Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kliping yang berjudul
“Kecurangan Dalam Pemilu” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penyusunan kliping ini adalah untuk memenuhi tugas
dosen pada mata kuliah Dasar-Dasar Ilmu Administrasi. Selain itu, kliping ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang Kecurangan Dalam Pemilu di Indonesia.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Iwan Henri Kusnadi,
S.Sos, M.si selaku dosen mata kuliah Dasar-Dasar Ilmu Admininstrasi yang telah
memberikan tugaini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan kliping ini.

Kami menyadari, kliping yang kami susun ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nnatikan demi
kesempurnaan kliping ini.

Subang, Januari 2021

Penyusun

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................I
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................II
A. SEJARAH PEMILU.........................................................................................................................3
B. KECURANGAN PEMILU DI PEGANG ORDE BARU.................................................................7
a. Mobilisasi PNS dan Opsus........................................................................................................7
b. Masa Jaya Orde Baru.................................................................................................................9
c. Senjakala Orde Baru................................................................................................................10
C. PERJALANAN TERBENTUKNYA PENGAWAS PEMILU.......................................................10
D. DASAR HUKUM KECURANGAN PEMILU...............................................................................12
a. Kegiatan Yang Termasuk Kecurangan Pemilu............................................................................12
b. Yang Berwenang Memutus Perkara Tindak Pidana Pemilu.........................................................15
E. STRATEGI MENGHINDARI ADANYA KECURANGAN PEMILU..........................................16
F. SANKSI PIDANA KECURANGAN DAN PELANGGARAN DI TPS.........................................18
PENUTUP...........................................................................................................................................21
Kesimpulan......................................................................................................................................21
Saran................................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................22

II
A. SEJARAH PEMILU

Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih


anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Setelah amendemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil
presiden (pilpres),
yang semula dilakukan
oleh MPR, disepakati
untuk dilakukan
langsung oleh rakyat dan
dari rakyat sehingga
pilpres pun
dimasukkan ke dalam
rangkaian pemilu.
Pilpres sebagai bagian dari
pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
(pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Pada umumnya, istilah
"pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilihan anggota legislatif dan presiden yang
diadakan setiap 5 tahun sekali. Pemilu harus dilakukan secara berkala, karena memiliki
fungsi sebagai sarana pengawasan bagi rakyat terhadap wakilnya.

Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu disebut konstituen, dan kepada
merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada
masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang
hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan
dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan
pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan
disosialisasikan ke para pemilih.

PEMILU di Indonesia sendiri telah dilaksanakan sebanyak duabelas kali. Yaitu


pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009,2014, dan
pada tahun 2019. Berikut penjelasan tentang Pemilu di tiap periodenya:

 Pemilu 1955

Pemilu 1955 merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia.
Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Pemilihan Umum yang diadakan
sebanyak dua kali, yaitu pertama pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih
anggota DPR, dan kedua pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota
Konstituante. Hal ini sesuai dengan UU No. 7 Tahun 1953.Pemilu putaran pertama pada
tahun ini diikuti oleh 36 partai politik, 34 ormas, dan 48 perseorangan. Pemilu putaran
kedua diikuti oleh 39 partai politik, 23 organisasi kemasyarakatan, dan 29
perseorangan. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi,
Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.

Namun sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan
dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan
pemilu kedua lima tahun berikutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno
sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II. Yang terjadi kemudian adalah
berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah
keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD
1945.

 Pemilu 1971

Setelah kosong lebih dari 10 tahun, Pemilu kembali diadakan pada tahun 1971.
Tepatnya pada Masa Orde Baru. Pemilu ini diadakan pada tanggal 5 Juli 1971 yang
bertujuan untuk memilih anggota DPR dengan sistem perwakilan berimbang
(proporsional) dengan stelsel datar. Pada Pemilu kali ini, Jumlah peserta adalah 9 Partai
politik, dan 1 organisasi masyarakat.

4
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai
Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia. Berdasarkan asas yang dianut
dalam Pemilu kali ini, besarnya kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan DPRD
berimbang dengan besarnya dukungan pemilih karena pemilih memberikan suaranya
kepada Organisasi Peserta Pemilu.

Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik
dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua
partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia)
dan satu Golongan Karya.

