Anda di halaman 1dari 52

EVALUASI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945 DAN

UNDANG-UNDANG TURUNAN PADA BAB V TENTANG KEMENTERIAN


NEGARA DAN BAB VI TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DAN
UNDANG-UNDANG PELAKSANANYA

Di susun oleh :
Safrizal W. Yantu 1011420300

Dwi Intan Lestari Ahmad 1011420277

Adawiya Pakaya 1011420199

Rahmadania Sultan 1011420138

Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Konstitusi

JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Alhamdulillahhi Rabbil’alamin, atas pertolongan Allah Subhanahuwata’ala kami


dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang
sangat sederhana. Sholawat dan salam tidak lupa kita kirimkan kepada junjungan kita
Nabi Allah Nabi Muhammad Shalallahua’laihi Wasallam, yang telah mengantarkan
umat manusia dari zaman jahiliyah menuju pada zaman yang modern.

Makalah yang berjudul “Evaluasi Terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945


Pada Bab V Tentang Kemntrian Negara dan Bab VI Tentang Pererintahan
Daerah dan Undang-Undang Pelaksananya” ini sengaja kami buat untuk
memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Konstitusi”. Ucapan terima kasih juga kepada
Dosen mata kuliah Hukum Konstitusi Bapak Ahmad Wijaya, S.H., M.H yang telah
memberikan tugas ini kepada kami, sehingga secara langsung dapat menambah
pengetahuan kami.

Makalah ini masih jauh dari sempurna, Oleh karena itu kami berharap kepada para
pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Wassalamua’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Gorontalo, 04 Desember
2021

ii
Penulis

DAFTAR ISI

Isi
KATA PENGANTAR.............................................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................................3
BAB 1......................................................................................................................................5
PENDAHULUAN...................................................................................................................5
1.1. Latar Belakang Masalah........................................................................................5
1.2. Rumusan Masalah..................................................................................................8
1.3. Tujuan.....................................................................................................................8
1.4 Manfaat Penulisan..................................................................................................8
BAB 2....................................................................................................................................10
PEMBAHASAN....................................................................................................................10
2.1 Evaluasi terhadap implementasi Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada......10
Bab V dan VI mengenai Kementerian Negara dan Pemerintahan Daerah.................10
2.1.1 Kementerian Negara....................................................................................10
2.1.1.2 Lembaga Kementerian adalah Lembaga Negara.......................................16
2.1.2 Pemerintahan Daerah..................................................................................18
2.1.2.1 Konsep Pembagian Negara Indonesia........................................................26
2.2 Arah Otonomi Daerah..............................................................................................29
2.2.1 Evaluasi Implementasi Undang -undang turunan Bab V Kementerian Negara
dan Bab VI Pemerintahan Daerah............................................................................33
BAB 3....................................................................................................................................48
PENUTUP.............................................................................................................................48
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................48
3.2 Rekomendasi.........................................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................49

iii
iv
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun
1945). Indonesia sebagai negara hukum melakukan pembagian kekuasaan antara
eksekutif, legislatif dan yudikatif, serta pemerintahan negara diselenggarakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan oleh penyelenggara negara.Dalam konteks negara hukum
Indonesia, khusus cabang kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh presiden, hal ini
dilandaskan secara normatif pada Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa “Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar.” Ketentuan Pasal tersebut mempunyai makna bahwa presiden dalam
kedudukannya dapat disebut sebagai kepala pemerintahan yang memiliki
kewenangan penuh untuk menjalankan tugas pemerintahan di Indonesia.
Dalam catatan sejarah mengenai timbulnya negara yang konstitusional
merupakan proses panjang dan selalu menarik untuk dikaji dalam membangun sebuah
pemerintahan yang konstitusional. Indonesia sebagai negara yang merdeka tentu saja
mempunyai konstitusi sebagai landasan menjalankan pemerintahan negara. UUD
1945 sebagai konstitusi di Indonesia merupakan hukum tertinggi yang ditetapkan
secara konstitusional, sedangkan hukum merupakan produk politik.
Berakhirnya Orde Baru diikuti oleh semangat untuk mengubah tatanan
ketatanegaraan yang otoriter. Sasaran reformasi pada saat itu adalah sumber
legitimasi otoritarianisme yaitu UUD 1945. UUD 1945 dianggap sebagai konstitusi

1
tidak terarah dan tidak jelas mengatur batas kekuasaan antara setiap cabang
kekuasaan. Pada satu sisi, konstitusi ini terlihat seperti berciri presidensial tetapi di
sisi lain juga berciri parlementer.1 Ketika diimplementasikan, konstitusi ini juga dapat
melanggengkan kekuasaan di tangan satu orang selama tiga dekade. Semakin jelas
bahwa amandemen UUD 1945, ketika periode awal reformasi, dianggap sebagai jalan
pembuka menuju demokratisasi Indonesia.
Amandemen UUD 1945 dilakukan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) hasil dari pemilihan umum tahun 1999. Setelah terbentuknya MPR, Rapat
Badan Pekerja MPR (BP MPR) pada 6 Oktober 1999 kemudian memutuskan
pembentukan Panitia Ad Hoc III (PAH III) untuk membahas amandemen UUD 1945.
Proses amandemen UUD 1945 tidak dilakukan sistematis. Amandemen UUD 1945
dilakukan secara bertahap dengan prioritas pada persoalan-persoalan yang dipandang
mendesak dan mudah diselesaikan2. Model proses amandemen ini diambil semata-
mata untuk mempermudah mekanisme pengambilan keputusan karena PAH III
dituntut untuk dapat bergerak cepat dalam melakukan amandemen.
Tidak sistematisnya proses amandemen tersebut dapat dilihat dari hasil
amandemen pertama yang disahkan pada Sidang Umum MPR 1999 yang berlangsung
pada 14-21 Oktober 1999. Amandemen pertama difokuskan pada tiga pokok materi,
yaitu kekuasaan pemerintahan negara, kementerian negara, dan Dewan Perwakilan
Rakyat. Amandemen pertama tidak diarahkan pada perubahan fundamental negara,
yaitu pernyataan prinsip negara hukum secara jelas dalam konstitusi tetapi difokuskan
pada pembatasan kekuasaan Presiden khususnya penegasan masa jabatan presiden
dan penguatan DPR.
Keberadaan konstitusi dalam kehidupan tata negara merupakan suatu hal yang
sangat penting dan kritikal, dikarenakan tanpa konstitusi, maka tidak akan ada sebuah
negara. Hampir semua negara berdaulat memiliki konstitusi. Hubungan antara negara
dan konstitusi adalah dua sisi mata uang, yang artinya tidak dapat dipisahkan satu

1
M.Agus Santoso. 2013. “Perkembanga Konstitusi di Indonesia”. Samarinda: Yustisia. Hal 2-3.
2
Tim Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Buku I Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945 (Edisi Revisi)
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010). Hal 155.

2
sama lain. Urgensi konstitusi dalam sebuah negara adalah sebagai pemberi pegangan,
serta pemberi batas, sekaligus memberikan panduan dalam mengatur bagaimana
kekuasaan dalam suatu negara dijalankan (JB. Dalijo, 1994).
Sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi, naskah konstitusi dapat
diperbaharui atau diberikan muatan dengan substansi baru. Hal ini merupakan sebuah
hal yang dimungkinkan apabila konstitusi dinilai belum memenuhi kepentingan dan
kebahagiaan rakyat. Dalam konteks Indonesia, UUD NRI 1945 sebagai konstitusi
dalam penyusunan ketentuan-ketentuannya diupayakan agar tidak lekas usang dan
dapat mengikuti arus perkembangan zaman (Budiardjo, 1998).
Substansi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 perlu untuk dievaluasi baik dari segi substansi, penerapan, dan undang-undang
turunannya. Dalam makalah ini penulis akan membahas terkait substansional dan
implementasi daripada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 terutama pada bab V (Kemerntrian Negara) dan bab VI (Pemerintah Daerah).
Studi kasus terkait pengisian jabatan partai politik yaitu Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan yang notabene partai tempat Jokowi bernaung mendapat jatah
terbanyak, yakni lima orang. Mereka adalah Menteri Hukum dan HAM Yasonna
Laoly, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo
Kumolo, Menteri Sosial Juliari Batubara, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmavati Puspayoga, dan Sekretaris
Kabinet Pramono Anung. Lalu, Partai Golkar, Partai Nasdem, dan Partai Kebangkitan
masing-masing mendapat jatah tiga menteri dalam Kabinet Indonesia Maju. Politikus
Partai Golkar yang masuk kabinet adalah Menteri Koordinator Perekonomian
Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, serta
Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali. Kemudian, perwakilan dari Partai
Nasdem adalah Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya
Bakar, serta Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Adapun kader PKB yang
masuk kabinet adalah Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Menteri Perdagangan
Agus Suparmanto, serta Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan

3
Transmigrasi Abdul Halim Iskandar. Sementara itu, Partai Gerindra yang mengambil
posisi oposisi pada pemerintahan periode 2014-2019 kini merapat ke pemerintahan
dan mendapat jatah dua menteri. Jatah menteri bagi Gerindra adalah Menteri
Pertahanan Prabowo Subianto serta Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Sedangkan, Partai Persatuan Pembangunan hanya mendapat satu kursi menteri yaitu
Menteri PPN/Kepala Bappenas yang diisi Suharso Monoarfa.3

1.2. Rumusan Masalah


Mengacu pada uraian latar belakang masalah dan identifikasi masalah diatas
maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk evaluasi terhadap implementasi Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 pada Bab V dan VI mengenai Kementerian Negara dan
Pemerintahan Daerah ?
2. Bagaimana bentuk evaluasi terhadap implementasi Undang-Undang
turunan mengenai Kementerian Negara danKementrian Daerah?

1.3. Tujuan
Mengacu pada uraian latar belakang masalah dan identifikasi masalah diatas
maka tujuan dari penulisan makalah ini ialah :
1. Agar mengetahui bagaimana bentuk evaluasi terhadap implementasi Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 pada Bab V dan VI mengenai Kementerian Negara
dan Pemerintah Daerah
2. Agar mengetahui bagaimana bentuk evaluasi terhadap implementasi Undang-
Undang turunan mengenai Kementerian Negara dan Pemerintahan Daerah

1.4 Manfaat Penulisan

Adapaun manfaat dari penulisan makalah ini untuk mengetahu permasalahan-


permasalahan apa saja yang terjadi dalam masyarakat dan juga dapat mengetahui
apakah selama ini Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia apakah sudah

3
Hasan Yusuf, “Peran Kader Partai Politik Terhadap Kementerian negara”, Cara Membuat Footnote
dari Internet yang Benar - Qwords 18 Desember, 10.00

4
di implementasikan dengan baik atau tidak dalam tata kehidupan negara. Adapun
manfaat yang di harapkan dari hasil penelitian ini, yaitu :

1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan dalam
perkembangan ilmu hukum, terkhususnya dalam hukum konstitusi, terkait
dengan evaluasi terhadap implementasi Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga Undang-Undang yang mengatur
mengenai keagamaan dan pertahanan dan keamanan negara.
2. Manfaat Akademis
Manfaat akademis merupakan pemenuhan dari tugas Mata Kuliah Hukum
Konstitusi
3. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini di harapkan bisa menambah wawasan dan pengetahuan
para pembaca terkait dengan evaluasi terhadap implementasi Undang-Undang
Dasar Neagara Republik Indonesia Tahun 1945.

5
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Evaluasi terhadap implementasi Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada


Bab V dan VI mengenai Kementerian Negara dan Pemerintahan Daerah

Konstitusi merupakan hukum dasar yang dijadikan landasan dalam


penyelenggaraan suatu negara. Sebagai hukum dasar, konstitusi suatu negara dapat
berbentuk tertulis dan tidak tertulis. Konstitusi yang tertulis lazim disebut
UndangUndang dasar. Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis beserta nilai-
nilai dan norma hukum dasar yang tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi
ketatanegaraan dalam praktik penyelenggaraan negara sehari-hari, termasuk dalam
pengertian konstitusi atau hukum dasar (droit constitusionnel) suatu negara.

Evaluasi secara substansional terkait kementrian negara dan pemerintah


daerah akan dibahas secara terstruktur, sebelum masuk pada evaluasi tersebut. Maka
akan di lampirkan terlebih dahulu muatan daripada pasal-pasal yang terkait dengan
kementrian negara dan pemerintah daerah, sebagai berikut:
2.1.1 Kementerian Negara
Pasal 17
1. Presiden dibantu oleh menteri-menteri Negara Menteri – menteri itu
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. *)
2. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. *)
Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementrian Negara
diatur dalam Undang-Undang. ***)

Substansi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, jabatan menteri adalah


jabatan yang bersifat politis. Dengan kata lain, menteri diangkat dan diberhentikan
oleh presiden sesuai dengan kebijakan politik presiden. menteri dalam kabinet

6
merupakan perpanjangan tangan presiden yang melaksanakan sepenuhnya kebijakan
yang telah digariskan oleh presiden. Tidak boleh ada campur tangan partai dalam
penentuan garis-garis kebijakan dari presiden kepada menterinya. Mengingat bahwa
dalam sistem presidensial, program eksekutif sepenuhnya berpatokan kepada kontrak
sosial antara Presiden dengan rakyat. Tidak ada ikatan kepentingan program dengan
partai, walaupun Presiden dicalonkan oleh koalisi partai tertentu. Hal ini berbeda
dengan penjabaran fungsi menteri dalam sebuah kabinet parlementer. Pada kabinet
parlementer, menteri adalah pengemban misi partai atau dapat pula dikatakan sebagai
representasi partai-partai dalam kabinet koalisi di lembaga eksekutif. Maka dalam
kabinet koalisi, program kerja kabinet adalah produk kompromi antara kepentingan
partai anggota dengan partai pemenang.
Pembentukan kabinet menteri yang merupakan hak prerogratif presiden,
mengartikan bahwa Presiden memiliki hak mutlak untuk menentukan siapa-siapa saja
yang bisa menjadi menteri. Sebagai negara hukum pembentukan menteri dalam
sebuah kabinet selain merupakan hak prerogatif dari presiden, juga merupukan
amanah dari UndangUndang. Menteri memimpin lembaga departemen dan non-
departemen sesuai dengan nomenklatur yang disusun oleh presiden. Lembaga
kementerian dibuat untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.4
Ketentuan mengenai menteri Negara di tempatkan tersendiri dalam bab V
Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Banyak yang kurang
memperhatikan sungguh-sungguh tentang hal ini karena dianggap merupakan bagian
yang tak terpisahkan bagi wewenang mutlak (hak perogratif) presiden sebagai kepala
Negara yang sekaligus adalah kepala pemerintahan. Sebenarnya pengaturan soal
pengaturan kementerian Negara yang tersendiri dalam Bab yang terpisah dari Bab III
tentang kekuasaan pemerintahan Negara yang berkaitan dengan kekuasaan presiden,
mengandung arti yang tersendiri pula. Ketentuan menteri juga diatur dalam Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 2008.

4
Hasanudin Ismail, II. 2012. “Tinjauan Yuridis Pembentukan Kementerian Negara dalam Kabinet
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara”, Agustus 2015,
Makassar. Hal 1-7.

7
Ketentuan dalam konstitusi yang mengantur tentang pembentukkan
kementrian negara berdasarkan Pasal 17 UUD 1945, memberikan kewenangan
kepada presiden untuk membentuk kabinet menteri. pembentukan kabinet menteri
oleh presiden berdasarkan konstitusi bermakna bahwa presiden mempunyai hak
prerogratif dalam menyusun kabinet menterinya yang akan membantu dalam
menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan konstitusi. Selain itu, ketentuan
tersebut mengisyaratkan bahwa menteri-menteri negara yang membidangi urusan
tertentu tersebut berada di bawah presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
presiden memiliki hak penuh untuk memilih menteri-menteri negara yang akan
membantu menjalankan tugas kekuasaan pemerintahan. Karena itulah, yang
bertanggung jawab kepada publik terhadap keberhasilan pelaksanaan pemerintahan
yang menjadi urusan menteri negara tertentu adalah Presiden5.
Kementerian Negara adalah lembaga penyelenggara pemerintahan negara
yang dipimpin oleh Menteri Negara dan berada di bawah Presiden. Sesuai dengan
pasal 17 ayat (1) dan (2) adalah Menteri Negara adalah pejabat negara pembantu
Presiden, diangkat dan diberhentikan, serta bertanggung jawab kepada Presiden.
Menteri-menteri negara adalah pembantu Presiden dan tidak bertanggung jawab
kepada DPR. Karena itu kedudukan menteri-menteri negara tidak tergantung DPR
akan tetapi tergantung Presiden. Meskipun mereka adalah pembantu Presiden, tetapi
menteri-menteri negara bukan pegawai tinggi biasa, karena menteri-menteri itulah
yang menjalankan kekuasaan pemerintah dalam praktek. Menteri-menteri negara
memimpin departemen.
Berdasarkan pasal 17 ayat (3) yang telah disebutkan di atas bahwa setiap
Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Dan perihal pasal 17 ayat
(3) dijelaskan secara expressis verbis dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2008 tentang Kementerian negara. Adapun urusan tertentu dalam
pemerintahan terdiri atas:6

5
Prasetyaningsih, I. 2012. “Kedudukan Menteri dalam Sistem Pemerintahan Menurut Undang-
Undang No 39 Tahun 2008 Tentang Kementrian Negara”. CV Budi Utomo: Jakarta. Hal 3
6
UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

8
1) Urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas
disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 meliputi urusan luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan,
2) Urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meliputi urusan
agama, hukum,keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan,
kebudayaan, kesehatan,sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan,
pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi,
komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan
perikanan.
Urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi
program pemerintah. meliputi urusan perencanaan pembangunan nasional, aparatur
negara, kesekretariatan negara, badan usaha milik negara, pertanahan, kependudukan,
lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi, koperasi, usaha kecil dan
menengah, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pemuda, olahraga,perumahan, dan
pembangunan kawasan atau daerah tertinggal.
Sesuai dengan pasal 17 ayat (4) dimana kementerian mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu Presiden
dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam menjalankan roda
pemerintahan, kementerian mempunayi beberapa fungsi yang dijelaskan secara
eksplisit dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara. Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang melaksanakan urusan
sebagaimana yang telah disebut di atas, kemudian menyelenggarakan fungsinya
sebagai berikut:
1) Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya;
2) Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya;
3) Pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya; dan
4) Pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.
5) Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervise atas pelaksanaan urusan
Kementerian di daerah; dan

9
6) Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional.
Secara substansi pasal 17 terkait kementrian Negara memaknai bahwa menteri
hanya merupakan pembantu presiden itu sendiri tugas eksekutif tetap dilaksanakan
oleh presiden dan presiden menjadi eksekutif tunggal dalam pelaksanaanya pun
demikian menteri-menteri Negara membidangi urusan-urusan tertentu dimana
menteri tersebut diangkat dan diberhentikan oleh presiden dan laporan pertanggung
jawaban tetap ditujukan untuk presiden.

2.1.1.1 Pembatasan Pengisian Jabatan kementerian 40% Kalangan kaum politisi


dan 60% Kalangan Profesional
Dalam Pasal 17 Ayat (1) “ Presiden dibantu oleh menteri-menteri Negara
Menteri – menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Dalam Pasal
tersebut menjelaskan bahwa Presiden membentuk dan memberhentikan Menteri-
menteri. Artinya bahwa presiden diberikan kewenangan untuk membentuk sebuah
kementerian akan tetapi, pada kenyataannya adanya keterlibatan partai politik atau
kaum politisi.

Terkait hal tersebut penulis memperhatikan adanya teori proporsionalitas.


Basil Ugochukwu menyatakan, bahwa proporsionalitas diartikan sebagai
pemeliharaan rasio yang pantas antara dua komponen. Proporsionalitas juga dikaitkan
dengan kemasukakalan. Suatu tindakan yang masuk akal pasti proporsional.
Sebaliknya, apabila tindakan tertentu tidak masuk akal, pasti juga tidak proporsional.
Padanan kata yang memiliki arti yang sama dengan ketidakmasukalan adalah
ilegalitas dan ketidakpantasan prosedural.7

Proporsionalitas dalam konteks hukum memiliki ragam arti. Dalam perspektif


hukum tata negara, prinsip proporsionalitas terkait pembatasan terhadap kekuasan
negara. Prinsip ini menghendaki agar penggunaan kekuasaan negara harus
proporsional dengan kepentingan-kepentingan yang hendak dibatasi oleh kekuasan
7
Basil Ugochukwu, ‘Balancing, Proportionality, and Human Rights Adjudication in Comparative
Context: Lessons for Nigeria’, York University and Transnational Human rights Review, Vol1, 2014,
hlm. 6

10
itu.8 Sebagai sebuah prinsip dan tujuan pemerintahan, proporsionalitas merupkan
ajaran tentang keadilan bahwa kerugian-kerugian yang lebih besar yang ditimbulkan
oleh penggunaan kekuasan pemerintah harus dibenarkan oleh alasan-alasan yang jauh
lebih rasional.9

Dalam konteks kewajiban negara, apakah suatu kewajiban negatif negara


dilanggar adalah dengan menggunakan tes proporsionalitas. Tes ini berisi empat
parameter, yaitu tujuan yang sah, kepantasan, nesesitas dan proporsionalitas dalam
arti sempit.12 Secara lebih operasional, ada tiga kriteria untuk menilai prinsip
proporsionalitas, yaitu; 1) cara-cara yang digunakan untuk membatasi hak asasi
warga negara harus secara rasional berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai; 2)
hak harus dikurangi sekecil mungkin untuk mencapai tujuan; dan 3) harus terdapat
keseimbangan antara efek pembatasan terhadap hak dan tujuan yang hendak dicapai
dari pembatasan tersebut.10

Contohnya seperti dalam penetapan jabatan menteri seperti dari Partai


Nasdem adalah Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Menteri
Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, serta Menteri Pertanian Syahrul Yasin Lim
po. Hal tersebut menggambarkan bahwa adanya campur tangan dari koalisi partai
politik. Sehingga, perlu adanya perubahan sistem terkait pembatasan jabatan yang
melibatkan partai politik.
Terkait dengan perubahan sistem pengisian jabatan 40% dari kalangan politisi
dan 60% kalangan profesional diperjelas oleh presiden republik Indonesia yaitu
bapak Jokowi bahwa kalangan profesional terdiri atas usia 25 sampai 35 tahun untuk
memduduki posisi kementerian negara. Selain kementerian negara,presiden juga
menjelaskan bahwa jaksa agung tidak dipilih dari kalangan politisi.

8
Alice Ristroph, Proportionality. Op.Cit, Hal 292-293
9
Vicky Jackson, “Constitutional Law in an Age of Proportionality”, Yale Law Jurnal, 124, 2015.
10
Imer Flores, ‘Proportionality in Constitutional and Human Rights Interpretation’, Georgetown
Public Law and Legal Theory Research Paper, 2013, hlm. 102-103.

11
Akan tetapi, Jokowi kemudian menyatakan bahwa parpol-parpol koalisi non-
parlemen seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia (PKPI), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan Indonesia (Perindo)
dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) akan diberi opsi jabatan wakil menteri.

2.1.1.2 Lembaga Kementerian adalah Lembaga Negara


Jimly Asshidiqie menjelaskan bahwa konsep organ negara dan lembaga
negara adalah sangat luas maknanya, sehingga sesuai perkembangan tata negara saat
ini, lembaga negara dan organ negara tidak dapat dipersempit hanya pada pengertian
ketiga cabang kekuasan seperti yang dimaksud Montesquieu. Oleh karenanya,
terdapat beberapa pengertian yang mungkin, yaitu:

1. Organ negara paling luas mencakup setiap individu yang menjalankan fungsi
law-creating dan law-applying;
2. Organ negara dalam arti luas tetapi lebih sempit dari pengertian pertama, yaitu
mencakup individu yang menjalankan fungsi law-creating dan law-applying dan
juga mempunyai posisi sebagai atau dalam struktur jabatan kenegaraan atau
jabatan pemerintahan;
3. Organ negara dalam arti yang lebih sempit, yaitu badan atau organisasi yang
menjalankan fungsi law-creating dan law-applying dalam kerangka struktur dan
sistem kenegaraan atau pemerintahan. Dalam pengertian ini, lembaga negara
mencakup pengertian lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU,
Peraturan Presiden, ataupun oleh keputusan-keputusan yang tingkatannya lebih
rendah, baik di tingkat Pusat ataupun di tingkat daerah;
4. Organ atau lembaga negara yang lebih sempit lagi adalah hanya terbatas pada
pengertian lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU atau
oleh peraturan yang lebih rendah dan lebih mencakup pula pada lembaga negara
tingkat pusat dan lembaga negara tingkat daerah;
Untuk memberikan kekhususan kepada lembaga-lembaga negara yang berada di
tingkat pusat yang pembentukannya diatur dan ditentukan oleh UUD 1945, maka

12
lembagalembaga seperti MPR, DPR, MA, MK dan BPK dapat pula disebut sebagai
lembaga negara yang tersendiri, yaitu lembaga negara dalam arti sempit.11

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan lebih dari 34


buah lembaga, baik yang hanya disebut secara eksplisit maupun yang disebut dengan
implisit dan diatur keberadaannya dalam UUD 1945. Lembaga negara ini ada yang
mendapatkan kewenangannya dari UU, dan ada pula yang mendapatkan
kewenangannya dari UUD, misalnya Komisi Yudisial, TNI, Kepolisian RI.
Sedangkan lembaga yang kewenangannya bersumber dari UU, misalnya Komnas
HAM, Komisi Informasi, dan sebagainya. Berdasarkan dasar pembentukannya
kedudukan kedua jenis lembaga negara tersebut sebanding satu sama lain walaupun
kedudukannya tidak lebih tinggi, tetapi keberadaannya disebutkan secara eksplisit
dalam undang-undang, sehingga tidak dapat ditiadakan atau dibubarkan hanya karena
kebijakan pembentukan undang- undang. Lembaga-lembaga negara sebagai organ
konstitusi lapis kedua itu adalah Menteri Negara, TNI, Kepolisian RI, Komisi
Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Menurut pasal 8 ayat 3 UUD 1945 yang
berbunyi “Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan,
pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri,
dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari
setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang
pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama
dan kedua dalam pemilihan
umum sebelumnya, sampai berakhir  masa  jabatannya.****)12
Presiden membentuk kementerian luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan,
sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI Tahun 1945.50 Presiden membentuk
kementerian yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945 dan

11
Substantia, Volume 16 Nomor 2, Okotber 2014
12
Undang-Undang Dasar 1945

13
dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah, dengan
mempertimbangkan:

(a) efisiensi dan efektivitas;


(b) cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas;
(c) kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas; dan/atau
perkembangan lingkungan global. Untuk kepentingan sinkronisasi dan koordinasi
urusan kementerian, Presiden dapat membentuk kementerian koordinasi Bank
sentral.13

2.1.2 Pemerintahan Daerah


Pasal 18
1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiaptiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undangundang. **)
2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. **)
3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotaanggotanya dipilih melalui pemilihan
umum. **)
4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. **)
5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat. **)
6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
**)

13
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara

14
7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang. **)
Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 menyebutkan tujuan Negara Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Bertitik tolak dari tujuan negara tersebut, dapat disimpulkan bahwa Indonesia
mengarah kepada negara welfare state. Artinya negara dengan otoritas yang
dimilikinya wajib melaksanakan tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat Indonesia.

Dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state), negara dituntut memperluas


tanggung jawabnya kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat
banyak. Negara perlu dan bahkan harus melakukan intervensi dalam berbagai
masalah sosial ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan bersama dalam
masyarakat. Terkait dengan tanggung jawab yang luas tersebut, dilakukan
pemencaran kekuasaan negara dalam 2 (dua) bentuk pemencaran (pembagian)
kekuasaan negara: yakni (1) pemencaran kekuasaan secara horizontal, dan (2)
pemencaran secara vertikal. Pemencaran secara horizontal menunjukkan bahwa
kekuasaan negara itu dibagi atas tiga cabang kekuasaan, yaitu: (a) kekuasaan
legislatif, (b) kekuasaan eksekutif, dan (c) kekuasaan legislatif. Sementara itu,
pemencaran kekuasaan secara vertikal akan melahirkan pemerintah pusat dan daerah
otonom yang memikul hak desentralisasi.14

Sebelum UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diamandemen,


kewenangan daerah untuk membentuk kebijakan daerah tidak diatur. Setelah UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diamandemen, baru diatur tentang
kewenangan pemerintah daerah dalam membentuk kebijakan daerah.15
14
Juanda. 2004. Hukum Pemerintahan Daerah; “Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara Kepala
Daerah, DPRD, dan Kepala Daerah, Alumni”, Bandung, Hal. 12-16
15
Setiadi, Wicipto. 2014. “Urgensi Reformasi Regulasi Dalam Rangka Mendukung Pembangunan
Nasional”. Majalah Hukum Nasional.

15
Dalam lapangan administrasi negara, konsep kebijakan daerah dikenal dengan
kebijakan publik di daerah. Secara umum, kebijakan publik diartikan sebagai segala
sesuatu yang dipilih untuk dikerjakan dan tidak dikerjakan oleh pemerintah. Konsep
yang lebih luas lagi bila menganalogikan konsep Edward dan Sharkansky, apa yang
dikatakan dan apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah atau apa yang tidak
dilakukan oleh pemerintah daerah dikategorikan sebagai kebijakan publik di daerah.
Artinya kebijakan yang diungkapkan secara verbal oleh daerah dapat dianggap
sebagai kebijakan publik di daerah.16

Menurut Bagir Manan, dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan
kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak
mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregen) dan mengelola
sendiri (zelfbestruren) sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan
untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti
kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan
negara secara keseluruhan.17

Substansi pembagian daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia


diatur dalam pasal 18 ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 yang berbunyi “Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-
undang”. Perubahan ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas pembagian daerah
dalam negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi daerah provinsi dan dalam
daerah Provinsi terdapat Kabupaten dan Kota. Hal ini juga termaktub di dalam pasal
2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Istilah “dibagi atas” (bukan “terdiri atas”) dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1)
bukanlah istilah yang digunakan secara kebetulan. Istilah itu langsung menjelaskan
bahwa negara kita adalah negara kesatuan di mana kedaulatan negara berada di
tangan pusat. Hal ini konsistensi dengan kesepakatan untuk tetap mempertahankan
16
Rusli, Budiman, 2009. “Kebijakan Publik di Daerah, Bimbingan Teknis Peningkatan Kapasitas
Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Way
Kanan Provinsi Lampung”.
17
HR, Ridwan, 2010. Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, Hal 99-100.

16
bentuk negara kesatuan. Berbeda dengan istilah “terdiri atas” yang lebih
menunjukkan substansi federalisme karena istilah itu menunjukkan letak kedaulatan
berada di tangan negaranegara bagian.18

Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
Pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang”, artinya negara Indonesia
terdiri dari beberapa provinsi, kabupaten dan kota sedangkan Pemerintahnya terdiri
dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah. Daerah provinsi, Kabuapten/Kota
merupakan daerah yang otonom, yaitu suatu masyarakat hukum yang mempunyai
batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri.

Pada pasal 18 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Pemerintah daerah provinsi,
daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas perbantuan.” Dalam rangka penyelenggaraan
hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah, dalam
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tepatnya Pasal
10 ditegaskan Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini
ditentukan menjadi urusan Pemerintah Pusat. Pemberian otonomi luas kepada daerah
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu
melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan
memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah
dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat yang meliputi :

18
MPR RI, 2003:102-103

17
1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah;
2. Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut sistem desentralisasi, yang


mempunyai konsekuensi adanya pembagian kekuasaan antar Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Otonomi mencakup beberapa aktifitas yaitu membentuk
perundangan sendiri, dan melakukan urusan-urusan yang telah ditentukan Undang-
undang. Konsep mengenai Pemerintahan daerah dibangun dari teori pembagian
kekuasaan (division of power), terutama antara eksekutif, legislatif, yudikatif dan
konsep negara kesatuan. Pembagian kekuasaan tersebut tidak hanya ada di Pusat
teteapi juga terimplikasi di Pemerintahan daerah, hal itu terbukti dengan adanya
perangkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai legislatif, Gubernur atau Bupati
dan walikota sebagi eksekutif sedangkan yudikatif adanya Pengadilan di Tingkat
daerah. Perangkat daerah tersebut juga berjenjang dan berkordinasi dengan perangkat
di tingkat Pusat. Ajaran check and balances juga berkembang terhadap sistem
pembagian kekuasaan (division of power) di Negara Indonesia, dampaknya lembaga-
lembaga di Indonesia harus ada keseimbangan dan saling mengawasi. Negara
Kesatuan Republik Indonesia menganut sistem desentralisasi yang mempunyai
konsekuensi adannya pembagian kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah. 19

Rumusan pasal 18 sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 mempunyai latar belakang yang dapat diketahui dari catatan
(Notulen) sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 M. Amin selaku anggota PPKI
menyatakan supaya pemerintah Republik Indonesia disusun dengan sedemikian rupa
sehingga diadakan desentralisasi dan dekonsentalisasi sebesar-besarnya pulau-pulau
supaya dibentuk pemerintahan agar rakyat berhak mengurus rumah tangganya sendiri
dengan seluas-luasnya. Selain itu, anggota PPKI Ratulangie menyatakan antara lain
perkataan dekonsentrasi dan desentralisasi artinya supaya seluas-luasnya untuk
mengurus keperluannya menurut pikirannya sendiri, menurut kehendaknya sendiri,
19
Undang-Undang Dasar 1945

18
tentu dengan memakai persetujuan bahwa daerah-daerah itu adalah daerah daripada
Indonesia dan satu Negara.20

Istilah yang seluas-luasnya pada pengertian otonomi adalah tidak tepat karena
pengertiannya cenderung tidak terbatas padahal yang dimaksud adalah otonomi
dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. seperti halnya pendapat Bagir
Manan bahwa setiap Negara kesatuan dapat disusun dan diselenggrakan berdasarkan
asas dan sistem sentralisasi atau desentralisasi. Desentralisasi akan di dapat apabila
urusan mengatur urusan penyelenggaran pemerintah tidak semata-mata dilakukan
oleh satuan-satuan pemerintahan tingkat lebih rendah yang mandiri (Jelstanding)
bersifat otonom (territorial atau fungsional).21

Pasal 18A :

1. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah


provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan
kota, diatur dengan undangundang dengan memperhatikan kekhususan
dan keragaman daerah. **)
2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
undangundang. **)
Konstruksi yang dibangun dalam hubungan Pemerintah Pusat dan
pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalamUU Pemda 2014 merupakan amanat
dari Pasal 18A UUD NRI Tahun 1945, sedangkan kewenangan evaluasi dan
pemantauan oleh DPD terhadap Perda dan rancangan Perda yang ada dalam UU MD3
merupakan amanat dari Pasal 22D Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang
menyebutkan: “Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas konteks
pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya dalam pembentukan
Perda. Menimbulkan pertanyaan kemudian bagaimana implikasi dari dualisme
pengawasan terhadap rancangan Perda yang notabene saat ini telah relatif mapan
20
Arif Mujadhi. 2005. “Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan RI”.
Jakarta: Prestasi Pustaka. Hal 34

21
agir Manan. 2001. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyarkarta: Pusat Studi Hukum (PSH),
Fakultas Hukum UI. Hal 147.

19
dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat walaupun dalam lingkup yang terbatas,
kemudian akan ditambah pula pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi
daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama
serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.22

Perda pada dasarnya tidak memiliki implikasi terhadap kepastian hukum


pengawasan rancangan Perda, walaupun berpotensi menimbulkan Pusat dan
Gubernur (sebagai wakil Pemerintah Pusat) sesuai dengan lingkup kewenangannya
menjadi penentu berlaku tidaknya suatu rancangan Perda, walaupun hanya terbatas
pada lingkup tertentu, yaitu terkait RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD,
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata
ruang daerah, serta beberapa lingkup yang telah diperluas dalam Pasal 91 Ayat (3)
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah, yaitu rencana pembangunan industri, dan pembentukan,
penghapusan, kebingungan pada tataran aparatur pemerintahan daerah.
Lingkup evaluasi rancangan Perda yang terbatas. Pemerintah daerah
mekanisme evaluasi rancangan Perda yang terlalu singkat. Dalam proses evaluasi
rancangan Perda, secara normatif mengacu pada ketentuan Pasal 245 UU Pemda
2014. Evaluasi dikelompokkan ke dalam beberapa jenis, tergantung jenis rancangan
Perda yang terkait. Evaluasi rancangan Perda tentang RPJPD dan RPJMD diatur
dalam Pasal 267 sampai dengan Pasal 271, evaluasi rancangan Perda tentang APBD
diatur dalam Pasal 314 sampai dengan Pasal 315 yang berlaku mutatis mutandis
terhadap rancangan Perda tentang Perubahan APBD, evaluasi rancangan Perda pajak
daerah dan retribusi diatur dalam Pasal 324 sampai dengan Pasal 326, yang berlaku
mutatis mutandis terhadap rancangan Perda tentang tata ruang daerah sebagaimana
diatur dalam Pasal 400 UU Pemda 2014. Khusus untuk evaluasi Perda tentang

22
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

20
rencana pembangunan industri baru dimuat secara spesifik dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 97 Tahun 2017 pada dasarnya memiliki kapasitas kewenangan
yang sangat luas tergantung sejauh mana urusan pemerintahannya diintegrasikan
dalam kebijakan daerah. Tentu dalam menentukan lingkup pengaturan kebijakan
tersebut, tergantung pada kondisi dan kebutuhan masyarakat di daerah.23

Secara substansial Undang-Undang yang disebutkan diatas mengatur tentang


bentuk susunan penyelenggaraan daerah. Secara normatif UndangUndang tersebut
telah mampu mengikuti perkembangan perubahan pemerintah daerah sesuai dengan
zamannya. Secara empiris Undang-Undang tersebut dalam penyelenggaran
pemerintahan daerah sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dimana Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1974 dan Undang-Undang sebelumnya memberikan implikasi terhadap
kedudukan dan peran formal eksekutif yang lebih dominan dari legislatif daerah.
Pasal 18B:
1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undangundang. **)
2. Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat
hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang. **)
Pasal 18 B, prinsip –prinsip yang dimuat dalam Pasal-Pasal UUD 1945 tersebut di
atas, harus dimuat dalam pembentukan UU Pemerintahan Daerah, seperti prinsip;
Pembagian daerah yang bersifat hirarkis, prinsip otonomi dan tugas pembantuan,
prinsip demokrasi, prinsip otonomi seluas-luasnya, prinsip hubungan wewang,
prinsip hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam,
prinsip pengakuan daerah yang bersifat khusus, dan prinsip pengakuan eksistensi dan
hak-hak tradisional masyarakat desa24.

23
Nizar Apriansyah. Peran Pemerintahan dalam Pembentukan Kebijakan Hukum. Jurnal Ilmiah
Kebijakan Hukum 10, No. 2 (2016) Hal 190.

24
Ilyas, Husin. Implikasi Pengalihan Sistem Pemerintahan Sentralistik Ke Sistem Otonomi Daerah
Terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.

21
Pasal 18 B Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945 mengatur terkait
perlindungan hukum terhadap warga masyarakat dan penghormatan hak masyarakat
atas penegakan sumberdaya alam dan sumber daya manusia di daerah masing-masing
Berdasarkan Pasal 18B ayat 1, Indonesia mengakui dan menghormati keberadaan
berbagai satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau istimewa baik itu provinsi,
kabupaten dan kota, maupun desa. Contoh satuan pemerintahan yang bersifat khusus
adalah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sedangkan untuk contoh satuan
pemerintahan bersifat istimewa adalah Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta dan Daerah
Istimewa (DI) Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Berdasarkan Pasal 18B ayat 2 Indonesia mengakui dan menghormati satuan
pemerintahan di tingkat desa seperti gampong di Aceh, nagari di Sumatera Barat,
dukuh di Jawa, desa dan banjar di Bali serta berbagai kelompok masyarakat di
berbagai daerah hidup berdasarkan adat dengan hak-haknya seperti hak ulayat, tetapi
dengan syarat bahwa kelompok masyarakat hukum adattersebut benar-benar ada dan
hidup, bukan dipaksa-paksakan ada maupun bukan dihidup-hidupkan. Oleh karena
itu, dalam pelaksanaannya, kelompok itu harus diatur lebih lanjut dalam peraturan
daerah yang ditetapkan oleh DPRD. Selain itu, penetapan itu tentu saja dengan suatu
pembatasan, yaitu tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara kesatuan

2.1.2.1 Konsep Pembagian Negara Indonesia


Bentuk negara meliputi negara kesatuan, federasi, dan konfederasi. Jika
dilihat dari bentuk negara yang berlaku umum di dunia maka bentuk negara secara
umum dibagi menjadi 2 yaitu:

1. Negara kesatuan, merupakan bentuk negara yang sifatnya tunggal dan tidak
tersusun dari beberapa negara yang memiliki kedaulatan, tidak terbagi, dan
kewenangannya berada pada pemerintah pusat. Conroh negara yang berbentuk
kesatuan adalah Indonesia, Filipina, Thailand, Kamboja dan Jepang.
2. Negara federasi atau serikat, adalah negara bersusunan jamak, terdiri atas
beberapa negara bagian yang masing-masing tidak berdaulat. Conroh negara

Jurnal Konstitusi (4) 1. Januari 2015. Hal 87

22
yang berbentuk federasi adalah Amerika Serikat, Malaysia, Australia, Kanada,
Meksiko, Irlandia, New Zealand, India.
Bentuk negara yang dianut oleh Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan RI
tanggal 17 Agustus 1945 adalah kesatuan. NKRI adalah negara yang berbentuk
kesatuan dengan bentuk pemerintahan republik dengan nama negara Indonesia. Hal
tersebut dijelaskan dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi “Negara Indonesia ialah
negara kesatuan, yang berbetuk republik”, dan ayat (2) :”Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”. Kedaulatan di tangan
rakyat, artinya Indonesia menganut sistem demokrasi dalam menjalankan
pemerintahannya. Dalam negara demokrasi kekuasaan tertinggi berada di tangan
rakyat.

Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
Pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang”, artinya negara Indonesia
terdiri dari beberapa provinsi, kabupaten dan kota sedangkan Pemerintahnya terdiri
dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah. Daerah provinsi, Kabuapten/Kota
merupakan daerah yang otonom, yaitu suatu masyarakat hukum yang mempunyai
batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. Pada pasal 18 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi
“Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan.” Dalam
rangka penyelenggaraan hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah daerah, dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah tepatnya Pasal 10 ditegaskan Pemerintah Daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan
Pemerintah Pusat. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,

23
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas,
daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip-
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi
dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.25
Dengan demikian, jelas bahwa penyerahan urusan pemerintahan oleh Pusat
kepada Daerah sebagai urusan rumah tangga daerah merupakan kosekuensi dianutnya
prinsip desentralisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun
1945. Hakekat dari negara kesatuan adalah negara yang kedaulatannya tidak terbagi,
atau dengan kata lain, negara yang kekuasaan pemerintah pusatnya tidak terbatas
karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan pembuat undang-
undang selain badan pembuat undang-undang pusat.
Konsep pembagian kekuasaaan secara vertikal yang didasarkan pada asas
desentralisasi, melahirkan pemerintahan daerah yang otonom. Pola pembagian
kekuasaan tersebut tentunya menjadi dasar dalam hubungan antara pemerintah pusat
dan daerah. Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas
otonomi dan tugas pembantuan.26

2.2 Arah Otonomi Daerah


Sentralisasi adalah pengaturan kewenangan dari pemerintah daerah
kepada pemerintah pusat untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri
berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan
Republik Indonesia. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian
yang secara sederhana di definisikan sebagai pengaturan kewenangan. Di Indonesia
sistem sentralisasi pernah diterapkan pada zaman kemerdekaan hingga orde baru.

25
jurnal.untag-sby.ac.id
26
Rizki Agung Novariyanto. Konsepsi dan Implementasi Sishankamrata Sebagai Sistem Pertahanan
Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945-1998. (2013)

24
Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil
manajer atau yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Sentralisasi
banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi
daerah. Kelemahan dari sistem sentralisasi adalah di mana seluruh keputusan dan
kebijakan di daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat,
sehingga waktu yang diperlukan untuk memutuskan sesuatu menjadi lama. Kelebihan
sistem ini adalah di mana pemerintah daerah tidak terlalu terbebani pada
permasalahan yang timbul akibat perbedaan pengambilan keputusan atau pendapat,
karena seluruh keputusan dan kebijakan dikoordinasi seluruhnya oleh pemerintah
pusat.
Desentralisasi adalah penyerahan Kekuasaan Pemerintahan oleh Pemerintah
Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. pengertian ini sesuai dengan
Undang-undang nomor 23 tahun 2014. Dengan adanya desentralisasi maka muncul
otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah
dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan
kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi
akhir-akhir ini sering kali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan
adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di
Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa desentralisasi berhubungan
dengan otonomi daerah. Sebab, otonomi daerah merupakan kewenangan suatu daerah
untuk menyusun, mengatur, dan mengurus daerahnya sendiri tanpa ada campur
tangan serta bantuan dari pemerintah pusat. Adanya desentralisasi akan berdampak
positif pada pembangunan daerah-daerah tertinggal dalam suatu negara hingga daerah
otonom tersebut dapat mandiri dan secara otomatis dapat memajukan pembangunan
nasional.27
Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah
otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah

27
Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Pergerian Tinggi ( Yogyakarta: Paradigma, 2016 ),
hlm. 99.

25
kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah provinsi.
Pelaksanaan otonomi daerah sejak reformasi sampai dengan sekarang banyak
kemajuan yang telah dicapai. Otonomi daerah telah memberikan solusi untuk
mondorong kemajuan pembangunan daerah. Muara dari pelaksanaan otonomi daerah
adalah terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,serta
partisipasi aktif masyarakat akan tetapi,perkembangan pelaksanaan otonomi daerah
yang cukup signifikan telah kita rasakan seperti:
1. Otonomi daerah secara nyata telah mendorong budaya demokrasi di
tengah-tengah kehidupan masyarakat. Otonomi daerah juga telah
mampu memberikan nuansa baru dalam sistem pemerintahan daerah,
dari sentralistik birokratis ke arah desentralistik partisipatoris, dengan
tetap dalam kerangka negara kesatuan republik indonesia.
2. otonomi daerah telah menumbuhkembangkan iklim kebebasan
berkumpul, berserikat serta mengemukakan pikiran secara terbuka
bagi seluruh masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dapat
berpartisipasi secara aktif untuk turut serta membangun daerahnya.
3. dengan desentralisasi yang telah berjalan selama ini , maka berbagai
kebijakan yang menyangkut keentingan masyarakat, tidak lagi harus
melalui proses panjang dan berbelit-belit tetapi menjadi sangat efisien
dan reponsif. Melalui kebijakan desentralisasi, pemerintahan daerah
telah diberikan kewenangan yang lebih luas dalam mengelola dan
menggarap potensi ekonomi yan ada di daerah. Dengan demikian,
maka berbagai aktifitas ekonomi di daerah dapat bertumbuh dengan
pesat.28
Kekuasaan para penguasa pada abad XVII maupun abad XVIII masih bersifat absolut
dan masih dilaksanakannya azas sentralisi (urusan pemerintah milik pemerintah
pusat) dan azas konsentrasi (segala kekuasaan serta urusan pemerintahan

28
Wasisto Raharjo, “Inkonsistensi Paradigma Otonomi daerah di Indonesia”, 2012, Yogyakarta,
Hal.23-24

26
dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat). Dalam perkembangannya yang
dikarenakan perkembangan pesat yang terjadi dalam suatu negara, yaitu semakin
luasnya wilayah, urusan pemerintahan semakin kompleks, serta warga negaranya
semakin banyak dan heterogen, maka di berbagai negara telah dilaksanakan azas
dekonsentrasi ( pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-
pejabatnya di daerah) dalam rangka penyelenggaraan pemeintahan di daerah. Dalam
perkembangannya lebih lanjut juga dibeberapa negara telah dilaksanakan azas
desentralisasi ( penyerahan urusan dari pemerintah pusat ke daerah otonom) untuk
menjadi urusan rumah daerah otonom itu.29
Pelaksanaan asas desentralisasi inilah yang melahirkan daerah-daerah
otonom. Daerah otonom dapat mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Secara etimologi, Otonomi berasal dari bahasa Yunani autosyang artinya
sendiri, dan nomos yang berarti hukuman atau aturan, jadi pengertian otonomi adalah
pengundangan sendiri. Otonomi, menurut Ateng Syafruddin,adalah kebebasan dan
kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian
itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.30

Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya memaksimalkan


hasil yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan hal-hal yang
menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian tuntutan masyarakat
dapat diwujudkan secara nyata dengan penerapan otonomi daerah dan kelangsungan 
pelayanan umum yang tidak diabaikan.
Menurut hasil evaluasi kami bahwa paradikma tentang otonomi daerah masih
menjadi perdebatan yang belum berakhir dan tidak akan pernah berakhir selain
halnya masalah keilmuan yang belum menemukan titik temu, hambatan lainnya yang
muncul faktor riil yang terjadi di lapangan. Kebijakan desentralisasi otonomi daerah
yang berlangsung di Indonesia masih setengah hati. Hal tersebut dapat dilihat dari

29
Jimly Asshidiqie, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, 2006,
hlm.40.Evy Trisulo D., “Kajian Kelembagaan Sekretariat Komisi Informasi”, 2015 (Jakarta Pusat),
hlm. 12-16.

30
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

27
pola zigzag antara sentralisasi dan desentralisasi dalam menyusun paradikma otonomi
daerah. Telah menjadi fakta historis bahwa sentralisasi sendiri melekat dalam sistem
pemerintahan maupun bentuk negara Indonesia menganut sistem presidensialisme
dan negara kesatuan kedua hal tersebut mengharuskan sentralisasi diletakkan dalam
kekuasaan pusat untuk menjamin stabilisasi sosial dan politik negara namun
demikian, pada praktiknya kemudian hal tersebut memicu daerah bergejolak karena
selama ini ketimpangan antara pusat dan daerah utamanya dalam isu ekonomi
maupun sosial budaya.

Desentralisasi otonomi daerah yang esensinya adalah federal arrangement Federal


arrangement atau pengaturan yang bersifat Federalistis dicetuskan oleh pusat untuk
meredam gelombang ketidakpuasan maupun separatisme daerah dengan mengangkat
isu pengalihan kekuasaan, dan redistribusi pendapatan, pengakuan identitas sebagai
isu strategis.

Dengan mengangkat tema demokrasi yang mensejahterakan sebagai paradigma


mendasar diharapkan desentralisasi otonomi daerah akan mensejahterakan dan
meninggikan angka partisipasi masyarakat di aras lokal dalam pembangunan daerah.
Namun dalam realitanya, paradigma demokrasi yang mensejahterakan tersebut tidak
dilaksanakan dengan semestinya. Praktiknya yang terjadi lapangan otonomi daerah
justru melahirkan rezim oligarkis berbasis nepotisme, politik klientelisme, semangat
neo-primordialisme, serta kolusi dan korupsi yang kian terdesentralisasi merata di
daerah. Hal itu terjadi dikarenakan adanya kontestasi kepentingan antara elite pusat
dan daerah sehingga tujuan sebenarnya otonomi daerah untuk mensejahterakan
masyarakat kian jauh dari harapan.

