Anda di halaman 1dari 12

Selama ini agribisnis beras (produksi dan pemasaran) terutama untuk tingkat lokal

dilakukan sesuai dengan kultur daerah masing-masing. Di tingkat usahatani


kelembagaan petani yang paling memegang peranan penting adalah kelompok tani.
Hingga dewasa ini, kelompok tani - kelompok tani yang berkembang di perdesaan
berdasarkan proses pembentukan dan perkembangannya di bagi empat kategori.
1. Kelompok yang dibentuk secara formal oleh pemerintah dan berkembang melalui
proses “birokratisasi”.
2. Kelompok yang dibentuk secara formal oleh pemerintah dan berkembang melalui
proses “demokratisasi”.
3. Kelompok primer (tradisional) yang selama pemerintahan Orba dimarjinalkan
peranan sosial ekonominya dan mengalami proses “revitalisasi” dan berkembang
melalui proses “birokratisasi”.
4. Kelompok-kelompok yang dibentuk dari “bawah” dan berkembang melalui proses
“demokratisasi”.

Oleh karena itu, di dalam rencana program pemberdayaan petani/kelompok tani padi
sawah/gogo akan lebih diutamakan dengan sebesar mungkin memberdayakan
kelembagaan kelompok masyarakat lokal yang sudah ada. Dari kelembagaan petani
lokal yang sudah terpilih dan definitif, selanjutnya dilakukan revitalisasi (bahkan
dimungkinkan untuk melakukan rekonstruksi ulang) guna memperoleh kelembagan
petani yang lebih kredibel dengan situasi dan semangat otonomi daerah yang ada saat
ini. Oleh karena itu dalam mengkaji kelembagaan petani di perdesaan akan dilakukan
melalui pendekatan historis/sosiologis

 Pendekatan Kelembagaan (the Institutional Approach) yang terdiri dari


pedagang perantara (pedagang grosir dan eceran), Agent Middlemen (broker
dan komisioner), pedagang spekulan, pengolah (processors ang
manufacturing) dan organisasi-organisasi yang memberikan fasilitas
tataniaga.
 Pendekatan Perilaku (the Behavioral Approach). Pendekatan ini merupakan
kelengkapan dari pendekatan fungsi dan kelembagaan, yaitu menganalisis
aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses tataniaga seperti perubahan dan
perilaku lembaga tataniaga (organisasi) dan kombinasi fungsi-fungsi.
Pendekatan perilaku ini terdiri dari pendekatan input-output, power,
communications dan adaptive behavior system.

Kelembagaan petani yang sudah ada harus dibangun dalam dimensi integrasi vertikal
sistem agribisnis serta mampu memberikan layanan untuk mengatasi berbagai masalah
yang dihadapi pelaku usaha agribisnis dalam hal manajemen dan kewirausahaan,
permodalan, dan teknologi, melalui penciptaan mekanisme hubungan antar pelaku (dan
calon pelaku) usaha agribisnis beras dengan berbagai kelembagaan penunjang lainnya.
Untuk itu, diperlukan peningkatan fungsi dan peran kelembagaan-kelembagaan
penunjang seperti pendidikan penyuluhan, lembaga penelitian, lembaga perkreditan,
dan percepatan pembangunan infrastruktur.

Namun, ada beberapa permasalahan dalam subsistem ini antara lain: masih rendahnya
akses petani ke sumber teknologi dan lembaga pembiayaan (kredit) baik program
maupun non-program, kebijakan pemerintah yang cenderung meliberalisasi komoditas
beras, padahal beras merupakan komoditas yang strategis (pengurangan subsidi benih
secara bertahap, penghapusan subsidi seluruh jenis pupuk, tidak adanya perlindungan
petani terhadap pemalsuan pupuk dan pestisida, pengembangan indusri ke arah industri
subtitusi impor bukan memprioritaskan alat dan mesin pertanian, pengenaan tarif impor
yang rendah, tidak mampu melindungi dari penyelundupan beras, penyerahan
pengelolaan air irigasi kepada kelembagaan P3A hingga jaringan sekunder).

a) Kelembagaan pendukung yang berperan dalam penyediaan input tersebut perlu


ditingkatkan kemampuannya dalam hal manajemen, sarana prasarana, dan
permodalan.
b) Kelembagaan pendukung tersebut hendaklah kelembagaan yang telah ada di
tengah-tengah dan mengakar serta memihak kepada masyarakat petani.
c) Untuk dapat melakukan fungsinya dengan baik, pemerintah perlu memfasilitasi
kelembagaan penyedia input produksi agar memperoleh dukungan permodalan dari
lembaga keuangan yang tersedia dengan pendekatan agribisnis murni; bukan yang
sifatnya bantuan.
d) Untuk memperlancar arus input ke lahan dan menjamin kualitas produk (GKP) dari
lahan, pembangunan jalan usahatani (JUT) yang selama ini telah diprakarsai proyek
SPL-JBIC perlu diperluas jaringannya melalui pendekatan pemberdayaan kelompok
tani.

a) Salah satu tujuan dari sub sistem distribusi dan pemasaran hasil yang ingin dicapai
adalah bagaimana dapat memenuhi jenis, jumlah, kualitas produk (branded rice)
yang dihasilkan harus sesuai dengan preferensi konsumen, sehingga
pengembangan diferensiasi product menurut segmen pasar menjadi sangat penting.
b) Kemudian efisiensi pemasaran yang tinggi, untuk mencapai tujuan kedua ini maka
seorang manager pemasaran harus mampu melakukan identifikasi saluran
pemasaran, struktur pasar, dan margin tata niaga, bahkan karena ketatnya
persaingan maka menjalin jaringan bisnis perlu terus dilakukan, sehingga
pengembangan differensiasi product yang dihasilkan diikuti oleh perluasan pasar.
Dalam batas-batas tertentu perlu dilakukan market intelegent.
c) Tujuan ketiga adalah mampu menyampaikan produk yang dihasilkan dengan tepat
jenis, jumlah, mutu, waktu, tempat, dan harga sesuai preferensi konsumen atau
permintaan pasar di masing-masing tujuan pasar. Dengan demikian seorang
manager pemasaran harus mampu mengidentifikasi preferensi konsumen, berapa
jumlah masing-masing jenis produk yang di butuhkan, harus di pasarkan kemana,
dan senantiasa melakukan pengembangan jaringan bisnis dan perluasan pasar.
d) Untuk mencapai ke tiga tujuan di atas harus mampu dihasilkan mekanisme
pemasaran yang efisisen dan efektif. Untuk itu perlu adanya dukungan informasi
pasar yang handal, seperti informasi supply, demand, harga, segmen-segmen
pasar, daya serap pasar, dan berbagai tujuan pasar, serta informasi lainnya.
e) Di samping itu untuk mendukung berjalannya usaha, pengoperasian armada
pengangkutan yang handal dapat memperlancar arus pendistribusian barang ke
konsumen. Penanganan pada aspek ini akan sangat menentukan keberhasilan
usaha agribisnis beras. Agar efisien maka diversifikasi usaha pengangkutan saat
kembali ke tempat semula, misalnya dengan mengangkut pupuk akan sangat
membantu.

(1) Pengembangan Kelembagaan petani, kelembagaan petani mencakup


perangkat keras dan perangkat lunak dalam pengelolaan sumberdaya
pertanian. Secara normatif, kelembagaan petani haruslah kompatibel dengan
tugas pokok dan fungsi yang akan dijalankan. Sehingga yang perlu mendapat
perhatian serius dalam pendayagunaan sumberdaya lahan pertanian adalah
pengkajian secara mendalam tentang eksistensi kelembagaan petani yang ada
dimasyarakat. Berkaitan dengan hal ini pengembangan STA yang diinisiasi dari
kelembagaan lokal apakah kelompok tani, gabungan kelompok tani,
kelembagaan pasar lokal-tradisional, koperasi agribisnis akan mempunyai
peluang keberhasilan yang lebih besar.
Selain itu, perlu ada program penataan kelembagaan. Program ini bertujuan
untuk menata kelembagaan usaha yang lebih berimbang, merata, kukuh dan mendiri
dengan menciptakan dan mengembangkan iklim usaha yang sehat dan mendukung
berkembangnya usaha nasional melalui upaya: (1) Melanjutkan deregulasi di bidang
perpajakan, perijinan, pemasaran, perkreditan, ketenagakerjaan dan investasi sehingga
makin mendorong peningkatan efisiensi, produktivitas dan demokratisasi usaha serta
menyusun peraturan perundangan usaha nasional yang lebih menjamin kepastian dan
kesempatan berusaha serta persaingan usaha yang sehat; (2) Memperluas kesempatan
penanaman modal dengan menyederhanakan perijinan dan meningkatkan pelayanan
penanaman modal, menyediakan data dan informasi mengenai profil dan potensi
penanaman modal; (3) Mendorong pembentukan sistem kelembagaan dan pendanaan
yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan agribisnis; (4) Memberdayakan
kelembagaan pengembangan agribisnis seperti kelompok tani, koperasi, aosiasi dan
kadin; (5) Meningkatkan keterpaduan program antar instansi, lembaga dan asosiasi
dalam pembinaan dan pengembangan agribisnis; (6) Meningkatkan sumberdaya
manusia bidang agribisnis; dan (7) Meningkatkan penguasaan teknologi bidang
agribisnis.

Pelaksanaan program atau proyek pembangunan pertanian selama ini, diperoleh


kecenderungan penggunaan strategi pengembangan kelembagaan di tingkat lokal, baik
yang menyangkut pemilihan atau pengembangan kelompok tani beserta petaninya
memberikan beberapa gambaran sebagai berikut:
(1) Tujuan pembentukan kelembagaan masih terbatas pada peningkatan produksi
jangka pendek dengan penerapan teknologi produksi, khususnya penggunaan
bibit unggul, pupuk, dan obat-obatan dan belum berorientasi pada peningkatan
pendapatan petani beserta pelaku ekonomi lainnya melalui pendekatan
agribisnis secara berkelanjutan.
(2) Pembentukan kelembagaan di tingkat lokal lebih untuk memperkuat ikatan-
ikatan horizontal, namun lemah dalam ikatan vertikal baik dalam bentuk
koordinasi maupun integrasi vertikal. Kelompok tani misalnya adalah kelompok
orang yang selevel, yaitu pada kegiatan budidaya satu komoditas tertentu.
Kelembagaan tersekat-sekat, tanpa ada struktur yang koordinatif-integratif,
khususnya untuk jaringan vertikal.
(3) Kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan
tugas kontrol dari pelaksana program, bukan untuk pemberdayaan masyarakat
petani dalam kancah kegiatan ekonomi riil.
(4) Bentuk kelembagaan yang dikembangkan seragam dan bias kepada pola
kelembagaan usahatani padi sawah, khususnya sawah irigasi teknis di pantura
Jawa Barat. Hal ini karena berada dalam iklim pemerintahan yang sentralistis,
dan tidak memberi ruang pada pluralisme, sehingga kelembagaan lokal-
tradisional yang mestinya dapat dijadikan sebagai embrio bagi pengembangan
kelembagaan yang lebih maju-modern, mengalami pemudaran.
(5) Pembinaan untuk kelembagaan yang telah terbentuk cenderung individual,
misalnya dengan memfokuskan pembinaan kepada kontak-kontak tani. Ini
sesuai dengan prinsip trickle down effect dalam penyebaran informasi yang
dianut dalam penyuluhan.
(6) Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural. Struktur
dibangun lebih dahulu, tugas pokok dan fungsi serta tujuan yang ingin dicapai di
susun kemudian, sehingga seringkali ditemukan adanya kelembagaan kelompok
tani yang antara struktur dengan tugas pokok serta tujuan yang ingin dicapai
tidak kompatibel.
(7) Seringkali tugas pokok dan fungsi serta tujuan yang hendak dicapai bersifat
umum, bahkan terkadang sangat ideal, tetapi tidak menyentuh aktivitas ekonomi
riil yang ada pada masyarakat di pedesaan.
(8) Introduksi lebih melalui budaya material dibanding nonmaterial, atau merupakan
perubahan yang materialistik-strukturalistik. Hal ini misalnya terlihat dalam
pengembangan kelembagaan kelompok tani dan kelembagaan irigasi, sehingga
lebih mengutamakan target-target kuantitatif dibandingkan proses
pembentukannya.
(9) Dalam tingkat tertentu introduksi kelembagaan baru telah merusak kelembagaan
lokal yang ada sebelumnya, dan merusakkan hubungan-hubungan horizontal.
Salah satunya adalah karena proyek yang bersifat sektoral dan diskontinyu,
padahal pengembangan kelembagaan membutuhkan waktu yang lama. Oleh
karena itu pengembangan dan operasionalisasi STA-hortikultura merupakan
kegiatan terpadu yang melibatkan sektor produksi primer, pasca panen dan agro
industri, serta perdagangan dan distribusi merupakan langkah yang strategis.
(10) Pada sebagian besar program pembangunan pertanian, teknologilah sebagai
entry pointnya dalam pembangunan pertanian, bukan kelembagaan, sehingga
banyak sekali program yang bersifat tidak berkelanjutan. Pengembangan dan
operasionalisasi STA entry pointnya adalah kelembagaan STA sehingga
diharapkan dapat berkelanjutan.
(11)Kelembagaan pendukung tidak dikembangkan dengan baik, karena
pembangunan yang bersifat sektoral tersebut.
(12) Kelembagaan kelompok tani dan petani sebagai partisipan kurang dipersiapkan
secara matang dan tidak melalui proses selektifitas yang memadai, padahal
soliditas kelembagaan yang dibangun sangat tergantung komitmen dan
kesungguhan individu-individu petani yang terlibat.
Perilaku pemerintah di atas datang dari pola pikir yang cenderung salah tentang
apa itu kelembagaan, perannya, serta potensinya jika digunakan dalam pembangunan.
Beberapa pola pikir dimaksud di antaranya adalah:
(1) Kelembagaan lokal dianggap tidak memiliki “jiwa” ekonomi yang memadai,
karena itu harus diganti. Pola pikir ini datang dari ideologi modernisasi, yang
dipeluk oleh pemimpin-pemimpin negara berkembang pada umumnya.
(2) Menganggap bahwa pola pikir masayarakat yang menghasilkan pertanian gurem
adalah permasalahan individual, bukan masalah kelembagaan, sehingga yang
diberikan adalah penerangan-penerangan, pelatihan-pelatihan, dan penyuluhan-
penyuluhan untuk memiliki nilai-nilai maju, bukan membangun kelembagaan
dengan jaringan horizontal dan vertikal.
(3) Menganggap bahwa permasalahan ada di tingkat petani belaka, bukan pada
superstrukturnya. Dengan alasan itu, dalam pelaksanaan proyek yang diperbaiki
hanyalah kelembagaan pada level bawah.
(4) Pedagang dipersepsikan “buruk” dalam pengembangan usaha pertanian,
karena mengambil keuntungan terlalu besar sehingga merugikan petani,
padahal mereka mempunyai peran sentral baik dalam pengumpulan, alokasi,
dan distribusi; mereka adalah pekerja keras dan ulet; serta terkadang
menanggung resiko kerugian. Padahal semestinya juga dikembangkan suatu
kelembagaan yang mencakup pedagang di dalamnya. Program “kemitraan”
yang kemudian dikembangkan cenderung mengalami kegagalan, karena
rancang bangun kelembagaannya tidak mampu memadukan dua dunia tersebut,
yaitu antara “dunia petani” yang cenderung sosial dan “dunia pedagang” yang
bisnis.
(5) Berorientasi kepada produksi, sehingga yang dibangun adalah kelembagaan-
kelembagaan yang ada pada kegiatan produksi tersebut saja, tidak dalam
kontek peningkatan pendapatan melalui proses penciptaan nilai tambah.

Upaya pemberdayaan petani dan usaha kecil di pedesaan melalui berbagai


program dan proyek sudah banyak dilakukan oleh pemerintah. Bappenas melalui
kerjasama dengan berbagai Departemen Teknis telah meluncurkan lebih dari 30-an
program penanggulangan kemiskinan, baik berupa program langsung, tidak langsung,
maupun melalui program khusus. Beberapa langkah konkrit yang dapat dilakukan
adalah : (1) meningkatkan akses masyarakat kepada aset produktif (lahan-modal) dan
atau kegiatan produktif seperti halnya kegiatan-kegiatan dalam STA-Hortikultura, (2)
memperkuat posisi (bargaining position) petani dalam transaksi dan dalam bermitra
usaha dalam kelembagaan STA-Hortikultura, (3) peningkatan pengembangan
sumberdaya manusia khususnya bagi petani, pelaku agribisnis, dan Aparat Dinas
Teknis terkait, (4) pengembangan agroindustri-industri berbasis komoditas hortikultura di
daerah sentra-sentra produksi hortikultura di pedesaan dalam rangka memperkuat
industri rakyat, dan (5) mendorong tumbuhnya jiwa kewirausahaan dan kewiraswastaan.

Berdasarkan pengalaman kekurang berhasilan pelaksanaan program atau proyek


pembangunan ekonomi rakyat di pedesaan seperti Program Peningkatan Pendapatan
Petani –Nelayan (P4K), Program Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG), Program Kredit
Konservasi Sistem Usahatani pada Daerah Aliran Sungai (KUK-DAS), Proyek
Pembangunan Rakyat Terpadu (P2RT), Program Pembangunan Wilayah Khusus
(P2WK), dan lain-lain, di mana semua program tersebut dilakukan secara kelompok
menunjukkan bahwa kekurang berhasilan tersebut disebabkan kelemahan dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, serta dalam monitoring dan evaluasi.
Kelemahan yang mendasar adalah pembanguanan yang dilakukan dengan pendekatan
proyek tersebuat adalah lemahnya kelembagaan kelompok yang dibentuk, kelembagaan
yang dibentuk tidak dilakukan melalui proses sosial yang matang dan kurang
memperhatikan struktur atau konfigurasi jaringan kelembagaan lokal, ekonomi, dan
politik yang telah ada. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa secara umum
implementasi kelompok-kelompok yang berupa organisasi atau asosiasi ke tengah
masyarakat melaui program dan proyek menunjukkan kegagalan. Kegagalan tersebut
disebabkan pendekatan yang bersifat top-down planning serta tidak tumbuhnya
partisipasi. Oleh karena itu adanya pelatihan bagaimana mengoperasionalkan
kelembagaan STA dengan baik yang dilakukan dengan pendekatan partisipatif
diharapkan dapat meningkatkan kapasitas SDM, kinerja STA, serta menjamin
keberlanjutannya.

Kelembagaan yang terkait dengan pengembangan dan pengoperasian STA


antara lain adalah pasar, kelompok tani, koperasi, perbangkan, usaha jasa penyewaan
alat mesin pertanian maupun lembaga penelitian ataupun penyuluhan pertanian.
Lembaga-lembaga tersebut harus teridentifikasi dan tergambarkan profilnya secara
komprehensif sebagai pendukung pengoperasian dan pengembangan STA.
Keberadaan pasar, kapasitas dan radius daerah layanan merupakan hal yang harus
dipertimbangkan dalam pengembangan STA. Selebihnya merupakan lembaga-lembaga
yang keberadaannya sangat diperlukan untuk mendukung pengembangan STA,
mengingat STA diharapkan bukan hanya berfungsi sebagai sarana fisik untuk transaksi
dan bongkar muat, tetapi juga diharapkan dapat mendorong adopsi teknologi produksi
sehingga volume produksi meningkat dan memenuhi standar mutu seperti yang
diinginkan pasar.

Pengembangan Kelembagaan di Tingkat Petani


Pengembangan kelembagaan di Tingkat petani dalam rangka pengembangan
dan operasionalisasi STA hortikultura di Jawa Barat ke depan menyangkut :

1. Pentingnya pemahaman terhadap konsepsi Kelembagaan STA dalam rangka


operasionalisasi Kelembagaan STA yang mencakup : (1) batas yurisdiksi (yurisdiction of
boundary), (2) aturan representasi (rule of representation), dan (3) hak kepemilikan
(property right).
2. Proses pembentukan kelembagaan di tingkat petani dalam rangka pengelolaan STA
haruslah dilakukan melalui proses sosial yang matang. Hal ini sangat penting karena
banyak bukti empiris menunjukkan bahwa banyak kekurang berhasilan pembangunan
dalam berbagai sektor yang dilakukan pemerintah mengalami kegagalan karena
permasalahan awal dalam proses pembentukan kelembagaan.
3. Pembentukan kelembagaan di tingkat petani dalam rangka pengelolaan STA haruslah
dilakukan melalui mekanisme partisipatif, musyawarah~demokrasi, dan
selektif~profesionalisme. Di perlukan adanya inisiasi awal kelembagaan sebagai embrio
yang dapat berupa kelembagaan non formal-tradisional/sederhana ke arah
kelembagaan formal-modern.
4. Pentingnya penguatan kelembagaan di tingkat petani yang akan menyangkut : (1) aspek
teknis budidaya dan pasca panen; (2) aspek managemen dan administrasi; (3)
permodalan; dan (4) konsolidasi keanggotaannya.
5. Dalam membangun struktur organisasi kelembagaan di tingkat petani harus
mempertimbangkan beberapa hal pokok sebagai berikut : (1) struktur organisasi
kelembagaan yang dibangun harus merepresentasikan kebersamaan, adanya
kebersamaan (sense of community) akan mengurangi tekanan internal organisasi serta
dapat menjamin keberlanjutan; (2) struktur organisasi yang dibangun harus
memperhatikan kelembagaan lokal yang telah ada sehingga dapat dilakukan
transformasi dari kelembagaan lokal-non formal ke arah kelembagaan modern-formal;
(3) Struktur organisasi yang dibangun harus memperhatikan konfigurasi daerah layanan;
dan (4) Yang terpenting dalam membangun struktur organisasi kelembagaan di tingkat
petani adalah kompatibilitas antara struktur kelembagaan dengan tugas pokok dan
fungsi yang akan dijalankan.
6. Pengembangan kelembagaan kelembagaan di tingkat petani harus didukung oleh
kelembagaan Konsultan dan fasilitator hingga tingkat paling bawah yang tangguh, dalam
rangka pendampingan dalam pengembangan kelembagaan di tingkat petani.
7. Pada akhirnnya akan dapat terbentuk kelembagaan di tingkat petani yang mandiri baik
dari aspek managemen, permodalan, dan partisipasi anggotanya.

Batasan : Fungsi kelembagaan kelompoktani dalam hal ini dibatasi sebagai gugus
kegiatan yang mencakup aspek pengadaan produksi dan asirtan, aspek managemen
produksi, aspek managemen administrasi, aspek managemen pemasaran dan aspek
pelayanan informasi untuk memperkuat kelmbagaan di tingkat petani dalam kaitanya
dengan pengoperasian STA.

Pelaksanaan program atau proyek pembangunan pertanian selama ini, diperoleh


kecenderungan penggunaan strategi pengembangan kelembagaan di tingkat lokal, baik
yang menyangkut pemilihan atau pengembangan kelompok tani beserta petaninya
memberikan beberapa gambaran sebagai berikut:

(13) Tujuan pembentukan kelembagaan masih terbatas pada peningkatan produksi


jangka pendek dengan penerapan teknologi produksi, khususnya penggunaan bibit
unggul, pupuk, dan obat-obatan dan belum berorientasi pada peningkatan pendapatan
petani beserta pelaku ekonomi lainnya melalui pendekatan agribisnis secara
berkelanjutan.

(14) Pembentukan kelembagaan di tingkat lokal lebih untuk memperkuat ikatan-


ikatan horizontal, namun lemah dalam ikatan vertikal baik dalam bentuk koordinasi
maupun integrasi vertikal. Kelompok tani misalnya adalah kelompok orang yang selevel,
yaitu pada kegiatan budidaya satu komoditas tertentu. Kelembagaan tersekat-sekat,
tanpa ada struktur yang koordinatif-integratif, khususnya untuk jaringan vertikal.

(15) Kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan
tugas kontrol dari pelaksana program, bukan untuk pemberdayaan masyarakat petani
dalam kancah kegiatan ekonomi riil.

