Anda di halaman 1dari 27

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cidera Kepala

2.1.1 Definisi Cidera Kepala

Cidera kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif–non konginetal yang terjadi akibat

ruda paksa mekanis eksteral yang menyebabkan kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan

psikososial baik sementara atau permanen, dan bisa juga mengakibatkan kelumpuhan sampai

kematian. Cidera kepala berat adalah cidera kepala dengan skala koma glassgow 3 – 8.(Giles dan

Memon, 2009).

2.1.2 Epidemiologi

Cidera kepala merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada usia muda di

berbagai Negara. Insiden cidera kepala meningkat secara tajam di seluruh dunia, hal ini terutama

diakibatkan oleh meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di negara-negara berkembang.

Insiden bervariasi antara 67 sampai 317 per 100.000 individu dan rasio mortalitas berkisar antara

4% sampai 7% untuk cidera kepala sedang dan sekitar 50% pada cidera kepala berat (Brun Jr,

2003).

Terdapat sekitar 1,7 juta kasus cidera kepala setiap tahunnya di Amerika Serikat dimana

10% meninggal sebelum sampai rumah sakit, sisanya yang sampai rumah sakit 80% termasuk

cidera kepala ringan, 10% cidera kepala sedang dan 10% cidera kepala berat (CDC, 2010).

Kejadian cidera kepala berat di Indonesia berkisar antara 6% sampai 12% dari semua cidera

kepala dengan mortalitas berkisar antara 25 sampai 37% (Neurotrauma Team Surabaya, 2010).
11

Angka kejadian cidera kepala tertinggi adalah pada kelompok usia dewasa muda yang

berusia 15-24 tahun, dimana kejadian pada laki-laki 58% lebih banyak dibandingkan dengan

wanita (Rowland et al, 2010)

2.1.3 Morfologi Cidera Kepala

Berdasarkan morfologi, cidera kepala bisa dikelompokkan menjadi cidera fokal dan cidera difus

(David, 2009).

2.1.3.1 Cidera Fokal

Cidera pada SCALP

SCALP merupakan jaringan lunak yang melapisi tulang tengkorak, yang terdiri dari: kulit,

subkutis, epicranial aponeurosis, jaringan ikat longgar, dan perikranium. Cidera fokal pada

SCALP berupa abrasi dan laserasi yang bisa sebagai petunjuk tempat benturan dan

memperkirakan arah objek yang mengakibatkan cidera kepala. Laserasi pada SCALP bisa

menimbulkan perdarahan yang signifikan dan bisa sebagai jalur masuknya kuman yang

mengakibatkan infeksi.

Fraktur Tulang Tengkorak

Terjadinya fraktur pada tulang tengkorak menunjukkan daya yang besar yang mengenai kepala,

hal ini juga berhubungan dengan terjadinya cidera di intrakranial seperti terjadinya perdarahan

intrakranial. Fraktur pada tulang tengkorak bisa berupa fraktur linear, fraktur depressed, fraktur

kominutive, fraktur diastasis dan fraktur pada dasar tengkorak.

Kontusio Otak

Memar (kontusio) pada otak sering terjadi akibat terjadinya laserasi pada membran pial, akibat

mekanisme coup dan kontra coup. Kontusio yang terjadi akibat mekanisme coup berhubungan
12

dengan adanya fraktur diatasnya. Sedangkan kontusio yang terjadi akibat mekanisme kontra

coup terjadi akibat gerakan kontinyu pada otak terhadap kavitas kranial, terutama setelah

deselerasi cepat. Kontusio kontra coup biasanya terjadi pada tulang tengkorak dengan permukaan

interna yang tidak teratur, seperti pada pole frontal, permukaan orbita pada lobus frontal, pole

temporal dan permukaan lateral lobus temporal.

Perdarahan Intrakranial

Hematoma Epidural

Hematoma epidural merupakan perdarahan di ruang potensial antara tabula interna dan

duramater, yang sering berhubungan dengan fraktur tulang kepala dan robekan dari arteri

meningea media. Hematom epidural menimbulkan gejala berupa nyeri kepala, muntah, kejang,

penurunan kesadaran, terjadinya lusid interval selama beberapa jam, kemudian terjadi defisit

neurologis berupa hemiparesis kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral.

Hematoma Subdural

Hematoma subdural merupakan hematoma yang terjadi pada ruang antara duramater dan

arachnoid, biasanya diakibatkan oleh robekan dari bridging vein. SDH berhubungan dengan

trauma akselerasi deselerasi cepat pada kepala. Perdarahan ini sering terjadi pada pasien usia tua,

yang diakibatkan oleh terjadinya atrofi otak sehingga meningkatkan kapasitas otak untuk

bergerak terhadap kavitas kranial. Hematoma subdural bisa dibedakan menjadi: perdarahan

subdural akut yang terjadi segera setelah trauma, perdarahan subdural subakut yang terjadi 1-2

minggu setelah trauma, dan perdarahan subdural kronik yang terjadi lebih dari dua minggu

setelah trauma kepala.

Perdarahan Subarachnoid
13

Perdarahan subarachnoid sering terjadi pada pasien cidera kepala, terutama berhubungan dengan

terjadinya laserasi, kontusio otak, dan komplikasi perdarahan intraventrikular. Perdarahan

subarachnoid massive terjadi di sekitar bagian ventral batang otak karena laserasi arteri vertebra,

arteri basilari atau arteri yang lebih kecil. Pasien yang mampu bertahan dengan perdarahan

subarachnoid yang signifikan akan meningkatkan kemungkinan terjadinya hidrosefalus.

Perdarahan Intraparenkim

Perdarahan parenkim dapat terjadi secara sekunder dari kontusio atau berhubungan dengan

diffuse axonal injury, dimana biasanya terjadi pada tempat yang dalam di basal ganglia, thalamus

dan jaringan parasagital.

Perdarahan Intraventrikular

Perdarahan intraventrikular yang terjadi akibat trauma biasanya merupakan perdarahan sekunder

dari perdarahan di daerah basal ganglia dan kontusio.

2.1.3.2 Cidera Difus

Traumatic Axonal Injury

Difuse axonal injury merupakan kerusakan axon yang luas pada otak akibat dari trauma,

hypoksia, iskemia dan hipoglikemia. Mekanisme trauma yang mengakibatkan traumatic axonal

injury adalah mekanisme akselerasi deselerasi cepat pada kepala terutama akibat gerakan

rotasional dan koronal pada kepala. Traumatic axonal injury ditandai dengan kerusakan axon

dan perdarahan petekie, terutama pada corpus callosum, splenium, kuadran dorsolateral di atas

batang otak, dan pada pedunkel cerebelar superior.

