MAKALAH
Sastra
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya yang telah
dilimpahkan kepada Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Pentingnya Pembelajaran Sastra” yang merupakan salah satu tugas terstruktur Bahasa Indonesia
pada semester satu.
Dalam makalah ini kami membahas mengenai bagaimana mengidentifikasikan masalah tulisan,
latar belakang, tujuan dan manfaat penulisan, mengindentifikasi kerangka teori, formulasi isi
tulisan dan bagaimana membuat kesimpulan dan saran dalam Ragam Bahasa.
Dalam menyelesaikan makalah ini, Penulis telah banyak mendapat bantuan dan masukan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada :
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, namun
demikian telah memberikan manfaat bagi Penulis. Akhir kata Penulis berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan saran yang bersifat menbangun akan Penulis terima
dengan senang hati.
BAB I PENDAHULUAN
Bab II
Pembahasan
A. Teeuw (1984) dan Luxemburg (1986) mengemukakan bahwa belum ada seorang pun
yang memberikan jawaban yang ketat untuk pertanyaan tentang definisi sastra. Hal senada
diungkapkan pula oleh B. Rahmanto (2000), Suminto A. Sayuti (2002), dan seorang sastrawan
Malaysia, Ali Ahmad, dalam sebuah tulisan berjudul “Mencari Definisi Kesusastraan” (dalam
Hamzah Hamdani 1988:19-26).
Lebih jauh Luxemburg (1986:3-4) mengemukakan bahwa usul untuk mendefinisikan
sastra banyak sekali jumlahnya tetapi usul-usul yang memuaskan tidak banyak. Ia
mengemukakan alasan-alasannya sebagai berikut: (1) Sering orang ingin mendefinisikan terlalu
banyak sekaligus. Sering dilupakan bahwa ada suatu perbedaan antara sebuah definisi deskriptif
mengenai sastra—yang memberi jawaban terhadap pertanyaan: sastra itu apa?—dan sebuah
definisi evaluatif yang ingin menilai apakah suatu karya sastra termasuk karya sastra yang baik
atau tidak; (2) Sering orang mencari sebuah definisi “ontologis” mengenai sastra, yaitu sebuah
definisi yang mengungkapkan hakikat sebuah karya sastra sambil melupakan bahwa sastra
hendaknya didefinisikan di dalam situasi para pemakai dan pembaca sastra; (3) Yang berkaitan
dengan itu, sering anggapan mengenai sastra terlalu ditentukan oleh contoh sastra Barat,
khususnya sejak zaman Renaissance, tanpa menghiraukan bentuk-bentuk sastra yang khas seperti
terdapat dalam lingkungan kebudayaan di luar Eropa, di dalam zaman-zaman tertentu atau di
dalam lingkungan sosial tertentu. Misalnya, konsep tentang sastra yang diterapkan bagi zaman
klasik Eropa dan bagi lingkungan kebudayaan di luar Eropa sekaligus juga mau diterapkan bagi
lingkungan kebudayaan Eropa-Amerika modern; (4) Pernah diberikan definisi-definisi yang
kurang lebih memuaskan berkaitan dengan sejumlah jenis sastra, tetapi yang kurang relevan
diterapkan pada sastra pada umumnya. Demikian misalnya disajikan sebuah definisi yang cocok
bagi puisi, sedangkan yang dicari ialah sebuah definisi yang tepat bagi sastra pada umumnya.
Pendek kata, dalam pandangan Luxemburg, pengertian-pengertian tentang sastra sendiri
sering dimutlakkan dan dijadikan sebuah tolok ukur atau parameter universal padahal perlu
diperhatikan kenisbian historis sebagai titik pangkal.
Menurut Luxemburg (1986:9-11) tidak mungkin memberikan sebuah definisi yang
universal mengenai sastra. Sastra bukanlah sebuah benda yang kita jumpai, sastra adalah sebuah
nama yang dengan alasan tertentu diberikan pada sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan
kebudayaan. Luxemburg menyebut sejumlah faktor yang mendorong para pembaca untuk
menyebut teks ini sastra dan teks itu bukan sastra. Sejumlah faktor itu adalah sebagai berikut: (1)
yang dikaitkan dengan pengertian sastra ialah teks-teks yang tidak melulu disusun atau dipakai
untuk suatu tujuan komunikatif yang praktis dan yang hanya berlangsung untuk sementara waktu
saja. Secara agak dibuat-buat hasil sastra dipergunakan dalam situasi komunikasi yang diatur
oleh suatu lingkungan kebudayaan tertentu; (2) bagi sastra Barat dewasa ini kebanyakan teks
drama dan cerita mengandung unsur fiksionalitas; (3) puisi lirik tidak begitu saja kita namakan
“rekaan”. Di sini Luxemburg lebih suka menggunakan kategori konvensi distansi; (4) dalam
sastra bahannya diolah secara istimewa. Ini berlaku bagi puisi maupun prosa; (5) sebuah karya
sastra dapat kita baca menurut tahap-tahap arti yang berbeda-beda…. Sejauh mana tahap-tahap
arti itu dapat kita maklumi sambil membaca sebuah karya sastra tergantung pada mutu karya
sastra yang bersangkutan dan kemampuan pembaca dalam bergaul dengan teks-teks sastra; (6)
juga karya-karya sastra yang bersifat nonfiksi dan yang juga tidak dapat digolongkan pada puisi,
karena ada kemiripan, digolongkan pada karya sastra; (7) terdapat karya-karya yang semula tidak
dianggap sebagai suatu karya sastra tetapi kemudian dimasukkan ke dalam kategori sastra.
Luxemburg (1986:11-12) lebih jauh menilai sastra sebagai berikut: (1) karena sifat
rekaannya, sastra secara langsung tidak mengatakan sesuatu mengenai kenyataan dan juga tidak
menggugah kita untuk langsung bertindak. Justru oleh karena itu sastra memberikan
kemungkinan dan keleluasaan untuk memperhatikan dunia-dunia lain, kenyataan-kenyataan yang
hanya hidup dalam angan-angan, sistem-sistem nilai yang tidak dikenal atau yang bahkan tidak
dihargai; (2) sambil membaca sebuah karya sastra kita dapat mengadakan identifikasi dengan
seorang tokoh, dengan orang lain; (3) bahasa sastra dan pengolahan bahan lewat sastra dapat
membuka batin kita bagi pengalaman-pengalaman baru atau mengajak kita untuk mengatur
pengalaman tersebut dengan suatu cara baru; (4) selain itu, bahasa sastra dan sarana-sarana sastra
masih mempunyai nilai tersendiri; (5) dalam lingkungan kebudayaan sastra merupakan sebuah
sarana yang sering dipergunakan untuk mencetuskan pendapat-pendapat yang hidup di dalam
masyarakat.
Sementara itu, Yus Rusyana (1984:298) mengemukakan bahwa sastra adalah bentuk
kegiatan kreatif manusia yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Batasan itu berada
dalam suatu cahaya pemikiran yang sama dengan Wellek dan Austin (1983:3) yang
menyebutkan bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, suatu karya seni. Sedangkan Jakob
sumardjo dan Saini KM (1988:3) mendefinisikan sastra: ungkapan pribadi manusia yang berupa
pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambararan
kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM (1988:16-17) terdapat tiga hal yang
membedakan karya sastra dengan bukan karya sastra. Ketiga hal itu adalah: (1) sifat khayali
sastra; (2) adanya nilai-nilai seni; dan (3) adanya cara penggunaan bahasa yang khas. Karya
sastra bukan hanya mengejar bentuk ungkapan yang indah. Karya sastra juga menyangkut
masalah isi ungkapan, bahasa ungkapannya, dan nilai ekspresinya. Berdasarkan semua itu,
penilaian terhadap suatu karya sastra sebagai bermutu (atau tidak bermutu) harus berdasarkan
penilaian bentuk, isi, ekspresi, dan bahasanya. Sebenarnya unsur-unsur tersebut tidak berdiri
sendiri-sendiri. Semuanya merupakan suatu kesatuan yang tidak mungkin dipisah-pisahkan.
