Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Wakaf1 1 adalah bagian hukum Islam yang telah mendapat pengaturan

secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Artinya, wakaf

merupakan salah satu lembaga hukum Islam yang telah menjadi hukum positif di

Indonesia. Sebagai suatu lembaga keagamaan, di samping berfungsi sebagai

ibadah kepada Allah, wakaf juga berfungsi sosial.2

Wakaf merupakan aset yang sangat bernilai dalam pembangunan,

Peranannya dalam pemerataan kesejahteraan di kalangan umat dan

penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu sasaran wakaf.3 Artinya, jika

wakaf dikelola dengan baik maka akan menunjang pembangunan, baik di bidang

pendidikan, ekonomi, agama, sosial, budaya, politik maupun pertahanan

keamanan.4 Di berbagai negara yang perwakafannya sudah berkembang dengan

baik, wakaf merupakan salah satu pilar ekonomi yang dapat dipergunakan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 5

Wakaf menurut UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf diartikan :

“Perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian

harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu

tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau


1
lihat pengertian wakaf dalam Kafrawi Ridwan dkk, Ensiklopedia Islam, Jakarta : PT
Ichtiar Baru van Hoeve, 2002, Hlm,11
2 2
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik Dan Kedudukan Tanah Wakaf Di
Negara Kita, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1994, Hlm.6
3 3
Juhaya S.Praja, Perwakafan di Indonesia, Sejarah , Pemikiran, Hukum dan
Perkembangannya, Yayasan Piara, Bandung, 1997, Hlm 11
4 4
ibid, Hlm.13
5 5
Farid Wadj dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam yang
Hampir Terlupakan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, Hlm.27

1
kesejahteraan umum menurut syariah”.6 Rumusan dalam UU wakaf tersebut

merangkum berbagai pendapat para ulama, sehingga makna wakaf dalam konteks

Indonesia lebih luas dan komperehensif.

Pengertian di atas juga telah termasuk di dalamnya wakaf benda tidak

bergerak dan benda bergerak, juga wakaf abadi dan wakaf sementara. 7 Hal

tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi banyak perubahan dalam sejarah

perwakafan di Indonesia, seperti munculnya praktek wakaf benda bergerak yang

menuntut juga adanya pemikiran dan pemahaman tentang konsep wakaf serta

bagaimana implementasinya, sehingga merupakan suatu bagian penting dalam

upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.8

Tidak dapat dipungkiri bahwa hingga saat ini, umat Islam di Indonesia

masih banyak yang beranggapan bahwa aset wakaf itu hanya boleh digunakan

untuk tujuan ibadah saja,9 seperti untuk pembangunan masjid, komplek kuburan,

panti asuhan, pendidikan,dll, padahal, nilai ibadah itu tidak harus berwujud

langsung seperti itu. Pemahaman ihwal benda wakafpun masih sempit. Harta yang

bisa diwakafkan masih dipahami sebatas benda tak bergerak, seperti tanah,

padahal wakaf juga bisa berupa benda bergerak, antara lain uang. 1010 Harta wakaf

dapat dikembangkan agar memiliki nilai produktif, seperti dijadikan mall atau

6 6
lihat juga definisi wakaf menurut para ahli antara lain menurut Imam Nawawi, yang
mengartikan wakaf sebagai “menahan sesuatu yang akan bermanfaat serta bendanya tetap
dengan tidak melakukan tindakan hukm padanya disalurkan pada jalan yang mubah”, dalam
Muhammad Nawawi Bin Umar Al-Jawi, Nihat-Al zayn fi Irsyad al Mubtadiin ( Surabaya, Dar
al’Ilm, tanpa tahun, Hlm. 268
7 7
Abdurrahman, op.cit ,Hlm 43
8 8
 Di Indonesia, campur tangan pemerintah dalam perwakafan mempunyai dasar hukum yang
kuat. Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (1) di bawah Bab Agama, dinyatakan
bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
9 9
Hasan, Tholhah, (2009). “Perkembangan Kebijakan Wakaf di Indonesia ”, dalam Republika,
Rabu, 22 April.
10 10
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Panduan PemberdayaanTanah Wakaf Produktif Strategis di
Indonesia,departemen Agama RI, Jakarta : 2007 

2
usaha lain yang pemanfaatannya akan lebih luas lagi bagi kepentingan umat.1111)

Hal tersebut tercermin dalam Bab II, Pasal 16, UU No. 41 tahun 2004 Tentang

Wakaf serta sejalan dengan fatwa MUI tentang Pengembangan wakaf . 1212

Wakaf tidak secara tegas disebutkan di dalam Al Qur’an, tetapi ada

beberapa ayat yang digunakan oleh para ahli sebagai dasar hukum disyariatkannya

wakaf, antara lain Surat Al Baqarah , 2 : 267. 1313

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian


dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan
dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya padahal kamu sendiri ..

Dan Surat Ali Imran 3: 92

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),


sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa
saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Tantangan pengelolaan wakaf adalah bagaimana harta benda wakaf tetap

terpelihara keabadiannya dan manfaatnya pun mengucur terus menerus bagi si

penerima (mauquf alaih).1414 Untuk itu pengelolaan dan pengembangan harta


11 11
Achmad Djunaidi&Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Sebuah Upaya
Progresif Untuk Kesejahteraan Umat, Jakarta Selatan, Mitra Abadi Press, 2006, Hlm.35
12 12
DEPAG RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf,: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, Jakarta, 2006, Hlm 4
13 13
Farid Wadjdy dan Mursyid, op.cit, Hlm.30
14 14
Achmad Djunaidi&Thobieb Al-Asyhar,opcit, Hlm.36

3
benda wakaf harus dilakukan secara profesional. Dasar argumentasinya dikaitkan

dengan hukum wakaf itu sendiri, seperti dalam pandangan Imam Nawawi Al

Bantani,1515 bahwa Wakaf itu hukumnya jaiz ( boleh), bahkan mustahab ( sangat

disunahkan) dengan syarat- syarat antara lain , Benda wakaf ( al-mauquf) itu

bermanfaat, sifatnya kekal (tidak rusak ketika diambil manfaatnya), milik wakif.
16
16 Pemanfaatan benda harus sesuai dengan maksud wakaf, benda wakaf harus

konkrit, tidak dalam sengketa, dan pemanfaatannya tidak boleh untuk hal-hal yang

diharamkan.

