Anda di halaman 1dari 9

A) Peninjauan Kembali

A. Dasar Hukum Peninjauan Kembali

- Pasal 66 – 77 Undang-Undang Nomor14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung


RI.

- Diubah menjadi UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

B. Ketentuan Umum

1. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.

2. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan


pelaksanaan putusan Pengadilan.

3. Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus, dan


dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat
diajukan lagi.

C. Alasan Peninjauan Kembali

Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh


kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai
berikut:

1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak
lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti- bukti
yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat


menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang
dituntut;

4. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa


dipertimbangkan sebab-sebabnya;

5. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar
yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan
putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.

D. Prosedur Pengajuan Permohonanan Peninjauan Kembali

1. Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang
berperkara, atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus
dikuasakan untuk itu.

2. Apabila selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal dunia,


permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.

3. Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas


alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 UU No 14 Tahun 1985 adalah
180 (seratus delapan puluh). Selanjutnya, Pasal 69 UU No.14 Tahun 1985
sebagaimana telah diubah UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
menyatakan Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang
didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180
(seratus delapan puluh) hari untuk : 1) yang disebut pada huruf a sejak diketahui
kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pidana memperoleh
kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang
berperkara; 2) yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti,
yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan
disahkan oleh pejabat yang berwenang; 3) yang disebut pada huruf c, d, dan f
sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan
kepada para pihak yang berperkara; 4) yang tersebut pada huruf e sejak sejak
putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap
dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.” Titik Perhitungan 180
Hari terhitung sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan
Hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada
para pihak yang berperkara.

4. Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah


Agung melalui Ketua Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama
dengan membayar biaya perkara yang diperlukan.
5. Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat
pertama dan terakhir.

6. Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan


menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar permohonan itu dan
dimasukkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam
tingkat pertama.

7. Apabila pemohon tidak dapat menulis, maka ia menguraikan permohonannya


secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam
tingkat pertama atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan yang akan
membuat catatan tentang permohonan tersebut.

8. Setelah Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama
menerima permohonan peninjauan kembali, maka Panitera berkewajiban untuk
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari memberikan atau
mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon,
dengan maksud :

- Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas alasan


sebagaimana dimaksudkan Pasal 67 huruf a atau huruf b agar pihak lawan
mempunyai kesempatan untuk mengajukan jawabannya;

- Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas salah satu


alasan yang tersebut Pasal 67 huruf c sampai dengan huruf f agar dapat
diketahui.

9. Tenggang waktu bagi fihak lawan untuk mengajukan jawabannya sebagaimana


dimaksudkan ayat (1) huruf a adalah 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
diterimanya salinan permohonan peninjauan kembali.

10. Surat jawaban diserahkan atau dikirimkan kepada Pengadilan yang memutus
perkara dalam tingkat pertama dan pada surat jawaban itu oleh Panitera
dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya jawaban tersebut, yang salinannya
disampaikan atau dikirimkan kepada pihak pemohon untuk diketahui.
11. Permohonan tersebut lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya oleh
Panitera dikirimkan kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari.

12. Untuk permohonan peninjauan kembali tidak diadakan surat menyurat antara
pemohon dan/atau pihak lain dengan Mahkamah Agung.

13. Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pengadilan Negeri yang


memeriksa perkara dalam Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding
mengadakan pemeriksaan tambahan, atau meminta segala keterangan serta
pertimbangan dari Pengadilan yang dimaksud. Pengadilan , setelah
melaksanakan perintah Mahkamah Agung tersebut segera mengirimkan berita
acara pemeriksaan tambahan serta pertimbangan kepada Mahkamah Agung.

14. Mahkamah Agung dapat meminta keterangan dari Jaksa Agung atau dari
pejabat lain yang diserahi tugas penyidikan apabila diperlukan.

15. Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali,


Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali
tersebut dan selanjutnya memeriksa serta memutus sendiri perkaranya.

16. Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali, dalam hal


Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan itu tidak beralasan.

17. Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan atas permohonan peninjauan


kembali kepada Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam Tingkat
Pertama dan. selanjutnya Panitera Pengadilan Nigeri yang bersangkutan
menyampaikan salinan putusan itu kepada pemohon serta memberitahukan
putusan itu kepada pihak lawan dengan memberikan salinannya, selambat-
lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.

