DISUSUN OLEH:
MAKASSAR
2022
1
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Harta merupakan salah satu penopang hidup yang dibutuhkan manusia dalam
menjalankan aktifitasnya di dunia. Pada kajian maqashid syari`ah, untuk mewujudkan
kemashlahatan dan menolak kemudharatan dalam mencapai kebahagiaan di dunia dan
akhirat, maka salah satu yang harus dijaga adalah harta (hifz al-mal). Karena itu,
tidak satupun manusia yang dapat menjalankan hidupnya tanpa dibarengi dengan
harta. Banyak sekali ketimpangan yang dialami manusia sebagai akibat kekurangan
harta. Aspek-aspek yang dianggap berpangkal dari kekurangan material tersebut
mencakup berbagai aspek kehidupan seperti kelaparan, kebodohan, maraknya
kriminalitas, rendahnya kesehatan, dan lainnya. Oleh sebab itu, tidak dipungkiri
bahwa harta merupakan salah satu aspek yang harus mendapat perhatian penting bagi
setiap umat Islam.
Pada sisi lain, manusia dihadapkan kepada persoalan bagaimana dan di mana
memperoleh harta dimaksud. Persoalan ini merupakan siklus yang tidak pernah
terputus yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, keterampilan, fisik,
keturunan, dan kondisi lingkungan yang dihadapi seseorang. Tidak sedikit manusia
yang harus bekerja keras untuk memperoleh harta yang dibutuhkan, walaupun
kadangkala hasil yang diperoleh tidak setimpal dengan tenaga ia dikeluarkan.
Sebaliknya, sebagian manusia cukup mengeluarkan sedikit tenaga atau bahkan tidak
perlu mengeluarkan sedikit pun tenaga untuk memperoleh harta yang banyak.
Fenomena seperti ini, tentu sangat dipengaruhi oleh jenis profesi yang digeluti
seseorang. Sejatinya semakin tinggi tingkat intelektualitas seseorang, maka semakin
sedikit tenaga yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan harta yang dibutuhkan.
Begitulah gambaran tentang harta yang tidak pernah habis bila dikupas dalam
berbagai aspeknya.
Alquran sebagai kitab suci yang sarat dengan nilai-nilai mukjizat memuat
berbagai persoalan yang kecil sampai persoalan yang besar. Pengkajian terhadap
kandungan Alquran dapat dilakukan dengan berbagai bentuk penafsiran sesuai
dengan kemampuan pengkajinya serta tujuan yang ingin dicapai. Salah satu persoalan
yang tidak kalah penting dengan hal-hal lain adalah mengenai al-mal (harta).
Persoalan ini secara riil sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia, bukan hanya di
2
dunia tetapi juga sampai di akhirat kelak. Karena itu, Alquran dalam berbagai ayat
dan surat menguraikan persoalan harta ini dalam beragam bentuknya pula.
Kebanyakan ayat-ayat yang mengandung lafaz al-mal berbicara dalam konteks
hukum, baik dalam bentuk laranganlarangan maupun perintah-perintah dalam
memperoleh maupun dalam mempergunakan harta tersebut. Sebagian yang lain, ayat-
ayat tentang al-mal juga berbicara dalam konteks yang umum seperti dalam bentuk
peringatanperingatan, sejarah dan sebagainya. Untuk itu, tulisan ini mencoba
memberikan penafsiran dengan metode maudhu`i sekitar ayat-ayat yang di dalamnya
terdapat lafaz al-mal.1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
2.Untuk mengetahui nilai-nilai al Amwal yang terkandung dalam QS. Ali Imran/3:14?
1
Abdul Azis Dahlan (ed.) et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997, h. 525.
3
BAB 2 PEMBAHASAN
Harta yang dalam bahasa Arab disebut dengan mal (jamaknya amwal)
terambil dari kata kerja mala-yamulu-maulan yang berarti mengumpulkan, memiliki
dan mempunyai. Dari pengertian semantik ini dipahami sesuatu itu dinamakan harta
bila dapat dikumpulkan untuk dimiliki baik untuk kepentingan individu, keluarga
maupun masyarakat.2Ada juga yang menyebut harta sebagai nikmat. Di samping itu
sebagian lain menterjemahkan harta sebagai emas dan perak. Dengan kata lain harta
atau mal berarti sesuatu yang dikumpulkan dan dimiliki, yaitu harta atau kekayaan
yang mempunyai nilai dan manfaat. Faruqi mendefinisikan harta sebagai sesuatu
benda atau kekayaan yang memberi faedah yang dapat memuaskan jasmani dan
rohani atau kebutuhan hidup.3 Para fuqaha tampaknya berbeda dalam mentakrifkan
harta. Hanafiah mendefinisikan harta yaitu, segala yang diminati dan dapat
dihadirkan ketika hajat (diperlukan). Dengan kata lain harta itu adalah sesuatu yang
dapat dimiliki, disimpian (idkhar) dan dapat pula dimanfaatkan. Selanjutnya
Syafi’iyyah, Malikiah dan Hanabilah menjelaskan bahwa harta adalah sesuatu yang
memiliki nilai (qimah) dan dapat dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau
melenyapkannya.4
َ ِّت خَ ْي ٌر ِع ْن َد َرب
ك ثَ َوابًا َّو َخ ْي ٌر اَ َماًل ُ صلِ ٰح ُ اَ ْل َما ُل َو ْالبَنُوْ نَ ِز ْينَةُ ْال َح ٰيو ِة ال ُّد ْنيَ ۚا َو ْال ٰبقِ ٰي
ّ ٰ ت ال
Terjemahannya: ’’Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia
tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi
Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan’’.
Tafsir Kemenag : Pada ayat di atas, Q.S. Al-Kahfi:46. Kata al-mal yang diposisikan
sebagai zinah, berfungsi sebagai perhiasan dunia yang kerap melalaikan manusia dari
mengingat Allah SWT. Allah menjelaskan bahwa yang menjadi kebanggaan manusia
di dunia ini adalah harta benda dan anak-anak, karena manusia sangat memperhatikan
keduanya. Banyak harta dan anak dapat memberikan kehidupan dan martabat yang
2
Abi Husein Ahmad bin Faris, Mu‘jam Maqayis al-Lugat,(Beirut: dar alFikr, t.t),juz V, h.285
3
Al-Faruqi, Faruqi Law Dictionary (English-Arabic), (Beirut: Librairi Du’lisan, 1991), h.743-744
4
Lihat Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah, Jakarta: Kencana, 2012, h. 59-60
4
terhormat kepada orang yang memilikinya. Seperti halnya ‘Uyainah, pemuka Quraisy
yang kaya itu, atau Qurtus, yang mempunyai kedudukan mulia di tengah-tengah
kaumnya, karena memiliki kekayaan dan anak buah yang banyak. Karena harta dan
anak pula, orang menjadi takabbur dan merendahkan orang lain. Allah menegaskan
bahwa keduanya hanyalah perhiasan hidup duniawi, bukan pula perhiasan dan bekal
untuk ukhrawi. Padahal manusia sudah menyadari bahwa keduanya akan segera
binasa dan tidak patut dijadikan bahan kesombongan. Dalam urutan ayat ini harta
didahulukan dari anak, padahal anak lebih dekat ke hati manusia, karena harta
sebagai perhiasan lebih sempurna dari pada anak. Harta dapat menolong orang tua
dan anak setiap waktu dan dengan harta itu pula kelangsungan hidup keturunan dapat
terjamin. Kebutuhan manusia terhadap harta lebih besar daripada kebutuhannya
kepada anak, tetapi tidak sebaliknya.5
َّ ِب َو ْالف
ض ِة ِ ت ِمنَ النِّ َس ۤا ِء َو ْالبَنِ ْينَ َو ْالقَن
ِ ََاطي ِْر ْال ُمقَ ْنطَ َر ِة ِمنَ ال َّذه ِ اس حُبُّ ال َّشهَ ٰو ِ َُّزيِّنَ لِلن
هّٰللا
ِ ع ْال َح ٰيو ِة ال ُّد ْنيَا ۗ َو ُ ِع ْند َٗه ُحس ُْن ْال َم ٰا
ب ُ ث ۗ ٰذلِكَ َمتَا ِ َْو ْالخَ ي ِْل ْال ُم َس َّو َم ِة َوااْل َ ْن َع ِام َو ْال َحر
Terjemahannya: ‘’Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta
terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak,
harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan,
hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik’’
5
C. Nilai-nilai al Amwal dalam QS. Al-Takasur/102:1-4
Para mufassir memahami kata al-takasur pada ayat di atas dalam arti harta (al-
amwal) dan anak (al-awlad). Tafsir ayat di atas adalah, manusia disibukkan dan
dilalaikan oleh harta dan anak-anak atau sesuatu yang menyenangkannya di dalam
kehidupan dunia. Selanjutnya, larutnya manusia dalam taksir al-‘iddah
(meningkatkan kuantitas harta) membuatnya lalai dari mengingat Allah dan
beribadah kepadanya.8
8
Thabattabha’i, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, Vol 15-20, Qum Al-Muqaddasah, Mansyurat Jama’at
Al-Mudarrisin fi al-hauzat al-‘Ilmiyyah, h.351
6
(banyak) lawan al-qillah (sedikit) dan bertambahnya jumlah. Pendapat
Al-Asfahani di dalam Mufradat, al-qillah dan al-kasrah digunakan
untuk kuantitas terperinci, seperti bilangan. Sebagaimana al-‘izham
(besar) dan alsighar (kecil) digunakan bagi tubuh.9
BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan
9
Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bintusy –Syathi’, Bandung, Mizan, 1996, h. 320
10
Yunan Yusuf, Tafsir Juz ‘Amma: AS-Siraju al-Wahhaj, Jakarta, Az-ZahrahPena Madani, 2010, h.
693
7
Menurut pandangan Islam terhadap harta dalam semua bentuk adalah benda
yang diciptakan dan dikaruniakan oleh Allah SWT dan sekaligus secara prinsif adalah
hak milik-Nya. Dengan hakikat ini, hak milik terhadap suatu perkara yang bergelar di
kalangan manusia adalah diamanahkan kepada manusia oleh Allah SWT. Peranan
manusia dalam mewujudkan harta itu hanyalah sekadar mencurahkan tenaga dalam
proses pengeluaran. Yang akan menyebabkan usaha tersebut berjaya dan berhasil atau
sebaliknya ialah Allah SWT. Dari sudut pengeluaran hasil pertanian misalnya,
manusia hanya mampu sekedar menyemai benih ke dalam tanah, tetapi yang akan
menghidupkan serta membesarkan benih tersebut adalah bukan lagi dalam bidang
kuasa manusia.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
8
Abdul Azis Dahlan (ed.) et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997, h. 525.
Abi Husein Ahmad bin Faris, Mu‘jam Maqayis al-Lugat,(Beirut: dar alFikr, t.t),juz V, h.285
Al-Faruqi, Faruqi Law Dictionary (English-Arabic), (Beirut: Librairi Du’lisan, 1991), h.743-744
Yunan Yusuf, Tafsir Juz ‘Amma: AS-Siraju al-Wahhaj, Jakarta, Az-ZahrahPena Madani, 2010,
h. 693