Anda di halaman 1dari 16

NILAI-NILAI KEBUDAYAAN SUKU BANGSA DI ACEH

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Aceh atau yang pernah disebut dengan Daerah Istimewa Aceh dan Nanggroe
Aceh Darussalam merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Daerah yang
terletak di ujung utara pulau Sumatera ini berbatasan dengan Teluk Benggala di
sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur dan
Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Aceh dianggap sebagai tempat
dimulainya penyebaran Islam di Indonesia, selain itu Aceh juga dikenal sebagai
daerah yang sangat menjunjung tinggi nilai agama. Persentase penduduk
muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia. Daerah yang memiliki ibukota
Banda Aceh ini memiliki 13 suku bangsa asli, dari sekian suku hanya suku Nias
yang tidak semuanya memeluk agama Islam. Berbeda dengan provinsi lain di
Indonesia, Aceh memiliki otonomi yang diatur sendiri karena alasan sejarah.
Dalam segi kebudayaan, Aceh memiliki kebudayaan yang unik dan beraneka
ragam. Pada dasarnya, kebudayaan Aceh banyak terpengaruh dengan budaya
Melayu. Namun, letak Aceh yang strategis dan merupakan jalur perdagangan dari
Timur Tengah. Kebudayaan Aceh yang kita ketahui saat ini merupakan hasil
akulturasi antara budaya Melayu, Timur Tengah dan budaya Aceh sendiri. Suku
bangsa yang mendiami Aceh saat ini merupakan keturunan dari orang-orang
Melayu dan Timur Tengah. Dalam segi bahasa, bahasa daerah yang paling banyak
digunakan masyarakat Aceh adalah bahasa Aceh.

1.2. Rumusan masalah


1. Seperti apakah budaya suku bangsa di Aceh ?
2. Unsur-unsur kebudayaan apa sajakah yang ada dalam suku bangsa di Aceh ?
1.3. Tujuan
Makalah ini merupakan bagian dari tugas mata kuliah Indonesian People and
Culture. Dari makalah ini , diharapkan para mahasiswa mengerti lebih dalam
tentang seluk beluk kebudayaan Aceh. Seperti yang kita ketahui, Indonesia adalah
negara yang kaya akan kebudayaan, yang mana di setiap provinsinya memiliki
bahasa, kebudayaan dan suku yang berbeda.

1.4. Manfaat
1. Meningkatkan rasa cinta dan bangga terhadap budaya Indonesia
2. Memperluas pengetahuan dan wawasan tentang budaya Aceh

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Sistem Religi


Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku
asli yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama
Islam.Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang
dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan
bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu.
Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi
yang lain, karena di provinsi ini syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar
warganya yang menganut agama Islam.

Orang Aceh adalah penganut agama Islam yang taat. Meskipun demikian, di
antara mereka ada yang masih menjalankan praktek kepercayaan animisme dan
dinamisme. Ada orang–orang tertentu yang biasa mempraktekkan guna-guna atau
ilmu gaib dan kelompok masyarakat yang menjalankan beberapa uapacara
tradisional yang bukan berasal dari agama Islam, seperti kenduri blang dan kenduri
laut. Kenduri blang adalah upacara kesuburan yang biasa dilakukan setiap tahun
oleh masyarakat petani Aceh dan Gayo. Sedangkan kenduri laut atau upacara turun
ke laut diadakan para nelayan Aceh dalam rangka meminta restu kepada penguasa
laut. Upacara ini masih dapat ditemukan pada masyarakat desa Ujong Pusong dan
Ujong Blang di kabupaten Aceh Barat. Biasanya seekor kerbau, kepalanya dibuang
ke laut, sedangkan dagingnya dimasak untuk kenduri setelah upacara selesai.
Orang Aceh menganggap dirinya identik dengan Islam. Oleh sebab itu dalam
kehidupan mereka hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan agama merupakan
suatu hal yang paling sensitif, sehingga bagi masyarakat Aceh pada umumnya,
yang paling menyinggung perasaan atau dianggap sebagi penghinaan adalah kalau
seseorang disebut” kafir”. Kendati yang bersangkutan belum tentu taat beribadah
atau bahkan tidak bertingkah laku sebagai seorang muslim, namun kalau disebut
kafir pasti akan berakibat panjang.

3
2.2. Sistem Organisasi Kemasyarakatan
Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong (kampung
atau desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong
ada sebuah meunasah (madrasah) yang dipimpin seorang imeum meunasah.
Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang
uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada sultan. Kehidupan sosial dan
keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan agama,
seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut (penasehat
adat).

Sistem Kekerabatan
a) Keluarga Batih
b) Keluarga Luas
c) Kien kecil

a) Keluarga Batih
Sistem kelompok keluarga masyarakat Aceh pada umumnya
menganut sistem keluarga batih. Rumah-tangga terdiri atas keluarga kecil
yaitu ayah, ibu dan anak-anak yang belum kawin. Apabila seseorang anak
sudah menikah, ia akan mendirikan rumah tangga sendiri sebagai keluarga
batih pula. Seseorang yang baru menikah, tidak terlalu lama menetap
bersama keluarga batih dari ayah atau mertuanya. Ada yang menetap
beberapa bulan saja atau sampai lahir seorang anak.
Seseorang yang sudah memisahkan diri dari keluarga batih ayahnya
atau mertuanya disebut dengan peu meukleh atau jawe di Gayo. Keluarga
batih dalam masyarakat Aceh tidak mempunyai istilah tersendiri, kecuali
dalam masyarakat Gayo istilah keluarga batih disebut dengan sara ine. Ayah
dan ibu dalam keluarga batih, mempunyai peranan penting untuk mengasuh
keluarga sampai dewasa.
Peranan ini sudah menjadi tanggung-jawab ayah dan ibu meliputi
segala kebutuhan keluarga seperti kebutuhan sandang-pangan, kesehatan,
dan pendidikan. Kebutuhan terhadap pendidikan anak-anaknya sangat
penting bagi masyarakat Aceh. Karena menurut sudut pandang agama, orang

4
tua tidak boleh mengabaikan pendidikan anaknya, baik pendidikan agama
maupun pendidikan umum.
Kegiatan dalam keluarga batih merupakan kegiatan bersama. Kegiatan
ini tampak pada waktu tron u blang (turun ke sawah) atau turunku urne di
Gayo, maupun saat meulampoh (berkebun), semua anggota keluarga batih
menjadi tenaga pelaksana. Pembagian kerja antara anggota keluarga sesuai
menurut kemauan mereka masing-masing. Biasanya anak-anak diberikan
pekerjaan yang lebih ringan, karena ia belum mampu mengerjakan pekerjaan
yang berat.

b) Keluarga Luas
Sistem keluarga luas hanya terdapat pada masyarakat Gayo di Aceh
Tengah. Ukuran keluarga dalam masyarakat Gayo hanya ditentukan oleh
tempat tinggal dan hidup dalam satu kesatuan ekonomi. Keluarga luas di
Gayo ini bisa disebut sara dapur (satu dapur) atau sara kuren (satu periuk).
Mereka tinggal dalam suatu rumah besar (rumah belah rang atau rumah
timeu ruang) bersama-sama dengan keluarga luas lainnya. Keluarga-
keluarga luas seperti itu sering juga disebut sara berine.
Apabila salah satu anggota keluarga sudah kawin, ia akan pindah ke
dalam satu bilik (kamar), tetapi masih dalam rumah itu juga, dan masih
dalam kesatuan ekonomis dengan keluarga batih senior. Pada satu saat
keluarga batih ini berdiri sendiri secara ekonomis (jawe) dan terpisah dari
keluarga luasnya. Kesatuan keluarga luas yang mendiami satu rumah besar
ini sering disebut sara kuru atau saudere. Kelompok seperti ini kadang-
kadang tidak harus dalam satu rumah, tetapi berada pada beberapa rumah.
Setiap rumah di Gayo pada masa lalu mempunyai nama-nama tersendiri
seperti: Umah Melige, Kuli, Berukir, Genuren, Kul, Nangka, Kedeusa dan
lain-lain.
Perkembangannya pada saat sekarang, menunjukkan suatu gejala akan
lenyapnya umah timeu ruang sebagai tempat tinggal saudere. Sekarang ini
kelihatan banyak bangunan perumahan di pedesaan meniru pola perumahan
perkotaan. Rumah tidak lagi berbentuk memanjang yang terdiri atas kamar-
kamar dalam bentuk panggung (tinggi). Pola yang baru ini tidak seberapa

5
membutuhkan kayu-kayu sebagai bahannya. Lagi pula keluarga sara ine tadi
berkeinginan untuk memisahkan diri dari umah timeu ruang.

c) Kien kecil
Lama-kelamaan perkembangan saudere, tidak mungkin tertampung
lagi di dalam umeh timeu ruang tadi, karena jumlahnya semakin besar dan
semakin banyak pula membutuhkan tempat tinggal. Maka terjadilah
pemisahan tempat dengan mendirikan rumah baru. Rumah baru ini
kemudian berkembang pula menjadi rumah besar seperti di atas tadi.
Walaupun timbul pemisahan tempat tinggal, akan tetapi tali kekerabatan
tetap tidak berubah. Antara satu rumah dengan rumah yang lain masih diikat
oleh pertalian saudere. Dari ikatan pertalian ini terjadilah kien kecil dalam
masyarakat Gayo yang disebut dengan belah. Anggota dari satu kien kecil
(belah) ini memelihara adat eksogami.
Pada saat-saat tertentu mereka mengadakan aktivitas bersama,
misalnya dalam pertanian atau upacara adat (resam) yang lain. Pada belah
tertentu rupanya pada masa lalu memiliki binatang totem. Setiap belah
biasanya mempunyai nama tersendiri seperti cebero, jongok, melala,
gunung, beno, munte, bukit, linge, dan lain-lain.
Pada masa kini kehidupan belah di Gayo mulai tidak berfungsi lagi
seperti di masa lalu. Namun pada beberapa kampung tertentu tampak masih
bertahan. Di pihak lain di kampung seperti itupun sudah sering terjadi
pelanggaran terhadap norma belah itu, misalnya adanya pelanggaran
terhadap eksogami belah itu.

2.3. Sistem Pengetahuan


Suku Aceh memiliki sistem pengetahuan yang mencangkup tentang fauna,
flora, bagian tubuh manusia, gejala alam, dan waktu. Mereka mengetahui dan
memiliki pengetahuan itu dari dukun dan orang tua adat.
Pengetahuan yang terdapat dalam suku Aceh, yaitu tentang tradisi bahasa
tulisan yang ditulis dalam huruf Arab-Melayu yang disebut bahasa Jawi atau
Jawoe, Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu. Pada masa Kerajaan
Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, dan kesusasteraan ditulis
dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf

6
ini dikenal setelah datangnya Islam di Aceh. Banyak orang-orang tua Aceh yang
masih bisa membaca huruf Jawi.

2.4. Sistem Mata Pencaharian


Setiap orang yang hidup memerlukan makanan untuk menyambung
hidupnya. Dalam suku Aceh, untuk mendapatkan makanan sebagian besar dari
mereka bekerja sebagai petani dan beternak. Namun, masyarakat yang bermukim
di sepanjang pantai pada umumnya menjadi nelayan, dan tidak sedikit juga yang
berdagang.
Mata pencaharian pokok suku Aceh adalah bertani di sawah dan ladang
dengan tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa dan lain-lain. Di
samping bertani, masyarakat suku Aceh juga ada yang beternak kuda, kerbau, sapi
dan kambing yang kemudian untuk dipekerjakan di sawah atau dijual.
Untuk masyarakat yang hidup di sepanjang pantai, umumnya mereka
menjadi nelayan dengan mencari ikan yang kemudian untuk menu utama makanan
sehari-hari atau dijual ke pasar. Bagi masyarakat yang berdagang, mereka
melakukan kegiatan berdagang secara tetap (baniago), salah satunya dengan
menjajakan barang dagangannya dari kampung ke kampung.

2.5. Sistem Teknologi dan Peralatan


Orang Aceh mengenal teknologi persenjataan. Orang Aceh terkenal sebagai
prajurit-prajurit tangguh penentang penjajah, dengan bersenjatakan rencong, ruduh
(kelewang), keumeurah paneuk (bedil berlaras pendek), peudang (pedang), dan
tameung (tameng). Senjata-senjata tersebut umumnya dibuat sendiri.

2.6. Bahasa
Provinsi Aceh memiliki 13 buah bahasa asli yaitu bahasa Aceh, Gayo,
Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban,
Lekon dan Nias. Selain itu dikenal pula bahasa Simeulue.

a) Bahasa Aceh

7
Di antara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi Aceh,
bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak
penuturnya, yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi Aceh.
Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi
Aceh. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami kabupaten
Aceh Besar, kota Banda Aceh, kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa,
kabupaten Aceh Utara, kabupaten Aceh Timur, kabupaten Aceh Barat
dan kota Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah
dalam kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang
Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-Tangan, Meukek, Trumon dan
Bakongan.
Bahkan di kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue,
kita dapati juga sebagian kecil masyarakatnya berbahasa Aceh. Selain itu,
di luar provinsi Aceh, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih ada juga
kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan
bahasa Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada
komunitas masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala
Lumpur di Malaysia serta Sydney di Australia.

b) Bahasa Gayo
Bahasa ini diyakini sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya
dengan bahasa Melayu kuno, meskipun kini cukup banyak kosakata
bahasa Gayo yang telah bercampur dengan bahasa Aceh. Bahasa Gayo
merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami kabupaten
Aceh Tengah, sebagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop
di kabupaten Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat
Gayo, bahasa ini mengingatkan mereka akan alunan-alunan merdu dari
syair-syair kesenian didong.

c) Bahasa Aneuk Jamee


Bahasa ini sering juga disebut (terutama oleh penutur bahasa Aceh)
dengan bahasa Jamee atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan dan
Aceh Barat Daya bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang
mendiami wilayah-wilayah kantung suku Aneuk Jamee. Di Kabupaten

8
Aceh Barat Daya bahasa ini terutama dituturkan di Susoh, sebagian
Blang Pidie dan Manggeng. Kabupaten Aceh Selatan merupakan daerah
yang paling banyak dituturkan sebagai lingua franca, antara lain Labuhan
Haji, Samadua, Tapaktuan, dan Kluet Selatan. Di luar wilayah Aceh
Selatan dan Aceh Barat Daya, bahasa ini juga digunakan oleh kelompok-
kelompok kecil masyarakat di kabupaten Singkil dan Aceh Barat,
khususnya di kecamatan Meureubo (Desa Peunaga Rayek, Ranto
Panyang, Meureubo, Pasi Meugat, dan Gunong Kleng), serta di
kecamatan Johan Pahlawan (khususnya di desa Padang Seurahet).

d) Bahasa Singkil
Informasi tentang bahasa Singkil, terutama dalam bentuk
penerbitan, masih sangat terbatas. Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi
sebagian masyarakat di kabupaten Singkil. Dikatakan sebagian karena
ada sebagian lain masyarakat di kabupaten Singkil yang menggunakan
bahasa Aceh, bahasa Aneuk Jamee, ada yang menggunakan bahasa
Minang, dan ada juga yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga
bahasa Pakpak) khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di
wilayah Subulussalam.

e) Alas
Bahasa ini kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang
digunakan oleh masyarakat etnis Karo di Sumatera Utara. Masyarakat
yang mendiami kabupaten Aceh Tenggara, di sepanjang wilayah kaki
gunung Leuser, dan penduduk di sekitar hulu sungai Singkil di kabupaten
Singkil, merupakan masyarakat penutur asli dari bahasa Alas. Penduduk
kabupaten Aceh Tenggara yang menggunakan bahasa ini adalah mereka
yang berdomisili di lima kecamatan, yaitu kecamatan Lawe Sigala-Gala,
Lawe Alas, Bambel, Babussalam, dan Bandar.

f) Tamiang
Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng)
merupakan varian atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh
masyarakat Kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah kabupaten Aceh

9
Timur), kecuali di kecamatan Manyak Payed (yang merupakan wilayah
bahasa Aceh) dan kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran, yakni
bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga kini cita
rasa Melayu masih terasa sangat kental dalam bahasa Tamiang.

g) Kluet
Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang
mendiami daerah kecamatan Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten
Aceh Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet, terutama kajian-kajian
yang bersifat akademik, masih sangat terbatas. Masyarakat Aceh secara
luas, terkecuali penutur bahasa Kluet sendiri, tidak banyak mengetahui
tentang seluk-beluk bahasa ini.

h) Haloban
Bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang
digunakan oleh masyarakat di kabupaten Singkil, khususnya mereka yang
mendiami Kepulauan Banyak, terutama sekali di Pulau Tuanku. Bahasa
ini kedengarannya sangat mirip dengan bahasa Devayan yang digunakan
oleh masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah penutur bahasa Haloban
sangat sedikit dan jika tidak ada upaya-upaya untuk kemajuan,
pengembangan serta pelestarian tidak segera dimulai, dikhawatirkan
suatu saat nanti bahasa ini hanya tinggal dalam catatan-catatan kenangan
para peneliti bahasa daerah.

i) Devayan
Bahasa Devayan adalah suatu bahasa yang digunakan oleh suatu
suku yang mendiami wilayah pulau Simalur (Simeulue) bagian selatan
yaitu di Kecamatan Simalur Timur, Simalur Tengah, Teluk Dalam,
Teupah Barat dan Teupah Selatan. Bahasa Devayan ini sangat erat
keterkaitannya dengan bahasa dari pulau Nias, kemiripan kata dan arti
sangat banyak ditemukan. Di tempat asal bahasa ini yaitu di pulau
Simalur (Simeulue) masih terdapat bahasa-bahasa lain yang ternyata
masih memiliki hubungan kekerabatan. Bahasa-bahasa lain tersebut

10
adalah bahasa, seperti bahasa Lekon, bahasa Sigulai, bahasa Haloban dan
bahasa Nias.

j) Sigulai
Bahasa Sigulai atau Sikule merupakan sebuah bahasa yang
dituturkan oleh suku Sigulai yang terdapat di Pulau Simeulue bagian
utara. Bahasa ini terdapat di kecamatan Simeulue Barat, Alafan dan
Salang
Sigulai adalah nama sebuah kerajaan kecil di kecamatan Simeulue
Barat dahulu yaitu Bano Sigulai. Sigulai juga nama sebuah desa di
kecamatan Simeulue Barat. Beberapa orang menyebutnya bahasa
Lamamek, yaitu nama sebuah kampung di kecamatan Simeulue Barat
juga yang juga memiliki bahasa yang sama.

k) Pakpak
Bahasa Pakpak digunakan penduduk yang bermukim di sebagian
wilayah Kabupaten Aceh Singkil. Disebut juga dengan bahasa Dairi dan
dipakai kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah Subulussalam.

l) Lekon
Bahasa Lekon, merupakan bahasa yang diucapkan oleh suku
bangsa Lekon, yang mendiami Kecamatan Alafan, Pulau Simalur
(Simeulue) yang berada di lepas pantai sebelah barat provinsi Aceh. Suku
Lekon ini bermukim di desa Lafakha dan desa Langi. Bahasa Lekon
masih berkerabat dengan bahasa-bahasa lain yang ada di Pulau Simalur
(Simeulue), seperti bahasa Devayan, Sigulai, Haloban dan Nias.

m) Nias
Bahasa Nias dipakai masyarakat Nias yang mendiami pulau Siumat
dan pulau Teupah. Selain itu juga dipakai di Pulau Tuanku, khususnya di
Desa Ujong Sialit.

