Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Negara Indonesia adalah negara yang berlandaskan pada teori bernegara

yang tumbuh dari kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan bangsa

Indonesia sendiri. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia ialah

suatu negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), dengan pengertian

bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari negara berdasarkan hukum

pada umumnya, namun disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, dengan

menggunakan ukuran baik pandangan hidup maupun pandangan bernegara

bangsa Indonesia.1 Hukum dasar suatu negara umumnya disebut sebagai

konstitusi, yang berasal dari bahasa Perancis “constituer” yang berarti

membentuk. Jadi konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari segala

peraturan perundang-undangan tentang negara. Belanda menggunakan istilah

“Grondwet” yang berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (grond)

dari segala hukum. Indonesia menggunakan istilah Grondwet menjadi

Undang-undang Dasar.2

Terdapat dua macam konstitusi atau hukum dasar yang dikenal secara luas

di dunia, yaitu konstitusi tertulis dan konstitusi tak tertulis. Hampir semua

negara di dunia memiliki konstitusi tertulis atau undang-undang dasar (UUD)

1
Soeprapto, Maria Farida Indrato, Ilmu Perundang Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hlm 57
2
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat,
1983), hlm 10

1
yang pada umumnya mengatur mengenai pembentukan, pembagian wewenang

dan cara bekerja berbagai lembaga kenegaraan serta perlindungan hak azasi

manusia.3 Negara yang dikategorikan sebagai negara yang tidak memiliki

konstitusi tertulis adalah Inggris dan Kanada. Sementara Indonesia adalah

salah satu negara yang memiliki konstitusi tertulis, yaitu Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI Tahun 1945).

Peristiwa lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 menandai awal

dari era reformasi nasional. Era reformasi inilah yang menghantarkan

Indonesia pada peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang pernah

memasuki fase sakralisasi selama pemerintahan Orde Baru, yaitu sebuah fase

dimana UUD NRI Tahun 1945 tidak diperkenankan untuk direvisi atau

diubah. Setelah reformasi, konstitusi Indonesia telah mengalami perubahan

dalam satu rangkaian empat tahap, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan

2002 (UUD RI 1945). Salah satu perubahan dari UUD NRI Tahun 1945

adalah dengan telah diadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan

antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan 'checks and balances' sebagai

pengganti sistem supremasi parlemen4.

Amandemen atau perubahan UUD NRI Tahun 1945 tersebut terjadi karena

adanya dorongan keinginan rakyat untuk melakukan pembenahan atas

mekanisme penyelenggaraan negara berdasarkan atas konstitusi yang berlaku

3
Pandji R. Hadinoto, “Sejarah Konstitusi Indonesia”, http://www.jakarta45.wordpress.com,
diakses pada 21 Oktober 2010, 10.01 WIB
4
Azar, “Peranan Mahkamah Konstitusi Sebagai Penjaga”, http://jurnalhukum.blogspot.com,
diakses pada 21 Oktober 2010, 09.45 WIB

2
dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan aspirasi rakyat. Tuntutan perubahan

terhadap UUD NRI Tahun 1945 pada hakekatnya merupakan tuntutan bagi

adanya penataan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perubahan konstitusi ini menginginkan pula adanya perubahan sistem dan

kondisi negara yang otoritarian menuju kearah sistem yang demokratis dengan

relasi lembaga negara yang seimbang. Dengan demikian perubahan

konstititusi menjadi suatu kewajiban untuk dilakukan demi keseimbangan

pemerintahan. Indonesia telah mengalami beberapa tahap pergantian

konstitusi yang diawali dari UUD NRI Tahun 1945, UUD/Konstitusi RIS,

UUDS 1950, dan terakhir UUD NRI Tahun 1945 yang telah dirubah

selanjutnya kita sebut sebagai UUD Negara Republik Indonesia 1945 (UUD

NRI Tahun 1945).5 Sejarah perubahan atau pergantian konstitusi tersebut tentu

membawa dampak signifikan terhadap sistem pemerintahan, kedudukan dan

kewenangan lembaga negara, serta hubungan diantara lembaga negara

tersebut.

Lembaga negara adalah lembaga pemerintahan (Civilazated Organisation)

yang dibuat oleh, dari, dan untuk negara. Lembaga negara bertujuan untuk

membangun negara itu sendiri. Secara umum tugas lembaga negara antara lain

menjaga stabilitas keamanan, politik, hukum, HAM, dan budaya, menjadi

bahan penghubung antara negara dan rakyatnya, serta yang paling penting

adalah membantu menjalankan roda pemerintahan.6 Jadi bisa dikatakan bahwa

5
Jimly Asshidiqie, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,
(Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI), hlm 2
6
http://www.wikipedia.com, diakses pada 22 Oktober 2010, 12.11 WIB

3
kedudukan dan kewenangan lembaga negara sangat berpengaruh pada sistem

pemerintahan dan konstitusi yang berlaku.

Masing-masing negara di dunia memiliki manajemen pengaturan

tersendiri berkenaan dengan lembaga negara yang eksis di negara tersebut. Di

Indonesia, sejarah menunjukkan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan

rakyat.7 Kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi. Setelah itu MPR

mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 lembaga

tinggi yang kedudukannya sejajar yaitu antara lain Mahkamah Agung (MA),

Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung

(DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).8 Kekuasaan tertinggi yang ada

pada MPR menimbulkan ketidakseimbangan atau tidak adanya checks and

balances pada sistem ketatanegaraan. Hal ini bisa menimbulkan banyak

penyimpangan kekuasaan, sebagai contoh adalah penetapan Presiden

Soekarno sebagai presiden seumur hidup dan Presiden Soeharto dipilih secara

terus-menerus sampai 7 (tujuh) kali berturut-turut. Pada titik ini, diperlukan

adanya perubahan sistem, supaya penyimpangan kekuasaan semacam itu tidak

akan terjadi untuk kesekian kalinya. Perubahan yang dimaksud adalah

amandemen (atau yang biasa disebut perubahan) UUD.

Perubahan yang dilakukan pada UUD pada dasarnya adalah lahirnya

ketentuan untuk memberikan pembagian kekuasaan (separation of power)

7
Titik Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006) hal.
128.
8
Aksa Mahmud, “Komposisi Keterwakilan MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945”,
http://www.kajian.mpr.go.id, diakses pada tanggal 25 April 2011 pukul 14:23 WIB

4
kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu

Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Selain itu dilakukan pengurangan tugas MPR yang sangat signifikan. Jadi,

pasca perubahan UUD NRI TAHUN 1945, ada 6 (enam) lembaga Negara

yang diberikan kekuasaan secara langsung oleh konstitusi.9 Tidak bisa

dipungkiri perubahan kedudukan, kewenangan, tugas dan fungsi adalah hal

mutlak terjadi pada berbagai lembaga negara pasca perubahan. Salah satu

lembaga yang terkena dampak paling besar adalah MPR.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga legislatif

bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia, yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat

dan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Keberadaan Majelis

Permusyawaratan Rakyat sebagai institusi negara secara eksplisit telah

tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas

anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah

yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-

undang”. Ketentuan tersebut secara otomatis menempatkan MPR sebagai

satu¬satunya lembaga pemegang kedaulatan rakyat atau dianggap sebagai

penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, berbeda dengan lembaga-lembaga


9
Pan Faiz Mohammad, Lembaga Negara dan Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Se-
sudah Perubahan UUD NRI TAHUN 1945 (Deskripsi Struktur Ketatanegaraan RI “Setelah”
Amandemen UUD NRI TAHUN 1945), (Jakarta: 2009)

5
negara lainnya. Dengan kata lain, MPR RI didaulat sebagai Lembaga

Tertinggi Negara. Sebagai Lembaga Negara, MPR dipandang sebagai lembaga

negara yang memiliki otoritas untuk menafsirkan konstitusi (UUD 1945) dan

membagi-bagikan kekuasaan negara yang diamanatkan rakyat melalui

pemilihan umum kepada lembaga tinggi negara lain yang ada di bawahnya.

Anggota MPR tidak dipilih secara langsung oleh rakyat melainkan berasal dari

anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum secara langsung

oleh rakyat atau anggota DPR dan anggota DPD ex officio anggota MPR.

Jumlah anggota MPR periode 2009–2014 adalah 692 orang yang terdiri atas

560 Anggota DPR dan 132 anggota DPD. Masa jabatan anggota MPR adalah

5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang baru

mengucapkan sumpah/janji.10 MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima

tahun di ibukota negara.11

Pasca perubahan UUD NRI 1945 terdapat salah satu perubahan penting

yang dialami oleh MPR adalah pada Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-

Undang Dasar.” Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 sebelum

perubahan menyatakan bahwa, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan

dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Hal ini tentu

saja mengubah kedudukan MPR yang sebelumnya sebagai lembaga tertinggi

negara menjadi lembaga negara saja, sama dan setara dengan lembaga negara

lainnya. Perubahan juga nampak pada kewenangan dan tupoksi MPR

10
http://www.wikipedia.com, diakses pada 22 Oktober 2010, 12.11 WIB
11
http://www.wikipedia.com, diakses pada 22 Oktober 2010, 12.11 WIB

6
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 dan Pasal 27 UUD NRI TAHUN 1945.

MPR tidak lagi mempunyai tugas dan wewenang untuk memilih dan men-

gangkat Presiden dan Wakil Presiden, kecuali jika Presiden dan/atau Wakil

Presiden berhalangan tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat

(3) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, MPR juga tidak mempunyai tugas dan

wewenang untuk menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara

sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945 sebelum diubah.

Namun pada dasarnya perubahan kedudukan, tugas, dan wewenang MPR

tersebut tidak menghilangkan peran penting MPR dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia, antara lain:12

1. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;

2. Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum

dalam Sidang Paripurna MPR;

3. Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk

memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa

jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan

untuk menyampaikan penjelasan di dalam Sidang Paripurna MPR;

4. Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat,

berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya

dalam masa jabatannya; memilih Wakil Presiden dari dua calon yang

diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden

12
Hidayat Nur Wahid, Tugas, Wewenang, dan Peran MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun
1945, (Jakarta: Jurnal Majelis, Vol 1 No.1 Tahun 2009), hlm 15-16

7
dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh

hari;

5. Serta memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti

secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua paket calon Presiden

dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan

partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih

suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai

habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari.

Melihat pemangkasan kewenangan yang mengakibatkan kecilnya

peran MPR, muncul berbagai pemikiran untuk tidak melembagakan MPR

sebagai organisasi tersendiri. Atau dengan kata lain MPR hanya sebagai

sidang gabungan (joint session) antara DPD dan DPR. Jadi konsekuensinya

MPR tidak akan mempunyai pimpinan tersendiri dan lembaga ini tidak ada

bila tidak ada gabungan tersebut. Namun jika kita menilik kembali

kewenangan-kewenangan penting yang disebutkan sebelumnya maka

pemikiran tersebut dengan mudah dapat terbantahkan. Sebagai lembaga

negara yang mempunyai eksistensi dalam sebuah bangunan negara, MPR

secara konstitusional diberikan fungsi dan wewenang sebagaimana tercantum

dalam Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3), dan Pasal 8 ayat (1), (2) dan (3) UUD NRI

Tahun 1945. Meskipun sebatas yang tercantum dalam pasal-pasal dan ayat-

ayat itu fungsi dan kewenangan MPR sekarang, substansinya adalah

menyangkut hal-hal yang sangat penting dan mendasar dalam kehidupan

bernegara, yang terkait dengan rujukan hukum tertinggi di Indonesia yaitu

8
UUD NRI 1945 dan terkait dengan kekuasaan eksekutif tertinggi yaitu

Presiden dan Wakilnya.13 Di sisi lain, perubahan UUD NRI Tahun 1945 juga

berimplikasi pada materi dan status hukum Ketetapan MPRS/MPR yang telah

dihasilkan sejak tahun 1960 sampai tahun 2002. Ketetapan MPR (TAP MPR)

tidak lagi menjadi bagian dari hierarkhi Peraturan Perundang-undangan.

Ketentuan mengenai susunan dan kedudukan (Susduk) MPR kemudian diatur

dalam UU No. 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah yang kemudian disempurnakan lagi dalam UU No. 22 Tahun

2003 dan UU No. 27 Tahun 2009.

Sebagai satu lembaga negara yang sebelumnya memegang peranan paling

penting dalam kehidupan bernegara di Indonesia, dampak perubahan atau

pergeseran kewenangan dan kedudukan MPR yang fundamental setelah

terjadinya empat kali perubahan UUD NRI Tahun 1945 tentu patut dianalisa

dan dipelajari lebih lanjut sehingga pemahaman yang komprehensif dapat

diperoleh mengenai kewenangan, kedudukan dan susunan MPR pasca

perubahan. Oleh karena itu, berdasarkan uraian latar belakang yang telah

disampaikan sebelumnya, penulis merasa penting kiranya melakukan analisa

mendalam mengenai pergeseran atau perubahan kewenangan dan kedudukan

MPR setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945, dengan judul “Pergeseran

Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Menurut UUD NRI

Tahun 1945”.

13
Ibid

9
1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam penyusunan

penulisan hukum ini permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut adalah:

1. Bagaimanakah kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

sebelum dan sesudah perubahan UUD NRI Tahun 1945?

2. Bagaimanakah kewenangan dan tupoksi Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR) setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945?

1.3 Tujuan Penelitian

Perumusan tujuan penelitian bertujuan untuk menjaga agar penelitian tidak

menyimpang dari tujuan semula dan sesuai dengan penggambaran arah

penelitian terhadap permasalahan yang telah ditetapkan. Adapun tujuan yang

dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

sebelum dan sesudah perubahan UUD NRI Tahun 1945.

2. Untuk mengetahui kewenangan dan tupoksi Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR) setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945.

1.4 Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis mengharapkan adanya manfaat yang positif,

baik bagi diri sendiri maupun bagi pembaca pada umumnya. Adapun yang

diharapkan menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dilakukan untuk pengembangan pengetahuan hukum

pada umumnya dan pengembangan Ilmu Hukum Tata Negara pada

10
khususnya, mengenai pergeseran kewenangan Majelis

Permusyawaratan Rakyat menurut UUD NRI Tahun 1945.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Penulis

Untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Kesarjanaan

dalam bidang Ilmu Hukum, selain itu juga diharapkan dapat

meningkatkan kemampuan penalaran, keluasan wawasan serta

pemahaman penulis tentang Hukum Tata Negara di Indonesia, pada

khususnya mengenai pergeseran kewenangan Majelis

Permusyawaratan Rakyat menurut UUD NRI Tahun 1945.

b. Bagi Masyarakat

Untuk memberikan kontribusi pengetahuan bagi seluruh masyarakat

di bidang ilmu hukum, khususnya mengenai pergeseran

kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat menurut UUD NRI

Tahun 1945.

c. Bagi Para Akademisi

Untuk memberikan kontribusi pemikiran, khususnya mengenai

pergeseran kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat menurut

UUD NRI Tahun 1945.

