Anda di halaman 1dari 9

Insight Management Journal, 2 (2) (2022) 45-53

https://journals.insightpub.org/index.php/imj

Insight Management Journal


Volume 2, Issue 2, January 2022, pages 45-53

Manajemen zakat di Indonesia (tantangan dan solusi)

Faridatun Najiyah, Ulfatul Khasanah, Fitria Asas

Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Permata Bojonegoro

Article info Ab stract

Received [23 November 2021] Apart from being something that must be issued by Muslims, zakat has good
Revised [8 Desember 2021] prospects and is very productive if it is managed and distributed in the right way. This
Accepted [5 Januari 2022] study uses a qualitative approach. By using library research methods, data is obtained
from secondary data in the form of books, articles, and processed data from other
parties or publication data such as BAZNAS publication data and those related to this
Corresponding author: research. In Indonesia, there are several problems that pose challenges for zakat
management, namely regulatory problems, OPZ problems, and mustahik and muzakki
Faridatun Najiyah problems. Therefore, several solutions are needed to solve some of the existing
najiyahfaridatun@gmail.com problems, in order to improve zakat management in Indonesia.

Keywords: Management; zakat; challenge; solution

Abstrak
Zakat selain merupakan sesuatu yang wajib dikeluarkan oleh umat Islam, memiliki
prospek yang baik dan sangat produktif jika dikelola, dan disalurkan dengan cara yang
benar. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan menggunakan
metode penelitian kepustakaan, data diperoleh dari data sekunder berupa buku,
artikel, dan data olahan dari pihak lain atau data publikasi seperti data publikasi
BAZNAS dan yang terkait dengan penelitian ini. Di Indonesia terdapat beberapa
permasalahan yang menjadi tantangan pengelolaan zakat, yaitu masalah regulator,
masalah OPZ, dan masalah mustahik dan muzakki. Oleh karena itu, diperlukan
beberapa solusi untuk menyelesaikan beberapa permasalahan yang ada, guna
meningkatkan pengelolaan zakat di Indonesia.

Kata kunci: Manajemen; zakat; tantangan; solusi

Pendahuluan

Zakat merupakan ajaran Islam yang menyisihkan harta umatnya untuk diberikan kepada
masyarakat tertentu. Ibadah ini menjadi salah satu bagian dari rukun islam. Sebagian umat muslim
memahami zakat memiliki dua dimensi ibadah yaitu hablum minallah sebagai sebuah perintah dari
Allah dan hablum minannas sebagai kewajiban terhadap sesama manusia (Fakhruddin, 2011). Kata "al-
zakat" telah disebutkan tiga puluh kali dalam Al-Qur'an. Secara harfiah, zakat berarti tumbuh dan
meningkat, sedangkan dalam syariat, zakat adalah konsep yang mengacu pada redistribusi kekayaan
yang ditentukan oleh Tuhan untuk kategori orang yang layak (Qaradhawi, 2005). Selain pengentasan
kemiskinan, zakat bertujuan untuk menghilangkan keserakahan di kalangan muslim dan mendorong
perilaku berorientasi sosial. Secara keseluruhan, diharapkan bahwa pembayaran zakat akan
memurnikan pendapatan pembayar zakat, mendamaikan hati pembayar dan asnaf, memenuhi
kebutuhan dasar orang miskin dan membutuhkan, dan menyelesaikan masalah sosial seperti
kemiskinan, pengangguran, hutang dan distribusi pendapatan yang tidak adil (Nadzri et al., 2012).
Zakat memiliki beberapa tujuan. Tujuan zakat di antaranya yakni: mengangkat derajat fakir
miskin dan membantunya keluar dari kesulitan hidup serta penderitaan, membantu memecahkan
masalah yang dihadapi oleh para mustahiq, menjembatani jurang pemisah antara yang kaya dan yang

45 EISSN 2774-1737
Insight Management Journal, 2 (2) (2022) 45-53

miskin dalam suatu masyarakat, mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang,
terutama pada mereka yang punya harta, mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban
dan menyerahkan hak orang lain yang ada padanya, sebagai sarana pemerataan pendapatan untuk
mencapai keadilan sosial (Sugiarto et al., 2006).
Dalam Islam, ketentuan zakat ditegaskan tidak hanya berdasarkan al-Qur’an tetapi juga hadis.
Kata zakat dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 32 kali (al-Baqy, 1945). Sedangkan dalam hadis
ditemukan jauh lebih banyak jumlahnya daripada dalam al-Qur’an. Berbagai istilah pun diperkenalkan
oleh al-Qur’an, yang istilah itu sering ditafsirkan dengan zakat. Zakat disebut infak (Qs. al-
Taubah/9:34) karena hakikatnya zakat itu adalah penyerahan harta untuk kebajikan-kebajikan yang
diperintahkan Allah Swt. Zakat disebut sedekah (Qs. al-Taubah/9:60 dan 103) karena memang salah
satu tujuan utama zakat adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Zakat disebut hak, oleh
karena memang zakat itu merupakan ketetapan yang bersifat pasti dari Allah Swt yang harus diberikan
kepada mereka yang berhak (Rosadi & Athoillah, 2015)
Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, jika melihat data Bank
Dunia 2013 pada tahun 2010 penduduk dunia berjumlah kurang dari 6.885 milyar jiwa. Hal ini berarti
bahwa jumlah penduduk indonesia sekitar 3 persen dari penduduk dunia. Berdasarkan laporan PEW
research Center (2009) dan Human Right Watch (2013), dari jumlah penduduk muslim dunia, yang
pada tahun 2010 kurang lebih berada pada angka 1,6 milyar jiwa maka penduduk muslim Indonesia
berada kisaran 12,9-13 persen penduduk muslim Indonesia (Athoillah, 2014).
Zakat berfungsi membentuk keshalihan dalam sistem sosial kemasyarakatan seperti
memberantas kemiskinan, menumbuhkan rasa kepedulian dan cinta kasih terhadap golongan yang
lebih lemah (Arlini, 2011). Demikian juga kondisi di Indonesia, selain sebagai negara berpenduduk
muslim terbesar di dunia, pengkajian tentang zakat dan variabel lainnya yang terkait, baik secara
teoritik maupun empiris, dipandang penting dan menarik untuk dilakukan. Dikatakan penting, karena
pengkajian tentang zakat dari sudut pandang zakat tentang pengkajian ekonomi masih sedikit
dilakukan, dikatakan menarik karena untuk konteks Indonesia zakat masih dipandang kegiatan
filantropi, karena tidak atau belum ada peraturan perundang-undangan yang “memaksa” warga
negara muslim di Indonesia untuk membayar zakat.
Tujuan dan Hikmah Zakat memiliki upaya pemecahan masalah kemiskinan dan ketimpangan
sosial. Zakat mampu mengurangi jumlah keluarga miskin dari 84 persen menjadi 74 persen (Beik,
2009).Potensi dana umat Islam yang terkumpul dari zakat merupakan solusi alternatif yang dapat
didayagunakan bagi upaya penanggulangan masalah kemiskinan di Indonesia dan pemberdayaan
ekonomi umat, yang tidak dapat terpecahkan dan teratasi dengan dana APBN. Zakat yang dikelola
dengan sistem dan manajemen yang amanah, profesional dan integrated dapat menjadi pemacu
gerak ekonomi dalam masyarakat, sehingga makin berkurangnya kesenjangan antar kelompok
mampu dan yang kurang mampu.
Fungsi-fungsi dasar dari organisasi zakat, antara lain: pertama, mengumpulkan dari orang-orang
kaya muzakki dan mendistribusikannya kembali kepada para mustahiq. Kedua, membina para muzakki
agar tetap menjadi muzakki dan fakir miskin agar menjadi muzakki. Ketiga, mendata semua kelompok
masyarakat baik sebagai muzakki maupun mustahiq (Bakar, 2011). Dalam konteks Islam, apabila
sistem dan manajemen zakat dikelola, dijalankan dan disalurkan dengan baik maka tidak ada orang
atau kelompok masyarakat yang menderita sedangkan yang lainnya hidup berkemkmuran dan
bermegahan. Untuk itu, pendayagunaan zakat diperlukan untuk memperbaiki ekonomi masyarakat,
melalui tantang manajemen zakat, tantangan dan bagaimana solusi untuk mengatasinya.

Perintah Zakat dalam Islam


Zakat, yang termasuk rukun islam ke empat, dalam islam merupakan sesuatu yang harus
dipenuhi. Bahkan zakat tidak hanya disebut dalam Al-Qur’an namun juga hadis. Kata zakat dalam al-
Qur’an disebutkan sebanyak 32 kali (Al-Baqy’, 1945). Sedangkan dalam hadis ditemukan jauh lebih
banyak jumlahnya (Rosadi & Athoillah, 2015). Zakat berasal dari kata “Az-zakah” dalam bahasa Arab.
Kata “az-zakah” memiliki beberapa makna, di antaranya “an-numuww” (tumbuh), “az-ziyadah”
(bertambah), “ath- thaharah” (bersih), “al-madh” (pujian), “al-barakah” (berkah) dan “ash-shulh” (baik).
Semuanya dapat digunakan untuk memaknai kata zakat dan turunannya yang ada dalam Al-Qur’an
dan Hadist (Afifi & Ika, 2010).
Fiqh Islam mendefinisikan zakat menurut istilah adalah “Penunaian hak yang diwajibkan atas
harta tertentu, yang diperuntukkan bagi orang tertentu yang kewajibannya didasari oleh haul (batas
waktu) dan nishab (batas minimum)” (Ash-Shiddieqy, 2009). Zakat merupakan nama dari suatu hak
Allah yang dikeluarkan kepada yang berhak menerima zakat (Sabiq, 2006). Zakat adalah jumlah

