Anda di halaman 1dari 30

PEMBANGUNAN PERTANIAN

Masalah dan Kebijakan Pembangunan Pertanian sub sektor tanaman pangan


dan hortikultura

BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Pembangunan pertanian di Indonesia dengan prinsip kemandirian dan
berkelanjutan senantiasa harus diwujudkan dari waktu ke waktu, sebagai prasyarat
bagi keberlanjutan eksistensi bangsa dalam mengatasi ancaman kelangkaan
pangan dunia yang dampaknya semakin terlihat nyata. Berkaca dari Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Vladivostok,
Rusia, 8-9 September lalu, yang mengangkat tema ancaman krisis pangan global,
perhatian terhadap masalah krisis pangan harus lebih ditingkatkan.

Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai


macam masalah yang dihadapi, masalah pertama yaitu penurunan kualitas dan
kuantitas sumber daya lahan pertanian. Dari segi kualitas, faktanya lahan dan
pertanian kita sudah mengalami degradasi yang luar biasa, dari sisi kesuburannya
akibat dari pemakaian pupuk an-organik. Berbagai hasil riset mengindikasikan
bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif di Indonesia, terutama di Pulau
Jawa telah menurun produktivitasnya, dan mengalami degradasi lahan terutama
akibat rendahnya kandungan C-organik dalam tanah yaitu kecil dari 2 persen.

Masalah kedua yang dialami saat ini adalah terbatasnya aspek ketersediaan
infrastruktur penunjang pertanian yang juga penting namun minim ialah
pembangunan dan pengembangan waduk. Selanjutnya, masalah ketiga adalah
adanya kelemahan dalam sistem alih teknologi. Ciri utama pertanian modern
adalah produktivitas, efisiensi, mutu dan kontinuitas pasokan yang terus menerus
harus selalu meningkat dan terpelihara. Produk-produk pertanian kita baik
komoditi tanaman pangan (hortikultura), perikanan, perkebunan dan peternakan
harus menghadapi pasar dunia yang telah dikemas dengan kualitas tinggi dan
memiliki standar tertentu. Tentu saja produk dengan mutu tinggi tersebut
dihasilkan melalui suatu proses yang menggunakan muatan teknologi standar.

Hal lainnya sebagai masalah keempat, muncul dari terbatasnya akses layanan
usaha terutama di permodalan. Yang terakhir menyangkut, masalah kelima adalah
masih panjangnya mata rantai tataniaga pertanian, sehingga menyebabkan petani
tidak dapat menikmati harga yang lebih baik, karena pedagang telah mengambil
untung terlalu besar dari hasil penjualan.

Pembangunan pertanian diartikan sebagai rangkaian berbagai upaya untuk


meningkatkan pendapatan petani, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan
kemiskinan, memantapkan ketahanan pangan dan mendorong pertumbuhan
ekonomi wilayah. Pemerintah melaksanakan perannya sebagai stimulator dan
fasilitator yang mendorong tumbuhnya kegiatan ekonomi dan sosial para petani
agar memberikan manfaat bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraannya.

Untuk memulihkan pertanian di Indonesia perlu peningkatan perhatian


terhadap bidang pertanian yang dirumuskan dalam suatu kebijakan pembangunan
negara berbasis pertanian yang strategis dan berjangka panjang dalam rangka
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Kebijakan pertanian adalah
serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah
untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum kebijakan pertanian kita
adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih
produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan
dan kesejahteraan petani meningkat. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah
baik di pusat maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada
yang berbentuk Undang-undang, Peraturan-peraturan Pemerintah, Kepres,
Kepmen, keputusan Gubernur dan lain-lain.

1.2         Rumusan Masalah


1. Bagaimana kondisi pembangunan pertanian saat ini?
2. Apasajakah permasalahan yang terjadi dalam pembangunan pertanian
dan hal lain yang terkait dengan permasalahan pembangunan
pertanian? 
3. Apasajakah kebijakan pembangunan pertanian dan hal lain yang
terkait dengan kebijakan pembangunan pertanian?
1.3         Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana kondisi pembangunan pertanian saat
ini.
2. Untuk mengetahui apa sajakah permasalahan yang terjadi dalam
pembangunan pertanian dan hal lain yang terkait dengan
permasalahan pembangunan pertanian.
3. Untuk mengetahui apasajakah kebijakan pembangunan pertanian dan
hal lain yang terkait dengan kebijakan pembangunan pertanian.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1     Kondisi Pembangunan Pertanian Saat Ini
Dalam sejarah perekonomian Indonesia sejak Pelita I hingga akhir pemerintahan
Orde Reformasi, pentingnya pembangunan pertanian seringkali didengung
dengungkan, namun dalam kenyataannya tetap saja pemberdayaan petani kurang
diperhatikan. Kondisi pertanian saat ini diuraikan sebagai berikut:

1. Pendapatan petani masih rendah baik secara nominal maupun secara relatif
dibandingkan dengan sektor lain.
2. Usaha pertanian yang ada didominasi oleh ciri-ciri : (a) skala kecil, (b) modal
terbatas, (c) teknologi sederhana, (d) sangat dipengaruhi musim, (e) wilayah
pasarnya lokal , (f) umumnya berusaha dengan tenaga kerja keluarga sehingga
menyebabkan terjadinya involusi pertanian (pengangguran tersembunyi), (g)
akses terhadap kredit, teknologi dan pasar sangat rendah, (h) Pasar komoditi
pertanian sifatnya mono/oligopsoni sehingga terjadi eksploitasi harga pada
petani.
3. Pendekatan parsial yang yang bertumpu pada peningkatan produktifitas
usahatani yang tidak terkait dengan agroindustri. Hal ini menunjukkan fondasi
dasar agribisnis belum terbentuk dengan kokoh sehingga system dan usaha
agribisnis belum berkembang seperti yang diharapkan, yang terjadi kegiatan
agribisnis masih bertumpu pada kegiatan usahatani.
4. Pembangunan pertanian yang ada kurang terkait dengan pembangunan
pedesaan.
5. Kurang memperhatikan aspek keunggulan komparatif yang dimiliki wilayah.
Pembangunan agribisnis yang ada masih belum didasarkan kepada kawasan
unggulan.
6. Kurang mampu bersaing di pasaran, sehingga membanjirnya impor khususnya
komoditas hortikultura. Terdapat senjang produktivitas dan mutu yang cukup
besar sehingga daya saing produk pertanian Indonesia masih mempunyai
peluang yang sangat besar untuk ditingkatkan.
7. Pangsa pasar ekspor produk pertanian Indonesia masih kecil dan sementara
kapasitas dan potensi yang dimilikinya lebih besar.
8. Kegiatan agroindustri masih belum berkembang. Produk –produk perkebunan
semenjak zaman Belanda masih berorentasi pada ekspor komoditas primer
(mentah)
9. Terjadinya degradasi kualitas sumberdaya pertanian akibat pemanfaatan yang
tidak mengikuti pola-pola pemanfaatan yang berkelanjutan . Masih lemahnya
kelembagaan usaha dan kelembagaan petani. Usaha agribisnis skala
rumahtangga, skala kecil dan agribisnis skala besar belum terikat dalam
kerjasama yang saling membutuhkan , saling memperkuat dan saling
menguntungkan. Yang terjadi adalah penguasaan pasar oleh kelompok usaha
yang kuat sehingga terjadi distribusi margin keuntungan yang timpang
(skewed) yang merugikan petani.
10. Lemahnya peran lembaga penelitian, sehingga temuan atau inovasi benih/
bibit unggul sangat terbatas
11. Lemahnya peran lembaga penyuluhan sebagai lembaga transfer teknologi
kepada petani, setelah era otonomi daerah.
12. Kurangnya pemerintah memberdayakan stakeholder seperti perguruan tinggi,
LSM, dalam pembangunan pertanian. Lemahnya dukungan kebijakan makro
ekonomi baik fiscal maupun moneter seperti kemudahan kredit bagi petani,
pembangunan irigasi maupun pasar, dll

2.2         Permasalahan Pembangunan Pertanian


1. Lahan
2. Konversi lahan yang tidak terkendali
3. Keterbatasan dalam pencetakan lahan baru
4. Penurunan kualitas lahan
5. Rata‐rata kepemilikan lahan yang sempit
6. Ketidakpastian status kepemilikan lahan
7. Infrastruktur
8. Kerusakan jaringan irigasi yang tinggi
9. Pendangkalan waduk
10. Kurang memadainya sarana pelabuhan dan transportasi tanaman pangan dan
hortikultura
11. Benih
Sistem pengadaan benih yang tidak sesuai dengan musim tanam tanaman
pangan dan hortikultura

4. SDM
5. Kemampuan petani tanaman pangan dan hortikultura dalam memanfaatkan
teknologi maju
6. Menurunnya minat generasi muda untuk terjun di bidang pertanian
7. Keterbatasan tenaga penyuluh, pengamat OPT, Pengawas Benih Tanaman
8. Permodalan
9. Sulitnya akses petani terhadap permodalan
10. Tunggakan kredit usaha tani yang belum terselesaikan
11. Persyaratan agunan kredit KKPE berupa sertifikat, menghambat penyaluran
Selain dari pada permasalah pembangunan pertanian di atas terdapat pula
permasalahan lain yang terjadi di bidang pertanian, antara lain sebagai
berikut :

1. Jarak Waktu yang Lebar Antara Pengeluaran dan Penerimaan


Pendapatan dalam Pertanian
Banyak persoalan yang dihadapi oleh petani baik yang berhubungan langsung dengan
produksi dan pemasaran hasil-hasil pertaniannya maupun yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-hari. Selain merupakan usaha, bagi si petani pertanian juga
merupakan bagian dari hidupnya, bahkan suatu cara hidup (way of live), sehingga
tidak hanya aspek ekonomi saja tetapi aspek-aspek sosial dan kebudayaan, aspek
kepercayaan dan keagamaan serta aspek-aspek tradisi semuanya memegang peranan
penting dalam tindakan-tindakan petani. Namun demikian dari segi ekonomi
pertanian, berhasil tidaknya produksi petani dan tingkat harga yang diterima oleh
petani untuk hasil produksinya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku
dan kehidupan petani.
Perbedaan yang jelas antara persoalan-persoalan ekonomi pertanian dan persoalan
ekonomi di luar bidang ekonomi pertanian adalah jarak waktu (gap) antara
pengeluaran yang harus dilakukan para pengusaha pertanian dengan penerimaan hasil
penjualan. Jarak waktu ini sering pula disebut gestation period, yang dalam bidang
pertanian jauh lebih besar daripada dalam bidang industri. Di dalam bidang industri,
sekali produksi telah berjalan maka penerimaan dari penjualan akan mengalir setiap
hari sebagaimana mengalirnya hasil produksi. Dalam bidang pertanian tidak demikian
kecuali bagi para nelayan penangkap ikan yang dapat menerima hasil setiap hari
sehabis ia menjual ikannya. Jadi ciri khas kehidupan petani adalah perbedaan pola
penerimaan pendapatan dan pengeluarannya. Pendapatan petani hanya diterima setiap
musim panen, sedangkan pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap minggu atau
kadang-kadang dalam waktu yang sangat mendesak sebelum panen tiba.
2. Tekanan Penduduk dan Pertanian
Persoalan lain yang sifatnya lebih jelas lagi dalam ekonomi pertanian adalah
persoalan yang menyangkut hubungan antara pembangunan pertanian dan jumlah
penduduk. Malthus dalam tahun 1888 menerbitkan buku yang terkenal mengenai
persoalan-persoalan penduduk dan masalah pemenuhan kebutuhan manusia akan
bahan makanan. Penduduk bertambah lebih cepat daripada pertambahan produksi
bahan makanan. Penduduk bertambah menurut deret ukur, sedangkan produksi bahan
makanan hanya bertambah menurut deret hitung. Persoalan penduduk di Indonesia
tidak hanya dalam kepadatannya tetapi juga pembagian antardaerah tidak seimbang.
Komposisinya menunjukkan suatu penduduk yang muda dengan pemusatan
penduduk di kota-kota besar. Tingkat pertambahan penduduk tinggi, karena angka
kelahiran tinggi, sedangkan angka kematian menurun. Menurunnya angka kematian
disebabkan oleh kemajuan kesehatan dan sanitasi.

Ditinjau dari sudut ekonomi pertanian maka adanya persoalan penduduk dapat dilihat
dari tanda-tanda berikut:

1. persediaan tanah pertanian yang makin kecil


2. produksi bahan makanan per jiwa yang terus menurun
3. bertambahnya pengangguran
4. memburuknya hubungan-hubungan pemilik tanah dan bertambahnya hutang-
hutang pertanian.
3. Pertanian Subsisten
Perkataan subsisten ini banyak sekali dipakai dalam berbagai karangan mengenai
ekonomi pertanian sebagai terjemahan dari perkataan subsistence dari
kata subsist yang berarti hidup. Pertanian yang subsisten diartikan sebagai suatu
sistem bertani dimana tujuan utama dari si petani adalah untuk memenuhi keperluan
hidupnya beserta keluarganya. Namun dalam menggunakan definisi yang demikian
sejak semula harus diingat bahwa tidak ada petani susbsisten yang begitu homogen,
yang begitu sama sifat-sifatnya satu dari yang lain. Dalam kenyataannya petani
subsisten ini sangat berbeda-beda dalam hal luas dan kesuburan tanah yang
dimilikinya dan dalam kondisi-kondisi sosial ekonomi lingkungan hidupnya.
Apa yang sama di antara mereka adalah bahwa mereka memandang pertanian sebagai
sarana pokok untuk memenuhi kebutuhan keluarga yaitu melalui hasil produksi
pertanian itu. Dengan definisi tersebut sama sekali tidak berarti bahwa petani
susbsisten tidak berfikir dalam pengertian biaya dan penerimaan. Mereka juga
berpikir dalam pengertian itu, tetapi tidak dalam bentuk pengeluaran biaya tunai,
melainkan dalam kerja, kesempatan beristirahat dan partisipasi dalam kegiatan-
kegiatan upacara adat dan lain-lain.
2.3         Lima Masalah Pokok Pembangunan Pertanian
Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam
masalah yang dihadapi, masalah pertama yaitu penurunan kualitas dan kuantitas
sumber daya lahan pertanian. Dari segi kualitas, faktanya lahan dan pertanian kita
sudah mengalami degradasi yang luar biasa, dari sisi kesuburannya akibat dari
pemakaian pupuk an-organik. Berdasarkan Data Katalog BPS, Juli 2012, Angka
Tetap (ATAP) tahun 2011, untuk produksi komoditi padi mengalami penurunan
produksi Gabah Kering Giling (GKG) hanya mencapai  65,76 juta ton dan lebih
rendah 1,07 persen dibandingkan tahun 2010. Jagung sekitar 17,64 juta ton pipilan
kering atau 5,99 persen lebih rendah tahun 2010, dan kedelai sebesar 851,29 ribu ton
biji kering atau 4,08 persen lebih rendah dibandingkan 2010, sedangkan kebutuhan
pangan selalu meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk Indonesia.
Berbagai hasil riset mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif di
Indonesia, terutama di Pulau Jawa telah menurun produktivitasnya, dan mengalami
degradasi lahan terutama akibat rendahnya kandungan C-organik dalam tanah yaitu
kecil dari 2 persen. Padahal, untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan
kandungan C-organik lebih dari 2,5 persen atau kandungan bahan organik tanah > 4,3
persen. Berdasarkan kandungan C-organik tanah/lahan pertanian tersebut
menunjukkan lahan sawah intensif di Jawa dan di luar Jawa tidak sehat lagi tanpa
diimbangi pupuk organik dan pupuk hayati, bahkan pada lahan kering yang ditanami
palawija dan sayur-sayuran di daerah dataran tinggi di berbagai daerah. Sementara
itu, dari sisi kuantitasnya konfeksi lahan di daerah Jawa memiliki kultur dimana
orang tua akan memberikan pembagian lahan kepada anaknya turun temurun,
sehingga terus terjadi penciutan luas lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi
lahan bangunan dan industri.

Masalah kedua yang dialami saat ini adalah terbatasnya aspek ketersediaan


infrastruktur penunjang pertanian yang juga penting namun minim ialah
pembangunan dan pengembangan waduk. Pasalnya, dari total areal sawah di
Indonesia sebesar 7.230.183 ha, sumber airnya 11 persen (797.971 ha) berasal dari
waduk, sementara 89 persen (6.432.212 ha) berasal dari non-waduk. Karena itu,
revitalisasi waduk sesungguhnya harus menjadi prioritas karena tidak hanya untuk
mengatasi kekeringan, tetapi juga untuk menambah layanan irigasi nasional. Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, 42 waduk saat ini dalam
kondisi waspada akibat berkurangnya pasokan air selama kemarau. Sepuluh waduk
telah kering, sementara 19 waduk masih berstatus normal. Selain itu masih rendahnya
kesadaran dari para pemangku kepentingan di daerah-daerah untuk mempertahankan
lahan pertanian produksi, menjadi salah satu penyebab infrastruktur pertanian
menjadi buruk.
Selanjutnya, masalah ketiga adalah adanya kelemahan dalam sistem alih teknologi.
Ciri utama pertanian modern adalah produktivitas, efisiensi, mutu dan kontinuitas
pasokan yang terus menerus harus selalu meningkat dan terpelihara. Produk-produk
pertanian kita baik komoditi tanaman pangan (hortikultura), perikanan, perkebunan
dan peternakan harus menghadapi pasar dunia yang telah dikemas dengan kualitas
tinggi dan memiliki standar tertentu. Tentu saja produk dengan mutu tinggi tersebut
dihasilkan melalui suatu proses yang menggunakan muatan teknologi standar.
Indonesia menghadapi persaingan yang keras dan tajam tidak hanya di dunia tetapi
bahkan di kawasan ASEAN. Namun tidak semua teknologi dapat diadopsi dan
diterapkan begitu saja karena pertanian di negara sumber teknologi mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan negara kita, bahkan kondisi lahan pertanian di tiap
daerah juga berbeda-beda. Teknologi tersebut harus dipelajari, dimodifikasi,
dikembangkan, dan selanjutnya baru diterapkan ke dalam sistem pertanian kita.
Dalam hal ini peran kelembagaan sangatlah penting, baik dalam inovasi alat dan
mesin pertanian yang memenuhi kebutuhan petani maupun dalam pemberdayaan
masyarakat. Lembaga-lembaga ini juga dibutuhkan untuk menilai respon sosial,
ekonomi masyarakat terhadap inovasi teknologi, dan melakukan penyesuaian dalam
pengambilan kebijakan mekanisasi pertanian
Hal lainnya sebagai masalah keempat, muncul dari terbatasnya akses layanan usaha
terutama di permodalan. Kemampuan petani untuk membiayai usaha taninya sangat
terbatas sehingga produktivitas yang dicapai masih di bawah produktivitas potensial.
Mengingat keterbatasan petani dalam permodalan tersebut dan rendahnya
aksesibilitas terhadap sumber permodalan formal, maka dilakukan pengembangkan
dan mempertahankan beberapa penyerapan input produksi biaya rendah (low cost
production) yang sudah berjalan ditingkat petani. Selain itu, penanganan pasca panen
dan pemberian kredit lunak serta bantuan langsung kepada para petani sebagai
pembiayaan usaha tani cakupannya diperluas. Sebenarnya, pemerintah telah
menyediakan anggaran sampai 20 Triliun untuk bisa diserap melalui tim Kredit
Usaha Rakyat (KUR) dan Bank BRI khusus Kredit Bidang Pangan dan Energi.
Yang terakhir menyangkut, masalah kelima adalah masih panjangnya mata rantai
tataniaga pertanian, sehingga menyebabkan petani tidak dapat menikmati harga yang
lebih baik, karena pedagang telah mengambil untung terlalu besar dari hasil
penjualan.
Pada dasarnya komoditas pertanian itu memiliki beberapa sifat khusus, baik untuk
hasil pertanian itu sendiri, untuk sifat dari konsumen dan juga untuk sifat dari
kegiatan usaha tani tersebut, sehingga dalam melakukan kegiatan usaha tani
diharapkan dapat dilakukan dengan seefektif dan seefisien mungkin, dengan
memanfaatkan lembaga pemasaran baik untuk pengelolaan, pengangkutan,
penyimpanan dan pengolahannya. Terlepas dari masalah-masalah tersebut, tentu saja
sektor pertanian masih saja menjadi tumpuan harapan, tidak hanya dalam upaya
menjaga ketahanan pangan nasional tetapi juga dalam penyediaan lapangan kerja,
sumber pendapatan masyarakat dan penyumbang devisa bagi negara.

2.4         Tantangan Pembangunan Pertanian


1. Perubahan Iklim
 Gagal panen yang akan berakibat kelangkaan/krisis
2. Kondisi Perekonomian Global
 Terjadi pelemahan nilai tukar rupiah, harga produk dan biaya produksi
menjadi lebih mahal.
 Krisis ekonomi berdampak pada pelemahan ekspor
3. Gejolak Harga Pangan Global
Harga pangan yang berfluktuasi akibat perubahan iklim sehinga harga pangan
menjadi mahal

4. Bencana Alam
Kemampuan dan ketersediaan pangan sering terganggu

5. Peningkatan Jumlah Penduduk


Melebihi kapasitas lahan yang tersedia

6. Aspek Distribusi
Mengingat Indonesia sebagai Negara kepulauan. Diperlukan aksesibilitas dan sarana
transportasi yang lebih efisien.

7. Laju Urbanisasi
 Laju urbanisasi yang tinggi, sehingga generasi muda cenderung
meninggalkan perdesaan/pertanian.
 Sektor pertanian menjadi kurang diminati generasi
2.5         Kebijakan Pembangunan Pertanian
Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan
dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum
kebijakan pertanian kita adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian
menjadi lebih produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat
penghidupan dan kesejahteraan petani meningkat.
Menurut Kamus Webster : Kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih
untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Kebijakan Pembangunan Pertanian
adalah usaha terencana yang berkaitan dengan pemberian penjelasan (explanation)
dan preskripsi atau rekomendasi (prescription or recommendation)   terhadap
konsekuensi-konsekuensi kebijakan pembangunan pertanian yang telah diterapkan
(Sutejo,2006)
Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah baik di pusat maupun di daerah
mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada yang berbentuk Undang-undang,
Peraturan-peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen, keputusan Gubernur dan lain-lain.
Peraturan ini dapat dibagi menjadi dua kebijakan-kebijakan yang bersifat pengatur
(regulating policies) dan pembagian pendapatan yang lebih adil merata (distributive
policies). Kebijakan yang bersifat pengaturan misalnya peraturan rayoneering dalam
perdagangan/distribusi pupuk sedangkan contoh peraturan yang sifatnya mengatur
pembagian pendapatan adalah penentuan harga kopra minimum yang berlaku sejak
tahun 1969 di daerah-daerah kopra di Sulawesi.
Persoalan yang selalu tidak mudah diatasi adalah persoalan keadilan. Hampir setiap
kebijakan jarang akan disambut dengan baik oleh semua pihak. Selau ada saja pihak
yang memperoleh manfaat lebih besar dari pihak lainnya dan bahkan ada yang
dirugikan. Itulah sebabnya masalah kebijakan pertanian bukanlah terletak pada
banyak sedikitnya campur tangan pemerintah, tetapi pada berhasil tidaknya kebijakan
itu mencapai sasarannya dengan sekaligus mencari keadilan bagi pihak-pihak yang
bersangkutan. Oleh karena itu kebijakan pertanian yang lebih baik adalah yang dapat
mencapai tujuan nasional untuk menaikkan produksi secara optimal dengan perlakuan
yang adil pada pihak-pihak yang bersangkutan itu.

2.5.1        Kebijakan Harga


Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang terpenting di banyak negara dan
biasanya digabung dengan kebijakan pendapatan sehingga disebut kebijakan harga
dan pendapatan (price and economic policy). Segi harga dari kebijakan itu bertujuan
untuk mengadakan stabilitas harga, sedangkan segi pendapatannya bertujuan agar
pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi dari musim ke musim dan dari tahun ke
tahun. Kebijakan harga dapat mengandung pemberian penyangga (support) atas
harga-harga hasil pertanian supaya tidak terlalu merugikan petani atau langsung
mengandung sejumlah subsidi tertentu bagi petani. Di banyak negara seperti;
Amerika Serikat, Jepang, dan Australia banyak sekali hasil pertanian seperti gandum,
kapas, padi, dan gula yang mendapat perlindungan pemerintah berupa harga
penyangga dan atau subsidi. Indonesia baru mulai mempraktekkan kebijakan harga
untuk beberapa hasil pertanian sejak tahun 1969. Secara teoritis kebijakan harga yang
dapat dipakai untuk mencapai tiga tujuan yaitu:
1. stabilitas harga hasil-hasil pertanian terutama pada tingkat petani
2. meningkatkan pendapatan petani melalui pebaikan dasar tukar (term of trade)
3. memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi.
Kebijakan harga di Indonesia terutama ditekankan pada tujuan pertama yaitu
Stabilitas harga hasil-hasil pertanian dalam keadaan harga-harga umum yang stabil
berarti pula terjadi kestabilan pendapatan. Tujuan yang kedua banyak sekali
dilaksanakan pada hasil-hasil pertanian di negara-negara yang sudah maju dengan
alasan pokok pendapatan rata-rata sektor pertanian terlau rendah dibandingkan
dengan penghasilan di luar sektor pertanian.

Tujuan yang kedua ini sulit untuk dilaksanakan di negara-negara yang jumlah
petaninya berjuta-juta dan terlalu kecil-kecil seperti di Indonesia karena persoalan
administrasinya sangat kompleks. Pada prinsipnya kebijakan harga yang demikian ini
merupakan usaha memindahkan pendapatan dari golongan bukan pertanian ke
golongan pertanian, sehingga hal ini bisa dilaksanakan dengan mudah di negara-
negara yang sudah maju dan kaya, dimana golongan penduduk di luar pertanian
jumlahnya jauh lebih besar dengan pendapatan lebih tinggi dibanding golongan
penduduk pertanian. Di negara-negara ini penduduk sektor pertanian rata-rata di
bawah 10 persen dari seluruh penduduk, sedangkan di negara kita masih antara 60
persen-70 persen.

Tujuan kebijakan yang ketiga dalam praktek sering dilaksanakan oleh negara-negara
yang sudah maju bersamaan dengan tujuan kedua yaitu dalam bentuk pembatasan
jumlah produksi dengan pembayaran kompensasi. Berdasarkan ramalan harga,
pemerintah membuat perencanaan produksi dan petani mendapat pembayaran
kompensasi untuk setiap kegiatan produksi yang diistirahatkan. Di negara kita,
dimana hasil-hasil pertanian pada umumnya belum mencukupi kebutuhan, maka
kebijakan yang demikian tidak relevan. Selain kebijakan harga yang menyangkut
hasil-hasil pertanian, peningkatan pendapatan petani dapat dicapai dengan pemberian
subsidi pada harga sarana-sarana produksi seperti pupuk/insektisida. Subsidi ini
mempunyai pengaruh untuk menurunkan biaya produksi yang dalam teori ekonomi
berarti menggeser kurva penawaran ke atas.

2.5.2        Kebijakan Pemasaran


Di samping kebijakan harga untuk melindungi petani produsen, pemerintah dapat
mengeluarkan kebijakan-kebijakan khusus dalam kelembagaan perdagangan dengan
tujuan yang sama, tetapi dengan tekanan pada perubahan mata rantai pemasaran dari
produsen ke konsumen, dengan tujuan utama untuk memperkuat daya saing petani.
Di negara-negara Afrika seperti Nigeria dan Kenya apa yang dikenal dengan nama
Badan Pemasaran Pusat (Central Marketing Board) berusaha untuk mengurangi
pengaruh fluktuasi harga pasar dunia atas penghasilan petani. Badan pemasaran ini
sangat berhasil di Inggris yang dimulai sesudah depresi besar tahun 1930 untuk
industri bulu domba, susu, telor dan kentang. Di Indonesia Badan Pengurusan Kopra,
Badan Pemasaran Lada pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama dengan Badan
pemasaran Pusat di Afrika dan Inggris.
Masalah yang dihadapi di Indoensia adalah kurangnya kegairahan berproduksi pada
tingkat petani, tidak ada keinginan untuk mengadakan penanaman baru dan usaha-
usaha lain untuk menaikkan produksi karena persentase harga yang diterima oleh
petani relatif kecil dibandingkan dengan bagian yang diterima golongan-golongan
lain.

Selain kebijakan pemasaran hasil-hasil tanaman perdagangan untuk ekspor, kebijakan


ini meliputi pula pengaturan distribusi sarana-sarana produksi bagi petani. Pemerintah
berusaha menciptakan persaingan yang sehat di antara para pedagang dengan
melayani kebutuhan petani seperti pupuk, insektisida, pestisida dan lain-lain sehingga
petani akan dapat membeli sarana-sarana produksi tersebut dengan harga yang relatif
tidak terlalu tinggi. Jadi disini jelas bahwa kebijakan pemasaran merupakan usaha
campur tangan pemerintah dalam bekerjanya kekuatan-kekuatan pasar. Di satu pihak
pemerintah dapat mengurangi pengaruh kekuatan-kekuatan pasar supaya tidak terlalu
merugikan pedagang dan petani, tetapi di pihak lain persaingan dapat didorong untuk
mencapai efisiensi ekonomi yang tinggi. Dalam praktek kebijakan pemasaran
dilaksanakan secara bersamaan dengan kebijakan harga.

2.5.3        Kebijakan Struktural


Kebijakan struktural dalam pertanian dimaksudkan untuk memperbaiki strukutur
produksi misalnya luas pemilikan tanah, pengenalan dan pengusahaan alat-alat
pertanian yang baru dan perbaikan prasarana pertanian pada umumnya baik prasarana
fisik maupun sosial ekonomi.

Kebijakan struktural ini hanya dapat terlaksana dengan kerjasama yang erat dari
beberapa lembaga pemerintah. Perubahan struktur yang dimaksud disini tidak mudah
untuk mencapainya dan biasanya memakan waktu lama. Hal ini disebabkan sifat
usahatani yang tidak saja merupakan unit usaha ekonomi tetapi juga merupakan
bagian dari kehidupan petani dengan segala aspeknya. Oleh karena itu tindakan
ekonomi saja tidak akan mampu mendorong perubahan struktural dalam sektor
pertanian sebagaimana dapat dilaksanakan dengan lebih mudah pada sektor industri.
Pengenalan baru dengan penyuluhan-penyuluhan yang intensif merupakan satu
contoh dari kebijakan ini. Kebijakan pemasaran yang telah disebutkan di atas
sebenarnya dimaksudkan pula untuk mempercepat proses perubahan struktural di
sektor pertanian dalam komoditi-komoditi pertanian. Pada bidang produksi dan
tataniaga kopra, lada, karet, cengkeh dan lain-lain. Dalam kenyataannya pelaksanaan
kebijakan harga, pemasaran dan struktural tidak dapat dipisahkan, dan ketiganya
saling melengkapi.

2.5.4        Kebijakan Perdagangan


Tujuan dari kebijakan perdagangan adalah untuk memperlancar atau menghambat
pemasaran komoditi dari suatu wilayah ke wilayah yang lain. Kebijakan perdagangan
merupakan suatu pembatasan yang diberlakukan pada impor dan ekspor suatu
komoditas. Untuk impor, dengan pemberlakuan tarif impor dan kuota impor untuk
membatasi jumlah yang diimpor dan meningkatkan harga domestik di atas harga
dunia. Untuk ekspor, dengan pajak ekspor dan kuota ekspor untuk membatasi barang
yang di ekspor dan mengkonsdisikan harga domestik yang lebih rendah dari harga
dunia.
2.5.5        Kebijakan Subsidi
Kebijakan subsidi berpengaruh dalam menurunkan biaya produksi & meningkatkan
penawaran. Pemberian subsidi kepada petani merupakan salah satu kebijakan utama
pembangunan pertanian yang telah lama dilaksanakan pemerintah dengan cangkupan
dan besaran yang berubah dari waktu ke waktu. Pemberian insentif tidak saja
didasarkan oleh pertimbangan ekonomi, tetapi juga karena desakan dan dorongan
politik dan sosial. Bisa terjadi, pemberian subsidi dan dukungan harga bagi petani
lebih didominasi oleh pertimbangan politik dan sosial. Sebagai contoh, berbagai
penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa penggunaan pupuk pada usahatani
sawah telah berlebihan sehingga pemberian subsidi harga pupuk yang terus
meningkat merupakan kebijakan yang tidak tepat dipandang dari pertimbangan
ekonomi. Namun demikian, pemberian subsidi pupuk yang terus meningkat
mendapatkan dukungan politik dari parlemen maupun masyarakat luas karena
dipandang bijaksana menolong petani yang sebagian besar masih hidup dalam
kemiskinan.

Ada dua argumentasi yang melandasi pentingnya pemerintah memberikan bantuan


kepada petani:

 Pertama, suatu kewajiban pemerintah membantu petani yang sebagian besar


merupakan masyarakat miskin yang tidak mempunyai kapasitas yang
memadai untuk mengembangkan kapasitas produksi pertanian sementara
eksistensi produksi pertanian ke depan masih sangat diperlukan;
 Kedua, melindungi petani miskin dari ancaman eksternal akibat ketidakadilan
perdagangan dalam rangka memberdayakan mereka menjadi masyarakat yang
mandiri mampu menghidupi dirinya dan juga menjaga eksistensi sektor
pertanian ke depan.
2.5.6        Kebijakan Pengaturan
Pelaksanaan kekuatan kebijaksanaan pemerintah dengan menggunakan UU,
peraturan, ketetapan yang berkenaan dengan perekonomian & niaga.

Maksud :

 Menjaga keselamatan industri dalam negeri/dalam persaingan


 Perlindungan kepentingan & kesehatan konsumen
 Menciptakan kondisi perdagangan efektif & lancar
 Meningkatkan pendapatan pemerintah
 Pencegahan praktek persaingan tidak wajar & monopoli yang tidak wajar
 Pengaturan kelancaran perdagangan & jasa yang diperlukan
 Perlindungan konsumen
 Pengaturan barang
 Bantuan kemajuan perekonomian & sosial
2.5.7        Kebijakan Fasilitas
Dalam pelaksanaan suatu kebijakan fasilitas yang diberikan pemerintah memang
sangat dibutuhkan seperti halnya pemberian informasi mengenai kebijakan-kebijakan
yang akan diterapkan serta fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) yang ada di
suatu wilayah.

Fasilitasi dapat diartikan sebagai suatu proses untuk mempermudah kegiatan-kegiatan


dalam mencapai tujuan tertentu, sedangkan makna kemudahan dalam kaitannya
dengan kualitas pelayanan publik yaitu mencakup seluruh upaya yang dilakukan
untuk memudahkan masyarakat dalam memperoleh layanan publik. Dimensi
kemudahan dalam pelayanan kepada masyarakat biasanya seperti akses informasi
yang memadai, sikap aparat dalam berkomunikasi dengan masyarakat dan prosedur
pelayanan sederhana. Adapun program kebijakan fasilitas adalah sebagai berikut :

 Investasi & kredit


 Pengadaan fasilitas penyimpanan
 Layanan informasi & berita pasar
 Penelitian tataniaga
 Pendidikan & penyuluhan tataniaga
Guna Informasi Pasar

 Produsen :
 Merencanakan investasi & keputusan struktur usaha
 Mengarahkan produksi & penjualan hasil
 Merencanakan pembelian sarana produksi
 Lembaga pemasaran
 Menentukan tempat & waktu pembelian & penjualan
 Kebijaksanaan pembiayaan & kredit pemasaran
 Memperlancar proses pemasaran
 Konsumen
 Bisa memilih barang yang akan dibeli sesuai jenis, kualitas, tempat, harga
& waktu yang diinginkan
2.5.8        Kebijakan Intervensi
            Kebijakan intervensi merupakan Pemerintah ikut secara langsung dalam
masalah pemasaran barang-barang yang dianggap penting bagi kesejahteraan
penduduk.
Tujuan : melindungi produsen & konsumen

2.6         Strategi Kebijakan Pertanian


 Usaha pengembangan ekonomi lebih difokuskan pada sektor yang
menghidupi mayoritas penduduk yaitu penduduk di pedesaan yang berprofesi
sebagai petani
 Program industrialisasi mestinya difokuskan pada aktivitas yang memiliki
keterkaitan dengan kepentingan mayoritas
 Pendidikan menjadi pra-syarat utama pembangunan dan ini harus dapat
dijangkau olehgolongan mayoritas
 Dalam pembangunan Pertanian, prioritas bukan sekedar memproduksi
komoditi, tapi penciptaan nilai tambah (value added)
 Industrialisasi harus terkait dengan kepentingan petani sebagian besar hasil
pertanian terutama perkebunan masih diolah di luar Indonesia,misalnya
karet, crude plam oil/CPO, kakao, dll. Hal ini sebenarnya sangat mendukung
industrialiasi, oleh karena itu sebaiknya produk bukan dijual sebagai barang
mentah.
 Terkait dengan efisiensi, program swastanisasi/privatisasi perlu persiapan,
karena liberalisasi yang terburu-buru akan sangat berbahaya
 Peran dan intervensi pemerintah untuk memberi prioritas pada ”mayoritas”
tetap diperlukan, bukan sepenuhnya diserahkan pada “market mechanism”
(invisible hand)
 Perlu keseimbangan antara kepentingan pasar dan capur tangan dan atau peran
pemerintah.
2.7         Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Perumusan Kebijakan
Pembangunan Pertanian (Stighlitz (2004))
1. Usaha pengembangan ekonomi lebih fokus ke sektor yg menghidupi
mayoritas penduduk yaitu penduduk di pedesaan yg bekerja sebagai petani
2. Program industrialisasi untuk kepentingan Mayoritas
3. Pendidikan sebagai syarat utama harus dapat dijangkau oleh Golongan
mayoritas.
4. Dalam pembangunan pertanian prioritas bukanlah menghasilkan komoditi
tetapi menciptakan nilai tambah (value added)
5. Indutrialisasi harus terkait dengan kepentingan petani
6. Perlu keseimbangan antara kepentingan pasar dan campur tangan serta peran
pemerintah
2.8         Kebijakan-Kebijakan yang Sudah Dilakukan Oleh Pemerintah Era
Orde Baru dan Reformasi dalam Pembangunan Pertanian.
2.8.1        Kebijakan Pertanian di Era Orde Baru
1. REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
REPELITA adalah Rencana Pembangunan Lima Tahun yang menjadi kebijakan dari
Presiden Soeharto pada masa Orde Barru untuk meningkatkan pembangunan
Indonesia dari segi apa saja, tetapi lebih diutamakan pada pembangunan sektor
pertanian.

REPELITA sendiri terdiri dari berberapa tahap yang kesemuanya difokuskan untuk
membangun sistem pertanian Indonesia dengan turut memajukan sektor lain yang
juga mendukung pembangunan sektor pertanian seperti sektor industri dan teknologi.
1. Revolusi Hijau
Revolisi Hijau merupakan upaya untuk meningkatkan produksi biji-bijian dari hasi
penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari beragam varietas gandum, padi dan
jagung yang membuat hasil panen komoditas meningkat di negara-negara
berkembang.

Revolusi Hijau dipicu dari pertambahan penduduk yang pesat, yakni bagaimana
mengupayakan peningkatan hasil produksi pertanian. Peningkatan jumlah penduduk
harus diimbangi dengan peningkata produksi pertanian. Perkembangan Revolusi
Hijau yang sangat pesat juga berpengaruh pada masyarakat Indonesia. Sebagian besar
kondisi sosial-ekonomi mayarakat Indonesia berciri agraris. Oleh karena itu
pembangunan pertanian menjadi sektor yang sangat penting dalam upaya peningkatan
pertumbuhan ekonmi Indonesia. Hal tersebut didasari oleh:

 Kebutuhan penduduk yang meningkat dengan pesat


 Tingkat produksi pertanian yang masih sangat rendah
 Produksi pertanian belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan penduduk.
1. Pembangunan Irigasi dan Produksi Padi
Mengenai perkembangan luas lahan dan luas produksi padi yang dihasilkan, terlihat
bahwa sejak masa Orde Baru memegang pemerintahan (1966) sampai dengan tahun
1987 luas lahan irigasi melonjak hampir 2 kali lipat dengan laju sebesar 2,4% per
tahun. Luas kenaikan maksimum dicapai pada tahun 1987. tendensi ini diikuti dengan
melonjaknya jumlah produktifitas padi. Pada tahun 1987 produksi padi meningkat
hingga 44 juta ton, naik 3 kali lipat sejak tahun 1966. Tingkat produksi yang dicapai
ini diperoleh dengan naiknya intensitas tanam hingga mencapai rata-rata 1,8.
Mengenai kenaikan produksi persatuan luas, tercatat naik dari 2,4 ton/ha menjadi 4,5
ton/ha. Nilai ini bila diplotkan ke dalam sejarah evolusi padi di negara-negara
berkembang dengan Jepang sebagai perbandingan, telah berada di fase keempat
bersama-sama dengan Taiwan. Walaupun demikian masih lebih rendah Korea dan
Jepang yang telah mencapai 6-7 ton/ha, tetapi jauh lebih tinggi dari Philipina, Laos,
Myanmar maupun Vietnam.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa lahan irigasi memberikan peranan yang besar
dalam mencapai swasembada pangan. Kira-kira 60-70% padi diproduksi dari lahan
beririgasi. Walaupun demikian, bila melihat perkembangn penduduk, untuk terus
mempertahankan swasembada pangan masih perlu banyak inovasibaru. Perhitungan
secara sederhana mengenai luas lahan beririgasi terus meningkat seirama dengan
pertambahan penduduk. Padahal kalau melihat besarnya derajad irigasi seperti telah
diuraikan di atas, peluang mengembangkan lahan irigasi secara horizontal, terutama
di pulau-pulau yang termasuk dalam grup pertama, nampaknya semakin sempit. Yang
menjadi persoalannya adalah bagaimana menyeimbangkan antar penyediaan
sumberdaya air dari alam dengan kebutuhan air khususnya untuk memproduksi bahan
pangan yang semakin menigkat itu tetapi tanpa merusak kondisi hidrologinya sendiri.

1. BIMAS, INMAS, INSUS dan Panca Usaha Pertanian.


Dalam rangka meningkatkan produk pertanian, pemerintah Orde Baru melaksanakn
program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian yang dimulai sejak Pelita I dan
Pelita-Pelita berikutnya. Pada waktu itu dilaksanakan program Bimbingan Masal
(BIMAS) yang kemudian berubah menjadi Intensifikasi Masal (INMAS),
Intensifikasi Khusus (INSUS) dan Panca Usaha Pertanian. Dalam usaha
meningkatkan produksi pertanian padi, dilakukan penanaman bibit unggul, sepertu
Varietas Unggul Baru (VUB) atau High Yealding Varietas (HYV) sebagai hasil
penelitian International Rice Research Institute (IRRI).

Panca Usaha Tani :


1. Pengolahan tanah yang baik
2. Pengairan/irigasi yang teratur
3. Pemilihan bibit unggul
4. Pemupukan
5. Pemberantasan hama dan penyakit tanaman
2.8.2        Kebijakan Pertanian di Era Reformasi
1. SRI (System of Rice Intensification)
Perkembangan padi SRI (System of Rice Intensification) yang terkenal dengan
motonya “More Rice with Less Water” atau hasil beras meningkat dengan
penggunaan air yang sedikit, sampai saat ini masih mengalami kendala teknis dan non
teknis di tingkat lapangan. Dengan melihat keistimewaan sistem ini, terutama dari
segi produktifitas dan efisiensi pengairan (yang identik dengan perluasan areal
irigasi), beberapa perbaikan sistem harus dilakukan agar pengembangannya dapat
dilaksanakan seluas-luasnya.

Berikut adalah beberapa keistimewaan sistem SRI bagi pengembangan budidaya padi
sawah:

1. SRI hanya membutuhkan benih yang jauh lebih sedikit, yaitu 5-10 kg per-
hektar yang berbanding 40-60 kg padi per-hektar pada sistem konvensional.
2. Produktifitas dengan sistem SRI telah terbukti secara signifikan meningkat
dengan B/C rato (perbandingan nilai hasil terhadap biaya) yang lebih baik
dibanding sistem konvesional. Hal ini jelas akan meningkatkan pendapatan
petani.
3. Sistem pengairan yang intermitten / terputus sampai kondisi tanah kering
meretak akan memperbaiki lingkungan mikro bagi tanah sehingga secara pasti
akan memperbaiki kondisi tanah, baik fisik, kimia maupun biologi. Hal ini
dapat dipercepat apabila pemupukannya menggunakan pupuk organik.
Beberapa artikel penelitian membuktikan bahwa kandungan mikro organisme
pada tanah yang ditanami padi SRI mengalami peningkatan kualitas. Tentu
saja harus diperhatikan pula proses pengembalian serasah padi pada tanah
asalnya.
4. Penggunaan air yang jauh lebih sedikit dibanding dengan sistem konvensional
akan memperbaiki efisiensi pengairan dan dengan demikian memiliki potensi
bagi perluasan areal irigasi. Dengan demikian SRI sangat menunjang program
ekstensifikasi areal irigasi yang merupakan sumber utama ketahanan pangan
(terutama beras). Sampai saat ini, areal irigasi yang ada masih banyak yang
belum mampu mengairi padi 100% pada musim tanam kedua (kemarau).
Namun demikian, ternyata pengembangan SRI di banyak areal irigasi masih
menghadapi beberapa kendala yang cukup mengganggu, yaitu:

1. Metode penanaman dengan bibit muda dan hanya satu bibit pertitik tanam
dianggap masih merepotkan bagi petani. Hal ini terutama dialami pada
daerah-daerah yang kekurangan buruh tani. Biasanya daerah seperti ini adalah
daerah yang berada tidak jauh dari perkotaan karena banyak buruh tani yang
bekerja sambilan di kota sebagai tukang atau buruh industri, atau juga di
daerah yang terpencil dimana jumlah penduduk masih kurang. Selain itu,
banyak pula daerah yang buruh taninya merupakan pendatang musiman yang
belum familier dengan SRI sehingga hasil tanamnya kurang baik. Hal ini
tentunya membutuhkan pembinaan yang lebih cermat.
2. Petani yang baru pertama kali melaksanakan SRI banyak yang mengeluhkan
pertumbuhan gulma yang jauh lebih banyak dibanding dengan sistem
konvensional. Hal ini dapat dimengerti karena pengeringan akan mendorong
benih gulma tumbuh dengan leluasa (pada jenis gulma yang berkembang
melalui biji atau umbi). Oleh karena itu pengembangan SRI perlu disertai
dengan pembinaan pengendalian gulma yang baik (pada pelaksanaan demplot
SRI sangat disarankan utuk menggu..nakan lalandak dalam mengendalikan
gulma).
3. SRI masih menyebakan kebingunan dalam sistem pembagian air karena
belum adanya panduan yang pasti mengenai hal ini. Dalam hal perencanaan,
operasional irigasi dengan SRI belum mempunyai angka dasar hidrologi yang
baku, sehingga para ahli hidrologi masih belum dapat merencanakan sistem
pembagian air yang ideal. Penelitian akan hal ini sangat diperlukan guna
mendapatkan angka koefisien yang baku. Pembagian air irigasi dalam SRI
juga sangat menuntut sistem pertanaman serempak, terutama pada satu petak
tersier yang sama. Dilain pihak, sistem pertanaman serempak ini sampai
sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal sekalipun pada sistem
konvensional.
4. Selain SRI, sistem Jajar Legowo yang dikombinasikan dengan pupuk organik
dan juga padi Hibrida yang menggunakan sistem pengairan konvensional
yang juga memberikan hasil produksi yang relatif sama, menjadi pesaing
utama bagi pengembangan SRI.
Pada akhirnya, betatapapun banyaknya kelebihan yang dimiliki SRI, beberapa
penyesuaian budaya, kebijakan pembangunan, maupun teknis, sangat diperlukan.
Yang jelas, dengan kondisi lahan irigasi yang ada di Indonesia, SRI masih sangat
diharapkan dapat dikembangkan secara luas terutama pada daerah irigasi yang
pemenuhan airnya terbatas seperti di wilayah-wilayah Timur Indonesia.

1. Pembangunan Pertanian Lahan Beririgasi


Sesuai pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi, pengelolaan
sistem irigasi diselenggarakan melalui azas partisipatif, terpadu, berwawasan
lingkungan hidup, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Apa yang dimaksud
dengan poin-poin tersebut? Inilah kira-kira yang dimaksudkan dengan kaidah
pengelolaan yang diharapkan dari peraturan tersebut:

1. Partisipatif; sudah saatnya semua pihak, baik unsur pemerintah maupun


pemanfaat jaringan irigasi (petani / P3A) memiliki dan mewujudkan azas
inisiatif guna mengelola dan memelihara jaringan irigasi demi kemanfaatan
yang sebesar-besarnya. Disini, pola desentralisasi sangat diharapkan terutama
pada areal-areal yang merupakan kewenangan daerah (Baca Pasal 16, 17, dan
18 PP 20/2006). Petani melalui P3A dan GP3A, diharapkan memiliki inisisatif
swadaya ataupun swakelola dalam melestarikan kedayagunaan jaringan
irigasi, sementara pemerintah sesuai daerah kewenangannya
bertanggungjawab untuk mendukung inisiatif yang muncul dari petani.
2. Terpadu; keterpaduan yang dimaksud bukan hanya pada proses pemeliharaan
pelestarian jaringan, akan tetapi lebih diutamakan pada pemanfaatan yang
sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan petani lahan beririgasi
yang pada akhirnya mewujudkan ketahanan pangan yang solid. Disini,
dituntut koordinasi dan konsolidasi program antara 4 pemangku kepentingan
pembangunan lahan beririgasi, yaitu Petani (P3A), PU Pengairan, Dinas
Pertanian Tanaman Pangan, dan Bappeda sebagai motor pembangunan
daerah. Keterpaduan bukan hanya dari segi pemanfaatan, akan tetapi juga dari
segi pembiayaan operasional dan pemeliharaan.
3. Berwawasan lingkungan: dimaksudkan sebagai pemenuhan azas kelestarian
pemanfaatan dan kegunaan. Oleh karenanya, disini dituntut pelaksanaan
program pemeliharaan yang baik dan terstruktur serta dukungan program
pelestarian sumber daya air itu sendiri yang merupakan wewenang dan
tanggung jawab Ditjen SDA dan Kehutanan. Dari segi teknis pemanfaatan,
Dinas Pertanian dituntut pula melaksanakan sistem pertanian yang
mendukung azas pelestarian lingkungan hidup seperti menerapkan sistem
pertanian terpadu, integrasi tanaman dan ternak, metode budidaya padi
organik (melalui metode SRI atau Jajar Legowo), PHT, dan lain-lain.
4. Transparansi, akuntabel, dan berkeadilan; poin ini merupakan hal yang
gampang-gampang susah untuk dilaksanakan. Tidak ada kriteria yang jelas
untuk memonitor realisasinya. Paling tidak kita dapat mengharapkan
partisipasi masyarakat petani untuk dapat mengontrol ketiga poin tersebut.
Dengan adanya peraturan ini, petani melalui organisasi P3A / GP3A dapat
melakukan aksi pengawasan langsung atas proses dan pembiayaan operasi dan
pemeliharaan di wilayah kewenangannya. Azas ini mensyiratkan bahwa
proses pembangunan adalah milik masyarakat petani dan petani mempunyai
hak untuk menentukan arah pembangunan daerahnya dan menuntut
transparansi, akuntabilitas, dan keadilan kebijakan yang dilaksanakan.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai
macam masalah yang dihadapi, masalah pertama yaitu penurunan kualitas dan
kuantitas sumber daya lahan pertanian. Masalah kedua yang dialami saat ini adalah
terbatasnya aspek ketersediaan infrastruktur penunjang pertanian yang juga penting
namun minim ialah pembangunan dan pengembangan waduk. Selanjutnya, masalah
ketiga adalah adanya kelemahan dalam sistem alih teknologi. Hal lainnya sebagai
masalah keempat, muncul dari terbatasnya akses layanan usaha terutama di
permodalan. Yang terakhir menyangkut, masalah kelima adalah masih panjangnya
mata rantai tataniaga pertanian. Dalam mengatasi permasalahan pembangunan
pertanian terdapat berbagai kebijakan dalam pertanian diantaranya yaitu kebijakan
harga, kebijakan pemasaran, kebijakan perdagangan, kebijakan subsidi, kebijakan
sturktural, kebijakan fasilitas, kebijakan pengaturan, dan kebijakan intervensi.

Terdapat beberapa strategi kebijakan pertanian, diantaranya : 1) Usaha


pengembangan ekonomi lebih difokuskan pada sektor yang menghidupi mayoritas
penduduk yaitu penduduk di pedesaan yang berprofesi sebagai petani, 2) Program
industrialisasi mestinya difokuskan pada aktivitas yang memiliki keterkaitan dengan
kepentingan mayoritas, 3) Pendidikan menjadi pra-syarat utama pembangunan dan ini
harus dapat dijangkau olehgolongan mayoritas, 4) Dalam pembangunan Pertanian,
prioritas bukan sekedar memproduksi komoditi, tapi penciptaan nilai tambah (value
added), 5) Industrialisasi harus terkait dengan kepentingan petani sebagian besar hasil
pertanian terutama perkebunan masih diolah di luar Indonesia,misalnya karet, crude
plam oil/CPO, kakao, dll. Hal ini sebenarnya sangat mendukung industrialiasi, oleh
karena itu sebaiknya produk bukan dijual sebagai barang mentah. 6) Terkait dengan
efisiensi, program swastanisasi/privatisasi perlu persiapan, karena liberalisasi yang
terburu-buru akan sangat berbahaya, 7) Peran dan intervensi pemerintah untuk
memberi prioritas pada ”mayoritas” tetap diperlukan, bukan sepenuhnya diserahkan
pada “market mechanism” (invisible hand),8) Perlu keseimbangan antara kepentingan
pasar dan capur tangan dan atau peran pemerintah

Anda mungkin juga menyukai