11
1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari:

1. Bab I Pendahuluan

Bab ini berisi Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian,

Manfaat Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

2. Bab II Tinjauan Pustaka

Bab ini berisi Konstitusi, Perubahan UUD NRI Tahun 1945, Eksistensi

Lembaga Negara Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, Susunan dan

Kedudukan MPR, dan Dasar Yuridis Kedudukan, Kewenangan dan

Tupoksi MPR.

3. Bab II Metode Penulisan

Berisi penjelasan mengenai Metode Pendekatan, Obyek Penelitian,

Spesifikasi Penelitian, dan Metode Pengumpulan Data.

4. BAB IV Pembahasan

Berisi inti dari penulisan, yaitu membahas dan mengkaji tentang

pergeseran kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat menurut

UUD NRI Tahun 1945.

5. BAB V Kesimpulan dan Saran

Berisi kesimpulan berdasarkan uraian dan data penelitian yang

merupakan jawaban dari permasalahan yang diteliti serta rekomendasi

yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konstitusi

2.1.1 Pengertian Konstitusi

Istilah “Konstitusi” berasal dari bahasa Perancis Constituer yang

bermakna “membentuk”. Apabila dilihat dari sudut pandang

ketatanegaraan, yang dimaksud dengan membentuk adalah

pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu

negara. Atau bisa diartikan juga sebagai peraturan dasar mengenai

pembentukan suatu negara.14 Menurut Chairil Anwar, konstitusi

adalah pemerintahan suatu negara & nilai-nilai fundamentalnya,

sedangkan menurut Sri Soemantri, konstitusi adalah suatu naskah

yang memuat suatu bangunan negara dan sendi sistem pemerintahan

negara. Secara umum definisi konstitusi adalah sejumlah aturan dasar

dan ketentuan hukum yang dibentuk untuk mengatur fungsi dan

struktur lembaga pemerintahan termasuk dasar hubungan kerjasama

antaranegara & masyarakat dalam konteks kehidupan berbangsa &

bernegara.15

Pengertian konstitusi bisa dimaknai secara secara sempit maupun

secara luas. Konstitusi dalam arti sempit hanya mengandung norma-

14
Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat,
1989), hal 10
15
Sri Soemantri, M., Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Penerbit Alumni,
1987), hal 12

13
norma hukum yang membatasi kekuasaan yang ada dalam Negara.

Sedangkan Konstitusi dalam arti luas adalah keseluruhan dari

ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar, baik yang tertulis

ataupun tidak tertulis maupun campuran keduanya tidak hanya

sebagai aspek hukum melainkan juga “non-hukum”.16

Dengan demikian dalam konsep konstitusi itu tercakup juga

pengertian peraturan tertulis dan tidak tertulis. Peraturan tidak tertulis

berupa kebiasaan dan konvensi-konvensi kenegaraan (ketatanegaraan)

yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ negara, meng-

atur hubungan antar organ-organ negara itu, dan mengatur hubungan

organ-organ negara tersebut dengan warga negara.17

Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat

didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang

dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedau-

latan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika

yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang

menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi.18 Hal inilah yang dise-

but oleh para ahli sebagai constituent power19 yang merupakan kewe-

nangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diatur-

nya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah

yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.

16
A. Himmawan Utomo, “Konstitusi”, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan
Kewarganegaran, (Yogyakarta: 2007), hal 2
17
Jimly Asshidiqie, Op. Cit, hal 6
18
Jimly Asshidiqie, Op. Cit, hal 7
19
Brian Thompson, op. cit., hal. 5.

14
Fungsi dasar konstitusi ialah mengatur pembatasan kekuasaan

dalam negara. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Bagir

Manan bahwa konstitusi ialah sekelompok ketentuan yang mengatur

organisasi negara dan susunan pemerintahan suatu negara.20

2.1.2 Tujuan Konstitusi

C.F Strong menyatakan bahwa pada prinsipnya tujuan konstitusi

adalah untuk membatasi kesewenangan tindakan pemerintah, untuk

menjamin hak-hak yang diperintah, dan merumuskan pelaksanaan

kekuasaan yang berdaulat. Oleh karena itu setiap konstitusi senantiasa

memiliki dua tujuan, yaitu:21

a. Untuk memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap

kekuasaan politik,

b. Untuk membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak para penguasa

serta menetapkan batas-batas kekuasaan bagi penguasa.

Konstitusi adalah sekumpulan aturan-aturan dasar yang dibentuk

dalam mengatur hubungan antar Negara dan warga Negara. Konstitusi

juga dapat dipahami sebagai bagian dari kontrak sosial yang memuat

aturan main dalam berbangsa dan bernegara. Lebih jelas, Sovernin

Lohman menjelaskan bahwa dalam konstitusi harus memuat unsur-

unsur sebagai berikut:22

20
A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hal. 10
21
C.F. Strong, Konstitusi Politik Modern Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk Konstitusi Dunia,
(Bandung: Nusamedia, 2004), hal 15
22
Solly Lubis, Asas Asas Hukum Tata Negara, (Bandung: Penerbit Alumni, 1982), hal 48

15
a. Konstitusi dipandang sebagai perwujudan perjanjian masyarakat

untuk mengatur mereka;

b. Konstitusi sebagai piagam yang menjamin hak-hak asasi manusia

dan warga Negara sekaligus penentuan batas-batas hak dan

kewajiban warga Negara dan alat-alat pemerintahannya;

c. Konstitusi sebagai forma regimenis yaitu kerangka bangunan

pemerintahan

Pada prinsipnya, adanya konstitusi memiliki tujuan untuk

membatasi kewenangan pemerintah dalam menjamin hak-hak yang

diperintah dan merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat.

Konstitusi merupakan sarana dasar untuk mengawasi proses-proses

kekuasaan. Tujuan-tujuan adanya konstitusi tersebut, secara ringkas

dapat diklasifikasikan menjadi tiga tujuan, yaitu :

a. Konstitusi bertujuan untuk memberikan pembatasan pembatasan

sekaligus pengawasan terhadap kekuasaan politik;

b. Konstitusi bertujuan untuk melepaskan control kekuasaan dari

penguasa sendiri;

c. Konstitusi berjuan memberikan batasan-batasan ketetapan bagi

para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.

Tujuan dibuatnya konstitusi adalah untuk mengatur jalannya

kekuasaan dengan jalan membatasinya melalui aturan untuk

menghindari terjadinya kesewenangan yang dilakukan penguasa

terhadap rakyatnya serta memberikan arahan kepada penguasa untuk

16
mewujudkan tujuan Negara. Jadi, pada hakikatnya konstitusi Indonesia

bertujuan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara dengan

berdasarkan kepada nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara.

2.1.3 Sejarah Konstitusi Indonesia

Secara singkat dapat diuraikan beberapa konstitusi yang pernah

berlaku di Indonesia sebagai berikut:

a. UUD NRI TAHUN 1945 (18 Agustus-27 September 1949)

Setiap Negara harus memiliki konstitusi ataupun Undang-

Undang Dasar. Indonesia sebagai suatu Negara juga memiliki

UUD yg kita sebut UUD NRI TAHUN 1945. Para pendiri Negara

Kesatuan Republik Indonesia telah sepakat utntuk menyusun

sebuah Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis dengan

segala arti dan fungsinya. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan

Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, konstitusi Indonesia

sebagai sesuatu ”revolusi grondwet” telah disahkan pada 18

Agustus 1945 oleh panitia persiapan kemerdekaan Indonesia dalam

sebuah naskah yang dinamakan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia. Dengan demikian, sekalipun Undang-Undang

Dasar 1945 itu merupakan konstitusi yang sangat singkat dan

hanya memuat 37 pasal namun ketiga materi muatan konstitusi

yang harus ada menurut ketentuan umum teori konstitusi telah

terpenuhi dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.23

23
“Perubahan Konstitusi”, http://www.iffeh.multiply.com, diakses pada 21 Oktober 2010

17
b. Konstitusi RIS (17 Agustus 1945-27 Desember 1949)

Pada tanggal 23 Agustus 1949-2 September 1949, dikota

Denhaag (Belanda) diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB).

Dengan bentuk Negara federasi, RIS meliputi beberapa daerah

Indonesia seperti dinyatakan dalam pasal 2 konstitusi RIS 1949.24

Perjalanan negara baru Republik Indonesia ternyata tidak luput dari

rongrongan pihak Belanda yang menginginkan untuk kembali

berkuasa di Indonesia. Akibatnya Belanda mencoba untuk

mendirikan negara-negara seperti negara Sumatera Timur, negara

Indonesia Timur, negara Jawa Timur, dan sebagainya. Sejalan

dengan usaha Belanda tersebut maka terjadilah agresi Belanda 1

pada tahun 1947 dan agresi 2 pada tahun 1948. Dan ini

mengakibatkan diadakannya KMB yang melahirkan negara

Republik Indonesia Serikat. Sehingga UUD yang seharusnya

berlaku untuk seluruh negara Indonesia itu, hanya berlaku untuk

negara Republik Indonesia Serikat saja.25

c. UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959)

Republik Indonesia Serikat terdiri atas 16 negara bagian.

RIS yg berdiri sejak tanggal 27 Desember 1949 hanya berlaku

kurang dari satu tahun. UUDS 1950 terdiri atas beberapa bagian –

bagian ,yaitu sebagai berikut:


24
“Konstitusi Negara Republik Indonesia”,http://www.brigade1809.multiply.com, diakses pada
21 Oktober 2010
25
“Perubahan Konstitusi”, Op. Cit

18
1) Mukadimah yg terdiri atas empat alinea ,terdapat rumusan

pancasila sebagai dasar Negara.

2) Batang tubuh yg terdiri atas 6 Bab 147

Periode federal dari Undang-undang Dasar Republik

Indonesia Serikat 1949 merupakan perubahan sementara, karena

sesungguhnya bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945

menghendaki sifat kesatuan, maka negara Republik Indonesia

Serikat tidak bertahan lama karena terjadinya penggabungan dengan

Republik Indonesia. Hal ini mengakibatkan wibawa dari pemerintah

Republik Indonesia Serikat menjadi berkurang, akhirnya dicapailah

kata sepakat untuk mendirikan kembali Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Bagi negara kesatuan yang akan didirikan jelas perlu

adanya suatu undang-undang dasar yang baru dan untuk itu

dibentuklah suatu panitia bersama yang menyusun suatu rancangan

undang-undang dasar yang kemudian disahkan pada tanggal 12

Agustus 1950 oleh badan pekerja komite nasional pusat dan oleh

Dewan Perwakilan Rakyat dan senat Republik Indonesia Serikat

pada tanggal 14 Agustus 1950 dan berlakulah undang-undang dasar

baru itu pada tanggal 17 Agustus 1950.

d. UUD NRI TAHUN 1945 (5 Juli 1959-11 Maret 1966)

UUD 1950 adalah UUD sementara yg berlaku sampai konstituante

dapat menyusun dan menetapkan UUD. Pada tahun 1955,

pemilihan umum di laksanakan.

19
e. UUD NRI TAHUN 1945 setelah perubahan (19 Oktober 1999-

sekarang)

MPR RI telah melakukan empat tahap perubahan UUD NRI

TAHUN 1945 sebagai salah satu tuntutan reformasi.

Jadi, konstitusi yang pernah berlaku di Negara Kesatuan Republik

Indonesia adalah UUD NRI TAHUN 1945, Konstitusi RIS, UUDS 1950,

dan yang terakhir UUD NRI TAHUN 1945 hasil Perubahan.

2.2 Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (UUD NRI TAHUN 1945)

2.2.1 Definisi Amandemen

Istilah “Amandemen” berasal dari bahasa Inggris yaitu amend

yang berarti mengubah dan amendment yang berarti perubahan,

sedangkan dalam bahasa Jerman ’verändern/ veränderung’, dan

bahasa Belanda ’veranderen/ verandering’. Istilah ’amend’ juga

memiliki persamaan arti dengan istilah lain dalam bahasa Inggris

yaitu ’alter’, ’change’, ’revise’, ’correct’, ’modify’. Dengan demikian

istilah perubahan UUD atau amandemen UUD dimaksudkan sebagai

constitutional amendment (perubahan konstitusi), to change

constitution (mengubah konstitusi), to revise the constitution

(merevisi konstitusi), to alter the constitution (mengubah konstitusi),

to modify the constitution (memodifikasi konstitusi), to correct the

constitution (membetulkan konstitusi).

20
Dengan demikian istilah perubahan UUD dapat pula diartikan

sebagai sebuah perubahan kata-kata yang terdapat dalam

teks/kalimat/pasal-pasal dalam UUD, atau sebuah perubahan terhadap

rancangan atau usulan perubahan pasal-pasal UUD yang masih belum

berjalan efektif, atau sebuah perubahan kecil atas pasal-pasal yang

terdapat dalam UUD yang tujuannya tidak lain adalah membuat undang-

undang tersebut menjadi lebih sempurna, atau sebuah proses perubahan

atas UUD tersebut.

2.2.2 Empat Tahap Perubahan UUD NRI TAHUN 1945

Perubahan atau amandemen UUD NRI TAHUN 1945 dilakukan

secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang MPR sejak

tahun 1999 hingga 2002. Rangkaian proses perubahan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah empat kali menyelesaikan

Perubahan UUD NRI TAHUN 1945 sejak tahun 1999. Proses

perubahan itu jumlah pasal memang tetap 37 tetapi 10 pasal memiliki

cabang ( 6A, 7A, 7B, 7C, 18 A, 18 B, 20 A, 22 A, 22B, 22 C, 22 D,

22E, 23 A, 23 B, 23 C, 23 D, 24 A, 24 B, 24 C, 25 A, 28 A, 28 B, 28

C, 28 D, 28 F, 28 G, 28 H, 28 I, 28 J, 36 S, 36 B, 36 C) sebagaimana

juga babnya tetap terdiri 16 Bab tetapi juga mempunyai cabang (VII

A, VII B, VIII A, IX A, X A) dan penambahan sejumlah ayat baru.

UUD NRI TAHUN 1945 sebelumnya terdiri 37 Pasal, 16 Bab, 65

Ayat, 4 Aturan Peralihan, dan 2 Aturan Tambahan. Maka bandingkan

dengan perubahan UUD NRI TAHUN 1945 satu hingga empat yang

21
terdiri dari 37 Pasal (72 Pasal jika berikut cabang), 16 Bab (21 Bab

jika berikut cabang), 191 Ayat, 3 Aturan Peralihan, dan 2 Aturan

tambahan. Maka total perubahan 1- 4 UUD NRI TAHUN 1945

menghasilkan 196 Ayat, yang terdiri 166 butir perubahan dan 30 butir

tidak berubah. Dalam perubahan ini Ramlan Surbakti mengatakan

perubahan yang dilakukan terhadap UUD NRI TAHUN 1945 dalam

prakteknya bukan perubahan biasa, karena mencakup pasal yang

begitu banyak tetapi juga bukan pembuatan UUD baru karena baik

pembukaan maupun banyak pasal yang tetap.26

Perubahan pertama dilakukan dalam Sidang Umum MPR Tahun

1999. Arah perubahan pertama UUD NRI TAHUN 1945 adalah

membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif. Perubahan

pertama telah melakukan perubahan terhadap 9 Pasal yang meliputi

Pasal 5 Ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 14, Pasal

15, Pasal 17 Ayat (2 dan 3), Pasal 20, dan Pasal 21.27

Perubahan kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun

2000. Perubahan kedua menghasilkan rumusan perubahan pasal-pasal

yang meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan

daerah, menyempumakan perubahan pertama dalam hal memperkuat

kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan terperinci tentang HAM.

Perubahan kedua telah melakukan perubah sebanyak 7 Bab dan 25


26
Penelitian KRHN, Kritik Terhadap Perubahan I-IV UUD NRI TAHUN 1945, disampaikan pada
Seminar Nasional FH.Usakti 15 Agustus 2002
27
Ibid

22
Pasal yang yang meliputi Pasal 18, Pasal 18 A, Pasal 18, Pasal 19,

Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20 A, Pasal 22 A, Pasal 22 B, BAB IX A,

Pasal 25 E, BaB X, Pasal 26 Ayat (2 dan 3), Pasal 27 Ayat (3), BAB

XA, Pasal 28 A, Pasal 28 B, Pasal 28 C, Pasal 28 D, Pasal 28 E, Pasal

28 F, Pasal 28 G, Pasal 28 H, Pasal 28 I, Pasal 28 J, BAB XII, Pasal

30, BAB XV, Pasal 36 A, Pasal 36 B, dan Pasal 36 C.28

Perubahan ketiga ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR 2001.

Perubahan tahap ini mengubah dan atau menambah ketentuan-

ketentuan pasal tentang asas-asas landasan bemegara, kelembagaan

negara dan hubungan antarlembaga negara, serta ketentuan-ketentuan

tentang Pemilihan Umum. Perubahan ketiga yang meliputi Pasal 1

Ayat (1,2,3, dan 5), Pasal 7 A, Pasal 7 B Ayat (1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7),

Pasal 7 C, Pasal 8 Ayat (1, 2), Pasal 11 Ayat (2, 3), Pasal 17 Ayat (4),

BAB VII A, Pasal 22 C Ayat (1, 2, 3, dan 4), Pasal 22 D Ayat (1, 2, 3,

dan 4), BAB VII B, Pasal 22 E Ayat (1, 2, 3, 4, 5, dan 6), Pasal 23

Ayat (1, 2, dan 3), Pasal 23 A, Pasal 23 C, BAB VIII A, Pasal 23 E

Ayat (1, 2, dan 3), Pasal 23 F Ayat (1 dan 2), Pasal 23 G Ayat (1 dan

2), Pasal 24 Ayat (1 dan 2), Pasal 24 A Ayat (1, 2, 3, 4, dan 5), Pasal

24 B Ayat (1, 2, 3, dan 4), dan Pasal 24 C Ayat (1, 2, 3, 4, 5, dan 6).29

Sedangkan perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan

MPR Tahun 2002. Perubahan Keempat tersebut meliputi ketentuan

tentang kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara,

28
Ibid
29
Ibid

23
penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), pendidikan dan

kebudayaan, perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan

peralihan serta aturan tambahan. Perubahan ke–4 ini mengubah dan

menetapkan antara lain, perubahan penomoran Pasal 3 Ayat (3) dan

Ayat (4) perubahan ketiga UUD NRI TAHUN 1945 menjadi Pasal 3

Ayat (2) dan Ayat (3). Pasal 25 E perubahan kedua UUD NRI

TAHUN 1945 menjadi Pasal 25 A. Kemudian menghapus judul BAB

IV tentang Dewan Pertimbangan Agung dan mengubah substansi

Pasal 16 serta menempatkannya ke dalam BAB III tentang Kekuasaan

Pemerintahan Negara. Dan selanjutnya merubah dan/ atau menambah

Pasal 2 Ayat (1), Pasal 6 A Ayat (4), Pasal 8 Ayat (3), Pasal 11 Ayat

(1), Pasal 16, Pasal 23 B, Pasal 23 D, Pasal 24 Ayat (3), Pasal 29 Ayat

(1) dan (2), BAB XIII, Pasal 31 Ayat (1, 2, 3, 4, dan 5), Pasal 32 Ayat

(1 dan 2), BAB XIV, Pasal 33 Ayat (4 dan 5), Pasal 34 Ayat (1, 2, 3,

dan 4), Pasal 37 Ayat (1, 2, 3, 4, dan 5), Aturan Peralihan Pasal I, II,

dan III, Aturan Tambahan Pasal Idan II Undang-Undang Dasar

1945.30

Empat tahap perubahan UUD NRI TAHUN 1945 tersebut meliputi

hampir keseluruhan materi UUD NRI TAHUN 1945. Naskah asli

UUD NRI TAHUN 1945 berisi 71 butir ketentuan, sedangkan

perubahan yang dilakukan menghasilkan 199 butir ketentuan. Saat ini,

dari 199 butir ketentuan yang ada dalam UUD NRI TAHUN 1945,

30
Ibid

24
hanya 25 (12%) butir ketentuan yang tidak mengalami perubahan.

Selebihnya, sebanyak 174 (88%) butir ketentuan merupakan materi

yang baru atau telah mengalami perubahan. Dari sisi kualitatif,

perubahan UUD NRI TAHUN 1945 bersifat sangat mendasar karena

mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan

sepenuhnya oleh MPR menjadi dilaksanakan menurut Undang-

Undang Dasar. Hal itu menyebabkan semua lembaga negara dalam

UUD NRI TAHUN 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan

kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenangnya masing-masing.

Perubahan lain adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat besar

(concentration of power and responsibility upon the President)

menjadi prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and

balances). Prinsip-prinsip tersebut menegaskan cita negara yang

hendak dibangun, yaitu negara hukum yang demokratis.

Undang-Undang dasar 1945 telah mengalami perubahan-

perubahan mendasar sejak dari perubahan Pertama pada tahun 1999

sampai ke Perubahan Keempat pada tahun 2002. Perubahan-

perubahan ituj juga meliputi materi yang sangat banyak, sehingga

mencakup lebih dari 3 kali lipat jumlah materi muatan asli UUD NRI

TAHUN 1945. Jika naskah asli UUD NRI TAHUN 1945 berisi 71

butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, kini

jumlah materi muatan UUD NRI TAHUN 1945 seluruhnya mencakup

199 butir ketentuan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

25
meskipun namanya tetap merupakan UUD NRI TAHUN 1945, tetapi

dari sudut isinya UUD NRI TAHUN 1945 pasca Perubahan Keempat

tahun 2002 sekarang ini sudah dapat dikatakan merupakan Konstitusi

baru sama sekali dengan nama resmi Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI TAHUN 1945).

Sehubungan dengan itu penting disadari bahwa sistem ketatanegaraan

Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD NRI TAHUN 1945 itu

telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat mendasar.

2.2.3 Prosedur Perubahan UUD NRI TAHUN 1945

Prosedur melakukan perubahan atau perubahan terhadap UUD

termaktub dalam Bab XVI Pasal 37 UUD NRI TAHUN 1945:

a. Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang

MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah

anggota MPR.

b. Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis

dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah

beserta alasannya.

c. Untuk mengubah pasal-pasal UUD, Sidang MPR dihadiri oleh

sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.

d. Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan

persetujuan sekurang-kurangnya 50 % ditambah satu anggota dari

seluruh anggota MPR.

e. Khusus mengenai bentuk NKRI tidak dapat dilakukan perubahan.

26
Hal-hal yang lebih spesifik mengenai perubahan UUD juga

dijabarkan dalam Pasal 23, 24,25,26,27,28,29,30, dan 31 UU No. 27

Tahun 2009 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah.

2.3 Eksistensi Lembaga Negara Berdasarkan UUD NRI TAHUN 1945

2.3.1 Definisi Lembaga Negara

Pengertian lembaga atau organ negara bisa kita peroleh dari

pandangan Hans Kelsen mengenai The Concept of the State Organ

dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kelsen

menyatakan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the

legal order is an organ”31. Kurang lebih artinya siapa saja yang

menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum

(legal order) adalah suatu organ.

Lembaga negara disebut dengan berbagai istilah, bisa disebut

sebagai lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non-

departemen, atau lembaga negara saja. Ada lembaga yang dibentuk

berdasarkan kekuasaan oleh UUD, ada pula yang dibentuk dan

mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan juga ada yang dibentuk

berdasarkan Keputusan Presiden. Lembaga negara yang diatur dan

dibentuk oleh UUD merupakan organ konstitusi, sedangkan yang

dibentuk berdasarkan UU merupakan organ UU, sementara yang

31
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, (New Jersey: The Lawbook Exchange Ltd.,
2007

27
hanya dibentuk karena keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi

tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk

di dalamnya. Pengertian lembaga negara secara ekspilit tidak

dijelaskan dalam UUD NRI TAHUN 1945 negara Republik

Indonesia, dalam batang tubuh UUD NRI TAHUN 1945 tidak pernah

tersebut secara eksplisit mengenai kata dan definisi dari "lembaga

Negara". Dalam UUD NRI TAHUN 1945 hanya terdapat istilah suatu

organ negara dengan "badan". Tidak satupun kata "lembaga negara

yang tercantum dalam batang tubuh UUD NRI TAHUN 1945

(sebelum perubahan).

2.3.2 Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD NRI TAHUN 1945

Saat ini lembaga negara yang secara eksplisit ataupun implisit

diatur keberadaannya dalam UUD NRI TAHUN 1945 sebanyak lebih

dari 24 organ, jabatan, instansi atau lembaga. Seiring dengan adanya

perubahan UUD NRI TAHUN 1945 sebanyak 4 (empat) kali,

konfigurasi lembaga-lembaga negara pun juga ikut berubah berikut

dengan fungsi-fungsi ataupun kekuasaan yang mereka emban. Berikut

ini adalah gambaran secara global kekuasaan lembaga-lembaga negara

hasil dari perubahan UUD NRI TAHUN 1945 tersebut:

a. Kekuasaan Konstitutif (constitutive power)

Lembaga yang memiliki kekuasaan konstitutif ini adalah

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berwenang

menetapkan dan mengubah UUD NRI TAHUN 1945. Kekuasaan

28
ini terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) UUD NRI TAHUN 1945

“Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan

menetapkan Undang-Undang Dasar”.

b. Kekuasaan Eksekutif (executive power)

Kekuasaan eksekutif berhubungan dengan penyelenggaraan

kekuasaan pemerintahan negara, di mana yang melaksanakan

kekuasaan eksekutif adalah Presiden dan wakil Presiden sesuai

dengan kewenangan yang dimiliki berdasar ketentuan Pasal 4 ayat

(1) “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan

pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Hal ini berarti

yang memegang kekuasaan eksekutif adalah Presiden dan wakil

Presiden RI. Pasal 4 ayat (2) UUD NRI TAHUN 1945 itu

menegaskan, “Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu

oleh satu orang Wakil Presiden”.

c. Kekuasaan Legislatif (legislative power)

Lembaga yang memiliki kekuasaan legislatif adalah Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD

NRI TAHUN 1945 “Dewan Perwakilan Rakyat memegang

kekuasaan membentuk undang-undang”. Kekuasaan legislatif

berhubungan dengan kekuasaan membuat undang-undang.

d. Kekuasaan yudikatif (judicial power)

Lembaga yang memiliki kekuasaan yudikatif adalah

Mahkamah Agung serta badan peradilan yang berada di bawahnya

29
serta Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan Pasal 24 ayat (1)

dan (2) UUD NRI TAHUN 1945 “Kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan

yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi”. Kekuasaan yudikatif berhubungan dengan

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merupakan

kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan dalam

rangka menegakkan hukum dan keadilan.

e. Kekuasaan auditif (auditory power)

Lembaga yang memiliki kekuasaan auditif adalah Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mempunyai kebebasan dan

kemandirian. Berdasarkan Pasal 23E ayat (1) UUD NRI TAHUN

1945 “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang

keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang

bebas dan mandiri”, kekuasaan auditif berhubungan dengan

penyelenggaraan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung

jawab keuangan negara.

f. Kekuasaan moneter (monetary fund)

Lembaga yang mempunyai kekuasaan moneter atau otoritas

moneter adalah Bank Indonesia dalam kedudukannya sebagai Bank

Sentral Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 23D UUD NRI

30
TAHUN 1945 “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan,

kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya

diatur dengan undang-undang” dan UU No.23 Tahun 1999 tentang

Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan UU No 3

tahun 2004, kekuasaan moneter atau otoritas moneter menetapkan

dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga

kelancaran sistem pembayaran, serta memelihara kestabilan nilai

rupiah.

2.4 Susunan dan Kedudukan MPR.

2.4.1 Sebelum Perubahan UUD NRI TAHUN 1945

Di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum perubahan

UUD 1945, Undang-Undang Dasar merupakan dasar hukum tertinggi,

yang kemudian pengimplementasian kedaulatan rakyat dilaksanakan

sepenuhnya oleh MPR sebagai lembaga tertinggi (supreme of

parliament). Undang – undang yang mengatur susunan kedudukan

MPR sebelum perubahan UUD NRI 1945 adalah UU no. 16 tahun

1969 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD setelah

itu UU tersebut dicabut kemudian digantikan dengan UU no. 5 tahun

1995 tentang perubahan terhadap UU no. 16 tahun 1969 mengenai

susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Konsep hubungan

antar lembaga-lembaga negara pada saat itu ialah MPR

mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power) kepada lima

lembaga tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung

31
(MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan

Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

MPR sebagai lembaga tertinggi negara oleh konstitusi, di berikan

kekuasaan yang tak terbatas (super power) karena “kekuasaan ada di

tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR

merupakan “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang

mempunyai wewenang untuk menetapkan UUD, GBHN, mengangkat

Presiden dan Wakil Presiden yang dimana susunan keanggotaannya

terdiri dari anggota DPR dan utusan daerah serta utusan golongan

yang di ’angkat oleh Presiden’.

Mekanisme ’pengangkatan oleh Presiden’ tersebut, pada era-era

sebelum reformasi kerap dijadikan sebagai ’basis suara pendukung’

atas segala kebijakan pemerintah dengan mengatasnamakan

konstitusi, sehingga pada saat itu kewenangan eksekutif begitu besar

(executive heavy) tanpa adanya mekanisme checks and balances yang

baik antara lembaga negara dan kekuasaan yang terpusat pada

Presiden, selain itu infrastruktur politik yang dibentuk dimana partai

politik dan organisasi masyarakat, kurang mempunyai kebebasan

berkekspresi sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya

dan Pemilihan Umum (pemilu) diselenggarakan hanya untuk

32
memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses dan

tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.32

Dengan pemberlakuan mekanisme yang bersifat executive heavy

tersebut, peran lembaga-lembaga negara saat itu tidak ubahnya hanya

sebagai ’konduktor’ untuk melanggengkan kekuasaan semata, tanpa

adanya upaya untuk merealisasikan cita-cita nasional yang

berlandaskan kepada penerapan hukum dan nilai-nilai demokrasi.

Peran MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang menetapkan

Undang-Undang.33

Keanggotaan MPR sebelum perubahan UUD 1945, terdiri dari

anggota DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan. Semasa Orde

Baru jumlah anggota MPR mencapai kurang lebih 1000 orang, dengan

perincian 500 (400 anggota dipilih melalui pemilu, 100 diangkat lewat

Fraksi ABRI); 5 Utusan Daerah yang diambil dari masing-masing

provinsi yang dipilih oleh DPRD, saat itu ada 27 provinsi, yang

dipilih oleh DPRD, berarti ada 135 orang; Kemudian Utusan

Golongan sebanyak 340 orang. Dari komposisi ini terlihat bahwa 440

orang anggota diangkat oleh presiden (dari utusan golongan sebanyak

340 orang dan Fraksi ABRI 100 orang). Undang-undang yang

mengatur susunan kedudukan sebelum perubahan adalah undang-

undang no. 16 tahun 1969 kemudian Undang-Undang tersebut dicabut

kemudian diganti oleh Undang-Undang no.5 tahun 1995 Tentang


32
HM. Aksa Mahmud, Komposisi Keterwakilan MPR Paska Perubahan UUD NRI Tahun 1945,
Jurnal Majelis, Vol. 1 No. 1 Agustus 2009
33
Ibid

33
susunan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakayat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah.

2.4.2 Sesudah Perubahan UUD NRI TAHUN 1945

Sebelum dilakukan perubahan, UUD 1945 memberikan titik berat

kekuasaan kepada Presiden. Majelis Permusyawaratan Rakyat, meski

dikatakan pelaksana kedaulatan rakyat dan penjelmaan seluruh rakyat,

namun kenyataannya susunan dan kedudukannya diserahkan untuk

diatur dalam undang-undang. Buktinya, Presiden Soekarno

mengangkat seluruh anggota parlemen tanpa proses Pemilu.

Kemudian Presiden Soeharto dengan merekayasa undang-undang

susunan dan kedudukan MPR, sehingga majelis itu tidak berdaya

dalam mengawasi presiden, juga mengakibatkan tugas dan

kewenangannya menjadi tidak optimal.34

Catatan penting dalam perubahan UUD 1945 ini adalah adanya

perubahan mengenai susunan dan kedudukan MPR. Setelah reformasi

bergulir jumlah anggota MPR disusutkan menjadi 700 orang. Setelah

adanya perubahan UUD 1945, anggota MPR adalah gabungan dari

anggota DPR (550 orang) dan anggota DPD (masing-masing provinsi

4 orang) yang semuanya dipilih secara langsung. Dari adanya

perubahan UUD 1945 itu membuat seluruh anggota MPR adalah

orang-orang yang dipilih secara langsung, jadi presiden tidak bisa

mencampuri anggota MPR (Pasal 2 Ayat 1 UUD NRI TAHUN 1945:

34
Dr. BRA. Moeryati Sudibyo, MPR Paska Perubahan UUD NRI Tahun 1945, Jurnal Majelis,
Vol. 1 No.1 Agustus 2009

34
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan

Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang

dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan

undang-undang).

MPR dikatakan bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara

namun sejajar dengan lembaga negara lainnya. Ini bisa terjadi karena

adanya reformasi yang terjadi yang mendorong pengambil keputusan

untuk tidak menempatkan posisi MPR setinggi dulu. Adanya

perubahan posisi MPR dari lembaga tertinggi menjadi lembaga tinggi

ini membuat semua lembaga negara sama kedudukannya, fungsi dan

kewenangannya sudah jelas seperti dalam UUD. Kerangka yang

dibangun antarlembaga adalah checks and balances. Bila dulu ada

istilah sidang umum atau sidang tahunan maka sebutan itu sekarang

tidak ada lagi, yang ada dengan istilah Sidang MPR bila itu

dibutuhkan seperti ketika melantik presiden dan atau wakil presiden;

memberhentikan presiden, mengubah dan menetapkan UUD, serta

memilih Wakil Presiden dalam hal kekosongan jabatan Wakil

Presiden.35

2.5 Dasar Yuridis Susunan, Kedudukan, Kewenangan dan Tupoksi MPR.

2.5.1. UUD NRI TAHUN 1945

Pasal-pasal dalam UUD NRI TAHUN 1945 yang mengatur

mengenai MPR terdapat pada Pasal 1, 2, 3, 7, 8, dan 9. Pasal 1 adalah

35
Ibid

35
salah satu pasal perubahan dalam UUD NRI TAHUN 1945 yang

paling penting bagi MPR. Pasal 1 ayat (2) berbunyi “Kedaulatan

berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

Dasar”, pasal pasca perubahan ini merubah Pasal 1 sebelum

perubahan yang berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan

dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” yang

kemudian mengubah kedudukan MPR dari lembaga tertinggi negara

menjadi lembaga negara saja. Selanjutnya Pasal 2 mengatur tentang

susunan dan kedudukan MPR:

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan

Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang

dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan

undang-undang.

(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali

dalam lima tahun di ibukota negara.

(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan

dengan suara terbanyak.

Pasal 3 mengatur tentang kewenangan MPR:

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan

menetapkan Undang-Undang Dasar.

(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau

Wakil Presiden.

36
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan

Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya

menurut Undang-Undang Dasar.

2.5.2. UU No. 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Undang-Undang ini mengatur tentang MPR dalam 8 Pasal, yaitu

Pasal 2 hingga Pasal 10. Undang-Undang ini lebih banyak menyoroti

susunan dan kedudukan MPR secara mendetail. Hal ini terlihat pada

Pasal 2 hingga pasal 6 yang tidak muncul dalam UU No. 22 Tahun

2003 dan UU No. 27 Tahun 2009. Keempat Pasal ini membahas

mengenai keanggotaan MPR.

2.5.3. UU No. 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah.

Dibandingkan UU No. 4 Tahun 1999, undang-undang ini

membahas lebih banyak lagi tentang Pimpinan MPR berikut tugasnya,

Kedudukan MPR, Tugas dan Kewenangan MPR, Hak dan Kewajiban,

dan Sidang dan Putusan MPR yang termaktub dalam Pasal 7, 8, 9, 10,

11, 12, 13, 14, dan 15.

37
2.5.4. UU No. 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Undang-undang ini adalah bentuk paling sempurna yang

mengatur tentang susunan, kedudukan, kewenangan, dan tugas MPR

secara detail dan lengkap. Pasal-pasal baru pelengkap undang-undang

sebelumnya nampak pada Pasal 11, 12, dan 13 yang membahas

tentang Fraksi dan Kelompok Anggota MPR. Pasal 19, 20, 21, 22

mengatur tentang Panitia Ad Hoc MPR. Hal yang berkenaan tentang

perubahan UUD NRI TAHUN 1945 diatur tersendiri dan detail dalam

Pasal 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, dan 31. Sementara hal yang

berkenaan dengan pemilihan dan pelantikan Presiden dan Wakil

Presiden juga dibahas lebih detail lagi pada Pasal 32-53. Pasal 56, 57,

58, dan 59 membahas tentang pelaksanaan hak anggota, juga dengan

mendetail. Hal mengenai Sidang dan Putusan yang hanya disinggung

sedikit dalam Pasal 14 dan 15 UU No. 22 Tahun 2003 dibahas lebih

detail lagi dalam Pasal 60, 61, 62, 63, dan 64. Pasal 65 membahas

mengenai penggantian antar waktu, dan Pasal 65 membahas mengenai

penyidikan.

38
BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian pada umumnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan terhadap

objek penulisan atau suatu karya ilmiah guna mendapatkan informasi-informasi,

pokok-pokok pikiran dan pendapat lainnya dari pakar sesuai dengan ruang

lingkup yang diteliti. Dalam hal ini penulis menggunakan suatu metode yang

berfungsi sebagai pedoman dalam pelaksanaan penelitian. Untuk melakukan suatu

penelitian hukum maka harus mempergunakan metode penelitian. Metode

penelitian merupakan suatu cara atau jalan untuk memperoleh kembali pemecahan

terhadap segala permasalahan.36

Metode merupakan sarana untuk menemukan, merumuskan, menganalisa

suatu masalah tertentu untuk mengungkap suatu kebenaran, karena metode pada

prinsipnya memberikan pedoman tentang cara ilmuan mempelajari, menganalisa

serta memahami apa yang dipelajarinya. Sedangkan penelitian adalah sebuah

pemeriksaan atau investigasi yang mendalam dan menyeluruh terhadap suatu

objek penelitian. Atau menurut Kartini Kartono metode penelitian adalah cara-

cara berpikir dan berbuat yang dipersiapkan dengan baik-baik untuk mengadakan

penelitian dan untuk mencapai suatu tujuan penelitian.37. Untuk mengetahui

tentang gejala di lapangan dengan didasari judul, latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian penyusun


36
Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, ( Jakarta : Rineka Cipta, 2006 ),
hal 2
37
Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Research, (Bandung:Alumni Bandung, 1976), hal 15

39
menggunakan metode kualitatif, Soekanto menyatakan (dengan mengutip W.I.

Thomas dan F. Znaniecki) bahwa metode kualitatif adalah suatu cara penelitian

yang menghasilkan data deskriptif analisistis, yaitu apa yang dinyatakan oleh

responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti

dan dipelajari sebagai suatu yang utuh”.38

3.1 Metode Pendekatan

Penulis menggunakan pendekatan penelitian yuridis normative39, yaitu

penelitian hukum yang menekankan pada penelaahan dokumen dokumen

hukum dan bahan bahan pustaka yang berkaitan dengan pokok permasalahan.

Pendekatan tersebut dimaksudkan untuk menelaah, mengkritisi, serta

diharapkan dapat memberikan solusi, khususnya yang terkait dengan

kedudukan dan kewenangan MPR paska perubahan UUD NRI TAHUN 1945

sebagaimana dimandatkan dalam UUD NRI TAHUN 1945, UU No. 4 Tahun

1999 tentang susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU No.

22 Tahun 2003 tentang susunan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, dan UU No. 27 Tahun 2009 Tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Tap MPR dan beberapa UU

lainnya yang relevan dengan objek yang diteliti.

38
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 10
39
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo, 2001) hal 13-14

40
3.2 Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi pada penelitian ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif yaitu

bahwa penelitian ini dilakukan dengan menggambarkan obyek yang menjadi

pokok permasalahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yaitu

kedudukan dan kewenangan MPR paska perubahan UUD NRI TAHUN 1945.

Dari penggambaran tersebut diambil suatu analisa yang disesuaikan dengan

teori teori hukum yang ada khususnya, pendapat para sarjana berupa

kesimpulan yang bersifat analitis. Analitis yaitu bahwa permasalahan

diselidiki dengan penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui

keadaan yang sebenarnya yaitu keadaan objek penelitian pada saat sekarang.40

3.3 Metode Pengumpulan Data

Setiap penelitian ilmiah memerlukan data dalam memecahkan masalah.

Data harus diperoleh dari sumber data yang tepat karena sumber data yang

tidak tepat dapat mengakibatkan data yang terkumpul tidak sesuai dengan

masalah yang diselidiki. Hal ini dapat menimbulkan kekeliruan dalam

menyusun interpretasi dan kesimpulan akhir. Data yang diperlukan bagi

penulisan hukum ini akan didapatkan dengan melakukan Librarian Research

(studi pustaka) yaitu data data yamg diperoleh dari studi kepustakaan dengan

cara mempelajari peraturan perundangan yang berkaitan, buku buku, jurnal

jurnal, koran dan majalah yang berkaitan. Metode pengumpulan data

dilakukan dengan cara inventarisasi bahan penelitian hukum yang

dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu :

40
Hadari Nawai dan Mini Martini, Penelitian Terapan, (Yogyakarta:1994), hal 73

41
1. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang mengikat ke dalam. Data primer terdiri dari:

a. UUD NRI Tahun 1945

b. UU No. 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah

c. UU No. 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

d. UU No. 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berasal dari pendapat para sarjana mengenai

teori-teori yang mendukung obyek penelitian ini berikut data/dokumen

yang diperoleh dari obyek penelitian. Peneliti menggunakan sumber-

sumber data dari:

a. Buku-buku (literature)

b. Pendapat pakar dari surat kabar dan majalah

c. Artikel Seminar

d. Jurnal-Jurnal

e. Artikel dari Internet

f. Dokumen-dokumen resmi

42
Teori-teori dan data yang didapatkan dari sumber tersebut akan

digunakan untuk memperjelas konsep-konsep hukum yang terdapat

pada bahan hukum primer secara mendalam.

3.4 Metode Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan

analisis kualitatif deskriptif, yaitu analisis dengan cara menggambarkan dan

mengkaji data kepustakaan dan data lapangan dalam bentuk pernyataan

dengan teliti dan sistematis, dengan menggunakan metode deduktif, yaitu

dibahas masalah-masalah yang sifatnya umum menuju pada hal-hal yang

bersifat khusus.

43

Anda mungkin juga menyukai