“PENGANGGURAN”
RPS 10
Disusun Oleh:
KELOMPOK 2
Ni Wayan Indah Pratiwi (1607511040)
Ni Made Nila Febrianti (1607511044)
Ida Ayu Dyah Sanjiwani (1607511047)
N.L.P. Carllan Elgiana Putri (1607511070)
1
4. Teknik apakah yang digunakan untuk perhitungan setengah
pengangguran?
5. Kebijakan apakah yang dipakai dalam menghadapi penanggulangan
pengangguran?
6. Bagaimanakah pembahasan tugas perhitungan pengangguran?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
terbatas pada seminggu sebelum pencacahan. Jadi, mereka yang sedang mencari
pekerjan dan permohonannya telah dikirim lebih dari seminggu tetap dianggap
sebagai pencari pekerjaan. Implikasi dari perubahan konsep tentang pengangguran
ini adalah jumlah pengangguran terbuka menjadi bertambah banyak sehingga
angka pengangguran juga menjadi lebih tinggi.
Menurut publikasi Sakernas 2001, pengangguran terbuka terdiri dari; (1)
Mereka yang mencari pekerjaan terdiri dari (a) Orang yang belum pernah bekerja
dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan; (b) Yang sudah pernah bekerja,
namun karena sesuatu berhenti atu diberhentikan dan sedang mencari pekerjaan.
(2) Mereka yang mempersiapkan usaha baru ditandai dengan tanda nyata seperti
mengumpulkan modal, atau perlengkapan/alat, mencari lokasi, mengurus izin
usaha dan sebagainya; (3) Mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa
tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (discouraged workers); (4) Mereka yang
sudah mempunyai pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja.
4
terhambatnya mekanisme pasar keja. Mantra (2003:233) menyatakan bahwa
pengangguran friksional terjadi karena kesulitan yang bersifat sementara dalam
mempertemukan pencari kerja dengan lowongan kerja. Penyebab kesulitan ini
pada dasamya dapat dibagi dua, yakni unsur tempat dan waktu. Apabila seorang
pencari kerja mengetahui bahwa di daerah/tempat lain tersedia lowongan
pekerjaan, namun dia tidak dapat menjangkau tempat tersebut, misalnya karena
sarana transportasi yang tidak memadai maka orang yang bersangkutan
mengalami hambatan karena tempat. Seandainya sarana transportasi tersedia
secara memadai, namun untuk memenuhi persyaratan kerja dia harus
mengumpulkan informasi yang lengkap dan mengadakan persiapan-persiapan
yang dibutuhkan, dimana untuk itu diperlukan waktu yang relatif lama sehingga
melewati batas waktu yang ditentukan, berarti dialami hambatan karena waktu.
Jika dalam persiapan dan pengumpulan informasi tersebut orang yang
bersangkutan dicacah untuk melihat status ketenagakejaannya, maka ia akan
termasuk ke dalam kategori pencari kerja/penganggur, walaupun dalam waktu 2
minggu atau satu bulan berikutnya dia sudah memperoleh pekerjaan.
2) Pengangguran Musiman
Pada prinsipnya, pengangguran musiman adalah pengangguran yang teriadi
karenapengaruh musim. Di dalam aktivitas ekonomi terdapat musim sibuk dan
musim kendur, seperti yang terjadi di sektor pertanian. Pada musim petik cengkih
dan kopi tiba, akan dibutuhkan tenaga pemetik dalam jumlah relatif lebih banyak
dibandingkan dengan pada saat pemeliharaan tanaman. Kemudian ketika musim
panen berakhir, tenaga kerja yang dibutuhkan mulai menurun lagi jumlahnya,
sehingga tenaga kerja yang semula bekeja, pada saat ini menjadi penganggur.
Kondisi yang biasanya dipengaruhi oleh keadaan iklim ini terjadi secara berulang-
ulang setiap tahun. Karena kondisi ini bersifat musiman, pengangguran yang
terjadi juga diberi predikat musiman. Selain karena pengaruh iklim, sibuk atau
kendurnya kegiatan ekonomi dapat terjadi karena perilaku manusia. Misalnya
menjelang hari raya, tahun baru liburan sekolah dan lain-lain, kegiatan ekonomi
secara umum meningkat intensitasnya.
5
3) Pengangangguran Siklikal
Sama halnya dengan perilaku alam, gejala ekonomi juga mengikuti siklus
tertentu. Jika dikenal adanya banjir lima tahunan atau sepuluh tahunan, kegiatan
ekonomi juga mengalami perputaran yang berulang secara rutin, sekali waktu
terjadi penurunan aktivitas, yang kemudian diikuti oleh ekspansi peningkatan
aktivitas ekonomi. Perputaran ini tentunya akan dengan berdampak kepada
permintaan tenaga kerja.
Masa ekspansi akan berdampak positif terhadap permintaan tenaga kerja
karena kebanyakan orang bersikap optimis, sehingga akan mengurangi
pengangguran. Sebaliknya, sikap pesimisme akan muncul jika keadaan ekonomi
mulai mengendur, sehingga akan menimbulkan pengaruh negatif terhadap
pemintaan tenaga kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah
pengangguran. Jika dilihat dari gejalanya, tampak bahwa pengangguran jenis ini
mirip dengan pengangguran musiman. Perbedaannya adalah bahwa pertama,
pengangguran siklikal teriadi dalam waktu yang lebih panjang. Kedua,
pengangguran siklikal biasanya membawa dampak yang lebih berat dibandingkan
dengan pengangguran musiman. Pada penjelasan sebelumnya, mereka yang
semula menganggur, pada saat panen tiba akan kembali memperoleh pekerjaan
sebagai tukang panen, sama halnya dengan kondisi sebelumnya. Lain halnya
dengan mereka yang bekerja pada saat masa ekspansi yang kemudian menganggur
karena adanya penciutan kegiatan ekonomi. Setelah kondisi perekonomian pulih,
mereka ini belum tentu memperoleh pekerjaan yang sama dengan pekerjaan
semula, baik dari segi posisi maupun pendapatan.
4) Pengangguran Struktural
Pada dasamya, pengangguran jenis ini terjadi karena adanya perubahan
struktur perekonomian. Pada saat dominasi sektor pertanian menurun yang diikuti
oleh meningkatnya peranan sektor manufaktur dan jasa, maka peluang kerja di
sektor pertanian menurun. Mereka yang biasa bekerja di sektor pertanian
(terutama di daerah pedesaan), akan berusaha mecari pekerjaan di kedua sektor
yang lain. Akan tetapi, mengingat mereka yang bekerja di sektor pertanian
umumnya tidak memiliki ketrampilan khusus, maka kemungkinan besar mereka
tidak dapat diserap di kedua sektor lain yang memerlukan keterampilan tertentu,
6
dengan hubungan kerja yang formal. Akibatnya, mereka akan menjadi
pengangguran.
5) Pengangguran Teknologis
Pengangguran jenis ini menjadi semakin fenomenal dengan adanya
kemajuan teknologi dan informasi yang sangat cepat. Kemajuan teknologi dapat
dikatakan memberi dampak negatif terhadap permintaan tenaga kerja, khususnya
untuk tenaga kerja yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan
keterampilan yang dibutuhkan. Misalnya, penggunaan konputer sebagai pengolah
kata menuntut seorang pegawai administrasi yang semula menggunakan mesin
ketik manual, untuk melatih diri agar dapat mengoperasikan komputer dalam
melaksanakan pekerjaannya. Jika tidak, kemungkinan besar dia akan tergusur
dalam kancah kemajuan teknologi, dan akhirnya menganggur. Dengan kata lain,
pengangguran teknologis terjadi akibat keusangan tenaga keja (labor
obsolencece).
6) Pengangguran Akibat Kurangnya Permintaan Agregat
Kesempatan kerja tumbuh apabila iklim investasi berada dalam keadaan
sehat. Umumnya kegiatan investasi akan berkembang jika permintaan total
masyarakat akan barang dan jasa besar. Dalam perekonomian yang lesu, terdapat
permintaan akan barang yang tidak begitu besar, sehingga permintaan akan tenaga
kerja juga kecil. Kondisi seperti ini merupakan hal yang wajar dalam kegiatan
perekonomian jika terjadi dalam waktu yang relatif singkat. Akan tetapi masalah
akan timbul jika kurangnya permintaan agregat ini terjadi dalam waktu yang lama
atau bertahun-tahun.
Profil yang perlu diketahui dalam hal ini adalah distribusinya menurut
pendidikan. Pengalaman menunjukkan bahwa pengangguran tidak terdidik
(berpendidikan rendah) lebih mudah ditangani dibandingkan dengan
pengangguran terdidik (berpendidikan tinggi). Hal ini disebabkan lowongan kerja
bagi mereka yang tidak terdidik lebih luas dibandingkan dengan yang terdidik,
sehingga kemungkinan mereka memperoleh pekerjaan lebih mudah.
Kemungkinan lain adalah bahwa mereka lebih mudah menyesuaikan diri dengan
ketrampilan baru.
7
Di banyak negara, pengangguran terdidik menjadi isu yang hangat dewasa
ini. Ditengarai bahwa mereka yang berpendidikan tinggi dapat menganggur lebih
lama karena secara ekonomis mereka mampu untuk tidak bekerja berhubung
masih mampu memenuhi kebutuhan hidupnya (biasanya berasal dari keluarga
mampu). Tingginya tingkat pengguran terdidik, khususnya di negara-negara
berkembang disebabkan juga oleh tingginya aspirasi untuk memperoleh
pekerjaan. Mereka yang berpendidikan tinggi akan memilih-milih pekerjaan yang
diinginkan dan tidak akan mau menerima pekerjaan sebelum mendapatkan
pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang dimiliki. Hal ini
pulalah yang menyebabkan kelompok ini menganggur lebih lama dibandingkan
dengan mereka yang termasuk kelompok berpendidikan rendah. Dalam istilah
ketenagakerjaan, mereka memiliki waktu tunggu yang lebih lama dari pada
mereka yang berpendidkan rendah (SLTP ke bawah).
Di samping profil pengangguran yang telah dijelaskan, Farouq (1992) dalam
Marhaeni (2004:156) menyatakan bahwa ada beberapa faktor demografi, faktor
ekonomi dan kebijakan yang bertanggung jawab terhadap pengangguran. Faktor-
faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Pertumbuhan Alamiah
Pertumbuhan alamiah angkatan kerja yang tinggi, terutama negara-
negara sedang berkembang, merupakan faktor demografi yang berperan
penting bagi munculnya masalah pengangguran karena pertumbuhan
angkatan kerja yang cepat ini, tidak diikuti oleh pertumbuhan kesempatan
kerja yang setara.
b) Strategi Pembangunan Berorientasi Pertumbuhan
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, banyak negara-negara di dunia
menekankan strategi pembangunannya pada peningkatan Produk Nasional
Bruto (Gross National Product/GNP), dengan asumsi bahwa hal ini secara
otomatis akan menciptakan lowongan kerja bagi calon tenaga kerja baru.
Namun kenyataannya, banyak negara tetap mengalami tingkat
pengangguran yang tinggi, sementara output nasional meningkat. Salah satu
sebabnya adalah untuk meningkatkan output nasional ini seringkali teknik
produksi yang semula bersifat padat karya dirubah menjadi padat modal.
8
Dengan demikian jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkan
barang dan jasa menjadi berkurang, yang selanjutnya akan berdampak
kepada pengangguran.
c) Kebijakan Industrialisasi
Upaya banyak negara untuk membangun industri modern sebagai
sektor kunci dalam perekonomian ditengarai berdampak negatif terhadap
penyerapan tenaga kerja. Penjelasannya adalah bahwa umumnya industri
modern akan terkait dengan industri skala besar yang notabene
menggunakan teknologi modern dengan kebutuhan tenaga kerja yang relatif
lebih rendah dibandingkan dengan industri skala kecil.
d) Kebijakan Ekspor
Apabila orientasi produk diarahkan kepada komoditas ekspor, maka
sebagian besar sumber daya yang ada lebih banyak dialokasikan kepada
kegiatan ekspor yang akan mengakibatkan pembatasan pada produk
domestik. Kebijakan ini akan menyebabkan timbulnya pengangguran
terutama jika terjadi gangguan perekonomian pada skala internasional
karena kondisi ini akan merugikan industri yang tergantung pada ekspor.
Jika hal ini terjadi, maka pengangguran besar-besaran tidak dapat dihindari
lagi.
9
Di negara – negara berkembang termasuk Indonesia, pengangguran tidak
mendapatkan tunjangan, sehingga sangat sedikit orang yang mau menganggur
kecuali ada keluarga yang mau menanggung beban hidupnya. Sebagian penduduk
bersedia bekerja dengan jam kerja panjang dan pendapatan yang rendah.
Di negara yang sedang berkembang migrasi dari desa ke kota sangat pesat
sehingga membuat tidak semua orang yang datang ke kota dapat memperoleh
pekerjaan dengan mudah. Sebagian terpaksa menganggur sepenuh waktu. Di
samping itu ada pula yang tidak menganggur, tetapi tidak pula bekerja penuh
waktu, dan jam kerja mereka jauh lebih rendah dari yang normal. Mereka
mungkin hanya bekerja satu hingga dua hari seminggu atau satu hingga empat jam
sehari. Pekerja yang mempunyai masa kerja seperti itu digolongkan sebagai
setengah menganggur atau underemployment (Sukirno, 2004).
Di Indonesia, jam kerja normal yang ditetapkan berdasarkan Sensus
Penduduk 1980 adalah 35 jam/minggu, namun sejak 1990 jam kerja normal
ditentukan 38 jam/minggu, bahkan ada yang menggunakan batas 40 jam/minggu.
Akan tetapi pada umumnya perhitungan jam kerja normal yang digunakan di
Indonesia adalah 35 jam/minggu. Mereka yang bekerja dibawah jam kerja normal
ini digolongkan sebagai setengah penganggur (underemployment) sedangkan
mereka digolongkan setengah penganggur kritis jika selama satu minggu bekerja
kurang dari 14 jam.
Menurut Mulyadi (2003), perbedaan antara jumlah pekerjaan yang betul
dikerjakan seorang dalam pekerjaannya dengan jumlah pekerjaan secara normal
mampu dan ingin dikerjakannya disebut dengan pekerja setengan menganggur.
Setengah pengangguran menurut Mulyadi (2003) dibagi menjadi dua kelompok
yaitu:
1. Setengah Pengangguran Kentara (Visible Underemployment)
Setengah pengangguran kentara adalah jika seseorang bekerja tidak tetap
(part time) di luar keinginannya sendiri, atau bekerja dalam waktu yang
lebih pendek dari biasanya.
2. Setengah Pengangguran Tidak Kentara (Invisible Underemployment)
Setengan pengangguran tidak kentara adalah jika seseorang bekerja secara
penuh (full time) tetapi pekerjaannya itu dianggap tidak mencukupi, karena
10
pendapatannya yang terlalu rendah atau pekerjaannya tidak memungkinkan
orang tersebut untuk mengembangkan seluruh keahliannya.
Menurut International Labour Organization (ILO) atau Organisasi Tenaga
Kerja Internasional, underemployment adalah perbedaan jumlah pekerja yang
secara nyata dikerjakan seseorang dalam pekerjaannya degnan jumlah pekerjaan
yang secara normal mampu dan ingin dikerjakan. Setengah menganggur ini, dapat
lagi dikelompokkan dalam 3 jenis, yakni setengah mengaggur terpaksa, setengah
menganggur sukarela, dan pengangguran terselubung atau tersembunyi.
1. Setengah Menganggur Terpaksa (Involuntary Under Employment)
Setengah menganggur terpaksa adalah orang yang bekerja kurang dari 35
jam dalam seminggu dan masih berusaha mencari pekerjaan atau masih
bersedia menerima pekerjaan lainnya, karena upah yang diterima dari
pekerjaan yang sudah dilakukannya tersebut tidak sesuai dengan harapan
pencari kerja.
2. Setengah Menganggur Sukarela (Voluntary under employment)
Setengah mengaggur sukarela ini adalah orang yang bekerja di bawah jam
kerja normal atau 35 jam seminggu, tapi tidak mencari pekerjaan atau tidak
bersedia untuk menerima pekerjaan lainnya.
3. Pengangguran Terselubung atau tersembunyi (Disguished Unemployment)
Pengangguran terselubung ini adalah tenaga kerja yang bekerja secara tidak
optimal karena lembaga atau perusahaan tempat dia bekerja kelebihan
tenaga kerja.
Salah satu cara paling efektif menangani masalah pengangguran, apapun
jenis penganggurannya adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan generasi
muda. Dengan pendidikan yang baik dan bermutu akan menghasilkan generasi
yang rajin, cerdas, dan terampil. Rajin berarti mereka mau bekerja, terampil
berarti mereka mampu memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan dunia kerja dan
kalaupun tidak ada lapangan kerja mereka mampu menciptakan lapangan kerja
sendiri sehingga turut membantu mengurangi jumlah pengangguran.
11
2.4 Teknik Perhitungan Setengah Pengangguran
Parameter TPAK dan TSP seringkali harus digunakan secara hati-hati
untuk negara sedang berkembang. Ini disebabkan karena banyaknya yang
termasuk ke dalam kelompok angkatan kerja (bekerja + sedang mencari
pekerjaan) tetapi dengan referensi waktu/jumlah jam kerja relatif rendah, seperti 1
jam seminggu. Sebagai akibatnya TPAK akan cenderung tinggi angkanya dan
sebaliknya. Tingkat pengangguran menjadi relatif rendah. Sejalan dengan hal ini
maka parameter setengah pengangguran penting untuk digunakan dalam
menganggulangi masalah tersebut. Tingkat atau Angka Setengah Pengangguran
biasanya dinyatakan dalam persen per tahun, maka perlu diketahui beberapa
perhitungan mengenai tingkat setengah pengangguran, dengan rumus sebagai
berikut:
Catatan:
TSP : Tingkat Setengah Pengangguran
TSPK : Tingkat Setengah Pengangguran Kritis
TSPS : Tingkat Setengah Pengangguran Sukarela
TSPT : Tingkat Setengah Pengangguran Terpaksa
Cara lain yang dapat dilakukan untuk menghitung angka setengah
pengangguran adalah melalui perhitungan indeks setengah pengangguran. Jika
jam kerja normal (penuh waktu) adalah 35 jam/minggu, maka mereka yang
bekerja 7 jam/minggu mencerminkan 4/5 ekuivalen pengangguran. Bila ada 5
orang yang bekerja hanya 7 jam/minggu, maka pada hakekatnya kesempatan
kerjanya (orang yang bekerja) bukan 5 orang melainkan hanya 1 orang, sedangkan
pengangguran ekuivalennya adalah 4 orang. Dengan kondisi tersebut setengah
pengangguran dihitung sebagai berikut:
12
Sedangkan Ekuivalen Penuh (EPW), dapat dihitung sebagai berikut:
Pengangguran ekuivalen ini tidak tercatat sebagai pencari kerja karena pada
saat pencacahan mereka bekerja namun dengan jam kerja di bawah jam kerja
normal. Dengan demikian golongan ini disebut sebagai pengangguran
tersembunyi (disguished unemployed person) atau underemployed person,
sedangkan kondisi penganggurannya disebut disguished unemployment atau
underemployment.
13
mempercepat terjadinya pertemuan antara pihak yang membutuhkan dengan pihak
yang menawarkan tenaga kerja. Intensifikasi informasi berarti penyebarluasan
jumlah informasi yang cukup, sedangkan ekstensifikasi informasi maksudnya
adalah upaya penyebaran informasi agar menjangkau wilayah yang seluas-
luasnya. Sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan ini adalah media cetak,
bursa tenaga kerja baik yang dikelola oleh swasta rnaupun pemerintah, serta
media elektronik yang diakui sangat efektif digunakan untuk melakukan
diseminasi informasi pasar kerja.
b) Pengangguran Musiman
Pada saat musim dimana mereka tidak dibutuhkan lagi di daerahnya, secara
individual atau berkelompok, pekerja pindah ke wilayah atau daerah lain yang
memerlukan tenaga kerja. Perpindahan ini dapat bersifat sementara atau
permanen. Namun perpindahan semacam ini biasanya memerlukan biaya yang
tinggi baik secara ekonomi maupun sosial. Untuk pindah dari satu daerah ke
daerah lain, secara ekonomi mereka harus siap karena diperlukan biaya minimal
untuk transportasi. Di samping itu, seringkali perpindahan mengandung biaya
sosial, karena selama bekerja di tempat lain dia harus meninggalkan keluarga dan
sanak saudara yag masih berada di daerah asal. Alternatif lain yang dapat
dilakukan untuk mengatasi pengangguran musiman ini adalah mengembangkan
jenis kegiatan di luar bidang pertanian yang tidak bersifat musiman (off farm atau
non farm). Di samping untuk menanggulangi pengangguran, solusi ini juga dapat
mengikat penduduk di daerah asalnya sehingga diharapkan pengembangan
mereka juga akan membawa dampak positif bagi pembangunan daerah asalnya.
c) Pengangguran Siklikal
Penanggulangan pengangguran yang bersifat antisiklikal diperlukan untuk
mengatasi pengangguran jenis ini, yang dapat berupa kebijakan fiskal maupun
moneter. Kebijakan fiskal berupa keringanan tarif pajak dapat mengurangi jumlah
dan tingkat pengangguran. Apabila tarif pajak diturunkan, para pelaku ekonomi
akan termotivasi untuk melakukan investasi atau meningkatkan kegiatan usahanya
sehingga selanjutnya akan menyebabkan permintaan tenaga kerja bertambah.
Penurunan tingkat bunga pinjaman merupakan salah satu kebijakan moneter yang
dapat diterapkan untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Dengan tingkat
14
bunga yang rendah, para pengusaha akan melakukan peminjaman modal dalam
rangka meningkatkan investasinya. Dengan meningkatnya kegiatan usaha ini
secara otomatis kebutuhan akan tenaga kerja meningkat.
d) Pengangguran Struktural dan Teknologi
Karena pengangguran ini umumnya terjadi akibat ketidakmampuan tenaga
kerja menyesuaikan ketrampilan yang dimiliki dengan ketrampilan yang
dibutuhkan akibat perubahan teknologi, maka pemecahan yang diupayakan harus
mengarah kepada program pelatihan yang berkesinambungan. Perlu diperhatikan
bahwa program pelatihan yang dirancang harus disesuaikan dengan
perkembangan teknologi yang terjadi.
e) Pengangguran karena Kurangnya Permintaan Agregat
Seperti telah dijelaskan pada profil pengangguran sebelumnya,
pengangguran jenis ini terjadi karena lesunya perekonomian yang menyebabkan
permıntaan total dari rumah konsumen, perusahaan maupun pemerintah menjadi
sangat kecil. Dengan demikian perlu dikerahkan investasi dalam skala besar unluk
menghidupkan kegıatan ekonomi.
Selain penanganan yang dikaitkan dengan profil pengangguran, Farouq
(1992), menjelaskan bahwa kebijakan yang dapat diterapkan untuk
menanggulangi pengangguran dapat diarahkan kepada kegiatan-kegiatan berikut.
1) Kebijakan yang terkait dengan kependudukan
Di banyak negara, program pengendalian pertumbuhan penduduk
dihubungkan dengan program ketenagakerjaan. Penduduk dalam jumlah besar
biasanya terkait dengan masalah ketenagakerjaan, khususnya pengangguran dan
pendayagunaan tenaga kerja. Untuk mengatasi hal ini di beberapa negara
diterapkan program penyebaran penduduk dari daerah yang padat ke daerah yang
jarang penduduknya. Di daerah yang jarang penduduknya, berarti tersedia lahan
dalam jumlah yang memadai, sehingga minimal penduduk yang dipindahkan
dapat berusaha di bidang pertanian termasuk peternakan, perkebunan, perikanan
dan kehutanan. Jika pengangguran dapat diatasi, maka pendapatan penduduk
meningkat sehingga tenaga kerja anak yang merupakan fenomena
ketenagakerjaan di negara sedang berkembang, akan menjadi tidak penting lagi.
Hal ini disebabkan, anak-anak tidak perlu lagi bekerja untuk membantu
15
menambah penghasilan keluarga karena orang tua mereka sudah mampu secara
ekonomi. Hal ini secara tidak langsung menurunkan tingkat fertilitas. Selanjutnya,
fertihtas yang rendah akan menyebabkan tingkat pertumbuhan penduduk yang
rendah yang pada akhimya menguntungkan bagi kondisi ketenagakejaan seperti
telah diuraikan sebelumnya.
2) Pembangunan daerah pedesaan
Tidak realistis untuk mengharapkan semua tenaga kerja baru dapat terserap
di sektor modern (non pertanian) yang berbasis industri maju. Dengan demikian
pengembangan kesempatan di daerah pedesaan penting artinya. Strategi yang
dapat diterapkan di daerah pedesaan adalah
menyediakan distribusi tanah dan aset-aset yang produktif secara lebih
merata,
meningkatkan infrastruktur pedesaan dan jaringan pemasaran kota-desa,
meningkatkan program usaha mandiri, dan
mengembangkan industri skala kecil pedesaan.
3) Program ketenagakerjaan khusus
Oleh karena masalah ketenagakerjaan di daerah pedesaan biasanya terkait
dengan setengah pengangguran/pengangguran tersembunyi, maka perlu dilakukan
upaya untuk menerapkan program padat karya scperti pembanguan jalan, saluran
irigasi, dan jaringan infrastruktur lainnya. Program semacam ini tidak hanya dapat
mengatasi pengangguran dalam jangka pendek, juga berkontribusi terhadap
penbangunan daerah pedesaan dalam jangka panjang.
4) Kebijakan terkait dengan pengembangan sektor informal
Sehubungan dengan terbatasnya kemampuan sektor modem dalam
menyerap tenaga kerja yang tersedia, sektor informal yang biasanya berstatus
‘berusaha sendiri’ menjadi semakin penting artinya. Akan tetapi sektor ini tidak
mendapat perhatian yang memadai dari para penyusun kebijakan. Akibatnya,
kondisi mereka yang berkecimpung di sektor ini umumnya masih jauh dari
memuaskan. Untuk itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan pemanfaatan
sumber daya manusia ini melalui penciptaan harmonisasi antara kebijakan
pengembangan industri dengan tujuan ketenagakerjaan dalam mekanisme
perencanaan formal. Hal ini termasuk alokasi yang proporsional antara investasi
16
pemerintah dan swasta dalam bidang industri skala kecil termasuk di dalamnya
sektor inforrnal. Di samping itu perlu dilakukan rerorientasi pajak dan kebijakan
perjakan terkait dengan industri kecil.
5) Kebijakan pendidikan dan pelatihan
Investasi di bidang pendidikan dan pelatihan seharusnya dikordinasikan
dengan departemen terkait sehingga sesuai dengan permintaan dan penawaran
tenaga kerja menurut ketrampilan dan jenis pekerjaan.
6) Kebijakan terkait dengan kelompok penduduk yang ‘kurang
beruntung’
Dalam perencanaan tenaga kerja, perlu dilakukan identifikasi terhadap
kelompok-yang kurang beruntung yang peka terhadap kemiskinan, kelompok
penduduk pengangguran dan pemerasan. Kelompok-kelompok yang termasuk di
dalamnya adalah perempuan (terutama yang berada di pedesaan), penduduk lanjut
usia dan anak-anak.
Perempuan
Segala upaya yang ditunjukan untk mengentaskan kemiskinan dan
mengatasi/menangani masalah ketenagakerjaan perempuan baik dalam
rumah tangga maupun aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Perlu adanya
pemahaman tentang sejauh mana pengembangan program dan kebijakan
akan berpengaruh terhadap perempuan dan dapat menjamin peningkatan
peran, status pekerjaan dan lingkungan hidup mereka sehingga dapat
berperan aktif secara efektif dalam pembangunan. Sebagai tambahan,
untuk meningkatkan kesempatan bekerja di luar rumah, perlu penyediaan
fasilitas-fasilitas terkait dengan tempat penitipan anak, keluarga berencana,
dan lainnya.
Penduduk lanjut usia dan anak-anak
Berbagai upaya harus dilakukan oleh pemerintah untuk menimalisir
penggunaan pekerja anak dan lanjut usia. Pada dasarnya, anak-anak berhak
atas pendidikan yang akan merupakan bekal mereka untuk bekerja di
kemudian hari, sehingga seharusnya mereka tidak boleh bekerja sebelum
tergolong ke dalam penduduk yang aktif secara ekonomi (penduduk usia
kerja). Akan halnya penduduk lanjut usia, mereka seharusnya memiliki
17
akses terhadap lembaga sosial yang dapat menjamin pemenuhan
kebutuhan akan kebutuhan dasar, termasuk kesehatan. Dengan demikian
seharusnya mereka tidak bekerja lagi, karena jelas tidak dapat
menggunakan kapasitas mcreka secara penuh.
Jumlah Angkatan kerja terdiri dari penduduk yang sudah bekerja dan
pengangguran, sehingga yang masih tergolong pencari kerja adalah penduduk
yang merupakan pengangguran. Tingkat pengangguran di Indonesia dapat
18
dihitung dengan rumus diatas, yaitu membandingkan antara pencari kerja dengan
angkatan kerja.
19
Jenis Kegiatan 2015 2016 2017 2018
Angkatan Kerja 122 380 021 125 443 748 128 062 746 131 005 641
a. Bekerja 114 819 199 118 411 973 121 022 423 124 004 950
b. Pengangguran Terbuka *) 7 560 822 7 031 775 7 040 323 7 000 691
c. Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 6,18 5,61 5,50 5,34
6.00
5.80
5.61
5.60 5.50
5.40 5.34
5.20
5.00
4.80
2015 2016 2017 2018
20
2.7.1 Tingkat Pengangguran Terbuka
12.00%
11.16%
10.00%
9.63% 9.48%
8.00%
7.58%
6.68% Tidak Pernah Sekolah
6.00% 5.92% Sekolah Dasar
5.57% Sekolah Menengah
5.15%
Sekolah Tinggi
4.00% 3.94% 3.88% 3.61%
2.79%
2.00% 1.83%
1.46% 1.63%
1.25%
0.00%
2015 2016 2017 2018
21
menengah, sedangkan mereka yang tidak pernah sekolah menyumbang TPT yang
paling rendah dari tahun ke tahun. Ironisnya lagi, mereka yang bersekolah hingga
ke tingkat sekolah tinggi menjadi penyumbang angka TPT tertinggi kedua, yang
disusul oleh lulusan sekolah dasar di tempat ketiga.
27.54%
26.67%
30.00%
25.00%
17.71%
16.73%
16.62%
20.00%
15.80%
12.86%
15.00%
10.65%
8.86%
7.86%
7.59%
7.08%
6.99%
6.97%
10.00%
6.76%
6.05%
5.93%
4.74%
3.63%
3.47%
3.40%
2.49%
2.45%
2.21%
2.05%
5.00%
1.86%
1.81%
1.73%
1.66%
1.58%
1.55%
1.51%
1.51%
1.54%
1.52%
1.40%
1.35%
1.25%
0.61%
0.00%
2015 2016 2017 2018
22
Grafik 4
8.42
8.35
8.02
7.52
7.42
7.34
6.93
6.93
6.86
6.68
5.65
5.52
4.79
3.76
2015 2016 2017 2018
Grafik 5
23
Tingkat Setengah Pengangguran
Menurut Jenis Kelamin (%)
Laki-laki Perempuan
8.57
8.43
7.71
7.63
7.46
7.5
6.77
6.39
2015 2016 2017 2018
Grafik 6
24
Tingkat Setengah Pengangguran
Menurut Usia (%)
15-19 20-24 25-29 30-34 35-39
40-44 45-49 50-54 55-59 60 keatas
17.71
16.52
8.86000000000001
16.41
14.93
13.16
12.86
11.78
11.08
10.65
9.82
8.76
7.98
7.86
7.59
7.33
7.31
7.9
6.97
6.91
6.79
6.76
6.54
6.15
6.12
6.05
5.93
5.87
5.49
5.48
5.42
5.37
5.18
5.07
4.78
4.74
4.52
4.9
3.65
3.47
2015 2016 2017 2018
Penyebab pengangguran:
Pengangguran adalah suatu hal yang tidak dikehendaki, namun suatu
penyakit yang terus menjalar di beberapa Negara, dikarenakan banyak faktor –
faktor yang mempengaruhinya. Mengurangi jumlah angka pengangguran harus
adanya kerjasama lembaga pendidikan ,masyarakat, dan lain – lain. Menurut
Franita (2016) berikut ini adalah beberapa faktor peyebab pengangguran:
25
Sedikitnya lapangan pekerjaan yang menampung para pencari kerja.
Banyaknya para pencari kerja tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang
dimiliki oleh Negara Indonesia
Kurangnya keahlian yang dimiliki oleh para pencari kerja. Banyak jumlah
Sumber daya manusia yang tidak memiliki keterampilan menjadi salah satu
penyembab makin bertambahnya angka pengangguran di Indonesia.
Kurangnya informasi, dimana pencari kerja tidak memiliki akses untuk
mencari tau informasi tentang perusahaan yang memilli kekurangan tenaga
pekerja.
Kurang meratanya lapangan pekerjaan, banyaknya lapangan pekerjaan di kota ,
dan sedikitnya perataan lapangan pekerjaan.
Masih belum maksimal nya upaya pemerintah dalam memberikan pelatihan
untuk meningkatkan softskill.
Budaya malas yang masih menjangkit para pencari kerja yang membuat para
pencari kerja mudah menyerah dalam mencari peluang kerja.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat pengangguran terbuka yaitu
tingkat inflasi. Inflasi merupakan kenaikan harga yang secara terus menerus.
Ketika di suatu wilayah memiliki tingkat inflasi yang tinggi maka dapat
mengakibatkan kecilnya kesempatan kerja, selain itu mengakibatkan perubahan
pada harga-harga barang dan jasa. Adanya perubahan pada harga – harga
barang dan jasa yang tinggi menyebabkan turunnya permintaan barang dan jasa
tersebut. Hal ini mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga
pengangguran terbuka akan semakin meningkat.
26
keinginan pasar. Agar para sumber daya manusia dapat dibekali
pengetahuan dan skill yang dapat menunjang para pencari kerja mandiri
dalam mencari kerja ataupun menjadi wiraswasta.
Pemerintah membuat pelatihan – pelatihan untuk meningkatkan
keterampilan para pencari kerja agar mampu mandiri dari ekonomi.
Misalnya Pemerintah member pelatihan Kewirausahawan agar mereka
mampu berwirausaha dan menciptakan produk.
Mempermudah akses modal ke perbankan. Dengan mempermudah akses
modal di perbankan maka banyak masyarakat yang menganggur akan
membuat suka kecil maupun menengah dengan cara itu maka tenaga kerja
akan terserap dan pengangguran akan berkurang.
Pemerintah menyokong dan memperluas objek wisata di daerah – daerah
yang berpotensi dalam pengembangan pariwisata. Dan meningkatkan
pemasukan daerah. Pengembangan pariwisata di suatu daerah sangat
berdampak baik dengan adanya pengembangan wisata daerah mampu
menyedot tenaga kerja dan memancing para investor untuk menanam saham
di negara Indonesia mampu menyedot para wisatawan yang akan berwisata,
itu akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat. Daerah yang
memiliki objek wisata akan akan menumbuhkan jiwa kewirausahawan
masyarakat serikat dan akan mampu mengurangi angka penganguran dan
mensejahterahkan masyarakat.
Pemerintah dan masyarakat harus menyokong wisata kuliner. Di era
milenial ini Wisata kuliner menjadi salah satu income yang sangat tinggi ini
kareena bergesernya kebiasaan masyarakat yang sekarang menjadi
konsumtif dan lebih sering makan diluar daripada dirumah. Dengan
banyaknya wisata kuliner mampu mempercepat kegiatan ekonomi yang
akan merangsang masyarakat dalam membuka usaha kuliner yang akan
membutuhkan para pekerja yang nantinya akan menurunkan angka
penganguran.
Pemerintah harus mampu merangsang para investor untuk melakukan
investasi di Indonesia. Investasi merupakan hal yang penting dalam
pembangunan ekonomi karena sebagai faktor penunjang didalam
27
peningkatan prosesproduksi. Investasi memiliki kaperan aktif dalam
menentukan tingkat output, danlaju pertumbuhan output tergantung pada
laju investasi (Arsyad, 1999). Investasi akan memperluas kesempatan kerja
dan memperbaikikesejahteraan masyarakat sebagai konsekwensi naiknya
pendapatan yang diterimamasyarakat (Sun’an & Astuti, 2008). Dengan
meningkatnya kesejahteraan sehingga mengurangi jumlah penganguran.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
28
1. Sampai dengan Sensus Penduduk dan Sakernas 2000 yang dinamakan
pengangguran terbuka adalah mereka yang dalam wawancara mengatakan
sedang mencari pekerjaan. Dalam Sakernas 2001 dan selanjutnya, definisi
pengangguran terbuka diperluas, sesuai dengan acuan dalam publikasi ILO ‘An
Manual on Concepts and Methods’ (BPS,2001).
2. Profil pengangguran yang dapat ditinjau dari faktor penyebabnya, yakni:
a. Pengangguran Friksional
b. Pengangguran Musiman
c. Pengangangguran Siklikal
d. Pengangguran Struktural
e. Pengangguran Teknologis
f. Pengangguran Akibat Kurangnya Permintaan Agregat
3. Seseorang dikatakan pengangguran setengah menganggur jika ia sudah
memiliki pekerjaan akan tetapi belum dilakukan secara optimal karena
kurangnya lapangan pekerjaan. Biasanya mereka bekerja kurang dari jumlah
jam kerja normal atau kurang dari 35 jam dalam seminggu.
4. Parameter TPAK dan TSP seringkali harus digunakan secara hati-hati untuk
negara sedang berkembang. Sebagai akibatnya TPAK akan cenderung tinggi
angkanya dan sebaliknya. Tingkat pengangguran menjadi relatif rendah.
Sejalan dengan hal ini maka parameter setengah pengangguran penting untuk
digunakan dalam menganggulangi masalah tersebut. Tingkat atau Angka
Setengah Pengangguran biasanya dinyatakan dalam persen per tahun.
5. Adapun strategi yang dapat diterapkan untuk menangani pengangguran terkait
dengan profil pengangguran itu sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pengangguran Friksional, upaya penanganannya terkait dengan
intensifikasi dan ekstensifikasi informasi dengan tujuan mempercepat
terjadinya pertemuan antara pihak yang membutuhkan dengan pihak
yang menawarkan tenaga kerja.
b. Pengangguran Musiman, alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi
pengangguran musiman ini adalah mengembangkan jenis kegiatan di luar
bidang pertanian yang tidak bersifat musiman (off farm atau non farm).
29
c. Pengangguran Siklikal, penanggulangan pengangguran yang bersifat
antisiklikal diperlukan untuk mengatasi pengangguran jenis ini, yang
dapat berupa kebijakan fiskal maupun moneter. Kebijakan fiskal berupa
keringanan tarif pajak dapat mengurangi jumlah dan tingkat
pengangguran. Penurunan tingkat bunga pinjaman merupakan salah satu
kebijakan moneter yang dapat diterapkan untuk meningkatkan
penyerapan tenaga kerja.
d. Pengangguran Struktural dan Teknologi, pemecahan yang diupayakan
harus mengarah kepada program pelatihan yang berkesinambungan.
Perlu diperhatikan bahwa program pelatihan yang dirancang harus
disesuaikan dengan perkembangan teknologi yang terjadi.
e. Pengangguran karena Kurangnya Permintaan Agregat, perlu dikerahkan
investasi dalam skala besar unluk menghidupkan kegıatan ekonomi.
6. Untuk mengukur besar kecilnya pengangguran digunakan perhitungan tingkat
pengangguran yang merupakan antara jumlah pencari kerja dengan jumlah
angkatan kerja, atau sebagai berikut:
Jumlah Pencari Kerja
Tingkat Pengangguran=
Jumlah Angkatan Kerja
Perhitungan yang ditunjukkan oleh rumus tersebut merupakan perhitungan
tingkat pengangguran terbuka (open unemployment), yang menunjukkan
persentase penduduk yang tidak bekerja di antara angkatan kerja yang ada.
30
DAFTAR PUSTAKA
31