 Pemilu 1977 – 1999

Enam tahun kemudian, Pemilu kembali dilaksanakan yakni pada tanggal 2 Mei
1977. Pemilu kali ini diadakan untuk memilih anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten. Pada Pemilu tahun ini, terdapat 3 Partai yang menjadi peserta, yakni:
Partai Persatuan Pembangunan, Partai Golongan Karya, dan Partai Demokrasi
Indonesia. Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1982, 1987, 1992, dan
1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan di bawah pemerintahan Presiden Soeharto,
yang dilaksanakan dengan tujuan yang sama dan dengan jumlah partai yang sama. Ini
adalah kebijakan khas Pemerintahan Orde Baru. Oleh karenanya, Pemilu ini sering
dikenal dengan nama "Pemilu Orde Baru". Pemenang dari Pemilu pada periode ini
selalu Partai Golongan Karya (GolKar).

Yang menarik, Pada Periode Orde Baru ini diangkat asas Pemilu yang “LUBER”, yang
merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia". Walaupun dilihat
dari hasil dan tata pelaksanannya, penerapan asas ini layak untuk diragukan.

 Pemilu 1999

Memasuki Era Reformasi dan lengsernya Era Orde Baru, Pemilu kembali diadakan
pada 7 Juni 1999. Pemilu kali ini diadakan untuk memilih anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten. Peserta Pemilu pada tahun ini diikuti oleh 48 partai
politik yang berasal dari berbagai elemen. Di era Reformasi ini berkembang pula asas
“JURDIL” yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Jujur berarti harus
dilaksanakan sesuai dengan aturan dan Adil berarti tidak ada perlakuan istimewa
ataupun diskriminasi terhadap peserta dan pemilih tertentu.

5
 Pemilu 2004

Pemilu 2004 diadakan pada 5 April 2004. Ini adalah pertama kalinya Pemilu benar-
benar "dibuka" untuk umum. Pada masa ini Para peserta Pemilu dipilih langsung oleh
rakyat, termasuk Presiden dan Wakil Presiden.

Pemilu pada tahun ini diadakan 3 kali yakni pada tanggal 5 April 2004 yang diadakan
untuk memilih DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten, tanggal 5 Juli 2004 untuk
pemilihan Presiden putaran I, dan pada tanggal 20 September 2004 untuk pemilihan
Presiden putaran II. Pemilu tahun 2004 dianggap sebagai tanda kemajuan dalam
demokrasi Indonesia.

 Pemilu 2009

Ini adalah Pemilu untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden kedua setelah
Pemilu tahun 2004. Pada Pemilu tahun ini, terdapat ketentuan baru yakni pasangan
yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dengan sedikitnya 20% suara
di setiap provinsi yang tersebar lebih dari 50% jumlah provinsi di Indonesia dinyatakan
sebagai pemenang mutlak dalam Pemilu dan tidak perlu diadakan Pemilu putaran II.
Peserta Pemilu untuk menentukan anggota DPR, DPD, dan DPRD pada tahun ini
diikuti oleh 44 Partai Politik, yang terdiri dari 35 Parpol nasional dan 6 Parpol lokal
Aceh.

 Pemilu 2014

Pemilu 2014 ini juga diadakan dua kali yakni pada tanggal 9 April 2014 untuk
memilih Anggota DPD, DPR RI, dan DPRD. Terdapat 15 Partai Politik yang terdaftar
sebagai peserta. Kemudian disusul pada tanggal 9 Juli 2014 untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden. Pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla berhasil menjadi pemenang
dalam satu putaran langsung dengan suara sebesar 53,15%, mengungguli pasangan
Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.

 Pemilu 2019

Pada tahun ini untuk pertama kalinya pemilihan Presiden dan pemilihan para
anggota Legislatif dilakukan serentak. Pemilu kali ini diadakan serentak pada tanggal
17 April 2019. Yang akan dipilih kali ini, pasangan Presiden dan Wakil Presiden, 575

6
anggota DPR RI, 136 anggota DPD, 2.207 anggota DPR Provinsi dan 17.610 anggota
DPRD Kota/Kabupaten.

Pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin berhasil menjadi pemenang pemilihan
Presiden periode 2019-2024 dengan suara sebesar 55,50%, mengungguli pasangan
Prabowo dan Sandiaga Uno.

B. KECURANGAN PEMILU DI
PEGANG ORDE BARU

Pemilu pertama di masa Orde Baru


yang terjadi pada 1971 saja sudah
dianggap sebagai demokrasi semu.
Itulah saat pertama kali pula Golongan
Karya (Golkar) sebagai kendaraan
politik Orde Baru ikut pemilu.
Berbagai daya upaya pun dilakukan
rezim untuk memenangkan Golkar.

7
a. Mobilisasi PNS dan Opsus

Arsitek kemenangan Golkar pada zaman Orba adalah Ali Moertopo. Majalah Historia
edisi 9/tahun I/2013 menyebut, Ali juga menggembosi partai-partai peserta pemilu
melalui Operasi Khusus. PNI dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) adalah salah dua
yang ketiban sial diporak-porandakan Opsus. Jika terindikasi kritis terhadap pemerintah
dan militer, pimpinannya sudah pasti didepak dari partai. Rezim Soeharto juga
memobilisasi pegawai negeri. Mulanya para PNS dilarang ikut partai. Lalu pemerintah
menerbitkan Kepres No. 82/1971 tentang pembentukan Korps Pegawai Republik
Indonesia (Korpri) sebagai wadah satu-satunya bagi pegawai negeri. Kopri pun lalu
dimasukkan sebagai bagian dari Golkar. Alhasil, Golkar menang mutlak. Ormas
berlambang pohon beringin ini mengantongi 62,8 persen suara dan mendapat 236 kursi
di DPR dalam Pemilu 1971. Di urutan kedua ada
Partai Nahdlatul Ulama dengan 18,6 persen dan 58
kursi di parlemen. Yang mengejutkan, suara PNI
sebagai pemenang Pemilu 1955 ternyata anjlok.
Parpol bentukan Sukarno ini hanya mendapatkan 6,9
persen suara dan 20 kursi di DPR. Golkar kian tak
terbendung kala kebijakan penyederhanaan partai
dilakukan pada 1973. Parpol-parpol dikelompokkan
dalam dua ideologi besar: Nasionalis dan Islam. NU,
Parmusi, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan
Partai Islam PERTI melebur jadi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) terhitung sejak 5 Januari 1973.

Sementara itu partai-partai nasionalis seperti PNI,


Murba, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia (IPKI) digabung jadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sejak 10 Januari
1973. Ikut pula dalam gerbong ini Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai
Katolik. Dengan berlakunya fusi partai ini Golkar tak tergoyahkan dalam Pemilu 1977.
Pemilu pun jadi kian tertutup dengan aturan baru yang hanya memilih partai. Nama
calon-calon anggota parlemen yang akan dipilih tidak lagi dicantumkan dalam surat
suara. Hasilnya pun sudah dapat diperkirakan. Golkar menang telak dengan perolehan
62,1 persen suara dan memperoleh 232 kursi di DPR. Di posisi kedua ada PPP dengan
29,2 persen suara (99 kursi DPR, dan PDI menduduki tempat ketiga dengan 8,6 persen

8
suara (29 kursi DPR). Golkar lagi-lagi dominan, Soeharto pun tetap nyaman di puncak
kekuasaan.

b. Masa Jaya Orde Baru

Kecurangan-kecurangan Orde Baru kian terang dalam pemilu 1982 dan 1987. Bisa
dibilang inilah masa jaya rezim Soeharto. Orde Baru juga seenaknya merombak struktur
badan penyelenggara pemilu. Seperti dicatat laman Tempo, kali ini ketua Dewan
Pertimbangan Lembaga Pemulihan Umum dijabat oleh menteri kehakiman. Anggotanya
pun ditambah dengan memasukkan personel ABRI, parpol, dan Golkar. Yang paling
diingat orang dari pemilu yang menelan biaya total Rp132 miliar itu adalah kerusuhan
kampanye Golkar di Lapangan Banteng pada 18 Maret 1982. Hari itu massa Golkar
bentrok dengan massa yang diduga dari PPP. Dari Lapangan Banteng, kerusuhan
menjalar ke Gunung Sahari, Jalan Veteran, Gambir, Jalan Senen Raya, Jalan Kramat,
hingga Cempaka Putih. Konon, kerusuhan itu direkayasa untuk mendiskreditkan Ali
Sadikin, mantan gubernur Jakarta dan salah satu penandatangan Orde Baru kembali
curang dalam Pemilu 1987. Kontrol pemerintah dan ABRI dalam lembaga
penyelenggara pemilu masih saja kuat. Selain itu pemerintah juga masih menerapkan
aturan lain yang diskriminatif terhadap partai lain tapi menguntungkan Golkar.

9
Misalnya larangan pembentukan cabang partai di bawah tingkat provinsi, pengurangan
masa kampanye—dari sebelumnya 45 hari ke 25 hari—hingga pelarangan kritik
terhadap kebijakan pemerintah. Segala pembatasan macam itu jelas tak ada
pengaruhnya bagi Golkar yang kader-kadernya menempati posisi penting dalam
birokrasi dan militer. Rezim Soeharto memanfaatkan para birokratnya untuk
memobilisasi dukungan terhadap Golkar. Caranya dengan menekan para kepala desa
untuk mengumpulkan suara bagi Golkar.

c. Senjakala Orde Baru

Setelah mengalami masa puncak pada Pemilu 1987, dukungan untuk rezim Orde Baru
mulai turun dalam Pemilu 1992. PPP dan PDI perlahan mulai berhadapan dengan
Golkar yang disokong rezim. Meski demikian, dua partai ini masih harus berhadapan
dengan serbaneka bentuk pembatasan. Pemungutan suara yang dilaksanakan pada 9
Juni 1992 menunjukkan hasil yang tak disangka-sangka. Golkar hanya mampu
membukukan suara 68 persen, merosot lima persen dibanding suaranya dalam Pemilu
1987 yang mencapai 73 persen.
Peningkatan suara justru dialami PPP dan PDI. Seturut data yang dihimpun Tim KPU,
PDI membukukan 14,89 persen suara nasional—naik empat persen dibandingkan
perolehan Pemilu 1987 yang 10 persen. Sementara itu, perolehan PPP juga naik meski
tak sesignifikan PDI. PPP berhasil memperoleh 17 persen suara nasional, artinya naik
dua persen dari perolehannya di Pemilu 1987.

C. PERJALANAN TERBENTUKNYA
PENGAWAS PEMILU

Pengawasan demokrasi di Indonesia


tidak lepas dari sumbangsih Bawaslu

10
yang dulu dikenal Panitia Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak) Pemilu. Awal
berdirinya Bawaslu dilatarbelakangi adanya krisis kepercayaan pelaksanaan pemilu.
Krisis kepercayaan inilah yang mulai dikooptasi kekuatan rezim penguasa sejak 1971.
Mulai muncul protes-protes dari masyarakat karena diduga banyaknya manipulasi yang
dilakukan  oleh petugas pemilu saat itu hal itu yang menjadi cikal bakal kehadiran
Bawaslu. Krisis kepercayaan terhadap pelaksanaan pemilu ini berlanjut hingga Pemilu
1977 dengan adanya kecurangan dan pelanggaran yang lebih masif. Kritik datang dari
politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
meminta kepada pemerintah untuk meningkatkan kualitas pemilu pada 1982 dengan
memperbaiki UU.

Barulah pada 1982, pengawas pemilu dibentuk dengan nama Panitia Pengawas
Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu). Panwaslak ini merupakan penyempurna dan
bagian dari Lembaga Pemilihan Umum (LPU) dan saat itu lembaga itu masih bagian
dari Kementrian Dalam Negeri. Era reformasi, tuntutan penyelenggara pemilu yang
bersifat mandiri tanpa dibayang- bayangi penguasa semakin kuat. Kemudian
dibentuklah lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat independen dan dinamakan
Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Sedangkan, Panwaslak juga mengalami perubahan nomenklatur menjadi Panitia


Pengawas Pemilu (Panwaslu). Setelah itu, melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 terjadi perubahan mendasar tentang kelembagaan pengawas pemilu. UU tersebut
menjelaskan pelaksanaan pengawasan pemilu dibentuk sebuah lembaga Ad hoc
(sementara) yang terlepas dari struktur KPU. Selanjutnya kelembagaan pengawas
pemilu dikuatkan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, tentang
Penyelenggara Pemilu dengan dibentuknya sebuah lembaga tetap yang dinamakan
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Seiring nama yang berubah dari Panwaslak ke Panwaslu hingga menjadi Bawaslu,
kantor lembaga pengawas demokrasi ini pun berpindah. Dalam buku Kepemimpinan
Pengawasan Pemilu Sebuah Sketa karangan Nur Hidayat Sardini disebutkan, semula
kantor Bawaslu ada di Lantai 2 Gedung KPU, pindah ke Jalan Proklamasi, Jakarta, dan
akhirnya di Jalan MH Thamrin Nomor 14, Jakarta Pusat. Penguatan terhadap lembaga
ini kembali terjadi dari lembaga Ad hoc menjadi lembaga tetap melalui Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu dengan dibentuknya

11
sebuah lembaga tetap yang dinamakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Meskipun,
aparat Bawaslu ditingkat daerah mulai dari provinsi, kabupaten kota hingga tingkat
kelurahan kewenangan pembentukannya menurut tersebut masih merupakan
kewenangan KPU. Sampai pada keputusan Mahkamah Konstitusi atas judicial review
(JR), yang dilakukan Bawaslu atas UU Nomor 22 Tahun 2007 itu yang memutuskan
kewenangan pengawas pemilu sepenuhnya menjadi wewenang Bawaslu, begitu juga
dalam merekrut pengawas pemilu yang menjadi tanggung jawab Bawaslu.

Setelah 12 Tahun berdiri lembaga ini mengalami banyak perkembangan dan


kewenangannya. Hingga kini penguatan terhadap lembaga pengawas pemilu itupun
semakin terjadi, setidaknya Bawaslu hingga tingkat kabupaten kota telah berubah
statusnya dari ad hoc menjadi permanen.

D. DASAR HUKUM KECURANGAN PEMILU

a. Kegiatan Yang Termasuk Kecurangan Pemilu

Tindak pidana Pemilihan Umum (“Pemilu”) menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan


Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana
Pemilihan dan Pemilihan Umum (“Perma 1/2018”) sebagai berikut:

Tindak Pidana Pemilihan


Umum yang selanjutnya
disebut Tindak Pidana

12
Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Sedangkan yang dimaksud dengan Pemilu menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU 7/2017”) adalah sarana
kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jenis-jenis tindak pidana pemilu diatur dalam Bab II tentang Ketentuan Pidana Pemilu
Pasal 488 s.d. Pasal 554 UU 7/2017, beberapa di antaranya yaitu:

1. Memberikan keterangan tidak benar dalam pengisian data diri daftar pemilih;

Pasal 488 Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar
mengenai diri sendiri atau diri orang lain terutang suatu hal yang diperlukan untuk
pengisian daftar Pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203, dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.

2. Kepala desa yang melakukan tindakan menguntungkan atau merugikan perserta


pemilu;

Pasal 490 Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat
keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah
satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.

3. Orang yang mengacaukan, menghalangi atau mengganggu jalannya kampanye


pemilu;

Pasal 491 Setiap orang yang mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya
Kampanye Pemilu dipidanadengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp 12 juta.

4. Orang yang melakukan kampanye pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan
KPU;

13
Pasal 492 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Kampanye Pemilu di luar
jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (“KPU”), KPU Provinsi,
dan KPU Kabupaten/Kota untuk setiap Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp 12 juta.

5. Pelaksana kampanye pemilu yang melakukan pelanggaran larangan


kampanye;

Pasal 493 Setiap pelaksana dan/atau tim Kampanye Pemilu yang melanggar larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.

6. Memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye pemilu;

Pasal 496 Peserta Pemilu yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar
dalam laporan dana Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat
(1), ayat (2), dan/atau ayat (3) serta Pasal 335 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp 12 juta.

Pasal 497 Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar
dalam laporan dana Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.

7. Menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya;

Pasal 510 Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak
pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp 24 juta.

8. Menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang


ditentukan;

Pasal 514 Ketua KPU yang dengan sengaja menetapkan jumlah surat suara yang
dicetak melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan denda paling banyak Rp 240 juta.

14
9. Memberikan suaranya lebih dari satu kali.

Pasal 516 Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara
memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu Tempat Pemungutan Suara
(“TPS”)/Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri (“TPSLN”) atau lebih, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling banyak
Rp 18 juta.

Jadi menjawab pertanyaan Anda, perbuatan-perbuatan yang dapat digolongkan sebagai


tindak pidana pemilu diatur dalam Pasal 488 s.d. Pasal 554 UU 7/2017, beberapa di
antaranya adalah sebagaimana yang kami sebutkan di atas seperti pelaksana kampanye
pemilu yang melakukan pelanggaran larangan kampanye, melakukan kampanye di luar
jadwal yang ditetapkan oleh KPU, memberikan keterangan yang tidak benar terkait
daftar pemilih, dan lain-lain.

b. Yang Berwenang Memutus Perkara Tindak Pidana Pemilu

Terkait dengan tindak pidana pemilu ini, Pasal 2 huruf b Perma 1/2018 mengatur bahwa
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi berwenang memeriksa, mengadili dan
memutus tindak pidana pemilu yang timbul karena laporan dugaan tindak pidana
pemilu yang diteruskan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota
dan/atau Panwaslu Kecamatan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia paling
lama 1 x 24 jam (satu kali dua puluh empat jam), sejak Bawaslu, Bawaslu Provinsi,
Bawaslu Kabupaten/Kota dan/atau Panwaslu Kecamatan menyatakan bahwa perbuatan
atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana pemilu.

Pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana
Pemilu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan
lain dalam UU 7/2017. Dalam hal putusan pengadilan negeri diajukan banding,
permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan.
Pengadilan tinggi memeriksa dan memutus perkara banding paling lama 7 (tujuh) hari
setelah permohonan banding diterima. Putusan pengadilan tinggi yang memeriksa dan
memutus perkara banding dalam tindak pidana pemilu merupakan putusan terakhir dan
mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.

15
E. STRATEGI MENGHINDARI ADANYA KECURANGAN PEMILU

Deteksi dini terhadap potensi pelanggaran di setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan


Gubernur, Bupati, Walikota, menjadi keharusan yang melekat pada setiap pengawas
pemilu. Karena itu pemetaan potensi-potensi berbagai pelanggaran di setiap tahapan
pilkada menjadi wajib hukumnya dalam perspektif pencegahan. Setidaknya terdapat
dua hal penting dalam pencermatan terhadap tindak pencegahan, yaitu; pertama;
pengawasan dalam bingkai pencegahan, pemahaman masyarakat akan potensi-potensi
pelanggaran yang harus diantisifasi. Kedua; potensi pelanggaran, merujuk kepada
pengalaman dan data-data penyelenggara pemilu/ pilkada masa lalu sebagai referensi.

Secara sosio-politis, masing-masing daerah mempunyai karakternya sendiri. Hal ini


mempengaruhi varian-varian pola dan kecenderungan pelanggaran, baik modus-
operandi maupun jenis pelanggarannya. Sebab itu pengenalan terhadap karakter sosial
wilayah dan pembelajaran dari data-data temuan pelanggaran pemilu/pilkada
sebelumnya menjadi penting sebagai referensi untuk memetakan pola dan trend
pelanggaran di setiap tahapan.dalam upaya menemukenali terjadinya potensi-potensi
pelanggaran di wilayah kerja masing-masing dapat dianalisis melalui dua aspek sebagai
pertimbangan:

1. Pola dan trend pelanggaran yang telah terjadi di pemilu dan/ pilkada sebelumnya, dan
2. Aspek atau aktor pelaku: merujuk kepada pemangku kepentingan utama dalam
pemilu/pilkada yaitu: (a) pemilih (masyarakat secara umum, kelompok kepentingan,
birokrasi, dll); (b) Peserta Pemilu/pilkada; dan (c) Penyelenggara pemilu.

Undang-undang nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum memberikan tugas yang
tidak ringan kepada Bawaslu, selain melakukan pencegahan Bawaslu juga dituntut
untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu dan sengketa proses Pemilu.
Dua aspek yang diamanahkan undang-undang tersebut diramu dalam definisi
pengawasan Pemilu yaitu kegiatan pengamatan, pengkajian, pemeriksaan dan penilaian
penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan peraturan perundang-undangan Pasal 94
undang-undang 7 tahun 2017 menyatakan bahwa Tugas untuk melakukan pencegahan
dilakukan dengan berbagai macam mekanisme, yaitu (1) mengindentifikasi dan
memetakan potensi kerawanan serta pelanggaran Pemilu; (2) mengoordinasi,
menyupervisi, ,membimbing, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan Pemilu;

16
(3) berkoordinasi dengan instansi pemerintah terkait; dan (4) meningkatkan partisifasi
masyarakat dalam pengawasan Pemilu.

Dalam penjabarannya keempat proses pencehan tersebut dapat dijelasan sebagai berikut
yaitu:

1. Mengindentifikasi dan memetakan potensi kerawanan serta pelanggaran Pemilu.


Sebelum melakukan pengawasan Pemilu, Bawaslu melakukan pengindentifikasian dan
memetakan potensi kerawanan. Disini merupakan tantangan bagi Bawaslu bagaimana
pengawas Pemilu lebih awal mengurai potensi kerawanan dan pelanggaran dalam setiap
tahapan Pemilu, agar potensi tersebut dapat dicegah lebih awal oleh pengawas Pemilu.
Jika sudah dilakukan upaya pencegahan, maka Bawaslu dapat segera melakukan
penindakan yang dapat memberikan efek jera terhadap pelaku pelanggaran Pemilu, hal
ini penting dilakukan agar Bawaslu mempunyai formulasi dan Teknik dalam melakukan
tindakan pengawasan;
2. Mengoordinasi, mensupervisi, membimbing, memantau dan mengevaluasi
penyelenggaraan Pemilu. Tugas tersebut sangat penting dalam rangka memastikan
bahwa pengawas Pemilu di semua tingkatan taat asas dan taat aturan dalan menjalankan
tugas, sehingga setiap saat harus berkoordinasi antar pihak, serta harus melakukan
pembinaan dan bimbingan kepada semua pihak yang tersandung perkara hukum
Pemilu, dan terus memantau penyelenggaraan Pemilu serta melakukan evaluasi hasil
pengawasan Pemilu;
3. Berkoordinasi dengan instansi pemerintah terkait; berkoordinasi dengan pemerintah
dalam hal memastikan netralitas aparatur sipil Negara (ASN), ASN tidak boleh ikut
serta dalam setiap sosialisasi maupun kampanye peserta Pemilu, karena setiap aspek
tahapan kampanye sangat rentan disusupi ASN yang ingin cari muka terhadap
incumbent atau calon lain dengan harapan imbalan jabatan ketika terpilih nanti, maupun
ASN yang bersangkutan ada hubungan kekerabatan dengan pasangan calon yang
menjadi peserta Pemilu; dan
4. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu. Dalam undang-
undang Pemilu partisipasi masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai macam cara
seperti sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, serta survei atau jejak
pendapat tentang Pemilu dan penghitungan cepat hasil Pemilu. Selain itu pula
partisipasi masyarakat dalam kepengawasan bisa di praktekkan masyarakat dalam

17
laporan pelanggaran Pemilu. Jadi, masyarakat bisa menyampaikan laporan langsung
kepada pengawas Pemilu terdekat jika ada pelanggaran Pemilu. Semakin banyak
laporan masyarakat berarti semakin baik pula tingkat partisipasi masyarakat dalam
pengawasan partisipatif,yang artinya juga sosialisasi yang dilakukan Bawaslu bisa
dikatakan sukses. Tetapi semakin sedikit laporan dari masyarakat yang diterima maka
bisa dikatakan semakin buruk pula cara dan Teknik Bawaslu mendorong pengawasan
partisipatif.

F. SANKSI PIDANA KECURANGAN DAN PELANGGARAN DI TPS

Setiap dugaan pelanggaran tentunya ada pihak yang bertanggung jawab dan
kemungkinan dikenakan sanksi termasuk sanksi pidana sebagaimana diatur UU Nomor
10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota (UU Pilkada.

Sanksi tersebut termuat dalam Pasal 177 dan Pasal 178 UU Pilkada.

 Pasal 177

Pasal 177A

1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memalsukan
data dan daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan
dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak
Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
penyelenggara Pemilihan dan/atau saksi pasangan calon dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman
pidana maksimumnya.

Pasal 177B

Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU Kabupaten/Kota, dan anggota KPU Provinsi
yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum tidak melakukan verifikasi
dan rekapitulasi terhadap data dan daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal

18
58, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan
paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 24.000.000,00 (dua
puluh empat juta rupiah) dan paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta
rupiah).

 Pasal 178

Pasal 178A

Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja melakukan perbuatan
melawan hukum mengaku dirinya sebagai orang lain untuk menggunakan hak pilih,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling
lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 24.000.000,00 (dua puluh
empat juta rupiah) dan paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

Pasal 178B

Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja melakukan perbuatan
melawan hukum memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling
lama 108 (seratus delapan) bulan dan denda paling sedikit Rp 36.000.000,00 (tiga puluh
enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 108.000.000,00 (seratus delapan juta rupiah).

Pasal 178C

1) Setiap orang yang tidak berhak memilih yang dengan sengaja pada saat pemungutan
suara memberikan suaranya 1 (satu) kali atau lebih pada 1 (satu) TPS atau lebih
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling
lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 36.000.000,00 (tiga puluh
enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
2) Setiap orang yang dengan sengaja menyuruh orang yang tidak berhak memilih
memberikan suaranya 1 (satu) kali atau lebih pada 1 (satu) TPS atau lebih dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 144
(seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp 36.000.000,00 (tiga
puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 144.000.000,00 (seratus empat puluh
empat juta rupiah).

19
3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
penyelenggara Pemilihan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimumnya.

Pasal 178D

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum


menggagalkan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36
(tiga puluh enam) bulan dan paling lama 108 (seratus delapan) bulan dan denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah).

Pasal 178E

1) Setiap orang yang dengan sengaja memberi keterangan tidak benar, mengubah,
merusak, menghilangkan hasil pemungutan dan/atau hasil penghitungan suara, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 48 (empat puluh delapan) bulan dan paling lama
144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp 48.000.000,00
(empat puluh delapan juta rupiah) dan paling banyak Rp 144.000.000,00 (seratus empat
puluh empat juta rupiah).
2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
penyelenggara Pemilihan dan/atau saksi pasangan calon dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman
pidana maksimumnya.

Pasal 178F

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum


menggagalkan pleno penghitungan suara tahap akhir yang dilakukan di KPU Provinsi
atau KPU Kabupaten/Kota pemungutan suara dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 144 (seratus empat
puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 178G

20
Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara mendampingi seorang
pemilih yang bukan pemilih tunanetra, tunadaksa, atau yang mempunyai halangan fisik
lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas
juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 178H

Setiap orang yang membantu pemilih untuk menggunakan hak pilih dengan sengaja
memberitahukan pilihan pemilih kepada orang lain, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan
denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp
36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

PENUTUP

Kesimpulan

Dari contoh kasus diatas dapat di simpulkan bahwa praktik demokrasi pada pemilihan
umum banyak dihiasi dengan praktik-praktik kecurangan yang seakan sudah mendarah
daging pada masyarakat kita. Masyarakat masih belum siap untuk hidup berdemokrasi
secara utuh, selain itu karena masih kurang tegaknya hukum di Indonesia.

Saran

Masih banyak cara untuk mencegah terjadinya kecurangan pada proses pemilu legislatif
ini.Pertama dan yang utama,para saksi yang ditunjuk oleh partai atau gabungan partai
politik harus terus mengikuti jalannya penghitungan suara dari tingkat TPS sampai ke
tingkat tertinggi. Organisasi-organisasi masyarakat sipil (CSO) harus berani dan aktif
dalam mengungkapkan apakah aparat Departemen Dalam Negeri,TNI,Polri, dan jajaran
intelijen menjadi aparat negara yang memihak atau bersifat imparsial Ketiga, media
massa juga dapat menjadi watchdog dari pelaksanaan pemilu ini. Mereka sepatutnya
menjadi salah satu tiang demokrasi yang dipercayai rakyat.

21
DAFTAR PUSTAKA

http://kalsel.bawaslu.go.id/elibrary/strategi-pengawas-pemilu-dalam-menangani-tindak-
pidana-pemilu/

https://www.beritasatu.com/nasional/415300/ini-sanksi-pidana-kecurangan-dan-
pelanggaran-di-tps

https://sejarahlengkap.com/indonesia/sejarah-pemilu-di-indonesia

https://tirto.id/rekor-kecurangan-pemilu-di-indonesia-dipegang-oleh-orde-baru-d5PK

https://www.bawaslu.go.id/id/berita/sekilas-sejarah-bawaslu-dari-awal-terbentuk

https://m.hukumonline.com/klik/detail/ulasan/lt5bc40aaec6160/perbuatan-perbuatan-
yang-termasuk-tindak-pidana-pemilu/

22

Anda mungkin juga menyukai