Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

KEPERAWATAN KOMUNITAS II

Oleh

WIRA IRNINGSIH

1912142010234

DOSEN PEMBIMBING:

WISNATUL IZZATI, SST, M.Kes

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES YARSI SUMBAR
2021
CAPAIAN PEMERINTAH PADA MASALAH KESEHATAN ANAK

DIINDONESIA TAHUN 2019

Perwujudan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa yang berkualitas,


berimplikasi pada perlunya pemberian perlindungan khusus terhadap anak-anak agar bebas
berinteraksi dalam kehidupan di lingkungan masyarakat. Sebagai pertimbangan kebijakan,
pemerintah telah menyadari pentingnya ketersediaan berbagai macam indikator anak.
Berdasarkan UU No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak sebagaimana disebutkan pada pasal 1 ayat (1) bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak
merupakan aset pembangunan masa depan bangsa, karena itu pemerintah perlu berinvestasi
secara intensif pada bidang kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan. Kondisi tumbuh
kembang anak terkait dengan kesehatan dan nutrisi yang diperlukan, pendidikan dan
kesejahteraan anak, lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang serta faktor-faktor
lainnya. Beberapa hal tersebut merupakan penentu masa depan anak dan juga masa depan
bangsa. Dengan demikian penting untuk mengetahui sejauh mana indikator-indikator anak
telah mencapai kemajuan atau pun belum.

Masalah utama yang masih terjadi pada anak-anak di Indonesia yaitu kesenjangan
pada berbagai aspek, salah satunya adalah kesenjangan sosial. Dalam mengatasi kesenjangan,
pemerintah melalui Kemen PPPA membina organisasi anak yaitu Forum Anak Nasional
(FAN). Forum ini dikembangkan pada setiap jenjang administrasi pemerintahan seperti
kelurahan, desa, kawasan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga tingkat nasional.
Tentunya, untuk mendukung program ini sebagaimana tercantum dalam pasal 21 Undang-
undang perlindungan anak bahwa pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan
perlindungan anak di daerah dengan diwujudkan melalui upaya dalam membangun
Kabupaten/kota Layak Anak (KLA). Melalui program tersebut, pemerintah mengintegrasikan
komitmen dari pemerintah, masyarakat, media dan dunia usaha dalam rangka pemenuhan hak
dan perlindungan khusus anak.

Jumlah anak-anak di Indonesia pada tahun 2018, mencapai 79,5 juta orang atau
sekitar 30,1 persen dari total penduduk Indonesia. Terdiri dari 40,4 juta anak laki-laki dan
39,1 juta anak perempuan. Anak terbanyak berada di Provinsi Riau, jumlahnya sebesar 35,5%
dari total penduduk Riau, sedangkan jumlah anak terkecil terdapat di Provinsi DI Yogyakarta.
Sekitar 24,8% dari penduduk DI Yogyakarta adalah anak usia 0-17 tahun. Rasio jenis
kelamin anak di Indonesia sebesar 103,3 artinya dari setiap 100 anak perempuan terdapat
sekitar 103 anak laki-laki.

Untuk pertama kalinya dalam 20 tahun, laporan utama UNICEF Status Anak


Dunia menyoroti isu anak, pangan, dan gizi serta menghadirkan sudut pandang baru
mengenai tantangan yang terus berubah dengan cepat. Lepas dari kemajuan yang sudah diraih
dalam dua dasawarsa terakhir, sepertiga anak balita masih mengalami malnutrisi–stunting,
wasting, ataupun berat badan berlebih–sementara dua pertiganya berisiko menderita
malnutrisi dan kelaparan terselubung akibat asupan makan yang tidak berkualitas. Pola ini
mencerminkan tiga beban malnutrisi–gizi kurang, kelaparan terselubung, dan berat badan
berlebih–yang mengancam kelangsungan hidup, tumbuh kembang anak, dan perkembangan
suatu bangsa. Permasalahan terletak pada sistem pangan yang tidak bekerja dan gagal
memberikan asupan makanan yang dibutuhkan anak untuk tumbuh dengan sehat.

Dalam beberapa puluh tahun terakhir, Indonesia telah mencapai kemajuan luar biasa
dan bertransisi menjadi negara berpendapatan menengah. Namun, pencapaian di bidang gizi
masih tertinggal dari aspek kesehatan lain yang terkait dengan tumbuh kembang anak. Jutaan
anak dan remaja Indonesia masih menderita angka stunting dan wasting yang tinggi, serta
mengalami ‘beban ganda’ akibat malnutrisi, baik dalam bentuk kurang gizi maupun lebih
gizi.

UNICEF mendukung Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan lingkungan yang


mendukung gizi, dan memperkuat sistem untuk pemberian layanan gizi. Aspek ini termasuk
memberikan saran kebijakan, koordinasi dan dukungan advokasi; membantu menghasilkan
bukti praktik terbaik dalam nutrisi; dan memberikan bantuan teknis untuk memperluas
cakupan dan kualitas layanan gizi berdampak tinggi untuk anak-anak dan perempuan,
terutama yang paling rentan.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018


menunjukkan 17,7% bayi usia di bawah 5 tahun (balita) masih mengalami masalah gizi.
Angka tersebut terdiri atas balita yang mengalami gizi buruk sebesar 3,9% dan yang
menderita gizi kurang sebesar 13,8%. Dibanding hasil Riskesdas 2013, bayi yang mengalami
masalah gizi turun seperti terlihat pada grafik di bawah ini. Sementara dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019, bayi yang mengalami masalah
gizi ditargetkan turun menjadi 17%. Adapun prevalensi balita yang
mengalami stunting (tinggi badan di bawah standar menurut usia) sebesar 30,8%, turun
dibanding hasil Riskesdas 2013 sebesar 37,2%.

Sebagai informasi, dalam 1.000 hari pertama (sejak janin dalam kandungan hingga
berusia dua tahun) kehidupan bayi merupakan usia emas bagi tumbuh kembang anak.
Sayangnya anak-anak yang seharusnya menjadi harapan masa depan bangsa Indonesia masih
banyak yang mengalami masalah gizi (29,9%) di usia dini. Untuk, itu pemerintah
menganggarkan dana dalam APBN 2019 sebesar Rp 123,1 triliun guna meningkatkan akses
dan kualitas layanan kesehatan serta penguatan penanganan stunting.

Kasus stunting pada anak balita masih menjadi masalah kesehatan yang perlu diwaspadai
di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Menteri Kesehatan pada tanggal 12 November 2019,
bertepatan dengan Hari Kesehatan Nasional ke-55 (Kompas.com, 12 November 2019). Data
prevalensi anak balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO) yang
dirilis tahun 2018 menyebutkan Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan
prevalensi tertinggi di South-East Asian Region setelah Timor Leste (50,5%) dan India
(38,4%) yaitu sebesar 36,4% (Pusat Data dan Informasi Kemenkes, 2018). Angka prevalensi
stunting di Indonesia masih di atas 20%, artinya belum mencapai target WHO yang di bawah
20%.

Mengatasi stunting juga merupakan bagian dari upaya pemerintah memberikan


perlindungan kepada anak. Saat ini Indonesia telah memiliki UU No. 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. UndangUndang ini
menjamin anak atas hak-haknya untuk hidup dan berkembang sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan. Tulisan ini mengulas persoalan stunting pada anak di Indonesia dan
strategi penanggulangannya, supaya angka prevalensi stunting terus menurun sesuai dengan
target WHO, yaitu di bawah 20%.

DPR RI, melalui Komisi IX, perlu melakukan pengawasan atas kejadian dan upaya
pengurangan 16 kasus stunting di Indonesia. DPR RI perlu melakukan koordinasi dengan
semua kementerian terkait untuk ikut berperan dalam praktik pengasuhan yang baik,
peningkatan pelayanan kesehatan pada masa kehamilan, persalinan dan setelah persalinan,
membuka akses keluarga terhadap ketersediaan sumber makanan bergizi, air bersih dan
sanitasi yang layak. DPR RI juga perlu mendorong pemberian akses pendampingan kepada
keluarga dan masyarakat secara berkesinambungan untuk meningkatkan pengetahuan
terhadap gizi terbaik bagi janin dan anak balita.
Selain masalah stunting, angka obesitas di Indonesia juga cukup tinggi. berdasarkan data
Riskesdas 2018 menunjukkan angka 21,8 persen untuk obesitas di Indonesia. Angka itu terus
beranjak naik sejak Riskesdas 2007 sebesar 10,5 persen dan 14,8 persen pada Riskesdas
2013. Meningkatnya angka obesitas ini ujung-ujungnya bakal berpengaruh pada
meningkatnya Penyakit Tidak Menular (PTM), seperti diabetes hingga jantung.

Kesehatan anak dan remaja

Kemajuan Indonesia dalam memperbaiki kondisi kesehatan anak, remaja, dan ibu
amat ditunjang oleh akses masyarakat yang lebih baik kepada layanan kesehatan dan beragam
program yang bertujuan menekan angka penyakit pada anak. Pemerintah menunjukkan
komitmen kuat dan nyata (yang terbaru adalah melalui RPJMN 2020–2024) untuk
memperbaiki akses kepada layanan kesehatan melalui cakupan kesehatan universal dan
langkah pencegahan yang bertujuan mempromosikan gaya hidup sehat kepada anak dan
remaja. Akan tetapi, terdapat celah dan tantangan penting yang perlu diatasi, seperti cakupan
imunisasi dan penanggulangan penyakit tidak menular.

1. Imunisasi

Satu dari sedikit cara yang masih dianggap paling mendasar untuk mencegah kematian
anak adalah imunisasi universal. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah
mengadopsi dan melaksanakan program imunisasi rutin versi Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) sejak tahun 1977 dan kini imunisasi bersifat wajib untuk semua anak di Indonesia.38
Namun demikian, jumlah anak yang tidak diimunisasi—sama sekali atau hanya sebagian—
tetap tinggi dan terdapat ketimpangan mendalam baik secara geografis maupun status sosial
ekonomi. Akibatnya, angka anak Indonesia yang tidak menerima imunisasi adalah keempat
tertinggi di dunia. Setiap tahun, penyakit yang seharusnya dapat dicegah dengan imunisasi
menyebabkan 1,5 juta anak mengalami kematian yang tidak perlu terjadi. Menurut data
pemerintah, proporsi anak satu tahun yang menerima imunisasi lengkap telah naik dalam
tahun-tahun terakhir, yaitu dari 59 persen pada 2007 ke 65 persen pada tahun 2017.40 Akan
tetapi, sebagaimana terlihat pada aspek-aspek lain sektor kesehatan di Indonesia, angka
imunisasi pada kelompok rumah tangga miskin secara khusus rendah (39,5 persen) dan
variasi antarprovinsi signifikan.
2. Penyakit tidak menular

Saat ini, Indonesia menghadapi serangkaian penyakit tidak menular yang secara khusus
berbahaya bagi anak dan janin, termasuk: tuberkulosis, malaria, demam berdarah, tifus, HIV,
dan beragam jenis diare. Tiap-tiap penyakit merupakan ancaman bagi keberlangsungan hidup
dan dapat menimbulkan kerugian jangka panjang, mulai dari gangguan belajar hingga
kerusakan otak. Indonesia telah meraih pencapaian yang baik dalam hal penurunan dan
penghapusan malaria; lebih dari separuh kabupaten/kota sudah dinyatakan bebas malaria.
Namun, prevalensi malaria di kawasan timur (Papua, Papua Barat, dan khususnya sebagian
Nusa Tenggara Timur) masih tinggi. Sebuah keputusan menteri yang diterbitkan tahun 2009
menyatakan komitmen Indonesia untuk menghapus malaria secara penuh pada tahun 2030.
Terdapat sekitar 630.000 orang yang hidup dengan HIV di Indonesia, 14.000 di antaranya
adalah anak berusia di bawah 15 tahun. Meskipun angka penularan HIV secara umum turun,
angka kasus baru pada kelompok remaja usia 15–19 tahun naik pada periode antara 2011 dan
2015—walaupun stabil dalam beberapa tahun terakhir. Penularan HIV dari ibu ke anak masih
merupakan isu penting. Pada tahun 2018, hanya 1.536 (12,8 persen) dari perkiraan 12.000
orang ibu yang hidup dengan HIV di Indonesia yang menerima terapi antiretroviral untuk
mencegah penularan kepada janin.

3. Tantangan kesehatan lingkungan

Pencemaran udara adalah satu dari tiga faktor risiko utama kematian anak di Indonesia.
Pada anak, efek polusi udara lebih signifikan karena paru-paru mereka masih berkembang
hingga usia 12 tahun dan anak membutuhkan oksigen dua kali lebih banyak dibandingkan
orang dewasa. Selain itu, anak cenderung menghabiskan waktu lebih lama di luar ruangan
untuk melakukan kegiatan fisik dibandingkan orang dewasa, sehingga lebih banyak pula
menghirup udara yang tercemar.43 Pencemaran udara berkontribusi kepada berat badan
rendah saat lahir, hambatan pertumbuhan, dan penyakit pernapasan pada anak, serta faktor
risiko utama bagi anak balita di Indonesia. Angka kematian telah turun signifikan sejak 1990
(khususnya kematian bayi), namun masih terhitung tinggi. Banyak hal berkontribusi kepada
pencemaran udara di Indonesia, seperti pembangkitan listrik bertenaga batu bara, emisi
kendaraan bermotor, dan pembakaran hutan. Selain itu, pembakaran bahan bakar padat oleh
rumah tangga berpendapatan rendah mengakibatkan anak-anak termiskin Indonesia terpapar
pencemaran udara dengan kadar 20 kali lebih tinggi dibandingkan batasan yang
direkomendasikan WHO.
4. Akses kepada layanan kesehatan reproduksi

Menurut data tahun 2017, 68 persen perempuan menyatakan dapat mengakses metode
kontrasepsi modern sesuai kebutuhan. Hal ini berarti Indonesia masih harus memacu
kemajuannya agar dapat mewujudkan target akses universal menurut SDGs pada tahun 2030.
Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, kemajuan dalam penurunan angka kehamilan
remaja mengalami stagnasi dengan angka di kawasan perdesaan lebih tinggi dibandingkan
perkotaan. Laporan baru dari Bank Dunia memperkirakan bahwa 47,3 dari setiap 1.000
remaja perempuan pernah melahirkan. Angka ini sedikit lebih tinggi dari rata-rata dunia
sebesar 44 dan belum berubah signifikan sejak pertengahan 1990-an.

5. Penyalahgunaan zat

Penyalahgunaan zat khususnya dalam bentuk merokok dan konsumsi alkohol adalah
masalah yang meluas di kalangan remaja Indonesia, terutama lelaki. Lebih dari separuh (55,3
persen) remaja lelaki usia 15–19 menyatakan mereka mengonsumsi tembakau setiap hari dan
15,5 persen mengonsumsinya sesekali.44 Konsumsi tembakau juga lebih tinggi di kalangan
perdesaan dibandingkan perkotaan. Pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa langkah
untuk mengatasi penyalahgunaan zat di kalangan remaja, antara lain dengan menetapkan
wilayah bebas rokok di sekolah-sekolah, tempat kerja, dan area publik.

6. GIZI ANAK DAN REMAJA

Gizi yang berkualitas adalah penentu keberlangsungan hidup, kesehatan, dan


pertumbuhan anak. Anak yang bergizi baik dapat bertumbuh dan belajar, berpartisipasi dan
bermanfaat bagi masyarakat, dan mampu bertahan saat menghadapi tantangan penyakit,
bencana alam, dan bentuk lain dari krisis global. Gizi anak juga merupakan prioritas kunci di
Indonesia dan bagian dari komitmen SDGs pemerintah untuk menanggulangi permasalahan
gizi seperti berat badan lahir rendah dan stunting. Pada bidang ini pun, meskipun berbagai
pencapaian besar telah diraih, masih ada kerja-kerja penting yang perlu dilaksanakan. Gizi
rendah: stunting, wasting, berat badan kurang, dan anemia Kekurangan gizi pada anak adalah
masalah signifikan di Indonesia.

kondisi stunting, berat badan rendah, dan anak sangat kurus (wasting) terus memengaruhi
anak usia balita. Stunting mencerminkan kekurangan gizi kronis dan dapat menimbulkan
dampak jangka panjang, antara lain hambatan pertumbuhan, penurunan kemampuan kognitif
dan mental, kerentanan terhadap penyakit, produktivitas ekonomi rendah, dan kualitas hasil
reproduksi rendah. Wasting adalah hasil dari kekurangan gizi akut dan frekuensi sakit yang
tinggi pada anak; kondisi ini meningkatkan risiko kematian anak secara signifikan. Stunting
dan wasting terjadi karena anak tidak mendapatkan gizi layak ataupun sesuai pada semua
tahapan hidupnya. Kondisi ini dapat berimplikasi signifikan terhadap kesehatan dan
keberlangsungan hidup anak dalam jangka panjang serta produktivitas ekonomi Indonesia
dan kemampuan bangsa ini mencapai target pembangunan nasional dan internasionalnya.

Anda mungkin juga menyukai