Anda di halaman 1dari 11

PROSIDING

COMNEWS 2019
e-ISSN 2656-730X

THE POWER OF EMAK-EMAK MELAWAN HOAKS


POTENSI PERLAWANAN HOAKS MELALUI PEMBERDAYAAN
PEREMPUAN

Citra Indah Lestari1, Dwi Ajeng Widarini2


1
Universitas Multimedia Nusantara
2
Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)

citra.lestari@lecturer.umn.ac.id,
ajengsastroprawiro@dsn.moestopo.ac.id

Abstrak

Literasi digital menjadi salah satu solusi untuk melawan kecepatan disinformasi dan misinformasi yang
tersebar melalui internet. Namun, bagaimana sebuah mekanisme Pendidikan tersebut dapat melawan deras
dan cepatnya serbuan disinformasi dan misinformasi? Paparan ini menyajikan studi kasus mengenai
pemahaman dan rasionalitas perempuan pada penggunaan internet dan penyebaran hoaks, serta melihat
potensi kuasa (power) perempuan sebagai agen perubahan (agent of change) dalam menyebarkan virus anti
hoaks dan mengklaim kembali manfaat positif internet bagi mereka sendiri, anak-anaknya, keluarganya,
dan juga komunitas di sekitar mereka. Studi dilakukan bersama perempuan kelas menengah bawah di tiga
wilayah sub-urban Indonesia, dengan usia 35-50 tahun, dan pengguna internet aktif. Studi menemukan
pengetahuan dan kemampuan perempuan dalam penggunaan internet sangat terbatas pada media sosial
seperti facebook dan whatsapp, tanpa pengetahuan mengenai peramban atau browser serta kredibilitas
pembuat berita. Keterbatasan pengetahuan ini menjadikan pengecekan fakta tidak pernah dilakukan.
Penggunaan internet oleh perempuan sebagai generasi digital immigrant bergantung pada generasi digital
native dalam mengoperasikan internet. Namun, studi ini juga menemukan bagaimana perempuan yang
menjalankan berbagai peran sentral dalam ranah publik dan domestik secara simultan memiliki potensi
kuasa (power) dalam menularkan virus anti hoaks secara cepat; serta dalam menjalankan peran gatekeeper
dalam menangkis hoaks bagi keluarga dan sistem sosialnya.

Kata Kunci: internet, literasi digital, anti-hoaks, pemberdayaan perempuan

PENDAHULUAN media sosial yang paling banyak digunakan


Berdasarkan laporan Asosiasi pengguna aktif di Indonesia adalah youtube,
Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia facebook, whatsapp dan instagram.
(APJII) mengenai survei penetrasi dan perilaku Penggunaan internet oleh perempuan
pengguna internet Indonesia pada tahun 2017, yang belum seimbang dengan kelompok laki-
pengguna internet berdasarkan jenis kelamin laki, dapat menyebabkan ketimpangan dalam
adalah 48,57% perempuan dan 51,43% laki- memperoleh informasi. Data dari Open Data
laki, dengan layanan yang diakses oleh Labs (2018) menyatakan bahwa dari 48,57%
pengguna internet sebanyak 89,35 % digunakan pengguna internet di kalangan perempuan,
untuk chatting dan 87,13 % dipergunakan untuk hanya 26 % yang menggunakannya untuk
media sosial. menurut We Are Social, platform mengekspresikan pandangan mereka dan hanya

141
PROSIDING COMNEWS 2019
e-ISSN 2656-730X

5% yang mencari informasi mengenai hak meningkatkan kualitas diri sebagai pribadi, ibu
mereka. maupun sebagai anggota masyarakat.
Penggunaan internet yang masih Literasi digital di Indonesia saat ini
terbatas dikalangan perempuan inisalah satunya sudah diselenggarakan di sejumlah kota dengan
diakibatkan oleh minimnya pengetahuan literasi sasaran khalayak yang berbeda-beda.
digital untuk perempuan. Potensi penggunaan Berdasarkan penelitian mengenai “Peta
internet dalam meningkatkan kehidupan Gerakan Literasi Digital di Indonesia: Studi
perempuan terkendala kemampuan perempuan tentang Pelaku, Ragam Kegiatan, Kelompok
dalam mengakses internet bagi pengembangan Sasaran dan Mitra”, terdata kelompok sasaran
dirinya. kegiatan literasi digital di sejumlah kota di
Akses perempuan untuk mengadopsi Indonesia. Kelompok siswa/pelajar/remaja
pengetahuan mengenai internet dan sebanyak (29,55%) mahasiswa (18,5%),
kegunaannya bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat umum (15,22%), orangtua
masih kurang dilakukan. Salah satu yang (12,23%), guru dan dosen (10,14%). Sisanya
menjadi kendala adalah terbatasnya kesempatan menarget pihak-pihak seperti ormas, LSM,
bagi untuk mengembangkan potensi dirinya pemerintah, dan media, dengan porsi sebesar
dalam penggunaan teknologi. Dalam laporan 6,86% (Kurnia &Astuti, 2018).
jurnal perempuan mengenai sejumlah penelitian Meski belum ada data secara spesifik
terkait partisipasi perempuan dalam aktivitas mengenai jumlah orang tua perempuan atau
daring, kendala tersebut disebabkan sikap laki-laki dalam data ini, namun setidaknya
perempuan yang gugup dan rasa tidak percaya dapat menggambarkan orang tua yang menjadi
diri ketika bekerja menggunakan komputer kelompok dalam kegiatan literasi digital
atau internet (Triastuti, 2013: 78). persentasenya tidak besar atau bukan sasaran
Pemahaman literasi digital di kalangan utama dalam memperoleh pengetahuan
perempuan usia 35-50 tahun yang bekerja penggunaan internet.
ataupun ibu rumah tangga, dengan latar Kebanyakan orang tua, yang berasal
belakang ekonomi menengah ke bawah perlu dari generasi baby boomers dan generasi X
dilakukan guna meningkatkan pemahaman mengalami pola perpindahan dari sistem analog
penggunaan internet. Literasi digital menurut ke sistem digital atau yang biasa disebut dengan
Glister (1997: 2) merupakan kemampuan untuk digital immigrant. Para digital immigrant, pada
mengakses jaringan komputer dan suatu titik dalam hidupnya merasa perlu
menggunakannya. Literasi digital merupakan memiliki bekal pengetahuan penggunaan
kemampuan untuk mengerti dan menggunakan internet guna meningkatkan kualitas hidup dan
informasi dengan berbagai macam format dan beradaptasi dalam melakukan pemilahan
sumber yang berbeda yang ditampilkan di layar informasi (Prensky, 2001).
komputer. Pengguna tidak hanya memahami Literasi digital khususnya untuk
bagaimana cara untuk mendapatkan informasi, kalangan perempuan berusia 35-50 tahun
tapi juga bagaimana menggunakan informasi (mature) di daerah urban dan sub urban,
tersebut untuk meningkatkan kualitas hidupnya. menjadi penting karena pertumbuhan
Dalam hal ini, perempuan tidak hanya infrastruktur yang semakin baik, menyebabkan
mengerti dan menggunakan informasi yang penetrasi penggunaan internet di lingkungan ini
ditampilkan di dunia maya, namun juga dapat meningkat. Berdasarkan pernyaatan Kominfo,
menggunakannya sebagai salah satu cara untuk 97% persen penduduk Indonesia sudah bisa
memberdayakan diri mereka, dan menikmati layanan 4G (Hutabarat, 2019). Data
dari Google (2018) juga menyatakan bahwa
142
PROSIDING COMNEWS 2019
e-ISSN 2656-730X

penduduk Indonesia di luar kota besar Berdasarkan temuan-temuan ini, literasi


Indonesia kini semakin terkoneksi dengan digital di kalangan perempuan, terutama yang
internet. Sebanyak 46% pencarian terhadap berusia matang menjadi penting untuk menjadi
paket internet terjadi di luar enam kota besar pondasi dalam melakukan filter bagi banyaknya
Indonesia. informasi yang mereka terima dari saluran
Fakta ini menunjukkan aksesibilitas media sosial maupun aplikasi percakapan,
masyarakat terhadap internet semakin merata, sekaligus memberikan ruang untuk melakukan
dan telah menjangkau segmen sosio-ekonomi pemberdayaan diri mereka.
yang semakin beragam. Selain dampak positif Namun, bagaimana sebuah mekanisme
dengan adanya pertumbuhan penggunaan pendidikan semacam literasi digital dapat
internet, kesiapan masyarakat dan kerentanan melawan deras dan cepatnya serbuan
terhadap dampak negatif internet pun disinformasi dan misinformasi pada masyarakat
bertumbuh. kita?
Berkembangnya informasi hoaks dalam Penelitian ini mencoba melihat
bidang kesehatan, pendidikan dan kejadian pemahaman dan rasionalitas penggunaan
sosial lainnya, menjadikan perempuan sebagai internet dan penyebaran hoaks pada perempuan
kelompok yang rentan, baik itu menjadi korban kelas menengah bawah di tiga wilayah sub-
atau menjadi tersangka dalam penyebaran urban Indonesia, dengan usia 35-50 tahun yang
hoaks.Data dari Mabes Polri yang merilis mengikuti pelatihan literasi digital. Penelitian
identitas tersangka penyebar hoaks yang ini juga berusaha melihat potensi pelatihan
ditangkap dalam kurun waktu 31 Oktober - 6 literasi digital bagi perempuan dengan beragam
November 2018 mengungkapkan ibu rumah peran publik dan domestik dalam menghentikan
tangga (20 - 42 tahun) mendominasi sebagai arus kuat penyebaran hoaks dalam sistem
tersangka penyebar hoaks. Hoaks yang sosialnya.
disebarkan dari mulai kasus penculikan anak
sampai dengan kecelakaan Lion Air. Ibu rumah
tangga ini, bukan pembuat konten hoaks, METODE
namun terlibat dalam proses penyebaran hoaks Penelitian dilakukan dengan
melalui akun media sosialnya atau aplikasi menggunakan metode kualitatif deskriptif yang
percakapan(Koran Sindo, 15 November 2018). bermaksud memberi gambaran secara cermat
Berdasarkan laporan Mastel (2017), mengenai subjek atau kelompok tertentu pada
92.40% media sosial seperti facebook, twitter, sebuah keadaan (Koentjaraningrat, 1993).
instagram dan path menjadi saluran Moleong (2007) mengatakan bahwa penelitian
menyebarkan informasi hoaks, sedangkan kualitatif bermaksud memahami perilaku,
aplikasi chatting seperti whatsapp, line, persepsi, ataupun motivasi subjek penelitian
telegram menduduki peringkat kedua, yaitu secara holistik.
sebanyak 62,80%. Hal ini juga didukung oleh Kelompok atau subjek penelitian yang
data laporan yang diterima oleh Kominfo dimaksud dalam penelitian adalah perempuan
(2019) dari Agustus 2018 sampai 21 Januari pengguna internet aktif, usia 35 – 50 tahun dari
2019, ada 43 konten hoaks yang disebarkan kelas ekonomi menengah ke bawah yang
melalui aplikasi pesan instan whatsapp. Dari menjadi peserta pelatihan literasi digital yang
rekapitulasi aduan konten hoaks tahun 2018, diselenggarakan oleh Program KOTAKU (Kota
Kominfo menerima aduan konten hoaks Tanpa Kumuh) dan Indonesia Voice of Women
sebanyak 733 laporan. (Invow) di tiga wilayah sub-urban di kota
Jakarta, Bandung dan Tangerang Selatan pada
143
PROSIDING COMNEWS 2019
e-ISSN 2656-730X