46
Insight Management Journal, 2 (2) (2022) 45-53

tertentu dari harta yang Allah Ta’ala wajibkan untuk diserahkan kepada yang berhak. Dalam
penggunaannya, tumbuh dan suci disifatkan untuk jiwa orang yang menunaikan zakat. Maksudnya
yaitu zakat akan mensucikan orang yang mengeluarkannya dan menumbuhkan pahalanya (Ridwan,
2005).
Zakat dari segi bahasa (lughot) adalah kesuburan, kesucian dan keberkahan. Sedangkan, zakat
menurut terminologi (syar‟i) adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah SWT untuk
diberikan kepada orang yang berhak menerima zakat (mustahiq) yang disebutkan dalam Al-Quran.
Selain itu, bisa juga berarti sejumlah harta tertentu dari harta tertentu yang diberikan kepada orang
yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu (Ja’far, 1995).Tujuan zakat tidak sekedar
menyantuni orang miskin secara konsumtif tetapi juga mempunyai tujuan yang lebih permanen yaitu
mengentaskan kemiskinan (Qadir, 2001). Untuk itu, diperlukan Lembaga-lembaga sosial islam sebagai
upaya menanggulangi masalah sosial dan menunjang kesejahteraan sosial ekonomi (Herdiyanto,
2011).
Zakat hukumnya Wajib ain (fardhu ‘ain) bagi setiap muslim apabila telah memenuhi syarat-
syarat yang telah ditentukan oleh syariat. Ibadah ini juga merupakan kewajiban yang disepakati oleh
umat Islam dengan berdasarkan dalil Al-Quran, Hadis dan Ijma. Adapun orang yang enggan
mengeluarkan zakat, tetapi tidak mengingkari wajibnya, maka dia berdosa dan tetap sebagai orang
muslim dan zakatnya harus diambil oleh orang yang berwajib, sedang dia diberikan hukuman cambuk.
Oleh karena itu al-Qur’an memberi perintah agar zakat disalurkan kepada yang berhak menerimanya
(mustahik) (Rofiq, 2012). Dalam hal ini pemberian zakat kepada mustahiq tidak lepas begitu saja
setelah menerima zakat, tetapi dibimbing agar berhasil (lebih produktif) .
Zakat merupakan salah satu dari sistem ekonomi Islam, karena zakat merupakan salah satu
implementasi asas keadilan dalam sistem ekonomi Islam. Mannan di dalam bukunya “Islamic
Economics: Theory and Practice” menyebutkan bahwa zakat mempunyai enam prinsip, yaitu:
1. Prinsip Keyakinan Keagamaan, yaitu bahwa orang yang membayar zakat merupakan salah satu
manifestasi dari keyakinan agama.
2. Prinsip Pemerataan dan Keadilan; merupakan tujuan sosial zakat, yaitu membagi kekayaan yang
diberikan Allah lebih merata dan adil kepada masyarakat (Halimatusa’diyah, 2015).
3. Prinsip Produktivitas, yaitu menekankan bahwa zakat memang harus dibayar karena milik tertentu
telah menghasilkan produk tertentu setelah lewat jangka waktu tertentu.
4. Prinsip Nalar, yaitu sangat rasional bahwa zakat harta yang menghasilkan itu harus dikeluarkan.
5. Prinsip Kebebasan, yaitu bahwa zakat hanya dibayar oleh orang yang bebas atau merdeka.
6. Prinsip Etika dan Kewajaran, yaitu zakat tidak dipungut secara semena-mena, tapi melalui aturan
yang disyariatkan. Ketika dilihat dalam praktek penyaluran zakat pada umumnya dapat dilihat
model penyaluran zakat ada dua macam. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:
a. Muzakki langsung memberikan zakat kepada Mustahiq Pemberian atau penyaluran zakat secara
langsung diberikan oleh muzakki kepada mustahiq tujuannya adalah agar terjadi interaksi
langsung antara muzakki dan mustahiq. Sehingga dapat memperkokoh rasa persaudaraan dan
mempererat jalinan silaturrahim diantara mereka.
b. Muzakki membayar zakat lewat lembaga zakat Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat
akan lebih banyak manfaatnya, apalagi yang memiliki kekuatan hukum formal, akan memiliki
beberapa keuntungan, antara lain:
1) Untuk menjamin kepastian dan kedisiplinan pembayar zakat.
2) Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung
untuk menerima zakat dan para muzakki.
3) Untuk mencapai efesiensi dan efektivitas serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta
zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat.
4) Untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang
Islami (Abdi, 2015).

Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode penelitian


kepustakaan, yaitu berisi teori-teori yang relevan dengan masalah-masalah penelitian. Pada metode
penelitian kepustakaan, dilakukan pengkajian mengenai konsep dan teori yang digunakan
berdasarkan literature yang tersedia, terutama dari artikel-artikel yang dipublikasikan dalam jurnal

47
Insight Management Journal, 2 (2) (2022) 45-53

ilmiah. Dalam penelitian studi pustaka diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan
metode pengumpulan data Pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah penelitian.
Sebelum melakukan telaah bahan pustaka, peneliti memastikan sumber informasi ilmiah yang
diperoleh seperti melalui buku, jurnal-jurnal ilmiah dan referensi lainnya dan data-data lain. Data
diperoleh dari data sekunder berupa buku, artikel, dan data olahan dari pihak lain atau data publikasi
seperti data publikasi BAZNAS dan yang terkait dengan penelitian ini. Setelah data keseluruhan
terkumpul, penulis menganalisa data-data yang diperoleh sehingga ditarik suatu kesimpulan.

Hasil dan diskusi

Manajemen Zakat di Indonesia (Tantangan dan Solusi)


Penghimpunan dana zakat dan pendayagunaan zakat akhir-akhir ini mengalami perkembangan,
dalam pendayagunaannya, zakat yang dulu hanya bersifat konsumtif, saat ini cenderung produktif,
seperti penggunaan untuk pengembangan dan pemberdayaan UMKM. Sehingga zakat dapat
meningkatkan pendapatan, profit, dan konsumsi masyarakat. Namun, dibalik kemajuan tersebut, juga
terdapat beberapa permasalahan tentang zakat. Ada beberapa hal yang secara umum menjadi
masalah dalam pengumpulan zakat yang maksimal diantaranya: regulasi, ketidakpercayaan muzakki
terhadap lembaga pengelola, dan lain-lain (Sudewo, 2004). Adapun masalah-masalah yang menjadi
tantangan daam pengelolaan zakat antara lain:

Masalah Regulator
Regulator zakat dinilai oleh kebanyakan orang sebagai lembaga yang paling bermasalah dalam
pengelolaan zakat nasional. Peran-peran yang seharusnya dapat dilakukan regulator tidak dijalankan
dengan baik dan optimal. Seharusnya regulator yang dalam hal ini adalah pemerintah pusat dapat
melakukan: pembangunan sistem jaringan dan membuat standardisasi pengelolaan zakat secara
nasional dan pengawasan pemerintah selaku regulator pengelolaan zakat, memberikan dukungan dan
fasilitas yang diperlukan dalam rangka implementasi undang-undang/peraturan teknis yang
dikeluarkan tentang pengelolaan zakat di tingkat pusat, merealisasikan anggaran untuk operasional
pengelolaan zakat bagi Badan Amil Zakat melalui APBN, serta mengakomodir usulan dan aspirasi yang
berkembang di masyarakat berkenaan dengan substansi amandemen undang-undang tentang
pengelolaan zakat.
Adapun tantangan pengelolaan zakat terkait dengan masalah regulator ini di antaranya adalah:
1. Rendahnya koordinasi antara regulator dan OPZ. Hal ini merupakan kelemahan utama dalam
regulator zakat, Rendahnya peran Kemenag. Dalam hal ini kurangnya perhatian Kemenag dalam
melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap OPZ. Sebagai satu-satunya lembaga yang
berwenang untuk melakukan penataan dan akreditasi, Kementrian Agama terkesan lepas tanggung
jawab terhadap permasalahan zakat nasional dan menyerahkannya kepada BAZNAS pusat.
2. Zakat belum menjadi obligatory system. Zakat yang hanya diposisikan sebagai kewajiban sukarela
oleh negara (voluntary system) memiliki dampak buruk bagi pengelolaan zakat nasional. Di antara
dampak tidak diterapkannya kewajiban berzakat bagi yang telah wajib zakat (obligatory system)
adalah rendahnya kesadaran berzakat masyarakat yang dalam hal ini adalah muzakki. Meskipun
telah memiliki pengetahuan tentang fikih zakat, muzakki cenderung tidak ingin menunaikan zakat
karena tidak ada sanksi (punishment) yang diterima bila tidak bayar zakat.

Masalah OPZ
OPZ di indonesia telah mengalami pertumbuhan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, sayangnya masih banyak hal yang menjadi tantangan dari OPZ dalam pengelolaan zakat serta
masalah system manajemen zakat yang belum terpadu) (Indrijatiningrum, 2005). Adapun tantangan-
tantangan tersebut di antaranya adalah:
a) Transparansi
Salah satu tantangan pengelolaan zakat dari segi OPZ adalah masalah transparansi. Di mana
permasalahan ini berdampak pada muzakki karena jika prinsip transparansi tidak diberlakukan dalam
pengelolaan zakat, maka muzakki tentunya tidak akan serta merta untuk mempercayakan hartanya
kepada lembaga-lembaga pengelola zakat. Tantangan dalam hal ini dapat berupa tantangan dalam
hal keterbukaan informasi, komunikasi, dan anggaran dalam suatu OPZ.
Dalam hal ini, Lembaga pengelola zakat harus memiliki sifat amanah atau jujur. Sifat ini sangat
penting karena berkaitan dengan kepercayaan umat. Artinya para muzakki akan dengan rela

48
Insight Management Journal, 2 (2) (2022) 45-53

menyerahkan zakatnya melalui lembaga pengelola zakat, jika lembaga ini memang patut dan layak
dipercaya. Keamanan ini diwujudkan dalam bentuk transparansi (keterbukaan) dalam menyampaikan
laporan pertanggungjawaban secara berkala dan juga ketepatan penyalurannya sejalan dengan
ketentuan syariah islamiah.
b) Akuntabilitas
Bagi muzakki adanya BAZ atau LAZ akan membantu menyalurkan zakat yang wajib dikeluarkan
kepada mustahik, dengan lebih mudah. Namun sebagian dari muzakki (wajib zakat) masih meragukan
keberadaan BAZ atau LAZ, dalam hal pendistribusian zakat yang berhak, di samping banyaknya
keinginan dari muzakki untuk memberikan zakat secara langsung kepada yang berhak. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar muzakki masih menginginkan pengelolaan zakat yang lebih baik,
yaitu bahwa pengelolaan zakat harus memiliki profesionalisme, transparansi dalam pelaporan dan
penyaluran yang tepat sasaran.
Sama halnya dengan permasalahan transparansi pengelolaan zakat, masalah akuntabilitas juga
kerap kali menjadi tantangan dalam pengelolaan zakat. Dalam masalah akuntabilitas ini, lembaga
pengelola zakat sangat dituntut untuk pertanggungjawaban mengenai pengelolaan zakat. Masalah
akuntabilitas di sini adalah terkait dengan bagaimana OPZ itu mampu memberikan laporan
administrasi, pengumpulan serta pendistribusian zakat yang akuntabel dan dikelola oleh para
penagnggungjawab yang professional (Qaradhawi, 2005).
Dalam akuntabilitas laporan, prinsip utama yang harus digunakan adalah transparansi dan
kejujuran. Dengan prinsip ini OPZ berupaya memberikan informasi laporan kegiatan maupun laporan
pengumpulan dan pendistribusian dana zakat secara jelas, jujur dan dapat dipercaya (Endahwati,
2014).
Berbicara mengenai ketidakpercayaan masyarakat terhadap organisasi sektor publik lebih
disebabkan oleh kesenjangan informasi antara pihak manajemen yang memiliki akses langsung
terhadap informasi dengan pihak institusi atau masyarakat yang berada di luar manajemen. Konsep
mengenai akuntabilitas dan aksesibilitas menempati kriteria yang sangat penting terkait dengan
pertanggungjawaban organisasi dalam menyajikan, melaporkan dan mengungkap segala aktivitas
kegiatan serta sejauh mana laporan keuangan memuat semua informasi yang relevan yang
dibutuhkan oleh para pengguna dan seberapa muda informasi tersebut diakses oleh masyarakat.
c) SDM
Seiring dengan pertumbuhan OPZ di Indonesia, yang menjadi tantangan selanjutnya adalah
OPZ ini tidak diimbangi dengan adanya pasokan sumber daya amil yang professional atau minimnya
sumber daya manusia yang berkualitas. Adapun amil zakat adalah orang atau lembaga yang
mendapatkan tugas untuk mengambil, memungut, dan menerima zakat dari para muzakki, menjaga
dan memeliharanya untuk kemudian menyalurkannya kepada para mustahik (Hafidhuddin, 2002).
Dalam hal ini pekerjaan menjadi seorang pengelola zakat (amil) belumlah menjadi tujuan hidup
atau profesi dari seseorang, bahkan dari lulusan ekonomi syariah sekalipun. Para sarjana meskipun
dari lulusan Ekonomi Syariah lebih memilih untuk berkarir di sektor keuangan seperti perbankan atau
asuransi (Zumrotun, 2016). Sangat sedikit orang yang memilih untuk berkarir menjadi seorang
pengelola zakat. Menjadi seorang amil belumlah menjadi pilihan hidup dari para sarjana itu, karena
tidak ada daya tarik kariernya. Padahal lembaga amil membutuhkan banyak sumber daya manusia
yang berkualitas agar pengelolaan zakat dapat profesional, amanah, akuntabel, dan transparan. Karena
sesungguhnya kerja menjadi seorang amil mempunyai dua aspek tidak hanya aspek materi semata
namun aspek sosial juga sangat menonjol (Zumrotun, 2016).
SDM amil zakat saat ini sebenarnya dapat dikategorikan dalam dua kelompok: Amil tetap/full
timer; Amil tidak tetap/part timer yaitu orang-orang yang mengelola zakat di lembaga amil zakat, tapi
waktu yang digunakan adalah paru waktu atau sambil mengerjakan tugas lain yang diprioritaskan.
Amil zakat yang saat ini ada menghadapi berbagai permasalahan, antara lain:
a. Minimnya kompetensi yang diakibatkan karena banyak di antara amil zakat yang direkrut dari
anggota masyarakat atau professional yang tidak memiliki latar belakang pengetahuan atau
keahlian tentang pengelolaan zakat.
b. Minimnya balas jasa yang diberikan kepada amil yang berakibat daya tawar lembaga amil
zakat terhadap tenaga berkualitas dan professional rendah. Faktor ini yang menyebabkan
tenaga amil menjadikan pekerjaannya sebagai bukan pekerjaan utama melainkan pekerjaan
sampingan.
c. Minimnya pengembangan kualitas amil yang berakibat tidak seimbangnya antara tantangan
permasalahan dan tuntutan pelaksanaan tugas dengan kemampuan amil.

