efek mekanik pada
otak yang menimbulkan kontusio dan laserasi parenkim otak dan kerusakan akson pada
substantia alba hemisper otak hingga batang otak. Secara mikroskopis terjadi mikroperforasi
Kerusakan otak akibat cidera primer bisa terjadi melalui mekanisme benturan langsung,
akselerasi dan deselerasi cepat, objek yang menembus, atau akibat gelombang ledakan.
15
perdarahan. Pada benturan langsung, energi yang diserap oleh kepala menimbulkan kerusakan
otak superfisial, sering dengan fraktur depressed pada tulang tengkorak. Sedangkan mekanisme
akselerasi deserelasi cepat pada kepala dapat menimbulkan diffuse axonal injury ditandai dengan
lesi multiple pada white matter. Trauma ledakan masih merupakan suatu hal yang baru pada
cidera kepala yang ditandai dengan edema otak yang berat, perdarahan subarachnoid dan
Cidera kepala sekunder merupakan kerusakan otak yang bersifat progresif yang terjadi akibat
patologi yang berkembang mengikuti trauma. Proses sekunder terjadi beberapa jam sampai
beberapa hari setelah trauma, dimana mekanisme dan intensitas sistemik menentukan luasnya
Cidera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain kerusakan sawar
darah otak, gangguan aliran darah otak, gangguan metabolisme dan homeostatis ion sel otak,
gangguan hormonal, pengeluaran neurotransmitter dan reactive oxygen species, infeksi dan
asidosis. Secara garis besar cidera kepala sekunder pasca trauma diakibatkan oleh lesi massa,
pergeseran garis tengah, herniasi dan sebagai akibat iskemia otak. Iskemia serebri bisa
diakibatkan oleh penurunan tekanan perfusi serebral, hipotensi arterial, hipertensi intrakranial,
Respon inflamasi merupakan komponen penting pada cidera kepala. Proses inflamasi
terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan aktifasi substansi mediator yang
menyebabkan dilatasi pembuluh darah, penurunan aliran darah, dan peningkatan permeabilitas
kapiler. Hal ini menyebabkan akumulasi cairan (edema) dan leukosit pada daerah trauma. Sel
16
terbanyak yang berperan dalam respon inflamasi adalah sel fagosit, terutama sel leukosit
mati. Bila penyebab respon inflamasi berlangsung melebihi waktu ini, antara waktu 5-6 jam akan
terjadi infiltrasi sel leukosit mononuklear, makrofag, dan limfosit. Makrofag ini membantu
aktivitas sel PMN dalam proses fagositosis (Riahi, D. 2006). Walaupun respon inflamasi
berlebihan dapat merusak, hal ini tetap diperlukan untuk membersihkan debris seluler setelah
Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma sangat berperan dalam
terjadinya cidera sekunder. Pada tahap awal proses inflamasi, akan terjadi perlekatan netrofil
pada endotelium dengan beberapa molekul perekat Intra Cellular Adhesion Molecules-1 (ICAM-
1). Proses perlekatan ini mempunyai kecenderungan merusak karena mengurangi aliran dalam
mikrosirkulasi. Selain itu, netrofil juga melepaskan senyawa toksik (radikal bebas), atau
terjadinya cidera lebih lanjut. Makrofag juga mempunyai peranan penting sebagai sel radang
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab penting kematian dan morbiditas pada pasien-
pasien trauma, dan telah menjadi masalah sosio-ekonomi dan kesehatan masyarakat di seluruh
dunia. Kematian otak didefinisikan sebagai hilangnya fungsi otak irreversible secara
menyeluruh, termasuk fungsi batang otak. Tiga aspek yang ditemukan dalam kematian otak
adalah adanya koma dalam, hilangnya refleks batang otak, dan apnoea.
Terjadi penurunan angka kematian akibat cidera kepala berat dari 39% pada tahun 1984
menjadi sekitar 27% pada tahun 1996, berkurangnya angka kematian ini kemungkinan
diakibatkan oleh semakin cepat dan efektifnya penanganan gawat darurat yang mengakibatkan
menurunnya cidera kepala sekunder seperti hipoksia dan hipotensi dan semakin agrasifnya terapi
untuk mengendalikan tekanan perfusi otak (Lu J et al, 2005). Di Indonesia, insiden cidera kepala
berkisar antara 6 sampai 12% dari keseluruhan cidera kepala dengan angka mortalitas berkisar
Kematian pada kasus cidera kepala dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti derajat
keparahan cidera kepala, komorbiditas yang menyertai, maupun akibat komplikasi selama
perawatan di rumah sakit. Mortalitas yang terjadi 48 jam setelah trauma pada cidera kepala
biasanya berhubungan dengan derajat keparahan cidera kepala itu sendiri, sedangkan kematian
yang terjadi pada 14 hari atau lebih berhubungan dengan komplikasi perawatan di ICU, cidera
yang berhubungan (seperti pneumonia, emboli paru, sepsis, sindrom kegagalan multiorgan) dan
komorbiditas lainnya. Terlebih lagi, sepsis dan kegagalan organ multipel berkembang pada
mayoritas pasien yang mendapatkan ventilasi mekanik lebih dari 1 minggu di ICU.
