Anda di halaman 1dari 34

A.

Kemampuan Fisik dan Beban Kerja

Terlepas dari pesatnya kemajuan teknologi yang banyak mernbantu manusia

menyelesaikan pekerjaannya, sejumlah pekerjaan yang menuntut aktivitas fisik masih

dapat diamati di berbagai jenis sektor industri seperti manufaktur, transportasi,

pertanian, konstruksi, logistik, dan lain-lain. Pekerjaan-pekerjaan ini sering kali

menuntut aktivitas fisik yang cukup berat dan melelahkant terlebih lagi didukng oleh

lingkungan kerja yang kurang kondusif (misalnya panas, lembab, bising, berdebu, dan

sebagainya). Untuk menghadapi pekerjaan-pekerjaan seperti itu, pekerja dituntut untuk

memiliki kapasitas kerja fisik yang memadai atau, dapat juga dengan penerapan

sejumlah teknik perancangan kerja, seperti penggunaan alat bantu, perbaikan metode

kerja, pengaturan waktu istirahat, dan lain-lain. Sejumlah dampak buruk dapat terjadi

saat beban fisik suatu pekerjaan telah melampaui kapasitas fisiologis yang dimiliki

pekerja. Dampak buruk ini secara konseptual diartikan sebagai rendahnya energi yang

dihasilkan mcdalui proses metaboiisme tubuh bila dibandingkan dengan energi yang

dibutuhkan untuk melakukan suatu aktivitas. Keadaan seperti ini secara kronik dapat

mengakibatkan terjadinya keielahan berlebihan, yang bahkan mungkin tidak dapat

diatasi dengan pemberian istirahat saja (akumulasi kelelahan). Dalam jangka panjang,

keadaan ini dapat berpengaruh buruk pada kesehatan kerja, bahkan dapat memicu

penyakit lain yang berakhir dengan kematian, misalnya serangan jantung, etau

kegagalan fungsi-fungsi penting tubuh yang lain. Beban kerja yang beriebihan juga

dapat buruk pada kualitas dan performansi kerja. Efek buruk ini, sebagai contoh,

ditunjukkan oleh Bridger et al. (2008), yang dapat mencakup penurunan waktu reaksi,

peningkatan kesalahan dalam mengambil keputusan penurunan kemampuan untuk


berkonsentrasi, sertu peningkatan potensi kecelakaan kerja. Jelas bahwa beban kerja

yang secara fisiologis berlebihan akan berdampak pada kesehatan dan produktivitas

kerja. Dalam konteks ergonomi, tujuan yang ingin dicapai adalah mernastikan bahwa

sistem kerja dirancang sedemikian rupa sehingga diperoleh produktivitas dan kualitas

kerja terbaik, yang dapat dicapai jika beban (energy cost) berada di dalam batas

kemampuan fisik.

B. Mekanisme Tersedianya Energi untuk Kerja

Agar otot dapat berkontraksi (melakukan kerja), diperlukan adanya energi.

Secara konseptual, energi diperoleh dari zat-zat gizi yang berasal dari makanan (dan

sebagian minuman) yang masuk ke dalam tubuh. zat-zat gizi ini melalui proses

metabolisme dikonversi menjadi energi yang siap digunakan oleh otot. Oksigen akan

membantu berlangsungnya proses metabolisme dan menghasilkan hasil sampingan

berupa panas dan sisa metabolisme lainnya (CO2 dan H2O) yang akan dikeluarkan dari

tubuh. Rangkaian proses ini dapat dianalogikan sebagai kerja sebuah mesin mobil agar

mesin dapat berjalan, dibutuhkan bensin yang berfungsi sebagai "zat gizi." Dengan

adanya oksigen, tekanan, serta panas di ruang pembakaran, kemudian terjadi ledakan

(proses metabolisme") yang menggerakkan piston 'otot", kemudian melalui proses

mekanik (putaran roda gigi, poros, roda, dan sebagainya) dikonversi menjadi gerakan

mobil. Proses terakhir ini mirip dengan kontraksi otot yang kemudian menggerakkan

tubuh Saat melakukan kerja fisik. Untuk memahami proses-proses ini, perlu diketahui

fungsi-fungsi yang terkait dengan produksi energi di dalam tubuh.

1. Sistem Pernapasan
Fungsi utama sistem pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen bagi tubuh

dan mengeluarkan karbon dioksida, air, serta panas yang dibawa oleh darah. Secara

umum, pernapasan (respiresi) terdiri atas inspirasi (pemasukan udara) dan ekspirasi

(pengeluaran udara). Sistem ini memiliki hubungan yang erat dengan sistem peredaran

darah (sirkulatori) yang dikor.trol dengan suatu mekanisme tersendiri, misalnya CNS

(Central Nervous System) atau sistem hormonal. Sistem pernapasan dan sistem

sirkulatori ini bersama-sarna menjamin jumlah zat gizi dan oksigen yang cukup untuk

disuplai ke sel otot. Pada saat pernapasan berlangsung, udara masuk melalui hidung

yang berfungsi untuk menyaring, melembapkan, dan menghangatkan udara yang masuk

ke dalam tubuh (Bridger et al., 2003). Udara yang masuk akan diteruskan melalui

tenggorokan menuju trachea, yang terbagi atas dua bronchi utama dan selanjutnya

sampai ke paru-paru. Di dalam paru-paru terdapat jutaan alveoli, yaitu kantong-kantong

berukuran mikro yang bersentuhan dengan pembuluh darah kapiler. Di tempat inilah

tcrjadi pertukaran udara (oksigen dan karbon dioksida). Berat atau ringannya aktivitas

fisik akan menentukan volume udara yang mengalami pertukaran di paru-paru.

Kapasitas paru-paru dapat dilihat dari indikator utama berupa volume yang dapat berada

pada paru-paru. Jumlah udara yang keluar dan masuk pada saat bernapas normal disebut

sebagai volume tidal. Volume udara ekstra pada saat respirasi secara maksimal disebut

sebagai kapasitas cadangan, di mana volume udara tambahan di atas volume tidal yang

dapat masuk ke paru-paru Saat inspirasi maksimum disebut volume cadangan inspirasi,

dan volume udara yang masih dapat dikeluarkan dengan kuat di akhir ekspirasi normal

disebut volume cadangan ekspirasi. Gabungan volume tidal, volume cadangan inspirasi,

dan volume cadangan ekspirasi ini dinamakan kapasitas vital. Setelah mengembuskan
napas dengan kuat, di dalarn paru-paru masih tersisa sejumlah volume udara yang

disebut sebagai volume residual. Jumlah dari kapasitas vital dan volume residual

merupakan kapasitas paru-paru total. Berbagai indeks yang terkait dengan kapasitas

paru-paru dapat diukur melalui penggunaan spirometer. Kapasitas paru-paru seseorang

umumnya berhubungan erat dengan sejumlah faktor, seperti jenis kelamin, training,

maupun ukuran tubuh. (Sebagai contoh, untuk seorang atlet prio dengan postur badan

tinggi, kapasitas paru total dapat mencapai 7-8 liter, dengan kapasitas vital sekitar 6 liter

(Kroetner et al., 2001). Wanita cenderung memiliki volume paru-paru yang lebih rendah

dibandingkan pria. Dibandingkan dengan atlet, seseorang yang kurang terlatih secara

fisik setidaknya memiiiki kapasitas paru-paru sebesar 60 kapasitas yang dimiliki atlet.

Pada saat istirahat frekuensi pernapasan berkisar antara 10 sampai dengan 20 kali

permenit. Saat melakukan aktivitas fisik ringan, jumlah udara yang digunakan untuk

bernapas akan meningkat, terutama akibat kenaikan, volume tidal. Untuk kerja yang

lebih berat, jumlah udara pernapasan akan meningkat akibat peningkatan frekuensi

pernapasan, yang dapat mencapai 45 kali/tnenit, di samping adanya kenaikan volume

tidal pula. Jumlah total udara yang digunakan untuk bernapas (minute volume) adalah

perkaiian antara frekuensi pernapasan dan volume tidal seat mengeluarkan napas.

Volume udara yang digunakan untuk pernapasan saat beraktivitas dapat berkisar dari 5

liter/menit sampai dengan lebih dari 100 liter/menit. Kenaikan volume pernapasan ini

sejalan dengan peningkatan kebutuhan oksigen walaupun peningkatannya tidak eerjalan

secara linear.

2. Sistem Kardiovaskular
Sistem peredaran darah memiliki fungsi utama sebagai oksigen dari paru-paru serta

berbagai zat gizi (dari makanan yang telah dicerna) untuk diedarkan ke seluruh sel

tubuh di mana proses nnetabolisme selanjutnya berlangsung. Transportasi oksigen

dimungkinkan karena hemoglobin, yaitu molekul protein pada sel dorah merah. Selain

mengikat oksigen, hemoglobin dapat juga mengikat karbon monoksida (CO). Namun

demikian, daya tarik (afinitas) hemoglobin terhadap karbon monoksida relatif lebih

tinggi, sehingga dapat berdampak pada berkurangnya jumlah oksigen yang dapat diikat

dan dibawa oleh darah. Oleh karena itu, dapat dimengedi mengapa CO dianggap

memitiki sifat beracun. Darah juga mengedarkan hormon, enzim, garam, serta vitamin

yang diperlukan oleh tubuh . Di samping fungsi utama yang telah disebutkan

sebelumnya, sistem darah juga berfungsi untuk membantu membuang sisa-sisa

metabolisme termasuk karbon dioksida, panas, dan air, serta berkontribusi Penting

dalam mekanisme pengaturan temperatur tubuh. Dapat disimpulkan bahwa sistem ini

memiliki fungsi yang sangat penting, dan berhubungan erat baik dengan sistem

pernapasan maupun proses metabolisme. Jantung, sebagai pemompa darah, terdiri atas 2

bagian, yaitu kiri dan kanan. Bagian sebelah kiri terdiri atas atrium kiri dan ventrikel

kiri, yang khusus berfungsi memompa darah ke seluruh otot tubuh yang dibutuhkan

untuk bekerja melalui pembuluh darah arterie. Melalui pembuluh darah vena, darah

kemudian mengalir kembali ke jantung menuju atrium kanan, kemudian menuju

ventrikel kanan yang bertugas memompa darah ke paru- paru, tempat proses pertukaran

udara terjadi. Orang dewasa memiliki sekitar 5 liter darah, yang terdiri atas 2,75 liter

plasma dan 2,25 liter berupa sel darah. Peningkatan aktivitas fisik akan memicu

peningkatan kebutuhan darah yang dicapai melalui peningkatan frekuensi pemompaan


(denyut jantung) serta naiknya tekanan darah. Saat istirahat, volume darah yang

dipompakan adalah sekitar 5 liter/menit, namun volume ini dapat menjadi 5 kali lipat

lebih besar saat melakukan aktivitas fisik yang berat (Bridger et al., 2008). Untuk

secrang atlet, kenaikan volume ini dapat mencapai 35 liter/menit. Peningkatan intensitas

kerja fisik menentukan kebutuhan akan tambahan energi yang dapat berlangsung

rnelalui peningkatan konsumsi oksigen. Untuk memenuhi hal ini, frekuensi kontraksi

jantung akan bertambah, sebagaimana terukur dari kenaikan denyut jantung. Kenaikan

konsumsi oksigen dan denyut jantung cenderung bersifat linear, khususnya untuk beban

kerja yang tidak terlalu ringan ataupun terlalu berat. Untuk pekerjaan dengan beban

yang sama, denyut jantung cenderung akan lebih rendah apabila pekerjaan tersebut

dikerjakan dengan memanfaatkan otot-otot yang lebih hesar. Hubungan antara konsumsi

oksigen dan denyut jantung juga dipengaruhi oleh temperatur lingkungan kerja. Denyut

jantung akan iebih tinggi saat pekerjaan dilakukan di tempat panas. Peningkatan denyut

jantung terjadi tidak hanya karena adanya kenaikan beban kerja, tetapi juga dapat

disebabkan oleh adanya komponen kerja statis (kontraksi isometrik). Kerja otot yang

relatif statis (dengan kontraksi di atas 20% kontraksi maksimal) menyebabkan

tertekannya pembuluh darah kapiler, sehingga dalam beberapa saat saja, aliran darah

menjadi sangat terbatas (ischemia) atau bahkan tertutup sama sekali. Hal ini akan

berdampak pada minimnya ketersediaan oksigen serta sisa metabolisme pada otot yang

tengah bekerja. Akibatnya, rasa sakit akan muncul dan kontraksi Otot terpaksa harus

berakhir. Fenomena seperti ini dapat diamati, misatnya Saat seseorang secara terus-

menerus memegang peralatan kerja dengan posisi lengan di atas ketinggian dada. Perlu

dicatat bahwa sistem saraf pusat (CNS) memiliki peran vital dalam mengatur bagian
tubuh mana yang lebih penting menerima aliran darah. Saat otot bekerja keras misalnya,

peningkatan sisa-sisa metabolism maka memicu pembuluh darah untuk menjadi lebih

longgar dan mengalirkan lebih banyak darah. Sistem saraf pusat juga akan

memerintahkan pengurangan aliran darah ke otot maupun organ ubuh vang tidak terlalu

memerlukan darah saat itu, misalnya pencernaan. Namun demikian, sistem saraf akan

terus mengontrol agar aliran darah ke organ-organ penting, seperti otak dan jantung

tetap terjaga. Secara bersamaan, pengaturan juga akan dilakukan sedemikian rupa

sehingga darah akan dialirkan lebih banyak ke permukaan kulit dengan tujuan untuk

melepas panas. Sebaliknya, saat setelah makan, darah akan dialirkan lebih banyak ke

sistem pencernaan bila dibandingkan terhadap bagian tubuh lainnya. Fenomena ini juga

diatur oleh sistem saraf, sebagai fungsi dari pengontrol keasaman dan konsentrasi sisa

metabolisme di dalam darah.

C. Proses Metabolisme

Metabolisme dapat diartikan sebagai proses kimia dalam tubuh yang bertujuan

khususnya dalam menghasilkan energi. Aktivitas kerja, baik fisik maupun non-fisik,

hanya dapat dilakukan apabila energi tersedia dalam jumlah yang memadai. Energi

diperoleh dari zat-zat gizi yang masuk dalam bentuk makanan atau minuman. Namun,

proses konversi energi dari makanan (dan minuman) ini tidak berlangsung efisien.

Hanya sekitar dari sumber energi ini yang diubah menjadi "kerja otot," sedangkan

sisanya diubah. dalam bentuk panas. Semcntara seorang atlet dapat memiliki proses

konversi yang lebih efisien, walaupun energi yang diperoleh pun tidak bisa melebihi

25%. Panas yang dihasilkan dari suatu proses metabolisme terutama akibat viskositas
tubuh, friksi yang terjadi di dalam pembuluh darah, serta gesekan antara tendon dan

sendi.

Makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh terutama terdiri atas zat-zat gizi,

serta komponen-komponen lain, seperti air, garam, vitamin mineral, dan serat, Zat-zat

gizi utama yang mengatami pencernaan adalah karbohidrat, lemak, dan protein.

Karbohidrat merupakan molekul kompleks yang terdiri atas karbon, oksigen, dan

hidrogen. Bentuk molekul karbohidrat yang paling sederhana terdiri atas satu molekul

gula sederhana yang disebut monosakarida, misalnya glukosa, fruktosa, dan galaktosa.

Rangkaian monosakarida disebut disakarida, sedangkan rantai panjang (yang dapat pula

bercabang) yang tersusun dari molekul gula disebut polisakaridat glikogen, pati pada

tumbuhan, dan selulosa. Untuk setiap gram karbohidrat dapat dihasilkan energi sekitar

4.2 kkal (1 kalori = 4,2 Joule energi yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu sebesar

1℃ untuk 1 gram air).

Proses pencernaan mengubah karbohidrat menjadi molekul yang sangat

sederhana (monosakarida). Molekul ini dapat dengan mudah diserap oleh darah pada

dinding usus. Dari makanan yang dikonsumsi, lebih dari 80% hasil katabolisme pati

adalah glukosa, sedangkan sisanya adalah fruktosa dan galaktosa. Setelah penyerapan

oleh usus halus, sebagian fruktosa dan hampir semua galaktosa dengan segera diubah

menjadi glukosa, sehingga jumlah fruktosa dan galaktosa yang terdapat pada sirkulasi

darah sangat sedikit.

Glukosa, yang telah diserap ke dalam aliran darah kemudian dibawa ke hati, untuk

selanjutnya dikirim dan digunakan oleh sistem saraf pusat. Glukosa juga dapat dikirim

ke otot sebagai sumber energi yang dapat langsung digunakan. Kelebihan glukosa akan
diubah oleh hati menjadi glikogen (polisakarida) yang akan disimpan baik di hati

maupun pada otot-otot skeletal sebagai sumber energi. Apabila tempat penyimpanan

glikogen ini sudah penuh, glukosa akan diubah menjadi lemak yang disimpan di bawah

jaringan kulit

Lemak sebagai zat gizi juga merupakan salah satu sumber energi untuk kerja dari setiap

gram lemak dapat dihasilkan 9,5 kkal energi. Fungsi lain lemak adala sebagai media

transportasi vitamin A, D, E, dan K. Salah satu bentuk lemak dalam tubuh, yaitu

trigiiserida, merupakan molekul ester yang terdiri atas satu inti gliserol dan tiga asam

lemak. Trigliserida adalah penyusun utama minyak nabati (tak jenuh, lebih cair) dan

lemak hewani (jenuh, lebih padat). Pada saat makanan yang mengandung lemak masuk

ke dalam tubuh, pencernaan akan mengurai lemak menjadi gliserol dan asam lemak.

Gliserol akan diangkut oleh aliran darah, sementara asam lemak diangkut oleh cairan

limpa untak kemudian diserap di usus halus. Melalui pengaturan yang diiakukan oleh

hdti, lemak akan disimpan sebagdi cadangan energi. Lemak akan tersimpan di bawah

kulit (sebagai insulato), atau sebagai ruang penyangga organ-organ vital, seperti

jantung, hati, otak, dan lain-lain). Hanya jika diperiukan, zat gizi dalam bentuk protein

dapat digunakan sebagai sumber energi (setelah karbohidrat dan lemak). Setiap gram

protein

dapat diubah menjadi energi sekitar 45 kkal. Manfaat utama protein adalah untuk

membangun set-sel tubuh, serta sebagai komponen utama enzim (sebagai katalis dalam

mengontrol reaksi kimia), hemoglobin, antibodi, dan hormon. Protein merupakan rantai

asam amino yang terhubung melalui ikatan peptidas Terdapat banyak variasi tipe dan

ukuran protein. Protein yang terdapat di dalam makanan akan dicerna dan terurai
menjadi asam amino yang kemudian dapat diserap oleh darah untuk dikirimkan ke hati.

Di samping zat-zat gizi di atas, alkohol juga dapat menyuplai energi sebesar 7 kkal.

Pencernaan makanan berlemak dalam perut bisa mencapai enam jam, sementara protein

dicerna lebih cepat, dan karbohidrat dapat kurang dari 2 jam. Penyerapan zat gizi

berjangsung di usus halus selama 3-5 jam, sedangkan penyerapan air, garam, obat-

obatan, dan alkohot berlangsung di usus besar. Sebagai hasil pencernaan karbohidrat

glukosa merupakan sumber energi yang dapat segera digunakan bilamana diperlukan.

Glikogen, yang rnerupakan bentuk penyimpanan karbohidrat, juga merupakan surnber

energi yang dapat dengan mudah digunakan. Namun demikian, keduanya tersedia dalam

jumlah yang relatif terbatas. Sebaliknya, cadangan energi dalam jumlah lebih besar

umumnya disimpan dalam bentuk lemak netral, yang disintesis dari glukosa asam

lemak, dan asam amino, namun diperlukan proses yang lebih komplek dan waktu yang

lebih lama untuk menguraikannya menjadi energi yang siap untuk digunakan. Secara

umum, dapat disimpulkan bahwa pembawa energi utama adalah glukosa (dan glikogen),

lemak netral, dan protein Di saat awal otot bekerja, energi yang digunakan berasal dari

adenosin trifosfat (ATP), yang tersimpan di mitokondria dan hanya tersedia dalam

beberapa detik saja. ATP merupakan senyawa kimia berenergi tinggi, namun ikatan

kimianya labil dan mudah melepaskan gugus fosfatnya. Ketika energi dibutuhkan, ATP

dapat segera dicegah melalui reaksi hidrolisis sehingga ikatan fosfatnya terlepas dan

terbentuk ADP (Adenosin Difosfat). Reaksi hidrolisis ini menghasilkan energi yang siap

diangkut dan digunakan oleh tubuh. Proses perubahan ATP menjadi ADP merupakan

reaksi yang dapat berbalik,


sehingga dapat dilakukan proses pembentukan kembeü ATP yang dibantu oleh sumber

energi lain, yaitu kreatin fosfat (CP). Proses ini hanya dapat berlangsung selama

rnaksimal 10 detik, selain itu cadangan kreatin fosfat juga relatif sangat terbatas

(Bridger et al., 2008). Untuk keberlangsungan kerja otot, ATP harus selalu tersedia,

sehingga diperlukan sumber energi lain (glukosa, glikogen, dan lemak) dari

metabolisme, yang digunakan untuk membentuk ATP secara berkesinambungan dengan

memanfaatkan oksigen. Proses ini dinamakan yang ditandai dengan adanya penggunaan

oksigen. Terdapat saat-saat ketika oksigen tidak tersedia saat energi dibutuhkan, seperti

pada awal kerja otot atau pada saat intensitas kerja fisik sudah berlebihan. Untuk

mengatasi init energi diperoleh dari konversi glukosa dan glikogen menjadi ATP tanpa

bantuan oksigen (anaerobik). Proses ini berlangsung relatif cepat (2,5 kali lebih cepat

dari proses aerobik), namun hanya dapat bertahan selama sekitar satu menit untuk kerja

otot maksimal (Bridger et al., 2008). Proses ini sangat tidak efisien, di samping

menghasilkan sisa metabolisme, seperti asam laktat, yang menyebabkan naiknya

keasaman sel otot. Hal ini kemudian berdampak pada melemahnya afinitas antara

filamen aktin dan myosin serta menurunnya kemampuan kontraksi otot. penumpukon

sisa metabolisme seperti ini tidak diharapkan karena bisa menyebabkan nyeri, keram,

ataupun tremor, sehingga harus segera dibuang melalui oksigen. Untuk intensitas

tertentu, bisa jadi penumpukan sisa metabolisme terus terjadi, bahkan setelah kerja fisik

berakhir. Dalam keadaan ini, kebutuhan oksigen di awai masa istirahat menjadi cukup

penting, agar pembuangan sisa metabolisme yang belum terbuang kerja dapat

diteruskan.
Fenomena ini dikenal sebagai oxygen debt (lihat Gambar 4.1). Tinggikebutuhan oksigen

di saat kerja berakhir juga diperlukan untuk menyiapkan cadangan energi, karena proses

ini tidak dapat dilakukan saat beristirahat

Selama kerja otot tidak berlebihan, kebutuhan energi umumnya akan relatif rendah dan

proses pcmbentukan ATP dapat berlangsung terus-menerus secara aerobik (dengan

bantuan oksigen). Apabiia terdapat sisa metabolisme, oksigen yang tersedia (saat

beristirahat) dapat secara cepat membantu proses resintesis sisa metabolisme tersebut.

Dengan dernikian jelas bahwa kerja otot hanya daoat berlangsung secara terus-menerus

bila energi cukup tersedia melalui proses metabolisme yang efisien. Dalam hal ini,

ketersediaan oksigen dalam jumlah yang memadai menjadi faktor penting. Implikasinya

adalah pekerjaan sebaiknya bersifat dinamis, dirancang dengan intensitas rendah dan

dilakukan daiam waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kerja berintensitas tinggi

walaupun dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Energi yang dibutuhkan terdiri

atas metabolisme basal, metabolisme istirahat, dan metabolisme kerja. Metabolisme

basai ialah metabolisme minimai yang dibutuhkan agar tubuh tetap berfungsi walaupun

tidak melakukan aktivitas, di antaranya untuk gerak denyut jantung, alat pernapasan,

alat

pencernaan, alat urogenital, sekresi kelenjar-kelenjar, biolistrik saraf, dan sejenisnya.

Nilai metabolisme basal sangat bervariasi bergantung usia, jenis kelamin, tinggi, dan

bobot badan. Walaupun variasi inter-individual kecil, nilai relatif metabolisme basal

yang dapat diterima adalah 1 kcal (4.2 kkal jam) atau 4.9 kJ/menit untuk seseorang yang

berusia 70 tahun. Sementara,metabolisme istirahat adalah metabolisme yang dibutuhkan

saat badan dalam kondisi istirahat atau saat sebelum beraktivitas. Metabolisme istirahat
lebih besar daripada metabolisme basal dan;lebih sering digunakan. Metabolisme

istirahat memiliki nilai 10% sampai 15% lebih tinggi daripada metabolisme basal serta

metabolisme kerja. Metabolisme kerja menggambarkan energi yang dibutuhkan saat

bekerja, baik dalam satuan kJ/min atau kcal/min. Proses metabolisme sebelum, selama,

dan sesudah bekerja dapat dilihat pada Gambar 4.1 di atas.

D. Kapasitas Kerja fisik

Salah satu isu penting dalam fisiologi kerja adalah pemahaman mengenai kapasitas fisik

seseorang pada saat bekerja. Dengan pemahaman ini para praktisi ergonomi dapat

mengevaluasi berat-ringannya bcban fisik yang dialami seseorang saat bekerja, serta

menentukan langkah-langkah perbaikan kerja apabila diper:ukan. Dengan menggunakan

pendekatan fisiologi kerja, kapasitas kerja fisik diartikan sebagai kemampuan maksimal

tubuh dalam menghasilkan energi dan merupakan fungsi dari ketersediaan gizi serta

kemampuan tubuh dalam memperoleh oksigen. Besarnya energi yang dibutuhkan pada

saat kerja merupakan jumlah dari energi basal (basal metabolic rate), energi yang

diperlukan sekadar untuk hidup, dan energi yang dibutuhkan ketika tengah melakukan

pekerjaan tersebut. Peran ergonomi adalah memastikan bahwa energi (metabolic cost)

yang dibutuhkan saat seseorang bekerja berada dalam kapasitas fisiologis individu

tersebut

1. Kapasitas Aerobik Maksimal

Salah satu indikator penting untuk mengevaluasi kapasitas kerja fisik di antaranya

adalah kapasitas aerobik maksimal. Kapasitas aerobik dikenal sebagai daya aerobik

maksimal, dengan daya itu sendiri berarti energi dengan tersedia per unit waktu.

Kapasitas aerobik maksimal dapat ditentukan cara mengukur volume oksigen maksimal
(VO2 maks) yang dapat dihirup oleh seseorang per satuan waktu. VO 2 maks dari

seorang individu umumnya

diukur dari konsumsi oksigen saat berlari di atas treadmill (atau mengayuh ergocycle)

dengan kecepatan treadmill ditingkatkan secara bertahap dalam waktu yang relatif

singkat (Gambar 4.2a dan 2b). Pengujian kapasitas aerob dengan cara ini melibatkan

kumpulan otot besar. Untuk mengukur konsumsi oksigen, digunakan Douglas bag, yaitu

suatu wadah untuk mengumpulkan gas yang diembuskan oleh individu yang sedang

diukur tersebut. Analisis dilakukan dengan melihat gas yang terkumpul dan konsentrasi

oksigen dalam wadah tersebut Kemudjan berdasarkan isi wadah dan lamanya wadah

tersebut terisi, jumlah konsumsi oksigen dapat dihitung. Secara bersamaan konsumsi

oksigen individu tersebut diukur terus-menerus, sampai suatu saat di mana peningkatan

kecepatan treadmill tidak berdampak pada peningkatan konsumsi oksigeru Pada saat

iniiah konsumsi oksigen dari seseorang dianggap paling tinggi dan mencerminkan V02

maks individu tersebut. VO maks ini terjadi pada seat denyut jantung maksimal. Ketika

telah dicapai VO2 maks, sangat mungkin apabila individu masih dapat berlari lebih

cepat intensitas kerja lebih tinggi. Namun pada saat itu, energi yang digunakan lebih

bersifat anaerobik dan tidak dapat beriangsung lama. Dari penjelasan ini, dapat

disimpulkan bahwa kapasitas kerja seseorang dapat ditentukan melalui VO 2 maks yang

dimiliki oleh individu tersebut walaupun caranya tak mudah,

Gambar 4.2 Peralatan Iguna an untuk mengukur VO2 maks

a. Dulu (Astrand, 2003); b. Sekarang (Widyasmara, 2007)

Kapasitas aerobik maksimum dapat ditentukan dengan 2 metode, yaitu metode maximal

test dan submaxima test (Astrand et al., 2003). Pada metode maksimal, responden
diminta untuk mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencapai kapasitas aerobik

maksimum, seperti pengukuran VO2 maks dengan treadmill pada contoh di atas. Metode

ini akan menghasilkan gejala kelelahan dan tanda-tanda bahwa usaha pusat kardio-

respirasi telah mencapai batasnya, misalnya terjadi mual, sesak napas yang parah,

bahkan sampai pingsan, dan lainnya (Shephard seperti dikutip dalam Iridiastadi, 1997).

Pada metode submaksimal, responden tidak dipaksakan untuk mencapai kondisi

maksimumnya sehingga dampak kelelahan dan bahayanya lebih rendah, namun

keakuratannya pun lebih rendah dibandingkan metode maksimal Responden harus

melakukan paling sedikit tiga beban kerja yang berbeda. Pada pelatihan treadmill, beban

kerja yang berbeda diperoleh dengan meningkatkan kemiringan atau kecepatan pada

treadmill. Untuk responden dengan kapasitas aerobik yang relatif rendah, kecepatan

hingga 4 mph dan kerniringan pada nol persen dapat digunakan untuk pengujian. Pada

setiap beban kerja, denyut jantung dan konsumsi oksigen diukur. Pengukuran pada

responden dimulai dengan beban kcrja yang paling ringan, kemudian beban kerja

dinaikkan sampai tingkat paling berat. Metode submaksimal ini mengasumsikan bahwa

konsumsi oksigen merupakan tungsi linear dari demut jantung, sehingga terdapat

hubungan yang mnyatakan bahwa denyut jantung maksimum menycbabkan volume

oksigen maksimum dan volume oksigen maksimum mcnghasijkatt energi yang

maksimum pula. Sejumlah penelitian yang mengukur maks telah dilakukan pada

berbagai populasi. Untuk pekerja di Amerika Serikat, NIOSH pada 1981 melaporkan

data VO2 maks (untuk persentil 50) sebesar 63 kJ/menit atau sekitar 3,2 I/menit untuk

pekerja pria dan 44 kj/menit atau sekitar 2.2 I/ menit untuk pekerja wanita. Data untuk

persentil 5 adalah 52,3 kj/menit (pria) dan 33.5 kj/menit (wanita).


Di Indonesia sendiri, penelitian serupa tetah dilakukan untuk populasi

mahasiswa, anggota TNI dan pekerja industri. Pada 2007, Widyasmara dan Rakhmaniar

melaporkan data VO2 maks sebesar 2.6 I/menit untuk mahasiswa dan 1,8 l/menit untuk

mahasiswi. Dan untuk anggota TNI, Yadi (2009) melaporkan data VO2, maks sebesar

4,5 I/menit. Untuk pekerja industri, Yuliani (2010) melaporkan data VO 2 maks sebesar

3,4 I/menit. untuk pekerja pria dan 2,3 I/menit untuk pekeria wanita. Pada

penelitiannya, Yulaini menggunakan responden pekerja pria dan wanita, di mana para

pekerja tersebut merupakan pekerja industri yang mempunyai pengataman bekerja

minimal satu tahun pada bagian produksi (di mana pada bagian ini pekerja banyak

melakukan aktivitas fisik)

memiliki riwayat kesehatan yang baik, tidak merokok dan meminum alkohol pada

rentang usia 25 tahun sampai 40 tahun, dengan jumlah sampai masing sebanyak 30

pekerja. Prosedur pener:tian yang digunakan merupakan modifikasi prosedur yang

digunakan dalam penelitian Keytel et al. (2005).

Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia terangkum pada tabel 4.1

Tabel 4.1 Penelitian VO2 maks berbagai golongan populasi di Indonesia

penelitian Yuiiani terdiri atas 2 tahap, tahap pertama dilakukan untuk mengukur aerobik

(VO2 maks) dengan menggunakan metode maximal test, yaitu setiap responden harus

berlari di atas treadmill dengan mengerahkan seturuh tenaganya sampai mencapai

kelelahan, dengan kecepatan awal untuk responden pekerja pria adalah 7 km/jam dan

untuk responden wanita adalah 6 km/jam. Penelitian tahap kedua dilakukan untuk

rnengembangkan model persamaan prediksi konsumsi oksigen (VO ) dan konsumsi


Oksigen relatif techadap bobot badan (VO2) bagi pekerja industri berdasarkan faktor

fisiologis denyut jantung, usia, bobot badan dan tinggi badan, dengan menggunakan

metode submaximal test. Responden berlari di atas treadmill pada kecepatan 25%, 50%,

dan 75% dari kecepatan maksimal yang dicapai pada pene!itian tahap pertama, masing-

masing dilakukan selama lima cnenit tanpa istirahat. Kecepatan ini diasumsikan

merupakan pembebanan ringan, sedang, dan berat. Untuk merekam, menganalisis, dan

menampilkan hasil gas (O dan C02), serta mendeteksi dan menampilkan denyut jantung

selama penelitian berlangsung (secara real time) digunakan metabolis analyzer.

Sejumlah faktor dipercaya dapat memengaruhi nilai maks seorang individu, termasuk

faktor demografi, usia, jenis kelamin, bobot badan, training, nutrisi, penggunaan rokok,

serta faktor-faktor lingkungan iainnya. puncak nilai V02 maks dialami pada usia sekitar

18-20 tahun (Gambar 4.3), kemudian menurun sejalan dengan bertambahnya usia

seseorang. Pada usia 60 tahun, V02 maks berkisar sekitar 75% dibandingkan pada Saat

usia 20 tahun (Bridger et al., 2W3). Wanita pada umumnya memiliki V02 maks yang

lebih rendah dibandingkan pria, di mana V02 maks wanita setara dengan 65-75% V02

maks pria. Hal ini disebabkan oleh perbedaan bentuk tubuh, serta proporsi lemak tubuh.

Namun, sebelum terjadinya pubertas, gender tidak membedakan VO2 maks

antarindividu.

Bobot badan juga dapat mempengaruhi nilai VO2 maks namun ini disebabkan oleh

proporsi lemak yang berlebihan latihan fisik secara benar dapat juga meningkatkan VO2

maks. Job training bukan saja dalam meningkatkan kapasitas kerja, namun dapat pula

meningkatkan output kerja, kekuatan otot, serta mengurangi potensi cedera. Perokok

pada
umumnya akan memiliki VO maks vang lebih rendah dari pada yang bukan perokok.

Karbon dioksida ada pada asap rokok mengikat hemoglobin jauh lebih kuat (200 kali)

dibandingkan dengan oksigen. Dengan demikian untuk perokok, kemampuan darah

untuk

mengalirkan oksigen menjadi lebih rendah dan berdampak pada VO maks yang lebih

kecil. Faktor-faktor lain yang juga dapat memengaruhi kapasitas kerja lain antara lain:

kebisingan, ketinggian, serta penggunaan pakaian pelindung diri Astrand et al. (2003)

menuliskan faktor-faktor yang kerja fisik seseorang (Gambar 4.4).

Nilai VO maks yang dimiliki oleh seorang pekerja juga merupakan indikator dari

tingkat kebugaran pekerja yang bersangkutan. Bagi seorang dokter, kebugaran dapat

diartikan sebagai fisik seseorang yang tidak memiliki penyakit. Dalam konteks kerja,

kebugaran merupakan kemampuen untuk melakukan suatu aktivitas fisik secara terus-

menerus tanpa kelelahan yang berarti. Dengån demikian, dapat dipahami bahwa

berbagai upaya di perusahaan untuk meningkatkan VO2 maks pekerja merupakan suatu

kontribusi positif

bagi pekerja. Senam secara teratur, larangan merokok, serta keikutsertaan dalam

aktivitas-aktivitas fisik lainnya (olahraga, berenang, mendaki gunung, dan Iain-lain),

merupakan hal-hal positif yang harus didorong oleh pimpinan perusahaan.

2. Evaluasi Beban Kerja

Untuk pekerjaan dengan aktivitas fisik yang cenderung tidak statis evaluasi beban kerja

dapat dilakukan dengan menghitung besarnya energi yang dibutuhkan (energy cost) saat

bekerja, kemudian dievaluasi dengan mengacu pada sejumlah panduan (tabel) yang ada.

Namun, pendekatan yang lebih tepat adalah dengan membandingkan energi yang
dibutuhkan, relatif terhadap kapasitas (fisiologis) maksimal dari individu yang

bersangkutan. Rasio ini digunakan sebagai indikator untuk menentukan suatu pekerjaan

dapat dikatcgorikan sebagai pekerjaan ringan, menengah, atau berat. Evaluasi beban

kerja dapat dilakukan dengan pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran

langsung dilakukan dengan menggunakan calorimetric chamber, sedangkan pengukuran

tidak langsung dapat dilakukan dengan mengukur konsumsi oksigen per menit yang

merepresentasikan proses metabolisme, dapat pula dengan mengukur denyut jantung

yang sebenarnya berhubungan linear dengan konsumsi oksigen. Pada prinsipnya,

evaluasi ergonomi dilakukan untuk memastikan bahwa beban kerja tidak melebihi batas

kemampuan yang dimiliki oleh seorang pekerja. Kelelahan akan terjadi jika beban kerja

sebesar 30-40% darl kapasitas kerja, di sarnping akibat pekerjaan statis yang dilakukan

dalam jangka waktu yang tidak singkat. Pada pekerjaan dengan beban berlebih, evaluasi

fisiologi perlu dilakukan untuk mengetahui seperti apa perbaikan kerja yang efektif dan

layak diterapkan di tempat kerja.

3. Konsumsi Oksigen

Pengukuran energi yang dibutuhkan saat seseorang bekerja umumnya dilakukan secara

tidak langsung (indirect calorimetry) melalui pengukuran jurnlah oksigen yang

dikonsumsi per satuan waktu (liter/menit). Hal ini dimungkinkan, namun dengan asumsi

bahwa rata-rata sekitar 4,8-5 kkal energi dapat dihasilkan dari setiap liter oksigen yang

digunakan dalam proses metabolisme zat gizi (Kroemer et al., 2001), Dengan demikian,

energi saat bekerja dapat dihitung dengan cara mengukur oksigen yang dikonsumsi oleh

seorang individu saat melakukan pekerjaan yang bersangkutan. Perbandingan

peningkatan konsumsi oksicen pada saat kerja relatif terhadap konsumsi oksigen saat
istirahat merupakan indeks beban fisiologis yang dialami akihat pekerjaan yang

dilakukannya. Sebagai contoh, anggap seorang pekerja pria melakukan aktivitas

pemesinan dalam posisi berdiri, di samping itu pekerja tersebut pula sesekali

mengangkat dan menurunkan benda kerja ke atas palet konsumsi oksicen rata-rata

pekerja tersebut adalah 0.6 liter/menit, maka jumlah energi yang dibutuhkan untuk

melakukan pekerjaan tersebut adalah sekitar 3 kkal/menit. Untuk 8 jam kerja, total

energi yang dibutuhkan adalah 1440 kkal. Apabila energi yang diperlukan pekerja

tersebut untuk aktivitas di luar jam kerja (tidur, bersantai, dan lain-lain) dapat

diperkirakan, maka dapat dihitung kebutuhan energi selama satu hari. Untuk analisis

lebih jauh, angka ini dapat dibandingkan dengan diet pekerja tersebut (jumlah energi

yang masuk meialui makanan dan minuman) untuk menentukan kecukupan gizi dari

pekerja yang bersangkutan.

Nilai absolut kebutuhan energi untuk berbagai aktivitas dan pekerjaan telah

banyak diteliti di berbagai negara. Berdiri sambil mengerjakan pekerjaan yang relatif

ringan membutuhkan energi sebesar 0/95 kkal/menit, sedangkan berjalan dengan

kecepatan 3 km/jarn pada permukaan yang tidak kasar membutuhkan energi 2,6

kkal/menit. Dalam sehari, rata-rata energy cost seorang mehasiswa pria adalah sebesar

2,930 kkal, relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan energi yang dibutuhkan oleh

seorang pekerja tambang (3,660 kkal/hari).

Berdasarkan Tabel 4.2, berat-ringannya suatu pekerjaan dapat ditentukan dengan

mengevaiuasi nilai absolut kebutuhan energi untuk seorang individual. Sebagai contoh,

suatu pekerjaan dapat dikatakan "ringan" jika kebutuhan energi untuk pekerjaan tersebüt

tidak melebihi 2,5 kkal/menit. Pekerjaan yang dianggap "berat" akan membutuhkan
sekitar 7,5 kkal/menit, sementara suatu aktivitas fisik dapat dikatakan "sangat berat' jika

energi yang dibutuhkan mencapai 12,5 kkal atau lebih.

Tabel 4.2 Kebutuhan energi untuk setiap klasifikasi pekerjaan (Kroemer et al., 2001,

p:117)

Besarnya beban fisiologis seorang pekerja dapat pula dievaluasi dengan cara mengukur

konsumsi oksigen saat pekerja yang bersangkutan tengah melakukan pekerjaannya,

kemudian membandingkannya dengan VO2 maks pekerja tersebut. Rasio ini merupakan

ukuran objektif beban kerja yang dialami oleh pekerja tersebut. Pendekatan ini dianggap

lebih tepat bila konsumsi oksigen tersebut dibandingkan dengan penggunaan nilai

absolut kebutuhan energi, dengan pertimbangan bahwa kapasitas fisiologis (VO2 maks)

bersifat

spesifik dan berbeda untuk setiap individu sehingga sulit digeneralisasi. Dengan

menggunakan contoh di atas, energi yang diperlukan oleh seorang pekerja pria saat

melakukan pekerjaan permesinan adalah sebesar 0.6 kkal/menit. Bila VO2 maks pekerja

tersebut adalah 2,0 liter/menit, maka beban untuk pekerjaan tersebut adalah 20%. Jika

pekerjaan tersebut dilakukan oleh pekerja wanita yang memiliki VO2 maks sebesar 3.0

liter/menit, maka besar beban fisiologis menjadi sebésar 30%. Jelas bahwa metabolic

cost pekerja wanita ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan pekerja pria, walaupun

pekerjaan

yang di!akukan oleh keduanya adalah oekerjaan yang persis sama. Seperti yang telah

dijelaskan di atas, dalam penelitian tahap kedua Yuliani (2010), dilakukan pengukuran

konsumsi oksigen untuk mengembangkan suatu model persamaan prediksi konsumsi

oksigen (V02), yaitu:


VO2 = 1,168 + 0,20 HR - 0,035A + 0,019W (liter/menit), untuk pria

VO2 = -1,991 + 0,013 + 0,024W (liter/menit), untuk wanita

dengan,

VO2 = konsumsi oksigen (liter/menit)

HR= Denyut jantung (denyut/menit)

A= Usia (tahun)

W = Bobot badan (kg)

Model persamaan di atas dapat digunakan untuk mengukur konsumsi oksigen

dan kebutuhan energi pokprja Indonesia dengan umur 20-40

tahun. Sebagai contoh, pekerja pria berusia 30 tahun mempunyai bobot bddan 65 kg dan

denyut jantung 140 denyut/menit, maka konsumsi oksigen (VO2) dan kebutuhan

pekcrja tersebut adalah 1,82 liter/ menit dan 8,74 kkal/menit. VO maks untuk pekerja

pria berada di rentang 3.4 ± 0.55 liter/menit, sedangkan pekerja wanita adalah 2.3 ± 0.6

liter/ menit. Dengan diketahuinya kebutuhan energi seorang pekerja, maka dapat

ditentukan k:asifikasi pekerjaan bagi Dekerja tersebut. Menganggap seorang pekerja

berusia 25 tahun dan mempunyai bobot badan 50 kg, jika menggunakan nilai denyut

jantung pada Tabel 4.2 (Kroemer et al., 2001) maka klasifikasi pekerja tersebut sebagai

berikut.

Tabel 4.3 Hasil klasifikasi pekerjaan untuk pekerja pria

Isu lain yang menjadi bahan diskusi para ahli ergonomi adalah batas maksimum beban

kerja (VO2 maks) yang diperbolehkan dalam suatu durasi waktu tertentu, agar tidak

terjadi kelelahan yang berlebihan. Untuk delapan jam kerja, sejumlah studi (misalnva
NIOSH, 1981) menyarankan angka 33% (dari VO maks), atau sekitar sepertiga dari

kapasitas aerobik seseorara sebaaai batas maksimal. Hal ini berarti bahwa seorang

pekerja umumnya tidak akan mengalami rasa lelah yang berlebihan, jika pekerjaannya

membutuhkan energi yang tidak lebih dari sepertiga Vo2 maks pekerje yang

bersangkutan, di bawah batas tersebut, seorang pekerja dianggap masih memiliki energi

yang cukup untuk melakukan aktivitas lain di luar pekerjaannya (misalnya aktivitas

rumah tangga). Chengaiur et al. (2004) menyarankan angka 33% untuk 8 jam, 30%

untuk 10 jam, dan 25% untuk 12 jam kerja. Hasii penelitian Louhevaara et al. pada 1986

(Bridger, 2008) menyarankan waktu kerja maksimum sebagai fungsi beban kerja relatif.

Pengukuran VO2 maupun VO2 maks tidak dapat dilakukan dengan mudah di tempat

kerja. Walau sejumlah alat ukur bersifat portable, pengukuran umumnya dilakukan di

laboratorium. Tempat seperti ini tentu tidak mencerminkan situasi kerja yang

sesungguhnya, sehingga penggunaan indikator ini harus dilakukan secara hati-hati. Hal

lain yang juga harus diperhatikan adaiah apakah pengukuran dilakukan dengan

menggunakan treadmill, ergocycle, atau dengan prosedur lainnya. Perbedaan prosedur

ini akan berakibat pada perbedaan nilai VO2 maks, salah satunya disebabkan oleh

perbedaan kelompok otot yang saat pengukuran dilakukan. Uji dengan treadmill dapat

menghasilkan VO2 maks yang lebih besar (sekitar 7%) jika dibandingkan uji dengan

Selain itu, Vo2 maks dapat pula lebih tinggi sekitar 5-11% apabila pengujan dilakukan

pada treadmill yang landai.

Penelitian yang dilakukan oleh Iridiastadi dan Aghazadeh (2006),

menggambarkan perbedaan antara V02 maks yang diperoleh melalui treadmill

dibandingkan dengan yang diperoleh dari (simulasi) kerja yang sesungguhnp. Hasil
penelitian ini lebih jauh menyarankan penggunaan batas kapasitas kerja fisioiogis (8

jam kerja) sebesar sekitar 25% dari nilai VO2 maks yang diperoleh melalui treadmill.

4. Denyut Jantung

Evaluasi beban fisiologis yang diaiami oleh seorang pekerja dapat pula

dilakukan dengan mengukur denyut jantung. Pendekatan ini dapat dilakukan mengingat

bahwa semakin berat kerja fisik seseorang, semakin berat pula kerja jantung, yang

diindikasikan oleh kenaikan denyut jantung. Dengan demikian, dapat diasumsikan

bahwa kenaikan denyut jantung semata-mata disebabkan oleh peningkatan intensitas

kerja fisik. Untuk pekerja industri, Brouha (1960) menyarankan agar denvut jantung

tidak melebihi 110-155 bpm. Penelitian Brouha dilakukan dengan mengukur temperatur

badan dan denyut nadi selama mase pemulihan (istirahat) setelah suatu siklus kerja

ataupun waktu-waktu tertentu selama bekerja dengan tujupn untuk apakah pemulihan

cukup atau apakah beban kerja berlebihan. Di akhir kerja, pek.etja duduk di sebuah

bangku, kemudian diukur temperatur melalui mulutnya, dan denyut nadi dicatat pada

tiga kondisi berikut.

- HRI : denyut nadi dihitung dari detik ke-30 sampai I menit

- HR 2 : denyut nadi dihitung dari menit ke-1,5 sampai menit ke-2

- HR : denyut nadi dihitung dari menit ke-2,5 sampai menit ke-3

Setelah selesai pengukuran, dilakukan analisis sebagai berikut.

- Jika HRI-HR 2 10 dan jika HRI, HR? HR. s 90, maka Pemulihan setelah kerja

terjadi secara normal

- Jika rata-rata HR selama pengukuran s 110, dan HR -HR 2 10, maka beban kerja

tidak berlebihan.
- Jika HRI-HR3 < 10 dan jika HR3> 90, maka pernulihan masih kurang.

Berat-ringannya suatu pekerjaan dapat pula dievakuasi dengan menggunakan

Tabel 4.5 berikut.

Pendekatan ini didasarkan pada anggapan bahwa semua individu merniliki batas atas

kapasitas Yang relatit sarna, sesuatu yang tidak tepat. Untuk itu, pendekatan lein

menyarankan penggunaat, data denyut jantung yang dibandingkan dengan maksimal

heart rate (HRmaks) yang mungkin dimiliki seorang individu, Denyut jantung maksimal

dipercaya merupakan fungsi dari usia, dan dapat dinyatakan sebagai berikut.

Max HR = 220 - umur

= 260 - (0,62 x umur), atau

=190 - 0,62 x (umur - 25)

Namun sebenarnya prediksi melalui formula ini tidak didasari dengan latar belakang

ilmiah yang kuat, mempunyai error hingga 10 bpm, dan tidak bisa diaplikasikan pada

anak-anak.

HRmaks kita ketahui, beban fisiologis dapat hitung dengan indikator Heart Rate Range

(HRR) dengan formula sebagai berikut

100( HRkerja−HR Rest )


HRR ( % )
HR Maks−HR Rest

Dengan,

HRR = heart rate range

HR Kerja = denyut jantung diukur saat bekerja

HR Rest = denyut jantung diukur saat istirahat (diukur setelah istirahat pada posisi

berbaring selama 20 menit)


HR Maks = denyut jantung maksimal

Untuk pekerja yang melakukan aktivitasnya selama 8 jam beturut-turut, nilai HRR rata-

rata yang disarankan ialah tidak melebihi 33% (Chengalur et al., 2004). Idealnya,

evaluasi beban kerja dengan menggunakan HRR maupun konsumsi oksigen akan

memberikan hasil yang sama. Namun, denyut jantung dapat dengan mudah dipengaruhi

oleh aspek-aspek yang tidak berhubungan langsung dengan pekerjaan, misalnya beban

mental atau panas lingkungan perbedaan antara HRR dan %VO2 maks dapat

dimanfaatkan sebagai indikator beban tambahan yang disebabkan oleh faktor-faktor

tersebut. Sebagai contoh, evaluasi terhadap pekerjaan seorang sopir truk menunjukkan

nilai HRR sebesar 40% dengan konsumsi oksigen sebesar 30% VO2 maks. Data ini

menunjukkan bahwa 25% peningkatan denyut jantung terkait erat dengan stres yang

diperoleh dari hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan fisik (misalnya

konsentrasi saat mengendarai truk).

Besarnya energi yang dike;uarkan untuk suatu pekerjaan dapat diukur dengan

memperhitungkan denyut jantung dan faktor demografi. Kamalakannan (2007)

menyatakan model persamaan untuk menghitung beban kerja seperti berikut.

Ecost = -1867 + 8,58 HR + 25,1 HT + 4,5A – 7,4 RHR + 6,78 G

dengan,

Ecost = beban kerja (Watt)

HR = Denyut jantung saat bekerja (bpm)

HT = tinggi badan (inci)

A = umur (tahun)

RHR = denyut jantung saat beristirahat


G = jenis kelamin (m = 0, f = 1)

1 Watt setara dengan 0,0143 kkal/menit

Sementara, Keytel (2005) mengukt_tr beban kerja dalam Persamaan berikut.

Ecost = -55,0959 + (HR x 0,6309) + (W x 0,1988) + (A x 0,2017)

Dengan

Ecost = beban kerja (Kj/menit)

W = Bobot badan (kg)

1 kj/menit setara =0,239 kkal/menit

Beberapa penelitian tentang pengukuran energi lainnya dinyatakan dalam persamaan-

persamaan dalam tabel 4.6 berikut.

Tabel 4.6 Persamaan pengukuran energi berdasarkan beberapa Penelitian

Saat tubuh bekerja lebih keras, sejumlah respons fisiologis akan secara bersama-sama

meningkat, termasuk denyut jantung rnaupun konsumsi oksigen. Hal ini dapat dipahami

mengingat bahwa kerja yang, lebih keras membutuhkan lebih banyak energi. Energi ini

dapat disediakan apabila oksigen (dan nutrisi) proses metabolistne tersedia dalarn

jurnlah yang cukup. Hal ini terkait erat dengan kemampuan jantung dalam

meningkatkon jurnlah aliran darah ke otot yang memerlukan. Peningkatan intensitas

kerja dalarn batas tertentu

cenderung meningkatkan konsumsi oksigen dan denyut jantung secara simultan dengan

hubungan yang bersifat linear. Hubungan antara denyut jantung dan konsumsi oksigen

dapat diteliti dan dilaboratoium.,dan dapat dikembangkan suatu persamaan, untuk

menggambarkan hubungan tersebut. Dengan menggunakan persamaan tersebut

konsumsi oksigen untuk seseorang yang tengah melakukan suatu pekerjaan dapat
diperkirakan (dan lebih jauh dapat digunakan untuk menentuken kebutuhan energi).

Apabila data VO2 maks untuk seorang individu (atau populasi tertentu) tersedia,

evaluasi beban kerja dapat dilakukan dengan membandingkan konsumsi O2 terhadap

nilai VO2 maks dari pekerja (populasi) yang bersangkutan pendekatan ini merupakan

suatu cara yang lebih tepat dalam mengevaluasi beban kerja. Namun, pengembangan

persamaan tersebut membutuhkan proses pengukuran yang kompleks.

Denyut jantung juga merupakan suatu respons fisiologis yang relatif sensitif

terhadap hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan intensitas kerja fisik. Sebagai

contoh, stres tingkungan kerja dapat meningkatkan denyut jantung wataupun tidak ada

peningkatan intensitas kerja. Dengan demikian, pendekatan ini tidak disarankan untuk

pekerjaan di mana kontribusi dapat memberi pengaruh cukup besar. Pendekatan ini juga

tidak tepat mengevaluasi beban kerja dengan intensitas kerja sangat tinggi, mendekati

kapasitas fisik sesorang. Pada keadaan sepecti ini, variabilitas denyut cenderung cukup

tinggi. Namun demikian, pengukuran denyut jantung sering kali merupakan pilihan

yang terbaik mempettimbangkan kemudahan dalam pengukurannya serta sifatnya yang

dapat mengintegrasikan seluruh aspek stres baik dari pekerjaan maupun lingkungan

tempat pekerjaan tersebut dilakukan

5. Penilaian Subjektif

Penilaian atas beban kerja dapat pula dilakukan dengan tnemanfaatkan persepsi

seseorang atas beban yang dirasakan oleh tubuh pada saat melakukan pekerjaan.

Manusia pada dasarnya memiliki kemampuan untuk menilai besarnya usaha yang

dilakukan sebagai fungsi dari intensitas kerja. Dengan memanfaatkan psychophysics,

dapat dikembangkan suatu model matematis yang memperlihatkan hubungan suatu


stimulus fisik (intensitas kerja) dengan sensasi psikologis yang dirasakan oleh seorang

individu. Dengan memanfaatkan model seperti ini berat atau ringannya suatu aktivitas

fisik dapat dievaluasi dengan cara mernperoleh masukan berupa nilai (rating) dari

pekerja yang bersangkutan. Borg pada 1960 mengembangkan suatu skala yang disebut

sebagai RPE (rating OJ perceived exertion), yang dapat digunakan untuk menilai

seherapa besar usaha yang dikeluarkan oleh seseorang dalam melakukan suatu aktivitas

tertentu. Skala ini terdiri atas sejumlah angka (antara 6 20), yang merepresentasikan

besarnya usaha kerja. Angka-angka pada skala ini bila dikalikan dengan 10, akan

mencerminkan denyut jantung per menit. Skala ini kemudian diperbaiki dengan rentang

nilai antara O 10 (atau !ebih) dan diakui bersifat sebagai skala rasio (Botg, 1990). Skala

ini dapat pula digunakan oleh pekerja daiam meniiai tingkat ketidaknyamanan atau rasa

nyeri yang muncul karena usaha fisik yang dibutuhkan untuk melakukan suatu

pekerjaan.

Tabel 4.7 skala RPE (Kroemer, 2001, p:lll)

Dalam praktiknya, skala Borg ini dapat digunakan untuk menilai upaya fisik yang

bersifat keseluruhan (whole body), ataupun intensitas atau ketidaknyamanan yang

bersifat lokal (bagian tubuh tertentu). Skala ini telah digunakan di banyak penelitian

yang mengevaluasi beban kerja fisik. Namun, penggunaan skala ini sebagai satu-

satunya indikator beban kerja disarankan. Di samping itu, perlu diperhatikan bahwa

penggunaan bahasa Inggris pada skala tersebut mungkin tidak sepenuhnya dapat

dipaharni pekerja Indonesia, sehingga tentunya dapat menghasilkan informasi yang

bersifat bias.

E, Intervensi
Setelah mernahami bagaimana beban kerja dapat dievafuasi dari sudut pandang

fisiologi, langkah berikutnya adalah memastikan bahwa suatu pekerjaan tidak

membutuhkan energi yang berlebihan. Hal ini dapat dicapai melalui perancangan ulang

atas sistem kerja yang bersangkutan serta pengaturan pekerja yang lebih bersifat

administratif, misainya jadwal istirahat kerja, kerja sama pegawai, pengawasan

kelelahan selama kerja, dan seleksi pekerja. Sebagai contoh, pekerjaan yang dilakukan

secara berulang- ulang dalam posisi membungkuk mungkin membutuhkan energi lebih

besar bila dibandingkan dengan posisi kerja berdiri. Agar posisi kerja berdiri dapat

terpenuhi, metode dan peralatan kerja perlu didesain ulangt sehingga ebjek kerja berada

pada ketinggian yang diinginkan.

Pemberian waktu istirahat yang cukup diyakini dapat membantu seseorang Saat

melakukan pekerjaan yang cukup berat, seperti kerja konstruksi kerja di bidang

kehutanan, serta kegiatan penambangan. Diyakini bahwa istirahat singkat yang

dilakukan secara berkala, lebih baik daripada istirahat panjang namun sesekali.

Pemberian waktu istirahat (rest allowance) dapat ditentukan dengan menggunakan

persamaan Murrell (1971):

w(b−s)
R=
b−0.5

dengan,

R = lama waktu istifahat (menit), untuk diberikan setelah kerja

w = lama waktu kerja yang dilakukan secara berturut-turut (menit)

b = rata-rata energi yang dikeluarkan saat kerja (kkal/menit)

s = batas atas energi yang bo)eh dikeluarkan (kkal/menit) untuk kerja

delapan jam berturut-turut.


Nilai s menuniukkan batas atas pengeluaran energi yang diperbolehkan, yaitu

sebesar 5,33 kkal/menit yang kurang iebih adalah sepertiga dari rata- rata kapasitas

maksimal pekerja pria di Amerika Serikat. Sementara untuk pekerja wanita, nilai ini

perlu diganti menjadi 4 kkal/menit. Untuk populasi pekerja Indonesia, nilai ini adalah

5,4 kkal/menit untuk pria dan 3,6 kkal/ menit untuk wanita. Nilai kkal/menit yang ada

pada rumus di atas mewakili energi yang dikeluarkan saat seseorang beristirahat.

Sebagai contoh, untuk pekerja pria yang bekerja selama 4 jam berturut turut, dan

diketahui energi yang terkait dengan pekerjaan tersebut adaiah sekitar 5,5 kkal/menit,

lama waktu istirahat yang dibutuhkan ada!ah sekitar delapan rnenit. Untuk kerja industri

yang relatif tidak berat, praktik yang umum dilakukan adalah pemberian waktu istirahat

selama sekitar sepuluh menit setelah kerja selama sekita 2-3 jam. Pemberian waktu

istirahat ini dilakukan dua kali, yaitu pada setengah shift kerja pertama dan kedua.

Apabila sang-at diperlukan, pernilihan pekerja dapat dilakukan, untuk

memastikan agar pekerja yang memiliki karakteristik fisiologis tertentu (misalnya usia

rnuda, pria, dan memiliki VO2 maks cukup tinggi) yang melakukan pekeriaan tersebut.

Hal ini dapat dibenarkan apabila perancangan atas suatu sistem kerja tidak

memungkinkan. Sebagai contoh, dalam proses pernasangan pipa minyak/gas di tengah

laut, sering kali dibutuhkan seseorang untuk membantu pemasangan pipa pada suatu

ketinggian tertentu. Untuk itu, pekerja akan diminta untuk memanjat dengan

menggunakan tangga yang sangat tinggi, dan turun setelah pipa berhasil dipasang.

Aktivitas memanjat dan menuruni tanwa (serta pemasangan pipa Pada suatu ketinggian)

akan sangat melelahkan. Narnun, perbaikan atas proses kerja seperti ini mungkin sukar
untuk dilakukan, Untuk itu, pemilihan Pekerja dalam kasus ini bisa menjadi alternatif

yang terbaik.

F. Studi Kasus: Evaluasi Beban Kerja Fisiologi dan Estimasi Kebutuhan Energi Harian

Pekerja Wanita.

Studi kasus ini diambil dari penelitian Amalia (2011). Evaluasi beban kerja

diperlukan dalam merancang atau memperbaiki sistem kerja yang telah ada. Penilaian

beban kerja dilakukan secara subjektif dan objektif. Skala Borg CR-10 digunakan untuk

penilaian subjektif, sedangkan untuk penilaian objektif menggunakan indikator denyut

nadi dan konsumsi oksigen. Penelitian ini juga dilakukan untuk menentukan total

kebutuhan energi yang diperlukan oleh para pekerja tersebut.

Responden dalam penelitian ini adalah pekerp wanita di industri tekstil dengan

rentang usia 20-40 tahun, dan terdiri dari 3 bagian berbeda, yaitu loam, pallet, dan

cucuk (masing-masing bagian terdiri dari IC responden). pengukuran objektif,

pengukuran denyut nadi dilakukan pada titik waktu tertentu, yaitu beberapa menit

sebelum mulai bekerja, 30 menit setelah mulai bekerja, 15 menit setelah selesai

istirahat, 30 menit sebelum jam kerja selesai dan 30 menit setelah selesai bekerja.

Metode pengukuran denyut nadi dilakukan secara manual selarna 30 detik untuk

setiap kali pengukuran. Sedangkan pengukuran konsumsi oksigen pekerja dihitung

dengan persamaan prediksi konsumsi oksigen.

Hasil yang didapatkan, rata-rata nadi responden saat kerja untuk aktivitas

operator loam, pallet, dan cucuk berturut-turut adalah 97,13 ± 5,62 bpm, 89,40 ± 5,47

bpm, dan 89,93 ± 5,67 bpm. Berdasarkan kriteria berat ringannya suatu pekerjaan, dapat

dikatakan, operator loam masuk ke dalam pekerjaan sedang (medium work). Sedangkan
untuk pekerjaan operator pallet dan operator cucuk termasuk dalam kategori pekerjaan

yang ringan (light work). Sebagian besar pekerja memiliki %HRR<24,5%, hal ini

menunjukkan bahwa apabila pekerjaan tersebut dilakukan selama delapan jam maka

tidak

akan menimbulkan kelelahan pekerjanya. Estimasi kebutuhan energi harian pekerja

dilakukan dengan mengkonversi nilai VO2 aktivitas kerja (hasil prediksi persamaan

konsumsi oksigen) dan aktivitas di luar kerja (hasil penelitian terhadap aktivitas tidur,

dudukw berdiri dan berjalan). Ragam aktivitas harian diperoleh dari wawancara

terhadap pekerja.

Estimasi konsumsi oksigen dalam penelitian ini menggunakan persamaan

Yuliani (2010), dimana:

VO2 = -1,991 + 0,013 HR + 0,024 BB

Hasil estimasi nilai konsumsi oksigen relatif untuk pekerjaan operator loam

adalah sekitar 17,22%, operator pallet sekitar 15,83%, dan operator cucuk sekitar 25%.

Nilai rata-rata konsumsi oksigen relatif pada setiap pekerjaan masih berada dalam batas

yang direkomendasikan, yaitu tidak melebihi angka 25%. Sehingga aktivitas kerja

tersebut dapat dilakukan selam delapan jam kerja tanpa menimbulkan kelelahan

fisiologis secara subjektif maupun objektif. Kebutuhan energi harian pekerja dilakukan

dengan menjumlahkan nilai Energy Expenditure Work (EEwork) dan Energy Expenditure

Non-Work (EEnon-work). Estimasi nilai EEwork dilakukan dengan mengonversi nilai

konsumsi oksigen saat bekerja dengan rumus 1 I/min konsumsi oksigen = 5 kkal/liter.

Sedangkan didapatkan dari hasil konversi konsumsi oksigen untuk aktivitas nilai EE non-

work di luar kerja.


Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga bagian tergolong pekerjaan yang

ringan. Kebutuhan energi harian pada operator loam, pallet dan cucuk berkisar antara

2000-2500 kkal, Jika melihat angka kecukupan gizi untuk orang Indonesia sebesar 2000

kkal, dapat dikatakan bahwa sebagian besar pekerja pada ketiga bagian ini dapat bekerja

tanpa mengalami kejelahan.

Anda mungkin juga menyukai