Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

AL AMWAL MENURUT PARA MUFASIR

Dosen Pengampu : Dr. Akhmad Basith,Lc.,M.Ag

DISUSUN OLEH:

1. Sri Wahyuni Ruslan Rani 05220190065

2. Nur Aliah 05220190063

3. Fijai Fernatubun 05220190062

HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2022

1
BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Harta merupakan salah satu penopang hidup yang dibutuhkan manusia dalam
menjalankan aktifitasnya di dunia. Pada kajian maqashid syari`ah, untuk mewujudkan
kemashlahatan dan menolak kemudharatan dalam mencapai kebahagiaan di dunia dan
akhirat, maka salah satu yang harus dijaga adalah harta (hifz al-mal). Karena itu,
tidak satupun manusia yang dapat menjalankan hidupnya tanpa dibarengi dengan
harta. Banyak sekali ketimpangan yang dialami manusia sebagai akibat kekurangan
harta. Aspek-aspek yang dianggap berpangkal dari kekurangan material tersebut
mencakup berbagai aspek kehidupan seperti kelaparan, kebodohan, maraknya
kriminalitas, rendahnya kesehatan, dan lainnya. Oleh sebab itu, tidak dipungkiri
bahwa harta merupakan salah satu aspek yang harus mendapat perhatian penting bagi
setiap umat Islam.

Pada sisi lain, manusia dihadapkan kepada persoalan bagaimana dan di mana
memperoleh harta dimaksud. Persoalan ini merupakan siklus yang tidak pernah
terputus yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, keterampilan, fisik,
keturunan, dan kondisi lingkungan yang dihadapi seseorang. Tidak sedikit manusia
yang harus bekerja keras untuk memperoleh harta yang dibutuhkan, walaupun
kadangkala hasil yang diperoleh tidak setimpal dengan tenaga ia dikeluarkan.
Sebaliknya, sebagian manusia cukup mengeluarkan sedikit tenaga atau bahkan tidak
perlu mengeluarkan sedikit pun tenaga untuk memperoleh harta yang banyak.
Fenomena seperti ini, tentu sangat dipengaruhi oleh jenis profesi yang digeluti
seseorang. Sejatinya semakin tinggi tingkat intelektualitas seseorang, maka semakin
sedikit tenaga yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan harta yang dibutuhkan.
Begitulah gambaran tentang harta yang tidak pernah habis bila dikupas dalam
berbagai aspeknya.

Alquran sebagai kitab suci yang sarat dengan nilai-nilai mukjizat memuat
berbagai persoalan yang kecil sampai persoalan yang besar. Pengkajian terhadap
kandungan Alquran dapat dilakukan dengan berbagai bentuk penafsiran sesuai
dengan kemampuan pengkajinya serta tujuan yang ingin dicapai. Salah satu persoalan
yang tidak kalah penting dengan hal-hal lain adalah mengenai al-mal (harta).
Persoalan ini secara riil sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia, bukan hanya di

2
dunia tetapi juga sampai di akhirat kelak. Karena itu, Alquran dalam berbagai ayat
dan surat menguraikan persoalan harta ini dalam beragam bentuknya pula.
Kebanyakan ayat-ayat yang mengandung lafaz al-mal berbicara dalam konteks
hukum, baik dalam bentuk laranganlarangan maupun perintah-perintah dalam
memperoleh maupun dalam mempergunakan harta tersebut. Sebagian yang lain, ayat-
ayat tentang al-mal juga berbicara dalam konteks yang umum seperti dalam bentuk
peringatanperingatan, sejarah dan sebagainya. Untuk itu, tulisan ini mencoba
memberikan penafsiran dengan metode maudhu`i sekitar ayat-ayat yang di dalamnya
terdapat lafaz al-mal.1

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana nilai-nilai al Amwal yang terkandung dalam QS. Al-Kahfi/18:46?

2. Bagaimana nilai-nilai al Amwal yang terkandung dalam QS. Ali Imran/3:14?

3. Bagaimana nilai-nilai al Amwal yang terkandung dalam QS. Al Takasur/102:1-4?

C. Tujuan Penulisan

Mengenai rumusan masalah di atas dapat disimpulkan mengenai tujuannya


sebagai berikut:

1.Untuk mengetahui nilai-nilai al Amwal yang terkandung dalam QS. Al-Kahfi/18:46

2.Untuk mengetahui nilai-nilai al Amwal yang terkandung dalam QS. Ali Imran/3:14?

3.Untuk mengetahui nilai-nilai al Amwal yang terkandung dalam QS. Al Takasur/102:1-4?

1
Abdul Azis Dahlan (ed.) et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997, h. 525.

3
BAB 2 PEMBAHASAN

Harta yang dalam bahasa Arab disebut dengan mal (jamaknya amwal)
terambil dari kata kerja mala-yamulu-maulan yang berarti mengumpulkan, memiliki
dan mempunyai. Dari pengertian semantik ini dipahami sesuatu itu dinamakan harta
bila dapat dikumpulkan untuk dimiliki baik untuk kepentingan individu, keluarga
maupun masyarakat.2Ada juga yang menyebut harta sebagai nikmat. Di samping itu
sebagian lain menterjemahkan harta sebagai emas dan perak. Dengan kata lain harta
atau mal berarti sesuatu yang dikumpulkan dan dimiliki, yaitu harta atau kekayaan
yang mempunyai nilai dan manfaat. Faruqi mendefinisikan harta sebagai sesuatu
benda atau kekayaan yang memberi faedah yang dapat memuaskan jasmani dan
rohani atau kebutuhan hidup.3 Para fuqaha tampaknya berbeda dalam mentakrifkan
harta. Hanafiah mendefinisikan harta yaitu, segala yang diminati dan dapat
dihadirkan ketika hajat (diperlukan). Dengan kata lain harta itu adalah sesuatu yang
dapat dimiliki, disimpian (idkhar) dan dapat pula dimanfaatkan. Selanjutnya
Syafi’iyyah, Malikiah dan Hanabilah menjelaskan bahwa harta adalah sesuatu yang
memiliki nilai (qimah) dan dapat dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau
melenyapkannya.4

A. Nilai-nilai al Amwal dalam QS Al-Kahfi/18:46

َ ِّ‫ت خَ ْي ٌر ِع ْن َد َرب‬
‫ك ثَ َوابًا َّو َخ ْي ٌر اَ َماًل‬ ُ ‫صلِ ٰح‬ ُ ‫اَ ْل َما ُل َو ْالبَنُوْ نَ ِز ْينَةُ ْال َح ٰيو ِة ال ُّد ْنيَ ۚا َو ْال ٰبقِ ٰي‬
ّ ٰ ‫ت ال‬
Terjemahannya: ’’Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia
tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi
Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan’’.

Tafsir Kemenag : Pada ayat di atas, Q.S. Al-Kahfi:46. Kata al-mal yang diposisikan
sebagai zinah, berfungsi sebagai perhiasan dunia yang kerap melalaikan manusia dari
mengingat Allah SWT. Allah menjelaskan bahwa yang menjadi kebanggaan manusia
di dunia ini adalah harta benda dan anak-anak, karena manusia sangat memperhatikan
keduanya. Banyak harta dan anak dapat memberikan kehidupan dan martabat yang
2
Abi Husein Ahmad bin Faris, Mu‘jam Maqayis al-Lugat,(Beirut: dar alFikr, t.t),juz V, h.285
3
Al-Faruqi, Faruqi Law Dictionary (English-Arabic), (Beirut: Librairi Du’lisan, 1991), h.743-744
4
Lihat Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah, Jakarta: Kencana, 2012, h. 59-60

