Anda di halaman 1dari 8

PENGELOLAAN AIR TANAH

REVIEW JURNAL

OLEH

KELOMPOK 1
NAMA ANGGOTA INDA NATU
DEWA S. GARODA
FRANSISKUS SAMBUNG
PUTRI P. D. SAUBAKI
KELAS :A
SEMESTER : VII
PRODI : TPIPP

POLITEKNIK NEGERI KUPANG


JURUSAN TEKNIK SIPIL
2022
Judul : Delineasi zona potensi airtanah menggunakan teknik penginderaan jauh,
GIS, dan AHP di wilayah selatan Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia
Jurnal : Rilo Restu Surya Atmaja* a , Doni Prakasa Eka Putraa , Lucas Donny
Setijadjia aDepartment of Geological Engineering, Faculty of
Engineering, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia;
Volume dan Halaman :
Tahun :2019
Penulis : Rilo Restu Surya Atmaja Doni Prakasa Eka Putra Lucas Donny Setijadji
Reviwer : Kelompok 1 – VII TPIPP A
Tanggal : 8 Februari 2022

1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendelineasi zona-zona potensi airtanah di dataran hard rock
wilayah selatan Banjarnegera, Indonesia menggunakan penginderaan jauh, Sistem Informasi
Geografis (SIG), dan Analytic Hierarchy Process (AHP). Peta tersebut dapat digunakan
sebagai pedoman prospektif untuk eksplorasi dan eksploitasi air tanah untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat akan air bersih.
2. Subjek Penelitian (Apa yang diteliti)
Banjarnegara terletak di bagian tengah Jawa Tengah, Indonesia. Menurut berbagai
laporan, wilayah selatan Banjarnegara mengalami kekeringan dan kelangkaan air bersih
sepanjang musim kemarau pada tahun 2017. Pemerintah setempat harus mengirimkan
bantuan air bersih kepada masyarakat secara rutin. Kekeringan tidak hanya terjadi pada tahun
2017, wilayah Banjarnegara bagian selatan telah mengalami kekeringan meteorologis sejak
tahun 1984. Puncak kemarau hingga sangat kering terjadi pada bulan Agustus hingga
November setiap tahun 7.
Berdasarkan kondisi hidrogeologi, wilayah selatan Banjarnegara merupakan wilayah
yang belum dapat dimanfaatkan airtanahnya 8. Hal ini sesuai dengan kondisi geologinya
yang terutama terdiri dari batuan beku, batuan metamorf, dan mélange.
Kumpulan batuan tersebut memiliki permeabilitas yang rendah 8. Selanjutnya, wilayah
selatan Banjarnegara dianggap sebagai daerah non cekungan airtanah 11. Oleh karena itu,
berbagai faktor penyebab kekeringan dan kelangkaan air bersih di wilayah selatan
Banjarnegara antara lain curah hujan, kondisi geologi, dan kondisi topografi yang kurang
baik.
Sekitar 85.000 orang tinggal di 18 desa di wilayah selatan Banjarnegara .Mereka
mengalami kekeringan dan kelangkaan air bersih di musim kemarau setiap tahun. Sejumlah
besar orang yang terkena dampak mendorong untuk melakukan upaya mitigasi dan
mengusulkan solusi. Penelitian ini bertujuan untuk mendelineasi zona-zona potensi airtanah
di dataran hard rock wilayah selatan Banjarnegera, Indonesia menggunakan penginderaan
jauh, Sistem Informasi Geografis (SIG), dan Analytic Hierarchy Process (AHP). Peta
tersebut dapat digunakan sebagai pedoman prospektif untuk eksplorasi dan eksploitasi air
tanah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih.
3. Assesmen Data (Sumber data)
Data curah hujan daerah penelitian diperoleh dari BPS Banjarnegara & Data dasar drainase
tersedia sebagai lapisan hidrografi yang disediakan oleh Badan Geospasial Indonesia.
4. Metode Penelitian
1. Analytic Hierarchy Process
Langkah pertama metode AHP adalah menetapkan tingkat kepentingan masing-masing
faktor berdasarkan nilai skala Saaty . Akibatnya, semua faktor dibandingkan dalam matriks
perbandingan berpasangan. Bobot yang diberikan ke lapisan tematik yang berbeda
dinormalisasi menggunakan teknik AHP Saaty. Untuk mengontrol dan menguji konsistensi
dan penilaian bobot yang ditetapkan, Rasio Konsistensi (CR) dihitung. Langkah pertama
untuk menghitung CR adalah menghitung nilai eigen maksimum (λmax). Kemudian, hitung
Consistency Index (CI) menggunakan persamaan 2, dimana n adalah jumlah faktor. CR
dihasilkan dengan membagi CI dengan RI (Rasio Index). Nilai RI diberikan berdasarkan
skala 1-9 Saaty. Jika nilai CR kurang dari 0,1, penilaian bobot dapat diterima dan konsisten.
CI = (2)
CR = (3)
2. Analisis Overlay
Kelima peta lapisan tematik diintegrasikan menggunakan ArcGIS 10.4 sebagai penjumlahan
dari faktor-faktor yang mempengaruhi airtanah secara keseluruhan untuk menghasilkan peta
potensi airtanah (GPM) wilayah studi. Rumus berikut digunakan untuk memperkirakan peta
potensi airtanah 18 51 52.
GPM = (MC1w × SC1r) + (MC2w × SC2r) + (MC3w × SC3r) + (MC4w × SC4r) + (MC5w
× SC5r) (4) di mana GPM adalah peta potensi airtanah, MC1 – MC5 adalah kriteria utama
(peta layer tematik 1-5), w adalah bobot peta tematik, SC1 – SC5 adalah subkriteria dari
setiap peta layer tematik dan r adalah subkriterianya. kriteria peringkat kelas.
5. Langkah Penelitian
6. Hasil Penelitian
1. Bobot dan Kelas Lapisan
Bobot untuk setiap faktor diputuskan berdasarkan pengalaman lapangan lokal dan pendapat
ahli. Perbandingan tingkat kepentingan kelima lapisan tematik tersebut ditampilkan dalam
matriks perbandingan berpasangan (Tabel 1). Bobot ternormalisasi disajikan pada Tabel 2.
Berdasarkan perhitungan, Consistency Ratio (CR) penelitian ini adalah 0,0095 yang berarti
bahwa penilaian matriks perbandingan berpasangan konsisten. Oleh karena itu, bobot yang
diberikan untuk kelurusan, kemiringan lereng, curah hujan, litologi, dan drainase berturut-
turut adalah 0,3892, 0,2141, 0,1987, 0,1213, dan 0,0767.
Kemudian seluruh kelurusan diolah menggunakan alat penyangga dengan lebar total 250
meter. Penyanggaan dengan lebar 250 meter dilakukan berdasarkan zona rekahan latar
belakang menurut model zona sesar oleh Braathen & Gabrielsen (2000) 53. Setiap zona
penyangga kelurusan diberi peringkat 1-5 berdasarkan interpretasi kapasitasnya untuk
mendorong terjadinya air tanah. Sesar-sesar panjang mayor diberi peringkat tertinggi 5.
Sesar-sesar lokal yang saling berhubungan dan sesar-sesar sering dikaitkan dengan peringkat
4. Sesar-sesar lokal dan patahan-patahan sering diberi peringkat sedang. Sedangkan rekahan
dan kelurusan pendek digolongkan dengan peringkat 2 karena diyakini memiliki potensi
tampungan airtanah yang rendah. Terakhir, daerah tanpa kelurusan diberi peringkat terendah,
Kemiringan daerah penelitian diklasifikasikan menjadi 5 kelas yaitu 00-100, 100-200, 200-
300, 300-450, dan > 450. Potensi air tanah terjadi pada lereng landai sampai dataran rendah
karena aliran airnya lambat dan waktu yang tersedia cukup untuk meningkatkan peresapan
air ke akuifer rekahan di bawahnya 47. Oleh karena itu, derajat kemiringan yang lebih rendah
diberi peringkat yang lebih tinggi daripada derajat kemiringan yang lebih tinggi. Kemiringan
00-100 diberi peringkat tertinggi 5. Sedangkan kemiringan lebih dari 450 diberi peringkat
terendah 1.
Data curah hujan daerah penelitian diperoleh dari BPS Banjarnegara. Terdapat beberapa
batasan curah hujan di wilayah studi sebagai berikut (1) letak stasiun curah hujan tidak
diketahui, (2) data curah hujan diatribusikan berdasarkan wilayah administrasi kecamatan,
(3) hanya satu dari 4 kecamatan yang memiliki data curah hujan tahunan yang lengkap dari
tahun 2007 sampai dengan tahun 2016. Terdapat 4 kecamatan di daerah penelitian, yaitu
