Oleh karena itu, di dalam rencana program pemberdayaan petani/kelompok tani padi
sawah/gogo akan lebih diutamakan dengan sebesar mungkin memberdayakan
kelembagaan kelompok masyarakat lokal yang sudah ada. Dari kelembagaan petani
lokal yang sudah terpilih dan definitif, selanjutnya dilakukan revitalisasi (bahkan
dimungkinkan untuk melakukan rekonstruksi ulang) guna memperoleh kelembagan
petani yang lebih kredibel dengan situasi dan semangat otonomi daerah yang ada saat
ini. Oleh karena itu dalam mengkaji kelembagaan petani di perdesaan akan dilakukan
melalui pendekatan historis/sosiologis
Kelembagaan petani yang sudah ada harus dibangun dalam dimensi integrasi vertikal
sistem agribisnis serta mampu memberikan layanan untuk mengatasi berbagai masalah
yang dihadapi pelaku usaha agribisnis dalam hal manajemen dan kewirausahaan,
permodalan, dan teknologi, melalui penciptaan mekanisme hubungan antar pelaku (dan
calon pelaku) usaha agribisnis beras dengan berbagai kelembagaan penunjang lainnya.
Untuk itu, diperlukan peningkatan fungsi dan peran kelembagaan-kelembagaan
penunjang seperti pendidikan penyuluhan, lembaga penelitian, lembaga perkreditan,
dan percepatan pembangunan infrastruktur.
Namun, ada beberapa permasalahan dalam subsistem ini antara lain: masih rendahnya
akses petani ke sumber teknologi dan lembaga pembiayaan (kredit) baik program
maupun non-program, kebijakan pemerintah yang cenderung meliberalisasi komoditas
beras, padahal beras merupakan komoditas yang strategis (pengurangan subsidi benih
secara bertahap, penghapusan subsidi seluruh jenis pupuk, tidak adanya perlindungan
petani terhadap pemalsuan pupuk dan pestisida, pengembangan indusri ke arah industri
subtitusi impor bukan memprioritaskan alat dan mesin pertanian, pengenaan tarif impor
yang rendah, tidak mampu melindungi dari penyelundupan beras, penyerahan
pengelolaan air irigasi kepada kelembagaan P3A hingga jaringan sekunder).
a) Salah satu tujuan dari sub sistem distribusi dan pemasaran hasil yang ingin dicapai
adalah bagaimana dapat memenuhi jenis, jumlah, kualitas produk (branded rice)
yang dihasilkan harus sesuai dengan preferensi konsumen, sehingga
pengembangan diferensiasi product menurut segmen pasar menjadi sangat penting.
b) Kemudian efisiensi pemasaran yang tinggi, untuk mencapai tujuan kedua ini maka
seorang manager pemasaran harus mampu melakukan identifikasi saluran
pemasaran, struktur pasar, dan margin tata niaga, bahkan karena ketatnya
persaingan maka menjalin jaringan bisnis perlu terus dilakukan, sehingga
pengembangan differensiasi product yang dihasilkan diikuti oleh perluasan pasar.
Dalam batas-batas tertentu perlu dilakukan market intelegent.
c) Tujuan ketiga adalah mampu menyampaikan produk yang dihasilkan dengan tepat
jenis, jumlah, mutu, waktu, tempat, dan harga sesuai preferensi konsumen atau
permintaan pasar di masing-masing tujuan pasar. Dengan demikian seorang
manager pemasaran harus mampu mengidentifikasi preferensi konsumen, berapa
jumlah masing-masing jenis produk yang di butuhkan, harus di pasarkan kemana,
dan senantiasa melakukan pengembangan jaringan bisnis dan perluasan pasar.
d) Untuk mencapai ke tiga tujuan di atas harus mampu dihasilkan mekanisme
pemasaran yang efisisen dan efektif. Untuk itu perlu adanya dukungan informasi
pasar yang handal, seperti informasi supply, demand, harga, segmen-segmen
pasar, daya serap pasar, dan berbagai tujuan pasar, serta informasi lainnya.
e) Di samping itu untuk mendukung berjalannya usaha, pengoperasian armada
pengangkutan yang handal dapat memperlancar arus pendistribusian barang ke
konsumen. Penanganan pada aspek ini akan sangat menentukan keberhasilan
usaha agribisnis beras. Agar efisien maka diversifikasi usaha pengangkutan saat
kembali ke tempat semula, misalnya dengan mengangkut pupuk akan sangat
membantu.
Batasan : Fungsi kelembagaan kelompoktani dalam hal ini dibatasi sebagai gugus
kegiatan yang mencakup aspek pengadaan produksi dan asirtan, aspek managemen
produksi, aspek managemen administrasi, aspek managemen pemasaran dan aspek
pelayanan informasi untuk memperkuat kelmbagaan di tingkat petani dalam kaitanya
dengan pengoperasian STA.
(15) Kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan
tugas kontrol dari pelaksana program, bukan untuk pemberdayaan masyarakat petani
dalam kancah kegiatan ekonomi riil.
(16) Bentuk kelembagaan yang dikembangkan seragam dan bias kepada pola
kelembagaan usahatani padi sawah, khususnya sawah irigasi teknis di pantura Jawa
Barat. Hal ini karena berada dalam iklim pemerintahan yang sentralistis, dan tidak
memberi ruang pada pluralisme, sehingga kelembagaan lokal-tradisional yang mestinya
dapat dijadikan sebagai embrio bagi pengembangan kelembagaan yang lebih maju-
modern, mengalami pemudaran.
(19) Seringkali tugas pokok dan fungsi serta tujuan yang hendak dicapai bersifat
umum, bahkan terkadang sangat ideal, tetapi tidak menyentuh aktivitas ekonomi riil
yang ada pada masyarakat di pedesaan.
(20) Introduksi lebih melalui budaya material dibanding nonmaterial, atau merupakan
perubahan yang materialistik-strukturalistik. Hal ini misalnya terlihat dalam
pengembangan kelembagaan kelompok tani dan kelembagaan irigasi, sehingga lebih
mengutamakan target-target kuantitatif dibandingkan proses pembentukannya.
(21) Dalam tingkat tertentu introduksi kelembagaan baru telah merusak kelembagaan
lokal yang ada sebelumnya, dan merusakkan hubungan-hubungan horizontal. Salah
satunya adalah karena proyek yang bersifat sektoral dan diskontinyu, padahal
pengembangan kelembagaan membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu
pengembangan dan operasionalisasi STA-hortikultura merupakan kegiatan terpadu
yang melibatkan sektor produksi primer, pasca panen dan agro industri, serta
perdagangan dan distribusi merupakan langkah yang strategis.
(24) Kelembagaan kelompok tani dan petani sebagai partisipan kurang dipersiapkan
secara matang dan tidak melalui proses selektifitas yang memadai, padahal soliditas
kelembagaan yang dibangun sangat tergantung komitmen dan kesungguhan individu-
individu petani yang terlibat.
Perilaku pemerintah di atas datang dari pola pikir yang cenderung salah tentang apa itu
kelembagaan, perannya, serta potensinya jika digunakan dalam pembangunan.
Beberapa pola pikir dimaksud di antaranya adalah:
(6) Kelembagaan lokal dianggap tidak memiliki “jiwa” ekonomi yang memadai,
karena itu harus diganti. Pola pikir ini datang dari ideologi modernisasi, yang dipeluk
oleh pemimpin-pemimpin negara berkembang pada umumnya.
(7) Menganggap bahwa pola pikir masayarakat yang menghasilkan pertanian gurem
adalah permasalahan individual, bukan masalah kelembagaan, sehingga yang diberikan
adalah penerangan-penerangan, pelatihan-pelatihan, dan penyuluhan-penyuluhan untuk
memiliki nilai-nilai maju, bukan membangun kelembagaan dengan jaringan horizontal
dan vertikal.
(8) Menganggap bahwa permasalahan ada di tingkat petani belaka, bukan pada
superstrukturnya. Dengan alasan itu, dalam pelaksanaan proyek yang diperbaiki
hanyalah kelembagaan pada level bawah.
Upaya pemberdayaan petani dan usaha kecil di pedesaan melalui berbagai program
dan proyek sudah banyak dilakukan oleh pemerintah. Bappenas melalui kerjasama
dengan berbagai Departemen Teknis telah meluncurkan lebih dari 30-an program
penanggulangan kemiskinan, baik berupa program langsung, tidak langsung, maupun
melalui program khusus. Beberapa langkah konkrit yang dapat dilakukan adalah : (1)
meningkatkan akses masyarakat kepada aset produktif (lahan-modal) dan atau kegiatan
produktif seperti halnya kegiatan-kegiatan dalam STA-Hortikultura, (2) memperkuat
posisi (bargaining position) petani dalam transaksi dan dalam bermitra usaha dalam
kelembagaan STA-Hortikultura, (3) peningkatan pengembangan sumberdaya manusia
khususnya bagi petani, pelaku agribisnis, dan Aparat Dinas Teknis terkait, (4)
pengembangan agroindustri-industri berbasis komoditas hortikultura di daerah sentra-
sentra produksi hortikultura di pedesaan dalam rangka memperkuat industri rakyat, dan
(5) mendorong tumbuhnya jiwa kewirausahaan dan kewiraswastaan.