Anda di halaman 1dari 35

Referat Forensik

“TANATOLOGI”

Disusun oleh :

Wahyu Apriyani Eka Putri 20360227

Ratih Purwaningsih 20360212

Wiwin Anggela Sari 20360267

Dianthy Novia Eka Navis 20360177

Pembimbing :

dr. Surjit Singh, MBBS, Sp.F, DFM

KEPANITERAAN KLINIK MADYA SMF FORENSIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MALAHAYATI

RSUD HAJI MEDAN

TAHUN 2021
BAB I

PENDAHULUAN

Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari tanda – tanda kematian dan

perubahan yang terjadi setelah seseorang mati serta faktor yang

mempengaruhinya. Tanatologi merupakan ilmu paling dasar dan paling penting

dalam ilmu kedokteran kehakiman terutama dalam hal pemeriksaan jenazah

(visum et repertum).

Pada tanatologi dipelajari perubahan-perubahan pada manusia setelah

meninggal dunia. Perubahan – perubahan yang terjadi setelah kematian dibedakan

menjadi dua yaitu perubahan yang terjadi secara cepat (early) dan perubahan yang

terjadi secara lambat (late). Perubahan yang terjadi secara cepat antara lain henti

jantung, henti nafas, perubahan pada mata, suhu dan kulit. Sedangkan perubahan

yang terjadi secara lanjut antara lain kaku mayat, pembusukan, penyabunan dan

mummifikasi.

Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk menentukan apakah

seseorang benar –benar sudah meningal atau belum, menetapkan waktu kematian,

sebab kematian, cara kematian, dan mengangkat atau mengambil organ untuk

kepentingan donor atau transplantasi dan untuk membedakan perubahan-

perubahan yang terjadi post mortal dengan kelainan-kelainan yang terjadi pada

waktu korban masih hidup.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tanatologi adalah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang

mempelajari tentang kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian

serta faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut. (FKUI, 1997).

Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari tanda – tanda kematian dan

perubahan yang terjadi setelah seseorang mati serta faktor yang

mempengaruhinya. Tanatologi merupakan ilmu paling dasar dan paling

penting dalam ilmu kedokteran kehakiman terutama dalam hal pemeriksaan

jenazah (visum et repertum).

2.2 Jenis-Jenis Kematian

Jenis kematian ada 3 yaitu :

a. Mati klinis / somatis

- Proses kematian yang hanya dapat dilihat secara mikroskopis

karena terjadi gangguan pada sistem pernafasan, kardiovaskuler,

dan persarafan yang bersifat menetap.

- Ditandai dengan tidak adanya gerakan, refleks-refleks, EEG

mendatar selama 5 menit, serta tidak berfungsinya jantung dan

paru-paru.

2
- Organ – organ belum tentu mati, masih bisa dimanfaatkan untuk

transplantasi.

b. Mati seluler / molekuler

- Proses kematian sel/ jaringan setelah mati klinis.

- Waktu kematian tiap jaringan / organ berbeda. Otak merupakan

organ yang paling sensitif yaitu sekitar 3-5 menit. Jaringan otot

akan mengalami mati seluler setelah 4 jam dan kornea masih dapat

diambil dalam jangka waktu 6 jam setelah seseorang dinyatakan

mati somatis.

c. Mati cerebral

- Yaitu proses kematian yang ditandai dengan tidak berfungsinya

otak dan susunan saraf pusat. Definisi ini adalah definisi yang

diakui oleh WHO.

- Kerusakan batang otak : pernafasan berhenti namun masih bisa

dipertahankan dengan ventilator.

2.3 Manfaat Tanatologi

Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk menetapkan :

a. Waktu kematian

b. Sebab kematian pasti

c. Cara kematian (homocide, suicide, accident)

d. Transplantasi (donor organ)

3
2.4 Diagnosa Kematian dari Perubahan Cepat

Untuk mendiagnosa perubahan cepat dari kematian digunakan beberapa

alat antara lain stetoskop, lampu senter, palu reflek, EEG, dan ECG.

Prinsipnya adalah mendeteksi traktus respiratorius dan denyut jantung.

Beberapa tes yang dapat digunakan adalah :

a. Tes kardiovaskuler.

1. Magnus test

Karena jantung berhenti maka sirkulasi juga berhenti. Caranya

dengan mengikat/menutup ujung jari korban dengan karet, lalu

dilepaskan, maka tidak tampak adanya perubahan warna dari pucat

menjadi merah.

2. Diaphonos test

Caranya dengan menyinari ibu jari korban dengan lampu senter dan

tidak terlihat ada sirkulasi (warna merah terang).

3. Fluorescin test

Caranya dengan menyuntikkan zat warna fluorescin maka zat warna

fluorescin akan terlokalisir di tempat suntikan karena tidak ada aliran

darah.

4. Tes lilin

Bagian tubuh korban ditetesi lilin cair maka tidak akan terjadi

vasodilatasi (hiperemi) sebagai reaksi terhadap rangsang panas

karena sirkulasi tidak ada.

5. EKG dan Stetoskop

4
b. Tes pernafasan

1. Kaca

Tidak tampak uap air ketika kaca diletakkan di depan hidung atau

mulut korban.

2. Bulu-bulu halus

Tidak terdapat reaksi bersin/ geli ketika bulu-bulu halus diletakkan

di depan hidung korban.

3. Winslow test

Dilakukan pada orang yang pernafasannya agonal (tinggal satu-satu

nafasnya) dengan cara menempatkan cermin di dada korban dan

disinari dengan lampu senter. Bila bernafas maka sinar lampu senter

akan ikut bergerak dengan syarat pemeriksa tidak boleh bergerak.

Atau bisa menggunakan baskom berisi air yang akan bergerak bila

ada pergerakan di dada.

4. Stetoskop

c. Tes Saraf

1. Memeriksa reflex : reflex kornea

2. EEG

2.5 Perubahan-perubahan yang Terjadi Setelah Kematian

Ada 2 fase perubahan post mortem yaitu fase cepat (early) dan fase lambat

(late).

Perubahan cepat (early) :

- Tidak adanya gerakan.

5
- Jantung tidak berdenyut (henti jantung).

- Paru-paru tidak bergerak (henti nafas).

- Kulit dingin dan turgornya menurun.

- Mata tidak ada reflek pupil dan tidak bergerak.

- Suhu tubuh sama dengan suhu lingkungan lebam mayat (post mortal

lividity).

- Lebam mayat.

Perubahan lambat (late) ;

- Kaku mayat (post mortal rigidity).

- Pembusukan (decomposition).

- Penyabunan (adipocere).

- Mummifikasi.

2.6 Perubahan Mata

Perubahan mata setelah kematian dapat berupa :

- Hilangnya refleks kornea, refleks konjungtiva, dan refleks cahaya.

- Kornea menjadi pucat / opaque / keruh.

- Kelopak mata biasanya tertutup setelah kematian karena kekakuan

primer dari otot tetapi kekakuan otot biasanya sukar untuk membuat mata

menutup menjadi lengkap sehingga akan tampak sklera, sel debris,

mukus dan debu dalam beberapa jam kematian, menjadi merah

kecoklatan dan kemudian menjadi hitam (Taches Noire De La

Sclerotique).

6
- Tekanan intraokuler tidak ada. Bila jantung berhenti berdetak, tekanan

menurun sekitar setengah sampai satu jam setelah kematian dan menjadi

nol setelah 2 jam setelah kematian.

- Kadar kalium yang tinggi karena cairan bola mata keluar (jumlah

kalium yang keluar berhubungan dengan waktu kematian).

- Kedudukan pupil. Walaupun iris berespon terhadap kimia beberapa jam

setelah kematian, refleks cahaya menghilang segera saat nukleus batang

otak mengalami iskemik. Iris mengandung jaringan otot yang banyak

sehingga kehilangan tonus dengan cepat dan iris biasanya relaksasi.

2.7 Perubahan Kulit

Perubahan yang terjadi pada kulit setelah kematian dapat berupa :

- Kulit menjadi pucat.

- Elastisitas (turgor) kulit menurun sampai menghilang.

Sehingga bisa menetapkan apakah luka pada tubuh korban didapat

intravital atau post mortem, yaitu :

 Luka pada intravital akan berbekas dengan ukuran lebih kecil

daripada ukuran senjata, dermis berwarna merah, antara epidermis

dan dermis masih ada perekatnya.

 Luka post mortem membekas dengan ukuran lebih besar daripada

ukuran senjata, bahkan menganga, dermis pucat, epidermis lebih

mudah mengelupas.

- Pada kasus tenggelam, kulit tangan keriput (washer woman hand).

7
 Jika terjadi pada ujung jari saja maka kematian 4 jam yang lalu.

 Jika terjadi pada telapak tangan dan seluruh jari maka kematian 24

jam yang lalu.

 Jari tangan yang sudah terlepas digunakan untuk sidik jari.

2.8 Penurunan Suhu Tubuh (Algor Mortis / Post Mortem Cooling)

Bila telah dicapai suatu keadaan yang dikenal sebagai temperatur

gradient, yaitu suatu keadaan dimana telah terdapat perbedaan suhu yang

bertahap di antara lapisan – lapisan yang menyusun tubuh, maka penyaluran

panas dari bagian dalam tubuh ke permukaan dapat berjalan dengan lancar.

Kini penentuan suhu rektal kerap kali sangat berguna dalam investigasi

kematian yang mencurigakan, kecuali dimana tampak luar mengindikasikan

bahwa tubuh sudah didinginkan oleh suhu sekitarnya.

Faktor yang mempengaruhi penurunan suhu mayat :

- Temperatur dari tubuh saat mati.

- Perbedaan temperatur tubuh dan lingkungan.

- Keadaan fisik tubuh serta adanya pakaian atau penutup mayat.

- Ukuran tubuh.

- Aliran udara dan kelembapan.

- Post mortem caloricity.

Adalah kondisi dimana terjadi peningkatan temperatur tubuh sesudah mati

sebagai pengganti akibat pendinginan tubuh tersebut. Walaupun proses

8
glikogenolisis post mortem yang berlangsung pada kebanyakan tubuh

sesudah mati, dapat memproduksi kira – kira 140 kalori yang akan

meningkatkan suhu tubuh temperatur 2 derajat celcius.

Rumus perkiraan saat kematian berdasarkan penurunan suhu mayat pada suhu

lingkungan sebesar 70 derajat Fahrenheit (21 derajat celcius), adalah sebagai

berikut :

Saat Kematian = 98,6 o F – Suhu Rektal

1,5

Secara umum 1,5 o F / 1 o C per jam, teori lain : 0,8 o F per jam. 1,5 o F / 1 o C

per jam 6 jam pertama, 1 o F jam 6 kedua, 0,6 o F per jam 6 jam ketiga, setelah

12 jam mencapai suhu sama dengan suhu lingkungan (untuk kulit).

Sedangkan untuk organ – organ dalam : 24 jam baru bias sama dengan suhu

lingkungan. Bila tenggelam / dalam air : 6 jam sudah mencapai suhu

lingkungan.

2.9 Lebam Mayat (Livor Mortis / Post Mortem Hypostasis)

Lebam mayat atau livor mortis adalah salah satu tanda postmortem

yang cukup jelas. Biasanya disebut juga post mortem hypostasis, post mortem

lividity, post mortem staining, sugillations, vibices, dan lain – lain. Kata

hypostasis itu sendiri mengandung arti kongesti pasif dari sebuah organ atau

bagian tubuh.

Lebam terjadi sebagai akibat pengumpulan darah dalam pembuluh –

pembuluh darah kecil, kapiler, dan venula, pada bagian tubuh yang terendah.

9
Dengan adanya penghentian dari sirkulasi darah saat kematian, darah

mengikuti hukum gravitasi.

Timbulnya livor mortis mulai terlihat dalam 30 menit setelah

kematian somatis atau segera setelah kematian yang timbul sebagai bercak

keunguan. Bercak kecil ini akan semakin bertambah intens dan secara

berangsur – angsur akan bergabung selama beberapa jam kedepan untuk

membentuk area yang lebih besar dengan perubahan warna merah keunguan.

Kejadian ini akan lengkap dalam 6 -12 jam. Sehingga setelah melewati waktu

tersebut, tidak akan memberikan hilangnya lebam mayat pada penekanan.

Distribusi lebam mayat bergantung pada posisi mayat setelah

kematian. Dengan posisi berbaring terlentang, maka lebam akan jelas pada

bagian posterior bergantung pada areanya seperti daerah lumbal, posterior

abdomen, bagian belakang leher, permukaan ekstensor dari anggota tubuh

atas, dan permukaan fleksor dari anggota tubuh bawah. Area – area ini

disebut juga areas of contact flattening. Dalam kasus gantung diri, lebam

akan terjadi pada daerah tungkai bawah, genitalia, bagian distal tangan dan

lengan. Dalam kasus tenggelam, lebam biasa ditemukan pada wajah, bagian

atas dada, tangan, lengan bawah, kaki dan tungkai bawah karena pada saat

tubuh mengambang, bagian perut lebih ringan karena akumulasi gas yang

cukup banyak kuat dibanding melawan kepala atau bahu yang lebih berat.

Ekstremitas badan akan menggantung secara pasif. Jika tubuh mengalami

perubahan posisi karena adanya perubahan aliran air, maka lebam tidak akan

terbentuk.

10
Lebam mayat lama kelamaan akan terfiksasi oleh karena adanya kaku

mayat. Pertama – tama karena ketidakmampuan darah untuk mengalir pada

pembuluh darah menyebabkan darah berada dalam posisi tubuh terendah

dalam beberapa jam setelah kematian. Kemudian saat darah sudah mulai

terkumpul pada bagian – bagian tubuh, seiring terjadi kaku mayat. Sehingga

hal ini menghambat darah kembali atau melalui pembuluh darahnya karena

terfiksasi akibat adanya kontraksi otot yang menekan pembuluh darah. Selain

itu dikarenakan bertimbunnya sel – sel darah dalam jumlah cukupbanyak

sehingga sulit berpindah lagi.

Biasanya lebam mayat berwarna merah keunguan. Warna ini

bergantung pada tingkat oksigenisasi sekitar beberapa saat setelah kematian.

Perubahan warna lainnya dapat mencakup:

- Cherry pink atau merah bata (cherry red) terdapat pada keracunan oleh

carbonmonoksida atau hydrocyanic acid.

- Coklat kebiruan atau coklat kehitaman terdapat pada keracunan kalium

chlorate, potassium bichromate atau nitrobenzen, aniline, dan lain – lain.

- Coklat tua terdapat pada keracunan fosfor.

- Tubuh mayat yang sudah didinginkan atau tenggelam maka lebam akan

berada didekat tempat yang bersuhu rendah, akan menunjukkan bercak

pink muda kemungkinan terjadi karena adanya retensi dari oxyhemoglobin

pada jaringan.

- Keracunan sianida akan memberikan warna lebam merah terang, karena

kadar oksi hemoglobin (HbO2) yang tinggi

11
Perbedaan antara lebam mayat dan memar

Saat pembusukan sudah terjadi, perbedaannya akan semakin sulit karena

terjadi hemolisis darah dan difusi pigmen ke dalam jaringan sekitarnya. Saat

pembusukan berlangsung, lebam akan menjadi gelap, berubah menjadi coklat

kemudian hijau sebelum hilang seiring hancurnya sel darah.

Lebam Mayat Memar

Lokasi Bagian tubuh terbawah Dimana saja

Permukaan Tidak menimbul Bisa menimbul

Batas Tegas Tidak tegas

Warna Kebiru – biruan atau Diawali dengan merah

merah keunguan, warna yang lama kelamaan

spesifik pada kematian berubah seiring

karena kasus keracunan bertambahnya waktu

Penyebab Distensi kapiler – vena Ekstravasasi darah dari

kapiler

Efek penekanan Bila ditekan akan Tidak ada efek

memucat penekanan

Bila dipotong Akan terlihat darah yang Terlihat perdarahan pada

terjebak antara jaringan dengan adanya

pembuluh darah, tetesan koagulasi atau darah cair

akan perlahan – lahan yang berasal dari

12
pembuluh yang ruptur

Mikroskopis Unsur darah ditemukan Unsur darah ditemukan

diantara pembuluh darah diluar pembuluh darah

dan tidak terdapat dan tampak bukti

peradangan peradangan

Enzimatik Tidak ada perubahan Perubahan level dari

enzim pada daerah yang

terlibat

Kepentingan Memperkirakan waktu Memperkirakan cedera,

medicolegal kematian dan posisi saat senjata yang digunakan

mati

Tabel 1. Perbedaan antara lebam mayat dan luka memar

Lebam pada organ dalam

Karena lebam terjadi pada daerah yang mengandung pembuluh darah, maka

akan berpengaruh pada organ – organ dalam yang mengandung pembuluh

darah juga.

Lebam mayat Kongesti

Lokasi Hanya pada organ – organ Bisa seluruh atau beberapa

tertentu bagian dari organ tersebut

dipengaruhi oleh patologinya

Penyebab Distensi pasif kapiler – vena Berdasarkan patologi

13
penyakitnya

Bengkak dan oedema Tidak ada Dapat bermakna

Pada penampang potongan Darah mengalir pelan – pelan Keluar cairan, tercampur

dari kapiler yang terdistensi dengan darah

Hollow viscus Lambung atau usus saat Lambung atau usus saat

direntangkan akan tampak direntangkan akan tampak

daerah dengan perubahan perubahan warna yang

warna dan tanpa perubahan seragam

warna

Tabel 2. Perbedaan antara lebam mayat dengan proses kongesti pada

organ dalam

Aspek Medikolegal Pada Pemeriksaan Lebam Mayat

Kegunaan pemeriksaan lebam mayat :

 Dapat memperkirakan saat kematian.

 Dapat memperkirakan posisi kematian.

 Tanda pasti kematian seluler (mati yang terjadi adalah mati seluler).

 Mengetahui adanya manipulasi (perubahan pada jenazah).

 Dapat mengetahui penyebab kematian.

2.10 Kaku Mayat (Rigor Mortis / Post Mortem Stiffening)

Disebut juga cadaveric rigidity. Kaku mayat atau rigor mortis adalah

kekakuan yang terjadi pada otot yang kadang – kadang disertai dengan sedikit

14
pemendekkan serabut otot, yang terjadi setelah periode pelemasan / relaksasi

primer.

Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortal dan mencapai

puncaknya setelah 10 – 12 jam post mortal, keadaan ini akan menetap selama

24 jam, dan setelah 24 jam kaku mayat mulai menghilang sesuai dengan

urutan terjadinya, yaitu dimulai dari otot – otot wajah, leher, lengan, dada,

perut, dan tungkai.

Kekakuan pertama ditemukan pada otot – otot kecil, bukan karena itu terjadi

pertama kali disana, melainkan karena adanya sendi yang tidak luas, seperti

contohnya tulang rahang yang lebih mudah diimobilisasi.

Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme

tingkat seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang

menghasilkan energi. Energi ini digunakan untuk memecah ADP menjadi

ATP. Selama masih terdapat ATP maka serabut aktin dan miosin tetap lentur.

Bila cadangan glikogen dalam otot habis, maka energi tidak terbentuk lagi,

aktin dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku. Faktor – faktor yang

mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktifitas fisik sebelum mati, suhu

tubuh yang tinggi, bentuk tubuh yang kurus dengan otot – otot kecil dan suhu

lingkungan yang tinggi. Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa

persendian. Kaku mayat mulai tampak kira – kira 2 jam setelah mati klinis,

dimulai dari bagian luar tubuh (otot – otot kecil) ke arah dalam (sentripetal).

Teori lama menyebutkan bahwa kaku mayat ini menjalar kraniokaudal.

Setelah mati klinis 12 jam, kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan

15
selama 12 jam dan kemudian menghilang dalam urutan yang sama. Kaku

mayat umumnya tidak disertai pemendekan serabut otot, tetapi jika sebelum

terjadi kaku mayat otot berada dalam posisi teregang, maka saat kaku mayat

terbentuk akan terjadi pemendekan otot.

Proses terjadinya kaku mayat dapat melalui beberapa fase :

- Fase pertama

Sesudah kematian somatik, otot masih dalam bentuk yang normal. Tubuh

yang mati akan mampu menggunakan ATP yang sudah tersedia dan ATP

tersebut diresintesa dari cadangan glikogen. Terbentuknya kaku mayat

yang cepat adalah saat dimana cadangan glikogen dihabiskan oleh latihan

yang kuat sebelum mati, seperti mati saat terjadi serangan epilepsi atau

spasme akibat tetanus, tersengat listrik, atau keracunan strychnine.

- Fase kedua

Saat ATP dalam otot berada dibawah ambang normal, kaku akan dibentuk

saat konsentrasi ATP turun menjadi 85%, dan kaku mayat akan lengkap

jika berada dibawah 15%.

- Fase ketiga

Kekakuan menjadi lengkap dan irreversible.

- Fase keempat

Disebut juga fase resolusi. Saat dimana kekakuan hilang dan otot menjadi

lemas. Salah satu pendapat terjadinya hal ini dikarenakan proses denaturasi

dari enzim pada otot.

16
Kaku menyebar ke seluruh otot dalam beberapa kondisi dapat mencapai nilai

maksimum antara 6 – 12 jam. Kondisi ini tidak berubah sampai massa otot

mulai menjalani autolisis, dimana akan melemas berangsur – angsur kembali

seperti periode perubahan awal post – mortem. Kekakuan mayat lengkap

dapat terjadi antara 18 – 36 jam.

Rigor Mortis Pada Jaringan Tubuh

Kekakuan juga terjadi pada seluruh jaringan muskular dan organ sama seperti

terjadi pada otot skelet. Kekakuan dapat terjadi tidak sama pada tiap mata,

membuat letak pupil tidak sama, hal ini memastikan bahwa posisi post –

mortem menjadi indikator yang tidak dapat dipercaya pada kondisi toksik

atau neurologis selama hidup.

Pada jantung, kekakuan menyebabkan kontraksi ventrikel, yang menyerupai

pembesaran ventrikel kiri, hal ini dapat dihindari dengan pengukuran berat

total, menilai ukuran normal jantung kiri, mengukur ketebalan ventrikel, dan

yang paling penting dengan pembedahan dan membandingkan berat kedua

ventrikel.

Kekakuan muskulus dartos pada skrotum dapat menghimpit testes dan

epididimis, dimana akan membuat kontraksi serabut otot vesikula seminalis

dan prostat menyebabkan terjadinya ekstrusi semen dari uretra eksterna pada

post – mortem.

Kekakuan pada muskulus erector pili yang menempel pada folikel rambut

dapat mengakibatkan gambaran dengan elevasi dari folikel rambut (goose –

flesh appearence).

17
Faktor yang mempengaruhi kecepatan terjadinya rigor mortis

Sebagai suatu proses kimia, kecepatan dan durasi dari kekakuan dipengaruhi

oleh temperatur. Semakin tinggi suhu lingkungan, akan memperlambat proses

ini. Mayat yang terdapat pada daerah dingin / salju tidak akan mengalami

kekakuan bahkan sampai 1 minggu setelah kematian, namun saat mayat

tersebut dipindahkan ke tempat yang hangat, maka dengan cepat akan

mengalami kekakuan. Sebaliknya, cuaca panas atau tropis dapat

mempercepat, sehingga kekakuan akan terjadi dalam beberapa jam atau

bahkan kurang. Kekakuan total terbentuk cepat, kemudian akan hilang

semenjak hari pertama terjadinya pembusukan.

Faktor lainnya adalah aktifitas fisik sebelum mati. Ketersediaan glikogen dan

ATP dalam otot adalah elemen terpenting dalam terbentuknya kekakuan.

Kerja otot mempengaruhi interaksi dari substansi tersebut dan dapat

mempercepat onset terjadinya kekakuan. Cadaveric spasme, merupakan

bentuk variasi dari kekakuan yang dipercepat.

Kondisi rata – rata yang sering dialami pada rigor mortis :

- Jika tubuh mayat terasa hangat dan tidak kaku, maka orang itu sudah mati

tidak sampai 3 jam.

- Jika tubuh mayat terasa hangat dan kaku, maka orang itu sudah mati 3 – 8

jam lamanya.

18
- Jika tubuh mayat terasa dingin dan kaku, maka orang itu sudah mati 8 – 36

jam lamanya.

- Jika tubuh mayat terasa dingin dan tidak kaku, maka orang itu sudah mati

lebih dari 36 jam.

Faktor yang mempengaruhi onset dan durasi kaku mayat

- Temperatur

- Kondisi fisiologis sebelum mati

- Kondisi otot sebelum mati

- Pengaruh sistem saraf pusat

- Umur

Aspek Medikolegal Pada Rigor Mortis

Kegunaan pemeriksaan kaku mayat :

 Tanda pasti kematian.

 Dapat memperkirakan waktu / saat kematian.

 Dapat memperkirakan / melihat adanya tanda – tanda manipulasi.

 Dapat memperkirakan penyebab (walaupun sulit).

 Dapat memperkirakan posisi.

Bentuk - Bentuk dari Kekakuan yang Menyerupai Rigor Mortis

a. Heat Stiffening

19
Protein pada otot akan terkoagulasi pada temperatur diatas 149 derajat

Fahrenheit atau 65 derajat celcius. Paparan panas yang kuat seperti

terbakar, terekspos listrik tegangan tinggi, terendam air panas, kekakuan

terbentuk lebih kuat dibanding rigor mortis biasa. Pada otopsi, otot dapat

tampak menciut dan tampak karbonisasi ke permukaan. Dibawahnya

terdapat daerah pink kecoklatan (“cooked meat”), dan jika proses tidak

berlanjut sampai bagian bawahnya, tampak otot merah normal. Pugilistic

attitude pada tubuh yang terbakar, disebabkan karena besarnya daerah

otot fleksor dibanding otot ekstensor, yang mana terjadi pemaksaan

daerah anggota badan ke dalam posisi fleksi dan tulang belakang ke

dalam posisi opisthotonus. Heat stiffening ini tidak dapat dipatahkan

dengan menggerakan ke arah sikap ekstensi seperti halnya pada rigor

mortis, dan akan menetap sampai timbulnya pembusukan.

b. Cold Stiffening

Penurunan temperatur pada mayat dibawah 3,5 derajat celcius atau 40

derajat Fahrenheit akan menghasilkan memadatnya lemak subkutan dan

otot. Saat tubuh dibawa untuk dihangatkan, akan timbul true rigor mortis.

Pada lingkungan bersuhu dingin ekstrim, cairan tubuh juga akan

membeku termasuk persendian, sehingga bila sendi ditekuk akan

terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi. Pada temperatur yang

ekstrim, otot akan mengalami kekakuan yang palsu. Pada udara yang

sangat dingin, saat panas tubuh hilang, otot dapat mengeras karena cairan

20
tubuh menjadi beku dan memadat, seperti pada daging yang disimpan

pada freezer.

Membedakan orang mati karena kedinginan dengan orang yang telah

mati sebelum kedinginan :

 Bila orang mati di kutub -> kematian terjadi karena kedinginan.

Dingin membuat suhu tubuhnya menjadi kaku, belum terjadi rigor

mortis / kaku mayat. Sehingga apabila nanti dihangatkan, tubuh

mayat akan lemas dan kemudian terjadi rigor mortis (kaku mayat).

 Bila orang yang mati duluan, kemudian dibuang ditempat yang

dingin -> tubuh mayat yang dibuang akan tetap kaku karena udara

dingin, tetapi setelah dihangatkan tubuh mayat akan tetap lemas.

Tidak akan terjadi rigor mortis.

c. Cadaveric Spasm

Cadaveric spasm terjadi pada kematian yang disebabkan jika seseorang

berada ditengah aktifitas fisik atau emosi yang kuat, yang kemudian

menuntun pada kekakuan post – mortem instan yang sedikit kurang dapat

dipahami. Hal ini harus diawali dengan aktifitas saraf motorik, tetapi

beberapa alasan mengatakan terdapat kegagalan relaksasi normal.

Fenomena biasanya terjadi hanya pada 1 daerah otot, contohnya otot

fleksor tangan, dibanding seluruh tubuh. sesungguhnya merupakan kaku

mayat yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh

relaksasi primer. Penyebabnya adakah akibat habisnya cadangan

21
glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena

kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal.

Keuntungannya, kebanyakan penyidik dapat mengetahui saat seseorang

diduga mati dibunuh atau bunuh diri saat melihat tangannya yang

menggenggam senjata. Jika menemukan korban yang tenggelam, atau

jatuh dari ketinggian, hal ini memiliki nilai yang memastikan bahwa

orang tersebut masih hidup saat dia jatuh, dengan demikian hal ini

membedakan pada korban post – mortem yang dibuang.

Rigor Mortis Cadaveric Spasm

Onset Dikarenakan perubahan Keadaan lanjut dari

otot sesudah kematian kontraksi otot sesudah

seluler, didahului mati, dimana otot dalam

dengan primary kondisi mati seketika

flaccidity

Otot yang terlibat Semua otot dalam tubuh Otot tertentu, sesuai

keadaan kontraksi saat

mati

Intensity Moderate Sangat kuat

Durasi 12 – 24 jam Beberapa jam, sampai

digantikan posisinya

22
oleh rigor mortis

Faktor predisposisi - Rangsangan, ketakutan,

kelelahan

Mekanisme Penurunan ATP dibawah Tidak diketahui

pembentukan level kritis

Hubungan medikolegal Mengetahui waktu Mengetahui cara

kematian kematian, bisa karena

bunuh diri, kecelakaan,

atau pembunuhan

Tabel 3. Perbedaan antara rigor mortis dengan cadaveric spasm

2.11 Pembusukan (Decomposition, Putrefaction)

Merupakan tahap akhir pemutusan jaringan tubuh mengakibatkan hancurnya

komponen tubuh organik kompleks menjadi sederhana. Pembusukan

merupakan perubahan lebih lanjut dari mati seluler. Kedua proses ini

mengakibatkan dekomposisi seperti di bawah ini :

a. Autolisis.

Merupakan proses melunaknya jaringan bahkan pada keadaan steril yang

diakibatkan oleh kerja enzim digestif yang dikeluarkan sel setelah

kematian dan dapat dihindari dengan membekukan jaringan. Perubahan

autolisis awal dapat diketahui pada organ parenkim dan kelenjar.

Pelunakan dan ruptur perut dan ujung akhir esofagus dapat terjadi karena

23
adanya asam lambung pada bayi baru lahir setelah kematian. Pada

dewasa juga dapat terlihat.

b. Proses Pembusukan Bakteri.

Merupakan proses dominan pada proses pembusukan dengan adanya

mikroorganisme, baik aerobik maupun anaerobik. Bakteri pada umumnya

terdapat dalam tubuh, akan memasuki jaringan setelah kematian.

Kebanyakan bakteri terdapat pada usus, terutama Clostridium welchii.

c. Perubahan Warna.

Pembusukan diikuti dengan hilangnya kaku mayat, tetapi pada suhu yang

sangat tinggi dan kelembapan tinggi, maka pembusukan terjadi sebelum

kaku mayat hilang.

Tanda awal pembusukan adalah tampak adanya warna hijau pada kulit

dan dinding perut depan, biasanya terletak pada sebelah kanan fossa

iliaca, dimana daerah tersebut merupakan daerah colon yang

mengandung banyak bakteri dan cairan. Warna ini biasanya muncul

antara 12 – 18 jam pada keadaan panas dan 1 – 2 hari pada keadaan

dingin dan lebih tampak pada kulit cerah.

d. Pembentukan Gas Pembusukan.

Pada saat perubahan warna pada perut, tubuh mulai membentuk gas yang

terdiri dari campuran gas tergantung dari waktu kematian dan

lingkungan. Gas ini akan terkumpul pada usus dalam 12 – 24 jam setelah

kematian dan mengakibatkan perut membengkak. Dari 24 – 48 jam

24
setelah kematian, gas terkumpul dalam jaringan, cavitas sehingga tampak

mengubah bentuk dan membengkak.

Gas terkumpul diantara dermis dan epidermis membentuk lepuh. Lepuh

tersebuh dapat mengandung cairan berwarna merah, keluar dari

pembuluh darah karena tekanan dari gas. Biasanya lepuh terbentuk lebih

dahulu dibawah permukaan, dimana jaringan mengandung banyak cairan

karena oedema hipostatik. Epidermis menjadi longgar menghasilkan

kantong berisi cairan bening atau merah muda disebut skin slippage yang

terlihat pada hari 2 – 3.

Antara 3 – 7 hari setelah kematian, peningkatan tekanan gas pembusukan

dihubungkan dengan perubahan pada jaringan lunak yang akan membuat

perut menjadi lunak. Gigi dapat dicabut dengan mudah atau keropos.

Kulit pada tangan dan kaki dapat menjadi “glove and stocking”. Rambut

dan kuku menjadi longgar dan mudah dicabut.

5 – 10 hari setelah kematian, pembusukan bersifat tetap. Jaringan lunak

menjadi masa semisolid berwarna hitam yang tebal yang dapat

dipisahkan dari tulang dan terlepas. Kartilogi dan ligament menjadi

lunak.

e. Skeletonisasi.

Skeletonisasi berlangsung tergantung faktor intrinsik dan ekstrinsik dan

lingkungan dari mayat tersebut, apakah terdapat di udara, air, atau

terkubur. Pada umumnya tubuh yang terkena udara mengalami

skeletonisasi sekitar 2 – 4 minggu tetapi dapat berlangsung lebih cepat

25
bila terdapat binatang seperti semut dan lalat, dapat pula lebih lama bila

tubuh terlindungi contohnya terlindung daun dan disimpan dalam semak.

Dekomposisi berbeda pada setiap tubuh, lingkungan dan dari bagian

tubuh yang satu dengan yang lain. Terkadang, satu bagian tubuh telah

mengalami mumifikasi sedangkan bagian tubuh lainnya menunjukkan

pembusukan. Adanya binatang akan menghancurkan jaringan luna dalam

waktu yang singkat dan dalam waktu 24 jam akan terjadi skeletonisasi.

f. Pembusukan Organ Dalam.

Perubahan warna muncul pada jaringan dan organ dalam tubuh walaupun

prosesnya lebih lama dari yang dipermukaan. Jika organ lebih lunak dan

banyak vascular maka akan membusuk lebih cepat. Warna merah

kecoklatan pada bagian dalam aorta dan pembuluh darah lain muncul

pada perubahan awal. Adanya hemolisis dan difusi darah akan mewarnai

sekeliling jaringan atau organ dan merubah warna organ tersebut menjadi

hitam. Organ menjadi lunak ,berminyak, empuk dan kemudian menjadi

masa semiliquid.