Hanya demi kepentingan analisislah bentuk karya sastra yang bermutu tadi perlu dibeda-
bedakan.
Jakob Sumardjo dan Saini KM (1988:5-8) mengajukan sepuluh syarat karya sastra dapat disebut
sebagai karya sastra bermutu, yaitu sebagai berikut: (1) karya sastra adalah suatu usaha merekam
isi jiwa sastrawannya. Rekaman ini menggunakan alat bahasa; (2) sastra adalah komunikasi; (3)
sastra adalah sebuah keteraturan. Karya sastra memiliki peraturan sendiri dalam dirinya; (4)
sastra adalah penghiburan; (5) sastra adalah sebuah integrasi; (6) karya sastra yang bermutu
merupakan suatu penemuan; (7) karya sastra yang bermutu merupakan ekspresi sastrawannya;
(8) karya sastra yang bermutu merupakan sebuah karya yang pekat; (9) karya sastra yang
bermutu merupakan penafsiran kehidupan; dan (10) karya sastra yang bermutu adalah sebuah
pembaruan.
Perihal karya sastra merupakan penafsiran kehidupan, penemuan dan pembaruan,
menjadi pemikiran banyak sastrawan terkemuka dan menjadikannya sebagai filosofi kerja dalam
aktivitas kesastrawanan mereka. Secara eksplisit hal itu antara lain dikemukan sastrawan
penerima Hadiah Nobel Sastra 2001 asal Trinidad keturunan India, V.S. Naipaul (2003) dalam
pidato kehormatan yang disampaikannya di Universitas Manhattan yang diberi judul “Our
Universal Civilization”, dan sastrawan penerima Hadiah Nobel Sastra 1991 asal Afrika Selatan,
Nadine Gordimer (1995).
Terdapat tiga hal yang membedakan karya sastra dengan karya-karya (tulis) lain yang
bukan sastra, yaitu sifat khayali (fictionality), adanya nilai-nilai seni (esthetic values) dan adanya
cara penggunaan bahasa yang khas (special use of language). Dalam uraian lebih jauh tentang
fictionality, esthetic values dan special use of langauge yang membedakan karya sastra dengan
karya-karya tulis lainnya, Jakob Sumaardjo dan Saini KM (1988:13) mengemukakan bahwa sifat
khayali sastra merupakan akibat dari kenyataan bahwa karya sastra diciptakan dengan daya
khayal; dan walaupun karya sastra hendak berbicara tentang kenyataan-kenyataan dan masalah
kehidupan yang nyata, karya sastra itu terlebih dulu menciptakan dunia khayali sebagai latar
belakang tempat kenyataan-kenyataan dan masalah-masalah itu dapat direnungkan dan dihayati
pembaca. Mengapa sastrawan mempergunakan dunia khayali sebagai latar belakang kenyataan
atau masalah yang ingin disajikannya kepada pembaca? Jawabnya ialah karena dengan melalui
dunia khayali itu pembaca dapat menghayati kenyataan-kenyataan dan masalah-masalah di
dalam bentuk kongkretnya, dan yang tersentuh oleh masalah itu tidak hanya pikirannya saja,
akan tetapi juga perasaan dan daya khayalnya. Dengan demikian, pembaca dapat menjawab
(memberi response) terhadap kenyataan atau masalah yang disajikan dengan seluruh
kepribadiannya. Response seperti itu berbeda dengan yang diberikan pembaca pada karya-karya
yang bukan sastra, misalnya karya-karya ilmiah atau filsafat.
Adanya nilai-nilai seni (estetika) bukan saja merupakan persyaratan yang membedakan
karya sastra dari yang bukan karya sastra, akan tetapi justru dengan bantuan nilai-nilai itulah
sastrawan dapat mengungkapkan isi hatinya sejelas-jelasnya, sedalam-dalamnya, dan sekaya-
kayanya. Adapun nilai-nilai seni itu meliputi: keutuhan (unity) atau kesatuan dalam keragaman
(unity in variety), keseimbangan (balance), keselarasan (harmony), dan tekanan yang tepat (right
emphasis).
Keutuhan maksudnya ialah suatu karya sastra (puisi, novel, cerita pendek, drama, atau
esai) harus utuh; artinya, setiap bagian atau unsur yang ada padanya menunjang pada usaha
pengungkapan isi hati sastrawan. Keseimbangan ialah unsur-unsur atau bagian-bagian karya
sastra, baik dalam unsur maupun bobotnya, harus sesuai atau seimbang dengan faal atau
fungsinya. Keselarasan berkenaan dengan hubungan satu unsur atau bagian karya sastra dengan
unsur atau bagian lain; artinya, unsur atau bagian itu harus menunjang daya ungkap unsur atau
bagian lain dengan citra atau lambang lain, dan seterusnya. Akan halnya tekanan yang tepat,
unsur atau bagian yang penting harus mendapat penekanan yang lebih daripada unsur atau
bagian yang kurang penting. Unsur yang penting itu akan dikerjakan sastrawan dengan lebih
saksama, sedangkan yang kurang penting mungkin hanya berupa garis besar dan bersifat
skematik saja.
Kita pasti sering membaca salah satu di antara karya berikut: puisi, cerpen/novel, dan
drama. Atau bisa jadi Anda sering membaca ketiga-tiganya. Ketiga karya tersebut termasuk
dalam jenis tulisan karya sastra. Karya yang bersifat fiksi dan mempunyai sisi keindahan, baik
bahasa maupun isinya.
Karya sastra mempunyai unsur pembangun, yaitu unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik
sastra.
1. Tema
Pokok persoalan dalam cerita.
2. Karakter
Tokoh dalam cerita. Karakter dapat berupa manusia, tumbuhan maupun benda
Karekter dapat dibagi menjadi:
Karakter utama: tokoh yang membawakan tema dan memegang banyak peranan dalam cerita
Karakter pembantu: tokoh yang mendampingi karakter utama
Protagonis : karakter/tokoh yang mengangkat tema
Antagonis : karakter/tokoh yang memberi konflik pada tema dan biasanya berlawanan dengan
karakter protagonis. (Ingat, tokoh antagonis belum tentu jahat)
Karakter statis (Flat/static character) : karakter yang tidak mengalami perubahan kepribadian
atau cara pandang dari awal sampai akhir cerita.
Karakter dinamis (Round/ dynamic character): karakter yang mengalami perubahan kepribadian
dan cara pandang. Karakter ini biasanya dibuat semirip mungkin dengan manusia sesungguhnya,
terdiri atas sifat dan kepribadian yang kompleks.
3. Karakterisasi
Cara penulis menggambarkan karakter. Ada banyak cara untuk menggali penggambaran
karakter, secara garis besar karakterisasi ditinjau melalui dua cara yaitu secara naratif dan
dramatik. Teknik naratif berarti karakterisasi dari tokoh dituliskan langsung oleh penulis atau
narator. Teknik dramatik dipakai ketika karakterisasi tokoh terlihat dari antara lain: penampilan
fisik karakter, cara berpakaian, kata-kata yang diucapkannya, dialognya dengan karakter lain,
pendapat karakter lain, dsb.
4. Konflik
Konflik adalah pergumulan yang dialami oleh karakter dalam cerita. Konflik ini
merupakan inti dari sebuah karya sastra yang pada akhirnya membentuk plot. Ada empat macam
konflik, yang dibagi dalam dua garis besar:
a. Konflik internal
Individu-diri sendiri: Konflik ini tidak melibatkan orang lain, koflik ini ditandai dengan gejolak
yang timbul dalam diri sendiri mengenai beberapa hal seperti nilai-nilai. Kekuatan karakter akan
terlihat dalam usahanya menghadapi gejolak tersebut
b. Konflik eksternal
(1) Individu – Individu: konflik yang dialami seseorang dengan orang lain, (2) Individu – alam:
Konflik yang dialami individu dengan alam. Konflik ini menggambarkan perjuangan individu
dalam usahanya untuk mempertahankan diri dalam kebesaran alam. (3) Individu- Lingkungan/
masyarakat : Konflik yang dialami individu dengan masyarakat atau lingkungan hidupnya.
5. Latar
Keterangan tempat, waktu dan suasana cerita
6. Plot
Jalan cerita dari awal sampai selesai
Eksposisi : penjelasan awal mengenai karakter dan seting
Rising action: bagian cerita yang mulai memunculkan konflik/ permasalahan
Klimaks : puncak konflik/ ketegangan
Falling action: penyelesaian
7. Simbol
Simbol digunakan untuk mewakili sesuatu yang abstrak. Contoh: burung gagak
(kematian)
8. Sudut pandang
Sudut pandang yang dipilih penulis untuk menyampaikan ceritanya.
Orang pertama: penulis berlaku sebagai karakter utama cerita, ini ditandai dengan penggunaan
kata “aku”. Penggunaan teknik ini menyebabkan pembaca tidak mengetahui segala hal yang
tidak diungkapkan oleh sang narator. Keuntungan dari teknik ini adalah pembaca merasa
menjadi bagian dari cerita.
Orang kedua: teknik yang banyak menggunakan kata ‘kamu’ atau ‘Anda.’ Teknik ini jarang
dipakai karena memaksa pembaca untuk mampu berperan serta dalam cerita.
Orang ketiga: cerita dikisahkan menggunakan kata ganti orang ketiga, seperti: mereka dan dia.
9. Teknik penggunaan bahasa
Dalam menuangkan idenya, penulis biasa memilih kata-kata yang dipakainya sedemikian
rupa sehingga segala pesannya sampai kepada pembaca. Selain itu, teknik penggunaan bahasa
yang baik juga membuat tulisan menjadi indah dan mudah dikenang. Teknik berbahasa ini
misalnya penggunaan majas, idiom dan peribahasa
2.5.2 Puisi
Puisi adalah bentuk karangan yang terkikat oleh rima, ritma, ataupun jumlah baris serta
ditandai oleh bahasa yang padat.
2.6.1 Realisme
Realisme adalah aliran dalam kesusastraan yang melukiskan suatu keadaan atau
kenyataan secara sesungguhnya. Para tokoh aliran ini berpendapat bahwa tujuan seni adalah
untuk menggambarkan kehidupan dengan kejujuran yang sempurna dan subjektif. Pengarang
realis melukiskan orang-orangnya dengan perasaan-perasaan dan pikiran-pikirannya sampai
sekecil-kecilnya, dengan tidak memihak memberi simpati atau antipati. Pengarang sendiri berada
di luar, ia sebagai penonton yang objektif. Kenyataan-kenyataan itu tidak boleh ditafsirkan
secara berlebihan seperti kaum romantik. Itu sebabnya karya-karya realis banyak yang berkisar
pada golongan
masyarakat bawah seperti kaum tani, buruh, gelandangan, pelacur dan sebagainya.
2.6.2 Naturalisme
Karya naturalisme sebenarnya merupakan lanjutan dari realisme. Jika realisme
menyajikan kejadian yang nyata daam kehidupan sehari-hari, naturalisme cenderung melukiskan
kenyataan tampa memilih dan memilahnya. Persamaan dengan realisme adalah sama-sama
melukiskan realitas dengan terperinci dan teliti namun perbedaannya pada seleksi materi.
2.6.3 Impresionisme
Impresionisme adalah pelahiran kembali kesan kesan sang penyair atau pengarang
terhadap sesuatu yang dilihatnya. Pengarang takkan melukiskan sampai mendetail, sampai yang
sekecil-kecilnya seperti dalam aliran realisme atau naturalisme.
2.6.4 Ekspresionisme
Aliran kesusasteraan ekspresionisme merupakan gambaran dunia batin, imaji tentang
sesuatu yang dipikirkan. Dalam ekspresionisme ini, pengarang menyatakan sikap jiwanya,
emosinya, tanggapan subyektifnya tentang masalah manusia, ketuhanan, kemanusiaan. Dalam
sajak, misalnya, penyair tidak mengungkapkan kisah, tetapi ia langsung berteriak, menyatakan
curahan hatinya.
2.6.5 Absurdisme
Aliran sastra ini munyuguhkan pada ketidakjelasan kenyataan. Pada dasarnya, yang
dihadirkan adalah realitas manusia tetapi selalu hal-khal yang irasonal, tidak masuk akal.
Mengapa demikian? Karena bentuk sastra absurdisme ini memberi ruang yang terbuka bagi para
apresiator untuk memberi tafsiran masing-masing dan semuanya dikembakiakan kepada
pembaca. Aliran absurdisme dapat kita temui dalam karangan Putu Wijaya, Sitor Situmorang,
Budi Darmadan Iwan Simatupang.
2.6.6 Romantisme
Romantisme adalah aliran kesenian kesusasteraan yang mengutamakan perasaan. Oleh
karena itu, romantisme bisa dikatakan aliran yang mementingkan penggunaan bahasa yang
indah.dan bisa mengharukan.
2.6.7 Determinisme
Determinisme merupakan aliran kesusasteraan yang menekankan pada takdir.dalam
determinisme ini, Takdir ditentukan oleh unsur-unsur biologis dan lingkungan bukan oleh
sesuatu yang gaib seperti, Tuhan, Dewa-dewi. Penganut aliran determinisme
berangkat dari paham materialisme dan tidak percaya bahwa tuhanlah yang menakdirkan
demikian. Akan tetapi, takdir itu diakibatkan oleh sifat biolgis dari orangtua dan linkungan
keadaan masyarakat. TokohYah dalamBelen ggu, Atheis,Neraka Dunia, Katak Hendak Menjadi
Lembu dan Pada Sebuah Kapal adalah beberapa contoh determinisme.
2.6.8 Idealisme
Idealisme merupakan cabang dari aliran romantik. Rahasia alam semesta dan misteri
kehidupan , dalam realisme dan naturalisme mengandalkan pada realitas. Sebaliknya, idealisme
menekankan pada ide atau cita-cita. Aliran idealisme adalah aliran romantik yang mendasarkan
citanya pada cita-cita si peniulis atau pada pengarangnya semata. Pengarang idealisme
memandang jauh ke masa yang akan datang, dengan segala kemungkinannya yang sangat
diharapkan akan terjadi. Pada dasarnya, idealisme ini mirip ramalan. Pengarang mirip tukang
ramal yang menujumkan sesuatu, dan sesuatu itu adalah ide atau cita-citanya sendiri. Pengarang
merasa yakin bahwa fantasinya mampu direfleksikan ke dalam realitas, sebagaimana tokohTuti
dalam Layar terkembang, Siti Nurbaya, Katak Hendak Menjadi Lembu, Pertemuan Jodoh.
2.6.9 Satirisme
Karya sastra yang dimaksudkan untuk menimmbulkan cemooh, nista, atau perasaan muak
terhadap penyalahgunaan dan kebodohan manusia serta pranata; tujuannya untuk mengoreksi
penyelewengan dengan jalan mencetuskan kemarahan dan tawa bercampur dengan kecaman dan
ketajaman. Beberapa cerita pendek Budi Darma misalnya “ Kecap Nomor Satu di Sekeiling
Bayi”, dan A.A Navis dalam kumpulan cerita pendeknya“Robohnya Surau Kami” mrupakan
bentuk dari contoh karya sastra aliran absurdisme di Indonesia.
2.6.10 Lokalisme
Adalah istilah lain untuk jenis cerita lokal. Karya sastra ini menggambarkan corak atau
ciri khas suatu masa atau daerah tertentu serta pemakainan bahasa atau kata kata daerah yang
bersangkutan, dengan tujuan kisahan menjadi lebih menarik atau keasliannya tampak. Sikap dan
lingkungan tokoh juga ikut mendukung corak setempat.
2.6.11 Didaktikisme
Corak didakitisme merupakan salah satu bentuk sastra bertendens, yaitu karya sastra yang
ditulis dengan maksud tertentu. Yang diutamakan dalam aliran ini adalah bagaimana pengarang
menyakinkan pembacanya sehingga pembaca itu mampu mengambil teladan dan makna dari
karya sastra itu. Pada zaman Angkatan Balai Pustaka para pengarang menyajikan bentuk
karangan yang menentang adat dan tradisi.
2.612 Atavisme
Atavisme merupaka suatu ciri bila pengarang atau sastrawan menampikan kembali
bentuk dan unsur sastra lama di dalam karyanya. Seperti penggunaan pantun, atau mantra.
2.6.15 Popularisme
Cerita Populer merupakan salah satu jenis fiksi yang paling banyak dibaca dan digemari
oleh para pebaca karena sifat utamanya memberi hiburan. Cerita popular ini sering disebut cerita
picisan. Cerita picisan ini bila ditinjau dari sudut seni sastra tidak bermutu karena pada umumnya
memperlihatkan corak suatu usaha tidak kearah kepentingan mencari uang belaka. Namun jenis
bacaan popular ini menjadi kesukaan para pembaca karena sifatnya yang ringan dan gampang
dicerna.
2.6.17 Tragedisme
Cerita tragedisme melukiskan pertentangan daintara protagonis dengan kekuatan yang
luar biasa, yang berakhir dengan keputusasaan atau kehancuran sang protaginis. . karangan
dramatik sering berbentuk sajak, bertema serius dan seih, yang tokoh utamanya menemui
kehancuran karena suatu kelemahan seperti keangkuhan atau iri hati. Bentuk karya tragedi lebih
merupakan bencana yang dialami para tokoh cerita seperti halnya tokoh-toko cerita Tohs
Mohtar, Motinggo Busye, Bur Rasuanto dan sebagainya.
2.6.18 Ironis- Sarkasme
Karya sastra beraliran ini pemakaiannya untuk mencemooh yang bersangkutan dengan
kontras dari apa yang sebenarnya.
2.6.19 Eksotisisme
Karya sastra yang menunjukkan cirri-ciri eksotisme adalah yang bersangkut paut dengan
latar, tokoh, dan peristiwa yang mengasyikan, mempesona, dan asing. Dengan kata lain,
eksotisime menunjukkan suatu cirri khas yang sangat spesifik daam penampilan setting, dimana
setting yang dipih terasa aneh dan asing bagi pembaca.
2.6.20 Futurisme
Aliran dalam sastra yang menganjurkan agar neninggalkan segala bentuk ekspresi gaya
baru, bentuk baru, pokok baru dengan menekankan pentingnya pengganmbaran kecepatan,
kekuatan dankekerasan. Menurut kaum futuris, karya sastra hendaknya menyesuaikan diri
dengan zaman modern yang bergerak cepat.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Karya sastra Indonesia memiliki 3 bentuk. Yaitu : bentuk prosa, bentuk Puisi dan bentuk drama
2. Prosa adalah karangan bebas. Sedangkan puisi adalah karangan yang terikat oleh aturan. Dan
drama adalah sastra dalam bentuk pementasan.
3. Karya sastra memiliki banyak aliran-aliran.
4. kritik sastra Indonesia memiliki masing-masing zamannya, masing-masing
pelopornya dan banyak teori baru.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wiyanto, Asul. 2005. Kesusastraan Sekolah. Jakarta : Grasindo.
2. Ulfah, Suroto. 2000. Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta : Erlangga.
3. Layun Rampan, Korrie. 1999. Aliran-Jenis Cerita Pendek. Jakarta : Balai Pustaka.
4. Sardjono Pradotokusumo, Partini. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta : Gramedia.
5. Lazarescu Lisa R. “Elements of Literature”. 31 January 2006. 10 September 2006.
http://web.cocc.edu/lisal/literaryterms/elements_of_literature.htm