Anda di halaman 1dari 12

UNIVERSITAS

JAMBI

Makalah Filsafat Pendidikan

konsep Pendidikan Menurut


Tokoh Dunia
Disusun oleh : kelompok 3

Pendidikan Biologi
fakultas keguruan dan ilmu pendidikan
universitas jambi
2021
KONSEP PENDIDIKAN MENURUT TOKOH
DUNIA

Mata kuliah : Filsafat Pendidikan


Dosen Pengampuh:
Dr. Dra. Evita Anggereini, M.Si.

Disusun oleh :

1. Putri Regina (A1C421001)


2. Kurnia Nurmadani (A1C421029)
3. Dwi Kurnia Putri (A1C421034)
4. Haikal Febriano (A1C421041)
5. Ghina Prihandani (A1C421047)
6. Syafira Nur Azizah (A1C421076)
7. Hany Candrisa (A1C421094)

Pendidikan Biologi
Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan
Universitas Jambi
2021
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................ i


Daftar isi .......................................................................................... ii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah ........................................... 1


B. Rumusan masalah .................................................... 1
C. Tujuan masalah.........................................................1

BAB II
PEMBAHASAN

a) Konsep pendidika ibnu sina..........................................2


b) Konsep pendidikan Al-Ghazali.....................................3
c) Konsep pendidikan John Locke....................................4

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan .................................................................. 5

DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
atas terselesaikan makalah ini. Tak lupa sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan
kita Baginda Nabi Muhammad SAW. Beserta seluruh keluarga, para sahabat, dan para pengikut
beliau yang setia hingga akhir zaman.
Alhamdulillah wa Syukurillah atas berkat Rahmat, Inayah dan Hidayah-Nya, kami dapat
menyelesaikan tugas makalah Filsafat Pendidikan dengan tema " Konsep Pendidikan Menurut
Tokoh Dunia". Dengan terselesaikannya pembuatan makalah ini tak lupa saya ucapkan terima
kasih kepada Ibu Dr. Dra. Evita Anggereini, M.Si. selaku dosen yang telah memberikan
pengarahan dan koreksi sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai waktu yang telah
ditentukan. Kami juga sangat berterimakasih kepada teman-teman kelas yang telah berpartisipasi
dan memberikan motivasinya hingga terselesaikannya makalah ini.

Kami menyadari selaku manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, karena memang salah
datangnya dari manusia dan kebenaran hanya milik-Nya Allah SWT. Maka dari itu kami sangat
mohon maaf apabila ada kekurangan dalam makalah ini, kami juga menerima apabila ada kritik
dan saran. Saya berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Aamiin aamiin yaa Robbal `Alamiin.

ʺfastabiqul khoirot,wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuhʺ

Jambi, November 2021


Bab I
Pendahuluan

Masalah pendidikan merupakan masalah yang berhubungan langsung dengan kehidupan


manusia. Pendidikan sendiri memiliki makna yaitu usaha manusia dewasa yang sadar akan
kemanusiaannya, dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar
pandangan hidup kepada generasi selanjutnya, agar menjadi manusia yang bertanggung jawab
akan tugasnya sesuai dengan sifat dan hakikat kemanusiaanya. Lebih luas masalah pendidikan
adalah masalah yang menyangkut seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia.
Bahkan pendidikan bisa juga akan menghadapi persoalan yang tidak mungkin dijawab dengan
menguakkan analisa ilmiah semata-mata, tetapi memerlukan analisa dan pemikiran yang
mendalam, yaitu analisa filsafat.
Sebuah pendidikan tidak hanya sekedar menempatkan manusia dengan tanggung jawabnya.
Namun, manusia mempunyai pandangan yaitu sebagai dasar atau sumber daya yang paling utuh.
Pendidikan sendiri tidak diperbolehkan untuk terjebak atau tetap dalam teori-teori yang
neoklasik yang dimaksud yaitu, suatu teori dimana manusia itu ditempatkan sebagai sumber atau
alat yang digunakan untuk memproduksi dimana manusia menjadi penguasa terhadap ilmu
pengetahuan serta teknologi dan juga memiliki tujuan untuk menopang kekuasaan dan
kepentingan kapitalis.
Ada sebuah prinsip dari psikologi pendidikan yaitu dimana seorang guru tidak boleh dengan
mudahnya memberikan wawasannya kepada siswa, akan tetapi sang siswa yang harus mencari
tahu dan bertanya agar suasana kelas bisa aktif, serta siswa bisa tanggap dalam usaha
membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan hanya bisa didapat dengan cara manusia
itu sendiri bagaimana upaya mencarinya, bukan hanya untuk diambil dan dingat. Tapi juga harus
difahami dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari penggambaran tersebut, bahwasannya perlu adanya pembahasan lebih lanjut mengenai
konsep pendidikan menurut tokoh dunia yang disertai subjektivitas pengalaman yang telah terjadi
dalam pendidikan.

Rumusan Masalah
Untuk mendapatkan sesuatu dari penelitian, maka akan ada rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep pendidikan ibnu sina?
2. Bagaimana konsep pendidikan Al-Ghazali?
3. Bagaimana konsep pendidikan

Tujuan Masalah
Dengan adanya rumusan masalah yang kita bentuk, muncullan sebuah tujuan mengapa kita
membahas masalah itu, sebagai berikut :
1. Agar mahasiswa mengetahui latar belakang munculnya konsep pendidikan
2. Agar mahasiswa mengetahui penerapan konsep pendidikan
Bab II
PEMBAHASAN
A. Konsep pendidikan Ibnu Sina

1. Biografi dan Asal-Usul Kelahiran Ibnu Sina

Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali al-Husien bin Abdullah al-Hasan bin ‘Ali bin
Sina. Ia dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, di kawasan Asia Tengah pada tahun 370 H
dan meninggal dunia di Hamadzan pada tahun 428 H (1038 M) dalam usia 57 tahun. Nama
neneknya adalah Hasan, dan ayah dari neneknya bernama Ali. Banyak dugaan, bahwa nama
Ibnu Sina berasal dari “Cina” yaitu sebutan dalam bahasa Arab dengan sedikit perubahan
sebutan “S”. Menurut pendapat Alberry sebagaimana yang dikutip oleh Sudarsono mengatakan
kemungkinan besar “Sina bukan nama asli dari neneknya, tetapi berasal dari perkataan
“asShina” dalam bahasa Arab “berarti “Cina”.
Dalam autobiografinya Ibnu Sina memulai dengan mengatakan, “Ayahku seorang
penduduk Balakh. Ia pindah ke Bukhara pada zaman pangeran Nuh bin Mansur (387 H/997
M)”. Kemudian ayahnya diangkat menjadi penguasa kota Kharmaitsan (satu kota dari daerah
Bukhara). Di kota ini ayahnya kawin dengan seorang wanita yang tidak begitu jauh dari
Kharmaitsan yang bernama Sattarah dan mendapat anak tiga orang, yakni: Ali, Husein dan
Muhammad, berarti Ibnu Sina adalah anak kedua dari tiga bersaudara.

2. Konsep Pendidikan Menurut Ibnu Sina

Konsep dalam proses pembelajaran mempunyai fungsi yang strategis dalam mencapai
tujuan pendidikan, karena tanpa adanya konsep sangat mustahil kurikulum (materi) yang
disampaikan kepada subjek didik bisa mencapai tujuan atau sasaran yang telah dirancang
sebelumnya. Adapun konsep metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina sebagaimana yang
disimpulkan oleh Abuddin Nata, bahwa suatu materi pelajaran tertentu tidak akan dapat
dijelaskan kepada subjek didik dengan satu cara saja, melainkan harus dicapai dengan berbagai
cara yang sesuai dengan perkembangan psikologisnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa dalam penyampaian materi tersebut, hendaknya
disesuaikan dengan sifat materi pelajaran, sehingga antara metode dan materi yang disajikan
tidak akan kehilangan daya relevansinya. Dalam hal ini, Ibnu Sina menawarkan beberapa
metode sebagaimana yang disimpulkan oleh Abuddin Nata, antara lain: metode talqin,
demontrasi, pembiasaan, teladan, diskusi, magang dan penugasan. Berhubungan dengan metode
talqin, nampaknya Ibnu Sina sebagaimana yang disimpulkan oleh Abuddin Nata menggunakan
untuk mengajar membaca al-Qur’ān. Sedangkan metode demontrasi, ia menggunakan untuk cara
mengajar menulis. Sementara metode pembiasaan atau teladan, ia menggunakan untuk cara
mengajar akhlak. Lebih lanjut metode diskusi, ia menggunakan untuk cara penyajian pelajaran
kepada subjek didik. Berkenaan dengan metode magang, ia menggunakan dalam kegiatan
pengajaran yang dilakukan. Selanjutnya, berkenaan dengan metode penugasan, ia menggunakan
dalam kegiatan cara penyajian pelajaran kepada subjek didik. Dari statemen yang dikemukakan
di atas, dapat dipahami bahwa Ibnu Sina, menganjurkan agar dalam mengaplikasikan metode
ada beberapa langkah yang diperhatikan, sehingga metode mempunyai relevansi dengan tujuan
dan materi pendidikan. Adapun langkah-langkah tersebut, antara lain:
1. Dalam menggunakan metode pengajaran, hendaklah kita memperhatikan kesesuaian antara
bidang studi dengan metode yang kita ajarkan kepada subjek didik;
2. Dalam menggunakan metode pengajaran, hendaklah kita memperhatikan tingkat usia subjek
didik;
3. Dalam menggunakan metode pengajaran, hendaklah kita memperhatikan bakat dan minat
subjek didik.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa metode pengajaran yang ditawarkan oleh Ibnu
Sina, kelihatannya masih sangat relevan dengan perkembangan pendidikan modern dewasa ini.
Dalam hal ini, Ibnu Sina dapat digolongkan sebagai pemikir pendidikan yang sangat besar
sumbangan dalam bidang pendidikan.

Menurut Ibn Sina, tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi
yang dimliliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik,
intelektual, dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurutnya harus diarahkan pada
upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan
melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan,
kecenderungan, dan potensi yang dimilikinya.
Ibn Sina membedakan tahap pendidikan: pertama, pendidikan di rumah dan kedua,
pendidikan di sekolah (maktab) di bawah seorang guru (mu’allim) dan keduanya sebetulnya
saling melengkapi. Tujuan pendidikan awal: memperkokoh keimanan, membangun karakter
yang baik dan kesehatan, memberantas buta aksara, mengajarkan cikal-bakal berpikir yang benar
dan mempelajari kerajinan. Tujuan pendidikan disekolah yang mana Guru harus dipilih secara
teliti karena akan sangat berpengaruh pada karakter siswa. Guru harus , bermoral, lembut,
berpengetahuan luas, pemilik kebijakasanaan (hikmah) mampu menghayati karakter siswa,
menilai bakat mereka untuk menuntut aneka lapangan pengetahuan supaya mampu memberi
saran tentang kajian lanjutan pada tahap akhir kehidupan.
Oleh karenanya, ini menjadi sesuatu yang sangat penting dan bermanfaat untuk ditelusuri
kembali pemikiran-pemikiran kependidikan yang berkembang di kalangan sejak zaman klasik
hingga zaman modern terutama konsep pendidikan menurut Ibn Sina (370-428H/980-1037M).