(16) Bentuk kelembagaan yang dikembangkan seragam dan bias kepada pola
kelembagaan usahatani padi sawah, khususnya sawah irigasi teknis di pantura Jawa
Barat. Hal ini karena berada dalam iklim pemerintahan yang sentralistis, dan tidak
memberi ruang pada pluralisme, sehingga kelembagaan lokal-tradisional yang mestinya
dapat dijadikan sebagai embrio bagi pengembangan kelembagaan yang lebih maju-
modern, mengalami pemudaran.

(17) Pembinaan untuk kelembagaan yang telah terbentuk cenderung individual,


misalnya dengan memfokuskan pembinaan kepada kontak-kontak tani. Ini sesuai
dengan prinsip trickle down effect dalam penyebaran informasi yang dianut dalam
penyuluhan.

(18) Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural. Struktur


dibangun lebih dahulu, tugas pokok dan fungsi serta tujuan yang ingin dicapai di susun
kemudian, sehingga seringkali ditemukan adanya kelembagaan kelompok tani yang
antara struktur dengan tugas pokok serta tujuan yang ingin dicapai tidak kompatibel.

(19) Seringkali tugas pokok dan fungsi serta tujuan yang hendak dicapai bersifat
umum, bahkan terkadang sangat ideal, tetapi tidak menyentuh aktivitas ekonomi riil
yang ada pada masyarakat di pedesaan.

(20) Introduksi lebih melalui budaya material dibanding nonmaterial, atau merupakan
perubahan yang materialistik-strukturalistik. Hal ini misalnya terlihat dalam
pengembangan kelembagaan kelompok tani dan kelembagaan irigasi, sehingga lebih
mengutamakan target-target kuantitatif dibandingkan proses pembentukannya.

(21) Dalam tingkat tertentu introduksi kelembagaan baru telah merusak kelembagaan
lokal yang ada sebelumnya, dan merusakkan hubungan-hubungan horizontal. Salah
satunya adalah karena proyek yang bersifat sektoral dan diskontinyu, padahal
pengembangan kelembagaan membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu
pengembangan dan operasionalisasi STA-hortikultura merupakan kegiatan terpadu
yang melibatkan sektor produksi primer, pasca panen dan agro industri, serta
perdagangan dan distribusi merupakan langkah yang strategis.

(22) Pada sebagian besar program pembangunan pertanian, teknologilah sebagai


entry pointnya dalam pembangunan pertanian, bukan kelembagaan, sehingga banyak
sekali program yang bersifat tidak berkelanjutan. Pengembangan dan operasionalisasi
STA entry pointnya adalah kelembagaan STA sehingga diharapkan dapat berkelanjutan.

(23) Kelembagaan pendukung tidak dikembangkan dengan baik, karena


pembangunan yang bersifat sektoral tersebut.

(24) Kelembagaan kelompok tani dan petani sebagai partisipan kurang dipersiapkan
secara matang dan tidak melalui proses selektifitas yang memadai, padahal soliditas
kelembagaan yang dibangun sangat tergantung komitmen dan kesungguhan individu-
individu petani yang terlibat.
Perilaku pemerintah di atas datang dari pola pikir yang cenderung salah tentang apa itu
kelembagaan, perannya, serta potensinya jika digunakan dalam pembangunan.
Beberapa pola pikir dimaksud di antaranya adalah:

(6) Kelembagaan lokal dianggap tidak memiliki “jiwa” ekonomi yang memadai,
karena itu harus diganti. Pola pikir ini datang dari ideologi modernisasi, yang dipeluk
oleh pemimpin-pemimpin negara berkembang pada umumnya.

(7) Menganggap bahwa pola pikir masayarakat yang menghasilkan pertanian gurem
adalah permasalahan individual, bukan masalah kelembagaan, sehingga yang diberikan
adalah penerangan-penerangan, pelatihan-pelatihan, dan penyuluhan-penyuluhan untuk
memiliki nilai-nilai maju, bukan membangun kelembagaan dengan jaringan horizontal
dan vertikal.

