Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PRAKTIKUM

PENGINDERAAN JAUH

PERCOBAAN III
KLASIFIKASI MULTISPEKTRAL

OLEH :
NAMA : SITI BULKIS
NIM : 1811014320003
ASISTEN : KARTINI SRI ASTUTI S.Si.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI S-1 FISIKA
BANJARBARU
2021
LEMBAR PENGESAHAN PRAKTIKUM
PENGINDERAAN JAUH

Nama : Siti Bulkis


NIM : 1811014320003
Judul Percobaan : Klasifikasi Multispektral
Tanggal Percobaan : 25 Maret 2021
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Program Studi : S-1 Fisika
Asisten : Kartini Sri Astuti S.Si.

Nilai ACC Banjarbaru , 07/04 2021


Asisten

80
(Kartini Sri Astuti S.Si)
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu, seni, dan teknik untuk
memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui
analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan
obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Penginderaan jauh tidak hanya
mencakup pengumpulan data mentah, tetapi juga mencakup pengolahan data
secara otomatis (komputerisasi) dan manual analisis citra (interpretasi) dan
penyajian data yang diperoleh (Jaya 2010).
Dalam penginderaan jauh maka dibutuhkan alat untuk mengidentifikasi,
salah satunya adalah citra satelit. Citra satelit berkembang pesat sejak awal tahun
60an sampai sekarang, hingga lahirlah satelit Landsat, Quickbird, Ikonos, SPOT,
NOAA, ALOS, dan sebagainya yang mana memiliki karakteristik dan kegunaan
yang berbeda-beda sesuai kebutuhan. Perkembangan ini berimbas pada citra yang
dihasilkan. Berawal dari foto pankromatik ke multispectral sampai ke
hiperspektral, bahkan dalam sensor yang digunakan tidak hanya citra satelit pasif
melainkan aktif yang mana tenaganya dibuat oleh manusia berupa pulsa yang
digunakan dalam satelit radar (Danoedoro, 1996).
Klasifikasi multispektral merupakan teknik otomatisasi secara digital yang
sudah digunakan secara luas, yang salah satunya untuk memetakan penutup lahan.
Hal ini dikarenakan penutup lahan merupakan informasi yang secara langsung
dapat diturunkan dari citra penginderaan jauh karena merupakan kenampakan
pada permukaan bumi yang dapat dibedakan dari respon spektralnya. Danoedoro
(2006) dalam disertasinya menunjukkan bahwa hasil klasifikasi dari citra Landsat
7 Enhanced Thematic Mapper Plus dengan jumlah kelas objek 40 menghasilkan
akurasi 86,84%, setelah dilakukan penggabungan kelas menjadi 27 kelas objek
akurasinya meningkat menjadi 92,56%. Hal tersebut berlaku juga untuk hasil
klasifikasi dari citra Quickbird dengan jumlah kelas objek 85 menghasilkan
akurasi 68,75%. Terkait dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan
metode klasifikasi multispektral, maupun dengan algoritma yang berbeda, namun
fokus telaah ini terletak pada efek dari perubahan jumlah saluran spektral, jumlah
kelas objek, maupun korelasi antar saluran (Nugroho, 2015).
Secara umum, algoritma klasifikasi dapat dibagi menjadi supervised
(terawasi) dan unsupervised (tak terawasi). Pemilihannya bergantung pada
ketersediaan data awal pada citra itu. Analisa cluster merupakan suatu bentuk
pengenalan pola yang berkaitan dengan pembelajaran secara unsupervised,
dimana jumlah pola kelas tidak diketahui. Proses clistering melakukan pembagian
data set dengan mengelompokkan seluruh pixel pada feature space (ruang cirri) ke
dalam sejumlah cluster secara alami (Arifin, 2002).
Kemajuan teknologi ini menuntut para praktisi bidang penginderaan jauh
melakukan pengembangan metode-metode ekstraksi citra dengan metode
klasifikasi untuk mendapatkan informasi yang tepat dan akurat. Klasifikasi citra
meliputi klasifikasi secara manual menggunakan citra dan klasifikasi
multispektral secara digital menggunakan komputer. Klasifikasi multispektral
merupakan salah satu bagian dari pengolahan citra penginderaan jauh untuk
menghasilkan peta tematik dan dijadikan masukan pada permodelan spasial dalam
lingkungan sistem informasi geografis/GIS (Anggoro, 2015).