B. Konsep Pendidikan Menurut Al-Ghazali

1. Biografi Al-Ghazali

Al-Ghazali lahir di Thus pada 1058 / 450 H. Ia berkuniah Abu Hamid karena salah seorang
anaknya bernama Hamid. Gelar dia al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang bekerja
sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus,
Khurasan, Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa dia bermazhab Syafi'i.
Ia berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin
anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli
filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan
manusia. Ia pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat
pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun
505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat
kelahirannya.
2. Konsep pendidikan Al-Ghazali

Al-Ghazali menulis masalah pendidikan dalam sejumlah karyanya, di antaranya dalam


Fatihah al-‘Ulum, Ayyuha al-Walad, dan Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din al-
Ghazali memulai tulisannya dengan uraian tentang keutamaan ilmu dan pendidikan, lalu
memberi predikat yang tinggi kepada ilmuwan dan para ulama dengan dikuatkan oleh firman
Allah, pengakuan Nabi dan Rasul, kata-kata pujangga, ahli hikmah,dan ahli pikir.
Al-Ghazali begitu banyak mengungkapkan ketinggian derajat dan kedudukan
para ulama yang sering diulang dalam berbagai kitabnya (Mahmud, 2011: 244).
Pembicaraan al-Ghazali mengenai pendidikan yang terdapat dalam Ihya’ berkisar pada
tiga hal pokok (M. Jawwad, 2002: 120).
a. Kode etik bagi pendidik dan peserta didik.
b. Pengklasifikasian ilmu yang termasuk dalam program kurikuler.
c. Penjelasan tentang keutamaan ilmu pengetahuan atas kebodohan.

Pemikiran pendidikan al-Ghazali dapat diketahui dari berbagai aspek berkaitan dengan
pendidikan, yaitu aspek tujuan pendidikan, kode etik guru/pendidik dan peserta didik, dan
metode dan media pengajaran berikut ini.

Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan


keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqarrub
kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan
kemegahan dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan selain untuk mendekatkan diri
kepada Allah, akan menyebabkan kesesatan dan kemudharatan.Dengan demikian, menguasai
ilmu bagi al-Ghazali termasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang terkandung serta
kelezatan dan kenikmatan yang diperoleh manusia padanya.
Tingkat termulia bagi manusia adalah kebahagiaan abadi, kebahagiaan abadi itu
dicapai melalu ilmu dan amal. Oleh karena itu, modal kebahagiaan di dunia dan akhirat
adalah ilmu. Kalau demikian, ilmu adalah amal yang paling utama dan mulia, akhirnya ilmu
akan membawa manusia pada derajat yang tinggi, berakhlak mulia, berakal sempurna,
bertakwa, dan bahagia didunia dan akhirat dengan Ridho Allah. Sesuai dengan pernyataan
Imam al-Ghazali (1987: 12) yaitu:

”Dunia adalah ladang tempat persemaian benih-benih akhirat. Dunia adalah alat yang
menghubungkan seseorang dengan Allah. Sudah barang tentu, bagi orang yang
menjadikan dunia hanya sebagai alat dan tempat persinggahan, bukan bagi orang yang
menjadikannya sebagai tempat tinggal yang kekal dan negeri yang abadi”.
Namun demikian, akhirat oriented juga bukanlah sikap yang sejalan dengan ajaran AlQur’an.
Keseimbangan antara dunia dan akhirat adalah sebuah tuntunan yang harus
dilaksanakan. Oleh karena itu, penjelasan secara implisit Imam al-Ghazali menemukan bahwa
tujuan pendidikan adalah membentuk insan yang paripurna, yakni insan yang tahu
kewajibannya, baik sebagai hamba Allah maupun sesama manusia.

metode dan media yang dipergunakan dalam proses pembelajaran, menurut al-Ghazali harus
dilihat secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses
pembelajaran. Metode pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media atau alat
pengajaran. Perihal kedua masalah ini, banyak sekali pendapat al-Ghazali tentang metode dan
media pengajaran. Untuk metode, misalnya ia menggunakan metode mujahadah dan riyadhah,
pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli dan aqli serta bimbingan
dan nasihat.
Sedangkan media/alat beliau menyetujui adanya pujian dan hukuman, disamping keharusan
menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak mulia (Zainuddin, 1991: 67).

Metode mujahadah dan riyadhoh-nafsiyah (ketekunan dan latihan kejiwaan) menurut Imam
al-Ghazali adalah membebani jiwa dengan cara mengulang-ulangi amal perbuatan yang
difokuskan pada khuluk yang baik. Hal ini akan meninggalkan kesan yang baik dalam jiwa anak
didik dan benar-benar akan menekuninya. Seperti bermurah hati dan tawadhu’, untuk
merealisasikan khuluk seperti itu perlu adanya mujahadah (menekuninya) sehingga hal itu akan
menjadi watak dan akhlaknya.

Dari uraian tentang proses pembelajaran dan metode pendidikan menurut Imam al-Ghazali
dapat dipahami bahwa makna sebenarnya dari metode pendidikan lebih luas dari apa yang telah
dikemukakan. Aplikasi metode ini secara tepat guna tidak hanya dilakukan pada saat
berlangsungnya proses pendidikan saja, melainkan lebih dari itu membina dan melatih fisik dan
psikis guru sebagai pelaksana untuk menjadi uswatun khasanah bagi peserta didiknya. Dalam hal
ini, Hasan Langgulung (1987: 14) menjelaskan bahwa proses pembelajaran dan metode
pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali tidak hanya bersifat sebagai metode
mengajar an-sich, tetapi juga meliputi pendidikan dan latihan guru. Dengan demikian prinsip-
prinsip penggunaan metode yang tepat sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Ghazali
memiliki relevansi dan koherensi dengan pemikiran nilai-nilai kontemporer pada masa kini. Hal
ini berarti bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan oleh Imam al- Ghazali dapat
diterapkan dalam dunia pendidikan secara global.

Menurut pandangan Al-Ghazali, ilmu dapat dilihat dari dua segi yaitu ilmu proses dan ilmu
obyek, dan ilmu dapat dikatakan sebagai obyek. Secara sistematis bangunan keilmuan Al-
Ghazali terdiri dari
a. Ilmu yang disyari’atkan (Al-Qur’an dan As-Sunnah).
b. Ilmu yang tidak disyari’atkan yang diperoleh melalui penalaran akal, pengalaman, dan panca
indera.
c. Ilmu yang terpuji; ilmu yang berkaitan dengan kemaslahatan dunia seperti kedokteran,
pertanian, dan yang lainnya.
d. Ilmu yang bersifat Fardhu Ain dan Kifayah.
e. Ilmu yang tercela seperti ilmu sihir dan nujum. f. Ilmu yang diperbolehkan seperti ilmu
sejarah, syair, sastra, dll.

3. pendidikan John locke

1. Biografi John Locke

John Locke lahir 29 Agustus 1632 M di Wrington, Somersetshire, pada masa kekuasaan
Charles I. Ayahnya seorang landowner and attorney yang sangat sederhana di Somerset, dan
pernah bergabung dalam dinas militer pada saat Revolusi Rakyat pada tahun 1642-1646 M.
Perjuangan yang bersifat politik dan konstitusional yang menyebabkan terjadinya revolusi rakyat
tersebut menimbulkan ketegangan yang tinggi antara Raja dan Parlement. Ketegangan tersebut
dihembuskan oleh intrik dari Gereja Roma Katolik yang membawa timbulnya pertentangan
antara Kekuasaan Gereja Tertinggi di Anglikan melawan kelompok Puritan. Perjuangan yang
bersifat konstitusional melawan kekuasaan parlemen pemerintah yang bercorak monarki. Kedua
isu tersebut, yaitu toleransi dan konstitusi menjadi sesuatu yang penting bagi John Locke dan
kemudian menjadi objek kajian dalam tulisannya. John Locke seorang Kristen yang beriman dan
shaleh yang menerima wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan,
dia menjaga wahyu dengan pagar-pagar rasional. Pada suatu ketika dia berkata, “Kesaksian
nyata dari wahyu merupakan kepastian tertinggi.” Tetapi dilain kesempatan dia berkata, “Wahyu
harus dinilai dengan akal.” Pada akhirnya, akal tetaplah yang tertinggi.

2. Konsep pendidikan John Locke

Dalam pandangannya tentang filsafat ilmu pengetahuan, Locke mengemukakan tentang


beberapa tujuan dari pendidikan. Pertama, pendidikan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan
dan kemakmuran setiap manusia. Oleh sebab itu, sebagai bagian akhir dari pendidikan,
pengetahuan hendaknya membantu manusia untuk memperoleh kebenaran, keutamaan dan
kebijaksanaan hidup.

Kedua, pendidikan juga bertujuan untuk mencapai kecerdasan setiap individu dalam menguasai
ilmu pengetahuan sesuai dengan tingkatannya. Dalam konteks itu, Locke melihat pengetahuan
sebagai usaha untuk memberantas kebodohan dalam hidup masyarakat. Setiap manusia
diarahkan pada usaha untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Ketiga,
pendidikan juga menyediakan karakter dasar dari kebutuhan manusia untuk menjadi pribadi
yang dewasa dan bertanggungjawab. Dalam arti ini, pengetahuan dilihat oleh John Locke
sebagai sarana untuk membentuk manusia menjadi pribadi yang bermoral. Seluruh tingkah laku
diarahkan pada usaha untuk membentuk pribadi manusia yang baik, sesuai dengan karakter
dasar sendiri sejak diciptakan. Keempat, pendidikan menjadi sarana dan usaha untuk memelihara
dan membaharui sistem pemerintahan yang ada

John Locke mengutamakan pendidikan di rumah daripada di sekolah, karena pendidikan di


rumah memberi kesempatan mengenal lebih dekat kepribadian si anak. Ciri didaktik John Locke
adalah: Pertama, belajar seperti bermain. Kedua, mengajarkan mata pelajaran berturut-turut,
tidak sama-sama. Ketiga, mengutamakan pengalaman dan pengamatan. Keempat,
mengutamakan pendidikan budi pekerti.28 John Locke menegaskan kurikulum harus diarahkan
demi kecerdasan individual, kemampuan dan keistimewaan anak-anak dalam menguasai
pengetahuan dan bukan pada pengetahuan yang biasa diajarkan dengan hukuman yang
sewenang-wenang. Menurut Locke perkembangan kepribadian yang baik terdiri dari tiga bagian:
kebajikan, kebijaksanaan dan pendidikan. Kurikulum pendidikannya mencakup membaca,
menulis dan ilmu menghitung, bahasa dan kesusastraan, pengetahuan alam, pengetahuan sosial
dan kesenian. Ia juga menekankan studi geografi, aritmatika, astronomi, geometri, sejarah, etika,
hukum sipil dan pendidikan jasmani. Memberikan pembelajaran bahasa juga sangat diutamakan,
bahkan menjadi keharusan bagi anak didik untuk mempelajarinya sebagai alat untuk memahami
ilmu-ilmu lainnya.

Pada dasarnya Locke menolak metode pangajaran yang biasa disertai dengan hukuman dan
pemberian ganjaran. Baginya, tatakrama dipelajari melalui teladan dan bahasa dipelajari melalui
kecakapan. Bagi Locke metode pembelajaran yang terbaik ialah belajar sambil bermain dan anak
perlu diberikan kebebasan dan tidak terlalu memaksakan kehendaknya. Metode pendidikan
dengan belajar sambil bermain John Locke, dapat dikatakan merupakan ciri khas metode
pendidikannya. Dan itu sesuai dengan teori kertas putih yang bersih dari segala tulisan, lalu diisi
sekehendak hati saat proses pembelajaran berlangsung. Seiring dengan belajar dan bermain,
anak akan membentuk pengetahuannya melalui interaksinya dengan lingkungan, dan disamping
itu juga guru menanamkan pengetahuan pada anak tersebut. Permainan anak harus disesuaikan
dengan apa yang ia senangi, bukan dengan anak bermain diberikan hukuman.
Dengan tegas ia menolak pendidikan dengan adanya pemberian hukuman dan pemberian
hadiah. Lebih lanjut Locke mengungkapkan, bahwa metode pendidikan harus membawa anak
didik kepada praktek aktivitas-aktivitas kesopanan yang ideal sampai mereka menjadi terbiasa.

Anak-anak pertama-tama belajar melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukan, kemudian tiba


pada pengertian atau pengetahuan atas apa yang ia lakukan. Baginya yang penting bukan nilai
matril, melainkan nilai formil. Karena itu Locke lebih mengutamakan pembentukan kesusilaan
daripada pembentukan akal. John Locke juga menolak pendidikan agama yang berlebih-lebihan.
Locke tidak setuju anak diberi kitab Bible. Menurutnya anak lebih baik disuruh membaca cerita-
cerita Bible. Sesuai dengan paham Deisme, ia memperingatkan agar pelaksanaan pendidikan
keagamaan tidak berlebihan. Sebagai seorang dokter yang jasmaninya lemah, ia sangat
memperhatikan pendidikan jasmani

Bab III
Penutup

Kesimpulan
Menurut Ibn Sina, tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi
yang dimliliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik,
intelektual, dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurutnya harus diarahkan pada
upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan
melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan,
kecenderungan, dan potensi yang dimilikinya. Tujuan pendidikan disekolah yang mana Guru
harus dipilih secara teliti karena akan sangat berpengaruh pada karakter siswa. Oleh karenanya,
ini menjadi sesuatu yang sangat penting dan bermanfaat untuk ditelusuri kembali pemikiran-
pemikiran kependidikan yang berkembang di kalangan sejak zaman klasik hingga zaman
modern terutama konsep pendidikan menurut Ibn Sina .Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali
harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada
perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang
tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan selain
untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan menyebabkan kesesatan dan kemudharatan.Dengan
demikian, menguasai ilmu bagi al-Ghazali termasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang
terkandung serta kelezatan dan kenikmatan yang diperoleh manusia padanya., Locke
mengemukakan tentang beberapa tujuan dari pendidikan. Pertama, pendidikan bertujuan untuk
mencapai kesejahteraan dan kemakmuran setiap manusia. Oleh sebab itu, sebagai bagian akhir
dari pendidikan, pengetahuan hendaknya membantu manusia untuk memperoleh kebenaran,
keutamaan dan kebijaksanaan hidup. Kedua, pendidikan juga bertujuan untuk mencapai
kecerdasan setiap individu dalam menguasai ilmu pengetahuan sesuai dengan tingkatannya..
Ketiga, pendidikan juga menyediakan karakter dasar dari kebutuhan manusia untuk menjadi
pribadi yang dewasa dan bertanggungjawab. Dalam arti ini, pengetahuan dilihat oleh John
Locke sebagai sarana untuk membentuk manusia menjadi pribadi yang bermoral. Seluruh
tingkah laku diarahkan pada usaha untuk membentuk pribadi manusia yang baik, sesuai dengan
karakter dasar sendiri sejak diciptakan. Keempat, pendidikan menjadi sarana dan usaha untuk
memelihara dan membaharui sistem pemerintahan yang ada.
Daftar Pustaka

Arista, N.R. (2019). “Konsep Pendidikan Menurut Al-Ghazali dan Relevansinya dalam
Pendidikan Indonesia”, Jurnal Tawadhu, Vol. 3 no. 2.

Rohman, Miftaku (2013). “Konsep Pendidikan Islam Menurut Ibnu Sina dan Relevansinya
dengan Pendidikan Modern”,Vol. 8, no. 2.

Sormin, D dkk. (2020). “Konsep Pendidikan dalam Perspektif Pemikiran Ibnu sina”,
jurnal ilmu-ilmu sosial dan keislaman, Vol. 5, No. 1.

Yuliana, Elfa. & Abror, W.R.M, (2019). “Komparasi Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali dan
John Locke Perspektif Pendidikan Islam dan Barat”, Vol. 4, No. 1.

Anda mungkin juga menyukai