Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari beragam


macamnya. Tentunya ini menghasurkan kita agar mencari jalan keluar untuk
penyelesaiinya, maka disusunlah kaidah secara umum yang dikuti cabang-
cabang secara lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan kaidah
tersebut. Adanya kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan
terhadap penyelesaian masalah-masalah yang mucul ditengah-tengah
kehidupan ini.
Keberadaan Qawaidul Fiqhiyah menjadi sesuatu yang amat penting . baik
dimata para ahli usul (usuliyun) maupun fuqaha, pemahaman terhadap qawaid
fiqhiyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu “ijtihad” atau
pembaharuan pemikiran dalam permasalahan-permasalahan kehidupan
manusia. Kaidah ini menggolongkan masalah-masalah yang serupa menjadi
satu kaidah fiqh ini tentunya bersumber dari Al Qura’an dan As sunnah yang
merupakan terciptanya hukum-hukum islam. Dengan adanya qawaid fiqhiyah
ini tentunya mempermudah kita dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan
dengan perbuatan manusia.
Maka dari itu penulis membuat makalah ini sebagai alat untuk
mempermudah pemahaman terhadap Qawaidul Fiqh.

B.
2

C. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Qawaidul Fiqh?
2. Apa saja kaidah-kaidah pokok Qawaidul Fiqh?
3. Apa perbedaan antara kaidah ushul dengan kaidah fiqh?
4. Apa tujuan mempelajari Qawaidul Fiqh?

D. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Qawaidul Fiqh.
2. Untuk mengetahui kaidah-kaidah pokok Qawaidul Fiqh.
3. Untuk mengetahui perbedaan antara kaidah ushul dengan kaidah fiqh.
4. Untuk mengetahui tujuan mempelajari Qawaidul Fiqh.
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qawaidul Fiqh

Al-Qawa’id al-fiqhiyyah terdiri atas dua kata yang brasal dari bahasa arab
yaitu, qawa’id dan fiqhiyyah. Kata qawa’id merupakan bentuk jamak dari kata
qa’dah.1 Kata ini telah diserap dalam bahasa Indonsia menjadi kaidah, yang
Secara etimologi arti kaidah adalah dasar (asas) yang menjadi dasar berdirinya
sesuatu. Bisa juga diartikan dasar sesuatu dan fondasinya (pokoknya).2
Pengertian fondasi disini diibaratkan dengan fondasi rumah dan bisa diartikan
sebagai dasar-dasar agama.

Pengertian kata qawa’id dalam pengertian fondasi dapat ditemukan dalam


Al-Qur’an, antara lain, firman Allah pada surat Al-Baqarah (2: ayat 127) :

‫ك َأ ْنتَ ال َّس ِمي ُع ْال َعلِي ُم‬


َ َّ‫س َما ِعي ُل َربَّنَا تَقَبَّلْ ِمنَّا ۖ ِإن‬ ِ ‫وَِإ ْذ يَ ْرفَ ُع ِإ ْب َرا ِهي ُم ا ْلقَ َوا ِع َد ِمنَ ا ْلبَ ْي‬
ْ ‫ت وَِإ‬

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-


dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami
terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Demikian juga firman Allah pada surat an-Nahl (16: ayat 26) :

‫م َوَأتَاهُ ُم‬Zْ ‫قَ ْد َم َك َر الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ِه ْم فََأتَى هَّللا ُ بُ ْنيَانَ ُه ْم ِمنَ ا ْلقَ َوا ِع ِد فَخَ َّر َعلَ ْي ِه ُم ال َّس ْقفُ ِم ْن فَوْ قِ ِه‬
َ‫ْث لَا يَ ْش ُعرُون‬ ُ ‫ْال َع َذابُ ِم ْن َحي‬

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah


mengadakan makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah
mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa
mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari
tempat yang tidak mereka sadari.”
1
Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 10.
2
Suyanto, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jogjakarta: Ar-ruzzz media, 2011), hlm. 226.
4

Adapun pengertian fiqih ialah, pengetahuan tentang hukum-hukum syara’


yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang diusahakan dari dalil-dalil
syara’ yang spesifik.