2017. Pengumpulan data dilakukan melalui Penggunaan internet oleh ibu-ibu


observasi langsung dan wawancara mendalam sebagai digital immigrant sangat bergantung
selama pelatihan yang diselenggarakan pada bantuan anak-anaknya sebagai digital
sebanyak dua kali dalam periode waktu empat native. Prensky (2001) menyampaikan bahwa
bulan. digital immigrant adalah orang yang tidak sejak
Pendekatan studi kasus digunakan untuk lahir terpapar teknologi digital, namun pada
menjelaskan bagaimana pemahaman tiga suatu tahap dalam hidupnya mulai mengadopsi
kelompok perempuan tersebut pada penggunaan teknologi digital. Salah satu poin yang
internet dan penyebaran hoaks; serta ditekankan oleh Prensky adalah bahwa tahapan
mengeksplorasi mengapa ketiga kelompok dan pencapaian belajar setiap digital immigrant
tersebut memiliki pemahaman tersebut. Lebih berbeda satu dengan yang lain. Serupa dengan
lanjut, penelitian ini juga melihat bagaimana penggunaan bahasa, pengadopsian teknologi
potensi pelatihan literasi digital dalam digital pada digital immigrant akan
menghentikan penyebaran hoaks di kalangan menghasilkan “aksen”atau pola adopsi yang
ibu-ibu. Penelitian dengan pendekatan studi berbeda-beda.
kasus berguna untuk mendapatkan pengetahuan “Bahasa” dan “aksen” digital immigrant
eksplanatif (how) dan eksploratif (why) untuk juga akan sangat berbeda dengan digital native,
memahami tindakan subjek secara holistik dan yaitu orang yang sejak lahir sudah terpapar
mendalam (Yin, 1994; Yunus, 2010). teknologi digital. Karena itu, proses pengajaran
Studi literatur terhadap data-data antara digital immigrant ke digital native, atau
sekunder dilakukan sebagai upaya triangulasi sebaliknya, menghadapi berbagai kendala
data. (Prensky, 2001).
Sebagian besar ibu-ibu, terutama yang
HASIL DAN PEMBAHASAN berusia 40 hingga 50 tahun dibantu anaknya
dalam mengoperasikan gawai pintarnya sejak
1. Kesenjangan Literasi Digital antara awal dimiliki, termasuk untuk mengunduh dan
Digital Immigrant dan Digital Native mendaftar aplikasi facebook dan whatsapp.
Penelitian ini menemukan bahwa Anak-anaknya seringkali tidak cukup sabar
pengetahuan dan kemampuan perempuan usia menjelaskan cara-cara teknis terkait teknologi
35 – 50 tahun yang tergabung sebagai kader dan lebih memilih untuk mengerjakan sendiri
pada Program Kotaku (untuk selanjutnya dan memberikan kepada ibu mereka setelah
disebut “ibu-ibu”) dalam penggunaan internet selesai dengan persoalan teknisnya.
masih sangat terbatas. Sebagai pengguna Sebagian ibu memiliki beberapa
internet aktif, penggunaan daring mereka aplikasi lain, sebagian lain tidak. Ketersediaan
terbatas pada media sosial seperti facebook dan aplikasi pada gawai pintar mereka lagi-lagi
whatsapp, tanpa pengetahuan mengenai bergantung pada kesediaan anak-anak mereka
peramban atau browser. Facebook dianggap untuk membantu.Selama dirasa cukup untuk
sebagai media, sehingga “berita” yang menjalankan fungsi sosial mereka untuk
disampaikan melalui facebook dianggap sebagai berkomunikasi dengan anggota lain dalam
layaknya berita yang sudah terverifikasi, sistem sosial mereka, yaitu melalui Whatsapp
sehingga penting untuk disebarluaskan. dan Facebook, maka kebutuhan teknologi dirasa
Keterbatasan pengetahuan ini menjadikan sudah cukup bagi ibu-ibu.
pengecekan fakta tidak pernah dilakukan, pun Diutarakan juga oleh ibu-ibu yang tidak
pengetahuan mengenai cara-cara pengecekan memiliki aplikasi facebook atau instagram,
fakta tidak dimiliki. bahwa anak-anak mereka tidak menginginkan
144
PROSIDING COMNEWS 2019
e-ISSN 2656-730X

ibu mereka memiliki aplikasi tersebut karena immigrantyang masih gagap dalam
tidak ingin dipantau. Melalui observasi lebih pembelajarannya dapat dikategorikan sebagai
lanjut, ditemukan juga bahwa anak dari salah late majority, sedangkan anak-anak mereka
satu ibu menyembunyikan akun Instagram telah lebih dahulu mengadopsi teknologi
“bayangan”-nya, dan hanya menyampaikan sebagai early majority atau bahkan early
akun “resmi” pada ibunya. adopters. Anak-anak yang sudah terlebih dahulu
Penelitian ini menemukan bahwa mengadopsi teknologi ini, sebagai anggota
kemampuan ibu-ibu dalam mengoperasikan sistem sosial terdekat bagi ibu-ibu, merupakan
internet ataupun gawai pintar terbatas, karena 1) tumpuan terbesar ibu-ibu dalam mengadopsi
kesulitan memahami tutorial yang tersedia; 2) teknologi. Resistensi anak-anak untuk mengajari
anak-anak mereka sebagai sumber pembelajaran ibu-ibu mereka kemudian menjadi salah satu
utama seringkali tidak sabar, terkendala bahasa kendala utama bagi ibu-ibu untuk menjadi
teknologi, atau tidak mau memberikan digital literate.
pembelajaran; dan 3) tidak tahu kemana
mencari sumber pembelajaran praktis lain. 2. Ibu-ibu yang terjebak dalam Pusaran
Teori difusi inovasi (Rogers, 1995) Penyebaran Hoaks
mengatakan bahwa proses adopsi dari sebuah Kesenjangan pengetahuan digital dan
inovasi terjadi melalui proses komunikasi yang kegagapan terhadap teknologi ini kemudian
dilakukan oleh anggota dari sebuah sistem berimplikasi pada penerimaan ibu-ibu terhadap
sosial dalam sebuah periode waktu. Menurut hoaks.
Rogers, pengadopsian sebuah inovasi terjadi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
melalui beberapa tahapan, yaitu understanding, mencatatkan kata hoaks sebagai berita bohong
persuasion, decision, implementation, atau tidak benar. Dalam Bahasa Inggris, hoaks
confirmation. Tahapan yang dilalui tersebut disebut hoax atau juga fake news. Terkait fake
kemudian memunculkan perbedaan proses news, UNESCO, di dalam modulnya
adopsi bagi setiap anggota sistem sosial yang “Journalism, Fake News and Disinformation”
kemudian digambarkan Rogers dalam S-shaped (2018: 45) menyatakan kata fake news memiliki
adoption curves of innovators sebagai early dua konotasi, yaitu misinformasi dan
adopters, early majority, late majority, dan disinformasi. Misinformasi adalah berita yang
laggards. tidak benar, namun orang yang menyebarkan
percaya bahwa berita tersebut benar;
Sedangkan, disinformasi adalah berita yang
tidak benar dan orang menyebarkannya
mengetahui bahwa berita tersebut tidak benar.
Penyebaran disinformasi adalah kesengajaan
penyampaian berita tidak benar untuk sebuah
tujuan tertentu.
Terdapat ketidakpahaman ibu-ibu bahwa
Facebook merupakan sebuah medium dengan
pendekatan user generated content (UGC)
Figure 1fig 1. S-shaped Adoption Curves oleh Rogers dimana konten atau berita yang termuat pada
(1995) facebook dibuat oleh pengguna facebook (Luca,
2016), bukan oleh jurnalis atau editor seperti
media massa. Ibu-ibu menganggap bahwa
Proses adopsi terhadap teknologi yang facebook adalah situs media massa di mana
dialami oleh ibu-ibu sebagai digital
145
PROSIDING COMNEWS 2019
e-ISSN 2656-730X

berita yang termuat di dalamnya merupakan serta hubungan personal antar penggunanya
berita yang sudah terverifikasi. Pemahaman ini (Thurlow, 2004).
membuat ibu-ibu merasa tidak perlu melakukan Berita yang didapatkan melalui media
pengecekan fakta, disamping ibu-ibu juga tidak sosial, terutama yang terkait erat dengan
paham langkah-langkah untuk melakukan keseharian dan keselamatan keluarga mereka,
pengecekan fakta. Sehingga, ketika menerima seperti berita kesehatan, bahaya akan suatu
berita dari facebook yang dianggap penting, makanan atau minuman, dan berita terkait
terdapat kecenderungan untuk membagikan keagamaan menimbulkan perasaan intimasi dan
berita tersebut. kesegeraan untuk membagikannya demi
Untuk berita yang tersebar melalui kebaikan mereka dan keluarganya.
whatsapp meski ada ketidakyakinan terhadap isi Penelitian ini menemukan bahwa
berita, namun jika berita tersebut dirasa penting penyebaran hoaks yang dilakukan ibu-ibu
atau membahayakan keselamatan diri dan merupakan penyebaran misinformasi yang
keluarga, penyebaran berita tetap dilakukan. dilakukan tanpa intensi untuk menyebarkan
Hoaks yang kerap diteruskan oleh ibu- kebohongan, namun lebih terkait pada kondisi
ibu terutama adalah berita terkait kesehatan, psikologis; peran sosial dan domestik ibu-ibu;
makanan dan minuman, penculikan anak, dan serta ketidakpahaman akan hoaks dan
kajian agama. Hoaks terkait politik termasuk dampaknya.
berita yang sering diterima, namun tidak selalu Penyebaran misinformasi dilakukan
langsung diteruskan, begitu pula dengan hoaks karena beberapa sebab, yaitu 1) ketidakpahaman
yang tidak terlalu terkait dengan keseharian mengenai kredibilitas sumber berita; 2)
mereka. ketidakpahaman akan definisi dan karakteristik
Studi yang dilakukan Mastel (2017) pun hoaks atau berita bohong; 3) ketidakpahaman
menyatakan hoaks SARA, kesehatan dan akan cara melakukan pengecekan fakta, namun
makanan/minuman masing-masing menempati merasa perlu membagikan berita karena
urutan ke-2, 3 dan 4 sebagai berita hoaks yang kekhawatiran akan keselamatan diri dan anggota
paling banyak disebarkan, setelah hoaks politik. keluarga jika berita tersebut benar; serta 4)
Dalam teori social presence, salah satu ketidakpahaman akan resiko penyebaran berita
faktor penting dalam proses komunikasi yang bohong melalui internet.
termediasi adalah perasaan yang dialami Hampir semua peserta pelatihan
seseorang secara subjektif yang terasosiasi oleh menyatakan tidak mengetahui Undang Undang
medium komunikasi yang digunakan. Perasaan No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi
subjektif yang dialami ini kemudian terkait Elektronik (ITE), salah satunya pasal mengenai
dengan perasaan intimasi dan kesegeraan menyebarkan berita bohong dan menyesatkan
(urgency). Semakin tinggi tingkat kehadiran dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Hal ini, dapat
sosial (social presence) dari sebuah medium, berimplikasi bagi rentannya ibu-ibu terkena
semakin tinggi pula perasaan subjektif yang pasal-pasal UU ITE sebagai akibat dari
dialami seseorang terkait intimasi dan ketidaktahuan dan pemahaman mereka terhadap
kesegeraan (Spears & Lea, 1992). undang-undang yang berlaku. Berbagai
Berdasarkan teori Computer Mediated ketidakpahaman tersebut kemudian membawa
Communication (CMC), media sosial ibu-ibu untuk masuk ke dalam pusaran
merupakan proses komunikasi yang terjadi penyebaran hoaks, hal ini sejalan dengan
melalui komputer, melibatkan beberapa orang laporan Mabes Polri yang merilis data mengenai
dalam sebuah konteks dengan melibatkan penyebar hoaks yang didominasi dari kalangan
perasaan dan kemudian membentuk diskusi ibu-ibu rumah tangga yang menyebarkan
146
PROSIDING COMNEWS 2019
e-ISSN 2656-730X

informasi bohong dan menyesatkan dengan posyandu, dan juga anggota kelompok-
alasan "iseng" memposting informasi tersebut. kelompok pengajian.
Akses informasi yang terbuka Dengan berbagai peran yang dijalankan
menyebabkan, ibu-ibu melakukan prokreatif di secara simultan tersebut, ibu-ibu memiliki
media sosial dengan menjadi yang pertama potensi kuasa dan kekuatan (power) untuk dapat
dalam menyebarkan informasi di media sosial menjadi agen perubahan bagi keluarga, dan
maupun melalui aplikasi percakapan instan. lingkungan sosialnya. Teknologi informasi atau
Dalam artikel “Hoaks dan Perempuan” di Koran internet dalam pandangan Lucy Irigaray, tokoh
Sindo, media sosial menjadi tempat untuk feminis post-strukturalis, seperti dituliskan oleh
melepas kepenatan dalam keseharian mereka Saputra (2001), perempuan dan komputer
sehingga mereka ingin menampilkan diri dianologikan sebagai 'jembatan' yang
mereka sebagai sosok yang selalu mendapatkan menghubungkan antara manusia (laki-laki) dan
informasi terkini, meski berada di ranah materi (realitas eksternal), identitas dan
domestik (Pariangu, 2018). Penyebaran perbedaan, faktual dan ilusi, sehingga anggapan
informasi ini, tidak dibarengi oleh kemampuan bahwa teknologi adalah milik laki-laki, tidaklah
untuk berpikir kritis dengan melakukan relevan.
verifikasi terhadap informasi yang mereka Penggunaan teknologi informasi oleh
terima. Acapkali, mereka mengirimkan dengan ibu-ibu, disatu sisi menjadi jembatan untuk
ujaran "sekedar mengingatkan" atau "Mungkin pengetahuan yang lebih luas, karena tidak
saja ini benar, jangan sampai keluarga kita terbatasnya informasi yang ditampilkan, mulai
terkena bahaya.Kan saya sekalian bisa dari pengetahuan kesehatan, pendidikan anak,
mengecek kalau ini benar atau salah". tempat wisata, hingga materi ajar untuk PAUD.
Pemakluman terhadap penerimaan pesan hoaks Internet juga memiliki nilai guna positif bagi
meningkatkan keretanan ibu-ibu. ibu-ibu, seperti membuka peluang bisnis atau
pertemuan dengan teman lama.
3. Multi Peran yang Dimiliki Ibu-ibu Namun, disisi lain juga dapat menjadi
sebagai Pisau Bermata Dua negatif ketika mereka terpapar hoaks, dan kuasa
Peserta pelatihan digital literasi adalah yang dimiliki ibu-ibu dalam peran publik dan
perempuan berusia 35 hingga 50 tahun yang domestiknya digunakan untuk penyebaran
merupakan kader Program KOTAKU, sebuah hoaks tersebut.
program pemerintah yang bertujuan untuk Penyebaran hoaks di kalangan ibu-ibu,
memberdayakan masyarakat dalam pembenahan berdasarkan penelitian ini terjadi akibat
tata kota melalui aspek ekonomi, sosial, dan ketidakmampuan ibu-ibu dalam melakukan
lingkungan. Sebagai kader, mereka memiliki proses seleksi informasi yang mereka dapatkan.
kepentingan untuk melakukan komunikasi Selain itu, penguasaan terhadap teknologi dan
melalui proses CMC, paling tidak melalui memproduksi konten yang bermanfaat yang
whatsapp, menjadikan mereka sebagai digital belum optimal, mengakibatkan perputaran
immigrant yang aktif menggunakan internet. informasi hoaks lebih sering diterima
Selain menjalankan peran sosial sebagai dibandingkan dengan informasi yang
kader Program KOTAKU, ibu-ibu juga bermanfaat.
menyandang beragam peran publik dan Literasi digital melalui proses
domestik lain secara simultan. Mereka adalah pemberdayaan perempuan menjadi penting bagi
ibu, istri, guru taman kanak-kanak (TK) atau perempuan digital immigrant ini untuk
pendidikan anak usia dini (PAUD), anggota atau memanfaatkan peran publik dan domestiknya
pengurus PKK, kader kelurahan, kader agar berfungsi sebagai pisau yang ampuh untuk
147
PROSIDING COMNEWS 2019
e-ISSN 2656-730X

mengklaim kembali manfaat positif internet. Kuasa (power) ini sejalan dengan
berbagai pandangan terhadap perempuan
4. The power of emak-emakdigital immigrant Indonesia, yang jika dibandingkan dengan
dalam upaya perlawanan terhadap hoaks perempuan di negara lain, bahwa perempuan
Sebagai perempuan yang memegang Indonesia memiliki mobilitas, otonomi, dan
berbagai peran publik dan domestik, ibu-ibu otoritas yang relatif tinggi. Perempuan
dalam subjek penelitian ini adalah perempuan Indonesia dalam konotasi emak-emak juga
yang berdaya dan memiliki kuasa dan kekuatan seringkali dikonotasikan sebagai perempuan
untuk mengambil berbagai keputusan sosial dan yang bisa dan mau melakukan apa saja untuk
domestic. menyelesaikan suatu pekerjaan atau mencapai
Namun demikian, pada ranah CMC dan kesejahteraan anak dan keluarganya (Afrianti,
literasi digital, proses pemberdayaan masih 2018).
diperlukan. Pemberdayaan menurut Rowland Dua pelatihan literasi digital yang
(1997) adalah proses bagi orang untuk diterima, telah memberikan pemahaman dasar
memahami dinamika kuasa di sekitar mereka, terkait kredibilitas sumber berita; serta definisi
meningkatkan kapasitas mereka agar memiliki dan karakteristik hoaks. Pemahaman ini telah
kontrol, menggunakan kontrol mereka, dan setidaknya meningkatkan kemampuan dan
memberdayakan orang lain di komunitas kepercayaan diri ibu-ibu, untuk kemudian
mereka. membangun kesadaran kolektif diantara ibu-ibu
Wawancara yang dilakukan peneliti lain disekitar mereka, serta mengajak anak-anak
kepada ibu-ibu yang dilakukan paska pelatihan dan suami mereka untuk melakukan perubahan.
menemukan bahwa terdapat keinginan dari ibu- Pemberdayaan perempuan dimulai sejak
ibu untuk keluar dari pusaran penyebaran hoaks tahapan dimana perempuan merasa tidak
dan mulai menjalankan peran sebagai agent of mampu, menuju ke penemuan terhadap
change untuk menyebar virus anti hoaks. kemampuan dan kontrol diri, hingga
Kekuatan dan kuasa sosial dan domestik ibu-ibu pembentukan identitas, kemampuan dan
yang semakin dikuatkan dengan pemahaman kepercayaan diri kolektif untuk melakukan
atas kuasa di dunia teknologi digital yang perubahan (Johnson, 1992; Kabeer, 1994).
didapatkan melalui pelatihan literasi digital, Karena itu, pemberdayaan perempuan sudah
telah setidaknya berhasil menyetop penyebaran seharusnya melibatkan proses yang membuat
hoaks lebih lanjut setelah sampai di gawai perempuan dapat memandang diri mereka
mereka. Ibu-ibu pun telah berupaya sebagai mampu (Rowland, 1997).
memberdayakan orang lain di sekitar mereka, Namun demikian, terkait dengan
termasuk pada keluarga, anak-anak mereka dan pemahaman terhadap teknis pengecekan berita
kelompok sosial (peer group) mereka, seperti dan resiko-resiko negatif pada penggunaan
anggota pengajian, kader-kader KOTAKU, internet seperti perundungan atau kriminalitas
guru-guru TK dan PAUD lainnya. pada dunia maya, tidak serta merta mereka
Kecepatan penyebaran informasi yang kuasai melalui dua kali pelatihan literasi digital
dilakukan ibu-ibu sangat mendukung upaya bersama Program KOTAKU dan Invow.
penyebaran virus anti hoaks pada berbagai Seperti layaknya teknologi, wajah dan
sistem sosial yang diikuti oleh mereka. Tekanan bentuk hoaks juga berevolusi dengan cepat.
sosial pun seringkali diberikan oleh mereka Pun, berbagai kejahatan dan penipuan dalam
kepada kelompok sosialnya (peer group) yang dunia maya juga terus berevolusi. Kecepatannya
menyebarkan hoaks. masih melampaui kemampuan dan ketersediaan
waktu untuk belajar bagi para digital immigrant
148
PROSIDING COMNEWS 2019
e-ISSN 2656-730X

dengan beragam peran publik dan domestik ini. terjebak dalam pusaran penyebaran hoaks dan
Kebutuhan akan akses yang lebih cepat dan rentan terhadap resiko negatif penggunaan
mudah bagi mereka untuk menemukan bahwa internet.
berita yang mereka dapatkan adalah hoaks atau Peran pelatihan literasi digital dapat
bukan, serta akses untuk mempertanyakan hal- meningkatkan kapasitas ibu-ibu dalam
hal teknis menjadi kebutuhan mereka untuk penggunaan internet. Selain untuk
menjadi semakin berdaya di dunia digital. memberdayakan dirinya, keluarganya dan
Selain itu, ketidakpercayaan diri ibu-ibu lingkungan sekitarnya untuk mengklaim
digital immigrantberusia matang (mature) kembali manfaat positif internet, pelatihan
terhadap dunia internet/digital seringkali literasi digital yang dikelola dengan pendekatan
mengubur potensi mereka sebagai pejuang virus pemberdayaan perempuan dapat menjadi
anti hoaks. pondasi bagi ibu-ibu untuk mengambil peran
Dua sesi pelatihan literasi digital yang aktif dalam menangkal informasi hoaks.
diterima ibu-ibu ini merupakan langkah awal Kekuatan dan kuasa ibu-ibu urban dan
dari proses pemberdayaan perempuan yang sub-urban Indonesia dalam ranah sosial dan
bermaksud untuk meningkatkan pemahaman domestik yang sering dikonotasikan sebagai
dan kepercayaan diri ibu-ibu untuk kemudian “emak-emak” yang kuat, berpotensi
mampu menggalang kekuatan kolektif ibu-ibu menjadikan mereka sebagai gate keeper
melalui beragam peran publik dan domestiknya informasi bagi keluarga dan komunitasnya
dalam menyebarkan virus anti hoaks. untuk menghentikan penyebaran hoaks yang
Namun, proses pemberdayaan lebih luas. Kuasa (power) emak-emak ini juga
perempuan ini masih harus dilanjutkan, berpotensi untuk memberdayakan sekitarnya
terutama dalam meningkatkan peran digital dan menyebarkan virus anti hoaks yang
native yang terdekat dalam sistem sosial ibu-ibu semakin luas.
ini dalam proses pemberdayaan ibu-ibu digital Namun demikian, satu atau dua kali
immigrant dalam upaya perlawanan terhadap pelatihan literasi digital belum cukup kuat
hoaks. untuk mensejajarkan kemampuan ibu-ibu
dengan perkembangan teknologi dan evolusi
KESIMPULAN pada wajah dan bentuk hoaks, serta resiko-
Kemampuan perempuan, khususnya resiko negatif penggunaan internet seperti
digital immigrant berusia 35-50 tahun dari perundungan, prostitusi online, persekusi dan
kelas ekonomi menengah ke bawah di tiga penipuan dengan basis online, dan porn
lokasi sub-urban di Jakarta, Bandung, dan revenge.
Tangerang Selatan terbatas pada penggunaan Pemberdayaan lebih lanjut masih
media sosial yang sesuai dengan peran-peran diperlukan, terutama pemberdayaan perempuan
publik dan domestiknya. Penggunaan peramban yang simultan antara digital immigrant ini
serta kemampuan pengecekan fakta masih dengan digital native yang terdekat dalam
sangat terbatas. Pun, kemampuan teknologi sistem sosial mereka, sehingga kedua generasi
digital yang dimiliki sangat bergantung pada tersebut dapat berkolaborasi dalam hal
peran digital native, yaitu anak-anak mereka. mengikuti perubahan teknologi, produksi
Terbatasnya kemampuan dan konten positif sebagai perlawanan terhadap
ketergantungan mereka pada digital native, konten negatif,serta memberdayakan
ditambah dengan terbatasnya pengetahuan sekelilingnya. Kepedulian digital native untuk
mengenai definisi dan karakteristik hoaks, serta tidak meninggalkan generasi yang lebih tua di
kredibilitas berita, membuat mereka mudah sekitarnya menjadi penting dalam upaya
149
PROSIDING COMNEWS 2019
e-ISSN 2656-730X