11
n) Simeulue
Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang
merupakan bahasa ibu bagi masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah
penuturnya sekitar 60.000 orang. Dalam penelitian Morfologi Nomina
Bahasa Simeulue, menemukan bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa
ini telah menimbulkan salah pengertian bagi kebanyakan masyarakat
Aceh di luar pulau Simeulue: mereka menganggap bahwa di pulau
Simeulue hanya terdapat satu bahasa daerah, yakni bahasa Simeulue.
Padahal di kabupaten Simeulue dapat dijumpai tiga bahasa daerah, yaitu
bahasa Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek),
dan bahasa Devayan. Ada perbedaan pendapat di kalangan para peneliti
bahasa tentang jumlah bahasa di pulau Simeulue. misalnya, mengatakan
bahwa di pulau Simeulue hanya ada satu bahasa, yaitu bahasa Simeulue.
Akan tetapi bahasa ini memiliki dua dialek, yaitu dialek Devayan yang
digunakan di wilayah kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan
di kecamatan Tepah Selatan, serta dialek Sigulai yang digunakan oleh
masyarakat di wilayah kecamatan Simeulue Barat dan kecamatan Salang.

2.7. Kesenian
Corak kesenian Aceh memang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam,
namun telah diolah dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku.

a) Seni Lukis

Kaligrafi Arab
Seni kaligrafi Arab merupakan salah satu kesenian yang ada
dalam suku Aceh. Melukis kaligrafi ini biasanya dilukis di atas kanvas
yang bertujuan sebagai hiasan dinding di dalam rumah atau mesjid
dengan melukiskan Asmaul Husna dan sebagainya. Kesenian ini
banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara,
perhiasan, dan sebagainya.

b) Seni Pahat

12
Memahat Rumah Adat dan Nisan
Seni pahat yang ada pada suku Aceh adalah memahat hiasan
pada rumah adat atau nisan. Seni pahat yang diaplikasikan pada rumah
adat menunjukkan kepemilikan dan status sosial pemiliknya.
Sedangkan seni pahat yang diaplikasikan pada nisan menunjukkan
status sosial yang dikuburkan, dan juga memberikan informasi nama
dan tahun serta tanggal wafat dari tokoh yang dikuburkan.

c) Seni Musik

Rapai Geleng
Rapai geleng merupakan seni musik yang dilakukan oleh tiga
belas laki-laki/perempuan yang duduk berbanjar, seperti duduk
diantara dua sujud ketika melaksanakan shalat. Masing-masing
memegang alat tabuh sambil bernyanyi bersama. Antara musik dan
gerak yang dimainkan bersenyawa. Awalnya lambat, sedang, setelah
beberapa detik berubah cepat diiringi dengan gerakan kepala yang
digelengkan ke kiri dan ke kanan. Mereka menepuk-nepuk tangan dan
dada, juga menepuk tangan dan paha. Ada yang bertindak sebagai
pemain biasa, syech dan aneuk dhiek.

d) Seni Tari
Seni tari yang terkenal dari Aceh antara lain saman, seudati,
seudati inong, dan seudati tunang.

Tari Saman
Tarian ini berasal dari dataran tinggi Gayo. Syair saman
mempergunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh. Tarian ini merupakan
salah satu media untuk pencapaian dakwah. Tarian ini mencerminkan
pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan
dan kebersamaan. dilakukan dalam posisi duduk berbanjar dengan
irama dan gerak yang dinamis. Pada masa lalu, Tari Saman biasanya
ditampilkan untuk merayakan peristiwa – peristiwa penting dalam

13
adat dan masyarakat Aceh. Selain itu biasanya tarian ini juga
ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad. Pada
kenyataannya nama “Saman” diperoleh dari salah satu ulama besar
Aceh, Syech Saman. Tari Saman biasanya ditampilkan menggunakan
iringan alat musik, berupa gendang dan menggunakan suara dari para
penari dan tepuk tangan mereka yang biasanya dikombinasikan
dengan memukul dada dan pangkal paha mereka sebagai sinkronisasi
dan menghempaskan badan ke berbagai arah. Tarian ini dipandu oleh
seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syech.

Tari Seudati
Tari Seudati berasal dari kabupaten Pidie. Tari Seudati berasal
dari kata Syahadat, yang berarti saksi/bersaksi/pengakuan terhadap
Tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad utusan Allah. Selain
itu, ada pula yang mengatakan bahwa kata seudati berasal dari kata
seurasi yang berarti harmonis atau kompak. Seudati mulai
dikembangkan sejak agama Islam masuk ke Aceh. Penganjur Islam
memanfaatkan tarian ini sebagai media dakwah untuk
mengembangkan ajaran agama Islam. Tarian ini cukup berkembang di
Aceh Utara, Pidie dan Aceh Timur. Tarian ini dibawakan dengan
mengisahkan pelbagai macam masalah yang terjadi agar masyarakat
tahu bagaimana memecahkan suatu persoalan secara bersama.

e) Seni Sastra
Berkembang seni sastra dalam bentuk hikayat yang bernafaskan
Islam, seperti Hikayat Perang Sabil.

14
BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Aceh adalah salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
paling barat, yang memiliki budaya yang beragam. Ragam budaya suku di Aceh
banyak dipengaruhi kebudayaan Islam yang sudah ada sejak berabad-abad yang
lalu dan tetap bertahan sampai sekarang. Bahkan Aceh dikenal sebagai satu-
satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam. Budaya suku di
Aceh sangat beragam, tergantung dari lokasinya. Contohnya bahasa yang dipakai
penduduk di Aceh Barat dan Simeulue bisa saja berbeda karena di Provinsi Aceh
terdapat lebih dari 10 bahasa meskipun yang paling banyak digunakan adalah
bahasa Aceh. Kesenian yang terkenal dari Aceh antara lain adalah seni tarinya di
mana tentunya kita sudah sering mendengar tentang tari Saman.

3.2. Kritik dan Saran


a) Pemerintah terutama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata masih terlihat pasif dan
tidak kreatif dalam mengelola budaya asli Indonesia.
b) Pemerintah Aceh harus berperan lebih aktif lagi dalam mengelola budaya asli
Aceh seperti mendokumentasikan lebih banyak lagi budaya Aceh yang belum
terekpos. Yang paling mudah tentu saja dengan mengupload video
dokumentasinya di YouTube.
c) Pemerintah Aceh harus segera menyelamatkan beberapa bahasa asli Aceh yang
penutur bahasanya semakin sedikit.

15
DAFTAR PUSTAKA

http://syitrarahayu.blogspot.com/2011/03/tujuh-unsur-kebudayaan-universal.html
http://achmadfahmi489.blogspot.com/2011/10/7-unsur-kebudayaan-universal-dan.html
http://4jipurnomo.wordpress.com/kebudayaan-aceh/
http://zulfaidah-indriana.blogspot.com/2012/11/unsur-unsur-kebudayaan-aceh.html
http://meukeutop.blogspot.com/2011/05/sistem-kekerabatan-masyarakat-aceh.html
http://narutoiain.blogspot.com/2010/11/suku-aceh.html
http://ragam-budaya.blogspot.com/2009/09/kebudayaan-aceh.html
http://hanumskamyta.blogspot.com/2011/05/kebudayaan-aceh.html
http://muhammadfajrisigli.blogspot.com/2013/01/unsur-unsur-budaya-pada-masyarakat-
aceh.html
http://nabilberri.wordpress.com/2010/02/14/bahasa-bahasa-di-pulau-simeulue/
http://word-dialect.blogspot.com/2012/01/bahasa-devayan.html
http://nahulinguistik.wordpress.com/2012/12/26/bahasa-bahasa-aceh/
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Sigulai 26
http://word-dialect.blogspot.com/2013/03/bahasa-lekon.html
http://atjehpost.com/read/2012/11/28/29462/3/3/Bahasa-Bahasa-Aceh 26
http://bahasa.kompasiana.com/2012/12/30/aceh-punya-bahasa-519923.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak_Pakpak
http://www.g-excess.com/637/pengertian-dan-penjelasan-kesenian-tari-saman/
http://tarianaceh.blogspot.com/2012/04/sejarah-tari-seudati.html

16

Anda mungkin juga menyukai