Difuse Vascular Injury


14

Beberapa pasien cidera kepala meninggal dengan cepat setelah perluasan perdarahan petekie

pada otak. Pasien tersebut tidak bisa bertahan lama untuk terjadinya perubahan axonal.

Edema Otak

Edema otak sering didapatkan pada pasien anak-anak dan dewasa muda dengan trauma kepala

yang signifikan. Edema ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti cidera otak primer,

perdarahan intrakranial, epilepsi, dan komplikasi sistemik seperti hipoksia, iskemia dan sepsis.

Setelah cidera kepala terjadi peningkatan volume darah di otak akibat vasodilatasi, kebocoran

cairan akibat sawar darah otak yang tidak kompeten (edema vasogenik) dan edema sel akibat

gangguan sistem saraf pusat (edema sitotoksik). Edema otak menyebabkan peningkatan tekanan

intrakranial dan mengurangi tekanan perfusi serebral, yang pada akhirnya mengakibatkan

kerusakan otak.

2.1.4 Patofisiologi Cidera Kepala

Patofisiologi cidera kepala dapat dikelompokkan menjadi fase cidera kepala primer dan fase

cidera kepala sekunder (ayman and Othman, 2013). Pembagian ini didasarkan pada kerusakan

otak yang terjadi akibat kekuatan fisik langsung saat trauma, yang kemudian diikuti oleh proses

patologis yang berkembang mengikuti trauma dan sebagian besar bersifat permanen.

2.1.4.1 Cidera Kepala Primer

Cidera kepala primer adalah cidera ireversibel sebagai akibat langsung dari efek mekanik pada

otak yang menimbulkan kontusio dan laserasi parenkim otak dan kerusakan akson pada

substantia alba hemisper otak hingga batang otak. Secara mikroskopis terjadi mikroperforasi

membrane, kebocoran ion channel, dan perubahan stearat pada protein.

Kerusakan otak akibat cidera primer bisa terjadi melalui mekanisme benturan langsung,

akselerasi dan deselerasi cepat, objek yang menembus, atau akibat gelombang ledakan.
15

Tingginya gesekan, dapat menimbulkan robekan pembuluh darah yang mengakibatkan

perdarahan. Pada benturan langsung, energi yang diserap oleh kepala menimbulkan kerusakan

otak superfisial, sering dengan fraktur depressed pada tulang tengkorak. Sedangkan mekanisme

akselerasi deserelasi cepat pada kepala dapat menimbulkan diffuse axonal injury ditandai dengan

lesi multiple pada white matter. Trauma ledakan masih merupakan suatu hal yang baru pada

cidera kepala yang ditandai dengan edema otak yang berat, perdarahan subarachnoid dan

vasospasme (Andrew et al, 2008).

2.1.4.2 Cidera Kepala Sekunder

Cidera kepala sekunder merupakan kerusakan otak yang bersifat progresif yang terjadi akibat

patologi yang berkembang mengikuti trauma. Proses sekunder terjadi beberapa jam sampai

beberapa hari setelah trauma, dimana mekanisme dan intensitas sistemik menentukan luasnya

kerusakan otak sekunder.

Cidera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain kerusakan sawar

darah otak, gangguan aliran darah otak, gangguan metabolisme dan homeostatis ion sel otak,

gangguan hormonal, pengeluaran neurotransmitter dan reactive oxygen species, infeksi dan

asidosis. Secara garis besar cidera kepala sekunder pasca trauma diakibatkan oleh lesi massa,

pergeseran garis tengah, herniasi dan sebagai akibat iskemia otak. Iskemia serebri bisa

diakibatkan oleh penurunan tekanan perfusi serebral, hipotensi arterial, hipertensi intrakranial,

hiperpireksia, infeksi, hipokalsemia, anemia, hipotensi, spasme serebri dan kejang.

Respon inflamasi merupakan komponen penting pada cidera kepala. Proses inflamasi

terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan aktifasi substansi mediator yang

menyebabkan dilatasi pembuluh darah, penurunan aliran darah, dan peningkatan permeabilitas

kapiler. Hal ini menyebabkan akumulasi cairan (edema) dan leukosit pada daerah trauma. Sel
16

terbanyak yang berperan dalam respon inflamasi adalah sel fagosit, terutama sel leukosit

Polymorphonuclear (PMN), yang terakumulasi dalam 30 - 60 menit yang memfagosit jaringan

mati. Bila penyebab respon inflamasi berlangsung melebihi waktu ini, antara waktu 5-6 jam akan

terjadi infiltrasi sel leukosit mononuklear, makrofag, dan limfosit. Makrofag ini membantu

aktivitas sel PMN dalam proses fagositosis (Riahi, D. 2006). Walaupun respon inflamasi

berlebihan dapat merusak, hal ini tetap diperlukan untuk membersihkan debris seluler setelah

trauma dan juga merangsang regenerasi.

Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma sangat berperan dalam

terjadinya cidera sekunder. Pada tahap awal proses inflamasi, akan terjadi perlekatan netrofil

pada endotelium dengan beberapa molekul perekat Intra Cellular Adhesion Molecules-1 (ICAM-

1). Proses perlekatan ini mempunyai kecenderungan merusak karena mengurangi aliran dalam

mikrosirkulasi. Selain itu, netrofil juga melepaskan senyawa toksik (radikal bebas), atau

mediator lainnya (prostaglandin, leukotrin) di mana senyawa-senyawa ini akan memacu

terjadinya cidera lebih lanjut. Makrofag juga mempunyai peranan penting sebagai sel radang

dominan pada cidera otak (Hergenroeder, G.W. et al. 2010).

Gambar 2.1. Patofisiologi cidera kepala


17

2.2 Mortalitas Pada Cidera Kepala

Cidera kepala merupakan salah satu penyebab penting kematian dan morbiditas pada pasien-

pasien trauma, dan telah menjadi masalah sosio-ekonomi dan kesehatan masyarakat di seluruh

dunia. Kematian otak didefinisikan sebagai hilangnya fungsi otak irreversible secara

menyeluruh, termasuk fungsi batang otak. Tiga aspek yang ditemukan dalam kematian otak

adalah adanya koma dalam, hilangnya refleks batang otak, dan apnoea.

Terjadi penurunan angka kematian akibat cidera kepala berat dari 39% pada tahun 1984

menjadi sekitar 27% pada tahun 1996, berkurangnya angka kematian ini kemungkinan

diakibatkan oleh semakin cepat dan efektifnya penanganan gawat darurat yang mengakibatkan

menurunnya cidera kepala sekunder seperti hipoksia dan hipotensi dan semakin agrasifnya terapi

untuk mengendalikan tekanan perfusi otak (Lu J et al, 2005). Di Indonesia, insiden cidera kepala

berkisar antara 6 sampai 12% dari keseluruhan cidera kepala dengan angka mortalitas berkisar

antara 25 sampai 37% (Neurotrauma Team Surabaya, 2010).

Kematian pada kasus cidera kepala dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti derajat

keparahan cidera kepala, komorbiditas yang menyertai, maupun akibat komplikasi selama

perawatan di rumah sakit. Mortalitas yang terjadi 48 jam setelah trauma pada cidera kepala

biasanya berhubungan dengan derajat keparahan cidera kepala itu sendiri, sedangkan kematian

yang terjadi pada 14 hari atau lebih berhubungan dengan komplikasi perawatan di ICU, cidera

yang berhubungan (seperti pneumonia, emboli paru, sepsis, sindrom kegagalan multiorgan) dan

komorbiditas lainnya. Terlebih lagi, sepsis dan kegagalan organ multipel berkembang pada

mayoritas pasien yang mendapatkan ventilasi mekanik lebih dari 1 minggu di ICU.

Penelitian yang melibatkan 3125 pasien dengan cidera kepala berat, mendapatkan angka

kematian dalam 14 hari sebesar 23% (Roozenbeek et al, 2012). Angka tersebut tidak jauh beda
18

dengan beberapa penelitian serupa yang melibatkan 1948 pasien dengan cidera kepala berat,

dengan angka kematian dalam 14 hari pertama sebesar 19% (MRC CRASH Trial Collaborators,

2008).

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Kematian pada Cidera Kepala Berat

2.3.1 Jenis Kelamin

Terdapat perbedaan antara otak laki-laki dan wanita dalam hal berat, neuronal density, dan

struktur otak. Beberapa studi menemukan bahwa volume hipotalamus dan white matter lebih

besar pada laki-laki, sedangkan pada wanita ditemukan cortical grey matter yang lebih banyak,

volume yang lebih besar pada regio yang berhubungan dengan fungsi bahasa, volume

hippocampus dan white matter yang berhubungan dengan interhemispher connectivity.

Diperkirakan perbedaan struktur otak ini mengakibatkan perbedaan reaksi dan recovery setelah

mengalami cidera kepala antara laki-laki dan perempuan (Carne RP et al, 2006; Cosgrove KP,

2007).

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan kesimpulan yang berbeda mengenai

pengaruh jenis kelamin terhadap mortalitas pasien cidera kepala. Jenis kelamin wanita

(khususnya yang berusia ≥ 55 tahun) berhubungan dengan peningkatan mortalitas pada cidera

kepala berat secara signifikan (Ottochian et al, 2009). Meningkatnya kematian pada wanita pos

menopause (usia diatas 55 tahun) setelah cidera kepala menunjukkan kemungkinan pengaruh

hormonal yang memerlukan penelitian lebih lanjut. Suatu penelitian kohort prospektif pada kasus

cidera kepala sedang dan berat menunjukkan wanita 1,75 kali lebih tingi meninggal sebagai

akibat langsung dari cidera kepala dibandingkan dengan laki-laki (Kraus et al, 2000). Penelitian

lain mengungkapkan hal sebaliknya, dimana jenis kelamin wanita berhubugan dengan
19

berkurangnya kematian dan komplikasi setelah mengalami cidera kepala sedang maupun berat

(Berry C et al, 2009).

Beberapa penelitian lain telah melaporkan bahwa jenis kelamin wanita bukan merupakan

faktor resiko independen kematian di rumah sakit setelah cidera kepala (Kraus JF, 2000;Slewa-

younan et al, 2008). Penelitian oleh Leitgeb et al menunjukkan tidak ada perbedaan mortalitas

signifikan antara laki-laki dan perempuan pada kelompok cidera kepala. Kematian di rumah sakit

sebesar 36,9% pada wanita dan 32,5% pada laki-laki (Leitgeb et al,2011). Penelitian serupa oleh

Gao dan Jiang pada setting acute care menunjukkan kematian pada laki-laki dan perempuan

pada cidera kepala masing-masing sebesar 7,48% dan 7,22% (Gao & Yiang, 2012).

2.3.2 Usia

Beberapa penelitian mengindikasikan bertambahnya usia memperburuk outcome pada pasien

cidera kepala. Hal ini mengindikasikan berkurangnya kapasitas otak untuk perbaikan dan

semakin meningkatnya kemungkinan untuk terjadinya komplikasi akibat cidera kepala.

Banyak literatur menyebutkan penderita cidera kepala usia anak-anak memiliki prognosis

lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa. Pada usia diatas 60 tahun outcome buruk adalah

87% sedangkan pada usia 40-60 tahun outcome buruk 56% (Jannet et al , 1981). Sebuah

penelitian yang melibatkan 5612 pasien menganalisa pengaruh usia terhadap pasien dengan

cidera kepala berat. Mereka menyimpulkan proporsi pasien meninggal dan dengan outcome yang

unfavourable meningkat seiring dengan peningkatsan usia, yaitu: 21% pada usia kurang dari 35

tahun, 39% pada pasien usia kurang dari 52 tahun, dan 74% pada usia diatas 55 tahun. Pada

studinya outcome yang buruk meningkat 40-50% setiap kenaikan 10 tahun usia (Hukkelhoven et

al, 2003). Penelitian lain juga menyimpulkan outcome yang tidak baik meningkat seiring
20

pertambahan usia, dimana outcome yang unfovourable sebesar 57% pada kelompok usia 41-60

tahun dan 78% pada kelompok usia diatas 60 tahun (Narayan et al, 1981).

Komorbid berupa gangguan jantung dan koagulopati telah diketahui sebagai faktor resiko

yang signifikan dalam meningkatkan mortalitas pada pasien usia tua dengan cidera kepala

(Thompson et al, 2012). Dengan bertambahnya usia, kapasitas autoregulasi berkurang yang

mengakibatkan berkurangnya kontrol serebrovaskuler (Czonsnyka et al, 2005). Terlebih lagi,

seperti percobaan pada binatang terjadi pemanjangan periode oedema otak akut, meningkatnya

permeabilitas sawar darah otak dan meningkatnya neurodegenerasi pada otak usia tua yang

mengalami trauma (Onyszchuk et al, 2008). Penelitian juga menemukan bahwa pasien usia tua

diterapi tidak seagresif pasien usia muda dengan cidera kepala (Munro et al, 2002). Selain itu

terjadinya atropi otak seiring dengan bertambahnya usia mengakibatkan jarak antara otak dengan

tulang tengkorak semakin bertambah yang mengakibatkan pembuluh darah dura lebih rentan

untuk mengalami kerusakan setelah terjadi trauma.

2.3.3 Waktu Operasi

Masih terjadi kontroversi apakah waktu untuk dilakukan intervensi bedah saraf mempengaruhi

outcome pada pasien dengan cidera kepala berat. Sampai saat ini belum terdapat konsensus baku

mengenai waktu yang paling optimal untuk melakukan tindakan pembedahan, tetapi prinsip

umumnya adalah bahwa operasi harus dikerjakan sebelum terjadi defisit neurologi yang

ireversibel.

Beberapa penelitian sebulumnya meneliti mengenai waktu terbaik untuk dilakukan

operasi untuk mendapatkan outcome terbaik. Pasien yang dilakukan intervensi pembedahan

dalam waktu kurang dari 200 menit setelah kedatangan di ruang emergensi memiliki angka

kematian di rumah sakit yang lebih rendah secara signifikan, dibandingkan yang dilakukan
21

operasi setelah 200 menit dengan perbandingan 34,5% berbanding 59,1% (Matsushima et al,

2015). Penelitian lain mengungkapkan hal sebaliknya, dimana operasi yang dilakukan kurang

dari 24 jam setelah kejadian memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan jika

operasi dilakukan setelah 24 jam (59% berbanding 53%) (Faleiro et al, 2008). Waktu operasi

secara signifikan mempengaruhi kematian di rumah sakit. Lebih khusus, jika operasi dilakukan

dalam waktu 4 jam setelah cidera kepala, kematian secara signifikan menurun. Evakuasi tepat

waktu hematoma akut dapat memberikan probabilitas kelangsungan hidup yang baik dari trauma

kepala (Young-Ju Kim,2006). Sehingga survival rate pada cidera kepala berat yang memerlukan

intervensi pembedahan emergensi tergantung dari waktu dilakukannya tindakan.

2.3.4 Hipotensi

Tekanan darah yang meningkat dengan nadi rendah pada pasien cidera kepala merupakan tanda

dari cushing respons, yaitu respons hemodinamik dari peningkatan tekanan intrakranial untuk

mempertahankan tekanan perfusi otak yang adekuat. Pada pasien dengan cidera kepala,

khususnya yang disertai trauma di bagian tubuh yang lain, aliran darah ke otak bisa menurun

sampai pada batas iskemik. Untuk mencegah kematian otak berikutnya (kematian otak

sekunder), aliran darah yang kaya oksigen harus diperbaiki. Tekanan perfusi otak sebesar 70-80

mmHg merupakan batas kritis, mortalitas meningkat sebanyak 20% setiap terjadi penurunan

tekanan perfusi otak sebanyak 10 mmHg. Tekanan perfusi otak yang tetap dijaga diatas 70

mmHg, mengakibatkan penuruan angka mortalitas sebanyak 35% pada pasien cidera kepala

berat (Marmarou et al, 2005).

Tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressure) dapat dipakai sebagai prediktor

outcome pasien dengan cidera kepala (Chestnut RM, 2012). Namun pengukuran tekanan perfusi

otak sulit dilakukan akibat tidak tersedianya alat ukur yang menunjang. Perfusi otak langsung
22

dipengaruhi oleh mean arterial pressure (MAP) yang umumnya memiliki nilai yang lebih dekat

dengan nilai tekanan darah diastolik daripada tekanan darah sistolik (Mohrman and Heller,

2006). Monitoring MAP memiliki beberapa keunggulan dibandingkan tekanan darah sistolik

pada pasien dengan cidera kepala, karena MAP merupakan tekanan pendorong sejati untuk aliran

darah perifer dan MAP tidak berubah ketika gelombang tekanan menurun, maupun oleh distorsi

yang ditimbulkan oleh sistem perekam (Marino PL, 2007).

Hipotensi merupakan salah satu variable yang berespons terhadap manipulasi

pengobatan. Berdasarkan Brain Trauma Guidelines, tekanan darah yang rendah (tekanan darah

sistolik < 90 mmHg), khususnya yang disertai dengan hipoksia merupakan indikator outcome

yang buruk. Terjadinya episode hipotensi pada satu atau beberapa episode selama periode trauma

kepala sampai resusitasi berhubungan dengan meningkatnya mortalitas dua kali lipat dan

peningkatan morbiditas yang bermakna. Hipotensi merupakan salah satu dari 5 faktor prediktor

outcome cidera kepala paling kuat, dan satu-satunya yang bisa dilakukan modifikasi terapeutik

(Chesnut, 1993).

Berkurangnya tekanan darah, MAP, dan core temperature akan mengakibatkan iskemia

otak yang mengakibatkan efek sekunder.

2.3.5 Kondisi hipoksia

Hipoksia sistemik sering terdapat pada penderita-penderita dengan cidera kepala berat dan

mempunyai pengaruh terhadap prognosa. Hipoksia sistemik dapat terjadi karena apnea yang tiba-

tiba atau karena pola pernafasan abnormal lainnya, hipoventilasi karena cidera sumsum tulang

belakang atau obstruksi jalan nafas karena cidera kepala atau cidera leher, juga karena cidera

lansung pada dinding dada atau paru, atau oleh emboli lemak di sirkulasi pulmonal karena

fraktur tulang panjang.


23

Cidera kepala dapat memburuk secara signifikan oleh kejadian sekunder yang menyertai

trauma.Otak yang mengalami trauma sensitif terhadap iskemia, yang bisa diperburuk oleh

ketidakmampuan relatif otak dalam meningkatkan aliran darah otak sebagai respon terhadap

hipotensi, hypoksia, dan anemia. Aliran darah ke otak mengalami penurunan secara signifikan

setelah terjadi trauma, dan kerusakan otak akibat iskemia ditemukan terjadi pada 90% pasien

cidera kepala yang dilakukan autopsi (Graham et al, 1989). Sehingga menghindari iskemia

merupakan cara yang baik untuk meningkatkan outcome pasien dengan cidera kepala berat.

Kebanyakan penelitian observasional mendapatkan bahwa hipoksia dini (SpO2 < 90 atau

PaO2 < 60 mmHg) berhubungan dengan outcome yang buruk. Hipoksia prehospital secara

signifikan meningkatkan odds ratio mortality pada pasien yang mengalami cidera kepala sebesar

2,66 (p<0,05) (Chi JH et al, 2006). Penelitian lain menyebutkan hipoksia berhubungan dengan

kematian dini pasien dengan cidera kepala berat secara signifikan, dimana didapatkan pasien

cidera kepala berat dengan hipoksia mengalami kematian dini sebesar 76,9%. Penelitian oleh

Chesnut et al mendapatkan bahwa pasien dengan cidera kepala berat dengan hipoksia terjadi

kematian sebesar 28%, sedangkan pasien cidera kepala berat yang disertai hipoksia dan hipotensi

mengalami kematian sebesar 57% (Chesnut et al, 1993).

2.3.6 Trauma multiple

Mekanisme trauma yang hebat tidak hanya menyebabkan terjadinya cidera kepala yang berdiri

sendiri, tetapi sering kali disertai dengan trauma multiple di bagian tubuh yang lain. Trauma

multiple yang disertai dengan cidera kepala memiliki insiden lebih dari 60% (Feng et al, 2012).

Beberapa sistem skoring telah dikembangkan untuk menilai derajat keparahan pasien

trauma multipel. Salah satu sistem skoring yang sering digunakan saat ini adalah Injury Severity
24

Score (ISS score). Skor ISS merupakan skoring trauma berdasarkan anatomi yang

menggambarkan keseluruhan skor pada pasien dengan trauma multipel. Setiap trauma

ditempatkan ke dalam Abbreviated Injury Scale (AIS) pada masing-masing dari enam regio pada

tubuh (kepala, wajah, dada, abdomen, pelvis dan ekstremitas). Hanya tiga regio tubuh dengan

skor AIS tertinggi yang digunakan dalam menilai skor ISS. Ketiga skor tersebut selanjutnya

dikuadratkan dan diakumulasikan menjadi skor ISS, sehingga skor ISS memiliki rentangan

antara nol sampai dengan 75. Skor ISS merupakan salah satu skor anatomi yang berkorelasi

linear secara signifikan dengan morbiditas, mortalitas, dan lama perawatan pada pasien dengan

trauma.

Beberapa peneliti mengungkapkan hubungan trauma multiple dengan mortalitas pasien

dengan cidera kepala. Cidera kepala yang disertai dengan cidera ekstrakranial meningkatkan

predicted mortality rate menjadi dua kali lipat (McMahon GC et al, 1999). Terjadinya syok

karena perdarahan, gangguan jalan nafas dan gangguan respirasi akibat cidera pada thoraks

diketahui berkontribusi terhadap peningkatan rasio kematian pasien cidera kepala yang disertai

dengan trauma di bagian tubuh yang lain. Nothen et al menyimpulkan bahwa salah satu faktor

resiko yang terbukti sebagai prediktor kematian pada pasien dengan cidera kepala berat adalah

skor ISS. Penelitian lain mengungkapkan hal yang sama, yaitu: skor ISS merupakan salah satu

alat bantu penilaian trauma multiple yang berhubungan dengan outcome pasien dengan cidera

kepala secara signifikan (Baum et al, 2015).

2.3.7 Hipertermia Sentral

Terjadinya hyperthermia pada pasien dengan cidera kepala pada fase akut berhubungan dengan

outcome yang buruk terhadap pasien berupa perawatan ICU yang lebih lama, peningkatan

tekanan intrakranial, skor GCS yang lebih rendah, dan status fungsional yang lebih buruk (Natale
25

et al.,2000; Jiang et al, 2002; Stocchetti et al, 2002; Diringer et al, 2004). Pada cidera kepala,

adanya demam berhubungan dengan peningkatan pengeluaran excitatory amino acid,

meningkatkan edema vasogenik, meningkatkan tekanan intrakranial, dan meningkatkan

pengeluaran metabolik yang pada akhirnya meningkatkan neuronal loss (Thompson et al, 2003).

Hipertermia pada pasien dengan cidera kepala dapat bersumber dari beberapa sumber

yang meliputi infeksi, reaksi obat, deep vein thrombosis, dan hipertermia sentral (Thompson et

al, 2003). Sebuah studi melaporkan bahwa 80% pasien dengan cidera kepala dengan kondisi

kritis mengalami peningkatan temperatur otak >38ºC pada 3 hari pertama setelah trauma (Childs

et al, 2005).

Hipertermia sentral yaitu hipertermia (temperature tubuh ≥ 38,3) yang sumbernya bukan

akibat dari infeksi maupun inflamasi. Sumber demam akibat infeksi dibuktikan dengan temuan

klinis, pemeriksaan laboratorium, hasil pemeriksaan kultur dan gambaran radiologi.

Diperkirakan bahwa kerusakan beberapa struktur di otak yang berhubungan dengan temperature

homeostasis pathway yang meliputi cutaneus thermal receptor, spinal cord, midbrain dan

hipotalamus sebagai penyebab hipertermia sentral.Hipertermia terjadi pada 23% pasien yang

dirawat di neurologic intensive care unit, 42% diantaranya berhubungan dengan infeksi dan 28%

tidak bisa diketahui penyebabnya yang menunjukkan sumber demam dari proses sentral

(Commichau et al, 2003). Penelitian lain menyebutkan bahwa 4-37% pasien yang bertahan

setelah mengalami cidera kepala mengalami sekuele berupa hipertermia sentral (Clinchot DM et

al, 1997).

Demam tinggi yang terjadi pada fase awal cidera kepala dapat meningkatkan resiko

prognosis yang buruk (Bao et al, 2013).

2.3.8 Pneumonia
26

Infeksi merupakan salah satu penyebab penting kematian pasien trauma. Delapan puluh persen

kematian pada pasien trauma yang terjadi pada 3 hari sampai 3 minggu setelah trauma

berhubungan dengan infeksi. Nasokomial pneumonia merupakan infeksi yang sering terjadi pada

pasien trauma yang dirawat. Pneumonia menjadi penyebab mayor kematian pasien trauma,

sehingga identifikasi awal pasien dengan resiko tinggi dapat menurunkan morbiditas, mortalitas,

serta biaya perawatan. Faktor resiko pneumonia nasokomial pada pasien trauma antara lain:

penggunaan ventilator mekanik dalam jangka waktu lama, penggunaan nutrisi enteral secara

kontinyu, dan kraniotomi.

Pneumonia merupakan komplikasi non neurologi paling umum dari cidera kepala berat,

terjadi pada 40-65% pasien (Zygun D et al, 2005), dimana semakin rendah GCS semakin

meningkat resikonya (Heling TS et al, 1998). Pneumonia menyebabkan demam, hipotensi, dan

hipoksia yang mengakibatkan cidera kepala sekunder yang akan meningkatkan efek buruk

terhadap outcome. Pneumonia paling sering terjadi pada 5 hari pertama setelah terjadinya trauma

kepala (Bronchard et al, 2004), dan kuman penyebab tersering adalah Staphylococcus aureus,

Haemophilus influenza, dan Streptococcus pneumonia (Zygun D et al, 2005). Faktor resiko

terjadinya pneumonia awitan dini adalah koloni bakteri di saluran nafas bagian atas, aspirasi, dan

pemberian thiopental. Nasal carrier Staphylococcus aureus memiliki resiko 5 kali lebih tinggi

untuk terjadinya pneumonia setelah cidera kepala berat, yang mengindikasikan aspirasi sekresi

orofaring pada pasien dengan penurunan kesadaran sering terjadi (Bronchard et al, 2004).

Late onset pneumonia terbentuk setelah 5 hari pasca cidera kepala yang biasanya

berhubungan dengan penggunaan ventilator (ventilator acquired pneumonia). Tipe kuman yang

mengakibatkan ventilator acquired pneumonia adalah organisme gram negatif dan bakteri yang

multiresisten (Croce et al, 1998). Pasien cidera kepala yang mendapatkan perawatan ICU
27

memiliki durasi penggunaan ventilator yang lebih lama, perawatan ICU yang panjang dan

terjadinya insiden multi organ failure yang lebih tinggi. Angka mortalitas secara keseluruhan

pada pasien dengan VAP yang dirawat di ICU secara umum adalah 24-75%.

2.3.9 Refleks pupil

Pupil yang tidak bereaksi dan dilatasi pupil pada pasien dengan cidera kepala berat, berhubungan

dengan prognosis yang buruk khususnya jika terjadi bilateral. Dilatasi pupil akut dan pupil yang

tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya bisa diakibatkan oleh herniasi uncal yang diakibatkan

oleh edema otak atau lesi masa yang menyebabkan penekanan pada nervus kranialis ketiga.

Penyebab dilatasi pupil lainnya adalah berkurangnya aliran darah ke batang otak bagian atas.

Abnormalitas fungsi pupil dapat memprediksikan outcome yang buruk setelah cidera kepala

berat. Pasien cidera kepala berat dengan reflek pupil abnormal berhubungan dengan outcome

yang unfavorable secara signifikan, dimana 46,87% pasien dengan refleks normal terjadi

outcome yang unfavorable dibandingkan dengan 66,67% pada pasien dengan dilatasi pupil

bilateral dan 75% pasien yang anisokor (Saini et al, 2012). Analisa multivariate 589 pasien

dengan cidera kepala menyimpulkan bahwa replek pupil abnormal berhubungan dengan

meningkatnya resiko kematian dalam 14 hari, mortalitas terjadi pada 59% (p< 0.001) pasien

dengan refleks pupil abnormal pada pasien cidera kepala berat (Tohme et al, 2014). Penelitian

lain menyebutkan bahwa salah satu parameter kuat yang berhubungan dengan mortalitas pasien

cidera kepala adalah absennya refleks pupil (81,3%, p< 0.001) (Rodriguez, 2013)

Dalam suatu tinjauan terhadap 153 penderita dewasa dengan herniasi transtentorial, hanya

18% yang mempunyai penyembuhan yang baik. Diantara penderita dengan pupil anisokor pada

waktu masuk dirawat dengan batang otak yang tidak cidera, 27% mencapai penyembuhan yang
28

baik, akan tetapi bila ditemukan pupil yang tak bergerak dan berdilatasi bilateral, secara

bermakna ditemukan hanya 3.5% yang sembuh. Penderita-penderita dengan pupil yang anisokor

yang mendapat penyembuhan baik cenderung berumur lebih muda, dan refleks-refleks batang

otak bagian atas yang tidak terganggu. Sone et al melaporkan 10 dari 40 (25%) penderita dengan

satu pupil berdilatasi ipsilateral terhadap suatu perdarahan subdural mencapai penyembuhan

fungsional. Seelig et almelaporkan hanya 6 dari 61 (10%) penderita dengan dilatasi pupil

bilateral yang mencapai penyembuhan fungsional. Dengan demikian, gangguam gerakan

ekstraokular dan refleks pupil yang negatif juga berhubungan dengan prognosa buruk

(Sastrodiningrat, 2006).

2.3.10 Glasgow Coma Scale

Sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974, GCS telah menjadi sistem klasifikasi yang

paling sering digunakan pada cidera kepala. GCS merupakan cara yang reliable dan universal

dalam menilai status kesadaran seseorang. GCS menilai respons mata, verbal dan motorik pasien

dengan cidera kepala dengan skor antara 3 sampai 15.

GCS dapat menjadi indikator outcome pasien dengan cidera kepala, dan banyak penelitian

mortalitas yang memasukkan komponen GCS sebagai faktor prediktor yang penting. Pada pasien

dengan cidera yang lebih berat, komponen motorik dari GCS memiliki predictive value yang

lebih besar, karena respons mata dan verbal biasanya absen pada pasien ini.

Beberapa penelitian menyimpulkan skor GCS saat kedatangan merupakan prediktor yang

reliable terhadap outcome pasien cidera kepala berat. Sebanyak 78,05% pasien dengan GCS 3-4

terjadi outcome yang unfavorable dibandingkan dengan 52,63% pasien GCS 5-6 dan 26% pasien

dengan GCS 7-8 (Saini et al, 2012). Penelitian lain mendapatkan positive predictive value

mortalitas pada pasien dengan cidera kepala berat sebesar 86% untuk GCS ≤4 (petroni et al,
29

2010). Penelitian serupa menyimpulkan bahwa pasien dengan GCS ≤ 5 atau komponen motorik

dari GCS ≤ 3 memiliki probabilitas mortalitas daripada pasien dengan GCS > 5 dan motorik > 3

(p < 0,01) ( Ting et al, 2010). Begitu pula penelitian oleh Mizraji et al menyimpulkan pasien

cidera kepala dengan GCS ≤ 8 memiliki rasio mortalitas global sebesar 56% dan menyimpulkan

bahwa GCS follow up merupakan alat yang bagus untuk memprediksi outcome brain death

(Mizraji et al, 2009).

2.3.11 Gambaran CT Scan Kepala

Meningkatnya penggunaan sedasi, intubasi dan ventilasi telah mengurangi peranan GCS dalam

menilai derajat keparahan cidera kepala. Sebagai alternatif, temuan morfologi pada CT scan

dapat digunakan untuk mengelompokkan berbagai jenis cidera kepala. CT scan kepala

merupakan modalitas imaging pilihan pada kasus trauma, karena dapat memperlihatkan lesi yang

memerlukan tindakan segera sehingga dapat membantu dalam membuat keputusan klinis yang

rasional. Klasifikasi konvensional cidera kepala berdasarkan temuan CT scan membedakan

antara lesi fokal (extradural hematoma, subdural hematoma, intracerebral hematom, contusion

cerebri) dan cidera kepala difus (Gennarelli et al , 1982).

Temuan awal pada computed tomography penting dalam memperkirakan prognosa cidera

kepala berat. Pemeriksaan CT scan awal menunjukkan adanya kelainan pada 90% pasien dengan

cidera kepala berat (Murray et al, 1999). Prognosis pasien dengan cidera kepala berat dengan CT

scan yang abnormal lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang tanpa kelainan pada CT scan.

Pasien dengan gambaran CT scan normal, outcome lebih berkaitan dengan kelainan ekstra

kranial yang menyertainya. Tidak adanya kelainan pada CT scan awal tidak menyingkirkan

terjadinya peningkatan tekanan intra kranial, dan lesi baru yang signifikan bisa terbentuk pada
30

40% pasien. Gambaran CT scan yang abnormal memiliki positive predictive value terhadap

outcome sebesar 77-78% pada pasien dengan cidera kepala berat (Van Dongen et al, 1983)

Temuan pada CT scan yang sering dipakai dalam memprediksi outcome antara lain: ada

tidaknya midline shift, derajat midline shift, status sisterna basal, adanya perdarahan

intraventrikular (IVH), adanya perdarahan subarachnoid (SAH), serta keberadaan dan tipe lesi

masa. Adanya SAH, lesi intradural dan tertekannya sisterna basal merupakan salah satu kriteria

yang penting dalam memprediksi mortalitas dari cidera kepala. Adanya midline shift juga

berkorelasi dengan outcome walaupun hal ini berhubungan dengan temuan CT scan yang lain.

Parameter CT scan memiliki kekuatan korelasi ketiga setelah usia dan skor motorik dalam

memprediksi prognosis cidera kepala (Fearnside et al, 1993).

Pasien dengan difuse injury memiliki prognosis intermediate dibandingkan dengan pasien

dengan epidural dan subdural hematoma. Penderita-penderita dengan DAI , mungkin hanya

mendapat sedikit perdarahan kortikal atau terdapat edema difus atau CT Scan yang benar-benar

normal tetapi menjadi berat penyakitnya. Disamping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif

untuk lesi dibatang otak karena kecilnya struktur area yang cidera dan dekatnya struktur tersebut

dengan tulang disekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk.

Terdapatnya hematoma intraserebral yang harus dioperasi berhubungan dengan prognosa yang

lebih buruk sama halnya bila sisterna basal tidak tampak atau adanya kompresi terhadap sisterna

basal. Lesi masa terutama hematoma subdural dan hematoma intraserebral berhubungan dengan

meningkatnya mortalitas dan menurunnya kemungkinan penyembuhan fungsional. Terdapat juga

hubungan usia yang penting antara temuan radiografik dan outcome. Meningkatnya usia

biasanya berhubungan dengan meningkatnya frekuensi dan ukuran lesi (terutama hematoma

subdural) ,midline shift yang lebih jauh, lebih sering terjadi kompresi terhadap sisterna basal dan
31

meningkatnya mortalitas. Penderita-penderita dengan lesi ekstraserebral yang luas juga

mempunyai outcome yang buruk. Pada usia diantara 16 – 25 tahun 50% akan menjadi vegetatif

atau meninggal dan mereka yang berusia lebih dari 55 tahun 90% akan menjadi vegetatif atau

Meninggal (Sastrodiningrat, 2006).

2.3.11.1 Midline Shift

Midline shift didefinisikan sebagai jarak absolut antara struktur otak di garis tengan dengan garis

tengah. Kebanyakan peneliti menggambarkan midline shift sebagai jarak antara septum

pelucidum dengan garis tengah, sedangkan Ross et al (1989) mendeskripsikan sebagai jarak

antara glandula pineal dengan aquaductus. Midline shift merupakan kejadian yang relatif sering

terjadi pada pasien dengan cidera kepala berat. Ditemukannya midline shift mengindikasikan

telah terjadi peningkatan tekanan intrakranial.

Beberapa peneliti mengungkapkan peranan midline shift dalam menilai outcome pasien

cidera kepala. Midline shift merupakan salah satu prediktor mortalitas yang signifikan pada

pasien dengan cidera kepala (Maas et al, 2005). Penelitian yang melibatkan 216 kasus cidera

kepala mendapatkan korelasi yang signifikan antara derajat midline shift dengan outcome akhir

yang buruk (Chiewvit et al, 2010). Penelitian serupa yang melibatkan 605 pasien cidera kepala

sedang dan berat mendapatkan bahwa midline shift merupakan prediktor outcome yang

signifikan (Jacobs et al, 2011).

Kebanyakan peneliti tidak menggunakan cut off tertentu dalam menilai pengaruh derajat

midline shift terhadap outcome, tetapi peranan midline shift menunjukkan suatu variable yang

kontinyu terhadap outcome (Nelson et al, 2010). Beberapa peneliti memakai cut off tertentu

dalam menilai hubungan derajat midline shift dengan outcome. Terjadi peningkatan mortalitas

dengan meningkatnya derajat midline shift, dengan mortalitas mencapai 61,9% pada pasien
32

dengan midline shift lebih dari 5 mm (Saini et al, 2012). Penelitian serupa juga mendapatkan

bahwa midline shift lebih dari 5 mm memiliki korelasi signifikan dalam menentukan mortalitas

pasien dengan cidera kepala berat, dengan mortalitas mencapai 89,3% (Tjahjadi et al, 2013).

Peranan midline shift dalam menilai prognosis sebaiknya dikaitkan dengan temuan CT

scan lainnya, karena derajat midline shift juga dipengaruhi oleh lokasi lesi intrakranial dan

adanya lesi abnormal yang bilateral. Disamping itu, adanya midline shift dan besarnya midline

shift dapat berubah secara signifikan setelah dilakukan evakuasi lesi massa.

2.3.11.2 Status Sisterna Basal

Sisterna basal merupakan salah satu bagian dari cisterna subarachnoid, yang merupakan kavitas

lebar yang terletak diantara dua lobus temporalis di anterior dan menutupi cerebral peduncle

begitu juga dengan struktur yang terletak di dalam interpeduncular fossa. Struktur ini berlanjut

ke anterior dengan cisterna suprasela. Sisterna basal terdapat nervus okulomotor dan arteri

basilar terminal dari sirkulus willisi dan cabangnya.

Kompresi pada sisterna basal atau sisterna basal yang tidak terlihat pada CT scan kepala

merupakan salah satu indikator meningkatnya tekanan intrakranial. Ditemukannya kompresi

terhadap sisterna basal atau pada CT scan tidak tampak sisterna basal juga merupakan prediksi

outcome yang buruk setelah cidera kepala berat. Kompresi sisterna basal merupakan variable

paling dominan dalam prediktor kematian dini pada cidera kepala berat (Tjahjadi et al, 2013).

Outcome yang buruk terjadi pada 85% dari penderita dimana sisterna basal tidak tampak pada

pemeriksaan CT scan awal, 65% terjadi pada penderita dengan kompresi terhadap sisterna basal

dan 44% terjadi pada penderita dengan sisterna basal yang normal, terlepas dari ada atau

tidaknya hematoma intrakranial. Rasio mortalitas pada pasien dengan sisterna basal tidak tampak
33

adalah sebesar 77%, 39% pada cisterna basal yang terkompresi, dan 22% jika sisterna basal

terbuka (Toutant et al, 1984).

Gambar 2.2. Anatomi sisterna basal

2.3.11.3Traumatic Subarachnoid Hemorrhage

Traumatic subarachnoid hemorrhage (tSAH) adalah adanya darah di ruang subarakhnoid baik

pada konveksitas otak maupun pada sisterna-sisterna basal. Traumatic subdural hemorrhage

merupakan kejadian yang sering terjadi pada cidera kepala berat, yaitu sebesar 23-63%

(Kakarieka A, 1997).

Adanya tSAH pada CT scan awal adalah faktor independen yang bermakna didalam

menentukan prognosa. Traumatic SAH bersama-sama dengan obliterasi parsial sisterna basal dan

midline shift berhubungan erat dengan outcome yang buruk pada pasien dengan cidera kepala

(Maas et al, 2007). Pasien-pasien cidera kepala dengan gambaran tSAH pada CT scan awal

menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi dan outcome yang unfavorable dalam 6 bulan secara

signifikan (Wong et al, 2011).


34

Mekanisme bagaimana tSAH menimbulkan outcome yang buruk masih belum dapat

dipahami dengan baik. Beberapa peneliti mempercayai bahwa outcome yang buruk pada tSAH

merupakan bagian dari cidera kepala berat (Chang et al, 2006). Sedangkan penelitian yang lain

berpendapat bahwa tSAH menimbulkan outcome yang buruk karena tSAH menginduksi

terjadinya vasospasme dan iskemia otak sekunder (Taneda et al, 1996 & Zurynski YA, 1998).

Pernyataan ini didukung oleh penelitian pada 52 pasien dengan tSAH yang menyimpulkan

bahwa tSAH berhubungan dengan tingginya insiden vasospasme serebri dengan probabilitas dan

keparahan yang lebih tinggi pada pasien dengan cidera kepala yang lebih berat (Aminmansour et

al, 2009).

2.3.11.4 Lesi Intrakranial (EDH, SDH, ICH, Contusio serebri)

Lesi intrakranial dibedakan menjadi lesi intraserebral dan lesi ekstraserebral. Lesi ekstraserebral

pada fase akut setelah cidera kepala terdiri dari hematoma epidural dan hematoma subdural akut.

Mengidentifikasi adanya lesi-lesi tersebut penting untuk manajemen, selain itu penting dalam

mengukur derajat kerusakan primer dengan menentukan jumlah lesi, tipe lesi, ukuran, lokasi, dan

ada tidaknya efek massa.

Pasien dengan hematoma epidural murni memiliki outcome yang baik pada 70% kasus

dibandingkan dengan 44% pasien yang disertai lesi intraserebral lainnya (Haselberger et al,

1988). Dengan meningkatnya diagnosis dan penanganan bedah saraf angka mortalitas epidural

hematom terus mengalami penurunan. Mortalitas EDH murni berkisar antara 2 sampai 4,8%

(Ruff et al 2013; Irie et al ,2011)

Mortalitas pada SDH akut yang disertai lesi lain yang berhubungan lebih tinggi jika

dibandingkan dengan SDH tanpa disertai lesi lainnya. Mortalitas sebesar 85% untuk hematoma

subdural akut dengan kontusio unilateral yang berhubungan adalah sebesar 85% , dan 17% pada
35

yang tanpa disertai lesi tersebut (Kotwica and Brzezinski, 1993). Sebuah penelitian yang

melibatkan 738 pasien dengan cidera kepala berat mendapatkan angka mortalitas SDH sebesar

46,7%, dengan outcome unfavorable sebesar 18,6 % (Leitgeb et al, 2012).

Mortalitas pasien-pasien cidera kepala berat dengan hematoma epidural lebih rendah

dibandingkan dengan pasien dengan hematoma subdural akut. Positive predictive value sebesar

77% untuk outcome yang unfavorable pada pasien-pasien cidera kepala berat dimana terdapat

lesi massa dan dilakukan evakuasi, sedangkan lesi massa yang tidak dievakuasi memiliki PPV

outcome yang unfavorable sebesar 89% (Marshall, 1991, Hatashita 1993, Kotwica 1993).

Terdapat korelasi positif antara volume hematoma epidural, hematoma subdural akut, dan

lesi intraparenkim dengan outcome. Outcome yang buruk terjadi pada 20% pasien dengan

hematoma epidural < 150 cc berbanding 58% jika volumenya > 150 cc (Lobato at al, 1988).

Penelitian lain yang melakukan analisa pasien koma dengan hematoma subdural akut

mendapatkan rasio survival sebesar 50% jika ketebalan hematoma ≤ 18 mm, dengan PPV

terhadap mortalitas sebesar 70% terjadi jika ketebalan hematoma sekitar 23 mm (Zumkelar et al,

1996).

Pada pasien dengan lesi intraparenkim, adanya lesi multiple berhubungan dengan

outcome yang lebih buruk. Studi retrospektif terhadap 202 pasien, menggambarkan korelasi

langsung antara jumlah lesi intraserebral dengan outcome. Pasien dengan satu buah hematoma,

58% terjadi outcome yang favorable, dua hematoma outcome yang favorable sebesar 20%, tidak

terdapat outcome yang favorable pada pasien dengan hematoma lebih dari dua (Choksey et al,

1993).

2.4 Validitas
36

Validitas merupakan penilaian terhadap ketepatan dan kecermatan suatu alat pengukur

dalam melakukan fungsi ukurnya. Instrumen yang memiliki validitas tinggi menunjukkan

instrumen tersebut mampu melakukan fungsi ukur dengan tepat dan memberikan hasil ukur yang

sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Atau dengan kata lain, pengukuran

tersebut merupakan besaran yang menunjukkan secara tepat fakta dan keadaan sesungguhnya

dari apa yang diukur.

Pengukuran validitas menggunakan kurva receiver operating characterisctics (ROC).

Kurva ROC meghubungkan true positive (sensitivitas) dan false positive probabilitas yang

dihasilkan oleh suatu model pengukuran. Daerah di bawah kurva (AUC) berkisar mulai 0,5, yang

berarti model tidak memiliki kemampuan diskriminasi, hingga1,0 (diskriminasi yang sempurna).

Contoh kurva ROC ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2.3. Kurva ROC untuk mengetahui sensitifitas dan spesifisitas

Anda mungkin juga menyukai