peningkatan literasi digital. https://journal.uny.ac.id/index.php/informasi/art


Saat ini, pelatihan literasi digital telah icle/view/16079
dilakukan oleh banyak pihak, baik dari Kominfo. 2019, Januari 22. Siaran Pers
pemerintah, maupun dari lembaga sosial No. 17/HM/KOMINFO/01/2019. Diakses dari
masyarakat, dan perguruan tinggi. Perlu https://kominfo.go.id/content/detail/16003/siara
dilakukan koordinasi dan kerjasama antar pihak n-pers-no-17hmkominfo012019-tentang-tahun-
dalam melakukan kegiatan literasi digital 2018-kominfo-terima-733-aduan-konten-hoaks-
kepada ibu-ibu. Terlebih mendidik ibu, yang-disebar-via-whatsapp/0/siaran_pers
merupakan jaminan bagi generasi yang akan
datang. Koran Sindo. (2018, November 15). Ibu
Rumah Tangga dan Hoaks. Diakses dari
REFERENSI https://nasional.sindonews.com/read/1354784/1
Afrianti, D. 2018. The Power of Emak- 6/ibu-rumah-tangga-dan-hoaks-1542223033
emak: Empowering or Patronising Indonesian
Women? Diakses 22 Februari 2019. Koentjaraningrat. 1993. Metode-metode
http://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/the Penelitian Masyarakat. PT. Gramedia. Jakarta.
-power-of-emak-emak-empowering-or-
patronising-indonesian-women/ Luca, M. 2016. User-Generated Content
and Social Media. Chap. 12 in Handbook of
Glitser, Paul. 1997. Digital Literacy. John Media Economics. Vol. 1B, edited by Simon
Wiley & Sons, Inc. United States of America Anderson, Joel Waldfogel, and David
Google. 2018. Year in Search: Insights for Strömberg. North-Holland Publishing
Brands 2018. Diakses January 2019. Company. Diunduh 22 February 2019.
https://www.thinkwithgoogle.com/intl/en- https://www.hbs.edu/faculty/Pages/item.aspx?n
apac/trends-and-insights/year-in-search-2018/ um=50700
Hutabarat, D. 2019. Sudah 97 persen Mastel. 2017. Survey tentang wabah hoax
Penduduk di Indonesia bisa menikmati nasional. Diakses 21 February 2019.
layangan 4G LTE. Diakses dari https://mastel.id/infografis-hasil-survey-mastel-
https://kominfo.go.id/content/detail/16566/suda tentang-wabah-hoax-nasional/
h-97-persen-penduduk-di-indonesia-bisa- Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi
nikmati-layanan-4g-lte/0/sorotan_media Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya.
Johnson, H. 1992. Women’s Empowerment Bandung.
and Public Action: Experiences from Latin Open Data Labs. (2018, July 16). How We
America. Development policy and public Can Build Up Digital ICT Literacy in
action, pp. 147-174 Indonesia by Empowering Women and (Men).
Kabeer, N. 1994. Reversed Realities: Diakses dari
Gender Hierarchies in Development Thought. https://labs.webfoundation.org/how-we-can-
Verso. London. build-up-digital-ict-literacy-in-indonesia-by-
empowering-women-and-men/
Kurnia, N dan Astuti, S. (2018). Peta
Gerakan Literasi Digital di Indonesia: Studi Pariangu, U,TW. 2018.Hoaks dan
Tentang Pelaku, Ragam Kegiatan, Kelompok Perempuan. Diakses dari
Sasaran dan Mitra. Jurnal Informasi. Diunduh https://nasional.sindonews.com/read/1355813/1
21 Februari 2019. 8/hoaks-dan-perempuan-1542585721

150
PROSIDING COMNEWS 2019
e-ISSN 2656-730X

Prensky, M. 2001. Digital natives, digital Thurlow, C. 2004. Computer Mediated


immigrants. Diunduh 21 February 2019. Communication. SAGE. London.
www.marcprensky.com/writing/Prensky - Triastuti. E,C. 2013. Technopobia dan
Digital Natives, Digital Immigrants - Part1.pdf Internet Efficacy Scale (Tingkat Keyakinan Diri
Rogers, E.M. 1995. Diffusion of Terhadap Kemampuan Mengaplikasikan
Innovations. 4th ed., The Free Press. New York Internet): Studi Blogger Indonesia.Jurnal
Rowland, J. 1997. Questioning Perempuan 28. Yayasan Jurnal Perempuan.
Empowerment. Oxford University Press. Jakarta.
Oxford. UNESCO. 2018. Journalism, Fake News
Saputra, D. 2001. Single White E-mail and Disinformation. UNESCO. Paris.
Fenomena Perempuan Abad Millenium? Jurnal Yin, Robert K. 1994. Case Study Research.
Perempuan 18.2001. Yayasan Jurnal Sage Publications. London.
Perempuan. Jakarta Yunus, H. 2010. Metode Penelitian Wilayah
Spears, R. & Lea, M. 1992. Social influence Kontemporer. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
and the influence of the ‘social’ in computer-
mediated communication. In M. Lea (Ed.)
Contexts of Computer-Mediated
Communication. (pp. 30–65). Harvester-
Wheatsheaf. London.

151

Anda mungkin juga menyukai