Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Dalam kehidupannya, manusia saling berinteraksi satu dengan lainnya.
Ini karena fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan.
Manusia dalam kesehariannya membutuhkan makan dan juga kebutuhan lain.
Dalam hal ini, tidak semua manusia bisa bertemu dengan orang yang berbeda
kebutuhannya dan membutuhkannya. Karena perbedaan cara memperoleh
kebutuhan itulah, manusia sulit untuk mencari barang yang mereka butuhkan.
Hingga berjalannya waktu, manusia menemukan lokasi yang tepat untuk
menukarkan barang kebutuhan mereka, yang dinamakan dengan pasar.
B.            Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari mekanisme pasar dan bagaimana konsepnya dalam


Islam?
2. Bagaimana kondisi pasar pada permulaan Islam?
3. Bagaimana konsep pasar pada masa Rasulullah Saw. dalam kaitannya
dengan mekanisme pasar?

C.            Tujuan Penulisan

1. Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Maqoshid


Syariah dengan tujuan:
1. Untuk mengetahui pengertian mekanisme pasar dan konsepnya dalam
Islam.
2. Untuk  mengetahui kondisi pasar pada permualaan Islam.
3. Untuk mengetahui konsep pasar pada masa Rasulullah Saw. dalam
kaitannya dengan mekanisme pasar.
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian dan Konsep Mekanisme Pasar dalam Islam


Islam dalam mengatur kaidah tentang muamalah memperhatikan bentuk
perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya untuk memenuhi
kebutuhannya di dunia, termasuk kaidah yang mengatur pasar dan
mekanismenya. Pengertian pasar secara sederhana adalah tempat transaksi jual
beli barang atau jasa dari penjual dan pembeli.Pasar menempati posisi yang
penting dalam Islam, ini karena pasar memiliki fungsi sebagai tempat
bertemunya antara penjual dengan pembeli untuk memenuhi kebutuhan manusia
dan juga mendapat keuntungan bagi penjual. Dari cara manusia dalam upaya
memenuhi kebutuhannya, Islam mengaturnya sedemikian rupa, agar transaksi
yang dilakukan mendapat laba dan berkah, bukan hanya keuntungan dan
kepuasan yang menjadi dalih dalam ekonomi konvensional.

Begitu pentingnya pasar untuk menunjang ekonomi masyarakat, namun


pasar rentan dengan adanya masalah kecurangan dan ketidakadilan yang
menzalimi pihak lain, seperti mengurangi timbangan. Karenanya, sudah tertulis
terlebih dahulu dalam al-Quran aturan-aturan yang ditentukan Allah yang
disebut dengan syariat. Terkait dengan hal ini, Allah Swt. berfirman dalam
Surat al-Rahman: 9,
)9(  َ‫ــسـرُوْ اـ ْالــ ِمــيْـزَ ان‬ ِ ‫ــو ْزنَ بِـا ْلـقِـس‬
ْ ُ‫ْـط َواَل ت‬
ِ ‫ــخ‬ َ ‫َوَأ قِـيْــ ُمــوْ ا ْال‬
Artinya: “Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu
mengurangi neraca itu.” (QS. Al-Rahman: 9)

Pasar juga merupakan tempat pembentukan harga. Mekanisme pasar adalah


kecenderungan dalam pasar bebas untuk terjadinya perubahan harga sampai
pasar menjadi seimbang (jumlah yang ditawarkan sama dengan jumlah yang
diminta). Jadi mekanisme pasar merupakan suatu proses penentuan harga
berdasarkan permintaan dan penawaran.
Konsep Islam menegaskan bahwa pasar harus berdiri diatas persaingan
bebas (perfect competition). Namun, bukan berarti kebebasan tersebut berlaku
mutlak, tetapi kebebasan itu harus sesuai dengan aturan syariah. suatu harga
terbentuk karena mekanisme pasar dan pengaruh hasil dari suatu penawaran dan
permintaan sehingga penjual dan pembeli tidak dapat mempengaruhi harga dan
hanya berperan sebagai penerima harga (price-taker) saja.

Prinsip-prinsip yang dibangun oleh Islam untuk mekanisme pasar mencakup


nilai-nilai moralitas Islam (Al Arif dan Amalia, 2010: 263), yaitu:
1.      Ar-Ridha, yakni segala transaksi dilakukan haruslah atas dasar kerelaan
antara masing-masing pihak (freedom contract).
2.      Berdasarkan persaingan yang sehat (fair competition), yaitu tidak adanya
kecurangan dalam mekanisme pasar, seperti  melakukan ikhtikar.
3.      Kejujuran (honesty, artinya jual beli dilakukan seperti dicontohkan Nabi
Muhammad Saw, yaitu dengan menjelaskan keunggulan dan kelemahan dari
barang yang Beliau jual.
4.      Keterbukaan (transparancy)
5.      Keadilan (justice), Rasulullah selalu mengelompokkan harga barang
sesuai dengan kualitasnya.

B.  Pasar pada Permulaan Islam


Islam merupakan agama yang di rahmati Allah dengan segala bentuk
keteraturan di atur dalam kitab suci al-Quran yang dibawa oleh Utusan-Nya
Nabi Muhammad Saw. Namun sebelum masuknya Islam, (Jusmaliani, 2008:
47) perdagangan dengan cara kerja sama (syirkah) telah lazim dilakukan
masyarakat di Jazirah Arab. Model-model kerja sama ini dilakukan sebagai
bentuk pengalaman yang luas bagi bangsa Arab, khususnya suku Quraisy dalam
berdagang ke berbagai negeri serta pengetahuan dagangnya yang cukup baik.

Dalam sejarahnya, (Fauzia dan Riyadi, 2014: 197) Islam diturukan di suatu
penduduk yang aktivitas perdagangannya tergolong maju pada saat itu. Bangsa
Quraisy di Mekkah sering kali melakukan perjalanan perdagangan ke Syam dan
Yaman. Jalur perdagangan mereka pada saat itu terbentang dari Yaman sampai
ke daerah-daerah Mediteranian. Keterangan ini dapat dilihat dari penjelasan
Surat al-Quraisy: 1 – 4.
 ‫هَـــــــ َذا‬   َّ‫فَ ْـلـيَـعْــــــبُ ُدوْ ا َرب‬ )2( ‫ْــــف‬
ِ ‫اِلَـفِــ ِهــــ ْم ِرحْ ــــلَـــةَ الـ ِّشــــتَـــا ِء َوالـصَّــي‬ )1( ‫ش‬ َ ُ‫ف ق‬
ٍ ‫ـريْــــ‬ ِ َ‫ِإِل يْــــل‬
)4( ‫ف‬ ٍ ْ‫ـن خَ ـو‬ْ ‫ َّواَ َمــنَــهُــ ْـم ِم‬ ‫ال‬ ‫ع‬ ْ َ‫الَّـ ِذيْ ا‬ )3( ‫ت‬
ٍ ْ‫طـ َعـــ َمــهُــ ْـم ِمــ ْنـجُـو‬ ِ ‫ْالـبَــــيْـ‬
Artinya: “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,(yaitu) kebiasaan mereka
bepergian pada musim dingin dan musim panas, maka hendaklah mereka
menyembah Tuhan pemilik rumah ini (ka’bah). Yang telah memberi makanan
kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari
ketakutan.” (QS. Al-Quraisy: 1 – 4)

Ayat diatas menjelaskan bahwa orang Quraisy biasa mengadakan perjalanan


terutama untuk berdagang ke negeri Syam pada musim panas dan ke negeri
Yaman pada musim dingin. Dalam perjalanan itu mereka mendapat jaminan
keamanan dari penguasa-penguasa dari negeri – negeri yang mereka lalui. Ini
adalah suatu nikmat yang amat besar dari Tuhan mereka. Oleh karena itu,
sewajarnyalah mereka menyembah Allah Swt. yang telah memberikan nikmat
itu kepada mereka (Mardani, 2012: 5).

Menurut beberapa rekam sejarah, perjalanan dagang penduduk Quraisy pada


saat itu menghabiskan waktu perjalanan mereka adalah satu bulan untuk
perjalanan berangkat, satu bulan untuk berdagang dan satu bulan untuk
perjalanan pulang.
Menurut sejarahnya (Haekal, 2003: 20, yang dikutip Jusmaliani, 2008: 47)
Mekkah telah menjadi pusat perhatian kabilah-kabilah dari negeri-negeri di
sekitar Sahara karena adanya Ka’bah, sehingga Mekkah dikenal pula sebagai
pusat perdagangan untuk Jazirah Arab. Suku Quraisy yang berdiam di Mekkah
kemudian dikenal sebagai penjaga Ka’bah. Perdagangan bagi suku Quraisy dan
bangsa Arab umumnya merupakan fakta yang terjadi akibat dari tandus dan
gersangnya wilayah dan tempat tinggal mereka, sehingga tdak berkembangnya
sektor pertanian di daerah ini.

Dengan demikian dapat kita lihat sejarahnya, bahwa masyarakat Arab sudah
memiliki budaya sendiri dalam memenuhi kebutuhan mereka pada saat itu yaitu
dengan berdagang. Dan dalam al-Quran sudah dijelaskan diatas, bagaimana
perjalanan dagang bangsa Arab, yaitu mereka bepergian di musim dingin
sampai berganti musim panas dengan menempuh jarak yang begitu jauh dari
tempat tinggal mereka dengan bertaruhkan nyawa melewati padang pasir yang
panas.

Dari penjelasan diatas bahwasanya pasar pada permulaan Islam berawal dari
bangsa Arab yang melakukan pemenuhan kebutuhannya melalui perdagangan di
pasar bahkan sampai ke luar negeri melalui perdagangan dengah model Upah,
Perdagangan dengan model Mudharabah dan perdagangan dengan modal
bersama (Jusmaliani, 2008: 48-51). Sebagai contoh nabi Muhammad pun
melakukan aktivitas dagangnya yang sejak kecil dengan menggembala kambing
bagi penduduk Mekkah dan kemudian diberikan upah.

C.    Pasar Masa Rasulullah Saw

Nabi Muhammad yang lahir di Kota Mekkah dengan kondisi


perekonomiannya yang sangat maju terutama pada sektor perdagangan. Dengan
dukungan internal dan eksternal, Nabi Muhamad tumbuh besar dengan memiliki
jiwa pedagang, oleh karenanya beliau  sangat mengerti mekanisme pasar. Pada
usia tujuh tahun (Al Arif dan Amalia, 2010: 264), Nabi Muhammad telah diajak
oleh pamannya Abu Thalib melakukan perjalanan perdagangan ke negeri Syam.
Dari sinilah ilmu perniagaan beliau diasah. Kemudian, sejalan dengan usia
Beliau yang semakin dewasa, Nabi Muhammad semakin giat berdagang, baik
dengan modal sendiri, ataupun bermitra dengan orang lain. Dengan hanya
bermodalkan intangible assets, yaitu kejujuran (al-amin), (Fauzia dan Riyadi,
2014: 200).

Kemitraan dilakukan dengan sistem mudharabah atau musyarakah, dapat


dianggap cukup populer pada masyarakat Arab saat itu. Salah satu mitra
bisnisnya adalah Khadijah, seorang pengusaha yang cukup disegani di Mekkah.
Beberapa perjalanan bisnis yang dilakukan Nabi Muhammad  (Al Arif dan
Amalia, 2010: 200) adalah ekspedisi dagang ke Yaman dan Habasyah, empat
kali ke Syiria, Jorash dan Bahrain (Timur Semenanjung Arab). Sehingga Nabi
Muhammad lebih dari 20 tahun menggeluti dunia bisnis dengan total eksedisi
yang dilakukan adalah enam kali. Bisa disimpulkan disini bahwa nabi
Muhammad pada umur 12 sampai 20 tahun adalah seorang pembelajar dalam
bidang bisnis, yang kemudian membuahkan kompetensi dalam diri Beliau.
Sehingga pada umur 20 sampai 25 tahun, Beliau menjadi pebisnis yang
profesional dengan cara mengelola modal dari Khadijah. Pada saat Nabi
Muhammad menikahi Khadijah, direntang umur yang ke-25 hingga 37 tahun,
Beliau menjelma menjadi seorang pengusaha andal.
Setelah perpindahan (hijrah) Rasulullah ke Madinah akibat pemboikotan yang
dilakukan oleh kaum Quraisy setelah kenabian. Di Madinah Beliau menjadi
pengawas pasar (muhtasib).  Salah satu buktinya yaitu Rasulullah Saw. menolak
untuk membuat kebijakan dalam penetapan harga, pada saat harga sedang naik
karena dorongan permintaan dan penawaran yang alami, hal ini ditunjukkan
Beliau dalam suatu kasus masa pemerintahannya di Madinah. Suatu saat
terjadilah harga barang melambung cukup tinggi di pasaran. Tingginya harga
barang tersebut kemudian disikapi para sahabat dengan mengajukan saran
kepada Rasulullah Saw. untuk menetapkan harga agar tidak terlalu tinggi. Saran
para sahabat tersebut oleh Rasulullah ditolak, sambil berkata:
‫صــلَّى هللاِ عَـلَـيْــ ِه‬َ ِ‫ــال َرسُــوْ ُل هللا‬َ َ‫ فَـق‬.‫ـال النَّاسُ يـَا َرسُوْ ُل هللاِ غَــاَل ال َسـعْــ ُر فَ َس ِـعــ ُر لَنَــا‬ َ َ‫ـال ق‬ َ َ‫س ق‬ ٍ ‫َـن اَنَـ‬ْ ‫ع‬
‫ـس َأ َحــ ٌد‬َ ‫ق ال ُمس ِْعــ ُر َوِإنِى َأَلرْ جُـــوْ َأ ْن ْألــقَى هللاَ َولَيْــ‬ ِ ‫ق ْالـقَـابِـضُ ْالـبَا ِسـطُ الر‬
ُ ‫َّاز‬ ُ ِ‫ اِ َّن هللاَ هُـ َو ْالـخَ ـا ل‬: ‫َو َسـلَـ َم‬
ْ ِ‫صـحَّـ َحـهُ اَأل ْالـبَـا ن‬
‫ـي‬ َ ‫ َر َواهُ َأبُـوْ دَا ُو ْد َو‬  <<‫ـال‬ ْ َ‫ ِمـ ْنــ ُكــ ْم ي‬.
ٍ ‫ـطلُـبُـنِى بـِ ُمـظَلَـ َمـ ٍة فِى د ٍَم َواَل َم‬
 “Dari sahabat Anas, ia menuturkan, ‘Para sahabat mengeluh kepada Rasulullah
Saw., dan mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah harga (saat itu) naik, maka
tentukanlah harga untuk kami’, Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnya Allah-lah
yang menentukan harga, yang menahan dan melapangkan serta memberi
rezeki. Sangat aku harapkan bahwa kelak aku menemui Allah dalam keadaan
tidak seorang pun dari kamu menuntutku tentang kezaliman dalam darah dan
harta.” (HR. Abu Daud oleh Al-Albani dinyatakan sebagai hadits Shahih)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa Nabi Saw. tidak menetapkan harga jual,
dengan alasan bahwa dengan menetapkan harga akan mengakibatkan
kezaliman, sedangkan zalim adalah haram. Karena jika harga yang terlalu
mahal, maka akan menzalimi pembeli, dan jika harga yang ditetapkan terlalu
rendah, maka akan menzalimi penjual.
Dalam hadits diatas juga jelas dinyatakan bahwa pasar (Al Arif dan Amalia,
2010: 265) merupakan hukum alam (sunnatullah) yang harus dijunjung tinggi.
Tak seorang pun secara individual dapat memengaruhi pasar, sebab pasar
adalah kekuatan kolektif yang telah menjadi ketentuan Allah. Pelanggaran
terhadap harga pasar, misalnya penetapan harga dengan cara dan alasan yang
tidak tepat, merupakan suatu ketidakadilan (zulm/injustice) yang akan dituntut
pertanggungjawabannya di hadapan Allah. Sebaliknya, dinyatakan bahwa
penjual yang menjual dagangannya dengan harga  pasar adalah laksana orang
yang berjuang dijalan Allah (jihad fii sabilillah), sementara yang menetapkan
sendiri termasuk sebuah perbuatan ingkar kepada Allah. Dari Ibn Mughirah
terdapat suatu riwayat  ketika Rasulullah Saw. melihat laki-laki menjual
makanan dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga pasar. Rasulullah Saw.
bersabda: “Orang-orang yang datang membawa barang ke pasar ini laksana
orang berjihad fisabilillah, sementara orang-orang yang menaikkan harga
(melebihi harga pasar) seperti orang yang ingkar kepada Allah.”

Penghargaan Islam terhadap mekanisme pasar berdasar pada ketentuan Allah


bahwa perniagaan harus dilakukan secara baik dengan rasa suka sama suka
(antaradin minkum / mutual goodwill), (Al Arif dan Amalia, 2010: 266). Suka
sama suka atau yang disebut dengan ridho merupakan salah satu syarat jual beli,
hal ini dinyatakan dalam Surat An-Nisa’: 29, 

َ ‫َأ ْمــ َولَـ ُكــ ْم بـَـيْـنَــكـُــ ْم بِـــا ْلــبَــ ِطــ ِل اِاَّل َأ ْن تَـ ُكــــوْ نَ تِـ َجـــ‬  ‫ ُكـــلُـوْ ا‬  ‫يـَـَأ يُّــهَــا الَّـ ِذ يـْنَ َءا َمـنُـوْ ا اَل تَـْأ‬
ْ ‫عَــ‬ ً‫ـرة‬
‫ـن‬
)29( ‫اِ َّن هللاَ َكا نَ بِـ ُكــ ْم َر ِحــيْــ َمـــا‬ ‫ج‬ ‫ َواَل تَـ ْقــتُـلُــوْ ا اَ ْنـفُــ ِســ ُكــ ْم‬ ‫ج‬ ‫ض ِمـ ْنــ ُكــ ْم‬ ِ ‫تَـ َرا‬ 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku suka sama suka diantara kamu. Dan jangalah kamu membunuh
dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.”(QS. An-Nisa’: 29)

Agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan baik dan memberikan mutual


goodwill bagi para pelakunya., maka nilai moralitas mutlak harus ditegakkan.
Secara khusus, nilai moralitas mendapat perhatian penting dalam pasar adalah
persaingan yang sehat, kejujuran, keterbukaan dan keadilan. Nilai moralitas ini
memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam, sebagaimana dicantumkan dalam
berbagai ayat al-Quran. Untuk itulah Rasulullah Saw. telah menetapkan
beberapa larangan terhadap praktis bisnis negatif yang dapat mengganggu
mekanisme pasar yang alami (Al Arif dan Amalia, 2010: 266).

Nilai moralitas yang dimaksudkan adalah persaingan yang sehat (fair play),
kejujuran (honesty), keterbukaan (transparancy) dan keadilan (justice). Jika
nilai-nilai ini telah ditegakkan, maka tidak ada alasan untuk menolak harga
pasar. Bila terjadi kenaikan harga ataupun penurunan harga, sepanjang kenaikan
terjadi karena kekuatan yang tidak dibarengi dengan dorongan-dorongan
monopilistik dan monopsonitik, maka tidak ada alasan untuk tidak menghormati
harga pasar.

Fakta lain adalah bahwa Rasulullah Saw. telah banyak memberikan contoh
dalam melakukan perdagangan secara adil dan jujur yang berkaitan juga dengan
mekanisme pasar dalam perdagangan. Dalam suatu transaksi perdagangan,
kedua belah pihak dapat saling menjual dan membeli barang secara ikhlas
artinya tidak ada campur tangan serta intervensi pihak lain dalam menentukan
harga barang (Jusmaliani, 2008: 55).

Mengenai apakah ada penentuan harga dalam kondisi tertentu misalnya dan
bagaimana hukumnya? Dalam hal ini Fauzia dan Riyadi menuliskan (2014:
202) hukum asal penentuan harga yang dikutip dari Wahbah Zuhaili yaitu tidak
ada penentapan harga (al-tas’ir) dan ini merupakan kesepakatan para ahli fiqh.
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa pemimpin tidak berhak untuk
menetapkan harga, akan tetapi masyarakat mempunyai kewenangan untuk bisa
memperjualbelikan sesuatu menurut apa yang mereka tetapkan. Imam Syafi’i
berpendapat bahwa penetapan harga adalah haram, yaitu menetapkan harga
barang untuk menyusahkan masyarakat dengan meninggikan harga tersebut dan
ini tidak dikhususkan hanya untuk makanan.

Adapun Malikiyah dan Hanafiyah membolehkan penetapan harga untuk barang-


barang hajiyat (sekunder), hal ini dilakukan untuk menghindari hal-hal yang
tidak dinginkan. Yaitu, apabila pemilik barang dagangan mematok harga yang
tinggi, maka dalam kondisi seperti ini pemimpin dan stafnya berhak
menentukan harga dengan tujuan untuk kemaslahatan masyarakat.
Pendapat penetapan harga dalam perspektif ekonomi Islam juga datang dari
beberapa para ulama, diantara Abu Yusuf (Nurul Huda, 2008: 231) yang
merupakan ulama terawal yang mulai menyinggung mekanisme pasar. Beliau
memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan
perubahan harga dan menyatakan murah atau mahalnya suatu harga merupakan
ketentuan Allah. Disebutkan juga oleh Nurul Huda, bahwa Ibnu Chaldun
menjelaskan permintaan dan penawaran dalam menciptakan harga
keseimbangan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya biaya produksi karena
pajak mempengaruhi penawaran.

Sebenarnya yang menjadi motif utama mengapa Rasulullah


melarang tas’ir adalah penetapan harga yang terlalu tinggi dan akibatnya adalah
menyusahkan masyarakat. Jikalau penetapan harga dilakukan untuk kebaikan
dan maslahah untuk masyarakat, maka tas’ir tidak apa-apa dilakukan, dan ini
tidak menyalahi Hadits diatas.

Hadits Rasulullah diatas mampu menembus teori mekanisme pasar (market


mechanis) pada era sekarang, yaitu kecenerungan di pasar bebas sehingga
terjadi perubahan harga, sampai pasar menjadi seimbang (equilibrium). Yaitu
keadaaan di mana jumlah penawaran dan permintaan sama. Pertemuan antara
permintaan dan penawaran tersebut hanya terjadi rela sama rela, dengan
demikian Islam menjamin pasar bebas di mana para pembeli dan para penjual
bersaing satu sama lain dengan arus informasi yang berjalan lancar dalam
kerangka keadilan. Yakni tidak ada pihak yang dirugikan, baik dari produsen,
konsumen  ataupun pemerintah yang zalim atau dizalimi. 
Akan tetapi pada titik tekan yang berbeda, hadits tentang ‘ketidakmauan’
Rasulullah menetapkan harga akan menjadi tidak berlaku apabila ada beberapa
distorsi pasar. Maka saat terjadi distorsi pasar, demi menjunjung tinggi
kemaslahatan konsumen, produsen dan pedagang, pemerintah berhak
melakukan penetapan harga demi menghindari kezaliman.
Mekanisme penentuan harga dalam Islam sesuai dengan Maqoshid Syariah,
yaitu merealisasikan kemaslahatan dan menghindari kerusakan di antara
manusia. Seandainya Rasulullah saat itu langsung menetapkan harga (pada saat
diminta penetapan harga oleh para sahabat), maka akan kontradiktif dengan
mekanisme pasar.
Pandangan dari Ibnu Taimiyyah disebutkan tentang konsep mekanisme pasar.
Terdapat beberapa prinsip yang melandasi fungsi padar dalam masyarakat
muslim (Jusmaliani, 2008: 56 dari Izodimin, 2005), yaitu:
1.   Dalam konsep perdagangan Islam, penentuan harga dilakukan oleh kekuatan
pasar, yaitu kekuatan permintaan dan penawaran.
2.      Mekanisme pasar dalam konsep Islam melarang adanya sistem kerja sama
yang tidak jujur.
3.     Bila pasar dalam keadaan tidak sehat, di mana telah terjadi tindak
kezaliman, maka menurut Ibnu Taimiyyah pemerintah wajib melakukan
regulasi (menetapkan harga) pada tingkat yang adil antara produsen dan
konsumen tanpa ada pihak yang dirugikan.
Peran pemerintah dalam melakukan regulasi ini pernah dicontohkan Rasulullah
Saw. dalam suatu kasus perselisihan antara dua orang bertetangga mengenai
kepemilikan sebuah pohon yang sebagian dahannya menjulur dan mengotori
halaman tetangganya. Tetangga ini mengadu dan protes kepada Rasulullah,
kemudian Beliau memerintahkan pemilik pohon menjual sebagian dahan pohon
yang menjorok tersebut dengan menerima ganti harga kompensasi yang wajar
dan adil. Akan tetapi, ternyata pemilik pohon tidak melakukan tindakan apapun,
sehingga Rasulullah memperbolehkan pemilik tanah menebang pohon tersebut
dengan memberikan kompensasi harga kepada pemilik pohon.
Berkaitan dengan terjadinya intervensi atas dilanggarnya prinsip-prinsip
keadilan dan kejujuran dalam perdagangan. Didalam Islam, harga yang adil
yaitu harga yang diserahkan kepada keseimbangan pasar. Oleh karenanya, peran
pemerintah dalam mekanisme pasar adalah untuk mengawasi harga pasar. Jika
intervensi harga perlu dilakukan maka (Jusmaliani, 2008: 58) harus secara hati-
hati, juga harus dilakukan berdasarkan hasil analisis para ahli yang memadai.
Sekiranya akan dilakukan penetapan harga (regulasi) oleh adanya alasan
tertentu yang diperbolehkan, yaitu jangan sampai melampaui batas harga dari
barang-barang serupa dalam keadaan normal.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kerjasama perdagangan masa


Rasulullah Saw. (Jusmaliani, 2008: 50) menganut prinsip-prinsip perdagangan
seperti yang difirmankan Allah dalam al-Quran dan prinsip yang dicontohkan
melalui Nabi Muhammad Saw adalah mengajarkan perdagangan yang adil dan
jujur. Dalam hal ini, perdagangan yang adil dan jujur menurut al_quran adalah
perdagangan yang “tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi” (QS. Al-Baqarah:
279).

Kalau membandingkan sistem perdagangan awal masukya Islam dengan


sesudah masuknya Islam, maka secara kontekstual tidak ada perubahan, kecuali
yang dilarang menurut al-Quran dan sunnah Rasul. Sebagaimana yang
dinyatakan dalam Ushul Fiqh, bahwa semua aktivitas perdagangan
diperbolehkan, kecuali yang dilarang oleh agama. Oleh karena itu, sistem
perdagangan zaman Rasulullah dalam perkembangannya banyak mendapat
sentuhan dari ajaran Islam yang berprinsip tidak saling menzalimi.
BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Mekanisme pasar adalah kecenderungan dalam pasar bebas untuk
terjadinya perubahan harga sampai pasar mnjadi seimbang (jumlah yang
ditawarkan sama dengan jumlah yang diminta). Jadi mekanisme pasar
merupakan suatu proses penentuan harga berdasarkan permintaan dan
penawaran. Prinsip mekanisme pasar yang pertama adalah Ar-Ridha,
berdasarkan persaingan yang sehat, jujur, terbukan dan adil.
Pasar pada permulaan Islam berawal dari bangsa Arab yang melakukan
pemenuhan kebutuhannya melalui perdagangan di pasar bahkan sampai ke luar
negeri melalui perdagangan dengah model Upah, Perdagangan dengan
model Mudharabah dan perdagangan dengan modal bersama. Sebagai contoh
nabi Muhammad pun melakukan aktivitas dagangnya yang sejak kecil dengan
menggembala kambing bagi penduduk Mekkah dan kemudian diberikan upah.
Mekanisme pasar menurut Rasulullah Saw. merupakan hukum alam
(sunnatullah) yang harus dijunjung tinggi. Tak seorang pun secara individual
dapat memengaruhi pasar, sebab pasar adalah kekuatan kolektif yang telah
menjadi ketentuan Allah. Pelanggaran terhadap harga pasar, misalnya penetapan
harga dengan cara dan alasan yang tidak tepat, merupakan suatu ketidakadilan
(zulm/injustice) yang akan dituntut pertanggungjawabannya di hadapan Allah.

B.            Saran
Setelah  membahas Prinsip Dasar Mekanisme Pasar ini, diharapkan mampu
melaksanakannya melalui pendekatan Maqoshid Syariah. Tidak melakukan
pengurangan timbangan atau menimbung barang untuk mendapatkan
keuntungan yang besar.

DAFTAR PUSTAKA

Al Arif, M. Nur Rianto., dkk. 2010. Teori Mikro Ekonomi Suatu Perbandingan


Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional. Jakarta: Kencana.
Fauzia, Ika Yunia., dkk. 2014. Prinsip-prinsip Ekonomi Islam. Jakarta:
Kencana.
Huda, Nurul. 2008. Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis. Jakarta:
Kencana.
Jusmaliani., dkk. 2008. Bisnis Berbasis Syariah. Jakarta: Bumi Aksara.
Mardani. 2012. Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi Syariah. Jakarta: Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai