Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS JURNAL PENGARUH TERAPI LATIHAN PADA POST ORIF

FRACTURE FEMUR DAN FRACTUR HUMERUS

Perceptor : Eko Suwardiyanto, S.Kep., Ns

Kelompok IVA :
Bakri Wahit 24.21.1513
Syaidatul Awaliyah 24.21.1514
Mulusia Febrianti 24.21.1515
Siti Nafisah 24.21.1516
Anisa Utami 24.21.1517
Suciati 24.21.1518

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS ANGKATAN XXVII


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
SURYA GLOBAL YOGYAKARTA
2022
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA PROGRAM STUDI PROFESI NERS
ANGKATAN XXVII

LEMBAR PENGESAHAN

Telah disahkan “Analisis Jurnal Pengaruh Terapi Latihan Pada Post Orif
Fracture Femur Dan Fractur Humerus” guna memenuhi tugas kelompok stase
Keperawatan Medikal Bedah Program Pendidikan Profesi Ners STIKES Surya Global
Yogyakarta Tahun 2022.

Yogyakarta, Februari 2022

Disusun oleh : Kelompok IVA


Bakri Wahit 24.21.1513
Syaidatul Awaliyah 24.21.1514
Mulusia Febrianti 24.21.1515
Siti Nafisah 24.21.1516
Anisa Utami 24.21.1517
Suciati 24.21.1518

Mengetahui

Pembimbing Akademik Preceptor

(Ani Mashunatul Mahmudah, S. Kep., Ns., M. Kep) (Eko Suwardiyanto, S. Kep., Ns)
BAB I
PENDAHULUAN

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. KONSEP FRAKTUR
1. Definisi Fraktur
Fraktur merupakan salah satu gangguan atau masalah yang terjadi pada
sistem muskuloskeletal yang menyebabkan perubahan bentuk dari tulang
maupun otot yang melekat pada tulang. Fraktur dapat terjadi di berbagai
tempat dimana terdapat persambungan tulang maupun tulang itu sendiri.
Salah satu contoh dari fraktur adalah yang terjadi pada tulang femur. Fraktur
femur atau patah tulang paha adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal
paha yang disaebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, dan kondisi
tertentu, seperti degenerasi tulang atau osteoporosis (Muttaqin, 2013).
Menurut Rasjad (2016), Fraktur femur terbuka adalah putusnya
kontinuitas batang femur dan menimbulkan perdarahan yang cukup banyak.
Fraktur femur terbagi menjadi:
a. Fraktur leher femur
Fraktur leher femur merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan pada
orang tua terutama wanita usia 60 tahun ke atas disertai tulang yang
osteoporosis. Fraktur leher femur pada anak anak jarang ditemukan
fraktur ini lebih sering terjadi pada anak laki- laki daripada anak
perempuan dengan perbandingan 3:2. Insiden tersering pada usia 11-12
tahun.
b. Fraktur subtrokanter
Fraktur subtrokanter dapat terjadi pada semua usia, biasanya disebabkan
trauma yang hebat. Pemeriksaan dapat menunjukkan fraktur yang terjadi
dibawah trokanter minor.
c. Fraktur intertrokanter femur
Pada beberapa keadaan, trauma yang mengenai daerah tulang femur.
Fraktur daerah troklear adalah semua fraktur yang terjadi antara
trokanter mayor dan minor. Frkatur ini bersifat ekstraartikular dan sering
terjadi pada klien yang jatuh dan mengalami trauma yang bersifat
memuntir. Keretakan tulang terjadi antara trokanter mayor dan minor
tempat fragmen proksimal cenderung bergeser secara varus. Fraktur
dapat bersifat kominutif terutama pada korteks bagian posteomedial.
d. Fraktur diafisis femur
Fraktur diafisis femur dapat terjadi pada daerah femur pada setiap usia
dan biasanya karena trauma hebat, misalnya kecelakaan lalu lintas atau
jatuh dari ketinggian.
e. Fraktur suprakondilar femur
Daerah suprakondilar adalah daerah antar batas proksimal kondilus
femur dan batas metafisis dengan diafisis femur. Trauma yang mengenai
femur terjadi karena adanya tekanan varus dan vagus yang disertai
kekatan aksial dan putaran sehingga dapat menyebabkan fraktur pada
daerah ini. Pergeseran terjadi karena tarikan otot.
2. Etiologi Fraktur
Menurut Lukman (2018) etiologi fraktur sebagai berikut:
a. Trauma langsung
Berarti pukulan langsung pada tulang sehingga tulang patah secara
spontan
b. Trauma tidak langsung
Pukulan langsung berada jauh dari benturan, misalnya jatuh dengan
tangan menjulur dan menyebabkan fraktur klavikula
c. Faktor patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit, dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur, dapat juga terjadi
pada keadaan tumor tulang (jinak atau ganas), infeksi seperti
osteomyelitis, rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh
devisiensi vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain.
Secara spontan, disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran.
3. Patofisiologi
Pada dasarnya penyebab fraktur itu sama yaitu trauma, tergantung
dimana fraktur tersebut mengalami trauma, begitu juga dengan fraktur
femur ada dua faktor penyebab fraktur femur, faktor-faktor tersebut
diantaranya, fraktur fisiologis merupakan suatu kerusakan jaringan tulang
yang diakibatkan dari kecelakaan, tenaga fisik, olahraga, dan trauma dan
fraktur patologis merupakan kerusakan tulang terjadi akibat proses
penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur.
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik,
gangguan metabolik dan patologik. Kemampuan otot mendukung tulang
turun, baik yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah
akan mengakibatkan pendarahan, maka volume darah menurun. COP atau
curah jantung menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan.
Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edema
lokal maka terjadi penumpukan didalam tubuh. Disamping itu fraktur
terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat
terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan kerusakan jaringan
lunak yang akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit. Fraktur adalah
patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan metabolik,
patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur terbuka atau
tertutup akan mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan gangguan
rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi
masalah neurovaskuler yang akan menimbulkan nyeri gerak sehingga
mobilitas fisik terganggu. Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka
maupun tertutup akan dilakukan immobilitas yang bertujuan untuk
mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada tempatnya
sampai sembuh (Rasjad, 2016).
4. Manifestasi Klinis
a. Nyeri
Nyeri yang terjadi terus menerus dan bertambah beratnya sampai
fragmen tulang dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur
merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan
gerakan antar fragmen tulang.
b. Swelling
Terjadi karena kebocoran cairan ekstra seluler dan darah dari pembuluh
darah yang telah rupture pada fraktur pangkal tulang.
c. Deformitas
Pada kaki dapat menandakan adanya trauma skeletal.
d. Tenderness
Sampai palpitasi biasanya terlokalisir diatasbare trauma skeletal yang
dapat dirasakan dengan penekanan secara halus di sepanjang tulang.
e. Krepitasi
Terjadi bila bagian tulang yang patah bergesekan dengan tulang yang
lainnya. Hal ini dapat dikaji selama pemasangan splin. Jangan berusaha
untuk mereposisi karena dapat menyebabkan nyeri trauma lebih lanjut.
f. Disability
Juga termasuk karakteristik dari kebanyakan trauma skeletal pasien
dengan fraktur akan berusaha menahan lokasi trauma tetap pada posisi
yang nyaman dan akan menolak menggerakannya. Bahkan pada pasien
dengan dislokasi akan menolak untuk menggerakkan ekstremitas yang
mengalami dislokasi.
g. Exposed bone ands
Didiagnosa sebagai trauma terbuka atau compound fraktur. Periksa
gerakan dan sensori di bagian distal pada setiap pasien dengan trauma
musculoskeletal.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. X-ray : Menentukan lokasi/luasnya fraktur.
b. Scan tulang : Memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : Dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler.
d. Hitung darah lengkap : Hemokonsentrasi mungkin meningkat,
menurun pada perdarahan; peningkatan leukosit sebagai respon
terhadap peradangan.
e. Kretinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
6. Penatalaksanaan
a. Rekognisi
Mengenal jenis fraktur, lokasi dan keadaan secara umum; riwayat
kecelakaan, parah tidaknya luka, diskripsi kejadian oleh pasien,
menentukan kemungkinan tulang yang patah dan adanya krepitus.
b. Reduksi
Mengembalikan fragmen tulang ke posisi anatomis normal untuk
mencegah jarinagn lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi
karena edema dan perdarahan. Reduksi ada 3 (tiga), yaitu:
1) Reduksi tertutup (close reduction), dengan cara manual/ manipulasi,
dengan tarikan untuk menggerakan fragmen tulang/ mengembalikan
fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan).
2) Traksi, digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi,
dimana beratnya traksi di sesuaikan dengan spasme otot. Sinar X
digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen
tulang.
3) Reduksi terbuka, dengan memasang alat untuk mempertahankan
pergerakan, yaitu fiksasi internal (kawat, sekrup, plat, nail dan
batang dan implant logam) dan fiksasi ekterna (pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinue, pin dan tehnik gips.
c. Reposisi
Setelah fraktur di reduksi, fragmen tulang harus di imobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi penyatuan yang tepat. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan cara fiksasi internal dan eksternal.
d. Rehabilitasi
Mempertahankan dan mengembalikan fungsi pada umumnya, sebelum
dan setelah pelaksanaan terapi latihan, bagian yang mengalami operasi
yaitu 1/3 distal femur pasien dalam keadaan dielevasikan sekitar 30˚
B. ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
1. Definisi ORIF
ORIF merupakan salah satu bedah ortopedi yang digunakan pada
pasien fraktur. ORIF diindikasikan untuk fraktur dengan kesejajaran yang
tidak diterima setelah dilakukannya reduksi tertutup dan imobilisasi
ketidakselarasan anggota tubuh pada ekstremitas bawah dan ketidakcocokan
articular (Smeltzer, 2013).
Dalam beberapa kasus ORIF memungkinkan dengan segera terjadinya
pembebanan berat badan, atau karena hasil pasien akan lebih baik dari
pengobatan non operatif. Reduksi terbuka biasanya dikombinasikan dengan
manipulasi langsung dari beberapa fragmen, tetapi juga dapat meliputi teknik
tidak langsung seperti penggunaan distraktor penghubung tulang pada fraktur
articular (Helmi, 2012).
Indikasi untuk reduksi terbuka adalah: (Smeltzer, 2013)
a. Menggantikan fraktur artikular dengan impaksi dari permukaan sendi.
b. Fraktur yang membutuhkan keselarasan aksial yang tepat (misalnya;
patah pada lengan, patah tulang metaphyseal sederhana).
c. Kegagalan reduksi terbuka karena interposisi jaringan lunak
d. Tertundanya operasi di mana jaringan granulasi atau awal kalus harus
dipindah.
e. Terdapat resiko tinggi kerusakan struktur neurovascular.
f. Pada kasus tidak adanya atau terbatasnya akses untuk pencitraan
perioperatif untuk memeriksa reduksi.
2. Keuntungan ORIF
Keuntungan dari fiksasi internal ini yaitu akan tercapai reposisi yang
sempurna dan fiksasi yang kokoh sehingga pada pasien paska ORIF tidak
perlu lagi dipasang gips dan mobilisasi dapat segera dilakukan. Selain itu,
pada pasien yang menjalani ORIF penyatuan sendinya lebih cepat, memiliki
reduksi yang akurat dan stabilitas reduksi yang tinggi, serta pemeriksaan
struktur neurovascular dapat dilakukan lebih mudah (Helmi, 2012).
3. Tujuan Bedah ORIF
Tujuan dari bedah ORIF yaitu digunakan untuk stabilitas fraktur atau
mengoreksi masalah disfungsi muskuloskeletal serta memperbaiki fungsi
dengan mengembalikan gerakan serta stabilitas dan mengurangi nyeri serta
stabilitas (Syamsuhidajad, 2015)
Selain itu, tujuan lain dari tindakan ORIF yaitu untuk menimbulkan
reaksi reduksi yang akurat, stabilitas reduksi yang tinggi, untuk pemeriksaan
struktur- struktur neurovaskuler, untuk mengurangi kebutuhan akan alat
immobilisasi eksternal, mengurangi lamanya rawat inap di rumah sakit serta
pasien lebih cepat kembali ke pola kehidupan yang normal seperti sebelum
mengalami cedera (Smeltzer, 2013)
4. Masalah Pasca Bedah ORIF
Masalah yang sering kali ditimbulkan pada pasien pasca bedah
ORIF meliputi: (Syamsuhidajad, 2015)
a. Nyeri merupakan keluhan yang paling sering terjadi setelah bedah ORIF.
Nyeri yang dapat dirasakan seperti tertusuk dan terbakar pada tujuh hari
pertama dan nyeri yang sangat hebat akan dirasakan pada beberapa hari
pertama.
b. Gangguan mobilitas pada pasien pasca bedah ORIF juga akan terjadi
akibat proses pembedahan
c. Kelelahan sering kali terjadi pada pasien post ORIF yaitu kelelahan
sebagai suatu sensasi. Gejala nyeri otot, nyeri sendi, sakit kepala, dan
kelemahan dapat terjadi akibat kelelahan sistem muskuloskeletal dan
gejala ini merupakan tanda klinis yang sering kali terlihat pada pasien
paska ORIF.
C. TERAPI LATIHAN

BAB III
KASUS
DAFTAR PUSTAKA
Helmi. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuluskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Lukman, N & Ningsih, N. 2018. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.
Rasjad, C. 2016. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT.Yarsif Watampone.
Smeltzer SC. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunerd & Sudarth Edisi
8, Vol 3. Jakarta: EGC.
Syamsuhidajad. 2012. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai