ASMA BRONKIAL
Sistem pernapasan secara garis besar terdiri dari bagian konduksi yang
terdiri dari cavum nasi, nasofaring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan
bronkiolus terminal; dan bagian respirasi (tempat terjadi pertukaran gas) yang
terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolar, dan alveoli. Sistem
pernapasan terbagi menjadi sistem pernafasan atas dan sistem pernafasan
bawah. Sistem pernafasan atas terdiri dari hidung, faring dan laring.
Sedangkan sistem pernafasan bawah terdiri dari trakea, bronkus dan paru-
paru (Peate & Nair, 2017).
1. Hidung
Masuknya udara bermula dari hidung. Hidung merupakan organ
pertama dalam sistem pernapasan yang terdiri dari bagian eksternal
(terlihat) dan bagian internal. Pada hidung bagian eksternal terdapat
rangka penunjang berupa tulang dan hyaline kartilago yang terbungkus
oleh otot dan kulit. Struktur interior dari bagian eksternal hidung
memiliki tiga fungsi : menghangatkan, melembabkan dan menyaring
udara yang masuk; mendeteksi stimulasi olfaktori (indra pembau); dan
modifikasi getaran suara yang melalui bilik resonansi yang besar dan
bergema. Rongga hidung sebagai bagian internal digambarkan sebagai
ruang yang besar pada anterior tengkorak (inferior pada tulang hidung;
superior pada rongga mulut), rongga hidung dibatasi dengan otot dan
membrane mukosa (Tortorra & Derrickson, 2014).
2. Faring
Faring atau tenggorokan adalah saluran berbentuk corong dengan
panjang 13 cm. Dinding faring disusun oleh otot rangka dan dibatasi
oleh membrane mukosa. Otot rangka yang terelaksasi membuat faring
dalam posisi tetap sedangkan apabila otot rangka kontraksi maka sedang
terjadi proses menelan. Fungsi faring adalah sebagai saluran untuk udara
dan makanan, menyediakan ruang resonansi untuk suara saat berbicara,
dan tempat bagi tonsil (berperan pada reaksi imun terhadap benda asing)
(Tortorra & Derrickson, 2014).
3. Laring
Laring tersusun atas 9 bagian jaringan kartilago, 3 bagian tunggal
dan 3 bagian berpasangan. 3 bagian yang berpasangan adalah kartilago
arytenoid, cuneiform dan corniculate. Arytenoid adalah bagian yang
paling signifikan dimana jaringan ini mempengaruhi pergerakan
membrane mukosa (lipatan vokal sebenarnya) untuk menghasilkan suara.
3 bagian lain yang merupakan bagian tunggal adalah tiroid, epiglotis dan
cricoid. Tiroid dan cricoid keduanya berfungsi melindungi pita suara.
Epiglotis melindungi saluran udara dan mengalihkan makanan dan
minuman agar melewati esofagus (Peate & Nair, 2017).
4. Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan saluran tubuler yang
dilewati udara dari laring menuju paru-paru. Trakea juga dilapisi oleh
epitel kolumnar bersilia sehingga dapat menjebak zat selain udara yang
masuk lalu akan didorong keatas melewati esofagus untuk ditelan atau
dikeluarkan lewat dahak. Trakea dan bronkus juga memiliki reseptor
iritan yang menstimulasi batuk, memaksa partikel besar yang masuk
kembali ke atas (Peate & Nair, 2017).
5. Bronkus
Bronkus (cabang tenggorokan) merupakan lanjutan dari trakea,
terdapat pada ketinggian vertebrae torakalis IV dan V. Bronkus
mempunyai struktur sama dengan trakea dan dilapisi oleh sejenis sel
yang sama dengan trakea dan berjalan ke bawah kearah tampuk paru-
paru.
Trakea terbagi menjadi dua cabang utama, bronkus kanan dan kiri,
yang mana cabang-cabang ini memasuki paru kanan dan kiri pula. Di
dalam masing-masing paru, bronkus terus bercabang dan semakin
sempit, pendek dan semakin banyak jumlah cabangnya, seperti
percabangan pada pohon. Cabang terkecil dikenal dengan sebutan
bronchiole (Tortorra & Derrickson, 2014).
5. Patofisiologi
Pada dua dekade yang lalu, penyakit asma dianggap merupakan
penyakit yang disebabkan karena adanya penyempitan bronkus saja,
sehingga terapi utama pada saat itu adalah suatu bronkodilator, seperti
betaegonis dan golongan metil ksantin saja. Namun, para ahli
mengemukakan konsep baru yang kemudian digunakan hingga kini,
yaitu bahwa asma merupakan penyakit inflamasi pada saluran
pernafasan, yang ditandai dengan bronkokonstriksi, inflamasi dan respon
yang berlebihan terhadap rangsangan (hyperresponsiveness). Selain itu
juga terdapat penghambatan terhadap aliran udara dan penurunan
kecepatan aliran udara akibat penyempitan bronkus. Akibatnya terjadi
hiperinflasi distal, perubahan mekanis paru-paru dan meningkatnya
kesulitan bernafasan. Selain itu juga dapat terjadi peningkatan sekresi
mukus yang berlebihan (Ikawati, 2016).
Secara klasik, asma dibagi dalam dua kategori berdasarkan faktor
pemicunya, yaitu asma ekstrinsik atau alergi dan asma intrinsik atau
idiosinkratik. Asma ekstrinsik mengacu pada asma yang disebabkan
karena menghirup alergen, yang biasanya terjadi pada anak-anak yang
memiliki keluarga dan riwayat penyakit alergi (baik eksim, utikaria atau
hay fever). Asma instrinsik mengacu pada asma yang disebabkan oleh
karena faktor-faktor di luar mekanisme imunitas dan umumnya dijumpai
pada orang dewasa, disebut juga asma non alergik, dimana pasien tidak
memiliki riwayat alergi. Beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya
asma antara lain : udara dingin, obat-obatan, stress dan olahraga
(Ikawati, 2016).
Seperti yang telah dikatakan di atas, asma adalah penyakit inflamasi
saluran napas. Meskipun ada berbagai cara untuk menimbulkan suatu
respons inflamasi, baik pada asma ekstrinik maupun instrinsik, tetapi
karakteristik inflamasi pada asma umumnya sama, yaitu terjadinya
infiltrasi eosinofil dan limfosit serta terjadi pengelupasan sel-sel epitelial
pada saluran nafas dan dan peningkatan permeabilitas mukosa. Kejadian
ini bahkan dapat dijumpai juga pada penderita asma yang ringan. Pada
pasien yang meninggal karena serangan asma, secara histologis terlihat
adanya sumbatan (plugs) yang terdiri dari mukus glikoprotein dan
eksudat protein plasma yang memperangkap debris yang berisi sel-sel
epitelial yang terkelupas dan sel-sel inflamasi. Selain itu terlihat adanya
penebalan lapisan subepitelial saluran nafas. Respon inflamasi ini terjadi
hampir di sepanjang saluran napas dan trakea samapi ujung bronkiolus.
Juga terjadi hiperplasia dari kelenjar-kelenjar sel goblet yang
menyebabkan hiperserkesi mukus yang kemudian turut menyumbat
saluran napas. Penyakit asma melibatkan interaksi yang kompleks antara
sel-sel inflamasi, mediator inflamasi dan jaringan pada saluran napas.
Sel-sel inflamasi utama yang turut berkontribusi pada rangkaian kejadian
pada serangan asma antara lain adalah sel mast, limfosit dan eosinofil,
sedangkan mediator inflamasi utama yang terlibat dalam asma adalah
histamin, leukotrein, faktor kemotaktik eosinofil dan beberapa sitokin,
yaitu interleukin (Ikawati, 2016).
Pada asma alergi atau atopik, bronkospasme terjadi akibat dari
meningkatnya responsivitas otot polos bronkus terhadap adanya
rangsangan dari luar, yang disebut alergen. Rangsangan ini kemudian
akan memicu pelepasan berbagai senyawa endogen dari sel mast yang
merupakan mediator inflamasi, yaitu histamin, leukotrien dan faktor
kemotaktik eosinofil. Histamin dan leukotrien merupakan bronko-
konstriktor yang paten, sedangkan faktor kemotaktik eosinofil bekerja
menarik secara kimiawi sel-sel eosinofil menuju tempat terjadinya
peradangan, yaitu di bronkus (Ikawati, 2016).
6. Pathway
7. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah mencapai asma
terkontrol sehingga penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan
dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pada prinsipnya penatalaksanaan
asma dibagi menjadi 2, yaitu : penatalaksanaan asma jangka panjang dan
penatalaksanaan asma akut/saat serangan.
a. Tatalaksana asma jangka panjang
Prinsip utama tatalaksana jangka panjang adalah edukasi, obat asma
(pengontrol dan pelega) dan menjaga kebugaran (senam asma). Obat
pelega diberikan pada saat serangan, obat pengontrol ditujukan
untuk pencegahan serangan dan diberikan dalam jangka panjang dan
terus menerus.
b. Tatalaksana asma akut pada anak dan dewasa
Tujuan tatalaksana serangan asma akut :
1) Mengatasi gejala serangan asma.
2) Mengembalikan fungsi paru ke keadaan sebelum serangan.
3) Mencegah terjadinya kekambuhan.
4) Mencegah kematian karena serangan asma.
9. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium meliputi :
1) Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum pada penderita asma akan didapati :
a) Kristal-kristal charcot leyden merupakan degranulasi
dari kristal eosinopil.
b) Spiral curshmann, yakni merupakan cast cell (sel cetakan)
dari cabang bronkus.
c) Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
d) Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umunya
bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang
terdapat mucus plug.
2) Pemeriksaan Darah
a) Analisa gas darah pada umunya normal akan tetapi
dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia atau asidosis.
b) Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan
LDH.
c) Hiponaptremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas
15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
d) Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan
dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu
bebas dari serangan.
3) Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada
waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru-
paru, yakni rodiolusen yang bertambah dan peleburan rongga
intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila
terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai
berikut :
a) Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hillus
akan bertambah.
b) Bila terdapat komplikasi empisema, maka gambaran
radiolusen akan semakin bertambah.
c) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran
inflitrate pada paru.
d) Dapat pula menimbulkan atelektasis lokal.
e) Bila terjadi pneumonia mediastrium, pneumotoraks dan
pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran
radiolusen pada paru-paru.
4) Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen
yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
5) Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan
dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan
gambaran yang terjadi pada empisema paru, yaitu :
a) Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi
right aixs devisiasi dan clockwise rotation.
b) Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni
terdapatnya RBB (Right bundle branch block).
c) Tanda-tanda hipoksemia, yakni terdapatnya sinus
tachycardia, SVES dan VES atau terjadinya depresi
segmen ST negatif.
6) Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible,
cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah
melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan
spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan
adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari
20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol
bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja
penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk
menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Banyak penderita
tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan
obstruksi.
7) Uji Provokasi Bronkus
Pengobatan profilaksis dianggap merupakan cara pengobatan
yang paling rasional, karena sasaran obat-obat tersebut
langsung pada faktor-faktor yang menyebabkan bronkospasme.
Pada umumnya pengobatan profilaksis berlangsung dalam
jangka panjang, dengan cara kerja obat sebagai berikut :
a) Menghambat pelepasan mediator.
b) Menekan hiperaktivitas bronkus
Hasil yang diharapkan dari pengobatan profilaksis adalah :
a) Bila mungkin bisa menghentikan obat simptomatik.
b) Menghentikan atau mengurangi pemakaian steroid.
c) Mengurangi banyaknya jenis obat dan dosis yang dipakai.
d) Mengurangi tingkat keparahan penyakit, mengurangi
frekuensi serangan dan meringankan beratnya serangan.
Obat profilaksis yang biasa digunakan adalah :
a) Steroid dalam bentuk aerosol.
b) Disodium Cromolyn.
c) Ketotifen.
d) Tranilast.
8) Foto Sinus Paranasalis
Diperlukan jika asma sulit terkontrol untuk melihat adanya
sinusitis (Hasdianah & Suprapto, 2016).
C. Konsep Asuhan Keperawatan Asma Bronkial
Proses keperawatan memiliki karakteristik unik yang memungkinkan
respons terhadap perubahan status kesehatan klien. Karekteristik ini meliputi
sifat proses keperawatan yang siklis dan dinamis, berpusat pada klien,
berfokus pada penyelesaian masalah dan pembuatan keputusan, gaya
interpersonal dan kolaboratif, dapat diterapkan secara universal dan
penggunaan berfikir kritis (Kozier, Berman & Snyder, 2011).
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pengumpulan, pengaturan, validasi dan
dokumentasi data (informasi) yang sistematis dan berkesinambungan.
Sebenarnya pengkajian adalah proses berkesinambungan yang dilakukan
pada semua fase proses keperawatan (Konzier, Berman & Snyder, 2011).
a. Identitas Klien
1) Usia : asma bronkial dapat menyerang segala usia, tetapi lebih
sering dijumpai pada usia dini. Separuh kasus timbul sebelum
usia 10 tahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia
40 tahun.
2) Jenis kelamin : laki-laki dan perempuan di usia dini sebesar 2:1
yang kemudian sama pada usia 30 tahun.
3) Tempat tinggal dan jenis pekerjaan : lingkungan kerja
diperkirakan merupakan faktor pencetus yang menyumbang
2-15% klien dengan asma bronkial. Kondisi rumah, pajanan
alergen, hewan di dalam rumah, pajanan asap rokok tembakau,
kelembaban dan pemanasan.
b. Riwayat Kesehatan Klien
1) Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa timbul pada pasien yang mengalami
asma bronkial adalah batuk, peningkatan sputum, dispnea (bisa
berhari-hari atau berbulan-bulan), hemoptisis, wheezing, stridor,
dan nyeri dada.
2) Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang yang biasa timbul pada pasien asma
bronkial adalah pasien mengalami sesak nafas, batuk berdahak,
biasanya pasien sudah lama menderita penyakit asma, dalam
keluarga ada yang menderita penyakit asma.
3) Riwayat kesehatan dahulu
Perawat menanyakan tentang riwayat penyakit pernafasan
pasien. Secara umum perawat perlu menanyakan mengenai hal-
hal berikut ini :
a) Riwayat merokok, merokok merupakan penyebab utama
kanker paru-paru, emfisema dan bronkhitis kronis. Semua
keadaan itu sangat jarang menimpa non perokok.
b) Pengobatan saat ini, alergi dan tempat tinggal.
c) Anamnesis harus mencakup hal-hal :
Usia mulainya merokok secara rutin.
Rata-rata jumlah rokok yang dihisap per-hari.
Usia menghentikan kebiasaan merokok.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Klien dengan asma bronkial sering kali ditemukan adanya
riwayat penyakit keturunan, tetapi pada beberapa klien lainnya
tidak ditemukan adanya penyakit yang sama pada anggota
keluarganya.
5) Riwayat Psikososial
a) Presepsi klien terhadap masalahnya
Perlu dikaji tentang pasien terhadap penyakitnya.
Presepsi yang salah satu dapat menghambat respon
kooperatif pada diri pasien.
b) Pola nilai kepercayaan dan spiritual
Kedekatan pasien pada sesuatu yang diyakini di dunia
dipercaya dapat meningkatkan kekuatan jiwa pasien.
Keyakinan pasien terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta
pendekatan diri pada-Nya merupakan suatu metode
penanggulangan stres yang konstruktif.
c) Pola komunikasi
Gejala asma sangat membatasi pasien untuk menjalankan
kehidupannya secara normal. Pasien perlu menyesuaikan
kondisinya berhubungan dengan orang lain.
d) Pola interaksi
Pada pasien asma, biasanya interaksi dengan orang lain
berkurang.
c. Pola Kesehatan Sehari-Hari
1) Pola Nutrisi
Perlu dikaji tentang status nutrisi pasien meliputi, jumlah,
frekuensi dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya. Pada
pasien sesak, potensial sekali terjadi kekurangan dalam
memenuhi kebutuhan nutrisi, hal ini karena dispnea saat
makan, laju metabolisme serta ansietas yang dialami pasien.
2) Pola Eliminasi
Perlu dikaji tentang kebiasaan BAB dan BAK mencakup warna,
bentuk, konsistensi, frekuensi, jumlah serta kesulitan dalam
eliminasi. Penderita asma dilarang menahan buang air kecil dan
buang air besar, kebiasaan menahan buang air kecil dan buang
air besar akan menyebabkan feses menghasilkan radikal bebas
yang bersifat meracuni tubuh, menyebabkan sembelit dan
mempersulit pernafasan.
3) Pola Istirahat
Perlu dikaji tentang bagaimana tidur dan istirahat pasien
meliputi berapa lama pasien tidur dan istirahat. Serta berapa
besar akibat kelelahan yang dialami pasien. Adanya wheezing
dan sesak dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat pasien.
4) Pola Personal Hygiene
Perlu dikaji personal hygiene pada pasien yang mengalami
asma. Terkadang ada hambatan dalam personal hygiene.
5) Pola Aktivitas
Perlu dikaji tentang aktifitas keseharian pasien, seperti
olahraga, bekerja dan aktfitas lainnya. Aktifitas fisik dapat
terjadi faktor pencetus terjadinya asma. Turunnya toleransi
tubuh terhadap kegiatan olahraga.
6) Pola reproduksi dan seksual
Reproduksi seksual merupakan kebutuhan dasar manusia. Bila
kebutuhan ini tidak terpenuhi akan terjadi masalah dalam
kehidupan pasien. Masalah ini akan menjadi stresor yang akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya serangan asma.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum Klien
Keadaan umum pada pasien asma yaitu compos mentis,
lemah, dan sesak nafas.
2) Pemeriksaan Kepala dan Muka
Simetris, tidak ada nyeri tekan, warna rambut hitam atau putih,
tidak ada lesi.
3) Pemeriksaan Telinga
Inspeksi : Simestris, tidak ada lesi, tidak ada benjolan.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
4) Pemeriksaan Mata
Inspeksi : Simestris, tidak ada lesi, tidak ada odema.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, konjungtiva merah muda, sklera
putih.
5) Pemeriksaan Hidung
Inspeksi : Simetris, terdapat rambut hidung, terdapat pernafasan
cuping hidung, tidak ada lesi
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
6) Pemeriksaan Mulut dan Faring
Inspeksi : Mukosa bibir lembab, tidak ada lesi disekitar
mulut, biasanya ada kesulitan untuk menelan.
7) Pemeriksaan Leher
Inspeksi : Simetris, tidak ada peradangan, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
8) Pemeriksaan Payudara dan Ketiak
Ketiak tumbuh rambut atau tidak, tidak ada lesi, tidak ada
benjolan, payudara simetris.
9) Pemeriksaan Thoraks
a) Pemeriksaan Paru
Inspeksi :
Batuk produktif/nonproduktif, terdapat sputum yang
kental dan sulit dikeluarkan, bernafas dengan
menggunakan otot-otot tambahan, sianosis, pernafasan
cuping hidung, penggunaan oksigen dan sulit bicara
karena sesak nafas.
Palpasi :
Bernafas dengan menggunakan otot-otot tambahan,
takikardi akan timbul diawal serangan, kemudian
diikuti sianosis sentral.
Perkusi :
Lapang paru yang hipersonor pada perkusi.
Auskultasi :
Respirasi terdengar kasar dan suara mengi (Whezzing)
pada fase respirasi semakin menonjol.
b) Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis terletak di ICS V mid clavicula
kiri.
Auskultasi : BJ 1 dan BJ 2 tunggal, tidak ada suara
tambahan.
Perkusi : Suara pekak.
10) Pengkajian Abdomen dan Pelvis
a) Inspeksi :
Pada inspeksi perlu perlu disimak apakah abdomen
membusung atau membuncit atau datar saja, tepi perut
menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak, amati
apakah ada bayangan vena, amati juga apakah di daerah
abdomen tampak benjolan-benjolan massa. Laporkan
bentuk dan letaknya.
b) Auskultasi :
Mendengar suara peristaltik usus, normal berkisar 5-35 kali
per menit : bunyi peristaltik yang keras dan panjang
disebut borborygmi, ditemui pada gastroenteritis atau
obstruksi usus pada tahap awal. Peristaltik yang
berkurang ditemui pada ileus paralitik. Apabila setelah
5 menit tidak terdengar suara peristaltik sama sekali maka
kita lakukan peristaltik negative (pada pasien post operasi).
c) Palpasi :
Sebelum dilakukan palpasi tanyakan terlebih dahulu
kepada pasien adakah daerah yang nyeri apabila ada
maka harus di palpasi terakhir, palpasi umum terhadap
keseluruhan dinding abdomen untuk mengetahui apakah
ada nyeri umum (peritonitis, pancreatitis). Kemudian
mencari dengan perabaan ada atau tidaknya massa/benjolan
(tumor). Periksa juga turgor kulit perut untuk menilai
hidrasi pasien. Setelah itu periksalah dengan tekanan
region suprapubika (cystitis), titik mc burney
(appendicitis), region epigastrica (gastritis), dan region
iliaca (adnexitis) barulah secara khusus kita melakukan
palpasi hepar. Palpasi hepar dilakukan dengan telapak
tangan dan jari kanan dimulai dari kuadran kanan
bawah berangsur-angsur naik mengikuti irama nafas dan
cembungan perut. Rasakan apakah ada pembesaran hepar
atau tidak.
d) Perkusi
Untuk memperkirakan ukuran hepar, adanya udara
pada lambung dan usus (tympani atau redup).
Untuk mendengarkan atau mendeteksi adanya gas,
cairan atau massa dalam perut. Bunyi perkusi pada
perut yang normal dalah timpani, tetapi bunyi ini dapat
berubah pada keadaan tertentu misalnya apabila hepar
dan limpa membesar, maka bunyi perkusi akan
menjadi redup, khusunya perkusi di daerah bawah
kosta kanan dan kiri.
11) Pemeriksaan Integumen
Adanya nyeri tekan atau tidak, struktur kulit halus, warna kulit
sawo matang, tidak ada benjolan.
12) Pemeriksaan Ekstermitas
a) Tanda-tanda injuri eksternal.
b) Nyeri.
c) Pergerakan.
d) Odema, fraktur.
e. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum pada penderita asma akan didapati :
a) Kristal-kristal charcot leyden merupakan degranulasi dari
kristal eosinopil.
b) Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel
cetakan) dari cabang bronkus.
c) Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
d) Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umunya
bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang
terdapat mucus plug.
2) Pemeriksaan Darah
a) Analisa gas darah pada umunya normal akan tetapi dapat
pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia atau asidosis.
b) Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan
LDH.
c) Hiponaptremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas
15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
d) Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan
dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu
bebas dari serangan.
3) Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal.
Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi pada
paru-paru, yakni rodiolusen yang bertambah dan peleburan
rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan
tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat
adalah sebagai berikut :
a) Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hillus
akan bertambah.
b) Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran
radiolusen akan semakin bertambah.
c) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran inflitrate
pada paru
d) Dapat pula menimbulkan atelektasis lokal.
e) Bila terjadi pneumonia mediastrium, pneumotoraks, dan
pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran
radiolusen pada paru-paru.
4) Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen
yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
5) Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan
dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan
gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
a) Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right
aixs devisiasi dan clockwise rotation.
b) Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni
terdapatnya RBB (Right bundle branch block).
c) Tanda-tanda hipoksemia, yakni terdapatnya sinus
tachycardia, SVES dan VES atau terjadinya depresi
segmen ST negatif.
6) Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible,
cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah
melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan
spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan
adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari
20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon
aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri
tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga
penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.
Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan
spirometrinya menunjukkan obstruksi.
7) Uji Provokasi Bronkus Untuk Membantu Diagnosis
Pengobatan profilaksis dianggap merupakan cara pengobatan
yang paling rasional, karena sasaran obat-obat tersebut
langsung pada faktor-faktor yang menyebabkan
bronkospasme.
f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis :
1) Oksigen 4-6 liter / menit.
2) Pemenuhan hidrasi via infus.
3) Terbutalin 0,25 mg / 6 jam secara subkutan (SC).
4) Bronkodilator atau antibronkospasme dengan cara :
a) Nebulizer (via inhalsi) dengan golongan terbutaline 0,25
mg (Bricasma), fenoterol HBr 0,1% solution (berotec),
orciprenaline sulfur 0,75 mg (Allupent).
b) Intravena dengan golongan theophyline ethilenediamine
(Aminophillin) bolus IV 5-6 mg/ kg BB.
c) Peroral dengan aminofillin 3x150 mg tablet, agonis B2
(salbutamol 5 mg, feneterol 2,5 mg, terbutaline 10 mg).
d) Antiedema mukosa dan dinding bronkus dengan golongan
kortikosteroid, deksamethasone 4 mg IV setiap 8 jam.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah proses menganalisis data subjektif dan
objektif yang telah diperoleh pada tahap pengkajian untuk menegakkan
diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan melibatkan proses berfikir
kompleks tentang data yang dikumpulkan dari klien, keluarga, rekam
medis dan pemberi pelayanan kesehatan yang lain (Tartowo & Wartonah,
2015).
Masalah yang lazim muncul (SDKI, 2017) adalah :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi
jalan nafas, spasme jalan nafas, proses infeksi, respon alergi.
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya
nafas, depresi pusat pernafasan, deformitas dinding dada.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen, kelemahan.
e. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.
3. Intervensi Keperawatan
Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian mukolitik atau
ekspektoran, jika perlu.
2 Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Nafas
berhubungan dengan hambatan keperawatan selama 3 x 24 jam, pola Observasi
upaya nafas, depresi pusat nafas membaik dengan kriteria hasil : 1. Monitor pola napas (frekuensi,
pernafasan, deformitas dinding dada. 1. Tekanan ekspirasi meningkat. kedalaman, usaha napas).
2. Tekanan inspirasi meningkat. 2. Monitor bunyi napas tambahan (mis.
3. Dispnea menurun. Gurgling, mengi, weezing, ronkhi
4. Frekuensi nafas membaik. kering).
5. Kedalaman nafas membaik. 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma).
Terapeutik
4. Posisikan semi-Fowler atau Fowler.
5. Berikan minum hangat.
6. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu.
7. Berikan oksigen, jika perlu.
Edukasi
8. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari,
jika tidak kontraindikasi.
9. Ajarkan teknik batuk efektif.
Kolaborasi
10. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu.
3 Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Respirasi
berhubungan dengan ketidak- keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi
seimbangan ventilasi-perfusi. pertukaran gas meningkat dengan 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman,
kriteria hasil : dan upaya napas.
1. Dispnea menurun. 2. Monitor pola napas (seperti bradipnea,
2. Bunyi nafas tambahan menurun. takipnea, hiperventilasi, Kussmaul,
3. Nafas cuping hidung menurun. Cheyne Stokes, Biot, ataksik)
4. Takikardia membaik. 3. Monitor kemampuan batuk efektif.
5. Sianosis membaik. 4. Monitor adanya produksi sputum.
6. Pola nafas membaik. 5. Monitor adanya sumbatan jalan napas.
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru.
7. Auskultasi bunyi napas.
8. Monitor saturasi oksigen.
9. Monitor nilai AGD.
10. Monitor hasil x-ray toraks.
Terapeutik
11. Atur interval waktu pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien.
12. Dokumentasikan hasil pemantauan.
Edukasi
13. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan.
14. Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu.
Terapi Oksigen
Observasi
1. Monitor kecepatan aliran oksigen.
2. Monitor posisi alat terapi oksigen.
3. Monitor tanda-tanda hipoventilasi.
4. Monitor tanda dan gejala toksikasi
oksigen dan atelektasis.
5. Monitor tingkat kecemasan akibat terapi
oksigen .
6. Monitor integritas mukosa hidung akibat
pemasangan oksigen.
Terapeutik
7. Bersihkan secret pada mulut, hidung dan
trachea, jika perlu.
8. Pertahankan kepatenan jalan nafas.
9. Berikan oksigen tambahan, jika perlu.
10. Gunakan perangkat oksigen yang sesuai
dengat tingkat mobilisasi pasien.
Edukasi
11. Ajarkan pasien dan keluarga cara
menggunakan oksigen dirumah.
Kolaborasi
12. Kolaborasi penentuan dosis oksigen.
13. Kolaborasi penggunaan oksigen saat
aktivitas dan/atau tidur.
4 Intoleransi aktivitas berhubungan Setelah dilakukan tindakan Terapi Aktivitas
dengan ketidakseimbangan antara keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi
suplai dan kebutuhan oksigen, toleransi aktivitas meningkat dengan 1. Identifikasi defisit tingkat aktivitas.
kelemahan. kriteria hasil : 2. Identifikasi kemampuan berpartisipasi
1. Kemudahan dalam melakukan dalam aktivitas tertentu.
aktivitas sehari-hari meningkat.
2. Keluhan lelah menurun. Terapeutik
3. Perasaan lelah menurun. 3. Fasilitasi memilih aktivitas sesuai
kemampuan.
4. Fasilitasi aktivitas fisik rutin (mis.
ambulasi, mobilisasi dan perawatan diri),
sesuai kebutuhan.
5. Libatkan kelarga dalam aktivitas, jika
perlu.
6. Berikan penguatan positif atas partisipasi
dalam aktivitas.
Edukasi
7. Anjurkan keluarga untuk memberi
penguatan positif atas partisipasi dalam
aktivitas.
Kolaborasi
8. Kolaborasi dengan terapi okupasi dalam
merencanakan dan memonitor program
aktivitas, jika sesuai.
5 Ansietas berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Reduksi Ansietas
kurang terpapar informasi. keperawatan selama 1 x 24 jam, Observasi
ansietas klien menurun dengan kriteria 1. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
hasil : (konsidi, waktu, stresor).
1. Verbalisasi kebingungan menurun. 2. Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan
2. Verbalisasi khawatir akibat kondisi non verbal).
yang dihadapi menurun.
3. Perilaku gelisah menurun. Terapeutik
4. Perilaku tegang menurun. 3. Ciptakan suasana terapeutik untuk
menumbuhkan kepercayaan.
4. Motivasi mengidentifikasi situasi yang
memicu kecemasan.
Edukasi
5. Informasikan secara faktual mengenai
diagnosis, pengobatan dan prognosis.
6. Latih teknik relaksasi.
Kolaborasi
7. Kolaborasi pemberian obat ansietas, jika
perlu.
4. Implementasi Keperawatan
Merupakan pelaksanaan tindakan yang sudah direncanakan dengan
tujuan kebutuhan pasien terpenuhi secara optimal dalam rencana
keperawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri
(independent), saling ketergantungan/kolaborasi dan tindakan rujukan/
ketergantungan (dependent) (Tartowo & Wartonah, 2015).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah proses keperawatan dengan cara melakukan
identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak dan perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan
klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, keluarga dan tenaga kesehatan
lainnya. Tujuan evaluasi untuk melihat kemampuan klien dalam
mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap
perencanaan (Tartowo & Wartonah, 2015). Untuk mempermudah
mengevaluasi perkembangan pasien digunakan komponen SOAP, yaitu
:
S : Data Subjektif
Perawat menuliskan keluhan pasien yang masih dirasakan
setelah dilakukan tindakan keperawatan.
O : Data Objektif
Data berdasarkan hasil pengukuran atau observasi perawat secara
langsung kepada pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
A : Analisa
Merupakan suatu masalah yang masih terjadi atau juga dapat
dituliskan suatu masalah baru yang terjadi akibat perubahan status
kesehatan pasien yang telah teridentifikasi datanya dalam data
subjektif dan objektif.
P : Planning
Perencanaan keperawatan yang dilanjutkan, dihentikan,
dimodifikasi atau ditambahkan dari rencana tindakan keperawatan
yang telah ditentukan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hasdianah, & Suprapto, S.I. 2016, Patologi dan Patofisiologi Penyakit, Nuha
Medika, Yogyakarta.
Hudak & Gallo. 2010, Keperawatan Kritis : Pendekatan Asuhan Holistik, Edisi 8,
Volume 2, EGC, Jakarta.
Kozier, Berman & Snyder. 2011, Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses dan Praktik, EGC, Jakarta.
Marcdante, K.J. 2021, Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial, 8th Edition,
Elsevier Pte Ltd, Singapore.
Peate, I & Nair, M. 2017, Fundamentals Of Anatomy and Physiology For Nursing
and Healthcare Students, John Wiley & Sons Inc, United States of
America.
Sherwood, L. 2014, Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem, Edisi 8, EGC, Jakarta.
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. 2015, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner and Suddarth, EGC, Jakarta.
Sudoyo, A.W. 2015, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi V, Interna
Publishing, Jakarta.
Sunarti. 2011, Hubungan Pengetahuan Penderita Asma Tentang Penyakit Asma
dengan Perilaku Mencegah Timbulnya Kekambuhan, Karya Tulis Ilmiah,
Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Sundaru, H & Sukanto. 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, Jakarta.
Tarwoto & Wartonah. 2015, Kebutuhan Dasar Manusia & Proses Keperawatan,
Edisi 5, Salemba Medika, Jakarta.
Tortora, G.J & Derrickson, B. 2014, Principles of Anatomy and Physiology, 13th
Edition, John Wiley & Sons Inc, United States of America.