Awal Akhir

Laring dan trakhea Paru – paru

Lambung dan usus Jantung

Limpa Ginjal

Omentum dan mesenterium Oesofagus dan diafragma

Hati Kandung kencing

26
Otak Pembuluh darah

Uterus gravid Prostat dan uterus

Tabel 4. Susunan perubahan pembusukan pada organ dalam

Keadaan yang mempengaruhi onset dan lama pembusukan :

a. Faktor Eksogen

1. Temperatur atmosfer.

Temperatur atmosfer lingkungan yang tinggi akan mempercepat

pembusukan. Pada umumnya, proses pembusukan berlangsung

optimal pada suhu 70 sampai 100 derajat Fahrenheit dan bila

temperatur dibawah 70 derajat Fahrenheit, proses menjadi lebih

lambat, walaupun enzim yang diproduksi bakteri terus berlangsung.

Tubuh yang sudah mati dapat diawetkan selama waktu tertentu dalam

lemari pendingin, salju, dan sebagainya. Pada beberapa kondisi

(khususnya pada bulan musim hujan), warna hijau ditemukan pada

mayat setelah 6 – 12 jam post mortem.

2. Adanya udara dan cahaya.

Secara tidak langsung, lalat dan serangga biasanya menghindari

bagian tubuh yang terekspos sinar, cenderung meletakan telurnya pada

kelopak mata, lubang hidung, dan sebagainya.

3. Terbenam dalam air.

27
Beberapa faktor dapat mempengaruhi proses dekomposisi. Air yang

diam atau mengalir, air laut atau air berpolusi, suhu air, kedalaman air

dan lainnya dapat mempengaruhi pembusukan.

4. Mengapung diatas air.

Pembentukan gas akan membantu tubuh untuk naik ke permukaan air.

Beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, pakaian, kondisi tubuh,

musim, keadaan air dapat mempengaruhi waktu mengapung yang

berperan dalam proses pembusukan dan pembentukan gas.

Penampakan warna dekomposisi pada permukaan tubuh menjadi

kacau dimana tubuh yang terendam dalam air memiliki postur tertentu

yaitu kepala dan wajah terletak lebih rendah dari bagian tubuh lainnya

karena kepala lebih berat dan padat. Bagian batang tubuh berada

paling atas dan anggota gerak tergantung secara pasif pada posisi yang

lebih rendah. Posisi ini menyebabkan darah banyak menuju kepala

dan mempercepat pembusukan.

Dekomposisi dalam air Dekomposisi pada udara

Wajah dan leher Perut

Dada Dada

Bahu Wajah

Lengan Tungkai

Perut Bahu

Tungkai Lengan

Tabel 5. Perbedaan pembusukan dalam air dan pada udara

28
5. Terkubur dalam tanah.

Pembusukan akan berlangsung lebih lama jika dikubur di tanah

kering, tanah kuburan pada dataran tinggi, atau kuburan yang dalam.

Adanya zat kimia disekitar tubuh, khususnya lemon, akan

memperlambat pembusukan.

Waktu antara saat kematian dengan saat dikuburkan dan lingkungan

sekitar tubuh pada waktu ini akan mempengaruhi proses pembusukan.

Semakin lama tubuh berada di tanah sebelum dikuburkan, maka akan

mempercepat pembusukan khususnya bila tubuh diletakkan pada

udara yang hangat.

b. Faktor Endogen

1. Sebab kematian.

Jika seseorang meninggal karena kecelakaan, pembusukan akan

berlangsung lebih lama daripada orang yang meninggal karena sakit.

Kematian karena gas gangren, sumbatan usus, bakteriemia /

septikemia, aborsi akan menunjukkan proses pembusukan yang lebih

cepat. Racun yang dapat memperlambat pembusukan yaitu potassium

sianida, barbiturat, fosfor, dhatura, strychnine, dan sebagainya. Pada

kasus strychnine, terjadi kejang yang lama dan berulang, proses

pembusukan akan dipercepat, dimana terjadi kejang dengan sedikit

kelelahan otot, pembusukan akan menjadi lebih lama. Keracunan

kronis oleh logam akan memperlambat pembusukan karena

29
memperlambat efek jaringan. Alkoholik kronik umumnya akan

mempercepat pembusukan.

Jika tubuh terurai saat kematian, anggota gerak akan menunjukkan

pembusukan yang lambat, batang tubuh akan membusuk seperti biasa.

2. Kondisi tubuh.

Kelembapan pada tubuh akan menunjang pembusukan. Cairan pada

tubuh manusia kira – kira dua per tiga dari berat badan. Maka dari itu

pada tubuh yang mengandung sedikit cairan seperti rambut, gigi,

tulang akan memperlambat pembusukan. Pada kasus dehidrasi akan

memperlambat pembusukan.

3. Pakaian pada tubuh.

Pada tubuh yang terpapar udara, pakaian dapat mempercepat

pembusukan dengan menjaga suhu tubuh tetap hangat. Pakaian yang

ketat dapat memperlambat pembusukan karena menekan bagian tubuh

sehingga darah sedikit yang terkumpul pada daerah yang tertekan.

4. Umur dan jenis kelamin.

Tubuh bayi yang baru lahir akan membusuk lebih lambat karena

masih steril. Jika bayi baru lahir tersebut mengalami trauma selama

atau setelah lahir atau sudah mendapat makanan setelah lahir, maka

akan membusuk lebih awal. Tubuh anak – anak membusuk lebih cepat

daripada orang tua, dimana pada orang tua akan membusuk lebih lama

karena mengandung cairan lebih sedikit.