B) Teori Pembuktian Perdata

Kata pembuktian (bewijs) bahasa Belanda dipergunakan dalam dua arti,


adakalanya ia diartikan sebagai perbuatan dengan mana diberikan suatu kepastian,
adakalanya pula sebagai akibat dari perbuatan tersebut yaitu terdapatnya suatu
kepastian. Menurut Prof.Dr.Eddy O.S Hiariej memberikan kesimpulan (dengan
mengutip pendapat Ian Denis) bahwa : Kata Evidence lebih dekat kepada pengertian
alat bukti menurut Hukum Positif,sedangkan kata proof dapat diartikan sebagai
pembuktian yang mengarah kepada suatu proses. Evidence atau bukti (pendapat Max.
M.Houck) sebagai pemberian informasi dalam penyidikan yang sah mengenai fakta
yang kurang lebih seperti apa adanya. Pembuktian adalah perbuatan membuktikan.
Membuktikan berarti memberikan atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu
kebenaran, melaksanakan, menandakan menyaksikan dan meyakinkan. R.Subekti
berpendapat bahwa membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil
atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa.

- Alat Bukti dalam perdata tercantum dalam pasal 1866 yaitu:

1. Bukti Tulisan

2. Bukti dengan saksi-saksi

3. Persangkaan-persangkaan

4. Pengakuan

5. Sumpah

- Teori teori beban pembuktian dalam perdata yang merupakan pedoman bagi
hakim di dalam memutuskan siapa yang harus dibebani dengan pembuktian dalam
setiap kasus yang diperiksanya.

a. Teori Negativa Non Sunt Probanda.

Teori ini bertitik tolak pada asas beban pembuktian “Negativa non sunt
probanda” asas yang menyatakan bahwa sesuatu yang negatie sifatnya sulit untuk
dibuktikan. Asas ini, sehingga penganut teori ini menyatakan bahwa barang siapa
yang mengemukakan sesuatu, ialah yang harus membuktikannya, jadi bukan
pihak yang me nyang kalinya. Dewasa ini menganut teori “Negativa non sunt
probanda” ini sudah tidak ada lagi. Karena dangan teori ini, hampir selalu
penggugatlah yang dibebani pembuktian. Teori pertama ini menganggap bahwa
sesuatu yang si fatnya negatie, adalah di luar batas kemampuan untuk di buk ti -
kan, karena itu sesuai adagium berbunyi: Ultra posse nemo obli gatur (tiada orang
berkewajiban melakukan lebih da ri pada kemampuannya), maka orang yang
menyatakan/me nge mu kakan sesuatulah yang harus dibebani dengan pem
buktian.

b. Teori Hak

Dasar dari teori ini adalah bahwa “HAK”lah yang mendasari proses perdata.
Dengan lain kata, proses perdata itu senantiasa melaksanakan “hak” yang dimiliki
perorangan. Dengan demikian, teori ini berpendapat bahwa tujuan dari hukum
secara perdata adalah semata-mata untuk memper tahankan hak. Dengan
demikian, barang siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu
hak, dialah yang dibebani dengan pembuktian. Perbedaannya dengan teori
Negativa non sunt probanda adalah karena kalau pada teori pertama ini penggugat
harus membuktikan keseluruhan. Adapun menurut teori “hak” ini, tidak seluruh
peristiwa harus dibuktikan si penggugat.

c. Teori De Lege Lata (Menurut Hukum Positif)

Menurut teori ini, dengan si penggugat mengajukan gugatannya berarti bahwa


si penggugat meminta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan hukum
yang ber laku terhadap peristiwa yang diajukan. Karena itulah, maka si penggugat
harus dibebani pembuktian untuk membuktian kebenaran dari peristiwa yang
diajukannya, dan kemudian mencarikan dasar hukumnya untuk diterapkan pada
peristiwa itu. Sebagai contoh: jika si A menggugat tentang suatu per - janjian,
maka si A harus mencari dalam undang-un dang apa syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian, lalu membuktikannya. Dalam contoh ini, si A tentu harus berdasarkan
Pasal 1320 BW dan karena Pasal 1320 BW tidak menyebutkan adanya cacat
dalam persesuaian kehendak, sehingga si A pun tidak perlu membuktikan adanya
cacat dalam persesuaian kehendak itu. Tentang adanya cacat dalam persesuaian
kehendak itu, pihak lawanlah yang harus membuktikannya. Ini berarti hakim
hanya dapat mengabulkan gugatan jika unsurunsur yang ditetapkan oleh
hukum/undang-undang itu ada. Bagaimana dengan persoalan yang tidak diatur
dalam undang-undang? Inilah kelemahan teori ini.

d. Teori Ius Publicum (Hukum Publik)

Teori ini menekankan bahwa walaupun hukum acara perdata adalah bagian
dari hukum privat, tetapi bagai ma napun kepentingan publik termasuk di
dalamnya. Sebab, ke pentingan peradilan adalah juga kepentingan publik. Karena
itu, teori ini cenderung untuk menginginkan agar hakim diberi wewe nang yang
lebih besar di dalam mencari kebenaran. Teori ini menghendaki agar bagi para
pihak dibebani dengan kewa jib an yang bersifat hukum publik, di mana ke
wajiban itu harus disertai dengan saksi pidana. Tentu saja teori ini terlalu
berlebihan untuk diterapkan di Indonesia dewasa ini.

e. Teori Audi Et Alteram Partem

Teori ini adalah berdasarkan pada asas hukum acara per data pada umumnya,
yaitu asas “AUDI ET ALTERAM PAR TEM”, asas kedudukan yang sama secara
prosesuil dari kedua pihak yang beperkara. Asas ini mewajibkan hakim agar
memberi kesempatan yang sama bagi para pihak untuk menang secara prosesuil.
Ka rena itu, hakim harus membagi beban pembuktian kepada para pihak yang
beperkara secara patut, di mana ada kalanya hanya tergugat, dan ada kalanya
kedua-duanya. Dengan asas ini, hakim benar-benar harus adil membagi beban
pembuktian itu, sehingga kalau penggugat menggugat ter gugat mengenai
perjanjian jual beli itu dan bukannya tergugat yang harus membuktikan tentang
tidak adanya perjanjian tersebut antara penggugat dan tergugat. Kalau tergugat
mengemukakan bahwa ia membeli sesuatu dari penggugat, tetapi bahwa jual beli
itu batal karena kompensasi, maka tergugatlah yang harus membuktikanbahwa ia
mempunyai tagihan terhadap penggugat. Penggugat dalam hal ini tidak perlu
membuktikan bahwa ia tidak mempunyai utang pada tergugat.

C) Pertanggung Jawaban Korporasi

Di Indonesia sendiri pengaturan mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi
tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan, misalnya dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah
diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (“UU Tipikor”) dan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU
Lingkungan Hidup”). Adapun pengertian Korporasi yang dapat kita ketahui dari UU Tipikor
adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum. Untuk mengisi kekosongan hukum yang ada mengenai
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh Korporasi, maka sambil menunggu
pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU
KUHP) dan Rancangan Kitab Hukum Acara Pidana Indonesia (RUU KUHAP), Mahkamah
Agung RI telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi (“Perma 13/2016”) sebagai
pedoman bagi aparat penegak hukum dalam penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh
Korporasi.

Korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan pidana


Korporasi dalam undang-undang yang mengatur tentang Korporasi tersebut, misalnya UU
Tipikor atau UU Lingkungan Hidup. Sesuai Pasal 4 ayat (2) Perma 13/2016, dalam
menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi antara
lain dengan parameter sebagai berikut:

1. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut
atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi;

2. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau

3. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan


pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap
ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

- Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang
dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta
memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat dan menggugat di depan hakim. Dari pengertian
tersebut, Korporasi adalah subjek hukum (recht persoon) yang merupakan bentuk artificial
person dari seorang manusia yang dapat memiliki hak dan kewajiban hukum. Yang
membedakannya dengan manusia adalah korporasi sebagai subjek hukum tentunya tidak
dapat dikenakan pemidanaan berupa pidana yang merampas kemerdekaan badan (penjara).
Mengingat hakikat Korporasi sebagai subjek hukum dalam bentuk artificial person, maka
Pasal 5 Perma 13/2016 telah mengatur bahwa dalam hal seorang atau lebih Pengurus
Korporasi berhenti, atau meninggal dunia tidak mengakibatkan hilangnya suatu
pertanggungjawaban Korporasi. Oleh karena itu, dalam Pasal 23 Perma 13/2016 juga diatur
bahwa Hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap Korporasi ATAU Pengurus, atau
Korporasi DAN Pengurus, baik secara alternatif maupun kumulatif.
Adapun sanksi atau hukum yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi menurut pedoman
yang digariskan dalam Pasal 25 ayat (1) Perma 13/2016 adalah pidana pokok dan/atau pidana
tambahan. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda.
Sedangkan pidana tambahan yang dijatuhkan terhadap Korporasi sesuai yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan lain, yaitu Pasal 10 KUHP dan ketentuan jenis pidana lain
yang tersebar dalam undang-undang lain sebagai lex specialis dari KUHP yang merupakan
legi generali.

Sebagai gambaran, contoh pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara


lingkungan hidup misalnya dalam bentuk penjatuhan pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 98 ayat (1) UU Lingkungan Hidup tentang perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Setiap orang yang
dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara
ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Yang dimaksud dengan setiap orang di sini adalah orang perseorangan atau badan usaha,
baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum

Anda mungkin juga menyukai