Di tengah permasalahan sosial masyarakat Indonesia dan tuntutan akan

kesejahteraan ekonomi dewasa ini, eksistensi lembaga wakaf menjadi sangat

urgen dan strategis. Di samping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang

berdimensi spiritual, wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan pentingnya

kesejahteraan ekonomi (dimensi sosial).1717 sehingga penting dilakukan

pendefinisian ulang terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih relevan

dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan.

Pelaksanaan ibadah wakaf adalah sebuah contoh yang konkrit atas rasa

keadilan sosial, sebab Si wakif dituntut dengan keikhlasan yang tinggi agar harta

yang diberikan sebagai harta wakaf, memberikan manfaat kepada masyarakat

banyak, karena keluasan ekonomi yang dimilikinya merupakan karunia Allah

yang sangat tinggi. 1818

Berbagai peraturan perundang-undangan wakaf telah diberlakukan di

Indonesia, namun masih terdapat penyelewengan, peruntukan dan fungsi wakaf.,

15 15
Muhammad Nawawi Bin Umar Al Ja-wi, seperti dikutip dari
M.Athoillah,op.cit ,Hlm.77
16 16
M.Athoillah, ibid, Hlm.78
17 17
Direktorat pemberdayaan wakaf, loc.cit
18 18
Tim Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Pengelolaan
Wakaf Tunai, Jakarta, 2005, Hlm.7

4
yang menyebabkan harta wakaf tidak berfungsi secara maksimal dan tidak

produktif.1919

Kurangnya sosialisasi juga menyebabkan para nazir memiliki persepsi

yang berbeda dalam menjalankan tugas, kewajiban dan haknya, sehingga praktik

wakaf yang terjadi dalam masyarakat menjadi beragam..2020

Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa pelaksanaan wakaf di

Indonesia pada umumnya berbeda dengan pelaksanaan wakaf di Negara-negara

Islam. Pelaksanaan wakaf di Indonesia masih berorientasi kepada masjid,

mushala, makam, rumah yatim piatu, sarana keagamaan lainnya. Sementara di

beberapa negara Islam seperti Mesir, Arab Saudi, Qatar, Turki, sudah dilakukan

dengan manajemen yang baik, wakaf tidak lagi terfokus kepada sarana

peribadatan, tetapi ruang lingkupnya sudah diperluas yakni seluruh harta

kekayaan baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang berwujud dan

tidak berwujud, juga sudah dikenal dengan wakaf uang, logam mulia, surat

berharga,kendaraan transportasi, hak kekayaan intelektual, hak sewa, hak pakai,

dan sejenisnya. 21
21 Bahkan, di negara yang penduduk muslimnya minor,

pengembangan wakaf juga tak kalah produktif. Singapura misalnya, aset

wakafnya, jika dikruskan, berjumlah S$ 250 juta. Untuk mengelolanya, Majelis

Ugama Islam Singapura (MUIS) membuat anak perusahaan bernama Wakaf Real

Estate Singapura (WAREES).

19 19
Abdullah Ghofar, “Nadzir dan Managemen Pendayagunanan Tanah Wakaf”,
dalamMimbar Hukum, No. 41 Tahun 2004, Hlm 23.
20 20
Anizar, Implementasi Konsep Wakaf, Analisis Terhadap Peran Nadzri Dalam
Pendayagunaan Tanah Wakaf di Kecamatan Bahorok, Tanpa Tahun, Hlm. 100
.
21 21
Demitry Aldi Ratman, “Wakaf Uang Ditinjau Dari Segi Hukum Islam dan Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Untuk Perkembangan Ekonomi Di
Indonesia”, Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran, 2010, Hlm. 2.

5
Di Indonesia, harta benda wakaf pada umumnya berupa tanah , akan

tetapi sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola dan dikembangkan secara produktif

dalam bentuk suatu usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak

yang memerlukan termasuk fakir miskin, yatim piatu dan lainnya, karena pada

dasarnya dengan dikembangkannya secara produktif, pemanfaatan Wakaf akan

lebih banyak manfaatnya, dan lebih memberikan kemaslahatan umum, baik untuk

ibadah maupun kesejahteraan sosial.

Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum,

maka dipandang perlu meningkatkan peran wakaf, sebagai lembaga keagamaan

yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial,

melainkan juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi antara lain untuk

memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya

sesuai dengan prinsp syariah.

Aset wakaf di Indonesia terbilang besar. Berdasarkan data yang ada di

Departemen Agama, jumlah tanah wakaf di Indonesia sebanyak 430,766 lokasi

dengan luas mencapai 1,615,791,832.27 meter persegi 22


22 yang tersebar lebih

dari 366.595 lokasi di seluruh Indonesia. Dilihat dari sumber daya alam atau

tanahnya (resources capital) jumlah harta wakaf di Indonesia merupakan jumlah

harta wakaf terbesar di seluruh dunia. Ini merupakan tantangan bagi umat Islam

Indonesia untuk memfungsikan harta wakaf tersebut secara maksimal, sehingga

tanah-tanah tersebut mampu mensejahterakan umat Islam di Indonesia sesuai

dengan fungsi dan tujuan ajaran wakaf yang sebenarnya.

Pada pelaksanaannya, terdapat berbagai persoalan yang dihadapi, antara

lain masih terdapat perbedaan faham di tengah masyarakat tentang pengelolaan

22 22
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, “Data Luas dan Lokasi Tanah Wakaf Nasional
Sampai Dengan Tahun 2008”, Jakarta, 22 April 2008.

6
wakaf ke arah produktif. Oleh karena itu, perlu adanya persamaan faham tentang

apa dan bagaimana memberdayakan potensi perwakafan di Indonesia menuju

yang lebih produktif dengan menggali berbagai kemungkinan jalan ke arah itu.

Selain itu, ada beberapa faktor yang menjadi penghambat pemberdayaan wakaf di

Indonesia, seperti yang dikemukakan oleh Uswatun, yaitu :2323

1.   Masalah Pemahaman Masyarakat tentang Hukum Wakaf.

Selama ini, umat Islam masih banyak yang beranggapan bahwa aset wakaf

itu hanya boleh digunakan untuk tujuan ibadah saja. Misalnya, pembangunan

masjid, komplek kuburan, panti asuhan, dan pendidikan. Padahal, nilai ibadah itu

tidak harus berwujud langsung seperti itu. Bisa saja, di atas lahan wakaf dibangun

pusat perbelanjaan, yang keuntungannya nanti dialokasikan untuk beasiswa anak-

anak yang tidak mampu, layanan kesehatan gratis, atau riset ilmu pengetahuan,

yang demikian juga bagian dari ibadah.

Selain itu, pemahaman ihwal benda wakaf juga masih sempit. Harta yang

bisa diwakafkan masih dipahami sebatas benda tak bergerak, seperti tanah.

Padahal wakaf juga bisa berupa benda bergerak, antara lain uang, logam mulia,

surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa.2424

2. Pengelolaan dan Manajemen Wakaf.

Saat ini pengelolaan dan manajemen wakaf di Indonesia masih 

memprihatinkan. Sebagai akibatnya cukup banyak harta wakaf terlantar dalam

pengelolaannya, bahkan ada harta wakaf yang hilang. Salah satu penyebabnya

adalah umat Islam pada umumnya hanya mewakafkan tanah dan bangunan

sekolah, dalam hal ini wakif kurang memikirkan biaya operasional sekolah, dan
23 23
Uswatun Hasanah, Wakaf Produktif Untuk Kesejahteraan dalam Perspektif Hukum
Islam di Indonesia. (Jakarta: Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar di Universitas
Indonesia, 6 April 2009)
24 24
Bab II, Pasal 16, UU No. 41 tahun 2004, dan juga sejalan dengan fatwa MUI ihwal
bolehnya wakaf uang.

7
nazhirnya kurang profesional. Oleh karena itu, kajian mengenai manajemen

pengelolaan wakaf sangat penting.

Kurang berperannya wakaf dalam memberdayakan ekonomi umat di

Indonesia karena wakaf tidak dikelola secara produktif. Untuk mengatasi masalah

ini, wakaf harus dikelola secara produktif dengan menggunakan manajemen

modern. Untuk mengelola wakaf secara produktif, ada beberapa hal yang perlu

dilakukan sebelumnya. Selain memahami konsepsi fikih wakaf dan peraturan

perundang-undangan, nazhir harus profesional dalam mengembangkan harta yang

dikelolanya, apalagi jika harta wakaf tersebut berupa uang. Di samping itu, untuk

mengembangkan wakaf secara nasional, diperlukan badan khusus yang

menkoordinasi dan  melakukan pembinaan nazhir. Pada saat di Indonesia sudah

dibentuk Badan Wakaf Indonesia.

3. Benda yang Diwakafkan dan Nazhir (pengelola wakaf).

Pada umumnya tanah yang diwakafkan umat Islam di Indonesia hanyalah

cukup untuk membangun masjid atau mushalla, sehingga sulit untuk

dikembangkan. Memang ada beberapa tanah wakaf yang cukup luas, tetapi nazhir

tidak profesional. Di Indonesia masih sedikit orang yang mewakafkan harta selain

tanah (benda tidak bergerak), padahal dalam fikih, harta yang dapat diwakafkan

sangat beragam termasuk surat berharga dan  uang. Dalam perwakafan, salah satu

unsur yang amat penting adalah nazhir. Berfungsi atau tidaknya wakaf sangat

tergantung pada kemampuan nazhir. 2525

Permasalahan di atas sebagai hasil penelitian yang dilakukan peneliti

terdahulu, maka dalam rencana disertasi ini dianggap perlu ditindak lanjuti dan

diteliti lebih mendalam . Sebagai sampel, dalam penelitian ini adalah pelaksanaan
25
Munzir Kahaf, Manajemen Wakaf Wakaf Produktif, diterjemahkan oleh Muhyiddin
25

Mas Rida, (Jakarta: Khlmifa, 2005) ,Hlm. 59 

8
wakaf produktif yang dilakukan oleh dua Organisasi Kemasyarakatan Islam besar

yang ada di Kota Bandung, yaitu PERSIS dan Muhammadiyah. Ke dua organisasi

tersebut telah lama terbentuk dan memberikan andil besar terhadap pembangunan

spiritual maupun materiil di Indonesia.

Salah satu kontribusi kedua organisasi tersebut terhadap pembangunan

kesejahteraan masyarakat adalah dengan adanya lembaga wakaf, yang meliputi

wakaf konvensional dan wakaf produktif. Untuk wakaf produktif yang dikelola

oeh Muhammadiyah, meliputi berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan,

usaha-usaha perdagangan (super market) dan lain-lain, sementara PERSIS lebih

banyak mengelola wakaf bidang pendidikan.

Di berbagai negara yang wakafnya dapat berkembang dan berfungsi untuk

memberdayakan ekonomi umat, wakaf dikelola oleh nazhir yang profesional. Di

Indonesia masih sedikit nazhir yang profesional, bahkan ada beberapa nazhir yang

kurang memahami hukum wakaf, termasuk kurang memahami hak dan

kewajibannya.

Dengan demikian, wakaf yang diharapkan dapat memberi kesejahteraan

pada umat, tetapi sebaliknya justru biaya pengelolaannya terus-menerus

tergantung pada zakat, infaq dan shadaqah dari masyarakat. Di samping itu, dalam

berbagai kasus ada sebagian nazhir yang kurang memegang amanah, seperti

melakukan penyimpangan dalam pengelolaan, kurang melindungi harta wakaf,

dan lain-lain, sehingga memungkinkan  wakaf  tersebut  berpindah tangan. Untuk

mengatasi masalah ini, hendaknya calon wakif sebelum berwakaf memperhatikan

lebih dahulu apa yang diperlukan masyarakat, dan dalam memilih nazhir

sebaiknya mempertimbangkan kompetensinya.

9
Problematika Perwakafan di Indonesia juga disebabkan karena kuatnya

paham lama umat Islam dalam pengelolaan wakaf, seperti adanya anggapan

bahwa wakaf itu milik ALLAH semata yang tidak boleh diubah/ganggu gugat.

Atas pemahaman itu, banyak tokoh masyarakat atau umat Islam tidak

merekomendasikan wakaf dikelola secara produktif. Selain itu, belum utuhnya

pemahaman bahwa wakaf memiliki fungsi sosial yang lebih luas dan tidak

terbatas pada ibadah mahdhah.

Kurangnya sosialisasi secara lebih luas terhadap paradigma baru untuk

pengembangan wakaf secara produktif merupakan problema juga. Sosialisasi

massif dengan memasukkan wakaf sebagai bagian dari instrumen pengembangan

ekonomi umat menjadi aspek penting bagi pengembangan gagasan wakaf

produktif. Dengan kurangnya pengetahuan masyarakat atas pentingnya

pemberdayaan wakaf untuk kesejahteraan umum menjadi problem yang harus

dipecahkan bersama.

Beberapa persoalan di atas, termasuk lemahnya kemitraan dan kerjasama

antara stake holders wakaf untuk menjalin kekuatan internal umat Islam dalam

mengelola dan mengembangkan wakaf secara produktif, sepeti organisasi massa

Islam, kalangan intelektual, LSM, tokoh agama, termasuk aparat pemerintah.,

merupakan persoalan-persoalan penting yang perlu dicarikasn solusinya, sehingga

perlu dilakukan penelitian yang komperehensif untuk menjawab segala

permasalahan dan menemukan suatu konsep untuk memperbaiki pengaturan dan

pengembangan wakaf produktif di Indonesia.

Dengan telah diaturnya wakaf dalam bentuk undang-undang di Indonesia,

sektor wakaf dapat lebih difungsikan ke arah peningkatan kesejahteraan sosial

ekonomi umat. Hal tersebut memperjelas bagaimana kepentingan kesejahteraan

10
sosial sangat kuat mempengaruhi proses regulasi di bidang perwakafan. Semangat

pemberdayaan potensi wakaf secara produktif dan profesional yang

dikumadangkan undang-undang wakaf adalah untuk kepentingan kesejahteraan

umat manusia di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, maupun bidang sosial

keagamaan lainnya.

A. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka di dalam penelitian ini permasalahan

dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana perkembangan pengaturan tentang wakaf ke arah wakaf produktif

dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dihubungkan dengan

prinsip kemaslahatan dan keadilan ?

2. Bagaimana kewenangan pemerintah dalam pengawasan lembaga-lembaga

pengelola wakaf produktif dihubungkan dengan prinsip kemaslahatan dan

keadilan ?

B. Tujuan Penelitian

Tulisan ini. bertujuan untuk :

1. Menegaskan adanya pengembangan pengaturan wakaf ke arah wakaf produktif

dihubungkan dengan prinsip kemaslahatan dan keadilan

2. Memperjelas dan mengkualifikasi kewenangan pemerintah dalam pengawasan

terhadap lembaga lembaga pengelola wakaf dihubungkan dengan prinsip

kemaslahatan dan keadilan .

C. Kegunaan Penelitian

11
Hasil penelitian yang nantinya akan disusun dalam sebuah disertasi,

diharapkan akan bermanfaat baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis,

diharapkan hasil penelitian ini memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu

hukum, memberikan sumbangan berupa konsep teoretis tentang hukum yang

berkaitan dengan pengembangan dan pengelolaan wakaf produktif.

Secara praktis, hasil penelitian ini juga diharapkan berguna sebagai

informasi, evaluasi dan sumbangan pemikiran bagi para pembuat kebijakan dan

peraturan perundang-undangan, para Nazir, instansi ataupun organisasi yang

berkecimpung di bidang perwakafan.

D. Kerangka Pikir

1. Pengertian Dan Landasan Hukum Wakaf

Wakaf secara etimologi adalah al-hab (menahan)2626 dan merupakan kata

yang berbentuk masdar (gerund) dari ungkapan waqfu al-syai’ yang pada

dasarnya berarti menahan sesuatu. Dengan demikian, pengertian wakaf secara

bahasa adalah menyerahkan tanah untuk orang-orang miskin untuk ditahan.

Diartikan demikian karena barang milik itu dipegang dan ditahan orang lain,

seperti menahan hewan ternak, tanah dan segala sesuatu.2727

Secara gramatikal, penggunaan kata “auqafa” yang digabungkan dengan

kata-kata segala jenis barang termasuk ungkapan yang tidak lazim (jelek). Yang

benar adalah dengan menggunakan kata kerja “waqaftu” tanpa memakai hamzah

(auqaftu). Adapun yang semakna dengan kata “habistu” adalah seperti ungkapan

“waqaftu al-syai’ aqifuhu waqfan”2828

26 26
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, jil. 11. (Kairo: al-Dar al-Misriyyah li al-Ta’lif wa al-
Tarjamah, 1954), Hlm.276.
27 27
Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Syariah al-Islamiyah. (Baghdad:
Mathba’ah al-Irsyad, 1977). Alih bahasa Ahrul Sani Faturrahman dkk, judul Indonesia: Hukum
Wakaf, (Jakarta: DD Republika dan IIMan, 2004), Hlm. 37
28 28
ibid

12
Para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf,

sebagaimana tercantum buku-buku fiqh. Perbedaan tersebut membawa akibat

yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli sunnah

waljamaah adalah sebagai berikut:2929

Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda

(al-‘ain) milik wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada

siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan.3030

Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu

harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan

kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu

tertentu sesuai dengan keinginan wakif Definisi wakaf tersebut hanya menentukan

pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.

Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa

memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan

hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang

dibolehkan oleh syariah . Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan

harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain), dalam arti harta yang tidak

mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan.

Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana,

yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang

dihasilkan.3131 Demikianlah pengertian wakaf menurut para ulama ahli fiqih.

29 29
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik Dan Kedudukan Tanah Wakaf Di Negara
Kita, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1994, Hlm.16
30 30
Al-Imam Kamal al-Din Ibn ‘Abd al-Rahid al-Sirasi Ibn al-Humam, Sharh Fath al-Qadir, jil.
6. (Beirut: Dar al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 1970), Hlm. 203.
31 31
Ibn Qudamah, Al-Mughni Wa al-Syarh al-Kabir, jil. 6. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi,
1972), Hlm 185

13
Adapun dalam konteks perundangan di Indonesia, nampaknya wakaf

dimaknai secara spesifik dengan menemukan titik temu dari berbagai pendapat

ulama tersebut. Hal ini dapat terlihat dalam rumusan pengertian wakaf dalam

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, wakaf diartikan dengan

perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta

benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu

sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan

umum menurut syariah.3232 Rumusan dalam UU wakaf tersebut, jelas sekali

merangkum berbagai pendapat para ulama tersebut di atas tentang makna wakaf,

sehingga makna wakaf dalam konteks Indonesia lebih luas dan lebih

komprehensif.

Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf

bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada

orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini

sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU No. 41 tahun 2004 yang

menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis

harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan

umum.

Dalam konteks negara Indonesia, praktik wakaf sudah dilaksanakan oleh

masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Pemerintah Indonesia pun

telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di

Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang

terdiri dari 11 Bab, 71 pasal, 1 Bab Ketentuan Peralihan dan 1 Bab Penutup.

Ketentuan tentang wakaf produktif terdapat dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30

UU tersebut. Sebagai peraturan pelaksana , pemerintah juga telah menetapkan


32 32
ibid

14
Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang

Nomor 41 tahun 2004.

Sebelum itu, telah ada berbagai peraturan yang mengatur tentang

wakaf.3333 Peraturan yang mengatur tentang wakaf adalah antara lain UU No. 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, khususnya pasal 5, 14

(1), dan 49, PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Peraturan

Menteri No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977,

SK Direktorat BI No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat

Berdasarkan Prinsip Syariah (pasal 28 berbunyi: BPRS dapat bertindak sebagai

lembaga baitul mal, yaitu menerim dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah,

wakaf, hibah, atau dana social lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak

dalam bentuk santunan dan atau pinjaman kebajikan ( qard al-hasan ).3434

2. Teori Kemaslahatan

Teori Maslahat ini dianggap relevan dipergunakan sebagai teori untuk

menganalisis dan membedah permasalahan dalam hukum wakaf terutama

berkaitan dengan pemberdayaan wakaf produktif. Alasan digunakannya teori

Maslahat dalam kajian hukum wakaf ini adalah terletak pada subtansi bahasannya;

yang notabene secara filosofis hukum wakaf berasal dari hukum Islam. Satu-

satunya cara yang paling dianggap mudah dan relevan adalah teori yang berasal

dari agama (keyakinan) itu sendiri. Itulah sebabnya teori Maslahat digunakan

sebagai grand theory dalam kajian hukum wakaf dan potensinya dalam

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

33 33
Lihat DEPAG RI, 2006, Peraturan Perundangan Perwakafan. (Jakarta )
34 34
Elsi Kartika Sari, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf. (Jakarta: Grasindo, 2006), Hlm.
57-59.

15
a. Pengertian Teori Maslahat

"Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya", merupakan kata-

kata bijak yang sangat berarti dalam kehidupan umat manusia. 3535 Ungkapan ini

sekalipun singkat dan sederhana, akan tetapi memiliki keluasan makna yang

sangat dalam dan berarti. Ungkapan tersebut setidaknya dapat dimaknai

bahwasanya kehadiran hukum di tengah-tengah kehidupan masyarakat harus

dapat memberikan nilai-nilai positif bagi kehidupannya. Nilai positif tersebut

dapat ditafsirkan setidaknya sebagai keadilan, kepastian dan kemanfaatan yang

diharapkan dapat mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan hidup umat

manusia.

Jeremy Bentham lebih menitik beratkan tujuan hukum pada nilai

kemanfaatannya. Sehingga dengan demikian hukum diharapkan mampu memberi

kemanfaatan sebanyak-banyaknya kepada orang. Hanya saja unsur kemanfaatan

di sini masih bersifat umum. Persoalan yang muncul berikutnya adalah: apakah

sesuatu yang berfaedah bagi seseorang juga berfaedah bagi orang lain atau bahkan

merugikan orang lain dan umum.3636 Oleh karena itu yang dimaksudkan dengan

keumuman unsur manfaat di sini adalah apabila hukum itu dapat memberikan

kebahagiaan dan kemanfaatan orang sebanyak-banyaknya.  Sehingga dengan

demikian suatu perbuatan dinilai baik atau buruk berdasarkan ukuran dapat

meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan bagi sebanyak mungkin

orang.3737 Berkaitan dengan hal ini Bentham berpendapat bahwa: kebahagiaan

35 35
Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis tentang Pergulatan
manusia dan Hukum, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, Hlm. 47
36 36
Ade Maman Suherman, 2005, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Edisi Revisi, Cetakan
kedua, Bogor, Ghalia Indonesia, Hlm.10.
37 37
Mudiarti Trisnaningsih, 2007, Relevansi Kepastian Hukum Dalam Mengatur Perkawinan
Beda Agama di Indonesia, Bandung, CV. Utomo, Hlm. 124.

16
sebesar-besaenya untuk orang sebanyak banyaknya (the greatest happiness for the

greatest number).3838 

Berkenaan dengan dapatnya hukum memberikan kemanfaatan bagi

sebanyak-banyaknya orang, hukum juga diharapkan dapat memberikan nilai

keadilan. Sehingga dengan demikin secara subtansial hukum harus ditentukan

menurut dua asas, yaitu asas keadilan dan faedah atau kemanfaatan. 3939 Teori

Kemanfaatan (utilitis) ini secara umum sangat tepat dan berguna dalam

pembahasan yang berkaitan dengan perekonomian. Hanya saja dalam kajian yang

bekaitan dengan wakaf produktif, teori kemanfaatan (utilitis) nampaknya masih

mengandung banyak kelemahan. Setidaknya kelemahan tersebut terletak pada dua

hal.4040 Pertama, sesuatu dapat dikatakan manfaat tetapi belum tentu maslahat.

Karena nilai manfaat itu sering-kali hanya diukur dari kesenangan sepihak dan

bersifat sementara. Kesenangan bagi seseorang, belum tentu berarti kesenangan

bagi orang lain. Bahkan terkadang bisa merupakan penderitaan baginya. Kedua,

terletak pada obyek kajiannya.41

Wakaf yang dijadikan obyek kajian di sini, secara epistemologi berasal

dari sistem ekonomi (agama) Islam. Sedangkan agama merupakan produk Tuhan

yang bersifat absolut. Karena sifat keabsolutannya itulah pada umumnya agama

sulit sekali dipengaruhi oleh hasil-hasil pemikiran manusia.Sekalipun demikian

teori kemanfaatan (utilitis) di sini, diidentikkan dengan teori maslahat (perspektif

38 38
 Bellefroid dalam Kansil, CST, 1992, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Balai Pustaka, Hlm.. 9
39 39
Satjipto Rahardjo, op.cit, Hlm.51
40 40
Muhammad Taufiq, Al-Maslhah sebagai Sumber Hukum Islam, Jurnal Hukum dan Ekonomi
Islam “Istimbath” No.2, Vol. 2, Juni 2005.

17
Hukum Islam).4242 Karena teori Maslahat dalam kerjanya selalu berpijak pada

nilai manfaat terlebih dahulu.

Teori maslahat ini berasal dari teori hukum Islam yang orientasi

tinjauannya lebih menekankan kepada unsur kemaslahatan atau kemanfaatan

untuk manusia dari pada mempersoalkan masalah-masalah yang normatif belaka.

Teori ini tidak semata-mata melihat bunyi teks hukum (bunyi ayat al-Qur’an dan

al-Hadis) maupun undang -undang tertulis, melainkan lebih menitikberatkan

pada prinsip-prinsip atau tujuan yang hendak dicapai, yang terkandung di dalam

nas atau teks tersebut (Maqashid syariah}.4343 

Teori maslahat ini dikemukakan oleh beberapa tokoh atau pakar hukum

dengan sedikit perbedaan, akan tetapi keseluruhannya mengarah pada

kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Tokoh-tokoh tersebut di

antaranya adalah: Imam Al-Ghazali (w. 505 H) dengan bukunya yang berjudul

“Al-Mustasyfa”, Imam Syatibi dengan bukunya yang berjudul “Al-Muwafaqat”,

Imam Najm al-Din al-Thufy (W. 716 H) dengan bukunya yang berjudul “Al-

Ta’yin fi Syarh al Arba’in, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya yang

bersifat komplementer dalam pembahasan teori maslahat ini.43

Adapun pengertian maslahat ditinjau dari segi etimologis berasal dari kata

bahasa Arab al-mashlahah dari kata kerja shalaha-yashluhu yang berarti

kebaikan. Kata al-mashlahah adalah bentuk tunggal (mufrad), sedangkan

jamaknya adalah al-mashaalih  mengikuti wazan  ( timbangan kata ) al-mafaa’il   

42 42
Teori maslahat dalam pengertian ini sama dengan teori utilitarianisme oleh Bentham.
Menurutnya, hakikat kebahagian adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari
kesengsaran. Baca Lili Rasyidi, 2003, Hukum sebagai Suatu Sistem, Bandung, Mandar
Maju, Hlm. 116.
43 43
Juhaya S. Praja, Epistimologi Hukum Islam, Suatu Telaah Tentang Sumber, Illat Dan
Tujuan Hukum Islam,serta Metode-Metode Pengujian Kebenarannya, dalam Sistem
Hukum Islam Menurut Ibn Taimiyyah, Disertasi Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 1988, Hlm.88

18
yang menunjukkan arti sesuatu yang banyak.Oleh karena itu kata maslahat berarti

sesuatu yang banyak kebaikan dan manfaatnya. Sedangkan di dalam Ensiklopedi

Islam, pengertian maslahat dinegasikan dengan “mafsadat (Al - mafsadah) sesuatu

yang membawa  madarah  (madarat, bahaya, bencana, atau kerusakan) atas

agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Menurut istilah keagamaan, berati

lawan makna maslahat”4545

a. Klasifikasi Maslahat

Berkaitan dengan upaya mengangkat teori maslahat sebagai pisau analisis

dalam kajian hukum, para pakar hukum Islam (ahli Ushul Fiqh) membagi atau

mengklasifikasikan maslahat menjadi tiga katagori, yakni:4646  mashlahah

mu’tabarah (valid/populer), mashlahah mulghah (invalid/tidak legitimet),

dan mashlahah mursalah (terbuka dan legitimet sebagai sumber hukum Islam).


47
47 Pertama, Mashlahah mu’tabarah yaitu maslahat yang secara langsung

terdapat pada sumber hukum Islam aslinya. Baik berupa al-Qur’an maupun al-

Hadis. Oleh karena itu ia memiliki tingkat validitas yang paling tinggi

keberadaannya dalam pandangan Syari’ (Pembuat hukum), karena secara

langsung ia telah mendapatkan legitimasi dari al-Qur’an atau al-Hadis.

Kedua, mashlahah mulghah  adalah maslahat yang dianggap bertentangan

dengan syari’at. Oleh karenanya keberadaan maslahat mulghah  (sia-sia) ini baik

45 45
Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru van hove, Jakarta, hal. 1038. Juga Al-Imam
Abi Ishaq al-Syatibi, Al Muwafaqot, jilid 4, Dar al Kutub al Ilmiyyah, Beirut, hlm. 20-21,
tth; mengemukakan bahwasanya ada lima tujuan yang paling mendasar sebagi alasan
diturunkan syari’at Islam. Lima tujuan dasar itu, disebut dengan istilah al dloruriyyaah al
khoms (lima kebutuhan pokok), yang diantaranya, Hifdzu al din (menjaga agama), Hifdzu
al nasl (menjaga keturunan), Hifdzu al mal (menjaga harta), Hifdzu al aql (menjaga
akal), Hifdzu al I’rdli (menjaga harga diri)
46 46
Bandingkan dengan Juhaya S.Praja, Filsafat Hukum Islam, Pusat Penerbitan UNISBA,
LPPM UNISBA, 1995, Hlm.105
47 47
ibid

19
secara esensial maupan subtansial dianggap invalid dan tidak dapat dijadikan

sandaran dalam menetapkan hukum. 

Ketiga, mashlahah mursalah, adalah maslahat yang posisinya berada

antara mashlalahah mu’tabarah dan mashlalah mulghah. Yaitu suatu maslahat

sebagai produk atau hasil pemikiran aktual yang secara yuridis tidak

diperintahkan oleh al-Qur’an atau al-Hadis, tetapi juga tidak bertentangan dengan

keduanya. Secara filosofis,  maslahah mursalah  berpotensi sebagai alat untuk

pengembangan hukum baik dengan jalan merespon fenomena yang terjadi

maupun berupa aktualisasi hukum-hukum yang telah ada untuk selanjutnya

disesuakan dengan kebutuhan masa kini (kontekstualisasi hukum). dalam hal ini

dapat diterapkan dalam pengembangan wakaf produktif untuk kesejahteraan

umat. 

Keseluruhan hukum (Islam) pada akhirnya akan mengarah pada suatu

tujuan yang hendak dicapai. Tujuan tersebut adalah menjaga kemaslahatan

manusia di dunia dan akherat kelak. Pengertian maslahat dalam konteks seperti ini

dartikan sebagai manfaat. Sedangkan manfaat dalam terminologi hukum (umum)

merupakan bagian dari tujuan hukum di samping keadilan dan kepastian.

Sedangkan manfaat (maslahat) dalam terminologi hukum Islam harus selalu

dikaitkan dengan tujuan-tujuan hukum esensial yang telah disepakati oleh ahli

hukum.4848 Tujuan-tujuan hukum esensial tersebut adalah menjaga agama,

menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan dan menjaga harta. Kelima hal

ini selanjutnya disebut dengan istilah kulliyat al-khomsah (pokok-pokok hukum

yang lima).4949

48 48
op.cit
49 49
Chariri Ma’mun, Standar maslahat menurut Islam,
http://peinumesir.tripod.com/ilmiah/jurnal/isjurnal/nuansa/Jan96/4.htm, diakses pada
tanggal 15-22-2008

20
Bertitik tolak dari pengertian ini, maka tidak semua maslahat dapat

dipandang benar oleh hukum. Maslahat yang dibenarkan hanyalah maslahat yang

merupakan pengembangan kulliyat al-khomsah (kelima pokok hukum) di atas.5050

Untuk itulah dalam pengembangan kajian hukum (Islam) tidak bisa hanya terpaku

pada teks-teks hukum secara lahiriyah (formalistic) saja. 5151Penulusuran terhadap

pengembangan hukum menjadi sangat penting. Sekalipun demikian penelusuran

tersebut harus selalu berpijak dan bersandar pada teks-teks, atau nas yang ada. Hal

ini dilakukan demi untuk menjawab perkembangan dan perubahan sosial yang

dalam kenyataannya melaju lebih cepat dari pada hukum itu sendiri.52

Ajaran Islam menurut Quthb5353 mengatur bentuk hubungan Tuhan

dengan makhluk-Nya, hubungan antara sesama makhluk, dengan alam semesta

dan kehidupan, hubungan manusia dengan dirinya, antara individu dengan

masyarakat, antara individu dengan negara, antara seluruh umat manusia, antara

generasi yang satu dengan generasi yang lain, semuanya dikembalikan kepada

konsep menyeluruh yang terpadu.5454

b. Teori Keadilan

Islam memerintahkan kepada setiap manusia untuk berbuat adil atau

menegakkan keadilan pada setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan (Qs. an-

Nisaa (4): 58):

50 50
Hasbi Ash-shidiqie, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975
51 51
Chariri Ma’mun, op.cit
53 53
Sayyid Quthb, Keadilan Sosial dalam Islam , Bandung, Pustaka, 1994, Hlm.25
54 54
ibid

21
Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apa bila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar dan Maha Melihat

Keadilan dalam sejarah perkembangan pemikiran Filasafat Islam tidak

terlepas dan persoalan keterpaksaan dan kebebasan. Para Teolog muslim terbagi

dalam dua kelompok, yaitu Kaum Mu’tazilah yang membela keadilan dan

kebebasan, sedangkan Kaum Asy’ari yang membela keterpaksaan.5555 Kaum

Asy’ari menafsirkan keadilan dengan tafsiran yang khas yang menyatakan Allah

itu adil, tidak berarti bahwa Allah mengikuti hukum-hukum yang sudah ada

sebelumnya, yaitu hukum-hukum keadilan tetapi berarti Allah merupakan rahasia

bagi munculnya keadilan. 5656

Setiap yang dilakukan oleh Allah adalah adil dan bukan setiap yang adil

harus dilakukan oleh Allah, dengan demikian keadilan bukanlah tolok ukur untuk

perbuatan Allah melainkan perbuatan Allahlah yang menjadi tolok ukur

keadilan..5757

55 55
ibid
56 56
Juhaya S.Praja, Filsafat Hukum Islam, op.cit
57 57
Hasbi Ash-shidiqie, op.cit

22
Murtadha Muthahhari5858 mengemukakan bahwa konsep adil dikenal

dalam empat hal; pertama,  adil bermakna keseimbangan dalam arti suatu

masyarakat yang ingin tetap bertahan dan mapan, maka masyarakat tersebut harus

berada dalam keadaan seimbang, di mana segala sesuatu yang ada di dalamnya

harus eksis dengan kadar semestinya dan bukan dengan kadar yang sama.

Konsepsi keadilan Islam  mempunyai arti yang lebih dalam daripada apa

yang disebut dengan keadilan distributif dan finalnya Aristoteles; keadilan formal

hukum Romawi atau konsepsi hukum yang dibuat manusia lainnya.5959

Makna yang terkandung pada konsepsi keadilan Islam ialah menempatkan

sesuatu pada tempatnya, membebankan sesuatu sesuai daya pikul seseorang,

memberikan sesuatu yang memang menjadi haknya dengan kadar yang

seimbang.6060

Keadilan dalam pelaksanaannya tergantung dari struktur-struktur

kekuasaan dalam masyarakat, struktur-struktur mana terdapat dalam bidang

politik, ekonomi, sosial, budaya, dan ideologi. Maka membangun keadilan dalam

pelaksanaan wakaf produktif berarti menciptakan struktur-struktur yang

memungkinkan pelaksanaan keadilan.6161 keadilan merupakan suatu prinsip

moral yang bersifat universal, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai pokok

yang dibutuhkan seluruh ummat manusia. “Dalam hal ini hukum ingin mencapai

keseimbangan agar hubungan yang ditimbulkan oleh kepentingan masyarakat agar

tidak terjadi kekacauan. Untuk menjamin keseimbangan tersebut maka diperlukan

58 58
Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Azas Pandangan Dunia Islam, Bandung:
Mizan,1995, Hlm 53-58.
59 59
AA.Qadri, Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan Dalam   Sejarah  Pemerintahan 
Muslim, 1987, Yogyakarta: PLP2M, HIm. 1
60 60
Madjid Khadduri, Teologi Keadilan (Perspektf Islam), 1999, Surabaya: Risalah Gusti,
Hlm.119-201.
61 61
Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, PT Gramedia, Jakarta, 1988, Hlm. 45

23
tujuan hukum”6161.  Keberlakukan prinsip keadilan ditunjukkan dari setiap tujuan

dari sistem hukum yang dibangun setiap bangsa berupaya mewujudkan keadilan

bagi semua orang. Gustav Radbruch dalam teorinya Rechtsidee menyatakan

bahwa tujuan ideal hukum meliputi:

1. Keadilan (Grechtmategheit)

2. Kemanfaatan (Doelmaghteit).

3. Kepastian (Rechmategheit)

Bagi Radbruch ketiga aspek ini sifatnya relatif, artinya dapat berubah-

ubah.  Pada suatu saat dapat lebih mengedepankan keadilan dan menggeser

kegunaan dan kepastian hukum. Namun pada saat berbeda dapat mengedepankan

kepastian atau kemanfaatan. Relasi yang bersifat relatif dan berubah-ubah ini

tentu kurang memuaskan. Meuwissen memilih kebebasan sebagai landasan dan

cita hukum. Kebebasan yang dimaksud bukan kesewenangan, karena kebebasan

tidak berkaitan dengan apa yang kita inginkan.  Tetapi berkenaan dengan hal

menginginkan apa yang kita ingini.  “Dengan kebebasan kita dapat

menghubungkan kepastian, keadilan, persamaan dan sebagainya ketimbang

mengikuti Radbruch”.6262

Prinsip keadilan sudah seharusnya dapat ditemukan dalam setiap peraturan

perundang-undangan sebagaimana asas konstitusionalisme dalam negara hukum.

Dalam dasar negara Indonesia yang juga berfungsi sebagai sumber daripada

semua sumber hukum, yakni Pancasila, konsep keadilan mendapat porsi utama

dalam ideologi berbangsa. Sila kedua menyatakan “Kemanusiaan yang adil dan

beradab”, kemudian sila kelima menyatakan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
61 61
Teguh Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, Media Perkasa,
Yogyakarta, 2015, hlm. 9.
62 62
B. Arief Shidarta, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum dan Filsafat Hukum, PT Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 20-21

24
Indonesia”. Terhadap dua kata “adil” yang muncul pada dua sila dalam Pancasila

tersebut mengindikasikan bahwa keadilan merupakan salah satu prinsip utama

yang harus diperhatikan dalam menyelenggarakan negara. Selain itu, apabila

merujuk ke dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945, disebutkan bahwa cita bernegara Indonesia adalah, “melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

sosial.”

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis

normatif, historis dan komparatif., yaitu suatu penelitian yang secara deduktif

dimulai dari analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan

yang mengatur terhadap permasalahan yang diteliti, dalam hal ini wakaf.

Pendekatan secara yuridis maksudnya penelitian yang mengacu pada studi

kepustakaan yang ada ataupun terhadap data sekunder yang digunakan.

Sedangkan normatif maksudnya penelitian hukum yang bertujuan untuk

memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan

dengan peraturan lain dan penerapan dalam prakteknya. Dalam penelitian hukum

normatif maka yang diteliti pada awalnya data sekunder untuk kemudian

dilanjutkan dengan penelitian tehadap data primer dilapangan atau terhadap

prakteknya.6262

62 62
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,  Penelitian Hukum Normatif  Suatu Tinjauan
Singkat, Cetakan ke – 11. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), Hlm 13–14.

25
Penelitian juga dilengkapi dengan metode historis, dengan maksud

mengetahui perkembangan pengaturan dan pemberdayaan wakaf , sementara

komparatif dimaksudkan untuk melakukan perbandingan dengan pemberdayaan

wakaf produktif baik peraturan maupun praktek yang dilaksanakan di negara

Singapura dan Malaysia, Penelitian komparatif juga dimaksudkan agar ditemukan

konsep yang tepat untuk diterapkan di Indonesia.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif

analitis yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara rinci,

sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan

masalah phukum wakaf dan pengembangan wakaf produktif, dengan

menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan

splitsing dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum

positif yang menyangkut permasalahan diatas.

3. Sumber dan tehnik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan data primer

(data yang diperoleh langsung dari sumbernya) dan data sekunder (data yang

diperoleh tidak langsung dari sumbernya) adalah berikut :

a. Studi Kepustakaan.

Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data sekunder dari berbagai

buku, peraturan perundang-undangan, dokumen dan tulisan yang relevan untuk

menyusun konsep penelitian serta mengungkap obyek penelitian. Studi

kepustakaan dilakukan dengan banyak melakukan telaah dan pengutipan

26
berbagai teori yang relevan utuk menyusun konsep penelitian. Studi kepustakaan

juga dilakukan untuk menggali berbagai informasi dan data faktual yang terkait

atau merepresentasikan masalah-masalah yang dijadikan obyek penelitian, yakni

tentang Hukum Wakaf dan pengembangan Wakaf produktif dalam upaya

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

b. Teknik Wawancara.

Teknik wawancara adalah teknik pengumpulan data primer dari para pihak

yang dijadikan informan penelitian. Teknik wawancara dilakukan dengan

mempersiapkan terlebih dahulu Pedoman Wawancara. Pedoman wawancara

tersebut berisi pokok-pokok pertanyaan terbuka untuk diajukan kepada para

informan penelitian.

c. Tehnik Analisis Data.

Setelah rangkaian data terkumpul, selanjutnya analisis data dilakukan dengan

menggunakan tehnik analisis kualitatif, yaitu analisis data dengan menggunakan

tehnik penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan dan poendalaman

terhadap berbagai konsep dan doktrin.

d. Lokasi Penelitian.

Penelitian dilakukan di Bandung, dan untuk perbandingan , dilakukan juga

penelitian di negara Malaysia.

27

Anda mungkin juga menyukai