Anda di halaman 1dari 7

SEJARAH

PERKEMBANGAN
BAHASA INDONESIA
Nama: Ridho Bananul Ikram
NIM: I011211183
BAHASA INDONESIA

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa
Indonesia. Bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak varietas bahasa Melayu. Bahasa Indonesia
diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya,
bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa
kerja. Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang digunakan di Negara Republik Indonesia (NKRI).
Pada perkembangannya, dengan semakin pesatnya arus globalisasi, modernisasi, ilmu pengetahuan,
teknologi, Bahasa Indonesia harus dapat menjadi sebuah instrumen dalam melakukan komunikasi utama di
Indonesia

Dasar bahasa Indonesia baku adalah bahasa Melayu Riau. Dalam perkembangannya, bahasa ini
mengalami perubahan akibat penggunaannya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan
berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "bahasa Indonesia" diawali sejak
dicanangkannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa"
apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya bahasa Indonesia saat
ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau dan kepulauan maupun Semenanjung Malaya. Hingga
saat ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik
melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
SEJARAH
(ZAMAN KERAJAAN HINDU-BUDHA)

Sejumlah prasasti berbahasa Melayu Kuno dari Sriwijaya ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatra. Hal ini
menunjukkan bahwa bahasa Melayu menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah yang strategis untuk
pelayaran dan perdagangan. Istilah Melayu adalah sebutan untuk Malaya, wilayahnya sendiri, yang sendiri berasal
dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Buddha yang bertempat di hulu sungai Batang Hari. Pada awalnya,
istilah tersebut merujuk pada wilayah kerajaan Melayu yang yang merupakan bagian wilayah pulau Sumatra. Namun,
seiring berkembangnya zaman, istilah Melayu mencakup wilayah geografis tidak hanya merujuk pada Kerajaan
Melayu, melainkan negeri-negeri di pulau Sumatra. Karena itu, Sumatra dijuluki sebagai Bumi Melayu (Tanah Melayu),
yang disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.

Dalam perkembangannya, bangsa Melayu melakukan migrasi besar-besaran ke Semenanjung Malaysia (Hujung
Medini) dan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka pada masa
perkembangannya. Istilah Melayu kemudian bergeser kepada Semenanjung Malaka (Semenanjung Malaysia) yang
akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Semenanjung Tanah Melayu. Akan tetapi, kenyataannya adalah istilah
Melayu itu berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat
"e". Pada tahun 1512, Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis sehingga penduduknya diaspora sampai ke
kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, yang
membuat kemungkinan bahwa pemakai bahasa Melayu pertama bukanlah penduduk Sumatra, melainkan Kalimantan.
Suku Dayak diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatra, misalnya: Dayak Salako, Dayak
Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban. Aksen Melayu pada saat itu berlogat "a" seperti bahasa Melayu baku.
Penduduk Sumatra menuturkan bahasa Melayu setelah kedatangan leluhur suku Nias dan suku Mentawai.
Dalam perkembangannya, istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan
Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara. Secara sudut pandang historis, juga dipakai sebagai nama bangsa yang
menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto
Melayu (Melayu Tua/Melayu-Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah mengalami kurun masa yang panjang
sampai dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan
makna menjadi sebuah etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya di dalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari
beberapa unsur etnik.

M. Muhar Omtatok, seorang seniman, budayawan dan sejarawan menjelaskan sebagai berikut: "Melayu secara puak
(suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak
Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya". Beberapa tempat di Sumatra Utara,
ada beberapa komunitas berdarah Batak yang mengaku sebagai Orang Kampong–Puak Melayu".

Diketahui, kerajaan Sriwijaya menuturkan bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuno) sebagai bahasa
kenegaraan sejak abad ke-7 M. Lima prasasti kuno yang ditemukan di Sumatra bagian selatan peninggalan kerajaan itu
menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari
cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan juga dokumen-dokumen dari
abad berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau Luzon. Sejak itu, kata-kata seperti istri, raja, putra, kawin, dan lain-lain masuk
pada periode tersebut hingga abad ke-15 M.
LATAR BELAKANG

Bahasa Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Kongre Pemuda
II tanggal 28 Oktober 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional
berdasarkan usulan Muhammad Yamin. Dalam pidatonya pada kongres tersebut, Yamin mengatakan, "Jika mengacu pada
masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan
menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Akan tetapi, dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat
laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.“

Penggantian nama dari bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia mengikut usulan dari Mohammad
Tabrani pada Kongres Pemuda I yang beranggapan bahwa jika tumpah darah dan bangsa tersebut dinamakan Indonesia,
maka bahasanya pun harus disebut bahasa Indonesia. Kata "bahasa Indonesia" sendiri telah muncul dalam tulisan-tulisan
Tabrani sebelum Sumpah Pemuda diselenggarakan. Kata "bahasa Indonesia" pertama kali muncul dalam harian Hindia
Baroe pada tanggal 10 Januari 1926. Pada 11 Februari 1926 di koran yang sama, tulisan Tabrani muncul dengan judul
"Bahasa Indonesia" yang membahas tentang pentingnya nama bahasa Indonesia dalam konteks perjuangan bangsa.
Tabrani menutup tulisan tersebut dengan:"Bangsa dan pembaca kita sekalian! Bangsa Indonesia belum ada. Terbitkanlah
bangsa Indonesia itu. Bahasa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bahasa Indonesia itu. Karena menurut keyakinan kita
kemerdekaan bangsa dan tanah air kita Indonesia ini terutama akan tercapai dengan jalan persatuan anak-Indonesia yang
antara lain-lain terikat oleh bahasa Indonesia.“

Pada tanggal 25-28 Juni 1938, dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu, dapat
disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh
cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu. Kongres Bahasa Indonesia kemudian rutin digelar lima tahunan untuk
membahasa perkembangan bahasa Indonesia.
Untuk menjaga eksistensi bahasa Indonesia, telah diadakan 10 kali kongres bahasa Indonesia yang
bertujuan untuk memelihara dan menjaga eksistensi bahasa Indonesia di dalam perkembangan globalisasi dan
modernisasi. Kongres bahasa Indonesia yang 1 dilaksanakan di Kota Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 25-28 Juni
Tahun 1938, Kongres bahasa Indonesia II dilaksanakan di Kota Medan, Sumatra Utara, pada 28 Oktober-1
November 1954, Kongres bahasa Indonesia III dilaksanakan di Ibukota Jakarta, pada 28 Oktober-2 November
1978, Kongres bahasa Indonesia IV diselenggarakan di Jakarta, dari 21-26 November 1983, Kongres bahasa
Indonesia yang V dilaksanakan di Jakarta, pada 28 Oktober-3 November 1988, Kongres bahasa Indonesia yang VI
dilaksanakan di Jakarta, yakni pada 28 Oktober-2 November 1993, Kongres bahasa Indonesia VII dilaksanakan di
Hotel Indonesia, Jakarta, yakni pada 26-30 Oktober 1998, Kongres bahasa Indonesia VIII diselenggarakan di
Jakarta, yakni pada 14-17 Oktober 2003, Kongres bahasa Indonesia IX dilaksanakan di Jakarta, yakni pada 28
Oktober -1 November 2008, Kongres bahasa Indonesia yang X dilaksanakan di Jakarta, yakni pada 28-31 Oktober
2013.
Berikut adalah perubahan ejaan dari van Ophuijsen hingga EBI

van Ophuijsen Soewandi Pembaruan Melindo Ejaan Baru EYD EBI


(1901) (1947) (1957) (1959) (1966) (1972) (2015)

j J y y y y y

nj nj ñ ɳ ny ny ny

ng ng ɳ ɳ ng ng ng

sj - ś Ŝ sy sy sy

oe u u u u u u

ai ai ay ay ai ai ai

Anda mungkin juga menyukai