Dengan melihat berbagai fakta yang terjadi di lapangan tersebut, prospek otonomi
daerah untuk menuju masyarakat lokal yang sejahtera masih jauh sekali untuk
digapai. Para elite pusat dan daerah yang justru disejahterakan oleh otonomi daerah,
namun hasilnya tidak merembes ke bawah. Jika sudah demikian adanya, akan
sangatlah sulit mengharapkan otonomi daerah menjadi jalan keluar bagi kesejahteraan

28
masyarakat. Beberapa kalipun ada proses revisi UU Pemerintahan Daerah, namun
substansinya masih menyenangkan elite daripada masyarakat. Sama saja otonomi
daerah hanyalah rekayasa politik untuk menyembunyikan kepentingan politik
tertentu. Diperlukan adanya kesadaran bersama baik itu pusat, daerah, maupun
masyarakat bahwa otonomi daerah harus kembali pada jalannya semula yakni
mensejahterakan masyarakat. Jika semua pihak belum sadar, otonomi daerah sama
saja dengan retorika politik yang menghabiskan banyak anggaran negara.31
2.2.1 Evaluasi Implementasi Undang -undang turunan Bab V Kementerian
Negara dan Bab VI Pemerintahan Daerah
Konstitusi adalah instrumen penting dalam bernegara. Tanpa sebuah
konstitusi, sebuah negara tidak akan berdiri dengan tegak. Konstitusi sebagai
barometer kehidupan bernegara dan berbangsa. UUD 1945 adalah dokumen tertulis
yang memuat tentang norma-norma kehidupan. Stabilisasi suatu negara diapat
terbentuk dari segi pembangunan nasional karena terdapat regulasi atau peraturan
perundang-undangan yang terdapat di Indonesia.32
Dalam sebuah kehidupan kenegaraan, peraturan perundang-undangan, seperti
UUD 1945 hingga dengan peraturan daerah disusun oleh lembaga yang berwenang
dengan proses penyusunan yang berbeda. Setiap negara membutuhkan sistem
pemerintahan sebagai instrumen kenegaraan dalam rangka mewujudkan tujuan
masing-masing negara, demikian halnya dengan negara Indonesia. Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara yang berbentuk kesatuan yang
berbentuk Republik,1 di mana dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan
bernegara dipimpin oleh seorang Presiden sebagai kepala negara yang sekaligus juga
sebagai kepala pemerintahan. Presiden merupakan salah satu aktor penting pengerak
roda kehidupan ketatanegaraan untuk mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana
yang tertuang dalam pembukaan UUD NRI 1945 alinea ke-IV, yakni memajukan
kesejahteraan umum, mencerdsakan kehidupan bangsa, melindungi segenap bangsa
Indonesia, serta berpartisipasi aktif dalam mewujudkan ketertiban dunia.
2.2.1.1 Undang – undang nomor 39 tahun 2008 tentang kementerian negara
Menurut hasil evaluasi kami terhadap undang – undang nomor 39 tahun 2009
perlu ada beberapa evaluasi terkait beberapa pasal yaitu:
Pasal 14

31
Irwan Waris, “Pergeseran Paradigma Sentralisasi ke Desentralisasi”, Maret, 2012, Hal 24-26
32
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965

29
Untuk kepentingan sinkronisasi dan koordinasi urusan Kementerian, Presiden
dapat membentuk Kementerian koordinasi.

Menurut evaluasi kami pada pasal tersebut bahwa presiden membentuk


sebuah kementerian kordinator untuk membawahi menteri menteri sesuai bidangnya
sehingga seharusnya seluruh menteri harus sejalan dengan kementerian
koordinatornya masing-masing. Akan tetapi terjadi beberapa masalah dilintas
kementerian di era kementerian presiden Jokowi hal ini diakibatkan tidak peraturan
perundang undang atau ketentuan hukum yang mengatur mengenai masalah

koordinasi antara kementerian negara baik koordinasi yang dilakukan oleh


kementerian Koordinator maupun koordinasi antar kementerian diluar kementerian
Koordinator dengan kementerian yang berada di bawah kementerian Koordinator
lain. Oleh karena itu, Masalah koordinasi antar kementerian yang dikoordinasikan
melalui kementerian koordinator menjadi sangat penting untuk menjamin terciptanya
pelaksanaan tugas yang efektif dari setiap kementerian yang berada di bawah
kementerian koordinator. Akan tetapi masalah yang kemudian muncul adalah di
peraturan presiden nomor 7 tahun 2015 tentang organisasi kementerian dijelaskan
bahwa kementerian koordinator hanya bentuanggungjawab terhadap kementerian
yang menjadi bidang Koordinasinya. hal ini yang kemudian menimbulkan masalah
tertkait dengan koordinasi antar kementrian dimana kementrian koordinator tidak
dapat melakukan koordinasi terhadap kementerian yang berada di luar bidanngnya.

Dengan demikian, maka menjadi suatu hal yang penting untuk diperbaiki
mengenai mekanisme koordinasi antar kementrian. hal tersebut membutuhkan
koordinasi sehingga setiap peraturan (kebijakan) yang dikeluarkan oleh para menteri
tidak mengalami konflik norma maupun kebijakan. Mengenai wewenang dan
mekanisme koordinasi presiden dan wakil presiden dan kementerian masih
membutuhkan kajian yang lebih komprehensif. Oleh karena itu, melalui Makala ini
akan diuraikan menganai masalah-masalah koordinasi antar Kementrian dan juga
mengenai mekanisme koordinasi Kementrian guna mewujudkan Kabinet yang efektif
di bawah Presiden sebagai kepala pemerintahan.

30
Khusus mengenai Kementerian Koordinator, pada pasal 5 ayat 1 dikatakan bahwa
Kementerian

Kelompok I atau Kementerian Koordinator menyelenggarakan fungsi:

a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya;

b. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya;

c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya; dan


d. Pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.
Pasal 23
Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:

a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau

c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara


dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.

Menurut hasil evaluasi kami bahwa rangkap jabatan dikalangan kementerian


bertentangan dengan teori kekuasaan. Pemberian kekuasaan yang lebih akan
cenderung akan membuat orang melakukan tindakan diluar batas yang dimilikinya,
sehingga berdampak pada perbuatan penyalahgunaan kekuasaan.
Konsekuensi dari rangkap jabatan lainnya ialah adanya konflik kepentingan,
apalagi rangkap jabatan yang dimaksud ialah diangkatnya jajaran menteri dari ketua
umum partai politik. Dampaknya penyelenggaraan pemerintah oleh menteri yang
diangkat melalui hal tersebut sudah jelas memiliki tujuan yang bersifat politis.
Pertentangan itu dikhawatirkan tidak dapat membedakan kepentingan publik sebagai
Menteri dengan kepentingan partai sebagai ketua umum partai politik. Diungkapkan
oleh Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Syamsuddin Haris dan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia. Yakni, intinya

31
ketidak setujuan adanya rangkap jabatan ketua umum partai politik menjadi menteri,
dampak dari hal tersebut adalah menimbulkan akan rentan terhadap adanya
konflik kepentingan nantinya.
Rangkap jabatan akan rentan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Lord
Acton berpendapat tentang teori kekuasaan, yakni “Power tends to corrupt, and
absolut power corrupts absolutely” bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan akan
cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaannya, tetapi kekuasaan yang tidak
terbatas (absolut) atau berlebih cenderung akan disalahgunakan. Artinya, kekuasaan
bersifat cenderung orang akan melakukan tindakan-tindakan penyalahgunaan
kekuasaan. Hal ini menunjukan kecenderungan ketika memiliki posisi jabatan
menteri dan merangkap sebagai ketua umum partai politik akan rawan terjadi konflik
kepentingan (conflict of interest), rawan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power), dan rawan terjadi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). 33
Menteri yang rangkap jabatan dengan ketua umum partai politik seharusnya
tidak diperbolehkan karena memiliki jabatan yang sangat penting di pemerintahan.
Apalagi dengan jabatannya menteri membantu presiden dalam menjalankan
pemerintahan. Pun para menteri diamanahi untuk membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan. Sehingga hal ini sangat penting dikaji terkait urgensi larangan rangkap
jabatan tersebut. Dilihat dari bunyi pada pasal 23 huruf (b) yang menjelaskan bahwa
menteri dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan
negara atau perusahaan swasta. Undang-undang Kementerian, secara historis
dibentuk agar dapat menghindari adanya rangkap jabatan seperti yang telah terjadi di
penyusunan kementerian. menurut hemat penulis jika ditelaah secara mendalam
terkait larangan pejabat menteri yang merangkap sebagai komisaris atau direksi
merupakan suatu bentuk tindakan yang sangat tepat. Dikarenakan jabatan komisaris
dan direksi pada suatu perusahaan akan membuat rentan akan terciptanya konflik
kepentingan. Hubungan jabatan tersebut dikhawatirkan menimbulkan dampak
penyalahgunaan terhadap kekuasaaanya sebagai menteri. Menteri sebagai pejabat
33
Disamping itu lembaga kepresidenan juga termasuk Lembaga Non-Struktural, Lembaga Negara
Setingkat Menteri, dan lain sebagainya.

32
yang menjalankan pemerintahan sekaligus menjalankan programnya. Timbulnya
benturan kepentingan (conflict of interest) mengakibatkan tidak maksimalnya pada
jabatan sebagai menteri yang utamanya harus mementingkan kepentingan publik.

2.2.1.2 Isu Terkait Koordinasi dan Sinkronisasi Lembaga Kementerian Negara

Dalam konstitusi negara kita, cita negara hukum menjadi suatau hal yang tak
terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan.
Meskipun daam pasal pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide negara hukum itu
tidak di rumuskan secara eksplisit, tetapi dalam penjelasan ditegaskan bahwa
Indonesia manganut ide rechtsstaat, bukan machsstaat. Kepustakaan Indonesia, istilah
negara hukum merupakan terjemahan langsung dari rechtsstaat. Notohamidjojo
mengemukakan bahwa dengan timbulnya gagasan-gagasan pokok yang dirumuskan
dalam konstitusi-konstitusi dari Abad IX itu, maka timbul juga istilah negara hukum
atau rechtsstaat. Adapun pendapat dari Djokosoetono, yang mengatakan, “Negara
hukum yang demokratis sesungguhnya istilah ini adalah salah, sebab kalau kita
bilangkan Democratische Rechtsstaat, yang penting dan primair adalah Rechtsstaat”.
Selanjutnya ia mengatakan, “Sekarang perkembangan daripada negara hukum yang
dalam lapangan politik dan ilmu pengetahuan di Indonesia selalu diabaikan, tidak
diketahui bahwa ada beberapa macam negara hukum.34 Ini adalah perkembangan dari
bangunan Staat type Rechtsstaat dalam tiga tingkatan :Formele Rechtsstaat,Liberale
Rechtsstaat, dan Materiele Rechtsstaat. Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh menteri-menteri negara yang
membidangi urusan tertentu di bidangpemerintahan. Setiap menteri memimpin
kementeriannegara untuk menyelenggarakan urusan tertentudalam pemerintahan
guna mencapai tujuan Negara sebagaimana diamanatkan dalam PembukaanUndang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa sesuai ketentuan Pasal
17 ayat (4) UUD 1945. Keberadaan Kementerian Negara Republik Indonesia diatur
34
Hendar Riyadi, “Koeksistensi damai dalam masyarakat muslim modemis”, Wawasan : Jurnail
Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, no. 1 (2016) : 18

33
secara tegas dalam Pasal 17 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan:35
1. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
2. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
3. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
4. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam
undang-undang
Dengan sentralnya peran kementerian mewujudkan tujuan negara, maka
menjadi suatu hal yang penting dalam tugas menteri mewjudkan tujuan negara adalah
memastikan jalannya kinerja kementerian yang dipimpinya maksimal tanpa adannya
benturan fungsi maupun program kerja yang telah disusun secara matang dan baik
dalam peta bisnis setiap kementerian. Demikian halnya dengan kementerian
koordinator, dalam menjalankan fungsi koordinasi maupun singkronisasi harus
berbasis pada peta bisnis yang telah disusun. Namun, meskipun dalam  menjalangkan
tugasnya sebagai kementerian koordinator, tidak jarang terdapat benturan fungsi
dengan kementerian lain yang berada dalam bidang kementerian koordinator, hal ini
di karenakan kedudukan setiap kementerian dalam struktur Kabinet adalah setara atau
seimbang, artinya walaupun kementerian koordinator dalam menjalankan fungsi
sebagai koordinasi dan singkronisasi lintas kementerian yang berada dalam
bidangnya masing-masing, bukan berarti kedudukan kementerian lain di bawah
kementerian koordinator.36 Masalah selanjutnya adalah bahwa ada batasan yang telah
yang jelas dalam peraturan perundang undang mengenai fungsi koordinasi maupun
singkronisasi oleh Kementerian Kooordinator, dimana Kementerian Koordinator
dalam menjalankan fugsinya dibatasi hanya pada bidangnya masing-masing. Artinya
kementerian koordinator tidak bisa menjalankan fungsi secara maksimal dalam
mengoptimalkan koordinasi lintas kementerian. Dengan adanya batasan ini, maka jika
terdapat benturan program kerja maupun kebijakan lintas kementerian yang37 berbeda

35
Sahri, “Radikalisme Islam di Perguruan Tinggi Perspektif Politik Islam”, Al-Daulah: Jurnal Hukum
dan Perundangan Islam, vol. 6, no.1, 2016, 239.
36
Greg Barton in The Combating Terorrism…, 36.
37
Haedar Nashir, Islam Syarikat, (Jakarta: Mizan, 2013), 279.

34
kementerian koordinator bisa saja menjadi masalah dalam optimalisasi kinerja
kementerian masing-masing. Dengan demikian, maka peran 44kementerian
koordinator dalam mengatasi masalah disharmoni program maupun kebijakan yang
dijalankan oleh kementerian masing-masing akan semakin penting dalam memastikan
lembaga kementerian berjalan baik dan terarah sesuai dengan peta bisnis yang telah
disusun oleh masing-masing kementerian. 38 Namun, terbatasanya fungsi kementerian
koordinator manjadi masalah dalam menjalangkan fungsi koordinasi maupun
singkronisasi. Hal ini tidak terlepas dari tidak adanya mekanisme yang jelas secara
normatif terkait dengan fungsi koordinasi maupun singkronisasi lintas kementerian
baik yang berada dalam satu bidang maupun yang berbada bidang kementerian
koordinator. Oleh karena itu, Urgensi Pengaturan Hukum Terkait Mekanisme
Koordinasi, dan Singkronisasi Lembaga Kementerian Negara antara lain.

2.2.1.3 Isu Terkait Pembatasan Jabatan


a. Mempertegas Prinsip Negara Hukum
Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum sebagaimana amanat
konstitusional yang tertung di dalam pasal 1 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945,
konsekuensi logis dari hal tersebut adalah bahwa dalam menjalankan roda
pemerintahan harus di dasarkan pada ketentuan hukum, dimana negara hukum
berarti pemenuhan asas legalitas menjadi suatu hal yang wajib, termasuk
mengenai mekanisme koordinasi maupun singkronisasi lembaga kementerian
negara harus diatur agar kementerian berjalan secara maksimal dan efektif guna
tertib pelaksaan fungsi kementerian, agar berjalannya fungsi kementerian tidak
disesuaikan dengan selera masing-masing menteri karena aturan hukum mengenai
mekanisme koordinasi maupun singkronisasi lembaga kementerian negara telah
dinormakan dan mempunyai konsekuensi hukum.
b. Penguatan Lembaga Kementerian Negara
Lembaga kementerian negara merupakan suporting sistem dari presiden, artinya
kementerian menjadi sub ordinat presiden dalam menjalankan berbagai macam
program pembangunan yang telah menjadi bidangnya masing-masing
38
Haedar Nashir, Islam Syarikat…, 280.

35
sebagaimana yang telah di amantakan di dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun
yang di amanatkan di dalam Perturan perundang-undang sebagai perintah
pelaksana konstitusional yang harus dijalankan oleh presiden khsusunya lembaga
kementerian negara sebagai pelaksana atau eksekutor dari program pemerintah
yang telah disusun oleh presiden bersama-sama dengan para menteri sebagai
pembantu presiden. Oleh karena itu, peran Lembaga kementerian negara sangat
penting untuk memastikan jalanya kinerja pemerintah sesuai dengan fungsinya
masing-masing. Yang menjadi masalah adalah ternyata fungsi lembaga
kementerian saat ini belum optimal dikarenakan ada hal teknis yang secara
normatif tidak diatur di dalam peraturan perundang udangan, yakni terkait dengan
mekanisme Koordinasi maupun singkronisasi lembaga kementerian negara,
Dengan demikian jalanya kemeterian sering kali terdapat benturan atau
disharmoni dengan lembaga kementerian yang lain dikarenakan tidak
maksimalnya koordinasi maupun singkronisasi lembaga kementerian yang di
jalankan oleh kementerian Koordinator.
c. Mengefektifkan Fungsi Kementerian Koordinator
Berangkat dari inefesiensi dan inefektifitas serta untuk menghindari adanya
benturan kepentingan dan kewenangan dari setiap kementetrian negara, maka
pengaturan hukum terkait dengan mekanisme koordinasi maupun singkronisasi
lembaga kementerian negara adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dielakan
lagi, hal ini ditujuan untuk menjawab tuntutan tujuan negara sebagaimana yang
tertuang dalam aline ke-empat

36
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Terkait dengan peran pemerintah, maka fungsi
kementerian menjadi sentral atau nujung tombak untuk merealisasikan berbagai
macam program pembangunan negara yanmg telah dirumuskan dalam sistem
perencanaan pembangunan nasional, baik pada jangka menengah maupun jangka
panjang.39 Menghilangkan Ego Sektoral Menteri Dalam Memimpin Kementerian
Tidak efektifnya peran lembaga kementerian negara khsusunya kementerian
Koordinator menjadi hal yang sangat dilematis di mana jika membaca landasan
normatif peraturan perundang undang mengenai lembaga kementrian negara, posisi
kementerian adalah setara dan sederajat, artinya tidak ada kementerian yang lebih
tinggi dari kementerian yang lain. Dengan posisi lembaga kementerian negara yang
sederajat, menjadi hal dilematis bagi posisi kementerian koordinator dari sisi
fungsinya sebagai koordinator kementerian lain yang masuk dalam bidangnya
masing-masing, sehingga tidak jarang kementerian dibawah koordinatornya
mengangap kehadiran Kemenko tidak lain adalah hanya sebagai pelengkap
nomenklatur lembaga Kementerian Negara saja, akan tetapi khusus mengani fugsinya
kadang diabaikan oleh kementerian dibawah koordinatornya maupun yang di luar
koordinatornya. Dengan adanya ketentuan hukum secara normatif mengenai
mekanisme Koordinasi maupun singkronisasi lembaga kementerian negara tentunya
akan ada ketaatan terhadap ketentuan hukum tersebut, sehingga ego sektoral lembaga
kementerian akan bisa dihilangkan.40

2.2.1 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Menurut hasil evaluasi kami terkait Undang Undang No. 23 Tahun 2014
tentang pemerintahan daerah perlu adanya beberapa evaluasi pasal yaitu

Pasal 2

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah provinsi dan Daerah
provinsi itu dibagi atas Daerah kabupaten dan kota.
39
Ted Robert Gurr, Why Men Rebel (USA: Princeton University Press, 1969).
40
Zuly Qodir, “Kesalahpahaman Multikulturalisme”, Kompas, 26 Februari 2013.

37
(2) Daerah kabupaten/kota dibagi atas Kecamatan dan Kecamatan dibagi atas
kelurahan dan/atau Desa.

Menurut hasil evaluasi kami otonomi daerah pasca revormasi telah banyak
mendapat kemajuan yang telah dicapai. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia
dilandasi oleh tiga tujuan utama yaitu tujuan politik, tujuan administratif dan tujuan
ekonomi.

Perwujudan tujuan administratif yang ingin dicapai melalui pelaksanaan


otonomi daerah adalah adanya pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan
daerah, termasuk sumber keuangan serta pembaharuan manajemen birokrasi
pemerintahan di daerah. Sedangkan tujuan ekonomi yang ingin dicapai dalam
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah terwujudnya peningkatan Indeks
pembangunan manusia sebagai indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat
Indonesia.41

Gagasan pelaksanaan otonomi daerah adalah gagasan yang luar biasa yang
menjanjikan berbagai kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Namun dalam realitasnya gagasan tersebut berjalan tidak sesuai dengan apa yang
dibayangkan. Tantangan dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut datang dari
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Diantaranya adalah tantangan di bidang
hukum dan sosial budaya. Dari berbagai hasil kajian dapat disimpulkan bahwa salah
satu faktor penyebabnya adalah kelemahan aspek regulasi yang terkait dengan
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan implementasi regulasinya.

Bentuk dinamika desentralisasi dan otonomi daerah itu mulai dari konflik
kewenangan ketegangan hubungan eksekutif dan legislatif di daerah dan buruknya
pelaksanaan demokrasi lokal serta timbulnya disparitas baru pasca desentralisasi.
Dinamika dalam pelaksanaan desentralisasi di setiap episode sejarah politik dimaksud
sangat kuat menunjukkan politik eksperimentasi dari rezim dalam mengelola
hubungan pusat-daerah. Pengisian ruang dinamika tersebut bukan hanya sekedar
41
Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005,
hlm., 5.

38
melalui saling kompromi atau sebaliknya perbedaan pendapat antar pihak-pihak yang
berkepentingan dalam hubungan pusat-daerah, tetapi kadangkala juga berupa konflik
yang antara lain mengambil cara pemberontakan dengan kekerasan bersenjata.

Dengan melihat berbagai fakta yang terjadi di lapangan tersebut, prospek


otonomi daerah untuk menuju masyarakat lokal yang sejahtera masih jauh sekali
untuk digapai. Para elite pusat dan daerah yang justru disejahterakan oleh otonomi
daerah, namun hasilnya tidak merembes ke bawah. Jika sudah demikian adanya, akan
sangatlah sulit mengharapkan otonomi daerah menjadi jalan keluar bagi kesejahteraan
masyarakat. Beberapa kalipun ada proses revisi UU Pemerintahan Daerah, namun
substansinya masih menyenangkan elite daripada masyarakat.42

2.2.1.1 Isu Terkait Daerah Otonomi Khusus

Menurut Philipus M. Hadjon84 bahwa prinsip yang terkandung dalam Pasal


18B merupakan pengakuan negara terhadap pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa dan prinsip eksistensi dan hak-hak tradisional
masyarakat adat sebagaimana terdapat pada desa atau nama lain.

Ketentuan Pasal 18B tersebut mendukung keberadaan berbagai unsur


pemerintahan yang bersifat khusus atau bersifat istimewa (baik di tingkat provinsi,
kabupaten dan kota atau desa).43

Beberapa daerah yang mendapatkan pengakuan dan penghormatan Otonomi


Khusus oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia diantaranya akan Papua dan
Nanggroe Aceh Darussalam. Akan dijelaskan dibawah ini:

A. Daerah Otonomi Khusus Provinsi Papua

42
Depinus Tabuni, Patar Rumapea, William Areros, “Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus ”,
Agustus 2018 (Jakarta), hlm.4-7.

43
Sirait, S. C. (2017). Tanggung Jawab Pemerintah Untuk Memberikan Pendidikan Kepada Anak
Terlantar Dalam Perspektif Undang-Undang Perlindungan Anak. DE LEGA LATA: Jurnal Ilmu
Hukum, 2(1), 158-182.

39
1. Dasar Pemberian Otonomi Khusus Dalam pemberian Otonomi Khusus di Papua,
ada terdapat dasar pemberian Otonomi Khusus. Hal ini dapat dilihat dari dasar
menimbang Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua diantaranya:

a. bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia


adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan
sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

b. bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari
umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia,
nilainilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup
dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati
hasil pembangunan secara wajar;

c. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia


menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati
satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dalam undang-undang; d. bahwa integrasi bangsa
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap
dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman
kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah
Otonomi Khusus; e. bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah
salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari
suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman
kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri

d. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan


di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa
keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan
rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan

40
hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap
Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua;

e. bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi


Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya
kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan
pengabaian hakhak dasar penduduk asli Papua;

f. bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua


dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di
Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli
Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia;

g. bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada


nilainilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan
terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi
Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan
kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara

h. bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk


memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap
hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang
berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia
penduduk asli Papua;

i. bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah Irian Jaya, khususnya


menyangkut aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama
Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan
DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus
2000 tentang Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua Daerah
Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

41
1. Dasar Pemberian Otonomi Khusus Melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
dasar pemberian Otonomi Khusus adalah:

a. bahwa sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia


menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati
satuansatuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dengan undang-undang;

b. bahwa salah satu karakter khas dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh
adalah adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi yang bersumber
pada pandangan hidup, karakter sosial, dan kemasyarakatan dengan
budaya Islam yang kuat sehingga Daerah Aceh menjadi daerah modal
bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia:

c. bahwa untuk memberi kewenangan yang luas dalam menjalankan


pemerintahan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dipandang perlu
memberikan otonomi khusus;

2.2.1.2 Isu Terkait Perampasan Hak Kepala Desa Oleh Pemerintah Pusat

Menurut evaluasi kami ada salah satu prodak peraturan perundang undangan
yang dalam hal ini telah merampas atau mengambil hak dari kepala desa oleh
pemerintah pusat hal tersebut terimplementasi dalam peraturan presiden nomor 104
tahun 2021.

Perpres tersebut menjelaskan proses berjalannya apbn yang berdampak pada


dana desa. Hal tersebut dapat dilihat dari pasal 5 yang mengatur bahwa 40%
diberikan untuk bantuan 8% diberikan untuk penanganan covud dan sisanya untuk

42
pangan. Hal itu menjelaskan bahwa adanya campur tangan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah terutama pemerintahan desa.

Pada hakikatnya pemerintah desa diberikan kewenangan lokal untuk megatur


kepentingan keuangan. Yang tertera dalam uu nomor 6 tentang desa dan pada
dasarnya desa tidak boleh dicampur tangankan oleh pemerintah pusat karena adanya
suatu kewenangan yang diamanatkan oleh prodak perundang undangan.

Kebutuhan masing masing desa dalam menjalaknan roda pemerintahan


berbeda beda. Sehingga pemerintah pusat tidak boleh menetapkan penganggaran
yang berdampak pada dana desa. Sehingga perbutan perpres ini menjadi polemik
dikalangan kepala kepala desa. Dari perpres tersebut dapat dilihat bahwa proses
otonomi daerah masih menglamai simpang siur antara sentralisasi atau desentralisasi.
Dalam kebijakan lainnya adanya polarisasi yang mengarah pada desentralisasi. Akan
tetapi, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat yaitu dikeluarkannya
perpres nomor 104 tahun 2021 lebih mengarah pada sistim sentralisasi.

Sehingga perlu adanya perubahan sistim regulasi yang mengarah pada


kebijakan sistem dsesentralisasi. sehingga pola desentralisasi akan lebih tercerminkan
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.44

44
Huda Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta. 2005.

43
BAB 3

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Mengenai kementerian negara ada beberapa klausul dalam undang-


undang dasar yang perlu dirubah karena tidak sesuai dengan kenyataan sistim
ketatanegaraan Indonesia,seperti adanya pembatasan jabatan kementerian
40% kalangan politisi dan 60% kalangan provesional serta perlu adanya
perubahan dalam pasal undang-undang turunan yaitu mentri tidak boleh
merangkap jabatan.

Terkait pemerintahan daerah harus ada juga beberapa klousul dan


pasal yang perlu dirubah dalam undang-undang dasar 1945 dan undang-
undang yaitu terkait kepastian otonomi daerah apakah mengarah pada
sentralisasi atau desentralisasi.serta daerah yang memiliki status otonomi
khusus.

3.2 Rekomendasi

Dengan berbagai maca kelemahan dalam undang-undang dasar dan undang-


undang pelaksanaannya perlu ada rekomendasi terkait dengan:

1. Menghadirkan penambahan pasal dalam undnag-undang dasar 1945


2. Perlu adanya revisi terhadap klousul atau pasal yang masih memiliki
kekurangan.

1.

44
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Mohammad AS Hikam (ed), Menyongsong 2014-2019. Memperkuat Indonesia
dalam dunia Yang Berubah, (Jakarta: Rumah Buku, 2014) Hlm. 306

Djohan Effendi, 1999, Jaminan Konstitusional bagi Kebebasan Beragama di


Indonesia. Dalam Passing Over, Melintasi Batas Agama , Jakarta,hlm. 115-116

Jawahir Thontowi, “Membangun Kembali Perdamaian dan Kekerasan Sosial


Melalui Pemahaman Nilai dan Rekonsiliasi”, dalam Islam dan Perdamaian (Jakarta:
Progres, 2003), 48.

Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Pergerian Tinggi ( Yogyakarta:


Paradigma, 2016 ), hlm. 99.

Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005, hlm., 5.

Asshiddiqe Jimly. Sangketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Jakarta, 2006.

Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang:Kebijakan Hukum Pidana dan


Pencegahannya, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, hlm. 111.

Effendy, Bahtiar. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta :


Galang Press. 2001

Fransisca, Laddy, dkk. 2007. Perdagangan Anak Untuk Tujuan Seksual Komersial.
Surakarta : Cakrabooks.

45
Mozasa, Chairul Bariah. 2005. Aturan-aturan Hukum Trafficking (Perdagangan
Perempuan dan Anak). Medan : USU Press.

Jurnal

Badan Pembinaan Hukum Nasional. Analisi dan Evaluasi Hukum. Desember 2006.
Hal 5

Sartini.Etika Kebebasan Beragama. Vol.18, Nomor 3, Desember 2008

Rahmah.jurnal dinamika hukum.vol 9, No 2 (2009).

Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum


Volume 1, Nomor 2, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Al Ahkam.Hukum dan Fungsi negara menurut undang-undang dasar tahun 1945,


vol 14 No 1 (2018) januari.Alef musyahadah Rahmah dan Tedi Sudrajat,Penemuan
hukum in concewto dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Substantia, Volume 16 Nomor 2, Okotber 2014

Abdul Rozak. 2010. Tesisi Problematika Implementasi Pasal 30 UUD Republik


Indonesia 1945 Mengenai Hak dan Kewajiban Bela Negara Bagi Negara Indonesia.

Rizki Agung Novariyanto. Konsepsi dan Implementasi Sishankamrata Sebagai


Sistem Pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945-1998. (2013)

Hwian Christianto, Arti Penting UU No.1/PNPS/1965 Bagi Kebebasan Beragama


(Surabaya, 2016)

46
Hendar Riyadi, “Koeksistensi damai dalam masyarakat muslim modemis”, Wawasan
: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, no. 1 (2016) : 18

Sahri, “Radikalisme Islam di Perguruan Tinggi Perspektif Politik Islam”, Al-Daulah:


Jurnal Hukum dan Perundangan Islam, vol. 6, no.1, 2016, 239.
Haedar Nashir, Islam Syarikat, (Jakarta: Mizan, 2013), 279.

ADDIN, Vol. 10, No. 1, Februari 2016

Muhammad Khamdan, “Rethinking Deradikalisasi: Konstruksi Bina Damai


Penanganan Terorisme”, dalam Jurnal Addin, Vol. 9, No. 1, Februari 2015, hlm. 189-
190.

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cet


Kelima, Rajawali, Jakarta, 2004, hlm, 5.

Andrizal. Analisis Yuridis Tentang Kedudukan Tentara Nasional Indonesia (TNI)


Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004. 2014

Huda Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta. 2005.

Prodjodikoro Wirjono, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta, 1983

Ibid.,hlm. 96.

Rina Sitompul, Kebijakan Non Penal Dalam Upaya Pencegahan Dan Perlindungan
Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafiking). (Studi Kasus Provinsi
Sumatera Utara). USU Law Journal. 2014

47
Chairul Bariah Mozasa, Aturan-Aturan Hukum Trafiking (Perdagangan Perempuan
dan Anak), Medan, USU Press, 2005, hlm. 11.

Zainab Ompu Jainah. Kejahatan Narkoba Sebagai Fenomena Dari Transnational


Organized Crime. Lampung.

48

Anda mungkin juga menyukai