30
2.12 Penyabunan (Saponifikasi)

Dikenal juga sebagai “grave wax” atau adiposera. Adiposera berasal dari

bahasa latin, adipo untuk lemak dan cera untuk lilin) berwarna utih kelabu

setelah meninggal dikarenakan dekomposisi lemak yang dikarenakan

hidrolisis dan hidrogenasi dan lemak (sel lemak) yang terkumpul di jaringan

subkutan yang menyebabkan terbentuknya lechitinase, suatu enzim yang

dihasilkan oleh Clostridium welchii, yang berpengaruh terhadap jaringan

lemak. Dengan demikian akan terbentuk asam – asam lemak bebas (asam

palmitat, stearat, oleat), ph tubuh menjadi rendah dan ini akan menghambat

bakteri untuk pembusukan dengan demikian proses pembusukan oleh bakteri

akan terhenti. Tubuh yang mengalami adiposera akan tampak berwarna putih

– kelabu, perabaan licin dengan bau yang khas, yaitu campuran bau tanah,

keju, amoniak, manis, tengik, mudah mencair, larut dalam alkohol, panas,

eter, dan tidak mudah terbakar, bila terbakar mengeluarkan nyala kuning dan

meleleh pada suhu 200 derajat Fahrenheit.

Proses pertama saponifikasi terlihat pada lemak subkutan yang berada pada

dagu, buah dada, bokong, dan perut, ini dikarenakan karena area tersebut

mempunyai lemak lebih banyak. Namun proses saponifikasi dapat terjadi di

semua bagian tubuh yamg terdapat lemak. Otot menjadi dehidrasi dan

menjadi sangat tipis, berwarna keabu – abuan. Organ – organ dalam dan paru

– paru konsistensinya menjadi seperti perkamen. Secara histologis,

makroskopis organ masih dapat dikenali. Walaupun secara mikroskopis sulit

untuk dikenali.

31
Lemak tubuh pada waktu meninggal mengandung hanya sekitar 0,5% dari

asam lemak bebas namun sekitar empat minggu setelah kematian dapat

meningkat sampai 20% dan setelah 12 minggu dapat meningkat menjadi 70%

bahkan lebih. Pada saat ini adiposera dapat terlihat dengan jelas berwarna

putih keabuan menggantikan jaringan lunak. Pada awal saponifikasi, dimana

belum terlalu jelas terlihat pemeriksaan dapat dengan menggunakan analisa

asam palmitat.

Adiposera dapat diketemukan bercampur dengan dekomposisi yang lain

tergantung dari letak tubuh dan lingkungan yang bervarias, maka salah satu

tubuh dapat menjadi saponifikasi di bagian tubuh yang lain dapat menjadi

mumifikasi atau pembusukan.

2.13 Mumifikasi

Mumifikasi adalah proses yang menginhibisi proses pembusukan alami yang

memiliki karakteristik dimana jaringan yang mengalami dehidrasi menjadi

kering, berwarna gelap, dan mengerut. Pengeringan akan menyebabkan tubuh

lebih kecil dan ringan. Dilihat dari sudut forensik, mumifikasi memberikan

keuntungan dalam bertahannya bentuk tubuh, terutama kulit dan beberapa

organ dalam, bentuk wajah secara kasar masih dapat diindentifikasi secara

visual. Mumifikasi juga dapat mempreservasi bukti terjadinya jejas yang

menunjukkan kemungkinan sebab kematian.

Proses mumifikasi juga memungkinkan dilakukannya pemeriksaan DNA,

baha pada jenasah yang berusia ratusan atau ribuan tahun. Laposan kulit luar

yang miskin akan inti sel mungkin tidak cukup baik diambil sebagai sampel,

32
namun tulang, akar rambut, organ dalam dan sisa cairan tubuh yang

mengering pada mumi dapat digunakan untuk pemeriksaan DNA. Yang harus

diingat dalam pemanfaatan mumi untuk kepentingan forensik bahwa pada

mumifikasi terjadi pengerutan kulit yang dapat menimbulkan artefak pada

kulit yang menyerupai luka / jejas terutama pada daerah pubis, daerah

disekiter leber, dan axilla.

BAB III

KESIMPULAN

1. Thanatologi bermanfaat untuk menegakkan diagnosis kematian

seseorang dan memperkirakan lama kematian seseorang yang

berguna untuk kepentingan penegakkan hukum.

2. Thanatologi sangat berperan penting dalam ilmu kedokteran

forensik terutama dalam hal pemeriksaan jenazah yaitu untuk

membedakan perubahan - perubahan yang terjadi post mortem.

3. Thanatologi penting dipelajari untuk mengetahui faktor-faktor

yang mempengaruhi perubahan pasca kematian baik faktor internal

maupun eksternal yang dapat memanipulasi sehingga gambaran

pasca kematian sulit bahkan tidak ditemukan.

33
4. Thanatologi berperan penting dalam memberi pemahaman kepada

penegak hukum mengenai istilah-istilah kematian yang sudah ada

di masyarakat untuk itu seorang dokter wajib memiliki kompetensi

didalam pemahaman menilai tanda klinis dari kematian yang sejati

sebelum membuat surat kematian.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mun’im Idries. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama.

Binarupa Aksara. Hal. 54-77

Saukko, P; Knight, B . 2004. The Pathophysiology of Death in Knight’s Forensic

Pathology. 3th edition. Hodder Arnold. Page 52-90

Shepherd, R. 2003. Changes After Death in Simpson’s Forensic Medicine. 12 th

edition. Arnold. Page 37-48

Vij,K . 2008. Death and Its Medicolegal Aspects (Forensic Thanatology) in

Textbook of Forensic Medicine and Toxicology Principles and Practice. 4th editon.

Elsivier. Page 101-133

Vass AA. Decomposition. Microbiology Today 2001 Nov (28):190-2. Available

fromS : http://www.socgenmicrobiol.org.uk/pubs/micro_today/pdf/110108.pdf.

34

Anda mungkin juga menyukai