B. Ketentuan Umum
1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak
lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti- bukti
yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang
dituntut;
5. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar
yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan
putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.
1. Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang
berperkara, atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus
dikuasakan untuk itu.
8. Setelah Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama
menerima permohonan peninjauan kembali, maka Panitera berkewajiban untuk
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari memberikan atau
mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon,
dengan maksud :
10. Surat jawaban diserahkan atau dikirimkan kepada Pengadilan yang memutus
perkara dalam tingkat pertama dan pada surat jawaban itu oleh Panitera
dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya jawaban tersebut, yang salinannya
disampaikan atau dikirimkan kepada pihak pemohon untuk diketahui.
11. Permohonan tersebut lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya oleh
Panitera dikirimkan kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari.
12. Untuk permohonan peninjauan kembali tidak diadakan surat menyurat antara
pemohon dan/atau pihak lain dengan Mahkamah Agung.
14. Mahkamah Agung dapat meminta keterangan dari Jaksa Agung atau dari
pejabat lain yang diserahi tugas penyidikan apabila diperlukan.
1. Bukti Tulisan
3. Persangkaan-persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah
- Teori teori beban pembuktian dalam perdata yang merupakan pedoman bagi
hakim di dalam memutuskan siapa yang harus dibebani dengan pembuktian dalam
setiap kasus yang diperiksanya.
Teori ini bertitik tolak pada asas beban pembuktian “Negativa non sunt
probanda” asas yang menyatakan bahwa sesuatu yang negatie sifatnya sulit untuk
dibuktikan. Asas ini, sehingga penganut teori ini menyatakan bahwa barang siapa
yang mengemukakan sesuatu, ialah yang harus membuktikannya, jadi bukan
pihak yang me nyang kalinya. Dewasa ini menganut teori “Negativa non sunt
probanda” ini sudah tidak ada lagi. Karena dangan teori ini, hampir selalu
penggugatlah yang dibebani pembuktian. Teori pertama ini menganggap bahwa
sesuatu yang si fatnya negatie, adalah di luar batas kemampuan untuk di buk ti -
kan, karena itu sesuai adagium berbunyi: Ultra posse nemo obli gatur (tiada orang
berkewajiban melakukan lebih da ri pada kemampuannya), maka orang yang
menyatakan/me nge mu kakan sesuatulah yang harus dibebani dengan pem
buktian.
b. Teori Hak
Dasar dari teori ini adalah bahwa “HAK”lah yang mendasari proses perdata.
Dengan lain kata, proses perdata itu senantiasa melaksanakan “hak” yang dimiliki
perorangan. Dengan demikian, teori ini berpendapat bahwa tujuan dari hukum
secara perdata adalah semata-mata untuk memper tahankan hak. Dengan
demikian, barang siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu
hak, dialah yang dibebani dengan pembuktian. Perbedaannya dengan teori
Negativa non sunt probanda adalah karena kalau pada teori pertama ini penggugat
harus membuktikan keseluruhan. Adapun menurut teori “hak” ini, tidak seluruh
peristiwa harus dibuktikan si penggugat.
Teori ini menekankan bahwa walaupun hukum acara perdata adalah bagian
dari hukum privat, tetapi bagai ma napun kepentingan publik termasuk di
dalamnya. Sebab, ke pentingan peradilan adalah juga kepentingan publik. Karena
itu, teori ini cenderung untuk menginginkan agar hakim diberi wewe nang yang
lebih besar di dalam mencari kebenaran. Teori ini menghendaki agar bagi para
pihak dibebani dengan kewa jib an yang bersifat hukum publik, di mana ke
wajiban itu harus disertai dengan saksi pidana. Tentu saja teori ini terlalu
berlebihan untuk diterapkan di Indonesia dewasa ini.
Teori ini adalah berdasarkan pada asas hukum acara per data pada umumnya,
yaitu asas “AUDI ET ALTERAM PAR TEM”, asas kedudukan yang sama secara
prosesuil dari kedua pihak yang beperkara. Asas ini mewajibkan hakim agar
memberi kesempatan yang sama bagi para pihak untuk menang secara prosesuil.
Ka rena itu, hakim harus membagi beban pembuktian kepada para pihak yang
beperkara secara patut, di mana ada kalanya hanya tergugat, dan ada kalanya
kedua-duanya. Dengan asas ini, hakim benar-benar harus adil membagi beban
pembuktian itu, sehingga kalau penggugat menggugat ter gugat mengenai
perjanjian jual beli itu dan bukannya tergugat yang harus membuktikan tentang
tidak adanya perjanjian tersebut antara penggugat dan tergugat. Kalau tergugat
mengemukakan bahwa ia membeli sesuatu dari penggugat, tetapi bahwa jual beli
itu batal karena kompensasi, maka tergugatlah yang harus membuktikanbahwa ia
mempunyai tagihan terhadap penggugat. Penggugat dalam hal ini tidak perlu
membuktikan bahwa ia tidak mempunyai utang pada tergugat.
Di Indonesia sendiri pengaturan mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi
tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan, misalnya dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah
diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (“UU Tipikor”) dan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU
Lingkungan Hidup”). Adapun pengertian Korporasi yang dapat kita ketahui dari UU Tipikor
adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum. Untuk mengisi kekosongan hukum yang ada mengenai
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh Korporasi, maka sambil menunggu
pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU
KUHP) dan Rancangan Kitab Hukum Acara Pidana Indonesia (RUU KUHAP), Mahkamah
Agung RI telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi (“Perma 13/2016”) sebagai
pedoman bagi aparat penegak hukum dalam penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh
Korporasi.
1. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut
atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi;
Badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang
dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta
memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat dan menggugat di depan hakim. Dari pengertian
tersebut, Korporasi adalah subjek hukum (recht persoon) yang merupakan bentuk artificial
person dari seorang manusia yang dapat memiliki hak dan kewajiban hukum. Yang
membedakannya dengan manusia adalah korporasi sebagai subjek hukum tentunya tidak
dapat dikenakan pemidanaan berupa pidana yang merampas kemerdekaan badan (penjara).
Mengingat hakikat Korporasi sebagai subjek hukum dalam bentuk artificial person, maka
Pasal 5 Perma 13/2016 telah mengatur bahwa dalam hal seorang atau lebih Pengurus
Korporasi berhenti, atau meninggal dunia tidak mengakibatkan hilangnya suatu
pertanggungjawaban Korporasi. Oleh karena itu, dalam Pasal 23 Perma 13/2016 juga diatur
bahwa Hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap Korporasi ATAU Pengurus, atau
Korporasi DAN Pengurus, baik secara alternatif maupun kumulatif.
Adapun sanksi atau hukum yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi menurut pedoman
yang digariskan dalam Pasal 25 ayat (1) Perma 13/2016 adalah pidana pokok dan/atau pidana
tambahan. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda.
Sedangkan pidana tambahan yang dijatuhkan terhadap Korporasi sesuai yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan lain, yaitu Pasal 10 KUHP dan ketentuan jenis pidana lain
yang tersebar dalam undang-undang lain sebagai lex specialis dari KUHP yang merupakan
legi generali.
Yang dimaksud dengan setiap orang di sini adalah orang perseorangan atau badan usaha,
baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum