BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan pertanian di Indonesia dengan prinsip kemandirian dan
berkelanjutan senantiasa harus diwujudkan dari waktu ke waktu, sebagai prasyarat
bagi keberlanjutan eksistensi bangsa dalam mengatasi ancaman kelangkaan
pangan dunia yang dampaknya semakin terlihat nyata. Berkaca dari Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Vladivostok,
Rusia, 8-9 September lalu, yang mengangkat tema ancaman krisis pangan global,
perhatian terhadap masalah krisis pangan harus lebih ditingkatkan.
Masalah kedua yang dialami saat ini adalah terbatasnya aspek ketersediaan
infrastruktur penunjang pertanian yang juga penting namun minim ialah
pembangunan dan pengembangan waduk. Selanjutnya, masalah ketiga adalah
adanya kelemahan dalam sistem alih teknologi. Ciri utama pertanian modern
adalah produktivitas, efisiensi, mutu dan kontinuitas pasokan yang terus menerus
harus selalu meningkat dan terpelihara. Produk-produk pertanian kita baik
komoditi tanaman pangan (hortikultura), perikanan, perkebunan dan peternakan
harus menghadapi pasar dunia yang telah dikemas dengan kualitas tinggi dan
memiliki standar tertentu. Tentu saja produk dengan mutu tinggi tersebut
dihasilkan melalui suatu proses yang menggunakan muatan teknologi standar.
Hal lainnya sebagai masalah keempat, muncul dari terbatasnya akses layanan
usaha terutama di permodalan. Yang terakhir menyangkut, masalah kelima adalah
masih panjangnya mata rantai tataniaga pertanian, sehingga menyebabkan petani
tidak dapat menikmati harga yang lebih baik, karena pedagang telah mengambil
untung terlalu besar dari hasil penjualan.
1. Pendapatan petani masih rendah baik secara nominal maupun secara relatif
dibandingkan dengan sektor lain.
2. Usaha pertanian yang ada didominasi oleh ciri-ciri : (a) skala kecil, (b) modal
terbatas, (c) teknologi sederhana, (d) sangat dipengaruhi musim, (e) wilayah
pasarnya lokal , (f) umumnya berusaha dengan tenaga kerja keluarga sehingga
menyebabkan terjadinya involusi pertanian (pengangguran tersembunyi), (g)
akses terhadap kredit, teknologi dan pasar sangat rendah, (h) Pasar komoditi
pertanian sifatnya mono/oligopsoni sehingga terjadi eksploitasi harga pada
petani.
3. Pendekatan parsial yang yang bertumpu pada peningkatan produktifitas
usahatani yang tidak terkait dengan agroindustri. Hal ini menunjukkan fondasi
dasar agribisnis belum terbentuk dengan kokoh sehingga system dan usaha
agribisnis belum berkembang seperti yang diharapkan, yang terjadi kegiatan
agribisnis masih bertumpu pada kegiatan usahatani.
4. Pembangunan pertanian yang ada kurang terkait dengan pembangunan
pedesaan.
5. Kurang memperhatikan aspek keunggulan komparatif yang dimiliki wilayah.
Pembangunan agribisnis yang ada masih belum didasarkan kepada kawasan
unggulan.
6. Kurang mampu bersaing di pasaran, sehingga membanjirnya impor khususnya
komoditas hortikultura. Terdapat senjang produktivitas dan mutu yang cukup
besar sehingga daya saing produk pertanian Indonesia masih mempunyai
peluang yang sangat besar untuk ditingkatkan.
7. Pangsa pasar ekspor produk pertanian Indonesia masih kecil dan sementara
kapasitas dan potensi yang dimilikinya lebih besar.
8. Kegiatan agroindustri masih belum berkembang. Produk –produk perkebunan
semenjak zaman Belanda masih berorentasi pada ekspor komoditas primer
(mentah)
9. Terjadinya degradasi kualitas sumberdaya pertanian akibat pemanfaatan yang
tidak mengikuti pola-pola pemanfaatan yang berkelanjutan . Masih lemahnya
kelembagaan usaha dan kelembagaan petani. Usaha agribisnis skala
rumahtangga, skala kecil dan agribisnis skala besar belum terikat dalam
kerjasama yang saling membutuhkan , saling memperkuat dan saling
menguntungkan. Yang terjadi adalah penguasaan pasar oleh kelompok usaha
yang kuat sehingga terjadi distribusi margin keuntungan yang timpang
(skewed) yang merugikan petani.
10. Lemahnya peran lembaga penelitian, sehingga temuan atau inovasi benih/
bibit unggul sangat terbatas
11. Lemahnya peran lembaga penyuluhan sebagai lembaga transfer teknologi
kepada petani, setelah era otonomi daerah.