Dengan demikian jika disebut qawa’id fiqhiyyah maka ia menunjuk


pengertian suatu cabang ilmu keislaman, yang didefinisikan oleh ulama fiqh
sebagai berikut:3

1. Menurut Tajuddin as-Subki (w. 771 H/1364 M) qawa’id fiqhiyyah adalah


Ketentuan yang bersifat umum yang dapat diterapkan kepada juz’iyah yang
banyak yang ketentuan tersebut diketahui hukumnya.
2. Manurut Musthafa az-Zarqa, qawaidh fiqhiyyah adalah dasar-dasar fiqih
yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang
berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum
yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ilmu qawa’id fiqhiyyah pada


hakikatnya adalah, sekumpulan kaidah-kaidah fiqh yang berbentuk rumusan-
rumusan yang bersifat umum yang didalamnya terkandung ketentuan-
ketentuan hukum fiqh dalam berbagai bidang yang termasuk dalam ruang
lingkupnya.

B. Kaidah-Kaidah Pokok Qawaidul Fiqh


Kaidah fiqhiyah terdiri dari kaidah asas dan far’u, setiap kaidah asas
memiliki kaidah far’u, kaidah asas terdiri dari lima kaidah pokok.4
1. Al-Umuru bi maqashidiha (Setiap Pekerjaan Itu Bergantung Pada
Maksudnya)
Maksud dari kaidah ini adalah setiap perkara bergantung pada tujuan,
motif dan niatnya. Dengan kata lain, niat, motif dan tujuan terkandung
dalam hati seseorang sewaktu melakukan suatu perbuatan menjadi kriteria
yang menentukan nilai dan status hukum yang ia lakukan.
Kaidah ini berdasarkan kepada firman Allah SWT:
3
Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 10-14.
4
Hasbiyallah, Ushul Fiqh, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2013), hlm. 131-138.
5

ِ ِ‫ هَّللا َ ُم ْخل‬Z‫َو َما ُأ ِمرُوا ِإاَّل لِيَ ْعبُدُوا‬


‫صينَ لَهُ ال ِّدينَ ُحنَفَا َء‬

“dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan


memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus”

Adapun cabang-cabang dari kaidah ini adalah

ُ َ‫ض لَهُ ُج ْملَةُ وتفصيالاذاعينه واخطا لَ ْم ي‬


‫ض َّر‬ َ ُّ‫مااليشترط التَّ َعر‬

“sesuatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara rinci
atau global, bila dipastikan dan ternyata salah, maka kesalahannya tidak
membahayakan (tidak membatalkan)”

Seperti pada kasus ketika seseorang salah mengucapkan jumlah rakaat


dalam niat shalat, seperti maghrib niat 4 rakaat.

‫ فِي ِه التَّ َعرُّ ضُ فالخطأفيه ُم ْب ِط ٍل‬Z‫ومايشترط‬

“suatu amal yang disyaratkan penjelasannya, maka membatalkan


perbuatan tersebut”

Maksud dari kedua kaidah ini adalah ketika seseorang salah dalam
niat shalat maghrib dengan menyebut shalat isya, maka kesalahannya itu
membatalkannya.

2. Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk (Keyakinan Tidak Hilang Dengan


Keraguan)
Maksud dari kaidah tersebut adalah keyakinan itu tidak bisa hilang
dengan keraguan. Kaidah ini diteliti secara seksama erat kaitannya dengan
masalah aqidah dan persoalan-persoalan dalil hukum dalam syariat Islam.
6

Namun demikian, suatu yang diyakini keberadaanya tidak bisa hilang,


kecuali berdasarkan dalil yang pasti (qath’i), bukan semata-mata oleh
argumen yang hanya bernilai saksi atau tidak qath’i.
Kaidah ini bersumber dari firman Allah:
ِّ ‫َو َما يَتَّبِ ُع َأ ْكثَ ُرهُ ْم ِإاَّل ظَنًّا ۚ ِإ َّن الظَّ َّن اَل يُ ْغنِي ِمنَ ْال َح‬
َ‫ق َش ْيًئا ۚ ِإ َّن هَّللا َ َعلِي ٌم بِ َما يَ ْف َعلُون‬

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.


Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai
kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
kerjakan” (QS. Yunus: 36)

Adapun kaidah-kaidah cabang dari kaidah kedua ini adalah

‫اََأْلصْ ُل بقاءما كا ن َعلَى َما كا ن‬

“asal itu tetap sebagaimana semula, bagaimanapun keberadaannya”

‫اََأْلصْ ُل بَ َرا َءةَ ال ِّذ َّم ِة‬

“asal itu bebas dari tanggungan”

‫اََأْلصْ ُل ْال َع َد َم‬

“asal itu tidak ada”

Maksud dari kaidah tersebut adalah bahwa pada asalnya sesuatu itu
belum terjadi, tidak ada. Seperti pada kasus seseorang apakah sudah shalat
atau belum, maka kembali kepada kaidah ini, yakni dia belum shalat, atau
seseorang ragu wudhunya sudah batal atau belum, maka berdasar kaidah ini
wudhunya belum batal.
ٍ ‫لَِأْلصْ ِل فِي ُك ِّل َح ِدي‬
َ‫ث تُقَ ِّد ُرهُ بآقرب ال َّز َمان‬

“asal dalam setiap kejadian, dilihat dari waktunya yang terdekat.”


7

Maksud dari kaidah ini adalah seperti pada kasus seorang yang ragu
apakah sudah tiga rakaat atau dua rakaat, maka berdasar kaidah ini diambil
yang dua rakaat.

3. Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir (Suatu Kesusahan Mengharuskan Adanya


Kemudahan)
Maksud dari kaidah ini adalah suatu kesusahan mengharuskan adanya
kemudahan. Maksudnya, suatu hukum yang mengandung kesusahan dalam
pelaksanaannya, baik kepada badan, jiwa ataupun harta seorang mukallaf,
diringankan sehingga tidak memadartkan lagi. Keringanan tersebut dalam
Islam dikenal dengan rukhsah.
Kaidah ini didasarkan kepada firman Allah SWT:

‫ي ُِري ُد هَّللا ُ بِ ُك ُم ْاليُس َْر َواَل ي ُِري ُد بِ ُك ُم ْال ُع ْس َر‬

“Allah SWT, menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak mengehendaki


kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah: 185).

ٍ ‫َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي الدِّي ِن ِم ْن َح َر‬


‫ج‬

“dan dia tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan”


(QS.Al-Hajj: 78).

Adapun cabang-cabang dari kaidah-kaidah ini adalah:

‫ اآلمرإتسع َوِإ َذا اتسعاآلمرضاق‬Z‫إذاضاق‬

“apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya
jika suatu perkara itu luas, maka hukumnya menjadi sempit”

Maksud dari kaidah ini adalah pada umumnya suatu perkara yang
sempit dalam arti sulit, maka hukumnya menjadi luas. Seperti orang yang
berpuasa dalam keadaan susah, maka hukum puasa itu menjadi luas, ia
8

boleh untuk tidak berpuasa, dan menggantikan puasa di hari lain. Juga jika
perkara itu luas, hukumnyamenjadi terbatas. Seperti pada kasus ibadah haji
yang termasuk perkara yang luas karena dapat dilaksanakan pada tahun-
tahun yang dikehendaki, tetapi hukumnya menjadi sempit dan terbatas
hanya untuk orang-orang yang mampu.

َ ‫ُك َّل َما تَ َجا َو َز َح َّدهُ ا ْن َع َك‬


ِ ‫س ِإلَى‬
‫ض ِّد ِه‬

“semua yang melampaui batas, maka hukumnya berbalik kepada


kebalikannya.”

ِ ‫اَلرُّ َخصُ اَل تُنَاطُ بِ ْال َم َع‬


‫اصي‬

“rukhsah itu tidak dapat disangkutpautkan dengan kemaksiatan”

Maksudnya adalah rukhsah tidak bisa dilakukan dalam hal


kemaksiatan, seperti tidak dibolehkan jamak atau qashar pada perjalanan
yang mengandung kemaksiatan.

4. Adh-Dhararu Yuzal (Kemudharatan Dapat Dihilangkan)


Maksud dari kaidah ini adalah suatu kerusakan atau kemafsadatan itu
dihilangkan. Artinya kerusakan tidak dibolehkan dalam Islam.
Kaidah ini didasarkan kepada firman Allah SWT:

‫ض َرارًا لِّتَ ْعتَدُوا‬


ِ ‫َواَل تُ ْم ِس ُكوه َُّن‬

“janganlah kamu rujuk mereka untuk memadaratkan”

Kaidah-kaidah cabang dari kaidah keempat ini adalah

‫الضرورةتبيح لمحظورات‬

“kemadaratan membolehkan yang madarat (dilarang)”


9

Maksud kaidah ini, dikarenakan madarat, maka sesuatu yang dilarang


menjadi dibolehkan. Seperti darah, karena madarat dapat dibolehkan.

‫َما ُأبِي َح للضرورةيقدربقدرها‬

“sesuatu yang dibolehkan karena madarat diperkirakan sewajarnya atau


menurut batasan ukuran kebutuhan minimal”

Maksudnya adalah sesuatu yang dibolehkan karena madarat itu


dibolehkan sekedarnya, tidak boleh berlebih-lebihan.

‫ر‬Zِ ‫الضرراليزال بِالض ََّر‬

“kemadaratn tidak bisa hilang dengan kemadaratan lain”

Maksudnya adalah madarat tidak bisa hilang dengan kemadaratan


lain. Seperti pada kasus madarat karena tidak dapat makan dan minum, lalu
ia hilangkan kemadaratan itu dengan membunuh dirinya sendiri.

َ ‫درءالمفاسد ُمقَ َّد َم َع َّل ىجلب ْال َم‬


‫صالِ َح‬

“menolak kemafsadatan didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.”

Seperti pada kasus seseorang yang ingin mengambil manfaat dari


suatu lahan, tetapi akan terjadi kerusakan alam sekitarnya, maka manfaat
tersebut tidak perlu diambil dengan mendahulukan kerusakan alam.

5. Al- ’Adatu Muhakkamah (Suatu Adat Dapat Dijadikan Hukum)


Artinya, suatu kebiasaan dapat dijadikan patokan hukum. Kebiasaan
dalam istilah hukum sering disebut sebagai ‘urf atau adat. Meskipun banyak
ulama yang membedakann diantara keduanya, namun menurut kesepakatan
jumhur ulama, suatu adat atau ‘urf bisa diterima jika memenuhi syarat-
syarat berikut:
10

a. Tidak bertentangan dengan syariat


b. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan menghilangkan kemaslahatan
c. Telah berlaku pada umumnya orang muslim
d. Tidak berlaku dalam ibadah mahdhah
e. ‘urf tersebut sudah memasyarakat.

Kaidah ini bersumber dari firman Allah SWT:

ٍ ‫َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي الدِّي ِن ِم ْن َح َر‬


‫ج‬
“dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan” (QS. Al-Hajj: 78).

Cabang-cabang kaidah ini adalah:

‫الينكرتغييراألحكام بتغييراألزمنة َواَأْل ْم ِكنَ ِة‬

“tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan


tempat.”

‫ط شَرْ طًا‬Zِ ‫ُوف عُرْ فًا َك ْال َم ْشرُو‬


Zُ ‫اَ ْل َم ْعر‬

“yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi
syarat.”

ِّ‫ت بِالنَّص‬ Zِ ‫ت بِ ْال َم ْعر‬


ِ ِ‫ُوف َكالثَّاب‬ ُ ِ‫اَلثَّاب‬

“yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash.”

Contoh dari kaidah-kaidah tersebut adalah seseorang minta tolong


kepada seorang makelar untuk menjualkan kendaraan bermotornya tanpa
menyebutkan upahnya. Jika telah laku, maka orang yang menyuruh
menjualkan barangnya harus memberikan komisi kepada makelar yang
11

menjualkannya menurut kebiasaan yang berlaku, yaitu 2% dari harga


penjualannya, kecuali ada perundingan yang lain.

C. Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh


Kaidah ushul dan kaidah fiqh keduanya memiliki funsi penting dalam
memutuskan persoalan hukum. Karena keduanya sama-sama berisikan kaidah,
hal itu membuka pintu kerancuan di kalangan sebagian pengkaji ushul fiqh
apakah kaidah fiqh sama dengan kaidah ushul. Berikut ini adalah hal-hal yang
dapat membedakan antara keduanya:5
1. Kaidah ushul digunakan untuk melakukan pengambilan hukum (istimbath)
dari sumber-sumber hukum. Sementara itu, kaidah fiqh digunakan untuk
melakukan pemecahan masalah hukum praktis yang muncul dalam
penerapan hasil istimbath dari dalil-dalil Al-Qur’an.
2. Kaidah ushul diperoleh secara deduktif, sedangkan kaidah fiqh secara
induktif. Penyusunan kaidah ushul utamanya di kalangan ushul fiqh
mutakallimin, dilakukan tanpa melihat realitas terlebih dahulu. Sementara
kaidah fiqh diperoleh secara induktif, yaitu berdasarkan penyelidikan
pemecahan kasus-kasus fiqh, baru kemudian disimpulkan kaidahnya.
3. Kaidah Ushuliyah mencakup seluruh bagian-bagian dan objek-objeknya.
Sedangkan kaidah fiqhiyah hanya mencakup sebagian besar bagian-
bagianya.6
4. Kedudukan dari kaidah fiqh ada dua, yaitu :7
a. Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah
menggunakan dalil pokok yaitu, Qur’an dan as-Sunnah
b. Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum
yang berdiri sendiri.
Sedangkan kedudukan kaidah ushul mencakup seluruh bagian-bagian dan
objek-objeknya.

D. Tujuan Mempelajari Qawaidul Fiqh

5
Imam Hanafi, Pengantar Ushul Fiqh & Ilmu Fiqh, (Surabaya: Pena Salsabila, 2018), hlm.11-13.
6
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Pranada Media),hlm.133
7
Ibid, hlm.133-134.
12

Tujuan mempelajari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah:8


1. Dengan kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh
dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian
menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan
hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
3. Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam
waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adaptasi yang berbeda.
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan
oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya
mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak
langsung.

8
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 13.
13

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengrtian qawa’id fiqhiyyah adalah, sekumpulan kaidah-kaidah fiqh
yang berbentuk rumusan-rumusan yang bersifat umum yang didalamnya
terkandung ketentuan-ketentuan hukum fiqh dalam berbagai bidang yang
termasuk dalam ruang lingkupnya. Kaidah-Kaidah Pokok Qawaidul Fiqh
yaitu; Al-Umuru bi maqashidiha (Setiap Pekerjaan Itu Bergantung Pada
Maksudnya), Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk (Keyakinan Tidak Hilang
Dengan Keraguan), Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir (Suatu Kesusahan
Mengharuskan Adanya Kemudahan), Adh-Dhararu Yuzal (kemudharatan dapat
dihilangkan), Al- ’Adatu Muhakkamah (Suatu Adat Dapat Dijadikan Hukum).
Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh yakni Kaidah ushul diperoleh
secara deduktif, sedangkan kaidah fiqh secara induktif. Kaidah Ushuliyah
mencakup seluruh bagian-bagian dan objek-objeknya. Sedangkan kaidah
fiqhiyah hanya mencakup sebagian besar bagian-bagianya. Dengan
memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi. Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam
menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk
keadaan dan adat yang berbeda . Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan
teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka
penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.
Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dalam
memahami pengertian, runga lingkup dan tujuan Qawaid Fiqhiyah.
14

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, A.R.. Ushul Fiqih. Jakarta: Amzah, 2014.


Djalil, B.. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Pranada Media, 2014.
Hasbiyallah. Ushul Fiqh. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Hanafi, I.. Pengantar Ushul Fiqh & Ilmu Fiqh. Surabaya: Pena Salsabila, 2018.
Suyanto. Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jogjakarta: Ar-Ruz Media,
2011.

Anda mungkin juga menyukai