(8) Menganggap bahwa permasalahan ada di tingkat petani belaka, bukan pada
superstrukturnya. Dengan alasan itu, dalam pelaksanaan proyek yang diperbaiki
hanyalah kelembagaan pada level bawah.

(9) Pedagang dipersepsikan “buruk” dalam pengembangan usaha pertanian,


karena mengambil keuntungan terlalu besar sehingga merugikan petani, padahal
mereka mempunyai peran sentral baik dalam pengumpulan, alokasi, dan distribusi;
mereka adalah pekerja keras dan ulet; serta terkadang menanggung resiko kerugian.
Padahal semestinya juga dikembangkan suatu kelembagaan yang mencakup pedagang
di dalamnya. Program “kemitraan” yang kemudian dikembangkan cenderung mengalami
kegagalan, karena rancang bangun kelembagaannya tidak mampu memadukan dua
dunia tersebut, yaitu antara “dunia petani” yang cenderung sosial dan “dunia pedagang”
yang bisnis.

(10) Berorientasi kepada produksi, sehingga yang dibangun adalah kelembagaan-


kelembagaan yang ada pada kegiatan produksi tersebut saja, tidak dalam kontek
peningkatan pendapatan melalui proses penciptaan nilai tambah.

Upaya pemberdayaan petani dan usaha kecil di pedesaan melalui berbagai program
dan proyek sudah banyak dilakukan oleh pemerintah. Bappenas melalui kerjasama
dengan berbagai Departemen Teknis telah meluncurkan lebih dari 30-an program
penanggulangan kemiskinan, baik berupa program langsung, tidak langsung, maupun
melalui program khusus. Beberapa langkah konkrit yang dapat dilakukan adalah : (1)
meningkatkan akses masyarakat kepada aset produktif (lahan-modal) dan atau kegiatan
produktif seperti halnya kegiatan-kegiatan dalam STA-Hortikultura, (2) memperkuat
posisi (bargaining position) petani dalam transaksi dan dalam bermitra usaha dalam
kelembagaan STA-Hortikultura, (3) peningkatan pengembangan sumberdaya manusia
khususnya bagi petani, pelaku agribisnis, dan Aparat Dinas Teknis terkait, (4)
pengembangan agroindustri-industri berbasis komoditas hortikultura di daerah sentra-
sentra produksi hortikultura di pedesaan dalam rangka memperkuat industri rakyat, dan
(5) mendorong tumbuhnya jiwa kewirausahaan dan kewiraswastaan.

Berdasarkan pengalaman kekurang berhasilan pelaksanaan program atau proyek


pembangunan ekonomi rakyat di pedesaan seperti Program Peningkatan Pendapatan
Petani –Nelayan (P4K), Program Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG), Program Kredit
Konservasi Sistem Usahatani pada Daerah Aliran Sungai (KUK-DAS), Proyek
Pembangunan Rakyat Terpadu (P2RT), Program Pembangunan Wilayah Khusus
(P2WK), dan lain-lain, di mana semua program tersebut dilakukan secara kelompok
menunjukkan bahwa kekurang berhasilan tersebut disebabkan kelemahan dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, serta dalam monitoring dan evaluasi.
Kelemahan yang mendasar adalah pembanguanan yang dilakukan dengan pendekatan
proyek tersebuat adalah lemahnya kelembagaan kelompok yang dibentuk, kelembagaan
yang dibentuk tidak dilakukan melalui proses sosial yang matang dan kurang
memperhatikan struktur atau konfigurasi jaringan kelembagaan lokal, ekonomi, dan
politik yang telah ada. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa secara umum
implementasi kelompok-kelompok yang berupa organisasi atau asosiasi ke tengah
masyarakat melaui program dan proyek menunjukkan kegagalan. Kegagalan tersebut
disebabkan pendekatan yang bersifat top-down planning serta tidak tumbuhnya
partisipasi. Oleh karena itu adanya pelatihan bagaimana mengoperasionalkan
kelembagaan STA dengan baik yang dilakukan dengan pendekatan partisipatif
diharapkan dapat meningkatkan kapasitas SDM, kinerja STA, serta menjamin
keberlanjutannya.

Anda mungkin juga menyukai