12. Kurangnya pemerintah memberdayakan stakeholder seperti perguruan tinggi,
LSM, dalam pembangunan pertanian. Lemahnya dukungan kebijakan makro
ekonomi baik fiscal maupun moneter seperti kemudahan kredit bagi petani,
pembangunan irigasi maupun pasar, dll
4. SDM
5. Kemampuan petani tanaman pangan dan hortikultura dalam memanfaatkan
teknologi maju
6. Menurunnya minat generasi muda untuk terjun di bidang pertanian
7. Keterbatasan tenaga penyuluh, pengamat OPT, Pengawas Benih Tanaman
8. Permodalan
9. Sulitnya akses petani terhadap permodalan
10. Tunggakan kredit usaha tani yang belum terselesaikan
11. Persyaratan agunan kredit KKPE berupa sertifikat, menghambat penyaluran
Selain dari pada permasalah pembangunan pertanian di atas terdapat pula
permasalahan lain yang terjadi di bidang pertanian, antara lain sebagai
berikut :
Ditinjau dari sudut ekonomi pertanian maka adanya persoalan penduduk dapat dilihat
dari tanda-tanda berikut:
4. Bencana Alam
Kemampuan dan ketersediaan pangan sering terganggu
6. Aspek Distribusi
Mengingat Indonesia sebagai Negara kepulauan. Diperlukan aksesibilitas dan sarana
transportasi yang lebih efisien.
7. Laju Urbanisasi
Laju urbanisasi yang tinggi, sehingga generasi muda cenderung
meninggalkan perdesaan/pertanian.
Sektor pertanian menjadi kurang diminati generasi
2.5 Kebijakan Pembangunan Pertanian
Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan
dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum
kebijakan pertanian kita adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian
menjadi lebih produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat
penghidupan dan kesejahteraan petani meningkat.
Menurut Kamus Webster : Kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih
untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Kebijakan Pembangunan Pertanian
adalah usaha terencana yang berkaitan dengan pemberian penjelasan (explanation)
dan preskripsi atau rekomendasi (prescription or recommendation) terhadap
konsekuensi-konsekuensi kebijakan pembangunan pertanian yang telah diterapkan
(Sutejo,2006)
Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah baik di pusat maupun di daerah
mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada yang berbentuk Undang-undang,
Peraturan-peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen, keputusan Gubernur dan lain-lain.
Peraturan ini dapat dibagi menjadi dua kebijakan-kebijakan yang bersifat pengatur
(regulating policies) dan pembagian pendapatan yang lebih adil merata (distributive
policies). Kebijakan yang bersifat pengaturan misalnya peraturan rayoneering dalam
perdagangan/distribusi pupuk sedangkan contoh peraturan yang sifatnya mengatur
pembagian pendapatan adalah penentuan harga kopra minimum yang berlaku sejak
tahun 1969 di daerah-daerah kopra di Sulawesi.
Persoalan yang selalu tidak mudah diatasi adalah persoalan keadilan. Hampir setiap
kebijakan jarang akan disambut dengan baik oleh semua pihak. Selau ada saja pihak
yang memperoleh manfaat lebih besar dari pihak lainnya dan bahkan ada yang
dirugikan. Itulah sebabnya masalah kebijakan pertanian bukanlah terletak pada
banyak sedikitnya campur tangan pemerintah, tetapi pada berhasil tidaknya kebijakan
itu mencapai sasarannya dengan sekaligus mencari keadilan bagi pihak-pihak yang
bersangkutan. Oleh karena itu kebijakan pertanian yang lebih baik adalah yang dapat
mencapai tujuan nasional untuk menaikkan produksi secara optimal dengan perlakuan
yang adil pada pihak-pihak yang bersangkutan itu.
Tujuan yang kedua ini sulit untuk dilaksanakan di negara-negara yang jumlah
petaninya berjuta-juta dan terlalu kecil-kecil seperti di Indonesia karena persoalan
administrasinya sangat kompleks. Pada prinsipnya kebijakan harga yang demikian ini
merupakan usaha memindahkan pendapatan dari golongan bukan pertanian ke
golongan pertanian, sehingga hal ini bisa dilaksanakan dengan mudah di negara-
negara yang sudah maju dan kaya, dimana golongan penduduk di luar pertanian
jumlahnya jauh lebih besar dengan pendapatan lebih tinggi dibanding golongan
penduduk pertanian. Di negara-negara ini penduduk sektor pertanian rata-rata di
bawah 10 persen dari seluruh penduduk, sedangkan di negara kita masih antara 60
persen-70 persen.
Tujuan kebijakan yang ketiga dalam praktek sering dilaksanakan oleh negara-negara
yang sudah maju bersamaan dengan tujuan kedua yaitu dalam bentuk pembatasan
jumlah produksi dengan pembayaran kompensasi. Berdasarkan ramalan harga,
pemerintah membuat perencanaan produksi dan petani mendapat pembayaran
kompensasi untuk setiap kegiatan produksi yang diistirahatkan. Di negara kita,
dimana hasil-hasil pertanian pada umumnya belum mencukupi kebutuhan, maka
kebijakan yang demikian tidak relevan. Selain kebijakan harga yang menyangkut
hasil-hasil pertanian, peningkatan pendapatan petani dapat dicapai dengan pemberian
subsidi pada harga sarana-sarana produksi seperti pupuk/insektisida. Subsidi ini
mempunyai pengaruh untuk menurunkan biaya produksi yang dalam teori ekonomi
berarti menggeser kurva penawaran ke atas.
Kebijakan struktural ini hanya dapat terlaksana dengan kerjasama yang erat dari
beberapa lembaga pemerintah. Perubahan struktur yang dimaksud disini tidak mudah
untuk mencapainya dan biasanya memakan waktu lama. Hal ini disebabkan sifat
usahatani yang tidak saja merupakan unit usaha ekonomi tetapi juga merupakan
bagian dari kehidupan petani dengan segala aspeknya. Oleh karena itu tindakan
ekonomi saja tidak akan mampu mendorong perubahan struktural dalam sektor
pertanian sebagaimana dapat dilaksanakan dengan lebih mudah pada sektor industri.
Pengenalan baru dengan penyuluhan-penyuluhan yang intensif merupakan satu
contoh dari kebijakan ini. Kebijakan pemasaran yang telah disebutkan di atas
sebenarnya dimaksudkan pula untuk mempercepat proses perubahan struktural di
sektor pertanian dalam komoditi-komoditi pertanian. Pada bidang produksi dan
tataniaga kopra, lada, karet, cengkeh dan lain-lain. Dalam kenyataannya pelaksanaan
kebijakan harga, pemasaran dan struktural tidak dapat dipisahkan, dan ketiganya
saling melengkapi.
Maksud :
Produsen :
Merencanakan investasi & keputusan struktur usaha
Mengarahkan produksi & penjualan hasil
Merencanakan pembelian sarana produksi
Lembaga pemasaran
Menentukan tempat & waktu pembelian & penjualan
Kebijaksanaan pembiayaan & kredit pemasaran
Memperlancar proses pemasaran
Konsumen
Bisa memilih barang yang akan dibeli sesuai jenis, kualitas, tempat, harga
& waktu yang diinginkan
2.5.8 Kebijakan Intervensi
Kebijakan intervensi merupakan Pemerintah ikut secara langsung dalam
masalah pemasaran barang-barang yang dianggap penting bagi kesejahteraan
penduduk.
Tujuan : melindungi produsen & konsumen
REPELITA sendiri terdiri dari berberapa tahap yang kesemuanya difokuskan untuk
membangun sistem pertanian Indonesia dengan turut memajukan sektor lain yang
juga mendukung pembangunan sektor pertanian seperti sektor industri dan teknologi.
1. Revolusi Hijau
Revolisi Hijau merupakan upaya untuk meningkatkan produksi biji-bijian dari hasi
penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari beragam varietas gandum, padi dan
jagung yang membuat hasil panen komoditas meningkat di negara-negara
berkembang.
Revolusi Hijau dipicu dari pertambahan penduduk yang pesat, yakni bagaimana
mengupayakan peningkatan hasil produksi pertanian. Peningkatan jumlah penduduk
harus diimbangi dengan peningkata produksi pertanian. Perkembangan Revolusi
Hijau yang sangat pesat juga berpengaruh pada masyarakat Indonesia. Sebagian besar
kondisi sosial-ekonomi mayarakat Indonesia berciri agraris. Oleh karena itu
pembangunan pertanian menjadi sektor yang sangat penting dalam upaya peningkatan
pertumbuhan ekonmi Indonesia. Hal tersebut didasari oleh:
Kenyataan ini menunjukkan bahwa lahan irigasi memberikan peranan yang besar
dalam mencapai swasembada pangan. Kira-kira 60-70% padi diproduksi dari lahan
beririgasi. Walaupun demikian, bila melihat perkembangn penduduk, untuk terus
mempertahankan swasembada pangan masih perlu banyak inovasibaru. Perhitungan
secara sederhana mengenai luas lahan beririgasi terus meningkat seirama dengan
pertambahan penduduk. Padahal kalau melihat besarnya derajad irigasi seperti telah
diuraikan di atas, peluang mengembangkan lahan irigasi secara horizontal, terutama
di pulau-pulau yang termasuk dalam grup pertama, nampaknya semakin sempit. Yang
menjadi persoalannya adalah bagaimana menyeimbangkan antar penyediaan
sumberdaya air dari alam dengan kebutuhan air khususnya untuk memproduksi bahan
pangan yang semakin menigkat itu tetapi tanpa merusak kondisi hidrologinya sendiri.
Berikut adalah beberapa keistimewaan sistem SRI bagi pengembangan budidaya padi
sawah:
1. SRI hanya membutuhkan benih yang jauh lebih sedikit, yaitu 5-10 kg per-
hektar yang berbanding 40-60 kg padi per-hektar pada sistem konvensional.
2. Produktifitas dengan sistem SRI telah terbukti secara signifikan meningkat
dengan B/C rato (perbandingan nilai hasil terhadap biaya) yang lebih baik
dibanding sistem konvesional. Hal ini jelas akan meningkatkan pendapatan
petani.
3. Sistem pengairan yang intermitten / terputus sampai kondisi tanah kering
meretak akan memperbaiki lingkungan mikro bagi tanah sehingga secara pasti
akan memperbaiki kondisi tanah, baik fisik, kimia maupun biologi. Hal ini
dapat dipercepat apabila pemupukannya menggunakan pupuk organik.
Beberapa artikel penelitian membuktikan bahwa kandungan mikro organisme
pada tanah yang ditanami padi SRI mengalami peningkatan kualitas. Tentu
saja harus diperhatikan pula proses pengembalian serasah padi pada tanah
asalnya.
4. Penggunaan air yang jauh lebih sedikit dibanding dengan sistem konvensional
akan memperbaiki efisiensi pengairan dan dengan demikian memiliki potensi
bagi perluasan areal irigasi. Dengan demikian SRI sangat menunjang program
ekstensifikasi areal irigasi yang merupakan sumber utama ketahanan pangan
(terutama beras). Sampai saat ini, areal irigasi yang ada masih banyak yang
belum mampu mengairi padi 100% pada musim tanam kedua (kemarau).
Namun demikian, ternyata pengembangan SRI di banyak areal irigasi masih
menghadapi beberapa kendala yang cukup mengganggu, yaitu:
1. Metode penanaman dengan bibit muda dan hanya satu bibit pertitik tanam
dianggap masih merepotkan bagi petani. Hal ini terutama dialami pada
daerah-daerah yang kekurangan buruh tani. Biasanya daerah seperti ini adalah
daerah yang berada tidak jauh dari perkotaan karena banyak buruh tani yang
bekerja sambilan di kota sebagai tukang atau buruh industri, atau juga di
daerah yang terpencil dimana jumlah penduduk masih kurang. Selain itu,
banyak pula daerah yang buruh taninya merupakan pendatang musiman yang
belum familier dengan SRI sehingga hasil tanamnya kurang baik. Hal ini
tentunya membutuhkan pembinaan yang lebih cermat.
2. Petani yang baru pertama kali melaksanakan SRI banyak yang mengeluhkan
pertumbuhan gulma yang jauh lebih banyak dibanding dengan sistem
konvensional. Hal ini dapat dimengerti karena pengeringan akan mendorong
benih gulma tumbuh dengan leluasa (pada jenis gulma yang berkembang
melalui biji atau umbi). Oleh karena itu pengembangan SRI perlu disertai
dengan pembinaan pengendalian gulma yang baik (pada pelaksanaan demplot
SRI sangat disarankan utuk menggu..nakan lalandak dalam mengendalikan
gulma).
3. SRI masih menyebakan kebingunan dalam sistem pembagian air karena
belum adanya panduan yang pasti mengenai hal ini. Dalam hal perencanaan,
operasional irigasi dengan SRI belum mempunyai angka dasar hidrologi yang
baku, sehingga para ahli hidrologi masih belum dapat merencanakan sistem
pembagian air yang ideal. Penelitian akan hal ini sangat diperlukan guna
mendapatkan angka koefisien yang baku. Pembagian air irigasi dalam SRI
juga sangat menuntut sistem pertanaman serempak, terutama pada satu petak
tersier yang sama. Dilain pihak, sistem pertanaman serempak ini sampai
sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal sekalipun pada sistem
konvensional.
4. Selain SRI, sistem Jajar Legowo yang dikombinasikan dengan pupuk organik
dan juga padi Hibrida yang menggunakan sistem pengairan konvensional
yang juga memberikan hasil produksi yang relatif sama, menjadi pesaing
utama bagi pengembangan SRI.
Pada akhirnya, betatapapun banyaknya kelebihan yang dimiliki SRI, beberapa
penyesuaian budaya, kebijakan pembangunan, maupun teknis, sangat diperlukan.
Yang jelas, dengan kondisi lahan irigasi yang ada di Indonesia, SRI masih sangat
diharapkan dapat dikembangkan secara luas terutama pada daerah irigasi yang
pemenuhan airnya terbatas seperti di wilayah-wilayah Timur Indonesia.