Anda di halaman 1dari 30

KESEIMBANGAN PERAN GURU LELAKI DAN PEREMPUAN DALAM

MENGEMBANGKAN KARAKTER DAN KECERDASAN INTERPERSONAL


PADA ANAK USIA DINI

RINGKASAN KOLOKIUM PENELITIAN

Nama Mahasiswa : SUKRINA SAIDA BAHRI


No. Registrasi : 9920919011
Nama Promotor/Pembimbing : Prof. DR. Martini Jamaris, M.Ed

Diajukan sebagai syarat untuk memenuhi tugas akhir matakuliah kolokium


penelitian

PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA


2019

i
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 1
1.2 Fokus dan Sub Fokus Penelitian.......................................................................... 7
1.3 Rumusan Masalah................................................................................................ 7
1.4 Tujuan Penelitian................................................................................................. 8
1.5 Road Map penelitian............................................................................................ 9
BAB II State Of The Art............................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

It takes a village to raise a child. Peribahasa Afrika ini sangat terkenal dan
relevan, karena memang benar dibutuhkan seluruh warga masyarakat suatu daerah
untuk membesarkan satu orang anak. Dalam membesarkan seorang anak bukan hanya
tugas orang tua semata, namun butuh juga dukungan dari sekolah. Di dalam sekolah
banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan anak usia dini. Salah satu
adalah faktor penunjang adalah tenaga pendidik yaitu guru. Kebanyakan guru anak
usia dini didominasi oleh perempuan. Dominasi perempuan sebagai pengajar/guru di
sekolah telah menjadi isu global, terlebih pada tataran pendidikan anak usia dini
(PAUD).

Ho & Lam (2014) melaporkan bahwa di Hongkong, jumlah guru PAUD laki-
laki hanya 1,2% dari keseluruhan jumlah guru. Tidak berbeda jauh dengan apa yang
Ching-Sheue & KunChung (2010) temukan Isu ketidakseimbangan gender pada
profesi guru di sekolah telah menjadi perhatian pemerintah di banyak negara.
Terdapat beberapa asumsi mengapa guru pada tataran PAUD lebih didominasi oleh
kaum perempuan, yaitu status sosial perempuan dan juga maskulinitas budaya
(Drudy, 2008). Budaya, tidak dapat dipungkiri merupakan hal yang paling kuat dalam
mempengaruhi tatanan sosial yang menentukan status sosial serta maskulinitas dan
feminitas di berbagai bangsa. Anggapan bahwa “laki-laki bertugas mencari nafkah
dan peremuan adalah ibu rumah tangga” nampaknya masih mengakar kuat dalam
paradigma berkeluarga di berbagai bangsa, juga Indonesia. Belum lagi anggapan
bahwa pengasuhan adalah peran yang melekat pada “ibu” karena dianggap sebagai
semacam paket pekerjaan dengan mengandung dan melahirkan.regulasi dari sekolah.

1
Namun kebanyakan di Indonsia pendidik anak usia dini adalah mayoritas
wanita yang diidentikkan sebagai ibu dalam keluarga. Wanita sebagai ibu adalah
madrasatul uulaa dalam keluarga dan juga sebagai perancang peradaban bangsa
melalui generasi-generasi emas yang dihasilkan (Zuhriyah,2018). Untuk itu perlu
adanya kesetaraan gender dalam merain pendidikan sehingga dihasilkan perempuan
yang mempu menciptakan karakter anak. Namun disisi lain pendidikan anak usia dini
juga perlu dikembangkan karakter maskulin untuk mengimbangi. Hal ini penting
karena siswa di taman kanak-kanak atau PAUD tidak semuanya adalah perempuan
sehingga diperlukan sosok role model laki-laki untuk menampilkan sosok
maskulinitas pada pendidikan anak usia dini. Siswa laki-laki tentu tidak mudah
belajar sifat laki-laki dari guru perempuan demikian sebaliknya siswa perempuan
ingin mengetahui model ideal maskulinitas dari laki-laki dewasa. Hal ini akan
didapatkan jika PAUD atau TK memiliki guru laki-laki maupun perempuan.

Pembentukan karakter seorang anak membutuhkan waktu yang lama dan


dilakukan secara simultan dan berkesinambungan baik oleh keluarga dan sekolah.
Tingkat Taman Kanak-kanak menjadi tempat pertama anak-anak memperoleh
pendidikan. Selanjumya pendidikan TK atau PAUD akan menjadi dasar bagi
pendidikan selanjumya. Di tempat ini anak lebih cepat mendapat pengaruh dan lebih
mudah dibentuk pribadinya.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional(SISDIKNAS) Nomor 20 Tahun


2003 Pasal 3 menyebutkan bahwa: Pendidikan bertujuan “mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Amanah itu bermaksud
agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga

2
berkepribadian atau berkarakter. Sehingga, kelak akan melahirkan penerus bangsa
yang memiliki karakter yang baik sesuai nilai-nilai agama.

Pendidikan Anak usia Dini (PAUD) sebagaimana yang dinyatakan dalam


Undang-Undang Nomor 137 Tahun 2014 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal
1 ayat 10) adalah upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai
dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan
untuk pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki
kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Kondisi ini tentu cukup beralasan,
mengingat pada fase ini anak usia 0-6 tahun menurut para ahli berada pada fase
peniruan. Jadi, apapun kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar lingkungan anak
dengan sangat cepat diserap dan ditiru untuk dijadikan sebuah kebiasaan. Jika
fenomena-fenomena yang dilihat anak cenderung kearah negatif maka kecenderungan
perilaku menyimpang akan lebih mengemuka terjadi pada anak.

Menurut Aunillah dalam Syarifuddin (2016) saat ini pendidikan karakter


menjadi salah satu isu pendidikan nasional dengan sasaran peserta didik. Sejauh ini
sedang mengemuka upaya mencari format pendidikan karakter yang diperlukan
dalam membangun karakter bangsa. Oleh sebab itu, banyak harapan supaya
pendidikan karakter menjadi bagian penting dalam keseluruhan program pendidikan
nasional dewasa ini. Dengan formulasi pendidikan karakter yang jelas konsep dasar
dan program pelaksanaannya maka diharapkan pembentukan karakter bangsa sesuai
yang diharapkan akan menjadi kenyataan.

Pendidikan karakter bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta


didik agar peserta didik mampu mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai
sehingga mampu berperilaku sebagai insan paripurna (Shalihah, 2013). Membangun
karakter bersifat memperbaiki, membina, mendirikan, mengadakan sesuatu.
Sedangkan "Karakter" adalah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain (Saleh, 2012). Konteks di sini

3
adalah suatu proses atau usaha yang dilakukan untuk membina, memperbaiki dan
atau membentuk tabiat, watak, sifat kejiwaan, akhlak mulia, insan manusia sehingga
menunjukan perangai dan tingkah laku yang baik berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
Membangun karakter anak usia dini tidak hanya disekolah, Orang Tua juga harus
terlibat dalam membentuk dan menanamkan karakter yang baik pada anak.

Menurut Asmani (2011) karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu
benda atau individu. Ciri khas tersebut asli dan mengakar pada kepribadian benda
atau individu tersebut, dan merupakan mesin yang mendorong bagaimana seseorang
bertindak, bersikap, berujar, dan merespon sesuatu. Selanjutnya, menurut Maksudin
(2013) yang dimaksud karakter adalah ciri khas setiap individu berkenaan dengan jati
dirinya (daya qalbu), yang merupakan saripati kualitas batiniah/rohaniah, cara
berpikir, cara berperilaku (sikap dan perbuatan lahiriah) hidup seseorang dan bekerja
sama baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa maupun negara.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, perlu memberikan perhatian


khusus terhadap pendidikan karakter. Dalam buku Lickona yang dikutip dalam
sahroni dijelaskan bahwa sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang
mengemban tugas mengembangkan karakter. Nilai-nilai karakter itu antara lain
kejujuran, keterbukaan, toleransi, tanggung jawab, kebijaksanaan, disiplin diri,
kemanfaatan, saling menolong dan kasih sayang (Hidayatullah dan Yani, 2016).
Penulis hanya akan mengamati karakter dan kecerdasan interpersonal yang
dikembangkan anak usia dini yaitu karakter jujur, sopan santun dan berani, mampu
berkomunikasi dengan orang lain, bekerja sama dengan orang lain, serta empati.

Membentuk karakter memang tidak semudah membalik telapak tangan, jika


karakter ibarat sebuah bangunan yang kokoh, butuh waktu yang lama dan energi yang
tidak sedikit untuk mengubahnya. berbeda dengan bangunan yang tidak permanen
yang menggunakan bahan-bahan rapuh, maka mengubahnyapun akan lebih cepat dan

4
mudah. Tetapi karakter bukanlah sesuatu yang mudah diubah, maka tidak ada pilihan
lain bagi kita semua kecuali membentuk karakter anak mulai sejak dini.

Karakter yang terbangun tersebut diharapkan akan membentuk kecerdasan


interpersonal anak. Kecerdasan interpersonal berkaitan dengan kepekaan dalam
membedakan dan merespon perilaku yang ditampilkan orang lain. Kecerdasan ini
dapat dilihat dari kemampuan menggerakkan dan berkomunikasi dengan orang lain,
bekerjasama dalam tim, serta disenangi oleh orang lain disekitarnya. Kecerdasan ini
juga menyangkut kemampuan membedakan maksud tertentu, motivasi dan perasaan
orang lain (Jamaris, 2017).

Gardner mencatat bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup


kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati,
tempramen, motivasi dan hasrat orang lain. Kecerdasan antar pribadi yang merupakan
kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan akses menuju perasaan-perasaan
diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta,
memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku (Golmen, 2002:53). Kecerdasan
interpersonal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan
orang lain, sehingga mudah dalam bersosialisasi dengan lingkungan di sekelilingnya.
Kecerdasan semacam ini juga sering disebut sebagai kecerdasan sosial ( A. Setiono
Mangoen Prasodjo & Sri Nurhayati, 2005 : 236 ).

Namun sayangnya kecerdasan interpersonal anak usia dini belum terbentuk


dengan baik. Berdasarkan pra penelitian yang dilakukan oleh peneliti di salah satu
lembaga pendidikan masih terlihat kebiasaan anak yang berbicara kurang sopan
dengan guru, masih terlihat anak berebut mainan dengan temannya, masih terlihat
anak terlambat datang kesekolah, masih ada anak yang tidak mau mengakui
kesalahannya, masih terlihat anak membuang sampah sembarangan.

Mengubah atau mengembangkan karakter tersebut diperlukan suatu role


model dari guru sebagai contoh atau suri tauladan bagi siswanya. Guru sebagai

5
profesi yang menuntut kemampuan mendidik dan mengajar tentu harus berbagi peran
dengan sesama rekan kerja terutama berkaitan dengan peran gender.

Guru memiliki peran penting dalam proses pembelajaran terlebih guru anak
usia dini. Figur guru anak usia dini tidak hanya mentransfer pengetahuan kepada anak
saja, akan tetapi juga mengembangkan setiap aspek perkembangan anak salah satunya
adalah pengetahuan tentang identitas jenis kelamin anak. Pengetahuan identitas jenis
kelamin sangat penting terhadap perkembangan identitas diri anak ke depannya
karena itu pemberian pemahaman yang benar haruslah dilakukan oleh orang yang
berada di sekitar anak. Untuk menanamkan pemahaman identitas jenis kelamin yang
benar terhadap anak dibutuhkan figur seorang guru laki-laki di sekolah.

Seorang anak laki-laki perlu contoh orang dewasa laki-laki untuk tumbuh
berkembang dan memperkuat identitasnya sebagai seorang laki-laki di masa depan,
sementara anak perempuan membutuhkan model orang dewasa laki-laki untuk
mengambil sisi positif dari sikap dasar seorang laki-laki, misalkan bagaimana
bersikap tegas, bagaimana mengendalikan mengontrol emosi yang baik. Selama ini
pendidik anak usia dini selalu didominasi oleh perempuan sehingga anak tidak
mendapatkan peran model seperti yang sudah dipaparkan di atas.

Namun, dalam kenyataan masih banyak masyarakat menganggap bahwa tugas


untuk mengasuh dan mendidik anak usia dini adalah tugas seorang perempuan. Hal
ini dikarenakan: perempuan lebih tabah menghadapi anak-anak. Sudah menjadi tugas
perempuan sejak zaman dahulu kala, perempuan memiliki tugas melahirkan,
mendidik dan mengasuh anak. Sementara laki-laki hanya bertugas untuk mencari
nafkah.

Dari hasil observasi yang dilakukan, saat mewawancarai salah satu pengelola
PAUD di Bekasi, disampaikan bahwa tidak ada laki-laki yang melamar untuk
menjadi guru PAUD. Kurangnya minat laki-laki untuk menjadi guru PAUD
dikarenakan beberapa hal; Pertama, Stigma social: adanya stigma masyarakat bahwa

6
guru PAUD haruslah perempuan sehingga guru PAUD hampir identik dengan
perempuan. Pekerjaan untuk menjadi guru PAUD hanya bisa dilakukan oleh
perempuan karena perempuan memiliki kesabaran menghadapi anak-anak dalam
kegiatan sehari-hari. Selain itu perempuan memiliki hati yang lembut, telaten dan
penyayang. Stigma yang demikian menjadikan laki-laki enggan untuk menjadi guru
PAUD.

Kedua, laki-laki identik dengan perilaku kurang sabar dalam menghadapi


anak kecil. Laki-laki cenderung tidak terlalu menyukai berdekatan dengan anak kecil
karena mereka tidak sabar jika berhadapan dengan anak kecil. Laki-laki berpendapat
bahwa untuk menghadapi anak kecil membutuhkan kesabaran dan ketelatenan yang
hanya dimiliki oleh perempuan. Bagi laki-laki perempuan adalah sosok yang sangat
cocok untuk menghadapi anak kecil. Ketiga, gaji yang kecil. Menjadi guru PAUD
memang membutuhkan perjuangan yang berat. Selain sering dipandang sebelah mata,
masalah kesejahteraannya pun juga minim. Salah satunya gaji yang rendah. Ini
merupakan salah satu faktor yang membuat laki-laki tidak ingin menjadi guru PAUD.