1.2 Tujuan Praktikum


Tujuan dari praktikum ini adalah:
1. Untuk mengenal citra multispektral secara spesifik.
2. Untuk mengetahui proses klasifikasi pada citra satelit multispektral.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Penginderaan jauh adalah ilmu dan teknik untuk memperoleh informasi


tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh
dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena
yang dikaji. Definisi tersebut mengandung arti bahwa penginderaan jauh
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pengukuran radiasi
elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan dari objek-objek di
permukaan bumi. Berbagai macam objek di bumi mempunyai karakteristik yang
berbeda dalam memancarkan atau memantulkan kembali radiasi elektromagnetik
yang diterima dari sinar matahari. Dengan mengetahui cara bagaimana objek yang
berbeda akan memantulkan radiasi elektromagnetik maka dapat diidentifikasikan
tipe-tipe dan kondisi permukaan dari suatu benda serta dapat diukur intensitas
radiasi elektromagnetik dengan menggunakan alat-alat pada sistem penginderaan
jauh (Lillesand, 2007).
Secara umum sistem penginderaan jauh terdiri dari serangkaian komponen
berupa sumber tenaga, atmosfer, objek, sensor, perolehan data dan pengguna data.
Penginderaan jauh pada umumnya menggunakan sumber tenaga berupa tenaga
elektromagnetik. Pengenalan objek pada citra penginderaan jauh dapat dilakukan
dengan menyidik (tracking) karakteristik spektral objek yang tergambar pada
citra. Objek akan tampak cerah pada citra apabila objek tersebut banyak
memantulkan atau memancarkan tenaga. Sebaliknya objek akan tampak lebih
gelap apabila memantulkan atau memancarkan tenaga lebih sedikit. Dengan
melakukan analisis data yang terkumpul, maka dapat diperoleh informasi tentang
objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Keberhasilan aplikasi penginderaan jauh
terletak pada dapat diterima atau tidaknya hasil penginderaan jauh itu oleh para
pengguna data (Sutanto, 1986).
Teknik penginderaan jauh merupakan suatu cara atau metode yang sangat
efektif untuk memantau sumberdaya alam, karena memiliki beberapa keuntungan
antara lain:
1. Menghasilkan data sinoptik (meliputi wilayah yang luas dalam waktu yang
hampir bersamaan) dalam dua dimensi dengan resolusi tinggi dan mampu
menghasilkan data deret waktu (time series) dalam frekuensi yang rendah.
2. Mempunyai kemampuan untuk mendeteksi dan memberikan informasi
tentang lapisan yang terpenting yaitu lapisan permukaan.
3. Pengamatan terhadap suatu objek dapat dilakukan dengan menggunakan
sensor yang bersifat multi spektral, mulai dari sinar tampak (visible),
inframerah (infrared), dan gelombang (microwave).
Hal ini memungkinkan dilakukannya analisis multi spektral dengan
mengimplementasikan berbagai model matematik untuk mendapatkan informsi
yang lebih akurat. Penginderaan jauh juga mempunyai beberapa keterbatasan
antara lain:
1. Akurasi yang diperoleh lebih rendah dibanding dengan pengukuran atau
pengamatan secara terestis.
2. Untuk meghasilkan citra yang memiliki informasi yang akurat, harus
disertai pengecekan daerah atau objek yang diamati.
3. Waktu pendeteksian satelit terbatas hanya pada saat satelit tersebut
melintas di atas lokasi pengamatan.
4. Kondisi atmosfer yang beranekaragam awan, kabut, dan hujan
menyebabkan citra yang diperoleh kurang baik untuk keperluan
monitoring daerah lautan maupun daratan. Awan dan kabut akan
menyebabkan citra visual kurang jelas. Namun dengan dikembangkannya
penginderaan jauh secara aktif dengan menggunakan radar yang bisa
menembus awan, kabut, dan hujan maka beberapa kekurangan itu dapat
teratasi.
Data penginderaan jauh dapat berupa citra, grafik, dan data numerik. Data tersebut
dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang obyek, daerah, atau
fenomena yang diindera atau diteliti. Proses penerjemahan data menjadi informasi
disebut analisis atau interpretasi data. Interpretasi atau penafsiran citra
penginderaan jauh merupakan perbuatan mengkaji citra dan menilai arti
pentingnya obyek tersebut. Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu interpretasi secara visual dan interpretasi secara digital
(Wicaksono, 2006).
Klasifikasi citra dapat dilakukan secara manual (visual) maupun secara
digital. Klasifikasi secara manual dilakukan dengan bertumpu pada kenampakan
pada citra, seperti misalnya rona atau warna, bentuk, ukuran, tinggi atau
bayangan, tekstur, pola, letak atau situs dan asosiasi dengan obyek
lainnya.Klasifikasi secara digital dapat dilakukan dengan bantuan komputer, dan
biasanya bertumpu pada informasi spektral obyek (yang diwakili oleh nilai pixel
citra) pada beberapa saluran spektral sekaligus. Oleh karena itu, klasifikasi secara
digital sering disebut sebagai klasifikasi multivariat atau klasifikasi multispectral.
Pada penginderaan jauh, sensor merekam tenaga yang dipantulkan atau
dipancarkan oleh obyek di permukaan bumi. Rekaman tenaga ini akan diproses
dan akan membuahkan data penginderaan jauh. Data penginderaan jauh dapat
berupa data digital atau data numerik untuk dianalisis dengan menggunakan
komputer. Data ini juga dapat berupa data visual yang pada umumnya dianalisis
secara manual. Data visual dibedakan lebih jauh atas data citra dan data noncitra.
Data citra berupa gambaran yang mirip wujud aslinya atau paling tidak berupa
gambaran planimetrik. Data noncitra pada umumnya berupa garis atau grafik.
Sebagai contoh data noncitra adalah grafik yang mencerminkan beda suhu yang
direkam disepanjang daerah penginderaan. Di dalam penginderaan jauh yang
tidak menggunakan tenaga elektromagnetik, contoh data noncitra antara lain
berupa grafik yang menggambarkan gravitasi maupun daya magnetik di sepanjang
daerah penginderaan. Ada dua jenis citra yaitu citra foto dan citra nonfoto
(Danoedoro, 2012).
Klasifikasi citra bertujuan untuk mendapatkan gambaran atau peta tematik
yang berisikan bagian – bagian yang menyatakan suatu objek atau tema. Tiap
objek pada gambar tersebut memiliki simbol yang unik yang dapat dinyatakan
dengan warna atau pola tertentu. Klasifikasi bentuk dalam citra, pada awalnya
dimulai dengan interpretasi visual atau interpretasi citra secara manual untuk
mengidentifikasi kelompok elemen gambar yang homogen yang mewakili
beragam bentuk atau kelas liputan lahan yang diinginkan. Interpretasi citra
penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu interpretasi secara
manual dan interpretasi secara digital. Dalam interpretasi secara manual, dikenal
beberapa kunci interpretasi sebagai acuan interpretasi bagi para pengguna/analis
sebagaimana terdapat pada tabel di bawah ini,
Tabel 1. Tujuh kunci interpretasi citra
PERBAIKI FORMAT PENULISAN
Kunci Keterangan
Shape (Bentuk) Bentuk, struktur, atau garis pinggir suatu objek pada citra
Suatu parameter interpretasi yang diperoleh setelah
Size (Ukuran) diketahui skala suatu citra berupa fungsi jarak, luas, tinggi,
dan volume
Ukuran kecerahan relatif atau warna suatu objek yang
Tone (Rona)
menunjukkan terang gelapnya suatu kenampakan pada citra
Susunan spasial suatu objek yang bentuknya dapat dilihat
Pattern (Pola)
pada citra
Susunan, frekuensi, dan variasi rona yang berhubungan
Texture (Tekstur) dengan kekasaran atau kehalusan rona suatu kenampakan
pada citra
Shadow Parameter interpretasi yang berhubungan dengan bentuk,
(Bayangan) ukuran, dan tinggi suatu objek serta arah pencahayaan
Association
Hubungan suatu objek dengan keadaan sekitarnya
(Hubungan)
(Mukhaiyar, 2010).
Pembangunan suatu wilayah tentu tidak terlepas dari peranan data spasial,
khususnya informasi tentang tutupan lahan. Identifikasi penutup lahan dapat
dilakukan dengan menggunakan citra penginderaan jauh, karena secara konseptual
nilai digital citra penginderaan jauh merupakan representasi penutup lahan.
Namun begitu informasi pada citra digital bersifat tersirat, sehingga diperlukan
suatu metode untuk ekstraksi informasi. Penutup lahan dapat diperoleh dari data
penginderaan jauh melalui berbagai pilihan ekstraksi. Metode yang memiliki
akurasi tinggi tentu saja interpretasi visual pada citra atau foto udara, namun cara
ini terlalu memakan waktu dan hasilnya sangat subjektif, tergantung pengalaman
interpreter. Oleh karena itu perlu dikembangkan teori, metode dan alat yang
cukup untuk meniru (dan atau melebihi) kemampuan interpretasi visual melalui
cara otomatis atau semi-otomatis. Cara ekstraksi secara objektif dapat dilakukan
dengan pengolahan citra digital menggunakan komputer. Metode yang selama ini
umum digunakan yaitu klasifikasi multispektral menggunakan algoritma
maximum likelihood, parallelepiped, mahalanobis distance atau minimum
distance to mean. Dalam Danoedoro (1996) disebutkan bahwa diantara algoritma
tersebut maximum likelihood merupakan algoritma yang paling mapan. Namun
begitu peningkatan kompleksitas data penginderaan jauh tidak dapat diiringi oleh
perkembangan yang signifikan penggunaan teknik-teknik klasifikasi berbasis
piksel. Klasifikasi citra berorientasi objek merupakan suatu terobosan dalam
mengatasi kompleksitas data citra resolusi tinggi, karena bekerja pada satuan
objek (merujuk pada homogenitas) yang secara spasial berupa area-area
bertetangga. Suatu objek dalam citra dapat didefinisikan sebagai sekelompok
piksel yang memiliki kemiripan sifat baik spektral maupun spasial. Untuk
pembentukan objek tersebut, klasifikasi berorientasi objek selalu diawali dengan
proses segmentasi. Segmentasi sendiri merupakan analisis citra untuk
mendapatkan daerah dengan kemiripan karakteristik piksel (Wibowo, 2010).
Perekaman data dari citra berupa pengenalan objek dan unsur yang
tergambar pada citra serta penyajiannya ke dalam bentuk tabel, grafik atau peta
tematik. Urutan kegiatan dimulai dari menguraikan atau memisahkan objek yang
rona atau warnanya berbeda dan selanjutnya ditarik garis batas/delineasi bagi
objek yang rona dan warnanya sama. Kemudian setiap objek yang diperlukan
dikenali berdasarkan karakteristik spasial dan atau unsur temporalnya. Objek yang
telah dikenali jenisnya, kemudian diklasifikasikan sesuai dengan tujuan
interpretasinya dan digambarkan ke dalam peta kerja atau peta sementara.
Kemudian pekerjaan medan (lapangan) dilakukan untuk menjaga ketelitian dan
kebenarannya. Setelah pekerjaan medan dilakukan, dilaksanakanlah interpretasi
akhir dan pengkajian atas pola atau susunan keruangan (objek) dapat
dipergunakan sesuai tujuannya (Sutanto, 1986).
Saat ini telah berkembang metode klasifikasi multispektral yang bisa
dilakukan melalui berbagai pendekatan diantaranya menurut Jensen (2005) hard
classification atau soft classifaction tergantung output yang dikehendaki,
sedangkan berdasarkan distribusi datanya dapat menggunakan algoritma
pendekatan parametrik misal maximum likelihood atau dengan pendekatan non
parametrik misal jaringan syaraf tiruan (artificial neural network). Proses
klasifikasi multispektral diproses dengan menggunakan bantuan perangkat
komputer, menurut Danoedoro, P. (2012,hlm 295) berdasarkan tingkat
otomatisasinya dapat dibedakan menjadi klasifikasi terselia (supervised
classification) dan klasifikasi tak terselia (unsupervised classification). Jaringan
syaraf tiruan (artificial neural network) merupakan salah satu pendekatan non