kecamatan Pagedongan yang terletak paling timur dari daerah penelitian, kecamatan
Mandiraja yang terletak di paling barat wilayah penelitian, Kecamatan Bawang yang terletak
di timur tengah, dan Kecamatan Purwanegara yang terletak di barat tengah. Kecamatan
Pagedongan memiliki curah hujan tahunan rata-rata 4706 mm/tahun. Curah hujan tahunan
rata-rata 3331 mm/tahun tercatat di Kecamatan Bawang. Sedangkan Kecamatan Purwanegara
memiliki curah hujan tahunan rata-rata 3508 mm/tahun. Terakhir, Kecamatan Mandiraja
memiliki curah hujan tahunan rata-rata 3514 mm/tahun. Curah hujan diklasifikasikan
menjadi 2 kelas, 3000-4000 mm/tahun yang diberi peringkat 4, dan 4000-5000 mm/tahun
yang diberi peringkat 5 yang diperkirakan memiliki potensi airtanah tertinggi.
Batuan Kompleks Melange Luk Ulo, Serpentinite, Mafic dan Ultramafic, dan Brecciated
yang terdiri dari batuan metamorf dan batuan beku dianggap memiliki potensi airtanah paling
rendah karena permeabilitasnya lebih rendah. Formasi Batulempung Totogan dan Formasi
Tuff Waturanda diberi peringkat 2. Greywacke sebagai anggota Kompleks Luk Ulo diberi
peringkat sedang 3. Sedangkan Formasi Batupasir Waturanda diberi peringkat 4. Peringkat
tertinggi diberikan kepada Endapan Teras Kuarter dan Aluvium.
Kepadatan drainase daerah penelitian berkisar antara 1,65 km/km2 sampai dengan 5,23
km/km2. Oleh karena itu, kerapatan drainase studi diklasifikasikan menjadi 4 kelas: 1.65-2.1,
2.1-3.15, 3.15-4.2, dan 4.2-5.25 km/km2 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Kerapatan
drainase tertinggi muncul di bagian timur wilayah studi. Kepadatan drainase yang lebih
tinggi diberi peringkat yang lebih rendah, sedangkan kepadatan drainase yang lebih rendah
diberi peringkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, 4,2-5,25 km/km2 diberi peringkat
terendah 1. Sedangkan 1,65-2,1 km/km2 diberi peringkat 4.
2. Peta Zona Potensi Air Tanah
Analisis AHP sistematis pada faktor tertimbang menghasilkan peta zona potensi air tanah
menggunakan alat kalkulator raster dalam perangkat lunak ArcGIS dengan mengintegrasikan
semua peta tematik. Indeks potensi airtanah berkisar antara 1,79 hingga 4,72. Klasifikasi
zona potensi airtanah didasarkan pada metode interval yang sama. Oleh karena itu, interval
1-1,8, 1,8-2,6, 2,6-3,4, 3,4-4,2, dan 4,2-5,00 ditetapkan ke sangat rendah, rendah, sedang,
tinggi, dan sangat tinggi. Zona potensi airtanah secara sepintas sangat mencerminkan peta
lapisan kelurusan. Hampir tidak ada satupun daerah penelitian yang tergolong zona potensi
airtanah sangat rendah. Kelas ini hanya mencakup satu piksel yang setara dengan luas 1529
m2. Studi ini mengungkapkan bahwa 43,02% (37,12 km2) dari wilayah studi menunjukkan
zona potensi air tanah yang buruk (Tabel 4). Zona potensi airtanah miskin merupakan indeks
terbesar di daerah penelitian. Zona potensi airtanah buruk dicirikan dengan tidak adanya zona
kelurusan, kemiringan lereng lebih dari 200, litologi Kompleks Melange Luk Ulo,
Serpentinit, Mafik dan Ultramafik, Batuan Breksi, Formasi Batulempung Totogan, dan
Formasi Tuff Waturanda; dan kepadatan drainase yang lebih tinggi. Kumpulan batuan
tersebut terdiri dari batuan metamorf (amfibolit, serpentinit, sekis dan filit), batuan beku
(granit, porfiri, gabro, dan basal), dan batuan sedimen seperti tuf, batulempung, dan serpih.
17,98% (15,52 km2) dari wilayah studi tergolong memiliki zona potensi airtanah tinggi
sampai sangat tinggi. Sedangkan zona potensi airtanah sedang meliputi 38,99% (33,65 km2)
dari wilayah studi. Adanya zona potensi airtanah tinggi sampai sangat tinggi dapat berkaitan
dengan adanya sesar lokal yang saling berhubungan, sesar yang sering terjadi, dan sesar
besar yang panjang; greywacke, alluvium dan endapan teras tak terkonsolidasi kuaterner,
curah hujan lebih tinggi, kemiringan landai di bawah 200, dan kerapatan drainase lebih
rendah.
3. Validasi Hasil Terjadi
dan keluarnya mata air dan sumur bor digunakan untuk validasi peta potensi airtanah.
Pertama, ada 52 mata air dan 2 sumur bor di daerah penelitian yang ditemukan selama
pengamatan di musim kemarau tahun 2018. Namun, hanya ada 9 mata air dan 1 sumur bor
yang pengukuran debitnya sesuai. Debit mata air dan sumur bor berkisar antara 0,12 l/s
sampai 2 l/s. Kisaran debit mata air ini diklasifikasikan sebagai mata air dengan magnitudo
keenam berdasarkan klasifikasi mata air berdasarkan debit menurut Meinzer 53. Sedangkan
sumur bor menghasilkan 2 l/s.
Berdasarkan kemunculan mata air dan sumur bor, 1 mata air dan 1 sumur bor terletak di GPZ
sangat tinggi, 9 mata air dan 1 sumur bor di GPZ tinggi, 30 mata air di GPZ sedang, dan 12
mata air di GPZ rendah. Sementara, tidak ada pegas di GPZ yang sangat rendah. 30 mata air
terletak di zona kelurusan. Rupanya, GPZ tinggi hingga sangat tinggi dan kemunculan mata
air sesuai dengan kelurusan.
Korelasi nilai raster AHP dengan debit mata air dan sumur bor yang sesuai menunjukkan
koefisien determinasi positif (R2) sebesar 0,80 (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa peta
zona potensi airtanah yang dihasilkan dengan menggunakan integrasi teknik RS, GIS, dan
AHP di daerah penelitian memiliki hasil yang menjanjikan.
7. Kekuatan Penelitian
Dalam studi ini, potensi sumber daya air tanah dievaluasi menggunakan penginderaan jauh,
sistem informasi geografis (SIG), dan proses hierarki analitik (AHP) untuk pertama kalinya.
Model Elevasi Digital dari Misi Topografi Shuttle Radar digunakan untuk menghasilkan peta
kemiringan dan peta kerapatan drainase. Tiga citra satelit Landsat-8 digunakan untuk
menyediakan peta kerapatan kelurusan dan tutupan lahan/penggunaan lahan. Peta geologi
dan jenis tanah disediakan dari Geological Survey and Mineral Explorations of Iran (GSI).
Data Misi Pengukuran Curah Hujan Tropis digunakan untuk menyiapkan peta curah hujan
tahunan rata-rata.
8. Kelemahan Penelitian
(PUTRI INI LU CARI SU DI JURNAL YG BTA KIRIM SETELAH ITU SELESAI
BERARTI SUDAH SELESAI PRINT DENGAN JURNAL EE)
9. Kesimpulan
Berguna dan metode yang hemat biaya untuk delineasi zona potensi air tanah. Airtanah di
daerah penelitian terutama dikendalikan oleh faktor kelurusan, kemiringan lereng, curah
hujan, dan litologi. Sedangkan drainase merupakan faktor sekunder. Potensi airtanah di
wilayah studi diklasifikasikan menjadi lima yaitu potensi airtanah sangat rendah, rendah,
sedang, tinggi, dan sangat tinggi meliputi 1.529 m2 (0,00%), 37,12 km2 (43,02%), 33,65
km2 (38,99%), 14,49 km2 (16,80%), dan 1,02 km2 (1,18%) dari wilayah studi. GPZ tinggi
hingga sangat tinggi dicirikan oleh adanya sesar lokal yang saling berhubungan, sesar yang
sering terjadi, dan sesar besar yang panjang; greywacke, alluvium dan endapan teras tak
terkonsolidasi kuarter, curah hujan lebih tinggi, kemiringan landai di bawah 200. Evaluasi
dengan menggunakan debit mata air dan sumur bor menunjukkan bahwa hasil peta zona
potensi airtanah cukup menjanjikan dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,80. Peta
GPZ ini dapat menjadi panduan dan informasi dasar bagi pemerintah daerah dan perencana
tentang daerah yang menguntungkan untuk eksplorasi air tanah prospektif.

Anda mungkin juga menyukai