4
terhormat kepada orang yang memilikinya. Seperti halnya ‘Uyainah, pemuka Quraisy
yang kaya itu, atau Qurtus, yang mempunyai kedudukan mulia di tengah-tengah
kaumnya, karena memiliki kekayaan dan anak buah yang banyak. Karena harta dan
anak pula, orang menjadi takabbur dan merendahkan orang lain. Allah menegaskan
bahwa keduanya hanyalah perhiasan hidup duniawi, bukan pula perhiasan dan bekal
untuk ukhrawi. Padahal manusia sudah menyadari bahwa keduanya akan segera
binasa dan tidak patut dijadikan bahan kesombongan. Dalam urutan ayat ini harta
didahulukan dari anak, padahal anak lebih dekat ke hati manusia, karena harta
sebagai perhiasan lebih sempurna dari pada anak. Harta dapat menolong orang tua
dan anak setiap waktu dan dengan harta itu pula kelangsungan hidup keturunan dapat
terjamin. Kebutuhan manusia terhadap harta lebih besar daripada kebutuhannya
kepada anak, tetapi tidak sebaliknya.5

B. Nilai-nilai al Amwal dalam QS. Ali Imran/3:14

َّ ِ‫ب َو ْالف‬
‫ض ِة‬ ِ ‫ت ِمنَ النِّ َس ۤا ِء َو ْالبَنِ ْينَ َو ْالقَن‬
ِ َ‫َاطي ِْر ْال ُمقَ ْنطَ َر ِة ِمنَ ال َّذه‬ ِ ‫اس حُبُّ ال َّشهَ ٰو‬ ِ َّ‫ُزيِّنَ لِلن‬
‫هّٰللا‬
ِ ‫ع ْال َح ٰيو ِة ال ُّد ْنيَا ۗ َو ُ ِع ْند َٗه ُحس ُْن ْال َم ٰا‬
‫ب‬ ُ ‫ث ۗ ٰذلِكَ َمتَا‬ ِ ْ‫َو ْالخَ ي ِْل ْال ُم َس َّو َم ِة َوااْل َ ْن َع ِام َو ْال َحر‬
Terjemahannya: ‘’Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta
terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak,
harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan,
hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik’’

Para mufassir menyatakan bahwa ayat di atas berbicara tentang naluri


manusia. seperti diketahui, Alquran memperkenalkan agama Islam antara lain sebagai
agama fitrah dalam arti ajaran-ajarannya sejalan dengan jati diri manusia serta nilai
positifnya.6 Dengan demikian, kecintaan terhadap lawan seksnya, anak-anak serta
harta yang banyak berupa emas, perak, kuda piaraan, binatang ternak, sawah dan
ladang adalah fitrah. Kecenderungan manusia terhadap segala jenis yang membawa
kesenangan pada dirinya adalah normal. Malah sebaliknya, menolak segala
kesenangan yang telah disebut di atas, merupakan indikasi sikap yang tidak normal
(abnormal).7
5
Kementerian Agama, Tafsir Al-Qur’an, ....Juz v, h. 617
6
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung, Mizan,1996, h.405
7
Dawan Rahardjo, “Khalifah” dalam, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
Konsep Kunci, Jakarta, Paramadina, 1996, h.347-348.

5
C. Nilai-nilai al Amwal dalam QS. Al-Takasur/102:1-4

١:‫اَ ۡل ٰهٮ ُك ُم التَّ َكاثُ ۙ ُر ﴿التكاثر‬


٢:‫َح ٰتّى ُز ۡرتُ ُم ۡال َمقَابِ َرؕ ﴿التكاثر‬
٣:‫َكاَّل َس ۡوفَ ت َۡعلَ ُم ۡو ۙنَ ﴿التكاثر‬
٤ :‫ثُ َّم َكاَّل َس ۡوفَ ت َۡعلَ ُم ۡونَ ؕ ﴿التكاثر‬

Terjemahannya: Bermegah-megahan telah melalaikan kamu (1) Sampai kamu


masuk ke dalam kubur (2) Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui
(akibat perbuatanmu itu) (3) dan janganlah begitu, kelak kamu akan
mengetahui (4)

Para mufassir memahami kata al-takasur pada ayat di atas dalam arti harta (al-
amwal) dan anak (al-awlad). Tafsir ayat di atas adalah, manusia disibukkan dan
dilalaikan oleh harta dan anak-anak atau sesuatu yang menyenangkannya di dalam
kehidupan dunia. Selanjutnya, larutnya manusia dalam taksir al-‘iddah
(meningkatkan kuantitas harta) membuatnya lalai dari mengingat Allah dan
beribadah kepadanya.8

 Bint Syathi’ memulai menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, al-


lahwu menurut bahasa adalah apa yang melalaikan manusia. mungkin
asal penggunaannya al-lahwah, apa yang dilemparkan penggiling ke
mulut penggilingan, dan menyibukkannya, sehingga ia berputar. Ayat
di atas menjelaskan bahwa kelalaian di dalamnya karena
berlebihlebihan. Secara bahasa, ia adalah interaksi dari al-kasrah

8
Thabattabha’i, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, Vol 15-20, Qum Al-Muqaddasah, Mansyurat Jama’at
Al-Mudarrisin fi al-hauzat al-‘Ilmiyyah, h.351

6
(banyak) lawan al-qillah (sedikit) dan bertambahnya jumlah. Pendapat
Al-Asfahani di dalam Mufradat, al-qillah dan al-kasrah digunakan
untuk kuantitas terperinci, seperti bilangan. Sebagaimana al-‘izham
(besar) dan alsighar (kecil) digunakan bagi tubuh.9

 Yunan Yusuf dalam tafsirnya menuliskan, salah satu perbuatan yang


merusak kehidupan manusia adalah saling bermegah-megah dan saling
membangga-banggakan kehebatan sendiri, sehingga melalaikan
seseorang dari perbuatan utama dan mulia yang semestinya ia
kerjakan. Apa yang dibangga-banggakan itu ? bisa jadi anak
keturunan, harta benda, pangkat dan jabatan, ilmu dan pengetahuan
yang dimiliki.10

BAB 3 PENUTUP

A. Kesimpulan

9
Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bintusy –Syathi’, Bandung, Mizan, 1996, h. 320
10
Yunan Yusuf, Tafsir Juz ‘Amma: AS-Siraju al-Wahhaj, Jakarta, Az-ZahrahPena Madani, 2010, h.
693

7
Menurut pandangan Islam terhadap harta dalam semua bentuk adalah benda
yang diciptakan dan dikaruniakan oleh Allah SWT dan sekaligus secara prinsif adalah
hak milik-Nya. Dengan hakikat ini, hak milik terhadap suatu perkara yang bergelar di
kalangan manusia adalah diamanahkan kepada manusia oleh Allah SWT. Peranan
manusia dalam mewujudkan harta itu hanyalah sekadar mencurahkan tenaga dalam
proses pengeluaran. Yang akan menyebabkan usaha tersebut berjaya dan berhasil atau
sebaliknya ialah Allah SWT. Dari sudut pengeluaran hasil pertanian misalnya,
manusia hanya mampu sekedar menyemai benih ke dalam tanah, tetapi yang akan
menghidupkan serta membesarkan benih tersebut adalah bukan lagi dalam bidang
kuasa manusia.

B. Saran

Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah


di atas masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya
penulis akan segera melakukan perbaikan susunan makalah itu dengan menggunakan
pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun dari para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

8
Abdul Azis Dahlan (ed.) et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997, h. 525.

Abi Husein Ahmad bin Faris, Mu‘jam Maqayis al-Lugat,(Beirut: dar alFikr, t.t),juz V, h.285

Al-Faruqi, Faruqi Law Dictionary (English-Arabic), (Beirut: Librairi Du’lisan, 1991), h.743-744

Lihat Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah, Jakarta: Kencana, 2012, h. 59-60

Kementerian Agama, Tafsir Al-Qur’an, ....Juz v, h. 617

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung, Mizan,1996, h.405

Dawan Rahardjo, “Khalifah” dalam, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan


Konsep-Konsep Kunci, Jakarta, Paramadina, 1996, h.347-348.

Thabattabha’i, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, Vol 15-20, Qum Al-Muqaddasah, Mansyurat


Jama’at Al-Mudarrisin fi al-hauzat al-‘Ilmiyyah, h.351

Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bintusy –Syathi’, Bandung, Mizan, 1996, h. 320

Yunan Yusuf, Tafsir Juz ‘Amma: AS-Siraju al-Wahhaj, Jakarta, Az-ZahrahPena Madani, 2010,
h. 693

Anda mungkin juga menyukai