Anda di halaman 1dari 17

TEORI AL-FARABI

Kelompok 3 :

Abdul Latip
Feby Novianti
Innashova Eka Putri
Ita Ristiawati
Halimah
Hasanah
Masliana
Novia Puspita Sari
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................

A. Latar Belakang .............................................................................................................

B. Rumusan Masalah.........................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................

A. Biografi Al-Farabi........................................................................................................

B.Pemikiran Etika Al-Farabi.............................................................................................

C. Filsafat Emanasi Al-Farabi.........................................................................................

D. Karya-Karya Al-Farabi...............................................................................................

BAB III PENUTUP.......................................................................................................

A. Kesimpulan ................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diskusi tentang etika adalah salah satu pembicaraan paling tua
sepanjang sejarah. Ini terutama diawali oleh para filsuf yang tertarik pada
eksistensi manusia, yang di dalamnya disinggung persoalan tentang tingkah
laku manusia. Diketahui bahwa etika mulai didiskusikan pertama kali oleh
murid-murid Phytagoras (570-496 SM) yang mempersoalkan tentang metode
penyucian diri sebagai norma etis dalam mengatur tingkah laku sehari-hari. 1
Kemudian dilanjutkan oleh Demokritus (460-371 SM) dan kalangan kaum
Sofis (abad ke-5 SM), serta dalam tulisan-tulisan serius yang dihasilkan oleh
Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM), adapun Sokrates yang
menulis, “kita sedang membicarakan masalah yang tidak kecil, yakni
mengenai bagaimana kita harus hidup”.2
Jika kita melihat dalam Islam sendiri, etika sesungguhnya pembicaraan
yang menjadi esensi dari ajaran agama. Bahkan sejak awal kehadiran Islam di
dunia, ajaran yang sangat ditekankan dan menjadi fondasi bagi Islam itu
sendiri adalah etika. Al-Qur’an menyebutkan dalam Q.S. al-Qalam : 4
Yang artinya : “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi
pekerti yang luhur, dan dalam hadits yang masyhur disebutkan sesungguhnya
aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan akhlak.”
Dalam hal ini tampak, etika tidak hanya menjadi persoalan pokok
dalam agama, tetapi juga kehidupan manusia secara universal. Etika
mengharuskan manusia memilih jalan hidup dan caranya bertindak agar ia
bisa mencapai kebahagiaan. Tentu, memilih jalan hidup dan
mempertimbangkan cara bertindak yang baik dan benar adalah bagian dari
moral. Konsep moral sendiri berlandaskan pada etika.3

1
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1975), 34-35.
2
Muhammad Taufik, “Etika dalam Perspektif Filsafat Islam” dalam Zuhri, Etika:
Teoridan Praktek, (Yogyakarta: FA Press, 2016), 36
3
Zuhri, Etika: Teori dan Praktek (Yogyakarta: FA Press, 2016), 65.

1
Mengenai etika ini, sebagian kalangan pemikir barat menyangka
bahwa landasan aturan-aturan etika tidak lain berasal dari perintah, larangan,
kewajiban, dan ancaman. Dengan kata lain, hakikat aturan-aturan itu adalah
anjuran. Karenanya pengetahuan etika dianggap tidak bernilai sebagai
kebenaran. Maka mereka meyakini bahwa semua aturan itu tidak memiliki
patokan kebenaran dan kesalahan. Bahkan, tidak mungkin ada tolak ukur
untuk mengenali kebenaran atau kegalatan mereka.4
Sebagaimana diketahui, etika pertama kali dibicarakan oleh para filsuf
Yunani. Pasca era Yunani, Islam bangkit sebagai sebuah agama sekaligus
sebagai kekuatan baru dalam pencapaian pengetahuan. Karenanya kemudian,
para pemikir Muslim banyak belajar pada filsuf Yunani, tidak hanya dalam
etika tetapi juga berbagai kajian lainnya seperti ontologi. Banyak pendapat
yang menyatakan bahwa tradisi filsafat Islam bukanlah tradisi yang orisinil
melainkan berasal dari pikiran-pikiran Yunani. Pernyataan ini tampak ada
benarnya, karena faktanya memang beberapa buku-buku karya Aristoteles dan
Plato diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.5
Salah satu filsuf Islam yang menggali pemikiran filsuf Yunani dengan
sangat serius adalah al-Farabi. Ia merupakan filsuf klasik awal yang berusaha
menggaungkan filsafat di dunia Islam. Pikiran-pikirannya banyak terilhami
dari para filsuf Yunani, terutama Aristoteles dan Plato. Berbagai tema-tema
pokok mengenai filsafat hampir semua dibahas olehnya, salah satunya yang
jarang menjadi fokus kajian serius saat ini adalah teori etika yang
dikemukakannya.
Karena itu, tulisan ini akan mencoba mengetengahkan bagaimana teori
etika yang dibangun oleh al-Farabi, terutama prinsip-prinsipnya tentang
kehidupan yang bahagia dan bagaimana cara mencapai kebahagiaan yang
sesungguhnya. Melalui pemahaman al-Farabi tentang etika, pengamatan kita
terhadap konsep etika yang dibangun sesudahnya sangat mungkin akan lebih
4
Muhammad Taqi’ Mishbah Yazdi, Philisophical Instructions: An Introduction to
Contemporary Islamic Philosophy, terj. Musa Kazhim dan Saleh Bagir (Bandung: Mizan,
2003), 154
5
Seyyed Hosein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna-Suhrawardi-Ibn ‘Arabi, terj. Ach.
Maimun Syamsuddin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2014), 14.

2
mudah dipahami, karena al-Farabi termasuk tokoh filsuf Islam awal yang
concern pada etika. (Syafi'i, 2017)
B. Rumusan Masalah
1. Biografi al-Farabi
2. Pemikiran Etika al-Farabi
3. Filsafat Emanasi al-Farabi
4. Karya – Karya al-Farabi

3
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Biografi al-Farabi
Abu Nasr Muhammad bin al-Farakh al-Farabi lahir di Wasij, suatu
desa di Farab (Transoxania) pada tahun 257 H/870 M. Di Eropa ia terkenal
dengan nama Alpharabius yang memiliki ayah seorang jenderal yang
berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Oleh sebab itu, ia
terkadang dikatakan keturunan Persia dan terkadang ia disebut keturunan
Turki. Akan tetapi, sesuai ajaran Islam, yang mendasarkan keturunan dari
pihak ayahnya, lebih tepatnya ia disebut keturunan Persia.
Menurut beberapa literatur, al- Farabi dalam usia 40 tahun pergi ke
Baghdad, sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia kala itu. Ia
belajar kaidah-kaidah Bahasa Arab kepada Abu Bakar al-Saraj dan belajar
logika serta filsafat kepada seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius ibnu Yunus.
Kemudian, ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil dan
berguru kepada Yuhanna ibnu Jailan, akan tetapi tidak berapa lama ia kembali
ke Baghdad untuk memperdalam ilmu Filsafat. Selama di Baghdad ia banyak
menggunakan waktu untuk berdiskusi, mengajar, mengarang dan mengulas
buku-buku filsafat. Diantara muridnya yang terkenal adalah Yahya ibnu Adi,
filosof Kristen.
Berdasarkan karya tulisnya, filsof Muslim keturunan Persia ini
menguasai Matematika, kimia, astronomi, musik, ilmu alam, logika, filsafat,
bahasa dan lain-lain. Khusus bahasa, menurut riwayat, al-Farabi menguasai 70
bahasa. Riwayat ini, menurut Ibrahim Madkur lebih mendekati dongeng
ketimbang kenyataan yang sebenarnya. Agaknya, penilaian Madkur ini dapat
dibenarkan karena bahasa yang berkembang di kala itu termasuk bahasa ibu
al-Farabi sendiri tidak akan cukup 70 macam. Namun, jika dianalisis
munculnya riwayat itu bisa dikaitkan dengan kepiawaian al-Farabi dalam
berbagai bidang ilmu.
Al-Farabi meninggal dunia di Damaskus pada bulan Rajab 339
H/Desember 950 M pada usia 80 tahun dan dimakamkan di luar gerbang kecil

4
(al-bab al-saghir) kota bagian selatan. Saif al-Daulah saat itu yang memimpin
upacara pemakaman al-Farabi. Menurut Ibrahim Madkour, al-Farabi adalah
seorang sufi dalam relung hatinya. Ia hidup zuhud, sederhana, serta cenderung
kepada kesatuan dan kehampaan. Para sejarawan Arab telah melimpah dalam
menjelaskan kesederhanaan dan keberpalingan al-Farabi dari dunia.
B. Pemikiran Etika al-Farabi
Al-farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tetapi kompetensi,
kreativitas, kebebasan berfikir dan tingkat sofistikasinya lebih tinggi lagi. Jika
al-Kindi di pandang sebagai seorang filsuf Muslim dalam Islam yang sejak itu
terus dibangun dengan tekun. Ia terkenal karena telah memperkenalkan
doktrin “Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles” lewat risalahnya “al-
Jam’u baina Ra’yay al-Hakimaini Aflatbun wa Aristbu”. Bahkan sejumlah
kalangan beliau disebut sebgai the Second Master atau Maha Guru Kedua
setelah Aristoteles6.
Perspektif para filsuf Muslim, etika dalam islam disinggung dalam
berbagai perspektif. Contohnya al-Kindi, ia membicarakan etika Islam dalam
konteks obsesi, dia ingin memformulasikan titik temu anta ide filosofis di satu
sis dengan keyakinan dalam Islam baik dalam metafisika, kosmologi, dan
etika. Sementara al-Farabi lebih jauh masuk dan fokus merincikan persoalan
tersebut. Al-farabi menulis dua buah karya yaitu vitues (eudomonia) menjadi
state of mind bagi umat manusia untuk melakukan tindakan kebaikan. Pada
saat bersamaan, al-Farabi berusaha untuk membentuk jati diri seseorang dan
masyarakat yang memiliki basis etika yang baik harus dijalankan oleh sistem
sosial atau pemerintah yang baik juga. Oleh seba itu, al-Farabi lebih
memposisikan gagasan etika dalam pemikirannya ke dalam konsep besar
politik di satu sisi dan konsep metafisika di sisi lainnya.
Dengan prinsip tersebut, al-Farabi membagi keutamaan yang harus
dibangan dan disadari oleh setiap manusia ke dalam empat macam yaitu: (1)
keutamaan teoritis, (2) keutamaan epistemik, (3) keuatamaan kosmis, (4)

6
Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy (London: Routledge, 1996), Vol.
I, Cet. I, 962.

5
ketumaan praksis7. Sebagai seorang tokoh awal yang seriuas dalam bidang
fisafat, konsep etika yang di kemukakan oleh al-Farabi menjadi slah satu hal
penting dlam karyanya, yaitu berkaitan dengan pembicaraan tentang jiwa dan
politik. Hal ini juga berkaitan dengan persoalan tika ini adalah persoalan
kebahagiaan8. Al-Farabi juga sangat perhatian terhadap persoalan kebahagiaan
ini baik secara teoritis maupun praktis.
Beberapa pokok pikiran al-Farabi mengenai etika terbagi ada tiga
macan, yaitu:
1. Tindakan Manusia
Al-farabi dalam memahami tentang manusia berusaha berkonsentrasi
untuk menjelaskan al’amal iradi atau aksi vilisional. Dengan ini, ia
membedakan iradah dan ikhtiar, ia berpendapat bahwa iradah atau kehendak
diciptakan dari rasa rindu dan keinginan yang dibangkitkan oleh rasa dan
imajinasi. Sedangkan ikhtiar semat-mata diciptakan oleh oemikiran dan
analisa. Al-farabi juga menganalisis tingkat amal iradi, yag kemudin
dihubungkan secara erat dengan niat dan qasd. Niat baginya sangat jelas
mendahului dan tidak bersamaan dengan aksi yang disebut ‘azam. ‘azam yaitu
persoalan yang disimpan oleh hati bahwa Anda akan melakukan hal tersebut.
Sedangkan qasd atau unsur kesengajaan al-Farabi berpendapat terjadi
bersamaan dengan aksi.
Al-Farabi menjelaskan bahwa manusia bisa berbuat baik jika ia
berkehendak, karena manusia bebas untuk mewujudkan apa yang ia kehendaki
dan diperbuat. Tetapi, kebebasan ini berdasarkan pada hukum alam, masing-
masing diberi kemampuan sesuai dengan kejadiannya. Berdasarkan
pandangannya tentang tindakan manusia, al-Farabi menyarankan agar manusia
bertindak tidak berlebihan yang dapat merusak jiwa dan fisiknya, tetapi
manusia harus mengambil posisi tengah.
2. Kebahagiaan Sebagai Tujuan Akhir

7
Zuhri, Etika: Teori dan Praktek, 74-75.
8
Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy, Vol. I, Cet. I, 962.

6
Pada penjesan sebelumnya bahwa kebahagian adalah pencapaian
kesempurnaan sekaligus tujuan akhir manusia. Al-Farabi juga meyakini bahwa
dengan menetapkan kebahagiaan sebagai tujuan akhir, manusia akan menjdi
makhluk yang sesuai dengan kodratnya dan memiliki akhlak yang baik. Setiap
perbuatan manusia yang dilakukan untuk mencapai tujuan atau maksud
tertentunya atau paling akhir adalah kebahagian. Al-Farabi dalam pemikiran
tentang etika adalah apa yang ia katakan sebagai tindakan yang baik adalah
berdasarkan atas pertimbangan pikiran atau ratio, dan bukan berdasarkan
kerohanian semata yang berpusat pada kesenagan lahiriah. Oleh karena itu
yang disebut dengan perilaku yang bermoral menurut al-Farabi adalah
tindakan yang berdasarkan pada pertimbangan akal dan rasio, karena kita
mempunyai akal kita sudah memiliki kemampuan untuk menbedakan apa
yang buruk dan apa yang baik.
Gagasan al-farabi tentang etika ini mirip dengan apa yang menjadi
etika menurut Aristoteles. Menurut Aristoteles, kebahagiaan sebagai tuhuan
akhir hidup manusia, untuk mencapai tujuan akhir diperlukan moral yang
berdasarkan rasio. Pikiran Aristoteles tak terbantahkan diadopsi oleh al-Farabi
dalam penjelsannya mengenai kebaikan tinggi. Aritoteles mengatakan bahwa
kebaikan tertinggi itu adalah suatu keutamaan yang menjadi satu dengan
analisa akal, berbeda dengan halnya keutamaan manusia lainnya yang
berkaitan dengan tubuh. Namun pemikiran al-Farabi, kebahagiaan jiwa tidak
hanya dari badan dan perbuatan semata, namun yang pertama adalah pikiran
dan pemikiran.
Kebahagian sejati manusia berada pada tigkat akal mustafad, yang siap
menerima emanasi seluruh objek rasional dari akal aktif. Dengan demikian,
perilaku berfikir adalah perilakuyang dapat mewujudkan kebahagian
manusia9. Dalam perjalanannya, akal manusia berjalan melalui beberapa
tahapan. Awalnya akal tersebut adalah akal potensi, dan apabila ia telah
banyak memperoleh objek ilmunya dan kebenaran umum, maka ia akan

9
Muhammad Ustman Najati. Jiwa dalam Pandangan Paraf Filosof Muslim (Bandung: Pustaka Hidayah,
1993), 76.

7
menjadi akal nyata. Terkadang akal bisa meluas, sehingga dapat mengetahui
banyak hal yang universal, dan manusia sudah mencapai tingkat tertingginya
aitu tingkat akal mustafad atau disebut dengan tigkat pelimpahan dan turunnya
ilham.
Kebahagian yang bersifat teori dan metafisik merupakan tujuan yang
mulia yang dicari oleh akal manusia. Jika tingkatan ini didapatkan, maka jiwa
akan terbebas dan mampu keluar dari semua perkara yang bersifat kebendaan,
dan dapat berhubungan dengan alam pikiran yang didalamnya ada kebahagian
sejati atau kebahagian ideal yang sesuai dengan fitrah manusia bukan sekedar
hawa nafsu semata. Pernyataan ini bahwa al-Farabi juga mengambil upaya
yang dilakukan oleh Plato tentang dunai ide, dimana dinia ini adalah temapat
hakekat realitas atau wadah sesungguhnya bertumpunya kebahagian yang
sangat nyata. Kebahagiaan yang di tuju oleh filsafatdan moral, diverifikasi
oleh teori dan praktek serta diusahakanoleh manusia melalui studi dan tingkah
lakunya, adalah kebaikan mutlak dan puncak segala puncak dan batas akhir
ketinggian manusia dan surga bagi orang yang mencapainya.
Menurut al-Farabi, memang tidak semua orangmampu mencapai
tingkat kebahagiaan itu, ini hanya hadir pada orang-orang yang memiliki jiwa
yang suci yang dapat menembus dinding alam ghaib dan naik ke alam cahaya
dan kebahagian. Al-Farabi juga sudah membuktikan sendiri, dalam dirinya
tercermin perilaku dan pikiran yang suci sehingga jiwanya pun mencapai
kebahagiaan yang sejati. Pada akhirnya, disimpulkan satu formula baru etika
al-Farabi yang tidak ditemukan pada Aristoteles dan Plato. Al-Farabi berusaha
menggabungkam keduanya dalam usaha pencapaian kebahagiaan sebagai
tujuan akhir. Pemikiran al-Farabi telah berpijak pada pengetahuan ilmiah dan
rasional, Aristoteles dalam berparilaku dan bertindak sehingga seseotang tidak
keluar dari tindakan moral, lalu tujuan akhir kebahagiaan diadapatkan dari
pemikiran Plato, sehingga dia meyakini bahwa pencapaian akhir berdasarkan
perilaku yang sesuai denga moralitas tersebut akan membawa cita-cita akhlak
yang sesungguhnya yang sesuai dengan apa yang ada di dunia ide.
3. Kebahagiaan Sosial

8
Al-Farabi adalah seorang filsuf islam yang paling banyak
membicarakan persoalan kemanusiaan walaupun ia sebenarnya bukan orang
yang berkecimpung dalam dunia kemasyarakatan. Al-Farabi banyak mengeluti
di dunia moral, politik, dan psikologi. Ia juga serius menggeluti tentang
perilaku individu disamping juga ia membahas masalah kemasyarakatan.
Tampaknya, ia merupakan salah satu kaum Peripatetik Arab yang paling
serius mendalami sosiologi10.
Menurut al-Farabi, manusia bersifat sosial dan tidak mungkin hiduo
sendiri-sendiri. Manusia hidup bermasyarakat dan bantu membantu
kepentingan bersama dalam mencapai tujuan hidup yaitu kebahagian.
Sebagaimana Plato, al-Farabi menekankan bahwa bgian sesuatu negeri sangat
erat hubungannya satu sama lain dan saling bekerja sama sebagaimana satu
angota badan dengan anggota badan lainnya saling gotong-royong dan berlasi.
Jika salah satu anggota badan tidak berfungsi, maka akan terjadi ketidak
seimbangan.
Setiap anggota badan memiliki fungsi yang berbeda sesuai dengan
tugasnya, maka dari itu pula dengan masyarakat dalam sebuah negara,
amsing-masing memiliki tugas tertentu. Kebahagiaan masyarakat atau
terwujudnya individu dengan sempurna apabila ada pembagian kerja yang
sesuai dengan keterampilan dan kemampuan individu masing-masing dengan
berlandaskan rasa kesetiakawanan dan kerja sama11.
Al-Farabi juga menekankan empat jenis sifat utama yang harus
menjadi perhatian untuk mencapai kebahagian di dunia dan di akhirat bagi
bangsa-bangsa dan setiap warga negara, yaitu:
a. Keutamaan teoritis adalah prinsip pengetahuan yang di peroleh sejak awal
tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperoleh dengan kontemplasi,
penelitian dan belajar.
b. Keutamaan pemikiran adalah yang memungkinkan orang mengetahui hal
yang bermanfaat dalam tujuan.
c. Keutamaan akhlak adalah bertujuan untuk mencari kebaikan. Jenis
keutamaan ini berada di bawah dan menjadi syarat keutamaan pemikiran.
10
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, 231.
11
Majid Fakhry, Etika dalam Islam,terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 65.

9
Sedangkan kedua jenis keutamaan tersebut terjadi dengan tabiatnya, dan
bisa juga terjadi dengan kehendak sebagai penyempurna tabiat atau watak
manusia.
d. Keutamaan amaliah dapat diperoleh dengan dua cara yaitu pernyataan
yang memuaskan dan merangsang12.
Al-Farabi juga membagi masyarakat menjadi dua macam yaitu masyarakat
sempurna ( al-kamilah) dan masyarakat tidak sempurna (al-ghairu al-
kamilah)13.
a. Masyarakat sempurna (al-kamilah)
Masyarakat sempurna ini bisa berbentuk masyarakat kota dan bisa juga
masyarakat yang terdiri dari bebrapa bangsa yang bersatu dan bekerja sama
secara internasional. Masyarakat sempurna sendiri di bagi menjadi dua, yaitu:
- Masyarakat sempurna besar adalah gabungan antar bangsa yang
sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta kerja sama.
- Masyarakat sempurna sedang adalah masyarakat yang terdiri atas suatu
bangsa yang menghuni satu wilayah dari bumi ini atau negara nasional.
- Masyarakat sempurna kecil adalah masyarakat yang terdiri atas para
penghuni satu kota atau negara kota.
b. Masyarakat tidak sempurna
Masyarakat tidak sempurna atau belum sempurna adalah masyarakat
dalam satu keluarga atau masyrakat satu desa. Penghidupan sosial di tingkat
desa, kampung, lorong dan keluarga. Perkempbangan dari tidak/kurang
semurna menjadi sempurna menurut al-Farabi bertingkat-tingkat. Menurut al-
Farabi bahwa masyarakat sempurna ialah masyarakat yang mengandung
keseimbangan diantara unsur-unsurnya. Perbedaannya terletak pada unsur-
unsur masyarakat itu mempunyai kebebasan individual yang lebih besar maka
dalam diri manusia unsur itu lebih dikuasai dan di perintah oleh pusatnya.
Negara yang utama sebagai satu masyarakat yang sempurna menurut
al-Farabi adalah suatu masyarakat yang lengkap bagiannya, diibaratkan
sebagai suat organ tubuh manusia dengan anggota tubuh yang sempurna.
Masing-masing organ tubuh itu berrja sesuai fungsinya. Apabila ada organ
tubuh yang sakit, maka angota tubuh lainnya juga merasakan14. Al-Farabi
memberikan kriteria seseorang yang bisa menjadi kepala negra untuk

12
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), Cet. II, 43.
13
A’li Abdul Wahid Wafi, Al-Madînah Al-Fadhîlah Lil Farabi, (Mesir: Nahdhah, ttt), 38.
14
A’li Abdul Wahid Wafi, Al-Madînah Al-Fadhîlah Lil Farabi, 41.

10
tercapainya negara utama yaitu, berupa sehat badan, anggota badan semuanya
lengkap, ingatan yang kuat, kecerdasan yang tinggi, tanggapan yang tepat,
tutur kata yang baik, cinta kepada ilmu pengetahuan ke dala diri, menghiasi
diri dengan kejujuran sehingga bisa di percaya, tidak rakus, dan menjauhkan
diri dari kenikmatan materi dan duniawi15.
Al-Farabi menammabahkan lagu satu syarat, dan ini tamnpaknya
mambedakannya dengan pemikiran Plato dan lebih dekat dengan islam, yaitu
bahwa kepala negara harus bisa mncapai ketinggian akal fa’al yang menjadi
sumber wahyu dan ilham baginya. Akal fa’al yang dimaksudkan ialah salah
satu akal yang sepuluh akal diebutkan oleh al-Farabi dan akal ini yang
memiliki pengaruh bagi alam semesta dan berbagai peristiwa yang terdi di
dalamnya.
Bagi al-Farabi seorang kepala negara yang telah memperoleh
kebahagiaan yang hakiki dari kehidupan rohanuya tentu dapat menrik
rakyatnya kepada dirinya dan mendidi jwa mereka, serta membawanya
meniaki kepada alam cahaya yang cemerlang. Dari sini kita melihat bahwa
pemikira al-Farabi tentang pencapaian kebahagian masyarakat adalah berupa
ilmu yang lebih bersifat teori, dan buka suatu yang bersifat realistis-pragmatis.
Hal ini bisa dimaklumi karena memnag hanya seorang pemikir dengan
penjelajahan [emikirannya yang sangat luas.
C. Filsafat Emanasi al-Farabi
Di antara pemikiran filsafat Al-Farabi yang terkenal adalah
penjelasannya tentang "emanasi" (al-faid), yaitu teori yang mengajarkan
tentang proses urut–urutan kejadian suatu wujud yang mungkin (alam
makhluk) dari Zat yang wajib al-wujud (Tuhan). Menurutnya, "Tuhan adalah
akal pikiran yang bukan berupa benda". Segala sesuatu, menurut al-Farabi,
keluar (memancar) dari Tuhan karena Tuhan mengetahui bahwa Ia menjadi
dasar susunan wujud yang sebaik–baiknya. Ilmu-Nya menjadi sebab bagi
wujud semua yang diketahui-Nya. Bagaimana cara emanasi itu terjadi? Al-
Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu benar– benar Esa sama sekali. Karena itu,

15
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 109.

11
yang keluar dari pada–Nya juga tentu harus satu wujud saja. Kalau yang
keluar dari zat Tuhan itu terbilang, maka berarti zat Tuhan juga terbilang.
Menurut Al-Farabi dasar adanya emanasi ialah karena dalam pemikiran Tuhan
dan pemikiran akal-akal –yang timbul dari Tuhan– terdapat kekuatan emanasi
dan penciptaan.
Menurut teori emanasi Al-Farabi, karena filosof muslim pertama yang
menyesuaikan antara filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme, atau antara
filsafat wujud dan filsafat Yang Esa, maka dia berpendapat bahwa Allah
adalah ”Maujud Yang Pertama“. Pengertian Yang Pertama adalah dasar
pertama dari semua yang maujud dan sebab pertama bagi wujudnya. Maujud
pertama itu adalah sebab pertama dari wujud semua yang maujud.Adapun Ibn
Sina menempuh jalan lain. Ia mengikuti Aristoteles dalam mendefinisikan
metafisika sebagai ilmu mengenai yang maujud sebagai yang maujud, maujud
pertama yang merupakan wujud wajib ialah Allah. Ibnu Sina menyebut Allah
”Yang Wajib“, sedangkan Al-Farabi memilih sebutan ”Yang Pertama“. Oleh
karena itu, sama halnya dengan Al-Kindi, Al-Farabi berpendapat bahwa alam
ini adalah ”baharu“. Keduanya pun menyetujui teori emanasi Neoplatonisme
tentang kejadian alam dan hubungan Khalik dengan makhluk.13 Dalam
prinsip Aristoteles, Tuhan itu adalah Akal yang Berpikir, yang dinamakan
AlFarabi dengan sebutan Akal Murni. Prinsip ini dikembangkan dengan teori
emanasi Neoplatoniosme dan Plotinus. Akal murni itu esa adanya, dalam arti
bahwa akal itu berisi satu fikiran saja, yakni senantiasa memikirkan dirinya
sendiri.
Jadi, Tuhan itu adalah akal yang aqil (berfikir) dan ma'qul (difikirkan).
Dengasn ta’aqqul ini mulailah ciptaanTuhan. Tatkala Tuhan memikirkan itu,
timbullah suatu wujud baru atau terciptalah suatu akal baru yang dinamakan
al-Farabi al-aqlul al-awwal (akal pertama), begitu seterusnya sampai alaqlul
al-'asyir (akal kesepuluh) tentang langit dan bulan.
D. Karya-Karya al-Farabi

12
Al-Farabi yang terkenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki
keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh
dan menyeluruh.
Di antara karya-karya Al-Farabi adalah :
a) Al-Jami’u Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-
thails;
b) Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan);
c) As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan);
d) Fususu Al Taram (hakikat kebenaran);
e) Arro’u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama
pemerintahan);
f) As Syiasyah (ilmu politik);
g) Fi Ma’ani Al Aqli, (makna Berfikir);
h) Ihsha’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu);
i) Isbatu Al Mufaraqat, (Ketetapan Berpisah);
j) Al Ta’liqat (Ketergantungan).16

Adapun buku al-Farabi yang bejudul “Ihsaul Ulum” merupakan teori

keilmuan dan cabang-cabangnya yang meliputi ilmu Bahasa, Mantiq, matematika,


fisika, politik, hukum dan ketuhanan yang sebenarnya telah pernah dibahas oleh
para penulis lain. Namun yang membuat buku itu istimewa adalah karena al-
Farabi mengkaitkan semua cabang ilmu tersebut dengan teori-teroi keislaman
yang ia rangkum dalam dua cabang ilmu baru, yakni Fiqh (hukum Islam) dan
ilmu Kalam yang sangat populer dibicarakan pada masa itu.17

16
Mustofa, HA, Filsafat Islam (Bandung : Pustaka Setia, tt), hlm.127-128
17
Sudarsono. Filsafat Islam, ( Jakarta : PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 32

13
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

14
DAFTAR PUSTAKA

Hadi Suprapto, M. (2017). Kajian Filsafat Emanasi dan Jiwa dengan Pendekatan
Psikologi . Vol. II No. 02.
Putri, E. W. (2018). Konsep Kebahagiaan dalam Prespektif Al-Farabi.
Thaqafiyyat, Vol.19, No.1.
Setiyawan, A. (2016). Konsep Pendidikan Menurutt Al-Ghazali dan Al-Farabi.
Tarbawiyah, Vol.13, No.1.
Syafi'i, M. (2017). ETIKA DALAM PANDANGAN AL-FARABI. Ilmu Ushu-
luddin Vol.16, No.2.
Wiyono, M. (2016). Pemikiran Filsafat Al-Farabi . Substantia, Volume 18 Nomor
1.

15

Anda mungkin juga menyukai