parametrik dimana tidak mengharuskan distribusi statistik kelas digambarkan
secara normal, kelebihan dari pendekatan non parametrik kemampuannya dalam
menggabungkan data sepktral dan data non spektral, yang diasumsikan dengan
menambah data non spektral maka akurasi yang dihasilkan juga meningkat.
Algoritma klasifikasi multispektral berdasarkan pada asumsi distribusi datanya
menurut Schowengerdts (1983) dapat dibedakan menjadi parametrik dan non
parametrik. Algoritma parametrik mengamsusikan bahwa distribusi statistik kelas
digambarkan dengan distribusi normal dan mengestimasikan parameter yang
didistribusikan dengan vektor rerata dan matriks kovarian, sedangkan algoritma
non parametrik tidak mengasumsikan distribusi kelas (Wulansari, 2020).
Klasifikasi multispektral adalah salah satu metode interpretasi citra secara
digital yang mana mengklasifikasikan obyek berdasarkan spektralnya. klasifikasi
ini menggunakan teknik pengelompokan piksel berdasarkan operator atau peneliti.
penelitian ini menggunakan algoritma maximum likelihood yang secara statistic
merupakan algoritma paling mapan dan paling sering digunakan
(Danoedoro,2012). Algoritma maximum likelihood membutuhkan training area
untuk mengklasifikasikan kelas, pengklasfikasian kelas dilakukan tidak mengacu
jarak terhadap titik pusat kelas di dalam feature space, namun mengacu nilai
probabilitas tertinggi kelas. Klasifikasi multispektral dilakukan pada komposit 543
pada citra satelit Landsat 7 dan komposit 654 pada citra satelit landsat 8.
Komposit tersebut adalah kombinasi antar band yang memiliki kenampakan yang
baik dalam mengidentifikasi obyek hutan dan penutup lahan lainnya berdasarkan
perhitungan tes IOF (Noviar dan Kartika, 2016). Klasifikasi multispektral
dilakukan untuk mendapatkan penutup lahan yang general yaitu lahan terbangun,
lahan terbuka, vegetasi dan tubuh air. Metode klasifikasi ini menggunakan metode
klasifikasi supervised atau metode klasifikasi terselia dengan algoritma maximum
likelihood. Algoritma maximum likelihood dipilih karena salah satu algoritma
yang telah mapan secara statistic, secara teknis menggunakan probabilitas atau
kemungkinan kemiripan dari sampel yang dipakai (Saniputra, 2020).
Metode supervised mengharuskan adanya training set. Akan tetapi training
set untuk tiap kelas ini seringkali belum diketahui. Salah satu penyebabnya adalah
sulitnya menentukan jumlah kelas yang sebenarnya terdapat pada citra itu
disamping kesulitan untuk mencari lokasi-lokasi mana yang bias dianggap paling
mewakilinya. Fenomena ini mendorong para peneliti dalam bidang pengenalan
pola (pattern recognition) untuk terus berusaha menghasilkan algoritma yang
mampu mendeteksi jumlah cluster ini secara otomatis (Arifin, 2002).
Penutup lahan dan penggunaan memiliki pengertian yang berbeda, istilah
penutup lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada dipermukaan bumi
sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada lahan
tertentu, (Lillesand and Kiefer, 1994). Informasi penutup lahan dapat diperoleh
melalui data penginderaan jauh seperti foto udara dan citra satelit. Citra satelit
merupakan salah satu produk dari teknologi penginderaan jauh yang banyak
digunakan untuk memperoleh informasi penutup lahan karena memiliki resolusi
spasial, spektral, dan temporal yang baik. Apabila dilihat dari sisi resolusi
spektral, semakin banyak jumlah band atau saluran yang dimiliki oleh citra satelit
maka semakin banyak informasi objek yang dapat diidentifikasi. Begitu juga
dengan resolusi spasial, semakin besar resolusi spasial suatu citra maka semakin
detail informasi objek yang diterima. Salah satu citra satelit yang sering
digunakan untuk kajian penutup lahan adalah Citra landsat. Pada tahun 2013
NASA meluncurkan satelit Landsat Data Continuity Mission (LDCM) yang
dikenal dengan Landsat 8. Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat
yang untuk pertama kali menjadi satelit pengamat bumi sejak tahun 1972 (Landsat
1). Landsat 8 tergolong satelit baru walaupun sebenarnya lebih cocok disebut
sebagai satelit yang melanjutkan misi dari landsat 7, hal ini karena landsat 8
memiliki karakteristik yang mirip dengan landsat 7 hanya saja ada beberapa
tambahan yang menjadi titik penyempurnaan dari landsat 7 seperti jumlah band,
rentang spektrum dan nilai bit atau rentang nilai digital number. Perkembangan
teknologi satelit penginderaan jauh yang begitu cepat juga diikuti dengan
perkembangan teknik ekstraksi informasi citra satelit penginderaan jauh. Salah
satu teknik ekstraksi informasi citra adalah teknik klasifikasi. Saat ini telah
berkembang metode klasifikasi multispektral yang bisa dilakukan melalui
berbagai pendekatan diantaranya menurut Jensen (2005) hard classification atau
soft classifaction. Sementara berdasarkan distribusi datanya dapat menggunakan
algoritma pendekatan parametrik seperti maximum likelihood atau pendekatan non
parametrik seperti jaringan syaraf tiruan (artificial neural network). Proses
klasifikasi multispektral dapat diproses dengan menggunakan perangkat komputer
(Rini, 2018).
Dalam menganalisa tingkat kehijauan vegetasi menggunakan suatu nilai
yang memiliki interval tertentu dimana nilai tersebut mempresentasikan tingkatan
kerapatan tumbuhan yang dipengaruhi oleh kondisi klorofil terkandung didalam
tumbuhan tersebut. Sedangkan fenomena penyerapan cahaya merah oleh klorofil
dan pemantulan cahaya inframerah dekat (NIR) oleh jaringan mesofil yang
terdapat pada daun akan membuat nilai kecerahan yang diterima sensor satelit
pada kedua band tersebut akan berbeda.
………………………………….. (1)

Keterangan:
NIR = Band Near Infrared
R = Band Red
Basis dari klasifikasi OBIA yaitu basis segmentasi. Cara melakukan objek dengan
segmentasi tidak hanya berdasarkan nilai piksel, namun juga memperhatikan
kenampakan tekstural atau pola spasial. Segmenatsi data penginderaan jauh dapat
dilakukan dengan algoritma region growing/merging, deteksi batas, atau dengan
kombinasi keduanya, misalnya algoritma ECHO (Extraction and Classification of
Homogeneous) dan MORM (Mutually Optimum Region). Deteksi batas
menggunakan asumsi bahwa dua piksel yang berdekatan dengan perbedaan nilai
yang besar mewakili dua segmen yang berbeda. Suatu tepi atau batas dapat ditarik
diantara keduanya, piksel-piksel tepi dapat digabung dengan segmen-segmen yang
serupa. Dengan demikian hal ini dapat memudahkan dalam membagi kelas
tutupan lahan yang ada (Safitri, 2019).
Satelit Landsat memiliki beberapa generasi diantaranya Landsat-7 dan
Landsat-8. Satelit Landsat-7 ETM diluncurkan pada tanggal 15 April 1999, sama
seperti satelit-satelit pendahulunya yang berada pada ketinggian 705 km dengan
periode edar 99 menit dan orbit polar sun-synchronous yang memotong garis
khatulistiwa ke arah selatan pada waktu tetap yaitu pukul 10.00 waktu setempat
atau waktu lokal serta mempunyai sudut inklinasi 30º. Satelit yang memiliki
ckakupan sebesar 185 km ini akan melewati lintasan (daerah) yang sama tiap 16
hari. Landsat-7 ETM dilengkapi oleh 8 kanal spektral (Al Fathin, 2019).
Landsat Data Continuity Mission (LDCM) atau dikenal juga dengan nama
Landsat 8 merupakan satelit generasi terbaru dan program Landsat. Satelit ini
merupakan project gabungan antara USGS dan NASA beserta NASA Goddard
Space Flight Center dan diluncurkan pada hari Senin, 11 Februari 2013 di
Pangkalan Angkatan Udara Vandeberg, California-Amerika Serikat. Satelit
landsat 8 yang direncanakan mempunyai durasi misi selama 5-10 tahun ini,
dilengkapi dua sensor yang merupakan hasil pengembangan dari sensor yang
terdapat pada satelit-satelit pada program landsat sebelumnya. Kedua sensor
tersebut yaitu Sensor Operational Land Manager (OLI) yang terdiri dari dari 9
band serta Sensor Thermal Infrared Sensors (TIRS) yang terdiri dari 2 band.
Menurut Sitanggang (2010), untuk Sensor OLI yang dibuat oleh Ball Aerospace,
terdapat 2 band yang baru terdapat pada satelit Program Landsat yaitu Deep Blue
Coastal/Aerosol Band (0.433-0.453 mikrometer) untuk deteksi wilayah pesisir
serta Shortwave-Infreared Cirrus Band (1.360-1.390 mikrometer) untuk deteksi
awan cirrus. Sedangkan sisa 7 band lainnya merupakan band yang sebelumnya
juga telah terdapat pada sensor satelit Landsat generasi sebelumnya (Kurnia,
2019).
BAB III
METODE PERCOBAAN

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum Penginderaan Jauh tentang Koreksi Radiometrik ini
dilaksanakan pada hari Kamis, 25 Maret 2021 pukul 16.15 – selesai WITA
bertempat di Laboratorium Geofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Lambung Mangkurat dan diselesaikan sisanya di rumah atau
tempat lainnya.

PERBAIKI FORMAT PENULISAN DAN JARAK SPASI TERLALU JAUH PERBAIKI


3.2 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah:
1. Laptop
2. Software ENVI 5.1 dan Arcgis 10.7.
3. Peta wilayah
4. Citra satelit Landsat 8

3.3 Prosedur Percobaan


Adapun prosedur percobaan ini adalah:
1. Membuka file landsat 8 yang sudah dipotong dan dikoreksi radiometrik.
2. Memulai mengklarifikasi dari kelas-kelas atau wilayah-wilayah yang kita
spesifikasikan atau dari jumlah nominal kelas secara manual.
3. Memilih classification workflow pada menu toolbox kemudian memilih
“use training data”
4. Mengklasifikasi objek yang diinginkan, jika ingin menambah objek
lainnya dengan memilih tanda plus (+), kemudian simpan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Klasifikasi citra multispektral bertujuan untuk menghasilkan peta tematik,


dimana tiap warna mewakili sebuah objek, misalkan hutan, laut, sungai, sawah,
dan lain-lain. Klasifikasi citra multispektral ini merupakan proses pengelompokan
piksel kedalam kelas-kelas tertentu. Ada dua macam klasifikasi yaitu klasifikasi
unsupervised dan klasifikasi supervised. Pengklasifikasian citra merupakan salah
satu bagian terpenting pada analisis citra digital. Tujuan dari klasifikasi citra
adalah untuk mengindentifikasi dan kemudian mengelompokan pola ciri citra
dalam satu atau sejumlah kelas atau katagori obyek. Pengertian dasar dari
klasifikasi multispektral adalah konsep tangga spektral obyek sebagai fungsi
spektrum panjang gelombang dan radiasi elektomagnetik. Klasifikasi data tak
terselia (unsupervised) memulai mengklarifikasi dari kelas-kelas atau wilayah-
wilayah yang kita spesifikasikan atau dari jumlah nominal kelas. Klasifikasi
unsupervised secara sendiri akan mengkategorikan semua pixel menjadi kelas-
kelas dengan menampakan spektral atau karateristik spektral yang sama. Hasil
klasifikasi dipengaruhi oleh parameter-parameter yang kita tentukan dalam kotak
dialog klasifikasi unsupervised. Sedangkan klasifikasi supervised melibatkan
interaksi analis secara intensif, dimana analis menuntun proses klasifikasi dnegan
identifikasi objek pada citra (training area atau region of interest). Sehingga
pengambilan sampel perlu dilakukan dengan mempertimbangkan pola spektral
pada setiap panjang gelombang tertentu, sehingga diperoleh daerah acuan yang
baik untuk mewakili suatu objek tertentu.
Pada praktikum kali ini digunakan file citra Landsat daerah kabupaten
Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan yang kemudian dilakukan proses
klasifikasi pada ENVI 5.1 melalui IsoData Classification. Proses dari IsoData
Classification menghasilkan 8 kelas, dengan warna yang berbeda, yakni ungu tua,
magenta, kuning, biru muda, biru tua, merah dan hijau kecoklatan. Dijelaskan
bahwa 7 kelas warna dapat diklasifikasikan pada file tersebut. Warna ungu tua
merupakan merupakan pemukiman. Warna magenta merupakan vegetasi jarang.
Warna merah merupakan vegetasi rapat. Warna hijau kecoklatan adalah danau.
Warna kuning adalah sawah. Warna biru muda adalah awan dan warna biru tua
adalah sungai. Dari hasil yang diperoleh dari pengklasifikasian multispektral ini
maka daerah Kabupaten Hulu Sungai Selatan memiliki citra dengan vegetasi yang
tinggi.

4.1 Hasil Klasifikasi Multispektral Kabupaten Hulu Sungai Selatan

Gambar 1. Hasil Klasifikasi Multispektral Kab. Hulu Sungai Selatan

Pengklasifikasian pada praktikum ini dilakukan dengan cara membedakan


kenampakan pada daerah Kabupaten Banjar. Kenampakan yang biasa ditemui
pada saat pengklasifikasian yaitu pemukiman, awan, vegetasi jarang, vegetasi
rapat, sungai, dan sawah. Pengklasifikasian dilakukan dengan cara
memberikan tanda pada data citra yang sudah diclip sesuai daerah yang
diinginkan. Hal ini dilakukan dengan menggunakan new ROI. Setelah
melakukan pengklasifikasian, kita dapatkan gambar daerah dengan warna-
warna yang berbeda sesuai dengan jenis penampakan yang kita pilih. Data
hasil pengklasifikasian dapat dibuat sebagai peta klasifikasi dengan aplikasi
ArcGis 10.7 sesuai dengan keinginan masing-masing. Untuk
mengklasifikasikan spektral-spektral pada peta, fitur yang digunakan yaitu
Classification Workflow. Klik fitur Use Training Data untuk menambahkan
wilayah apa saja yang ingin kita tandai. Setelah itu, lakukan zoom pada peta
yang ingin diberikan polygon. Lakukan minimal 8 kali tiap class yang
diinginkan. Setelah dilakukan pengklasifikasian, simpan data dengan format
.shp. Lalu lanjutkan langkah-langkah dengan men-klik next dan simpan file
data pada folder yang mudah diingat. File data yang sudah disimpan akan
diperlukan pada pembuatan peta yang dilakukan menggunakan aplikasi
Arcgis.

4.2 Peta Hasil Klasifikasi Multispektral

Gambar 2. Peta Klasifikasi Multispektral Kab. Hulu Sungai Selatan


INI SAJA YG BOLD, PERBAIKI SEMUA
Untuk membuat peta pengklasifikasian multispektral wilayah Kab. Hulu
Sungai Selatan, kita perlu membuka aplikasi Arcgis dan memasukkan data
hasil pengklasifikasian yang sudah dilakukan pada aplikasi ENVI. Sebelum
memasukkan file yang akan dijadikan peta, atur terlebih dahulu coordinate
system pada properties layers dengan WGS 1984. Lalu tambahkan layout dan
atur menjadi bentuk landscape. Tambahkan grid dan legenda agar lebih
mudah mengenali pengklasifikasian pada peta wilayah Kab. Hulu Sungai
Utara. Tambahkan pula judul, scala bar, scala text, north arrow dan neatline
pada tool Insert. Atur sedemikian rupa agar peta terlihat lebih indah dan rapi.
Untuk menyimpan hasil pengerjaan peta kita bisa meng-klik Export Map dan
simpan dalam bentuk JPEG. Melalui klasifikasi multispectral ini dapat kita
lihat bahwa sebagian besar wilayah Kab. Hulu Sungai Selatan merupakan
hutan dan persawahan. Hal ini dibuktikan dengan warna yang ditunjukkan
yaitu kuning untuk persawahan dan hijau tua untuk vegetasi rapat.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari percobaan ini adalah:
1. Pada klasifikasi manual berbagai kriteria digunakan, antara lain kesamaan
warna, tekstur, bentuk, pola, relief, dan sebagainya yang digunakan secara
serentak.
2. Pada sebagian besar metode klasifikasi multispektral hanya ada satu
kriteria yang digunakan, yaitu nilai spektral (nilai kecerahan) pada
beberapa saluran sekaligus. Klasifikasi multispektral juga dapat dilakukan
dengan melibatkan unsur interpretasi lain disamping warna atau nilai
spektral, seperti tekstur dan bentuk, misalnya dengan segementasi citra
berbasis obyek.

5.2 Saran
Sangat susah mengikuti praktikum online seperti saat ini dikarenakan
waktu dan komunikasi yang kurang efektif. Sangat disarankan untuk
melaksanakan dengan tatap muka langsung dengan asisten praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Al Fathin, M. A., Sudarsono, B., & Bashit, N. 2019. Analisis Perbandingan


Peningkatan Sedimentasi Di Waduk Mrica Dengan Perubahan Tutupan
Lahan Pada Daerah Aliran Sungai (Das) Merawu Menggunakan Data Citra
Satelit Landsat. Jurnal Geodesi Undip, 8(1), 388 – 397.

Anggoro, A, Vincentius, P. S, Syamsul, B. A. 2015. Pemetaan Zona


Geomorfologi Ekosistem Terumbu Karang Menggunakan Metode OBIA,
Studi Kasus di Pulau Pari. Jurnal Penginderaan Jauh. 12(1).

Arifin, A. Z. 2002. Penggunaan Analisa Faktor untuk Klasifikasi Citra


Penginderaan Jauh Multispektral. Institut Teknologi Sepuluh November.
1(1).

Danoedoro, P., 1996. Pengolahan Citra Digital Teori dan Aplikasinya Dalam
Bidang Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada :
Yogyakarta.

Danoedoro, P. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Penerbit Andi :


Yogyakarta.

Jaya, I.N.S. 2010. Analisis Citra Digital : Perspektif Penginderaan Jauh Untuk
Pengelolaan Sumberdaya Alam. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Kurnia, K. D. 2019. ANALISIS POTENSI KEKERINGAN LAHAN SAWAH


DENGAN MENGGUNAKAN METODE NORMALIZED DIFFERENCY
DROUGHT INDEX (NDDI) DAN THERMAL VEGETATION INDEX
(TVI) (Studi Kasus: Kabupaten Bantul) (Doctoral dissertation, ITN
Malang).

Lillesand, T., Kiefer, R.W., Chipman, J. 2007. Remote Sensing and Image
Interpretation. John Wiley &Sons, Inc, U.S.A., 6 th ed., 804 p. ISBN: 978
– 0470052457.

Mukhaiyar, R. 2010. Klasifikasi Penggunaan Lahan dari Data Remote Sensing.


Jurnal Teknologi Informasi & Pendidikan. 2(1) : 1 – 15.

Nugroho, F. S. 2015. Pengaruh Jumlah Spektral, Korelasi Antar Saluran Spektral


dan Jumlah Kelas Objek Terhadap Akurasi Klasifikasi Penutupan Lahan.
Jurnal Ilmiah Geomatika. 21(1).

Rini, M. S. (2018). Kajian kemampuan metode neural network untuk klasifikasi


penutup lahan dengan menggunakan Citra Landsat-8 OLI (kasus di Kota
Yogyakarta dan sekitarnya). Geomedia: Majalah Ilmiah dan Informasi
Kegeografian, 16(1).
Safitri. Y., & Giofandi, E. A. 2019. Pemanfaatan Citra Multi Spektral Landsat
OLI 8 dan Sentinel-2a dalam Menganalisa Degradasi Vegetasi Hutan dan
Lahan (Studi Kasus: Cagar Alam Rimbo Panti, Pasaman). JURNAL
SWARNABHUMI: Jurnal Geografi dan Pembelajaran Geografi. 4(2). 115
– 121.

Saniputra, F. S., & Kamal, M. (2020). Pemetaan Perubahan Penutup Lahan


Menggunakan Citra Satelit Untuk Mengetahui Hasil Rehabilitasi Hutan
Dan Lahan Kabupaten Wonosobo. Jurnal Bumi Indonesia, 9(3).

Sutanto. 1986. Pengideraan Jauh Jilid I. Gadjah Mada University Press :


Yogyakarta.

Wibowo, T. W, Projo, D. 2010. Komparasi Klasifikasi Multispektral dengan


Klasifikasi Berorientasi Objek untuk Ektraksi Penutup Lahan Berbasis
Citra Alos Anvir.

Wicaksono, Bambang . 2006, Pelayanan Publik Pemerataan dan Administrasi


Baru. LP3ES. Jakarta

Wulansari, H. 2020. METODE DEFUZZIFIKASI ARTIFICIAL NEURAL


NETWORK UNTUK KLASIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN. Jurnal
Geografi Gea. 20(2). 120 – 140.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai