Anda di halaman 1dari 32

EKONOMI SUMBER DAYA MANUSIA

“PENGANGGURAN”
RPS 10

Disusun Oleh:
KELOMPOK 2
Ni Wayan Indah Pratiwi (1607511040)
Ni Made Nila Febrianti (1607511044)
Ida Ayu Dyah Sanjiwani (1607511047)
N.L.P. Carllan Elgiana Putri (1607511070)

Fakultas Ekonomi dan Bisnis


Universitas Udayana
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seperti kita ketahui salah satu masalah sosial yang sedang terjadi di negara
kita adalah pengangguran. Pengangguran dapat menjadi salah satu penilaian atau
indikator untuk menilai apakah suatu negara dapat dikatakan maju, berkembang
atau negara tersebut termasuk negara terbelakang. Karena pada umumnya suatu
negara dapat dikatakan maju adalah apabila negara tersebut memiliki presentasi
rendah dari jumlah pengangguran yang ada di negaranya dan sebaliknya untuk
negara dalam tahap berkembang, dimana presentasi penganggurannya cukup
tinggi dan sebaliknya untuk negara miskin presentasi pengangguran sangat tinggi.
Untuk mengukur tingkat pengangguran pada suatu wilayah per negara bisa
didapat dari presentasi membagi jumlah pengangguran dengan jumlah angkaran
kerja.
Sebenarnya tidak dapat dikatakan bahwa pengangguran rata-rata orang yang
tidak memiliki pendidikan tinggi. Karena pada era modern seperti ini
pengangguran justru banyak terjadi pada orang yang telah memiliki “pendidikan
tinggi” seperti sarjana S1. Mengapa hal ini dapat terjadi? Hal ini dapat terjadi
karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan
jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pada keadaan yang
ideal, diharapkan besarnya kesempatan kerjasama dengan besarnya angkatan
kerja, sehingga semua angkatan kerja akan mendapatkan pekerjaan. Pada
kenyataannya keadaan tersebut sulit untuk dicapai. Umumnya kesempatan kerja
lebih kecil dari pada angkatan kerja, sehingga tidak semua angkatan kerja akan
mendapatkan pekerjaan, maka timbullah penggangguran.

1.2 Rumusan masalah


1. Apakah itu konsep pengangguran terbuka (open unemployment)?
2. Bagaimanakah profil pengangguran?
3. Apakah yang dimaksud dengan setengah pengangguran?

1
4. Teknik apakah yang digunakan untuk perhitungan setengah
pengangguran?
5. Kebijakan apakah yang dipakai dalam menghadapi penanggulangan
pengangguran?
6. Bagaimanakah pembahasan tugas perhitungan pengangguran?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Pengangguran Terbuka (Open Unemployetment)


Menurut Sukirno (1994), pengangguran adalah suatu keadaan dimana
seseorang yang termasuk dalam angkatan kerja ingin memperoleh pekerjaan akan
tetapi belum mendapatkannya. Seseorang yang tidak bekerja namun tidak secara
aktif mencari pekerjaan tidak tergolong sebagai pengangguran. Pengangguran
merupakan masalah makroekonomi yang mempengaruhi kelangsungan hidup
manusia secara langsung. Bagi kebanyakan orang kehilangan suatu pekerjaan
merupakan penurunan suatu standar kehidupan. Jadi tidak mengejutkan apabila
pengangguran menjadi topik yang sering diperbincangkan dalam perdebatan
poltik oleh para politisi yang seringkali mengkaji bahwa kebijakan yang mereka
tawarkan akan membantu terciptanya lapangan pekerjaan (Mankiw,2000).
Pengangguran Terbuka tercipta sebagai akibat pertambahan lowongan
pekerjaan yang lebih rendah dari pertambahan tenaga kerja. Sebagai akibatnya
dalam perekonomian semakin banyak jumlah tenaga kerja yang tidak dapat
memperoleh pekerjaan. Efek dari keadaan ini di dalam suatu jangka masa yang
cukup panjang mereka tidak melakukan suatu pekerjaan. Jadi mereka menganggur
secara nyata dan separuh waktu, dan oleh karenanya dinamakan pengangguran
terbuka. Pengangguran terbuka dapat pula wujud sebagai akibat dari kegiatan
ekonomi yang menurun, dari kemajuan teknologi yang mengurangi penggunaan
tenaga kerja, atau sebagai akibat dari kemunduran perkembangan suatu industri.
Sampai dengan Sensus Penduduk dan Sakernas 2000 yang dinamakan
pengangguran terbuka adalah mereka yang dalam wawancara mengatakan sedang
mencari pekerjaan. Dalam Sakernas 2001 dan selanjutnya, definisi pengangguran
terbuka diperluas, sesuai dengan acuan dalam publikasi ILO ‘An Manual on
Concepts and Methods’ (BPS,2001).
Menurut publikasi Sakernas 2000, pengangguran terbuka terdiri dari orang
yang belum pernah bekerja dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan, dan
orang yang sudah pernah bekerja, namun karena sesuatu hal behenti atau
diperhentikan dan sedang mencari pekerjaan. Usaha mencari pekerjaan tidak

3
terbatas pada seminggu sebelum pencacahan. Jadi, mereka yang sedang mencari
pekerjan dan permohonannya telah dikirim lebih dari seminggu tetap dianggap
sebagai pencari pekerjaan. Implikasi dari perubahan konsep tentang pengangguran
ini adalah jumlah pengangguran terbuka menjadi bertambah banyak sehingga
angka pengangguran juga menjadi lebih tinggi.
Menurut publikasi Sakernas 2001, pengangguran terbuka terdiri dari; (1)
Mereka yang mencari pekerjaan terdiri dari (a) Orang yang belum pernah bekerja
dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan; (b) Yang sudah pernah bekerja,
namun karena sesuatu berhenti atu diberhentikan dan sedang mencari pekerjaan.
(2) Mereka yang mempersiapkan usaha baru ditandai dengan tanda nyata seperti
mengumpulkan modal, atau perlengkapan/alat, mencari lokasi, mengurus izin
usaha dan sebagainya; (3) Mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa
tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (discouraged workers); (4) Mereka yang
sudah mempunyai pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja.

2.2 Profil Pengangguran


Fenomena pengangguran merupakan masalah ketenagakerjaan yang dialami
oleh banyak negara-negara di dunia, yang pada umumnya disebabkan oleh
pertumbuhan angkatan kerja yang jauh melebihi lowongan kerja yang ada. Dalam
pasar kerja kondisi ini dijelaskan sebagai penawaran yang jauh melebihi
permintaan tenaga kerja (S > D). Dapat dikatakan bahwa semua negara
menganggap pengangguran sebagai masalah-masalah yang serius sehingga harus
segera diatasi dan dicarikan pemecahannya. Sudah barang tentu, sebelum disusun
kebijakan dan program pemecahannya, harus diketahui terlebih dahulu faktor-
faktor penyebab timbulnya pengangguran ini. Oleh karena itu perlu dikaji
mengenai profil pengangguran, yang dapat ditinjau dari faktor penyebabnya,
yakni:
1) Pengangguran Friksional
Arti sebenarnya dari friksional (berasal dari kata friction) adalah
perselisisihan atau pergeseran. Pengangguran friksional adalah pengangguran
yang disebabkan oleh hambatan perselisihan yang menyebabkan tidak lancamya
pertemuan antara permintaan dengan penawaran tenaga kerja atau terjadi karena

4
terhambatnya mekanisme pasar keja. Mantra (2003:233) menyatakan bahwa
pengangguran friksional terjadi karena kesulitan yang bersifat sementara dalam
mempertemukan pencari kerja dengan lowongan kerja. Penyebab kesulitan ini
pada dasamya dapat dibagi dua, yakni unsur tempat dan waktu. Apabila seorang
pencari kerja mengetahui bahwa di daerah/tempat lain tersedia lowongan
pekerjaan, namun dia tidak dapat menjangkau tempat tersebut, misalnya karena
sarana transportasi yang tidak memadai maka orang yang bersangkutan
mengalami hambatan karena tempat. Seandainya sarana transportasi tersedia
secara memadai, namun untuk memenuhi persyaratan kerja dia harus
mengumpulkan informasi yang lengkap dan mengadakan persiapan-persiapan
yang dibutuhkan, dimana untuk itu diperlukan waktu yang relatif lama sehingga
melewati batas waktu yang ditentukan, berarti dialami hambatan karena waktu.
Jika dalam persiapan dan pengumpulan informasi tersebut orang yang
bersangkutan dicacah untuk melihat status ketenagakejaannya, maka ia akan
termasuk ke dalam kategori pencari kerja/penganggur, walaupun dalam waktu 2
minggu atau satu bulan berikutnya dia sudah memperoleh pekerjaan.
2) Pengangguran Musiman
Pada prinsipnya, pengangguran musiman adalah pengangguran yang teriadi
karenapengaruh musim. Di dalam aktivitas ekonomi terdapat musim sibuk dan
musim kendur, seperti yang terjadi di sektor pertanian. Pada musim petik cengkih
dan kopi tiba, akan dibutuhkan tenaga pemetik dalam jumlah relatif lebih banyak
dibandingkan dengan pada saat pemeliharaan tanaman. Kemudian ketika musim
panen berakhir, tenaga kerja yang dibutuhkan mulai menurun lagi jumlahnya,
sehingga tenaga kerja yang semula bekeja, pada saat ini menjadi penganggur.
Kondisi yang biasanya dipengaruhi oleh keadaan iklim ini terjadi secara berulang-
ulang setiap tahun. Karena kondisi ini bersifat musiman, pengangguran yang
terjadi juga diberi predikat musiman. Selain karena pengaruh iklim, sibuk atau
kendurnya kegiatan ekonomi dapat terjadi karena perilaku manusia. Misalnya
menjelang hari raya, tahun baru liburan sekolah dan lain-lain, kegiatan ekonomi
secara umum meningkat intensitasnya.

5
3) Pengangangguran Siklikal
Sama halnya dengan perilaku alam, gejala ekonomi juga mengikuti siklus
tertentu. Jika dikenal adanya banjir lima tahunan atau sepuluh tahunan, kegiatan
ekonomi juga mengalami perputaran yang berulang secara rutin, sekali waktu
terjadi penurunan aktivitas, yang kemudian diikuti oleh ekspansi peningkatan
aktivitas ekonomi. Perputaran ini tentunya akan dengan berdampak kepada
permintaan tenaga kerja.
Masa ekspansi akan berdampak positif terhadap permintaan tenaga kerja
karena kebanyakan orang bersikap optimis, sehingga akan mengurangi
pengangguran. Sebaliknya, sikap pesimisme akan muncul jika keadaan ekonomi
mulai mengendur, sehingga akan menimbulkan pengaruh negatif terhadap
pemintaan tenaga kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah
pengangguran. Jika dilihat dari gejalanya, tampak bahwa pengangguran jenis ini
mirip dengan pengangguran musiman. Perbedaannya adalah bahwa pertama,
pengangguran siklikal teriadi dalam waktu yang lebih panjang. Kedua,
pengangguran siklikal biasanya membawa dampak yang lebih berat dibandingkan
dengan pengangguran musiman. Pada penjelasan sebelumnya, mereka yang
semula menganggur, pada saat panen tiba akan kembali memperoleh pekerjaan
sebagai tukang panen, sama halnya dengan kondisi sebelumnya. Lain halnya
dengan mereka yang bekerja pada saat masa ekspansi yang kemudian menganggur
karena adanya penciutan kegiatan ekonomi. Setelah kondisi perekonomian pulih,
mereka ini belum tentu memperoleh pekerjaan yang sama dengan pekerjaan
semula, baik dari segi posisi maupun pendapatan.
4) Pengangguran Struktural
Pada dasamya, pengangguran jenis ini terjadi karena adanya perubahan
struktur perekonomian. Pada saat dominasi sektor pertanian menurun yang diikuti
oleh meningkatnya peranan sektor manufaktur dan jasa, maka peluang kerja di
sektor pertanian menurun. Mereka yang biasa bekerja di sektor pertanian
(terutama di daerah pedesaan), akan berusaha mecari pekerjaan di kedua sektor
yang lain. Akan tetapi, mengingat mereka yang bekerja di sektor pertanian
umumnya tidak memiliki ketrampilan khusus, maka kemungkinan besar mereka
tidak dapat diserap di kedua sektor lain yang memerlukan keterampilan tertentu,

6
dengan hubungan kerja yang formal. Akibatnya, mereka akan menjadi
pengangguran.
5) Pengangguran Teknologis
Pengangguran jenis ini menjadi semakin fenomenal dengan adanya
kemajuan teknologi dan informasi yang sangat cepat. Kemajuan teknologi dapat
dikatakan memberi dampak negatif terhadap permintaan tenaga kerja, khususnya
untuk tenaga kerja yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan
keterampilan yang dibutuhkan. Misalnya, penggunaan konputer sebagai pengolah
kata menuntut seorang pegawai administrasi yang semula menggunakan mesin
ketik manual, untuk melatih diri agar dapat mengoperasikan komputer dalam
melaksanakan pekerjaannya. Jika tidak, kemungkinan besar dia akan tergusur
dalam kancah kemajuan teknologi, dan akhirnya menganggur. Dengan kata lain,
pengangguran teknologis terjadi akibat keusangan tenaga keja (labor
obsolencece).
6) Pengangguran Akibat Kurangnya Permintaan Agregat
Kesempatan kerja tumbuh apabila iklim investasi berada dalam keadaan
sehat. Umumnya kegiatan investasi akan berkembang jika permintaan total
masyarakat akan barang dan jasa besar. Dalam perekonomian yang lesu, terdapat
permintaan akan barang yang tidak begitu besar, sehingga permintaan akan tenaga
kerja juga kecil. Kondisi seperti ini merupakan hal yang wajar dalam kegiatan
perekonomian jika terjadi dalam waktu yang relatif singkat. Akan tetapi masalah
akan timbul jika kurangnya permintaan agregat ini terjadi dalam waktu yang lama
atau bertahun-tahun.
Profil yang perlu diketahui dalam hal ini adalah distribusinya menurut
pendidikan. Pengalaman menunjukkan bahwa pengangguran tidak terdidik
(berpendidikan rendah) lebih mudah ditangani dibandingkan dengan
pengangguran terdidik (berpendidikan tinggi). Hal ini disebabkan lowongan kerja
bagi mereka yang tidak terdidik lebih luas dibandingkan dengan yang terdidik,
sehingga kemungkinan mereka memperoleh pekerjaan lebih mudah.
Kemungkinan lain adalah bahwa mereka lebih mudah menyesuaikan diri dengan
ketrampilan baru.

7
Di banyak negara, pengangguran terdidik menjadi isu yang hangat dewasa
ini. Ditengarai bahwa mereka yang berpendidikan tinggi dapat menganggur lebih
lama karena secara ekonomis mereka mampu untuk tidak bekerja berhubung
masih mampu memenuhi kebutuhan hidupnya (biasanya berasal dari keluarga
mampu). Tingginya tingkat pengguran terdidik, khususnya di negara-negara
berkembang disebabkan juga oleh tingginya aspirasi untuk memperoleh
pekerjaan. Mereka yang berpendidikan tinggi akan memilih-milih pekerjaan yang
diinginkan dan tidak akan mau menerima pekerjaan sebelum mendapatkan
pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang dimiliki. Hal ini
pulalah yang menyebabkan kelompok ini menganggur lebih lama dibandingkan
dengan mereka yang termasuk kelompok berpendidikan rendah. Dalam istilah
ketenagakerjaan, mereka memiliki waktu tunggu yang lebih lama dari pada
mereka yang berpendidkan rendah (SLTP ke bawah).
Di samping profil pengangguran yang telah dijelaskan, Farouq (1992) dalam
Marhaeni (2004:156) menyatakan bahwa ada beberapa faktor demografi, faktor
ekonomi dan kebijakan yang bertanggung jawab terhadap pengangguran. Faktor-
faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Pertumbuhan Alamiah
Pertumbuhan alamiah angkatan kerja yang tinggi, terutama negara-
negara sedang berkembang, merupakan faktor demografi yang berperan
penting bagi munculnya masalah pengangguran karena pertumbuhan
angkatan kerja yang cepat ini, tidak diikuti oleh pertumbuhan kesempatan
kerja yang setara.
b) Strategi Pembangunan Berorientasi Pertumbuhan
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, banyak negara-negara di dunia
menekankan strategi pembangunannya pada peningkatan Produk Nasional
Bruto (Gross National Product/GNP), dengan asumsi bahwa hal ini secara
otomatis akan menciptakan lowongan kerja bagi calon tenaga kerja baru.
Namun kenyataannya, banyak negara tetap mengalami tingkat
pengangguran yang tinggi, sementara output nasional meningkat. Salah satu
sebabnya adalah untuk meningkatkan output nasional ini seringkali teknik
produksi yang semula bersifat padat karya dirubah menjadi padat modal.

8
Dengan demikian jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkan
barang dan jasa menjadi berkurang, yang selanjutnya akan berdampak
kepada pengangguran.
c) Kebijakan Industrialisasi
Upaya banyak negara untuk membangun industri modern sebagai
sektor kunci dalam perekonomian ditengarai berdampak negatif terhadap
penyerapan tenaga kerja. Penjelasannya adalah bahwa umumnya industri
modern akan terkait dengan industri skala besar yang notabene
menggunakan teknologi modern dengan kebutuhan tenaga kerja yang relatif
lebih rendah dibandingkan dengan industri skala kecil.
d) Kebijakan Ekspor
Apabila orientasi produk diarahkan kepada komoditas ekspor, maka
sebagian besar sumber daya yang ada lebih banyak dialokasikan kepada
kegiatan ekspor yang akan mengakibatkan pembatasan pada produk
domestik. Kebijakan ini akan menyebabkan timbulnya pengangguran
terutama jika terjadi gangguan perekonomian pada skala internasional
karena kondisi ini akan merugikan industri yang tergantung pada ekspor.
Jika hal ini terjadi, maka pengangguran besar-besaran tidak dapat dihindari
lagi.

2.3 Setengah Pengangguran


Pada dasarnya kita memahami istilah pengangguran sebagai orang yang
tidak memiliki pekerjaan, berada pada usia produktif dan sebagian telah
menyelesaikan pendidikan dasarnya akan tetapi masih belum memiliki pekerjaan.
Penyebabnya bisa bermacam-macam seperti kurangnya kualifikasi sesuai dengan
yang dibutuhkan dunia kerja, malas mencari kerja, terlalu memilih-milih
pekerjaan, kurangnya lapangan pekerjaan, dan lain sebagainya.
Menurut Effendi (1987), konsep pengangguran amat sulit di terapkan di
Indonesia, karena konsep yang digunakan dalam sensus maupun survey adalah
konsep yang sesuai untuk negara – negara maju. Di negara maju pengangguran
dicatat pada kantor sosial sebagai ‘pencari kerja’ dan apabila memenuhi syarat
yang ditentukan oleh pemerintah mereka akan mendapat tunjangan pengangguran.

9
Di negara – negara berkembang termasuk Indonesia, pengangguran tidak
mendapatkan tunjangan, sehingga sangat sedikit orang yang mau menganggur
kecuali ada keluarga yang mau menanggung beban hidupnya. Sebagian penduduk
bersedia bekerja dengan jam kerja panjang dan pendapatan yang rendah.
Di negara yang sedang berkembang migrasi dari desa ke kota sangat pesat
sehingga membuat tidak semua orang yang datang ke kota dapat memperoleh
pekerjaan dengan mudah. Sebagian terpaksa menganggur sepenuh waktu. Di
samping itu ada pula yang tidak menganggur, tetapi tidak pula bekerja penuh
waktu, dan jam kerja mereka jauh lebih rendah dari yang normal. Mereka
mungkin hanya bekerja satu hingga dua hari seminggu atau satu hingga empat jam
sehari. Pekerja yang mempunyai masa kerja seperti itu digolongkan sebagai
setengah menganggur atau underemployment (Sukirno, 2004).
Di Indonesia, jam kerja normal yang ditetapkan berdasarkan Sensus
Penduduk 1980 adalah 35 jam/minggu, namun sejak 1990 jam kerja normal
ditentukan 38 jam/minggu, bahkan ada yang menggunakan batas 40 jam/minggu.
Akan tetapi pada umumnya perhitungan jam kerja normal yang digunakan di
Indonesia adalah 35 jam/minggu. Mereka yang bekerja dibawah jam kerja normal
ini digolongkan sebagai setengah penganggur (underemployment) sedangkan
mereka digolongkan setengah penganggur kritis jika selama satu minggu bekerja
kurang dari 14 jam.
Menurut Mulyadi (2003), perbedaan antara jumlah pekerjaan yang betul
dikerjakan seorang dalam pekerjaannya dengan jumlah pekerjaan secara normal
mampu dan ingin dikerjakannya disebut dengan pekerja setengan menganggur.
Setengah pengangguran menurut Mulyadi (2003) dibagi menjadi dua kelompok
yaitu:
1. Setengah Pengangguran Kentara (Visible Underemployment)
Setengah pengangguran kentara adalah jika seseorang bekerja tidak tetap
(part time) di luar keinginannya sendiri, atau bekerja dalam waktu yang
lebih pendek dari biasanya.
2. Setengah Pengangguran Tidak Kentara (Invisible Underemployment)
Setengan pengangguran tidak kentara adalah jika seseorang bekerja secara
penuh (full time) tetapi pekerjaannya itu dianggap tidak mencukupi, karena

10
pendapatannya yang terlalu rendah atau pekerjaannya tidak memungkinkan
orang tersebut untuk mengembangkan seluruh keahliannya.
Menurut International Labour Organization (ILO) atau Organisasi Tenaga
Kerja Internasional, underemployment adalah perbedaan jumlah pekerja yang
secara nyata dikerjakan seseorang dalam pekerjaannya degnan jumlah pekerjaan
yang secara normal mampu dan ingin dikerjakan. Setengah menganggur ini, dapat
lagi dikelompokkan dalam 3 jenis, yakni setengah mengaggur terpaksa, setengah
menganggur sukarela, dan pengangguran terselubung atau tersembunyi.
1. Setengah Menganggur Terpaksa (Involuntary Under Employment)
Setengah menganggur terpaksa adalah orang yang bekerja kurang dari 35
jam dalam seminggu dan masih berusaha mencari pekerjaan atau masih
bersedia menerima pekerjaan lainnya, karena upah yang diterima dari
pekerjaan yang sudah dilakukannya tersebut tidak sesuai dengan harapan
pencari kerja.
2. Setengah Menganggur Sukarela (Voluntary under employment)
Setengah mengaggur sukarela ini adalah orang yang bekerja di bawah jam
kerja normal atau 35 jam seminggu, tapi tidak mencari pekerjaan atau tidak
bersedia untuk menerima pekerjaan lainnya.
3. Pengangguran Terselubung atau tersembunyi (Disguished Unemployment)
Pengangguran terselubung ini adalah tenaga kerja yang bekerja secara tidak
optimal karena lembaga atau perusahaan tempat dia bekerja kelebihan
tenaga kerja.
Salah satu cara paling efektif menangani masalah pengangguran, apapun
jenis penganggurannya adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan generasi
muda. Dengan pendidikan yang baik dan bermutu akan menghasilkan generasi
yang rajin, cerdas, dan terampil. Rajin berarti mereka mau bekerja, terampil
berarti mereka mampu memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan dunia kerja dan
kalaupun tidak ada lapangan kerja mereka mampu menciptakan lapangan kerja
sendiri sehingga turut membantu mengurangi jumlah pengangguran.

11
2.4 Teknik Perhitungan Setengah Pengangguran
Parameter TPAK dan TSP seringkali harus digunakan secara hati-hati
untuk negara sedang berkembang. Ini disebabkan karena banyaknya yang
termasuk ke dalam kelompok angkatan kerja (bekerja + sedang mencari
pekerjaan) tetapi dengan referensi waktu/jumlah jam kerja relatif rendah, seperti 1
jam seminggu. Sebagai akibatnya TPAK akan cenderung tinggi angkanya dan
sebaliknya. Tingkat pengangguran menjadi relatif rendah. Sejalan dengan hal ini
maka parameter setengah pengangguran penting untuk digunakan dalam
menganggulangi masalah tersebut. Tingkat atau Angka Setengah Pengangguran
biasanya dinyatakan dalam persen per tahun, maka perlu diketahui beberapa
perhitungan mengenai tingkat setengah pengangguran, dengan rumus sebagai
berikut:

Catatan:
TSP : Tingkat Setengah Pengangguran
TSPK : Tingkat Setengah Pengangguran Kritis
TSPS : Tingkat Setengah Pengangguran Sukarela
TSPT : Tingkat Setengah Pengangguran Terpaksa
Cara lain yang dapat dilakukan untuk menghitung angka setengah
pengangguran adalah melalui perhitungan indeks setengah pengangguran. Jika
jam kerja normal (penuh waktu) adalah 35 jam/minggu, maka mereka yang
bekerja 7 jam/minggu mencerminkan 4/5 ekuivalen pengangguran. Bila ada 5
orang yang bekerja hanya 7 jam/minggu, maka pada hakekatnya kesempatan
kerjanya (orang yang bekerja) bukan 5 orang melainkan hanya 1 orang, sedangkan
pengangguran ekuivalennya adalah 4 orang. Dengan kondisi tersebut setengah
pengangguran dihitung sebagai berikut:

12
Sedangkan Ekuivalen Penuh (EPW), dapat dihitung sebagai berikut:

Selanjutnya Indeks Setengah Pengangguran (ISP), dapat dihitung dengan


rumus sebagai berikut:

Pengangguran ekuivalen ini tidak tercatat sebagai pencari kerja karena pada
saat pencacahan mereka bekerja namun dengan jam kerja di bawah jam kerja
normal. Dengan demikian golongan ini disebut sebagai pengangguran
tersembunyi (disguished unemployed person) atau underemployed person,
sedangkan kondisi penganggurannya disebut disguished unemployment atau
underemployment.

2.5 Kebijakan Penanggulangan Pengangguran


Penanggulangan masalah pengangguran merupakan tugas yang bersifat
jangka panjang dan menyangkut pendekatan berbagai bidang. Kebijakan/strategi
yang diterapkan untuk menangani masalah pengangguran akan berbeda-beda
tergantung faktor penyebabnya. Adapun strategi yang dapat diterapkan untuk
menangani pengangguran terkait dengan profil pengangguran itu sendiri dapat
dijelaskan sebagai berikut.
a) Pengangguran Friksional
Oleh karena pengangguran ini muncul akibat terjadinya hambatan informasi
antara permintaan dengan penawaran tenaga kerja, maka upaya penanganannya
terkait dengan intensifikasi dan ekstensifikasi informasi dengan tujuan

13
mempercepat terjadinya pertemuan antara pihak yang membutuhkan dengan pihak
yang menawarkan tenaga kerja. Intensifikasi informasi berarti penyebarluasan
jumlah informasi yang cukup, sedangkan ekstensifikasi informasi maksudnya
adalah upaya penyebaran informasi agar menjangkau wilayah yang seluas-
luasnya. Sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan ini adalah media cetak,
bursa tenaga kerja baik yang dikelola oleh swasta rnaupun pemerintah, serta
media elektronik yang diakui sangat efektif digunakan untuk melakukan
diseminasi informasi pasar kerja.
b) Pengangguran Musiman
Pada saat musim dimana mereka tidak dibutuhkan lagi di daerahnya, secara
individual atau berkelompok, pekerja pindah ke wilayah atau daerah lain yang
memerlukan tenaga kerja. Perpindahan ini dapat bersifat sementara atau
permanen. Namun perpindahan semacam ini biasanya memerlukan biaya yang
tinggi baik secara ekonomi maupun sosial. Untuk pindah dari satu daerah ke
daerah lain, secara ekonomi mereka harus siap karena diperlukan biaya minimal
untuk transportasi. Di samping itu, seringkali perpindahan mengandung biaya
sosial, karena selama bekerja di tempat lain dia harus meninggalkan keluarga dan
sanak saudara yag masih berada di daerah asal. Alternatif lain yang dapat
dilakukan untuk mengatasi pengangguran musiman ini adalah mengembangkan
jenis kegiatan di luar bidang pertanian yang tidak bersifat musiman (off farm atau
non farm). Di samping untuk menanggulangi pengangguran, solusi ini juga dapat
mengikat penduduk di daerah asalnya sehingga diharapkan pengembangan
mereka juga akan membawa dampak positif bagi pembangunan daerah asalnya.
c) Pengangguran Siklikal
Penanggulangan pengangguran yang bersifat antisiklikal diperlukan untuk
mengatasi pengangguran jenis ini, yang dapat berupa kebijakan fiskal maupun
moneter. Kebijakan fiskal berupa keringanan tarif pajak dapat mengurangi jumlah
dan tingkat pengangguran. Apabila tarif pajak diturunkan, para pelaku ekonomi
akan termotivasi untuk melakukan investasi atau meningkatkan kegiatan usahanya
sehingga selanjutnya akan menyebabkan permintaan tenaga kerja bertambah.
Penurunan tingkat bunga pinjaman merupakan salah satu kebijakan moneter yang
dapat diterapkan untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Dengan tingkat

14
bunga yang rendah, para pengusaha akan melakukan peminjaman modal dalam
rangka meningkatkan investasinya. Dengan meningkatnya kegiatan usaha ini
secara otomatis kebutuhan akan tenaga kerja meningkat.
d) Pengangguran Struktural dan Teknologi
Karena pengangguran ini umumnya terjadi akibat ketidakmampuan tenaga
kerja menyesuaikan ketrampilan yang dimiliki dengan ketrampilan yang
dibutuhkan akibat perubahan teknologi, maka pemecahan yang diupayakan harus
mengarah kepada program pelatihan yang berkesinambungan. Perlu diperhatikan
bahwa program pelatihan yang dirancang harus disesuaikan dengan
perkembangan teknologi yang terjadi.
e) Pengangguran karena Kurangnya Permintaan Agregat
Seperti telah dijelaskan pada profil pengangguran sebelumnya,
pengangguran jenis ini terjadi karena lesunya perekonomian yang menyebabkan
permıntaan total dari rumah konsumen, perusahaan maupun pemerintah menjadi
sangat kecil. Dengan demikian perlu dikerahkan investasi dalam skala besar unluk
menghidupkan kegıatan ekonomi.
Selain penanganan yang dikaitkan dengan profil pengangguran, Farouq
(1992), menjelaskan bahwa kebijakan yang dapat diterapkan untuk
menanggulangi pengangguran dapat diarahkan kepada kegiatan-kegiatan berikut.
1) Kebijakan yang terkait dengan kependudukan
Di banyak negara, program pengendalian pertumbuhan penduduk
dihubungkan dengan program ketenagakerjaan. Penduduk dalam jumlah besar
biasanya terkait dengan masalah ketenagakerjaan, khususnya pengangguran dan
pendayagunaan tenaga kerja. Untuk mengatasi hal ini di beberapa negara
diterapkan program penyebaran penduduk dari daerah yang padat ke daerah yang
jarang penduduknya. Di daerah yang jarang penduduknya, berarti tersedia lahan
dalam jumlah yang memadai, sehingga minimal penduduk yang dipindahkan
dapat berusaha di bidang pertanian termasuk peternakan, perkebunan, perikanan
dan kehutanan. Jika pengangguran dapat diatasi, maka pendapatan penduduk
meningkat sehingga tenaga kerja anak yang merupakan fenomena
ketenagakerjaan di negara sedang berkembang, akan menjadi tidak penting lagi.
Hal ini disebabkan, anak-anak tidak perlu lagi bekerja untuk membantu

15
menambah penghasilan keluarga karena orang tua mereka sudah mampu secara
ekonomi. Hal ini secara tidak langsung menurunkan tingkat fertilitas. Selanjutnya,
fertihtas yang rendah akan menyebabkan tingkat pertumbuhan penduduk yang
rendah yang pada akhimya menguntungkan bagi kondisi ketenagakejaan seperti
telah diuraikan sebelumnya.
2) Pembangunan daerah pedesaan
Tidak realistis untuk mengharapkan semua tenaga kerja baru dapat terserap
di sektor modern (non pertanian) yang berbasis industri maju. Dengan demikian
pengembangan kesempatan di daerah pedesaan penting artinya. Strategi yang
dapat diterapkan di daerah pedesaan adalah
 menyediakan distribusi tanah dan aset-aset yang produktif secara lebih
merata,
 meningkatkan infrastruktur pedesaan dan jaringan pemasaran kota-desa,
 meningkatkan program usaha mandiri, dan
 mengembangkan industri skala kecil pedesaan.
3) Program ketenagakerjaan khusus
Oleh karena masalah ketenagakerjaan di daerah pedesaan biasanya terkait
dengan setengah pengangguran/pengangguran tersembunyi, maka perlu dilakukan
upaya untuk menerapkan program padat karya scperti pembanguan jalan, saluran
irigasi, dan jaringan infrastruktur lainnya. Program semacam ini tidak hanya dapat
mengatasi pengangguran dalam jangka pendek, juga berkontribusi terhadap
penbangunan daerah pedesaan dalam jangka panjang.
4) Kebijakan terkait dengan pengembangan sektor informal
Sehubungan dengan terbatasnya kemampuan sektor modem dalam
menyerap tenaga kerja yang tersedia, sektor informal yang biasanya berstatus
‘berusaha sendiri’ menjadi semakin penting artinya. Akan tetapi sektor ini tidak
mendapat perhatian yang memadai dari para penyusun kebijakan. Akibatnya,
kondisi mereka yang berkecimpung di sektor ini umumnya masih jauh dari
memuaskan. Untuk itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan pemanfaatan
sumber daya manusia ini melalui penciptaan harmonisasi antara kebijakan
pengembangan industri dengan tujuan ketenagakerjaan dalam mekanisme
perencanaan formal. Hal ini termasuk alokasi yang proporsional antara investasi

16
pemerintah dan swasta dalam bidang industri skala kecil termasuk di dalamnya
sektor inforrnal. Di samping itu perlu dilakukan rerorientasi pajak dan kebijakan
perjakan terkait dengan industri kecil.
5) Kebijakan pendidikan dan pelatihan
Investasi di bidang pendidikan dan pelatihan seharusnya dikordinasikan
dengan departemen terkait sehingga sesuai dengan permintaan dan penawaran
tenaga kerja menurut ketrampilan dan jenis pekerjaan.
6) Kebijakan terkait dengan kelompok penduduk yang ‘kurang
beruntung’
Dalam perencanaan tenaga kerja, perlu dilakukan identifikasi terhadap
kelompok-yang kurang beruntung yang peka terhadap kemiskinan, kelompok
penduduk pengangguran dan pemerasan. Kelompok-kelompok yang termasuk di
dalamnya adalah perempuan (terutama yang berada di pedesaan), penduduk lanjut
usia dan anak-anak.
 Perempuan
Segala upaya yang ditunjukan untk mengentaskan kemiskinan dan
mengatasi/menangani masalah ketenagakerjaan perempuan baik dalam
rumah tangga maupun aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Perlu adanya
pemahaman tentang sejauh mana pengembangan program dan kebijakan
akan berpengaruh terhadap perempuan dan dapat menjamin peningkatan
peran, status pekerjaan dan lingkungan hidup mereka sehingga dapat
berperan aktif secara efektif dalam pembangunan. Sebagai tambahan,
untuk meningkatkan kesempatan bekerja di luar rumah, perlu penyediaan
fasilitas-fasilitas terkait dengan tempat penitipan anak, keluarga berencana,
dan lainnya.
 Penduduk lanjut usia dan anak-anak
Berbagai upaya harus dilakukan oleh pemerintah untuk menimalisir
penggunaan pekerja anak dan lanjut usia. Pada dasarnya, anak-anak berhak
atas pendidikan yang akan merupakan bekal mereka untuk bekerja di
kemudian hari, sehingga seharusnya mereka tidak boleh bekerja sebelum
tergolong ke dalam penduduk yang aktif secara ekonomi (penduduk usia
kerja). Akan halnya penduduk lanjut usia, mereka seharusnya memiliki

17
akses terhadap lembaga sosial yang dapat menjamin pemenuhan
kebutuhan akan kebutuhan dasar, termasuk kesehatan. Dengan demikian
seharusnya mereka tidak bekerja lagi, karena jelas tidak dapat
menggunakan kapasitas mcreka secara penuh.

2.6 Pembahasan Tugas Perhitungan Pengangguran


Luasnya pengangguran mencerminkan baik buruknya perekonomian suatu
Negara atau wilayah, dalam artian tingkat pengangguran yang semakin tinggi
menunjukkan kondisi perekonomian yang semakin buruk. Untuk mengukur besar
kecilnya pengangguran digunakan perhitungan tingkat pengangguran yang
merupakan antara jumlah pencari kerja dengan jumlah angkatan kerja, atau
sebagai berikut:

Perhitungan yang ditunjukkan oleh rumus tersebut merupakan perhitungan


tingkat pengangguran terbuka (open unemployment), yang menunjukkan
persentase penduduk yang tidak bekerja di antara angkatan kerja yang ada.
Padahal kenyataan menunjukkan, di banyak negara, terutama di negara-negara
sedang berkembang seperti Indonesia, banyak penduduk yang bekeria namun
dengan jam kerja jauh di bawah jam kerja normal. Jam kerja normal dalann hal ini
besarnya bervariasi di berbagai negara, akan tetapi pada umumnya standar yang
digunakan untuk jam kerja normal adalah 35 jam/minggu.
Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia Tahun 2015 - 2018.
Jenis Kegiatan 2015 2016 2017 2018
Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas 186 100 917 189 096 722 192 079 416 194 779 441
Angkatan Kerja 122 380 021 125 443 748 128 062 746 131 005 641
a. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%) 65,76 66,34 66,67 67,26
b. Bekerja 114 819 199 118 411 973 121 022 423 124 004 950
c. Pengangguran Terbuka *) 7 560 822 7 031 775 7 040 323 7 000 691

Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas)

Jumlah Angkatan kerja terdiri dari penduduk yang sudah bekerja dan
pengangguran, sehingga yang masih tergolong pencari kerja adalah penduduk
yang merupakan pengangguran. Tingkat pengangguran di Indonesia dapat

18
dihitung dengan rumus diatas, yaitu membandingkan antara pencari kerja dengan
angkatan kerja.

Tingkat pengangguran Indonesia tahun 2015


Jumlah Pencari Kerja
Tingkat Pengangguran=
Jumlah Angkatan Kerja
7 560 822
Tingkat Pengangguran=
122 380 021
Tingkat Pengangguran=6,18 %

Tingkat pengangguran Indonesia tahun 2016


Jumlah Pencari Kerja
Tingkat Pengangguran=
Jumlah Angkatan Kerja
7 031775
Tingkat Pengangguran=
125 443748
Tingkat Pengangguran=5,61 %

Tingkat pengangguran Indonesia tahun 2017


Jumlah Pencari Kerja
Tingkat Pengangguran=
Jumlah Angkatan Kerja
7 040 323
Tingkat Pengangguran=
128 062 746
Tingkat Pengangguran=5,50 %

Tingkat pengangguran Indonesia tahun 2018


Jumlah Penca ri Kerja
Tingkat Pengangguran=
Jumlah Angkatan Kerja
7 000 691
Tingkat Pengangguran=
131 005 641
Tingkat Pengangguran=5,34 %

Tingkat Pengangguran Terbuka Indonesia Tahun 2015 – 2018

19
Jenis Kegiatan 2015 2016 2017 2018
Angkatan Kerja 122 380 021 125 443 748 128 062 746 131 005 641
a. Bekerja 114 819 199 118 411 973 121 022 423 124 004 950
b. Pengangguran Terbuka *) 7 560 822 7 031 775 7 040 323 7 000 691
c. Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 6,18 5,61 5,50 5,34

Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dengan penyesuaian

Grafik 1 Tingkat Pengangguran Indonesia 2015 – 2018

Tingkat Pengangguran Terbuka (%)


6.40
6.18
6.20

6.00

5.80
5.61
5.60 5.50
5.40 5.34

5.20

5.00

4.80
2015 2016 2017 2018

2.7 Dinamika Pengangguran Indonesia

20
2.7.1 Tingkat Pengangguran Terbuka

Grafik 2. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Berdasarkan Tingkat


Pendidikan 2015-2018

12.00%
11.16%

10.00%
9.63% 9.48%

8.00%
7.58%
6.68% Tidak Pernah Sekolah
6.00% 5.92% Sekolah Dasar
5.57% Sekolah Menengah
5.15%
Sekolah Tinggi
4.00% 3.94% 3.88% 3.61%
2.79%
2.00% 1.83%
1.46% 1.63%
1.25%

0.00%
2015 2016 2017 2018

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2018 (bps.go.id)

Berdasarkan grafik diatas, dapat dilihat tingkat pengangguran terbuka


(TPT) berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2015-2018 di Indonesia. Sedangkan,
untuk TPT kategori tidak pernah sekolah terus mengalami kenaikan dan angka
tertinggi yang disentuh yaitu sebesar 1,83 pada tahun 2018. Sedangkan, untuk
TPT kategori lulusan sekolah dasar dari tahun 2015 hingga 2018 terus mengalami
penurunan hingga pada tahun 2018 angkanya sebesar 2,79%. Untuk kategori
lulusan sekolah menengah, TPT dari tahun ke tahun juga mengalami penurunan
dan pada tahun 2018 berada pada angka 7,58%. TPT kategori lulusan sekolah
tinggi meningkat sejak tahun 2016 dan pada tahun 2018 mencapai angka 5,92%.
TPT tertinggi yaitu berada pada angka 11,16% pada tahun 2015 yang disumbang
oleh lulusan sekolah menengah. Dan TPT terendah disumbangkan oleh yang tidak
pernah sekolah pada tahun 2015 dengan angka 1,25% saja. Dapat dilihat pula
bahwa dari tahun ke tahun sejak 2015 hingga 2018, penyumbang angka TPT
tertinggi diantara seluruh kategori tingkat pendidikan adalah dari lulusan sekolah

21
menengah, sedangkan mereka yang tidak pernah sekolah menyumbang TPT yang
paling rendah dari tahun ke tahun. Ironisnya lagi, mereka yang bersekolah hingga
ke tingkat sekolah tinggi menjadi penyumbang angka TPT tertinggi kedua, yang
disusul oleh lulusan sekolah dasar di tempat ketiga.

Grafik 3. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Berdasarkan Kelompok


Umur 2015-2018
28.09%

27.54%

26.67%
30.00%

25.00%
17.71%

16.73%
16.62%
20.00%
15.80%
12.86%

15.00%
10.65%
8.86%
7.86%
7.59%

7.08%

6.99%
6.97%

10.00%
6.76%
6.05%
5.93%
4.74%

3.63%

3.47%
3.40%

2.49%
2.45%
2.21%
2.05%

5.00%
1.86%

1.81%
1.73%
1.66%

1.58%
1.55%
1.51%

1.51%
1.54%
1.52%

1.40%
1.35%

1.25%
0.61%
0.00%
2015 2016 2017 2018

15-19 20-24 25-29 30-34 35-39


40-44 45-49 50-54 55-59 60 keatas

Sumber:Badan Pusat Statistik, 2018 (bps.go.id)

Berdasarkan grafik diatas, dapat dilihat TPT berdasarkan kelompok umur


di Indonesia tahun 2015-2018. Dapat dilihat TPT tertinggi disumbangkan oleh
kelompok umur 15-19 setiap tahunnya dari tahun 2015-2018. Sedangkan, TPT
yang terendah disumbangkan oleh kategori umur 60 tahun keatas. TPT kelompok
umur 15-19, 25-29, 30-34, 35-39, 45-49, 55-59, dan 60 tahun keatas mengalami
fluktuasi setiap tahunnya dari tahun 2015-2018. Sedangkan TPT kelompok umur
20-24, 40-44, dan 50-54 terus mengalami penurunan setiap tahunnya dari tahun
2015 hingga tahun 2018.

2.7.2 Tingkat Setengah Pengangguran

22
Grafik 4

Tingkat Setengah Pengangguran


Menurut Tingkat Pendidikan (%)
Tidak Sekolah Sekolah Dasar Sekolah Menengah Sekolah Tinggi
9.73
8.93

8.42
8.35

8.02

7.52
7.42

7.34
6.93

6.93
6.86

6.68
5.65

5.52

4.79

3.76
2015 2016 2017 2018

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2018

Berdasarkan tabel diatas, terlihat dinamika tingkat setengah pengangguran


Indonesia berdasarkan tingkat pendidikan. Ditahun 2015, tingkat setengah
pengangguran dari masyarakat yang tidak bersekolah mencapai persentase
tertinggi yaitu sebesar 8.93%, dan terus mengalami fluktuasi selama tiga tahun
terakhir namun dalam tren yang menurun. Ditahun 2015-2017, tingkat setengah
pengangguran Indonesia tertinggi berasal dari masyarakat yang berpendidikan
sekolah dasar dan tertinggi adalah pada tahun 2015 yaitu sebesar 9.73%. Namun
di tahun 2018, tingkat setengah pengangguran dengan tingkat pendidikan
menurun sebesar 2.39% sejak tahun 2015 menjadi 7.34%. Dinamika yang
berfluktuasi tersebut pun diikuti oleh tingkat pendidikan sekolah menengah yang
menurun 0.05% di 2018. Selama empat tahun terakhir, tingkat setengah
pengangguran berdasarkan tingkat pendidikan sekolah tinggi menurun 1.89%
yaitu mencapai 3.76% di 2018. Hal ini dapat berarti bahwa disetiap tahunnya,
masyarakat dengan pendidikan sekolah dasar semakin berhasil memaksimalkan
jam kerja yang dimiliki dan pendapatan yang diterima mencukupi kebutuhannya.

Grafik 5

23
Tingkat Setengah Pengangguran
Menurut Jenis Kelamin (%)
Laki-laki Perempuan

8.57
8.43

7.71
7.63

7.46
7.5

6.77

6.39
2015 2016 2017 2018

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2018

Berdasarkan tabel diatas, terlihat dinamika tingkat setengah pengangguran


Indonesia berdasarkan jenis kelamin. Selama empat tahun terakhir, tidak terjadi
ketimpangan yang begitu signifikan antara tingkat setengah pengangguran laki-
laki maupun perempuan, hanya saja tingkat setengah pengangguran berdasarkan
jenis kelamin ini masih fluktuatif. Tingkat setengah pengangguran di tahun 2015
dan 2017 dengan jenis kelamin perempuan lebih tinggi sebesar 0.12% dan 0,15%
dari laki-laki. Sedangkan di tahun 2016 dan 2018, tingkat setengah pengangguran
laki-laki lebih tinggi 0,13% dan 0,36% dibandingkan dengan perempuan.

Grafik 6

24
Tingkat Setengah Pengangguran
Menurut Usia (%)
15-19 20-24 25-29 30-34 35-39
40-44 45-49 50-54 55-59 60 keatas
17.71

16.52
8.86000000000001

16.41

14.93
13.16
12.86

11.78

11.08
10.65

9.82

8.76

7.98
7.86
7.59

7.33

7.31
7.9
6.97

6.91

6.79
6.76
6.54

6.15

6.12
6.05
5.93

5.87
5.49

5.48

5.42
5.37
5.18
5.07
4.78
4.74

4.52

4.9
3.65

3.47
2015 2016 2017 2018

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2018

Berdasarkan tabel diatas, terlihat dinamika tingkat setengah pengangguran


Indonesia berdasarkan jenis kelamin. Sangat terlihat jelas bahwa tingkat setengah
pengangguran tertinggi disumbangkan oleh masyarakat dengan umur 15-19 tahun,
yang dimana pada umur ini faktor terbesarnya adalah karena banyak dari mereka
yang masih bersekolah sehingga belum dapat sepenuhnya bekerja, namun dalam
empat tahun terakhir trennya mengalami penurunan dimana persentasenya sebesar
14.93% pada tahun 2018. Kemudian disusul dengan masyarakat berumur 20-24
tahun dimana pada tahun 2016 terjadi peningkatan sebesar 0,3% dan menurun
menjadi 11.08% di tahun 2018. Pada tingkat setengah pengangguran masyarakat
usia produktif 25-29 tahun juga terjadi penurunan tingkat pengangguran yang
terendah pada tahun 2018 sebesar 7.98%. Begitu juga pada range umur
selanjutnya.

Penyebab pengangguran:
Pengangguran adalah suatu hal yang tidak dikehendaki, namun suatu
penyakit yang terus menjalar di beberapa Negara, dikarenakan banyak faktor –
faktor yang mempengaruhinya. Mengurangi jumlah angka pengangguran harus
adanya kerjasama lembaga pendidikan ,masyarakat, dan lain – lain. Menurut
Franita (2016) berikut ini adalah beberapa faktor peyebab pengangguran:

25
 Sedikitnya lapangan pekerjaan yang menampung para pencari kerja.
Banyaknya para pencari kerja tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang
dimiliki oleh Negara Indonesia
 Kurangnya keahlian yang dimiliki oleh para pencari kerja. Banyak jumlah
Sumber daya manusia yang tidak memiliki keterampilan menjadi salah satu
penyembab makin bertambahnya angka pengangguran di Indonesia.
 Kurangnya informasi, dimana pencari kerja tidak memiliki akses untuk
mencari tau informasi tentang perusahaan yang memilli kekurangan tenaga
pekerja.
 Kurang meratanya lapangan pekerjaan, banyaknya lapangan pekerjaan di kota ,
dan sedikitnya perataan lapangan pekerjaan.
 Masih belum maksimal nya upaya pemerintah dalam memberikan pelatihan
untuk meningkatkan softskill.
 Budaya malas yang masih menjangkit para pencari kerja yang membuat para
pencari kerja mudah menyerah dalam mencari peluang kerja.
 Faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat pengangguran terbuka yaitu
tingkat inflasi. Inflasi merupakan kenaikan harga yang secara terus menerus.
Ketika di suatu wilayah memiliki tingkat inflasi yang tinggi maka dapat
mengakibatkan kecilnya kesempatan kerja, selain itu mengakibatkan perubahan
pada harga-harga barang dan jasa. Adanya perubahan pada harga – harga
barang dan jasa yang tinggi menyebabkan turunnya permintaan barang dan jasa
tersebut. Hal ini mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga
pengangguran terbuka akan semakin meningkat.

Solusi mengatasi pengaguran:


Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai
tantangan dalam menghadapi masalah pengangguran. Jumlah pengangguran di
Indonesia masih tergolong tinggi. Masalah pengangguran terdapat di hampir
seluruh provinsi di kepulauan Indonesia. Adapun beberapa upaya yang dapat
dilakukan untuk mengurangi pengangguran, sebagai berikut:
 Peran pendidikan sangat berperan dalam mengahsilkan sumber daya
manusia yang kopeten dengan menghadirkan kurikulum sesuai dengan

26
keinginan pasar. Agar para sumber daya manusia dapat dibekali
pengetahuan dan skill yang dapat menunjang para pencari kerja mandiri
dalam mencari kerja ataupun menjadi wiraswasta.
 Pemerintah membuat pelatihan – pelatihan untuk meningkatkan
keterampilan para pencari kerja agar mampu mandiri dari ekonomi.
Misalnya Pemerintah member pelatihan Kewirausahawan agar mereka
mampu berwirausaha dan menciptakan produk.
 Mempermudah akses modal ke perbankan. Dengan mempermudah akses
modal di perbankan maka banyak masyarakat yang menganggur akan
membuat suka kecil maupun menengah dengan cara itu maka tenaga kerja
akan terserap dan pengangguran akan berkurang.
 Pemerintah menyokong dan memperluas objek wisata di daerah – daerah
yang berpotensi dalam pengembangan pariwisata. Dan meningkatkan
pemasukan daerah. Pengembangan pariwisata di suatu daerah sangat
berdampak baik dengan adanya pengembangan wisata daerah mampu
menyedot tenaga kerja dan memancing para investor untuk menanam saham
di negara Indonesia mampu menyedot para wisatawan yang akan berwisata,
itu akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat. Daerah yang
memiliki objek wisata akan akan menumbuhkan jiwa kewirausahawan
masyarakat serikat dan akan mampu mengurangi angka penganguran dan
mensejahterahkan masyarakat.
 Pemerintah dan masyarakat harus menyokong wisata kuliner. Di era
milenial ini Wisata kuliner menjadi salah satu income yang sangat tinggi ini
kareena bergesernya kebiasaan masyarakat yang sekarang menjadi
konsumtif dan lebih sering makan diluar daripada dirumah. Dengan
banyaknya wisata kuliner mampu mempercepat kegiatan ekonomi yang
akan merangsang masyarakat dalam membuka usaha kuliner yang akan
membutuhkan para pekerja yang nantinya akan menurunkan angka
penganguran.
 Pemerintah harus mampu merangsang para investor untuk melakukan
investasi di Indonesia. Investasi merupakan hal yang penting dalam
pembangunan ekonomi karena sebagai faktor penunjang didalam

27
peningkatan prosesproduksi. Investasi memiliki kaperan aktif dalam
menentukan tingkat output, danlaju pertumbuhan output tergantung pada
laju investasi (Arsyad, 1999). Investasi akan memperluas kesempatan kerja
dan memperbaikikesejahteraan masyarakat sebagai konsekwensi naiknya
pendapatan yang diterimamasyarakat (Sun’an & Astuti, 2008). Dengan
meningkatnya kesejahteraan sehingga mengurangi jumlah penganguran.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

28
1. Sampai dengan Sensus Penduduk dan Sakernas 2000 yang dinamakan
pengangguran terbuka adalah mereka yang dalam wawancara mengatakan
sedang mencari pekerjaan. Dalam Sakernas 2001 dan selanjutnya, definisi
pengangguran terbuka diperluas, sesuai dengan acuan dalam publikasi ILO ‘An
Manual on Concepts and Methods’ (BPS,2001).
2. Profil pengangguran yang dapat ditinjau dari faktor penyebabnya, yakni:
a. Pengangguran Friksional
b. Pengangguran Musiman
c. Pengangangguran Siklikal
d. Pengangguran Struktural
e. Pengangguran Teknologis
f. Pengangguran Akibat Kurangnya Permintaan Agregat
3. Seseorang dikatakan pengangguran setengah menganggur jika ia sudah
memiliki pekerjaan akan tetapi belum dilakukan secara optimal karena
kurangnya lapangan pekerjaan. Biasanya mereka bekerja kurang dari jumlah
jam kerja normal atau kurang dari 35 jam dalam seminggu.
4. Parameter TPAK dan TSP seringkali harus digunakan secara hati-hati untuk
negara sedang berkembang. Sebagai akibatnya TPAK akan cenderung tinggi
angkanya dan sebaliknya. Tingkat pengangguran menjadi relatif rendah.
Sejalan dengan hal ini maka parameter setengah pengangguran penting untuk
digunakan dalam menganggulangi masalah tersebut. Tingkat atau Angka
Setengah Pengangguran biasanya dinyatakan dalam persen per tahun.
5. Adapun strategi yang dapat diterapkan untuk menangani pengangguran terkait
dengan profil pengangguran itu sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pengangguran Friksional, upaya penanganannya terkait dengan
intensifikasi dan ekstensifikasi informasi dengan tujuan mempercepat
terjadinya pertemuan antara pihak yang membutuhkan dengan pihak
yang menawarkan tenaga kerja.
b. Pengangguran Musiman, alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi
pengangguran musiman ini adalah mengembangkan jenis kegiatan di luar
bidang pertanian yang tidak bersifat musiman (off farm atau non farm).

29
c. Pengangguran Siklikal, penanggulangan pengangguran yang bersifat
antisiklikal diperlukan untuk mengatasi pengangguran jenis ini, yang
dapat berupa kebijakan fiskal maupun moneter. Kebijakan fiskal berupa
keringanan tarif pajak dapat mengurangi jumlah dan tingkat
pengangguran. Penurunan tingkat bunga pinjaman merupakan salah satu
kebijakan moneter yang dapat diterapkan untuk meningkatkan
penyerapan tenaga kerja.
d. Pengangguran Struktural dan Teknologi, pemecahan yang diupayakan
harus mengarah kepada program pelatihan yang berkesinambungan.
Perlu diperhatikan bahwa program pelatihan yang dirancang harus
disesuaikan dengan perkembangan teknologi yang terjadi.
e. Pengangguran karena Kurangnya Permintaan Agregat, perlu dikerahkan
investasi dalam skala besar unluk menghidupkan kegıatan ekonomi.
6. Untuk mengukur besar kecilnya pengangguran digunakan perhitungan tingkat
pengangguran yang merupakan antara jumlah pencari kerja dengan jumlah
angkatan kerja, atau sebagai berikut:
Jumlah Pencari Kerja
Tingkat Pengangguran=
Jumlah Angkatan Kerja
Perhitungan yang ditunjukkan oleh rumus tersebut merupakan perhitungan
tingkat pengangguran terbuka (open unemployment), yang menunjukkan
persentase penduduk yang tidak bekerja di antara angkatan kerja yang ada.

30
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, L. (1999) Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah,


Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE.
Badan Pusat Statistik. 2000. Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk Tahun
2000. Jakarta: BPS.
Bakir, Zainab dan Cris Manning. 1984. Angkatan Kerja Indonesia. Jakarta:
Rajawali.
Franita, Riska. 2016. ANALISA PENGANGGURAN DI INDONESIA. Nusantara
( Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial ) Volume 1 Desember 2016: ISSN 2541-
657X
Kasanah, Yunani Tiya , Anifatul Hanim, dan P. Edi Suswandi. Faktor - Faktor
yang Mempengaruhi Pengangguran Terbuka di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2009-2014. e-Journal Ekonomi Bisnis dan Akuntansi, 2018, Volume
V (1) : 21-25. ISSN : 2355-4665
Mantra, I. B.. 2003. Demografi Umum: Ketenagakerjaan, Setengah Penganggur.
Edisi Ke-2. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Mankiw, N. Gregory, 2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi Keempat. Erlangga.
Jakarta.
Marhaeni, Dra. A. A. I. N dan Manuati Dewi, Dra. I. G. A. 2004. Ekonomi
Sumber Daya Manusia. Bali: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Udayana.
Mulyadi S. 2014. Ekonomi Sumber Daya Manusia Dalam Perspektif
Pembangunan Edisi Revisi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sadono Sukirno. 1994. Pengantar Teori Ekonomi Makro. Jakarta: Raja Grafindo
Sukirno, Sadono. 2004. Makro Ekonomi Teori Pengantar. Jakarta: PT Raja
Grafindo Perkasa
Sun’an, M. & Astuti, E., 2012,”Analisis Investasi, Pengeluaran Pemerintah dan
Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kesempatan Kerja di Provinsi Nusa
Tenggara Barat”, ejournal.uin-malang.

31

Anda mungkin juga menyukai