Hal yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran PAUD yang
berkualitas adalah stigma dan pandangan masyarakat harus dibenahi karena peran
guru laki-laki dalam PAUD sangatlah penting. Hal ini dilakukan agar perkembangan
karakter anak usia dini menjadi lebih optimal.

1.2 Fokus dan Sub Fokus Penelitian


Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, maka
fokus penelitian ini adalah. Adapun sub fokus pelatihan ini adalah keseimbangan
peran guru lelaki dan perempuan dalam mengembangkan karakter dan kecerdasan
interpersonal anak usia dini.
Adapun sub fokus penelitian ini adalah:
1. Karakter dan kecerdasan interpersonal yang dikembangkan oleh guru.

7
2. Partisipasi guru lelaki menyoroti keragaman pandangan mengenai peran
gender.
3. Peran guru lelaki dengan rekan kerja dalam mengembangkan karakter dan
kecerdasan interpersonal anak usia dini.
4. Peran guru laki-laki dengan orang tua dalam mengembangkan karakter dan
kecerdasan interpersonal anak usia dini.
1.3 Rumusan Masalah
Beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana karakter dan kecerdasan interpersonal yang dikembangkan oleh
guru?
2. Bagaimana partisipasi guru lelaki menyoroti keragaman pandangan mengenai
peran gender?
3. Bagaimana peran guru laki-laki dengan rekan kerja dalam mengembangkan
karakter dan kecerdasan interpersonal anak usia dini?
4. Bagaimana peran guru laki-laki dengan orang tua dalam mengembangkan
karakter dan kecerdasan interpersonal anak usia dini?

1.4 Tujuan Penelitian


Panelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan keseimbangan peran guru
lelaki dan perempuan dalam mengembangkan karakter dan kecerdasan
interpersonal anak usia dini. Secara operasional penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan:
1. Karakter dan kecerdasan interpersonal yang dikembangkan oleh guru anak
usia dini.
2. Partisipasi guru laki-laki menyoroti keragaman pandangan mengenai peran
gender.
3. Peran guru laki-laki dengan rekan kerja dalam mengembangkan karakter dan
kecerdasan interpersonal anak usia dini.

8
4. Peran guru laki-laki dengan orang tua dalam mengembangkan karakter dan
kecerdasan interpersonal anak usia dini.

1.5 Road Map Penelitian

Tahap Persiapan
(Studi Kasus)

Penelusuran
penelitian yang Tahap Pelaksanaan
relevan Mengidentifikasi topik
penelitian Tahap-tahap penelitian
Meninjau literatur yang akan dilakukan :
Penelitian Memilih Pengembangan
sebelumnya yang peserta/obyek Karakter dan
telah dilakukan Kecerdasan
Pengumpulan data
Studi Lapangan interpersonal AUD
Menganalisis dan
Keseimbangan menafsirkan data •Target luaran
Peran Guru dalam (publikasi, tesis,
mngembangkan Pelaporan dan disertasi)
mengevaluasi
karakter dan penelitian
kecerdasan
interpersonal AUD Luaran ditahun
berjalan:
artikel pada seminar
international

9
BAB II

KAJIAN TEORETIK

A. Dskripsi Teoretik
1. Kesimbangan Peran Gender
Keseimbangan gender yang lebih baik dalam pendidikan dan perawatan anak
usia dini (ECEC) dipandang sebagai sarana untuk kesetaraan gender dalam
masyarakat secara umum (Farquhar 2008; Icken 2012; Kementerian Pendidikan dan
Penelitian Norwegia 2008). Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial
untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai
ciptaan Tuhan dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan
sejak kecil. Pembedaan ini sangat penting, karena selama ini sering sekali mencampur
adukan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan yang bersifat bukan kodrati
(gender). Perbedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan
kembali tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada
manusia perempuan dan laki-laki untuk membangun gambaran relasi gender yang
dinamis dan tepat serta cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Kata ”gender‟ dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan
tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi)
sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Dengan demikian gender adalah hasil kesepakatan antar manusia yang
tidak bersifat kodrati. Oleh karenanya gender bervariasi dari satu tempat ke tempat
lain dan dari satu waktu ke waktu berikutnya. Gender tidak bersifat kodrati, dapat
berubah dan dapat dipertukarkan pada manusia satu ke manusia lainnya tergantung
waktu dan budaya setempat.
Kata "Gender" berasal dari bahasa Inggris, gender, berarti "jenis kelamin"
(Echols and Shadiliy, 2015). Gender adalah suatu istilah untuk membedakan kaum

10
laki-laki dan perempuan dalam aspek tertentu, misalnya sifat dasar dan tingkah laku,
juga termasuk perbedaan dari segi "sex",jenis kelamin secara biologis. Karena itu,
penting sekali memahami terlebih dahulu perbedaan antara jenis kelamin (sex) dan
gender. Yang dimaksud jenis kelamin, adalah perbedaan biologis hormonal dan
patologis antara perempuan dan laki-laki, misalnya laki-laki memiliki penis, testis,
dan sperma, sedangkan perempuan mempunyai vagina, payudara, ovum, dan Rahim
(Muliati, 2005). Jadi laki-laki dan perempuan secara biologis berbeda, dan masing-
masing mempunyai keterbatasan dan kelebihan biologis tertentu. Misalnya,
perempuan bisa mengandung, melahirkan, dan menyusui bayinya, sementara laki-laki
memproduksi sperma. Perbedaan biologis tersebut bersifat kodrati, atau pemberian
Tuhan dan tidak seorangpun dapat mengubahnya.
Dalam Women's Studies Encyclopedia, sebagaimana yang dikutip oleh Umar
(2001:33-34) gender didefinisikan sebagai konsep kultural yang berupaya membuat
pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Dapat dipahami bahwa gender adalah perbedaan yang bukan biologis dan juga
bukan kodrat Tuhan (Umar, 2001:40). Konsep gender sendiri harus dibedakan antara
kata gender dan kata seks (jenis kelamin). Perbedaan jenis kelamin antara laki-laki
dan perempuan adalah kodrat Tuhan karena secara permanen tidak berubah dan
merupakan ketentuan biologis. Sedangkan gender adalah perbedaaan tingkah laku
antara laki-laki dan perempuan yang secara sosial dibentuk. Perbedaan yang bukan
kodrat ini diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Sebagai contoh;
laki-laki umumnya mempunyai sifat kuat, berani, agresif, pemimpin, pintar,
maskulin. Sedangkan perempuan umumnya mempunyai sifat yang lemah lembuat,
cengeng, rajin, penurut, pemalu, feminin. Sifat dan peran tersebut dapat dipertukarkan
antara satu dengan lainnya, tergantung dari situasi dan kondisi yang dialami oleh
kedua jenis insan tersebut.
Pandangan masyarakat selama ini menganggap perbedaan seks laki-laki dan
perempuan menjadikan perbedaan jender antara keduanya, dan menjadikan

11
perempuan lebih rendah dari laki-laki. Lahirnya isu jender ini, maka pandangan
tersebut dianggap menyesatkan oleh kaum feminis. Kini sifat dan peran laki-laki telah
disejajarkan dengan perempuan, kecuali sifat kodrati secara khusus yang dimiliki oleh
perempuan, seperti melahirkan dan semacamnya.
Pendidikan anak usia dini tidak terlepas dari isu peran gender, di mana jumlah
guru perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Isu ini bukan hanya terjadi di
Indonesia bahkan di negara-negara Eropa. Di negara maju, beberapa orang tua telah
menyuarakan keinginan mereka untuk melihat lebih banyak guru pra-sekolah pria di
sekolah (Galley 2000). Namun, jumlah orang yang berbagi perspektif yang lebih
modern dan fleksibel tentang pra-sekolah pendidikan dan laki-laki yang terlibat di
lapangan terbatas (Cameron 2001). Bahkan, guru laki-laki seharusnya didukung
karena tiga alasan utama. Pertama, tidak adanya ayah dalam kehidupan anak-anak.
Dalam masyarakat Barat, banyak anak tumbuh dalam keluarga dengan orang tua
tunggal, biasanya ibu. Ada kebutuhan yang meningkat bagi pria untuk menjadi lebih
aktif peran dalam kehidupan anak-anak (Cameron 2001; Haris & Barnes, 2009).
Kedua, laki-laki juga bisa menjadi panutan yang positif untuk anak kecil. P-SET pria
dapat dipertimbangkan sebagai sumber panutan terutama untuk anak laki-laki
(Cameron, 2001; Martino, 2008; Skelton, 2005; Sumsion, 1999). Juga, ini dapat
membantu anak-anak untuk mengembangkan minat anak laki-laki proses pendidikan.
Guru laki-laki juga bisa menjadi panutan positif untuk identitas gender yang sehat
dan isu-isu terkait gender di masyarakat (Cameron, 2001). Teladan laki-laki penting
untuk tidak hanya anak laki-laki, tetapi juga untuk anak perempuan (Cameron, 2001).
Poin terakhir adalah kesetaraan gender. Jika kita bisa menyeimbangkan jumlah guru
pria dan wanita, ini dapat membantu anak-anak untuk mengembangkan perilaku yang
lebih positif di dalam dan di luar pengaturan kelas (Cameron, 2001).
Laki-laki biasanya menghindari pekerjaan mengajar karena gaji rendah,
status, prasangka terhadap guru laki-laki (Wardle, 2003), isolasi (Cooney & Bitter,
2001; Wardle, 2003), dan apresiasi negatif (Wardle, 2003). Namun, jika jumlahnya
guru laki-laki meningkat, status guru laki-laki yang bekerja di lingkungan pra-sekolah

12
juga dapat meningkat. Lalu, itu masyarakat mungkin mulai menghargai dan
menghargai guru-guru prasekolah laki-laki. Karena itu, kita membutuhkan lebih
banyak guru pria di prasekolah pendidikan program (McBride, Rane, & Bae, 2001;
Sumsion, 2000a; 2000b).
Kesimpulannya, jender didefinisikan sebagai interpretasi mental dan
kultural terhadap perbedaan kelamin, yakni laki-laki dan perempuan. Jender juga
biasa didefinisikan sebagai konsep pembagian kerja yang dianggap tepat bagi
laki-laki dan perempuan sesuai situasi, dan kondisi budaya.

2. Karakter
Secara harfiah, karakter artinya kualitas mental atau moral, kekuatan moral,
nama atau reputasi (Azis, 2011: 197). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dengan yang lain, tabiat, watak. Berkarakter artinya mempunyai
tabiat, mempunyai kepribadian, berwatak (Tim Penyusun Kamus, 1989: 389).
Kata karakter berasal dari kata Yunani, charassein, yang berarti men-gukir
sehingga terbentuk sebuah pola. Mempunyai akhlakmulia adalah tidak secara
otomatis dimiliki oleh setiap manusia begitu ia dilahirkan, tetapi memerlukan
proses panjang melalui pengasuhan dan pendidikan (proses “pengukiran”). Dalam
istilah bahasa Arab, karakter ini mirip dengan akhlak (akar kata khuluk),yaitu tabiat
atau kebiasaan melakukan hal yang baik. Al-Ghazali menggambarkan bahwa akhlak
adalah tingkah laku seseorang yang berasal dari hati yang baik. Oleh karena itu
pendidikan karakter adalah usaha aktif untuk membentuk kebiasaan yang baik
(habit), sehingga sifat anak sudah terukir sejak kecil. Tuhan menurunkan
petunjuk melalui para nabi dan rasul-Nya untuk manusia agar senantiasa
berperilaku sesuai dengan yang diinginkan Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka
bumi (Megawangi, 2008: 23).
Karakter menurut Alwisol diartikan sebagai gambaran tingkah laku yang
menonjolkan nilai benar-salah, baik-buruk, baik secara eksplisit mau-pun implisit.

13
Karakter berbeda dengan kepribadian, karena pengertian kepribadian dibebaskan
dari nilai. Meskipun demikian, baik kepribadian (personality) maupun karakter
berwujud tingkah laku yang ditunjukkan ke lingkungan sosial. Keduanya
relatif permanen serta menuntun, mengarahkan, dan mengorganisasikan
aktivitas individu (Suwito, 2008: 27-28).
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa karakter adalah
kualitas atau kekuatan mental dan moral, akhlak atau budi pekerti individu
yang merupakan kepribadian khusus yang membedakan dengan individu lain.
Dengan demikian, dapat dikemukakan juga bahwa karakter adalah kualitas
mentalatau kekuatan moral, akhlak atau budi pekerti dari nilai-nilai dan
keyakinan yang ditanamkan dalam proses pendidikan yang merupakan
kepribadian khusus yang harus melekat pada anak.
Anak dapat dikatakan berkarakter kuat dan baik jika telah berhasil
menyerap nilai dan keyakinan yang telah ditanamkan dalam proses pendidi-kan
serta digunakan sebagai kekuatan moral dan spiritual dalam kepribadiannya
untuk menjalankan tugas dan kewajibannya mengelola alam (dunia) untuk
kemanfaatan dan kebaikan masyarakat dan dirinya.
Anak usia dini memiliki karakteristik yang khas, baik secara fisik,
psikis, sosial, moral, dan sebagainya. Masa kanak-kanak merupakan masa yang
paling penting untuk sepanjang usia hidupnya. Sebab masa kanak-kanak adalah
masa pembentukan fondasi dan dasar kepribadian yang akan menentukan
pengalaman anak selanjutnya. Pengalaman yang dialami anakpada usia dini
akan berpengaruh kuat terhadap kehidupan selanjutnya. Pengalaman tersebut
akan bertahan lama, bahkan tidak dapat terhapuskan (Mashar, 2015: 7).
Anak usia dini (0-8) tahun adalah individu yang sedang mengalami
proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Bahkan dikatakan
sebagai golden age(usia emas) yaitu usia yang sangat berharga dibanding usia-
usia selanjutnya. Usia tersebut merupakan fase kehidupan yang unik, secara lebih

14
rinci akan diuraikan karakteristik anak usia dini sebagai berikut (Ayuningsih, 2012:
94).

a. Usia 0-1 tahun.


1) Beberapa karakteristik anak usia bayi dapat dijelaskan antara
lain:a.Mempelajari keterampilan motorik mulai dari berguling,
merangkak, duduk, berdiri, dan berjalan.
2) Mempelajari keterampilan menggunakan panca indera, seperti melihat,
atau mengamati, meraba, mendengar, mencium, dan mengecap dengan
memasukkan setiap benda ke mulut
3) Mempelajari komunikasi sosial
b. Usia 2-3 tahun
Beberapa karakteristik khusus yang dilalui anak usia 2-3 tahun antara lain:
1) Anak sangat aktif mengeksplorasi benda-benda yang ada di sekitarnya
2) Anak mulai mengembangkan kemampuan berbahasac.Anak mulai belajar
mengembangkan emosi
c. Usia 4-6 tahun
Anak usia 4-6 tahun memiliki karakteristik antara lain:
1) Berkaitan dengan perkembangan fisik, anak sangat aktif melakukan berbagai
kegiatan
2) Perkembangan bahasa juga semakin baik
3) Perkembangan kognitif (daya fikir) sangat pesat, ditunjukkan dengan
rasa ingin tahu anak yang luar biasa terhadap lingkungan sekitar.
4) Bentuk permainan anak masih bersifat individu, bukan permainan sosial
d. Usia 7-8 tahun
Karakteristik perkembangan anak usia 7-8 tahun antara lain:
1) Perkembangan kognitif anak masih berada pada masa yang cepat.
2) Perkembangan sosial anak mulai ingin melepaskan diri dari otoritas orang
tuanya.

15
3) Anak mulai menyukai permainan sosial
4) Perkembangan emosi
Sementara itu Solehuddin, dkk. (2005: 449-450) mencatat ada sembilan
karakteristik anak usia dini:
a. Unik
Masing-masing anak berbeda satu sama lain, anak memiliki bawaan, minat,
kapabilitas, dan latar belakang kehidupan masing-masing.
b. Egosentris
Anak lebih cenderung melihat dan memahami sesuatu dari sudut pandang dan
kepentingannya sendiri
c. Aktif dan energik.
Anak lazimnya senang melakukan berbagai aktivitas, apalagi kalau anak
dihadapkan pada suatu kegiatan yang baru dan menantang
d. Eksploratif dan berjiwa petualang
Terdorong oleh rasa ingin tahu yang kuat terhadap segala hal, anak lazimnya
senang menjelajah, mencoba, dan mempelajari hal-hal baru.
e. Relatif spontan
Perilaku yang ditampilkan anak umumnya relatif asli dan tidak ditutup-tutupi
sehingga merefleksikan apa yang ada dalam perasaan dan pikirannya.
f. Mudah frustasi
Umumnya anak masih mudah kecewa bila menghadapi sesuatu yang tidak
memuaskan
g. Kurang pertimbangan dalam melakukan sesuatu.
Sesuai dengan perkembangan cara berpikirnya, anak lazimnya belum
memiliki rasa pertimbangan yang matang, termasuk berkenaan dengan hal-hal
yang membahayakan
h. Daya perhatian yang pendek
Anak lazimnya memiliki daya perhatian yang pendek, kecuali terhadap hal-
hal yang secara intrinsik menarik dan menyenangkan

16
i. Anak bergairah untuk belajar dan banyak belajar dari pengalaman
Anak senang mencari tahu tentang sesuatu yang baru dan se-nang
melakukan berbagai aktivitas yang mendorong terjadinya peru-bahan tingkah
laku pada dirinya.

3. Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan antar pribadi dibangun antara lain atas kemampuan inti untuk
mengenali perbedaan; secara khusus, perbedaan besar dalam suasana hati,
tempramen, motivasi, dan kehendak. Dalam bentuk yang lebih maju, kecerdasan
ini memungkin kan orang dewasa yang keterampilan membaca kehendak
dankeinginan orang lain. Bahkan ketika keinginan itu disembunyakan.
Keterampilan ini muncul dalam bentuk yang amat canggih dalam diri pemimpin
keagaman atau politik, guru, ahli terapi dan orang tua (Gardner, 2003:45).
Kemampuan merasakan perasaan orang lain, mengakibatkan anak yang
berkembang dalam kecerdasan interpersonal mudah mendamaikan konflik.
Kepekaan ini juga mengantarkan mereka menjadi pemimpin di antara teman
sebayanya. Mereka relatif mampu menempatkan teman-temannya pada tempat yang
sesuai. Hal ini mendorong mereka mengorganisasikan, memimpin (Musfiroh,
2012:7).
Kecerdasan interpersonal yang mencakup kepekaan dalam membedakan dan
merespon perilaku yang ditampilkan oarang lain. Kecerdasan ini dapat
diidentifikasi dengan beberapa kemampuan yaitu: mempunyai teman yang
banyak, (lebih dari 3); banyak bersosialisasi di sekolah dan lingkungannya,
tampak sangat mengenali lingkungannya, terlibat dalam kegiatan kelompok di
sekolah atau diluar sekolah, mampu berperan sebagai penengah pada teman-
teman atau keluargajika ada konflik, menikmati permainan kelompok,
menunjukkan empati terhadap perasaan orang lain, dapat menjadi penasehat atau
pemecah masalah diantara teman-temannya, menikmati kegiatan mengajar orang
lain, dan menunjukkan bakat untuk menjadi pemimpin (Jamaris. 2017)

17
Kecerdasan interpersonal adalah kemapuan untuk memahami dan
bekerjasama dengan orang lain. Dalam kehidupan sehari hari untuk pribadi,
keluarga, dan pekerjaan, Kecerdasan ini dinilai mutlak diperlakukan dan
seringkali di sebut sebagai yang lebih penting darikecerdasan lain untuk sukses
dalam hidup (Siswanto dan Lestari, 2012:123).
Bukti biologis untuk kecerdasan antar pribadi meliputi dua faktor
tambahan yang sering dikatakan khas untuk manusia. Satu faktor adalah masa anak-
anak yang panjang dari primata, termasuk hubungan dekat dengan ibu. Dalam
kasus ibu dipisahkan dari anak semasa pertumbuhan awal,
perkembangan antar pribadi normal mengalami bahaya serius. Faktor kedua
relatif penting dalam interaksi sosial manusia. Keterampilan seperti berburu,
mengikuti jejak, dan membunuh dalam masyarakat prasejarah memerlukan
partisipasi dan kerja sama, sejumlah besar orang. Perlunya kesatuan
kelompok, kepemimpinan, organisasi, dan solidaritas secara alami
berkembang dari situ (Gardner, 2003).
Kecerdasan interpersonal ditampakkan pada kegembiraan berteman dan
kesenangan dalam berbagai macam aktifitas sosial serta ketak nyamanan atau
keengganan dalam kesendirian atau menyendir (Jasmine, 2007). Kecerdasan
interpersonal berhubungan dengan hubungan antara pribadi. Anak yang
menonjol kecerdasan interpersonalnya menunjukkan ciri, (a) punya banyak
teman (b) banyak bersosialisasi di sekolah dan lingkungannya.
Kecerdasan Interpersonal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka
terhadap perasaan orang lain. Mereka cenderung untuk memahami dan
berinteraksi dengan orang lain sehingga mudah bersosialisasi dengan
lingkungan di sekelilingnya
Anak–anak yang berkembang dalam kecerdasan Interpersonal sangat
membutuhkan kesempatan untuk menyampaikan gagasannya pada teman lain.
Mereka membicarakan berbagai masalah ke pada orang lain dan masalah

18
kepada orang lain dan mudah memahami orang. Oleh karena itu, anak-anak
dengan kecerdasan Interpersonal memiliki banyak teman.
Anak anak yang berkembang dalam kecerdasan Interpersonal peka
terhadap kebutuhan orang lain. Apa yang di maksud, dirasakan, direncanakan, dan
diimpikan orang lain. Dapat ditangkap melalui pengamatannya terhadap kata-
kata, gerak-gerik, gaya bicara, dan sikap orang lain. Mereka akan bertanya,
memberi perhatian, atau memberikan bantuan yang dibutuhkan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Schmidtbahwa anak-anak yang cerdas secara Interpersonal
merupakan individu yang cinta damai. Mereka adalah pengamat dan motivator yang
baik.
Kemampuan merasakan perasan orang lain, mengakibatkan anak yang
berkembang dalam kecerdasan Interpersonal mudah mendamaikan konflik.
Kepekaan ini juga menghantarkan mereka menjadi pemimpin di antara
sebayanya. Mereka relatif mampu menempatkan teman-temannya pada
tempat yang sesuai. Hal ini mendorong mereka mengorganisasikan,
memimpin ( dan yang terburuk menipulasi).
Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa anak-anak usia 2-3 tahun
belum banyak menunjukkan perkembangan yang baik dalam kecerdasan
Interpersonal.Walaupun terlihat lincah dan dapat menjalin hubungan dengan
sebaya, anak usia 2-3 tahun masih pada tahap memberi perhatian, bermain
bersama, dan berbicara dengan sebaya. Sementara itu, anak KB dan TK sudah berani
mengomunikasikan masalahnya kepada orang lain, memiliki kemampuan
menggunakan isyarat Interpersonal, seperti sentuhan dan kontak mata, mengajari
teman sebaya, menikmati kegiatan sosial, terdorong memimpin, dan berani
bersosialisasi dengan orang baru.

B. State of the Art

19
Pada state of the art ini, diambil beberapa contoh penelitian terdahulu sebagai
panduan ataupun contoh untuk penelitian yang dilakukan yang nantinya akan menjadi
acuan dan perbandingan dalam melakukan penelitian ini.

Tabel 1.1
State of the Art

No. Nama Peneliti Sampel Hasil Penelitian


Judul Variabel
Metode
1 Kee-Duck Jang and Sung-Ju Park Sampel penelitian: Untuk Tidak ada banyak
(2016) ini, 4 siswa di perbedaan menurut
Comparison of Recognition departemen pendidikan pendapat dari siswa dan
between Male Teachers and anak usia dini di guru pria di departemen
Preliminary Male Teachers in the community college, 4 pendidikan anak usia dini
Department of Early Childhood laki-laki guru di di community college dan
Education in Community College community college, 4 mereka yang berada di
and 4-Year University siswa di departemen Universitas 4 tahun dalam
Indian Journal of Science and pendidikan anak usia dini hal 'motivasi masuk dan
Technology, Vol 9(40), DOI: di Universitas 4 tahun, kehidupan kampus,'
10.17485/ijst/2016/ v9i40/103246, dan 4 para guru di 'profesi mengajar di taman
October 2016 Universitas 4-tahun telah kanak-kanak,' dan
berpartisipasi dalam ‘Harapan di masa depan’.
penelitian ini. Adapun Namun, perbedaannya
metode pengumpulan menunjukkan bahwa
data, wawancara mereka yang berasal dari
mendalam, Universitas 4 tahun
wawancara telepon, dan memiliki kebanggaan
email telah banyak dalam posisi mereka.
digunakan. .
2 J. Peeters, T. Rohrmann, and K. Studi Pustaka Sikap dan praktik gender
Emilsen (2015) Variabel: gender; gender yang dipegang teguh di
Gender balance in ECEC: why is balance; men in ECEC; bidang perawatan dan
there so little progress? corporeality; diversity pekerjaan pendidikan
European Early Childhood Metode: Deskriptif dengan anak-anak harus
Education Research Journal explanatory dipertanyakan. Diperlukan
Vol. 23, No. 3, 302–314, lebih banyak ruang dalam
http://dx.doi.org/10.1080/ ECEC untuk subjektivitas
1350293X.2015.1043805 yang diwujudkan untuk
mengatasi konsepsi
esensialis tentang
perbedaan antara tubuh
dan pikiran, wanita dan
pria.

20
3 Lei Wang, Ruirui Dang, Yu Baic, Sampel: tudy sample Temuan menunjukkan
Siqi Zhang, Buyao Liu, Lijuan included 1031 children bahwa 36% anak-anak
Zheng, Ning Yang, Chuyu Song and 583 prasekolah dalam sampel
(2010) preschool mengalami keterlambatan
Teacher qualifications and teachers in 347 perkembangan.
development outcomes of preschools Secara keseluruhan,
preschool children in rural China Variabel: Teacher Kualifikasi guru (tingkat
Early Childhood Research qualifications and pendidikan, spesialisasi
Quarterly 53 (2020) 355–369 development outcomes dalam pendidikan anak
Metode: Our analytic usia dini, professional
approach is comprised of peringkat, pengalaman
three parts dan pelatihan) secara
signifikan terkait dengan
perkembangan anak usia
prasekolah hasil.
Peringkat profesional guru
dan pencapaian
pendidikan secara positif
dan signifikan berkorelasi
dengan dua ukuran
perkembangan bahasa
anak, tetapi gelar yang
mengkhususkan diri pada
anak usia dini pendidikan
secara negatif terkait
dengan akuisisi kosa kata.
Tidak ada korelasi
signifikan yang ditemukan
antara pengalaman guru
atau pelatihan guru dan
hasil perkembangan anak.
Penelitian ini
menyimpulkan bahwa
pembuat kebijakan harus
mendorong guru yang
berpendidikan tinggi dan
profesional untuk
melayani di pedesaan
prasekolah dalam rangka
meningkatkan
perkembangan anak-anak
prasekolah.
4 Eka Sapti Cahyaningrum, Sampel: Taman Kanak- Proses implementasi
Sudaryanti, Nurtanio Agus kanak sebanyak 28 pendidikan karakter di
Purwanto (2017) sekolah lembaga PAUD se-
Pengembangan Nilai-Nilai Variabel: Karakter, Kecamatan Ngemplak
Karakter Anak Usia Dini Melalui Pendidikan Anak Usia dapat dilihat dari
Pembiasaan Dan Keteladanan Dini penekanan 4 karakter
https://journal.uny.ac.id/ Metode: Jenis penelitian dalam proses
index.php/ jpa/issue/view/1302 adalah pengembangan pembelajaran. Empat
dengan rancangan karakter dalam pendidikan

21
penelitian ini akan karakter meliputi karakter:
menguji implementasi religius, jujur, toleransi,
nilai-nilai pendidikan dan disiplin. Setiap
karakter, dengan indikator pendidikan
menggunakan siklus karakter ditunjukkan
tahapan R&D dari Borg dengan strategi maupun
dan Gall metode pembelajaran yang
mencerminkan nilai nilai
setiap karakter. Metode
pembelajaran yang
dimaksud dapat berupa
wujud penugasan maupun
praktik pembelajaran serta
pembiasaan sehingga
nilai-nilai pendidikan
karakter dapat
terimplementasikan
5 Patmi Yati (2016) Sampel: Pendidikan karakter
Pendidikan Karakter Anak Usia Variabel: Pendidikan merupakan pendidikan
Dini melalui Metode Pembelajaran Karakter, Anak Usia yang sangat penting
Field Trip Dini, Pembelajaran Field ditanamkan sejak usia
Lentera, Vol. XVIII, No. 1, 2016 Trip dini. Pendidikan karakter
Metode; Deskriptif melibatkan penanaman
kualitatif pengetahuan, kecintaan
dan penanaman perilaku
kebaikan yang menjadi
sebuah pola/kebiasaan.
Nilai-nilai karakter yang
dipandang ideal dan
sangat penting
diinternalisasikan ke
dalam setiap jiwa anak
usia dini mencakup nilai-
nilai berikut: Kecintaan
terhadap Tuhan YME,
kejujuran, disiplin,
toleransi dan cinta damai,
percaya diri, mandiri,
tolong menolong,
kerjasama, dan gotong
royong, hormat dan sopan
santun, tanggung jawab,
kerja keras,
kepemimpinan dan
keadilan, kreatif, rendah
hati, peduli lingkungan,
serta cinta bangsa dan
tanah air. Kesemua nilai
karakter di atas dapat
ditanamkan dengan
berbagai metode

22
pembelajaran di PAUD.
6 Qurratul Aini (2019) Sampel: Anak kelompok Terjadi peningkatan
Pengembangan Karakter Sopan B RA Adirasa Jumiang karakter sopan santun
Santun Melalui Kegiatan Bermain Muballighin II. anak dari Siklus I sampai
Peran Pada Anak Usia Dini di TK Variabel: metode dengan Siklus III. Rata-
Adirasa Jumiang bermain peran, karakter rata persentase pencapaian
Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini sopan santun kemampuan karakter
Vol. 01 No. 02, Desember 2019 Metode: Penelitian sopan santun anak
https://journal.uinmataram.ac.id/ Tindakan Kelas meningkat berturut-turut
index.php/IEK/index dari prasiklus, sikus I dan
siklus III. Berturut-turut
45% pada kondisi
prasiklus meningkat
menjadi 70% pada siklus
I, 22,62% di siklus II.
Sedangkan jumlah anak
yang tuntas belajar atau
mencapai prosentase
keberhasilan sebesar 75%
juga terus anak yang
prasentase pencapaiannya
yang berkatagori mulai
berkembang. Dan pada
siklus III, anak sudah
banyak mengalami
peningkatan salah satunya
bisa mwewarnai sesuai
dengan kreasinya sendirai
dan sudah bisa tidak
melebihi garis ketika
mewarnai
7 Jamal Ahmad, Eman Al-Zboon, Sampel: 195 participants Peserta menganggap
Mustafa Fankhour Alkhawaldeh, in the study: 117 mothers pekerjaan laki-laki di
and Amal Al Khatib and 78 female preschool prasekolah dapat diterima,
Jordanian Mothers’ and teachers namun mereka
Female Preschool Teachers’ Variabel: emale berpendapat bahwa
Perceptions of Men Working preschool teachers, male mengajar prasekolah
in Preschools preschool teachers, adalah pekerjaan wanita.
Journal of Men’s Studies 2018, preschool education Ibu setuju bahwa anak-
Vol. 26(1) 77 –91 Metode: Deskriptif anak mendapatkan
DOI: 10.1177/1060826517729507 kuantitatif pengalaman yang beragam
journals.sagepub.com/home/men ketika diajarkan oleh pria
atau wanita. Guru sekolah
perempuan tidak
sependapat bahwa guru
laki-laki memiliki kontrol
lebih besar terhadap siswa
mereka selama kunjungan
lapangan. Terutama, guru
sekolah perempuan usia
19 hingga 29 tahun lebih

23
banyak menerima gagasan
guru laki-laki prasekolah
daripada kelompok umur
lainnya.
8 Ramazan Sak, Tim Rohrmann, Sampel: 207 ibu dan 139 Mayoritas
İkbal Tuba Şahin Sak, Gabriele ayah 9orang tua tidak
Schauer. (2019) Parents’ views on Variabel: Male teacher, mengaitkan signifikansi
male ECEC workers: a cross- preschool, parents tertentu dengan jenis
country comparison. European opinion kelamin guru anak-anak
Early Childhood Education mereka di lembaga
Research Journal 27:1, pages 68- pendidikan prasekolah
80. meskipun sejumlah besar
orang tua masih
menganggap pengajaran
prasekolah sebagai
'pekerjaan wanita'. Guru
perempuan lebih disukai
karena kepatuhan dalam
masyarakat terhadap peran
stereotip dan gender
tradisional. Temuan ini
mengungkapkan bahwa
bertemu dengan seorang
guru laki-laki
memengaruhi preferensi
orang tua dalam
mendukung laki-laki.
Orang tua yang anaknya
menerima pendidikan dari
guru laki-laki percaya
bahwa laki-laki dapat
menjalankan profesi ini
sesukses perempuan
9 Ramazan Sak, Tim Rohrmann, Responden terdiri dari 46 Ada perbedaan yang
İkbal Tuba Şahin Sak, Gabriele guru laki-laki dan 46 signifikan antara skor
Schauer. (2019) Parents’ views on perempuan
male ECEC workers: a cross- Variabel: male early
kepercayaan diri guru
country comparison. European childhood pria dan wanita, dan
Early Childhood Education teachers, female early cara mereka
Research Journal 27:1, pages 68- childhood berinteraksi dengan
80 teachers, behavior orang tua murid
management (BM)
strategies, teachers’
mereka. Namun, tidak
beliefs, gender of ada perbedaan
teachers signifikan yang
Metode: ditemukan antara
keyakinan responden
pria dan wanita terkait
dengan kegunaan
strategi BM, atau

24
frekuensi penggunaan
strategi ini. ANOVA
dua arah juga
dilakukan untuk
mengeksplorasi
dampak gender /
pengalaman
mengajar, gender /
tingkat pendidikan,
dan ukuran gender /
kelas pada
kepercayaan diri
guru; persepsi mereka
tentang kegunaan
strategi BM;
frekuensi mereka
menggunakan strategi
semacam itu; dan
interaksi mereka
dengan orang tua. Tak
satu pun dari
hubungan ini yang
signifikan secara
statistik

Perbedaan penelitian ini dari penelitian yang ada sebelumnya bahwa: 1)


penelitian ini akan mendeskripsikan bagaimana keseimbangan peran guru laki-
laki dan perempuan dalam mengembangkan karakter interpersonal dan sopan
santun; 2) penelitian ini melibatkan dimensi-dimensi lain yang relevan dengan
dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik sebagai dimensi yang lebih banyak
digunakan selama ini, sehingga secara nyata mengimplementasikan wacana
pengukuran hasil belajar anak usia dini, 3) Penelitian ini menggunakan subjek
penelitiannya adalah guru dan objek penelitiannya adalah anak.

25
DAFTAR PUSTAKA

A. Setiono Mangoen Prasodjo dan Sri Nurhidayati. (2005). Anak Masa Depan
dengan. Multi Inteligensi. Jakarta: Rineka Cipta. Darsinah

Aini, Qurratul (2019). Pengembangan Karakter Sopan Santun Melalui Kegiatan


Bermain Peran Pada Anak Usia Dini di TK Adirasa Jumiang. Jurnal
Pendidikan Anak Usia Dini Vol. 01 No. 02, Desember 2019
https://journal.uinmataram.ac.id/ index.php/IEK/index

Asmani, Jamal. (2011). Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter. Sekolah.


Jogjakarta: Diva Press

Ayuningsih, Diah. (2012). Psikologi Perkembangan Anak. Yogyakarta: Pustaka


La-rasati.

Aziz, Abdul., Hamka. (2011). Pendidikan Karakter Berpusat pada Hati. Jakarta:
Al-Mawardi Prima.

Cahyaningrum, Eka Sapti., Sudaryanti, Nurtanio Agus Purwanto (2017).


Pengembangan Nilai-Nilai Karakter Anak Usia Dini Melalui Pembiasaan Dan
Keteladanan. https://journal.uny.ac.id/index.php/ jpa/issue/view/1302

Ching-Sheue, & Kun-Chung (2010). Learning Experiences of Male Pre-service


Preschool Teachers in Taiwan.

Creswell, J. W. (2013). Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing Among


Five Approach, Third Edition. SAGE

Echols, John M. dan Shadiliy. Hasan (1993). Kamus Inggris Indonesia (Cet. XII;
Jakarta: Gramedia.

Gardner, Howard. (2003). Multiple Intelligences Kecerdasan Majemuk Teori


Dalam Praktek. Batam Center Interaksara.

Goleman, D. (2002). Emotional Intelligence. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Helen Tierney (ed.), Women's Studies Encyclopedia, vol. 1, New York: Green
Wood Press, h. 153 dalam Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender:
Perspektif al-Qur'an,Paramadina, Jakarta: 2001, hal. 33-34
Ho, D., & Lam, H. (2014). A study of male participation in early childhood
education: Perspectives of school stakeholders. International Journal of

26
Educational Management, 28(5), 498–509. https://doi.org/10.1108/IJEM-02-
2013-0024

J. Peeters, T. Rohrmann, and K. Emilsen (2015). Gender balance in ECEC: why is


there so little progress? European Early Childhood Education Research
Journal Vol. 23, No. 3, 302–314, http://dx.doi.org/10.1080/
1350293X.2015.1043805

Jamal Ahmad, Eman Al-Zboon, Mustafa Fankhour Alkhawaldeh, and Amal Al


Khatib Jordanian Mothers’ and Female Preschool Teachers’ Perceptions of
Men Working in Preschools (2018). Journal of Men’s Studies, Vol. 26(1) 77–
91. DOI: 10.1177/1060826517729507. journals.sagepub.com/home/men.

Jamaris, Martini (2017). Pengukuran Kecerdasan Jamak. Bogor: Penerbit Ghalia


Indonesia.

Jang, Kee-Duck and Sung-Ju Park (2016). Comparison of Recognition between Male
Teachers and Preliminary Male Teachers in the Department of Early
Childhood Education in Community College and 4-Year University Indian,
Journal of Science and Technology, Vol 9(40), DOI: 10.17485/ijst/2016/
v9i40/103246, October 2016

Jasmine, Julian. (2007). Mengajar Dengan Kecerdasan Majemuk. Bandung: Nuansa.

Maksudin. (2013). Pendidikan Karakter Non-Dikotomik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Mashar, Riana. (2015). Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya. Jakarta:
Prena-damedia Grup.

Megawangi, Ratna. (2008). Pendidikan Karakter. Jakarta: Indonesia Heritage


Founda-tion. 2008.

Muliati, Sri. (2005). Upaya Mengintegrasikan Perspektif Gender. Jakarta: Rineka


Cipta, 2005.

Musfiroh, Tadkiroatun (2012). Pengembangan Kecerdasan Majemuk. Tanggerang


Selatan: Universitas Terbuka.

Muwafik, Saleh. (2012). Membangun Karakter Dengan Hati Nurani. Jakarta:


Erlangga, 2012

27
Ramazan Sak, Tim Rohrmann, İkbal Tuba Şahin Sak, Gabriele Schauer. (2019)
Parents’ views on male ECEC workers: a cross-country comparison. European
Early Childhood Education Research Journal 27:1, pages 68-80.

Shalihah, Anisa Khabibahtus (2013). “Nilai-Nilai Pendidikan Karakter”, Skripsi,


Yogyakarta: Program Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, ,.

Sheelagh Drudy (2008) Gender balance/gender bias: the teaching profession and the
impact of feminisation, Gender and Education, 20:4, 309-323, DOI:
10.1080/09540250802190156

Siswanto, Igrea dan Lestari, Sri. (2012). Pembelajaran Atrakrif Dan 100
Permainan Kreatif . Yogyakarta: Andi.

Solehuddin, M., dkk. (2005). Pendidikan dan Konseling di Era Global. Bandung:
Rizki Press. 2005.

Suwito, Umar, dkk. (2008). Tinjauan Berbagai Aspek: Character Building.


Yogyakarta: Tiara Wacana.

Syarifuddin (2016), Peran Strategi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Dalam


Membangun Karakter Guru Professional,.Raudhah , Vol. IV, No.1.

Tim Penyusun Kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (1989). Jakarta: Balai
Pustaka.

Wang, Lei, Ruirui Dang, Yu Baic, Siqi Zhang, Buyao Liu, Lijuan Zheng, Ning Yang,
Chuyu Song (2010). Teacher qualifications and development outcomes of
preschool children in rural China Early Childhood Research Quarterly 53
(2020) 355–369

Yati, Patmi (2016). Pendidikan Karakter Anak Usia Dini melalui Metode
Pembelajaran Field Trip Lentera, Vol. XVIII, No. 1, 2016

Zuhriyah, Lailatuzz (2018). Perempuan, Pendidikan Dan Arsitek Peradaban Bangsa.


Martabat: Jurnal Perempuan dan Anak, Vol. 2,No. 2,Desember2018,
DOI: 10.21274/martabat.2018.2.2.249-268

28

Anda mungkin juga menyukai