Penelitian yang melibatkan 3125 pasien dengan cidera kepala berat, mendapatkan angka
kematian dalam 14 hari sebesar 23% (Roozenbeek et al, 2012). Angka tersebut tidak jauh beda
18
dengan beberapa penelitian serupa yang melibatkan 1948 pasien dengan cidera kepala berat,
dengan angka kematian dalam 14 hari pertama sebesar 19% (MRC CRASH Trial Collaborators,
2008).
Terdapat perbedaan antara otak laki-laki dan wanita dalam hal berat, neuronal density, dan
struktur otak. Beberapa studi menemukan bahwa volume hipotalamus dan white matter lebih
besar pada laki-laki, sedangkan pada wanita ditemukan cortical grey matter yang lebih banyak,
volume yang lebih besar pada regio yang berhubungan dengan fungsi bahasa, volume
Diperkirakan perbedaan struktur otak ini mengakibatkan perbedaan reaksi dan recovery setelah
mengalami cidera kepala antara laki-laki dan perempuan (Carne RP et al, 2006; Cosgrove KP,
2007).
pengaruh jenis kelamin terhadap mortalitas pasien cidera kepala. Jenis kelamin wanita
(khususnya yang berusia ≥ 55 tahun) berhubungan dengan peningkatan mortalitas pada cidera
kepala berat secara signifikan (Ottochian et al, 2009). Meningkatnya kematian pada wanita pos
menopause (usia diatas 55 tahun) setelah cidera kepala menunjukkan kemungkinan pengaruh
hormonal yang memerlukan penelitian lebih lanjut. Suatu penelitian kohort prospektif pada kasus
cidera kepala sedang dan berat menunjukkan wanita 1,75 kali lebih tingi meninggal sebagai
akibat langsung dari cidera kepala dibandingkan dengan laki-laki (Kraus et al, 2000). Penelitian
lain mengungkapkan hal sebaliknya, dimana jenis kelamin wanita berhubugan dengan
19
berkurangnya kematian dan komplikasi setelah mengalami cidera kepala sedang maupun berat
Beberapa penelitian lain telah melaporkan bahwa jenis kelamin wanita bukan merupakan
faktor resiko independen kematian di rumah sakit setelah cidera kepala (Kraus JF, 2000;Slewa-
younan et al, 2008). Penelitian oleh Leitgeb et al menunjukkan tidak ada perbedaan mortalitas
signifikan antara laki-laki dan perempuan pada kelompok cidera kepala. Kematian di rumah sakit
sebesar 36,9% pada wanita dan 32,5% pada laki-laki (Leitgeb et al,2011). Penelitian serupa oleh
Gao dan Jiang pada setting acute care menunjukkan kematian pada laki-laki dan perempuan
pada cidera kepala masing-masing sebesar 7,48% dan 7,22% (Gao & Yiang, 2012).
2.3.2 Usia
cidera kepala. Hal ini mengindikasikan berkurangnya kapasitas otak untuk perbaikan dan
Banyak literatur menyebutkan penderita cidera kepala usia anak-anak memiliki prognosis
lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa. Pada usia diatas 60 tahun outcome buruk adalah
87% sedangkan pada usia 40-60 tahun outcome buruk 56% (Jannet et al , 1981). Sebuah
penelitian yang melibatkan 5612 pasien menganalisa pengaruh usia terhadap pasien dengan
cidera kepala berat. Mereka menyimpulkan proporsi pasien meninggal dan dengan outcome yang
unfavourable meningkat seiring dengan peningkatsan usia, yaitu: 21% pada usia kurang dari 35
tahun, 39% pada pasien usia kurang dari 52 tahun, dan 74% pada usia diatas 55 tahun. Pada
studinya outcome yang buruk meningkat 40-50% setiap kenaikan 10 tahun usia (Hukkelhoven et
al, 2003). Penelitian lain juga menyimpulkan outcome yang tidak baik meningkat seiring
20
pertambahan usia, dimana outcome yang unfovourable sebesar 57% pada kelompok usia 41-60
tahun dan 78% pada kelompok usia diatas 60 tahun (Narayan et al, 1981).
Komorbid berupa gangguan jantung dan koagulopati telah diketahui sebagai faktor resiko
yang signifikan dalam meningkatkan mortalitas pada pasien usia tua dengan cidera kepala
(Thompson et al, 2012). Dengan bertambahnya usia, kapasitas autoregulasi berkurang yang
seperti percobaan pada binatang terjadi pemanjangan periode oedema otak akut, meningkatnya
permeabilitas sawar darah otak dan meningkatnya neurodegenerasi pada otak usia tua yang
mengalami trauma (Onyszchuk et al, 2008). Penelitian juga menemukan bahwa pasien usia tua
diterapi tidak seagresif pasien usia muda dengan cidera kepala (Munro et al, 2002). Selain itu
terjadinya atropi otak seiring dengan bertambahnya usia mengakibatkan jarak antara otak dengan
tulang tengkorak semakin bertambah yang mengakibatkan pembuluh darah dura lebih rentan
Masih terjadi kontroversi apakah waktu untuk dilakukan intervensi bedah saraf mempengaruhi
outcome pada pasien dengan cidera kepala berat. Sampai saat ini belum terdapat konsensus baku
mengenai waktu yang paling optimal untuk melakukan tindakan pembedahan, tetapi prinsip
umumnya adalah bahwa operasi harus dikerjakan sebelum terjadi defisit neurologi yang
ireversibel.
operasi untuk mendapatkan outcome terbaik. Pasien yang dilakukan intervensi pembedahan
dalam waktu kurang dari 200 menit setelah kedatangan di ruang emergensi memiliki angka
kematian di rumah sakit yang lebih rendah secara signifikan, dibandingkan yang dilakukan
21
operasi setelah 200 menit dengan perbandingan 34,5% berbanding 59,1% (Matsushima et al,
2015). Penelitian lain mengungkapkan hal sebaliknya, dimana operasi yang dilakukan kurang
dari 24 jam setelah kejadian memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan jika
operasi dilakukan setelah 24 jam (59% berbanding 53%) (Faleiro et al, 2008). Waktu operasi
secara signifikan mempengaruhi kematian di rumah sakit. Lebih khusus, jika operasi dilakukan
dalam waktu 4 jam setelah cidera kepala, kematian secara signifikan menurun. Evakuasi tepat
waktu hematoma akut dapat memberikan probabilitas kelangsungan hidup yang baik dari trauma
kepala (Young-Ju Kim,2006). Sehingga survival rate pada cidera kepala berat yang memerlukan
2.3.4 Hipotensi
Tekanan darah yang meningkat dengan nadi rendah pada pasien cidera kepala merupakan tanda
dari cushing respons, yaitu respons hemodinamik dari peningkatan tekanan intrakranial untuk
mempertahankan tekanan perfusi otak yang adekuat. Pada pasien dengan cidera kepala,
khususnya yang disertai trauma di bagian tubuh yang lain, aliran darah ke otak bisa menurun
sampai pada batas iskemik. Untuk mencegah kematian otak berikutnya (kematian otak
sekunder), aliran darah yang kaya oksigen harus diperbaiki. Tekanan perfusi otak sebesar 70-80
mmHg merupakan batas kritis, mortalitas meningkat sebanyak 20% setiap terjadi penurunan
tekanan perfusi otak sebanyak 10 mmHg. Tekanan perfusi otak yang tetap dijaga diatas 70
mmHg, mengakibatkan penuruan angka mortalitas sebanyak 35% pada pasien cidera kepala
Tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressure) dapat dipakai sebagai prediktor
outcome pasien dengan cidera kepala (Chestnut RM, 2012). Namun pengukuran tekanan perfusi
otak sulit dilakukan akibat tidak tersedianya alat ukur yang menunjang. Perfusi otak langsung
22
dipengaruhi oleh mean arterial pressure (MAP) yang umumnya memiliki nilai yang lebih dekat
dengan nilai tekanan darah diastolik daripada tekanan darah sistolik (Mohrman and Heller,
2006). Monitoring MAP memiliki beberapa keunggulan dibandingkan tekanan darah sistolik
pada pasien dengan cidera kepala, karena MAP merupakan tekanan pendorong sejati untuk aliran
darah perifer dan MAP tidak berubah ketika gelombang tekanan menurun, maupun oleh distorsi
pengobatan. Berdasarkan Brain Trauma Guidelines, tekanan darah yang rendah (tekanan darah
sistolik < 90 mmHg), khususnya yang disertai dengan hipoksia merupakan indikator outcome
yang buruk. Terjadinya episode hipotensi pada satu atau beberapa episode selama periode trauma
kepala sampai resusitasi berhubungan dengan meningkatnya mortalitas dua kali lipat dan
peningkatan morbiditas yang bermakna. Hipotensi merupakan salah satu dari 5 faktor prediktor
outcome cidera kepala paling kuat, dan satu-satunya yang bisa dilakukan modifikasi terapeutik
(Chesnut, 1993).
Berkurangnya tekanan darah, MAP, dan core temperature akan mengakibatkan iskemia
Hipoksia sistemik sering terdapat pada penderita-penderita dengan cidera kepala berat dan
mempunyai pengaruh terhadap prognosa. Hipoksia sistemik dapat terjadi karena apnea yang tiba-
tiba atau karena pola pernafasan abnormal lainnya, hipoventilasi karena cidera sumsum tulang
belakang atau obstruksi jalan nafas karena cidera kepala atau cidera leher, juga karena cidera
lansung pada dinding dada atau paru, atau oleh emboli lemak di sirkulasi pulmonal karena
Cidera kepala dapat memburuk secara signifikan oleh kejadian sekunder yang menyertai
trauma.Otak yang mengalami trauma sensitif terhadap iskemia, yang bisa diperburuk oleh
ketidakmampuan relatif otak dalam meningkatkan aliran darah otak sebagai respon terhadap
hipotensi, hypoksia, dan anemia. Aliran darah ke otak mengalami penurunan secara signifikan
setelah terjadi trauma, dan kerusakan otak akibat iskemia ditemukan terjadi pada 90% pasien
cidera kepala yang dilakukan autopsi (Graham et al, 1989). Sehingga menghindari iskemia
merupakan cara yang baik untuk meningkatkan outcome pasien dengan cidera kepala berat.
Kebanyakan penelitian observasional mendapatkan bahwa hipoksia dini (SpO2 < 90 atau
PaO2 < 60 mmHg) berhubungan dengan outcome yang buruk. Hipoksia prehospital secara
signifikan meningkatkan odds ratio mortality pada pasien yang mengalami cidera kepala sebesar
2,66 (p<0,05) (Chi JH et al, 2006). Penelitian lain menyebutkan hipoksia berhubungan dengan
kematian dini pasien dengan cidera kepala berat secara signifikan, dimana didapatkan pasien
cidera kepala berat dengan hipoksia mengalami kematian dini sebesar 76,9%. Penelitian oleh
Chesnut et al mendapatkan bahwa pasien dengan cidera kepala berat dengan hipoksia terjadi
kematian sebesar 28%, sedangkan pasien cidera kepala berat yang disertai hipoksia dan hipotensi
Mekanisme trauma yang hebat tidak hanya menyebabkan terjadinya cidera kepala yang berdiri
sendiri, tetapi sering kali disertai dengan trauma multiple di bagian tubuh yang lain. Trauma
multiple yang disertai dengan cidera kepala memiliki insiden lebih dari 60% (Feng et al, 2012).
Beberapa sistem skoring telah dikembangkan untuk menilai derajat keparahan pasien
trauma multipel. Salah satu sistem skoring yang sering digunakan saat ini adalah Injury Severity
24
Score (ISS score). Skor ISS merupakan skoring trauma berdasarkan anatomi yang
menggambarkan keseluruhan skor pada pasien dengan trauma multipel. Setiap trauma
ditempatkan ke dalam Abbreviated Injury Scale (AIS) pada masing-masing dari enam regio pada
tubuh (kepala, wajah, dada, abdomen, pelvis dan ekstremitas). Hanya tiga regio tubuh dengan
skor AIS tertinggi yang digunakan dalam menilai skor ISS. Ketiga skor tersebut selanjutnya
dikuadratkan dan diakumulasikan menjadi skor ISS, sehingga skor ISS memiliki rentangan
antara nol sampai dengan 75. Skor ISS merupakan salah satu skor anatomi yang berkorelasi
linear secara signifikan dengan morbiditas, mortalitas, dan lama perawatan pada pasien dengan
trauma.
dengan cidera kepala. Cidera kepala yang disertai dengan cidera ekstrakranial meningkatkan
predicted mortality rate menjadi dua kali lipat (McMahon GC et al, 1999). Terjadinya syok
karena perdarahan, gangguan jalan nafas dan gangguan respirasi akibat cidera pada thoraks
diketahui berkontribusi terhadap peningkatan rasio kematian pasien cidera kepala yang disertai
dengan trauma di bagian tubuh yang lain. Nothen et al menyimpulkan bahwa salah satu faktor
resiko yang terbukti sebagai prediktor kematian pada pasien dengan cidera kepala berat adalah
skor ISS. Penelitian lain mengungkapkan hal yang sama, yaitu: skor ISS merupakan salah satu
alat bantu penilaian trauma multiple yang berhubungan dengan outcome pasien dengan cidera
Terjadinya hyperthermia pada pasien dengan cidera kepala pada fase akut berhubungan dengan
outcome yang buruk terhadap pasien berupa perawatan ICU yang lebih lama, peningkatan
tekanan intrakranial, skor GCS yang lebih rendah, dan status fungsional yang lebih buruk (Natale
25
et al.,2000; Jiang et al, 2002; Stocchetti et al, 2002; Diringer et al, 2004). Pada cidera kepala,
pengeluaran metabolik yang pada akhirnya meningkatkan neuronal loss (Thompson et al, 2003).
Hipertermia pada pasien dengan cidera kepala dapat bersumber dari beberapa sumber
yang meliputi infeksi, reaksi obat, deep vein thrombosis, dan hipertermia sentral (Thompson et
al, 2003). Sebuah studi melaporkan bahwa 80% pasien dengan cidera kepala dengan kondisi
kritis mengalami peningkatan temperatur otak >38ºC pada 3 hari pertama setelah trauma (Childs
et al, 2005).
Hipertermia sentral yaitu hipertermia (temperature tubuh ≥ 38,3) yang sumbernya bukan
akibat dari infeksi maupun inflamasi. Sumber demam akibat infeksi dibuktikan dengan temuan
Diperkirakan bahwa kerusakan beberapa struktur di otak yang berhubungan dengan temperature
homeostasis pathway yang meliputi cutaneus thermal receptor, spinal cord, midbrain dan
hipotalamus sebagai penyebab hipertermia sentral.Hipertermia terjadi pada 23% pasien yang
dirawat di neurologic intensive care unit, 42% diantaranya berhubungan dengan infeksi dan 28%
tidak bisa diketahui penyebabnya yang menunjukkan sumber demam dari proses sentral
(Commichau et al, 2003). Penelitian lain menyebutkan bahwa 4-37% pasien yang bertahan
setelah mengalami cidera kepala mengalami sekuele berupa hipertermia sentral (Clinchot DM et
al, 1997).
Demam tinggi yang terjadi pada fase awal cidera kepala dapat meningkatkan resiko
2.3.8 Pneumonia
26
Infeksi merupakan salah satu penyebab penting kematian pasien trauma. Delapan puluh persen
kematian pada pasien trauma yang terjadi pada 3 hari sampai 3 minggu setelah trauma
berhubungan dengan infeksi. Nasokomial pneumonia merupakan infeksi yang sering terjadi pada
pasien trauma yang dirawat. Pneumonia menjadi penyebab mayor kematian pasien trauma,
sehingga identifikasi awal pasien dengan resiko tinggi dapat menurunkan morbiditas, mortalitas,
serta biaya perawatan. Faktor resiko pneumonia nasokomial pada pasien trauma antara lain:
penggunaan ventilator mekanik dalam jangka waktu lama, penggunaan nutrisi enteral secara
Pneumonia merupakan komplikasi non neurologi paling umum dari cidera kepala berat,
terjadi pada 40-65% pasien (Zygun D et al, 2005), dimana semakin rendah GCS semakin
meningkat resikonya (Heling TS et al, 1998). Pneumonia menyebabkan demam, hipotensi, dan
hipoksia yang mengakibatkan cidera kepala sekunder yang akan meningkatkan efek buruk
terhadap outcome. Pneumonia paling sering terjadi pada 5 hari pertama setelah terjadinya trauma
kepala (Bronchard et al, 2004), dan kuman penyebab tersering adalah Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenza, dan Streptococcus pneumonia (Zygun D et al, 2005). Faktor resiko
terjadinya pneumonia awitan dini adalah koloni bakteri di saluran nafas bagian atas, aspirasi, dan
pemberian thiopental. Nasal carrier Staphylococcus aureus memiliki resiko 5 kali lebih tinggi
untuk terjadinya pneumonia setelah cidera kepala berat, yang mengindikasikan aspirasi sekresi
orofaring pada pasien dengan penurunan kesadaran sering terjadi (Bronchard et al, 2004).
Late onset pneumonia terbentuk setelah 5 hari pasca cidera kepala yang biasanya
berhubungan dengan penggunaan ventilator (ventilator acquired pneumonia). Tipe kuman yang
mengakibatkan ventilator acquired pneumonia adalah organisme gram negatif dan bakteri yang
multiresisten (Croce et al, 1998). Pasien cidera kepala yang mendapatkan perawatan ICU
27
memiliki durasi penggunaan ventilator yang lebih lama, perawatan ICU yang panjang dan
terjadinya insiden multi organ failure yang lebih tinggi. Angka mortalitas secara keseluruhan
pada pasien dengan VAP yang dirawat di ICU secara umum adalah 24-75%.
Pupil yang tidak bereaksi dan dilatasi pupil pada pasien dengan cidera kepala berat, berhubungan
dengan prognosis yang buruk khususnya jika terjadi bilateral. Dilatasi pupil akut dan pupil yang
tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya bisa diakibatkan oleh herniasi uncal yang diakibatkan
oleh edema otak atau lesi masa yang menyebabkan penekanan pada nervus kranialis ketiga.
Penyebab dilatasi pupil lainnya adalah berkurangnya aliran darah ke batang otak bagian atas.
Abnormalitas fungsi pupil dapat memprediksikan outcome yang buruk setelah cidera kepala
berat. Pasien cidera kepala berat dengan reflek pupil abnormal berhubungan dengan outcome
yang unfavorable secara signifikan, dimana 46,87% pasien dengan refleks normal terjadi
outcome yang unfavorable dibandingkan dengan 66,67% pada pasien dengan dilatasi pupil
bilateral dan 75% pasien yang anisokor (Saini et al, 2012). Analisa multivariate 589 pasien
dengan cidera kepala menyimpulkan bahwa replek pupil abnormal berhubungan dengan
meningkatnya resiko kematian dalam 14 hari, mortalitas terjadi pada 59% (p< 0.001) pasien
dengan refleks pupil abnormal pada pasien cidera kepala berat (Tohme et al, 2014). Penelitian
lain menyebutkan bahwa salah satu parameter kuat yang berhubungan dengan mortalitas pasien
cidera kepala adalah absennya refleks pupil (81,3%, p< 0.001) (Rodriguez, 2013)
Dalam suatu tinjauan terhadap 153 penderita dewasa dengan herniasi transtentorial, hanya
18% yang mempunyai penyembuhan yang baik. Diantara penderita dengan pupil anisokor pada
waktu masuk dirawat dengan batang otak yang tidak cidera, 27% mencapai penyembuhan yang
28
baik, akan tetapi bila ditemukan pupil yang tak bergerak dan berdilatasi bilateral, secara
bermakna ditemukan hanya 3.5% yang sembuh. Penderita-penderita dengan pupil yang anisokor
yang mendapat penyembuhan baik cenderung berumur lebih muda, dan refleks-refleks batang
otak bagian atas yang tidak terganggu. Sone et al melaporkan 10 dari 40 (25%) penderita dengan
satu pupil berdilatasi ipsilateral terhadap suatu perdarahan subdural mencapai penyembuhan
fungsional. Seelig et almelaporkan hanya 6 dari 61 (10%) penderita dengan dilatasi pupil
ekstraokular dan refleks pupil yang negatif juga berhubungan dengan prognosa buruk
(Sastrodiningrat, 2006).
Sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974, GCS telah menjadi sistem klasifikasi yang
paling sering digunakan pada cidera kepala. GCS merupakan cara yang reliable dan universal
dalam menilai status kesadaran seseorang. GCS menilai respons mata, verbal dan motorik pasien
GCS dapat menjadi indikator outcome pasien dengan cidera kepala, dan banyak penelitian
mortalitas yang memasukkan komponen GCS sebagai faktor prediktor yang penting. Pada pasien
dengan cidera yang lebih berat, komponen motorik dari GCS memiliki predictive value yang
lebih besar, karena respons mata dan verbal biasanya absen pada pasien ini.
Beberapa penelitian menyimpulkan skor GCS saat kedatangan merupakan prediktor yang
reliable terhadap outcome pasien cidera kepala berat. Sebanyak 78,05% pasien dengan GCS 3-4
terjadi outcome yang unfavorable dibandingkan dengan 52,63% pasien GCS 5-6 dan 26% pasien
dengan GCS 7-8 (Saini et al, 2012). Penelitian lain mendapatkan positive predictive value
mortalitas pada pasien dengan cidera kepala berat sebesar 86% untuk GCS ≤4 (petroni et al,
29
2010). Penelitian serupa menyimpulkan bahwa pasien dengan GCS ≤ 5 atau komponen motorik
dari GCS ≤ 3 memiliki probabilitas mortalitas daripada pasien dengan GCS > 5 dan motorik > 3
(p < 0,01) ( Ting et al, 2010). Begitu pula penelitian oleh Mizraji et al menyimpulkan pasien
cidera kepala dengan GCS ≤ 8 memiliki rasio mortalitas global sebesar 56% dan menyimpulkan
bahwa GCS follow up merupakan alat yang bagus untuk memprediksi outcome brain death
Meningkatnya penggunaan sedasi, intubasi dan ventilasi telah mengurangi peranan GCS dalam
menilai derajat keparahan cidera kepala. Sebagai alternatif, temuan morfologi pada CT scan
dapat digunakan untuk mengelompokkan berbagai jenis cidera kepala. CT scan kepala
merupakan modalitas imaging pilihan pada kasus trauma, karena dapat memperlihatkan lesi yang
memerlukan tindakan segera sehingga dapat membantu dalam membuat keputusan klinis yang
antara lesi fokal (extradural hematoma, subdural hematoma, intracerebral hematom, contusion
Temuan awal pada computed tomography penting dalam memperkirakan prognosa cidera
kepala berat. Pemeriksaan CT scan awal menunjukkan adanya kelainan pada 90% pasien dengan
cidera kepala berat (Murray et al, 1999). Prognosis pasien dengan cidera kepala berat dengan CT
scan yang abnormal lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang tanpa kelainan pada CT scan.
Pasien dengan gambaran CT scan normal, outcome lebih berkaitan dengan kelainan ekstra
kranial yang menyertainya. Tidak adanya kelainan pada CT scan awal tidak menyingkirkan
terjadinya peningkatan tekanan intra kranial, dan lesi baru yang signifikan bisa terbentuk pada
30
40% pasien. Gambaran CT scan yang abnormal memiliki positive predictive value terhadap
outcome sebesar 77-78% pada pasien dengan cidera kepala berat (Van Dongen et al, 1983)
Temuan pada CT scan yang sering dipakai dalam memprediksi outcome antara lain: ada
tidaknya midline shift, derajat midline shift, status sisterna basal, adanya perdarahan
intraventrikular (IVH), adanya perdarahan subarachnoid (SAH), serta keberadaan dan tipe lesi
masa. Adanya SAH, lesi intradural dan tertekannya sisterna basal merupakan salah satu kriteria
yang penting dalam memprediksi mortalitas dari cidera kepala. Adanya midline shift juga
berkorelasi dengan outcome walaupun hal ini berhubungan dengan temuan CT scan yang lain.
Parameter CT scan memiliki kekuatan korelasi ketiga setelah usia dan skor motorik dalam
Pasien dengan difuse injury memiliki prognosis intermediate dibandingkan dengan pasien
dengan epidural dan subdural hematoma. Penderita-penderita dengan DAI , mungkin hanya
mendapat sedikit perdarahan kortikal atau terdapat edema difus atau CT Scan yang benar-benar
normal tetapi menjadi berat penyakitnya. Disamping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif
untuk lesi dibatang otak karena kecilnya struktur area yang cidera dan dekatnya struktur tersebut
dengan tulang disekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk.
Terdapatnya hematoma intraserebral yang harus dioperasi berhubungan dengan prognosa yang
lebih buruk sama halnya bila sisterna basal tidak tampak atau adanya kompresi terhadap sisterna
basal. Lesi masa terutama hematoma subdural dan hematoma intraserebral berhubungan dengan
hubungan usia yang penting antara temuan radiografik dan outcome. Meningkatnya usia
biasanya berhubungan dengan meningkatnya frekuensi dan ukuran lesi (terutama hematoma
subdural) ,midline shift yang lebih jauh, lebih sering terjadi kompresi terhadap sisterna basal dan
31
mempunyai outcome yang buruk. Pada usia diantara 16 – 25 tahun 50% akan menjadi vegetatif
atau meninggal dan mereka yang berusia lebih dari 55 tahun 90% akan menjadi vegetatif atau
Midline shift didefinisikan sebagai jarak absolut antara struktur otak di garis tengan dengan garis
tengah. Kebanyakan peneliti menggambarkan midline shift sebagai jarak antara septum
pelucidum dengan garis tengah, sedangkan Ross et al (1989) mendeskripsikan sebagai jarak
antara glandula pineal dengan aquaductus. Midline shift merupakan kejadian yang relatif sering
terjadi pada pasien dengan cidera kepala berat. Ditemukannya midline shift mengindikasikan
Beberapa peneliti mengungkapkan peranan midline shift dalam menilai outcome pasien
cidera kepala. Midline shift merupakan salah satu prediktor mortalitas yang signifikan pada
pasien dengan cidera kepala (Maas et al, 2005). Penelitian yang melibatkan 216 kasus cidera
kepala mendapatkan korelasi yang signifikan antara derajat midline shift dengan outcome akhir
yang buruk (Chiewvit et al, 2010). Penelitian serupa yang melibatkan 605 pasien cidera kepala
sedang dan berat mendapatkan bahwa midline shift merupakan prediktor outcome yang
Kebanyakan peneliti tidak menggunakan cut off tertentu dalam menilai pengaruh derajat
midline shift terhadap outcome, tetapi peranan midline shift menunjukkan suatu variable yang
kontinyu terhadap outcome (Nelson et al, 2010). Beberapa peneliti memakai cut off tertentu
dalam menilai hubungan derajat midline shift dengan outcome. Terjadi peningkatan mortalitas
dengan meningkatnya derajat midline shift, dengan mortalitas mencapai 61,9% pada pasien
32
dengan midline shift lebih dari 5 mm (Saini et al, 2012). Penelitian serupa juga mendapatkan
bahwa midline shift lebih dari 5 mm memiliki korelasi signifikan dalam menentukan mortalitas
pasien dengan cidera kepala berat, dengan mortalitas mencapai 89,3% (Tjahjadi et al, 2013).
Peranan midline shift dalam menilai prognosis sebaiknya dikaitkan dengan temuan CT
scan lainnya, karena derajat midline shift juga dipengaruhi oleh lokasi lesi intrakranial dan
adanya lesi abnormal yang bilateral. Disamping itu, adanya midline shift dan besarnya midline
shift dapat berubah secara signifikan setelah dilakukan evakuasi lesi massa.
Sisterna basal merupakan salah satu bagian dari cisterna subarachnoid, yang merupakan kavitas
lebar yang terletak diantara dua lobus temporalis di anterior dan menutupi cerebral peduncle
begitu juga dengan struktur yang terletak di dalam interpeduncular fossa. Struktur ini berlanjut
ke anterior dengan cisterna suprasela. Sisterna basal terdapat nervus okulomotor dan arteri
Kompresi pada sisterna basal atau sisterna basal yang tidak terlihat pada CT scan kepala
terhadap sisterna basal atau pada CT scan tidak tampak sisterna basal juga merupakan prediksi
outcome yang buruk setelah cidera kepala berat. Kompresi sisterna basal merupakan variable
paling dominan dalam prediktor kematian dini pada cidera kepala berat (Tjahjadi et al, 2013).
Outcome yang buruk terjadi pada 85% dari penderita dimana sisterna basal tidak tampak pada
pemeriksaan CT scan awal, 65% terjadi pada penderita dengan kompresi terhadap sisterna basal
dan 44% terjadi pada penderita dengan sisterna basal yang normal, terlepas dari ada atau
tidaknya hematoma intrakranial. Rasio mortalitas pada pasien dengan sisterna basal tidak tampak
33
adalah sebesar 77%, 39% pada cisterna basal yang terkompresi, dan 22% jika sisterna basal
Traumatic subarachnoid hemorrhage (tSAH) adalah adanya darah di ruang subarakhnoid baik
pada konveksitas otak maupun pada sisterna-sisterna basal. Traumatic subdural hemorrhage
merupakan kejadian yang sering terjadi pada cidera kepala berat, yaitu sebesar 23-63%
(Kakarieka A, 1997).
Adanya tSAH pada CT scan awal adalah faktor independen yang bermakna didalam
menentukan prognosa. Traumatic SAH bersama-sama dengan obliterasi parsial sisterna basal dan
midline shift berhubungan erat dengan outcome yang buruk pada pasien dengan cidera kepala
(Maas et al, 2007). Pasien-pasien cidera kepala dengan gambaran tSAH pada CT scan awal
menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi dan outcome yang unfavorable dalam 6 bulan secara
Mekanisme bagaimana tSAH menimbulkan outcome yang buruk masih belum dapat
dipahami dengan baik. Beberapa peneliti mempercayai bahwa outcome yang buruk pada tSAH
merupakan bagian dari cidera kepala berat (Chang et al, 2006). Sedangkan penelitian yang lain
berpendapat bahwa tSAH menimbulkan outcome yang buruk karena tSAH menginduksi
terjadinya vasospasme dan iskemia otak sekunder (Taneda et al, 1996 & Zurynski YA, 1998).
Pernyataan ini didukung oleh penelitian pada 52 pasien dengan tSAH yang menyimpulkan
bahwa tSAH berhubungan dengan tingginya insiden vasospasme serebri dengan probabilitas dan
keparahan yang lebih tinggi pada pasien dengan cidera kepala yang lebih berat (Aminmansour et
al, 2009).
Lesi intrakranial dibedakan menjadi lesi intraserebral dan lesi ekstraserebral. Lesi ekstraserebral
pada fase akut setelah cidera kepala terdiri dari hematoma epidural dan hematoma subdural akut.
Mengidentifikasi adanya lesi-lesi tersebut penting untuk manajemen, selain itu penting dalam
mengukur derajat kerusakan primer dengan menentukan jumlah lesi, tipe lesi, ukuran, lokasi, dan
Pasien dengan hematoma epidural murni memiliki outcome yang baik pada 70% kasus
dibandingkan dengan 44% pasien yang disertai lesi intraserebral lainnya (Haselberger et al,
1988). Dengan meningkatnya diagnosis dan penanganan bedah saraf angka mortalitas epidural
hematom terus mengalami penurunan. Mortalitas EDH murni berkisar antara 2 sampai 4,8%
Mortalitas pada SDH akut yang disertai lesi lain yang berhubungan lebih tinggi jika
dibandingkan dengan SDH tanpa disertai lesi lainnya. Mortalitas sebesar 85% untuk hematoma
subdural akut dengan kontusio unilateral yang berhubungan adalah sebesar 85% , dan 17% pada
35
yang tanpa disertai lesi tersebut (Kotwica and Brzezinski, 1993). Sebuah penelitian yang
melibatkan 738 pasien dengan cidera kepala berat mendapatkan angka mortalitas SDH sebesar
Mortalitas pasien-pasien cidera kepala berat dengan hematoma epidural lebih rendah
dibandingkan dengan pasien dengan hematoma subdural akut. Positive predictive value sebesar
77% untuk outcome yang unfavorable pada pasien-pasien cidera kepala berat dimana terdapat
lesi massa dan dilakukan evakuasi, sedangkan lesi massa yang tidak dievakuasi memiliki PPV
outcome yang unfavorable sebesar 89% (Marshall, 1991, Hatashita 1993, Kotwica 1993).
Terdapat korelasi positif antara volume hematoma epidural, hematoma subdural akut, dan
lesi intraparenkim dengan outcome. Outcome yang buruk terjadi pada 20% pasien dengan
hematoma epidural < 150 cc berbanding 58% jika volumenya > 150 cc (Lobato at al, 1988).
Penelitian lain yang melakukan analisa pasien koma dengan hematoma subdural akut
mendapatkan rasio survival sebesar 50% jika ketebalan hematoma ≤ 18 mm, dengan PPV
terhadap mortalitas sebesar 70% terjadi jika ketebalan hematoma sekitar 23 mm (Zumkelar et al,
1996).
Pada pasien dengan lesi intraparenkim, adanya lesi multiple berhubungan dengan
outcome yang lebih buruk. Studi retrospektif terhadap 202 pasien, menggambarkan korelasi
langsung antara jumlah lesi intraserebral dengan outcome. Pasien dengan satu buah hematoma,
58% terjadi outcome yang favorable, dua hematoma outcome yang favorable sebesar 20%, tidak
terdapat outcome yang favorable pada pasien dengan hematoma lebih dari dua (Choksey et al,
1993).
2.4 Validitas
36
Validitas merupakan penilaian terhadap ketepatan dan kecermatan suatu alat pengukur
dalam melakukan fungsi ukurnya. Instrumen yang memiliki validitas tinggi menunjukkan
instrumen tersebut mampu melakukan fungsi ukur dengan tepat dan memberikan hasil ukur yang
sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Atau dengan kata lain, pengukuran
tersebut merupakan besaran yang menunjukkan secara tepat fakta dan keadaan sesungguhnya
Kurva ROC meghubungkan true positive (sensitivitas) dan false positive probabilitas yang
dihasilkan oleh suatu model pengukuran. Daerah di bawah kurva (AUC) berkisar mulai 0,5, yang
berarti model tidak memiliki kemampuan diskriminasi, hingga1,0 (diskriminasi yang sempurna).