49
Insight Management Journal, 2 (2) (2022) 45-53

d) Sistem Akuntansi Perzakatan


Salah satu permasalahan mendasar yang dihadapi oleh kalangan organisasi pengelola zakat
saat ini adalah standarisasi sistem akuntansi dan audit, yang bertujuan untuk menciptakan
transparansi keuangan sekaligus memperbaiki kualitas pelayanan keuangan kepada masyarakat.
Selama ini organisasi pengelola zakat ketika diaudit, mengalami permasalahan karena adanya istilah-
istilah yang menurut tim audit tidak begitu jelas. Karena memang tidak ditemukan dalam standar
akuntansi keuangan sistem standar akuntansi keuangan syariah yang telah ada. Diantara kunci
kesuksesan suatu organisasi pengelola zakat sangat ditentukan oleh tingkat kepercayaan publik
terhadap kekuatan financial untuk mendukung program-program yang digulirkannya. Selain itu,
tingkat kepercayaan masyarakat juga ditentukan oleh tingkat kesesuaian operasional organisasi
pengelola zakat dengan sistem syariah islam. kepercayaan ini terutama kepercayaan diberikan oleh
para muzakki dan mustahik, di mana keduanya termasuk stakeholder utama sistem perzakatan saat ini.
Salah satu sumber utama untuk meraih kepercayaan publik adalah tingkat kualitas informasi
yang diberikan kepada publik, di mana organisasi pengelola zakat harus mampu meyakinkan publik
bahwa ia memiliki kemampuan dan kapasitas di dalam mencapai tujuan-tujuan pemberdayaan
maupun tujuan-tujuan program yang sesuai dengan syariat islam. karena itu, membangun sebuah
sistem akuntansi yang besifat standar merupakan sebuah keniscayaan dan telah menjadi kebutuhan
utama yang harus dipenuhi.
e) Sinergi tidak berjalan dengan baik
Sinergi antar OPZ adalah prioritas masalah pengelolaan zakat nasional di OPZ terpenting.
Kurangnya sinergi antar OPZ ini dikarenakan adanya egoisme lembaga terutama pada OPZ besar.
Setiap pengelola zakat memiliki masa lalu yang panjang dan sulit. Saat ini adalah waktu di mana
banyak pengelola zakat, khususnya lembaga zakat, menikmati hasil dari perjuangannya di masa
lampau. Namun di saat hendak menikmati hasil dari perjuangan panjang tersebut, lahir sebuah
regulasi yang dianggap mengancam eksistensinya.
Kurangnya sinergi antarpengelola zakat sangat tampak pada kurangnya kerja sama antar
BAZNAS dan LAZ. Penyebabnya adalah egoisme yang muncul pada kedua pihak pengelola zakat
tersebut. Di satu sisi badan amil zakat menganggap bahwa regulasi zakat yang baru, yakni Undang-
Undang No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, merupakan undang-undang yang mengancam
eksistensinya. Itulah sebabnya sebagian lembaga zakat mengajukan review supaya undang-undang
tersebut dapat diperbaiki (Huda et al., 2015).
Seharusnya kondisi seperti ini tidak perlu terjadi mengingat seluruh pengelola zakat pada
hakikatnya adalah sebuah lembaga yang berorientasi pada kemaslahatan umat, khususnya muzakki
dan mustahik. Seharusnya persatuan lebih diutamakan dibandingkan mengedepankan bendera
organisasi.

Masalah Mustahik dan Muzakki


Selain tantangan yang berasal dari segi regulator dan OPZ, tantangan pengelolaan zakat juga
dapat berasal dari sisi mustahik dan muzakki sendiri. Adapun tantangan-tantangan tersebut adalah
sebagai berikut (Alam, 2018):
1. Rendahnya kepercayaan terhadap OPZ dan regulator. Dalam hal ini, kredibilitas OPZ sangat
dibutuhkan untuk membangu kepercayaan masyarakat. Biasanya para muzakki cenderung
menyalurkan zakatnya langsung kepada mustahik tanpa melalui lembaga zakat,karena merasa
tidak percaya terhadap OPZ dan regulator. Sebenarnya, penyaluran zakat yang langsung kepada
mustahik boleh-boleh saja, akan tetapi untuk lebih produktifnya ada baik jika seorang muzakki
membayarkan zakat melalui lembaga zakat, agar pendayagunaan dana zakatnya bisa lebih
terorganisir. Di sini juga dibutuhkan kesadaran OPZ untuk meningkatkan kredibilitasnya sehingga
kepercayaan masyarakat masyarakat terhadap OPZ pun terbangun.
2. Rendahnya kesadaran Muzakki. Tantangan pengelolaan zakat juga bersumber dari rendahnya
kesadaran muzakki untuk membayarkan zakat. Potensi zakat yang terbilang cukup besar, tidak bisa
dioptimalkan.
3. Rendahnya pengetahuan muzakki akan fikih zakat. Pengetahuan muzakki tentang fikih zakat juga
menjadi tantangan pengelolaan zakat di Indonesia yang berakibat pada rendahnya kesadaran
untuk menunaikan zakat. Biasanya sebagian muzakki memandang bahwa zakat hanya terbatas
pada zakat fitrah, sebagian lain juga masih menganggap bahwa zakat hanya dikeluarkan pada
bulan Ramadhan, zakat juga masih dipahami hanya sebagai ibadah ritual, padahal sesungguhnya
zakat merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki dimensi sosial (Huda et al., 2015).

50
Insight Management Journal, 2 (2) (2022) 45-53

Solusi
Dari tantangan-tantangan yang ada, maka untuk mengoptimalkan pengelolaan zakat di
Indonesia, perlu dipikirkan sebuah solusi yang mampu mengembangkan serta mengoptimalkan peran
zakat di Indonesia. Adapun solusi-solusi yang dapat diterapkan secara umum dalam pengelolaan zakat
di Indonesia agar zakat dapat semakin tumbuh dan berkembang, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Optimalisasi sosialisasi zakat
Perlu disadari bahwa zakat membutuhkan sosialisasi yang lebih mendalam harus diakui bahwa
pada satu sisi, kesadaran masyarakat untuk berzakat semakin meningkat dari waktu ke waktu, namun
pada sisi yang lain, antara potensi dana zakat dengan realisasi pengumpulannya terdapat gap yang
sangat besar. Untuk itu, sosialisasi menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditawar lagi
(Hafidhuddin, 2008). Salah satu bentuk sosialisasi adalah dengan melakukan kampanye sadar zakat
secara terus menerus. Seluruh komponen bangsa, mulai dari presiden, diminta untuk turut
berpartisipasi dalam kampanye ini dengan memberi contoh membayar zakat. Bahkan, untuk
mengefektifkan kampanye ini, presiden dan seluruh Kabinet Indonesia Bersatu dihimbau untuk segera
memiliki NPWZ (Nomor Pokok Wajib Zakat), sebagai bukti keterlibatan mereka di dalam mendukung
sosialisasi zakat ini. Optimalisasi dan Efektivitas berfokus pada outcome (hasil) suatu yang diharapkan
organisasi dinilai efektif apabila output yang dihasilkan bisa memenuhi tujuan (spelling wisely)
(Tandika, 2011).
2. Membangun citra lembaga zakat yang amanah dan profesional
Hal ini sangat penting untuk dilakukan mengingat saat ini telah terjadi krisis kepercayaan antar
sesama masyarakat. Pembangunan citra ini merupakan hal yang sangat fundamental. Citra yang kuat
dan baik, akan menggiring masyarakat yang terkategorikan sebagai muzakki untuk mau menyalurkan
dana zakatnya melalui amil. Sebaliknya buruknya pencitraan, hanya akan mengakibatkan rendahnya
partisipasi muzakki untuk menyalurkan dananya melalui lembaga amil. Dengan demikian, pencitraan
amil ini merupakan hal yang sangat strategis. Akuntabilitas, transparansi dan corporate culture
merupakan tiga hal pokok yang menentukan citra lembaga yang amanah dan profesional. Harus
disadari bahwa profesi amil ini bukan merupakan profesi sampingan yang dikerjakan dengan tenaga
dan waktu sisa. Ia membutuhkan komitmen dan kesungguhan di dalam praktiknya. Saat ini bukan
zamannya lagi untuk mengelola zakat secara asal-asalan, sebab tujuan zakat untuk mengentaskan
kemiskinan tidak akan pernah mungkin tercapai bila zakat tersebut tidak dikelola secara profesional
dan transparan.
3. Membangun sumber daya manusia (SDM) yang siap untuk berjuang dalam mengembangkan zakat
di Indonesia
Peran Institut Manajemen Zakat (IMZ) sebagai sentra utama dalam mencetak SDM yang siap
menjadi praktisi pengelola zakat perlu ditingkatkan. IMZ atau yang sejenisnya ini sebaiknya dikelola
secara terpusat oleh BAZNAS. Model IMZ atau AIZ (Akademi Ilmu Zakat) ini adalah seperti model STAN
yang berada di bawah naungan Departemen Keuangan maupun sekolah-sekolah tinggi yang berada
di bawah naungan departemen-departemen lainnya. IMZ dan atau AIZ ini, sesuai dengan namanya,
manawarkan program diploma yang para alumninya akan disalurkan untuk bekerja pada institusi-
institusi zakat seperti BAZNAS, BAZDA, maupun LAZ-LAZ yang telah ada. Standardisasi dari kualitatif
SDM yang akan duduk di lembaga zakat disesuaikan dengan persyaratan yang diajukan para ahli fikih,
yaitu seorang muslim, yang mempunyai kapabilitas dalam bertugas, dan mengetahui perannya dalam
lembaga tersebut serta dapat dipercaya. Hal ini pun menjadi klasifikasi SDM dalam fikih politik syar’i
terhadap persyaratan umum setiap orang yang mengemban suatu tugas. Persyaratan ini dikumpulkan
dalam dua syarat; mampu dan amanah. Keistimewaan dari SDM yang memiliki skill atau capable dalam
bekerja adalah berkemampuan dalam menciptakan inovasi dan terobosan. Demikian pula dengan
SDM yang amanah, senantiasa menjaga kepercayaan bila sudah terkait dalam masalah keuangan.
4. Memperbaiki dan menyempurnakan perangkat peraturan tentang zakat di Indonesia.
Hal ini terkait dengan usaha untuk merevisi Undang-Undang nomor 38/1999. Hal ini sangat
penting mengingat Undang-undang tersebut merupakan landasan legal formal bagi pengelolaan
zakat secara nasional, termasuk melakukan revisi Keppres tentang BAZNAS.
5. Menciptakan standarisasi mekanisme kerja BAZ dan LAZ
Adanya standarisasi mekanisme kerja ini merupakan suatu upaya atau parameter untuk
mengetahui kinerja kedua lembaga tersebut (LAZ dan BAZ). Kedua lembaga tersebut selama ini belum
ada standar baku dalam praktiknya. Untuk itu, hal ini telah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak
agar masyarakat memiliki ukuran yang jelas di dalam mengontrol pengelolaan zakat di tanah air.
Kemudian standardisasi tersebut juga dimaksudkan sebagai indikator transparansi dan akuntabilitas
institusi zakat.

51
Insight Management Journal, 2 (2) (2022) 45-53

6. Memperkuat sinergi antar lembaga zakat


Penguatan sinergi ini diharapkan dapat lebih meningkatkan pengumpulan dan pendayagunaan
zakat bagi kepentingan mustahik. Sinergi antara BAZNAS dan FOZ harus lebih ditingkatkan. Demikian
pula dengan ormas-ormas islam lainnya. Di negara Indonesia dengan populasi muslim hampir 200 juta
orang yang tersebar di 33 provinsi dan ratusan daerah tingkat II, menyimpan potensi zakat yang
dahsyat. Karena para eksekutif zakat dan organisasi pengelola zakat harus ditingkatkan kapasitas dan
kapabilitasnya, harus ditumbuhkembangkan potensi dan kompetensinya. Potensi zakat yang begitu
dahsyat hanya mampu direngkuh oleh eksekutif zakat dan organisasi pengelola zakat yang benar-
benar amanah dan profesional secara kultural, pemikiran maupun praktikal. Untuk mencapai tujuan
itu, FOZ, BAZNAS dan Direktorat Pemberdayaan Zakat, Departemen Agama terus mengembangkan
dialog dengan pakar zakat negara serumpun yang bergabung dalam DZAT (Dewan Zakat Asia
Tenggara) untuk menyusun standarisasi mutu organisasi pengelola zakat Asia Tenggara. Ketika sebuah
OPZ mendapatkan sertifikasi mutu sebagai OPZ berstandar Asia Tenggara dari pusat dan kemudian
dipublikasikan kepada masyarakat, maka semoga OPZ tersebut semakin trustable institution di benak
masyarakat. Kalau kemudian OPZ-OPZ yang mendapatkan sertifikasi mutu dari DZAT tersebut
melakukan sinergi fungsional baik terkait dengan program penghimpunan dana, maka hal tersebut
akan membuat keberadaan para eksekutif zakat dan OPZ semakin terasa manfaatnya bagi ummat.
Karena itulah FOZ dituntut untuk bisa memfungsikan peran strategis, yakni bersama dengan BAZNAS,
Direktorat Pemberdayaan Zakat Depag dan DZAT menyusun sistem sertifikasi manajemen mutu OPZ
berstandar Asia Tenggara dan menyususn sistem sertifikasi kompetensi untuk para eksekutif zakat dan
kemudian secara bertahap menerapkannya bagi OPZ dan para eksekutif zakat negara serumpun.
7. Membangun sistem zakat nasional yang mandiri dan profesional.

Kesimpulan

Zakat, selain merupakan hal yang wajib dikeluarkan oleh umat Islam, memiliki prospek yang
bagus dan sangat produktif jika dikelola, dan disalurkan dengan cara yang tepat. di Indonesia memiliki
beberapa masalah-masalah yang menjadi tantangan manajemen zakat yaitu masalah regulator,
masalah OPZ, dan masalah mustahik dan muzakki. Oleh karena itu diperlukan beberapa solusi untuk
memecahkan beberapa masalah yang ada seperti optimalisasi sosialisasi zakat, membangun citra
lembaga zakat yang amanah dan profesional, membangun sumber daya manusia (SDM) yang siap
untuk berjuang dalam mengembangkan zakat di indonesia, memperbaiki dan menyempurnakan
perangkat peraturan tentang zakat di indonesia, menciptakan standarisasi mekanisme kerja BAZ dan
LAZ, memperkuat sinergi antar lembaga zakat, membangun sistem zakat nasional yang mandiri dan
profesional, dimana beberapa solusi tersebut diharapkan dapat memperbaiki manajemen zakat di
indonesia.

Daftar pustaka

Abdi, K. (2015). Sentralisasi Pengelolaan Zakat oleh Badan Amil Zakat Nasional (Analisis Terhadap
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2011). Jurnal Hukum.
Afifi, A. T., & Ika, S. (2010). Kekuatan Zakat: Hidup Berkah Rezeki Berlimpah. Pustaka Albana.
Al-Baqy’, A. (1945). Al-Muljam Al-Mufahrash li Alfazh al-Qur’an. Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah.
Alam, A. (2018). Permasalahan dan solusi pengelolaan zakat di Indonesia. Jurnal Manajemen , 9(2), 128–
136.
Arlini, F. (2011). Akuntansi Zakat Infaq dan Shadaqah. Putra Media.
Ash-Shiddieqy, H. (2009). Pedoman Zakat. PT. Pustaka Rizki Putra.
Athoillah, M. A. (2014). Zakat Untuk Kesejahtearaan Bangsa. Jurnal Media Syariah, XVI(2), 491–576.
Bakar, M. A. (2011). Manajemen Organisasi Zakat. Madani Wisma Kalimetro.
Beik, I. S. (2009). Analisis peran zakat dalam mengurangi kemiskinan: studi kasus Dompet Dhuafa
Republika. Jurnal Pemikiran Dan Gagasan, II, 45–53.
Endahwati, Y. D. (2014). Akuntabilitas Pengelolaan Zakat Infaq dan Shadaqah (ZIS). Jurnal Ilmiah
Akuntansi Dan Humanika , 4(1), 1356–1379.
Fakhruddin, F. (2011). Membumikan Zakat: Dari Taabbudi Menuju Taaqquli. Jurisdictie, Jurnal Hukum
Dan Syariah, 2(1), 95–102.

52
Insight Management Journal, 2 (2) (2022) 45-53

Hafidhuddin, D. (2002). Zakat dalam Perekonomian Modern. Gema Insani.


Hafidhuddin, D. (2008). The Power of Zakat. UIN Malang Press.
Halimatusa’diyah, I. (2015). Zakat and Social Protection: The Relationship Between Socio-religious
CSOs and the Government in Indonesia. Journal of Civil Society, 11(1), 79–99.
https://doi.org/10.1080/17448689.2015.1019181
Herdiyanto, A. W. (2011). Peran Negara Dalam Mengoptimalkan Zakat Di Indonesia. Jurisdictie, Jurnal
Hukum Dan Syariah, 2(1), 103–116.
Huda, N., Novarini, Mardoni, Y., & Sari, C. P. (2015). Zakat Perspektif Mikro-Makro (Pendekatan Riset)
(1st ed.). Kencana.
Indrijatiningrum, M. (2005). Zakat sebagai alternatif penggalangan dana masyarakat untuk
pembangunan. Universitas Indonesia.
Ja’far, M. (1995). Tuntunan Ibadat Zakat Puasa dan Haji. Kalam Mulia.
Nadzri, F. A. A., Rahman, R. A., & Omar, N. (2012). Zakat and Poverty Alleviation: Roles of Zakat
Institutions in Malaysia. International Journal of Arts and Commerce, 1(7), 61–72.
Qadir, A. (2001). Zakat Dalam Dimensi mahdah dan Sosial (2nd ed.). PT. Raja Grafindo Persada.
Qaradhawi, Y. (2005). Spektrum zakat, dalam membangun ekonomi kerakyatan. Zikrul Hakim.
Ridwan, M. (2005). Zakat & Kemiskinan: Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat. Universitas Islam
Indonesia (UII) Press.
Rofiq, A. (2012). Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial (2nd ed.). Pustaka Pelajar.
Rosadi, A., & Athoillah, M. A. (2015). Distribusi zakat di Indonesia: Antara Sentralisasi dan
Desentralisasi. Ijtihad Jurnal Wacana Hukum Islam Dan Kemanusiaan, 15(2), 237–256.
Sabiq, S. (2006). Fiqh Sunnah: Jilid 1, Jilid 2, dan Jilid 4. Terjemah. Pena Pundi Aksara.
Sudewo, E. (2004). Manajemen zakat: tinggalkan 15 tradisi terapkan 4 prinsip dasar. Institut Manajemen
Zakat Ciputat : Institut Manajemen Zakat.
Sugiarto, A., Lubis, I., Trisilo, R. B., Ma’mun, T. M., Chalid, A., & Djuanda, G. (2006). Pelaporan Zakat
Pengurang Pajak Penghasilan (1st ed.). PT. Raja Grafindo Persada.
Tandika. (2011). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Organisasi Pengelola Zakat di
Propinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Makalah Call for Paper Update Ekonomi Akuntansi Dan
Bisnis Indonesia 2011.
Zumrotun, S. (2016). Peluang, Tantangan dan Strategi Zakat dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat.
Jurnal Hukum Islam , 14(1), 49–63.

53

Anda mungkin juga menyukai