Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
KEPERAWATAN KOMUNITAS II
Oleh
WIRA IRNINGSIH
1912142010234
DOSEN PEMBIMBING:
Masalah utama yang masih terjadi pada anak-anak di Indonesia yaitu kesenjangan
pada berbagai aspek, salah satunya adalah kesenjangan sosial. Dalam mengatasi kesenjangan,
pemerintah melalui Kemen PPPA membina organisasi anak yaitu Forum Anak Nasional
(FAN). Forum ini dikembangkan pada setiap jenjang administrasi pemerintahan seperti
kelurahan, desa, kawasan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga tingkat nasional.
Tentunya, untuk mendukung program ini sebagaimana tercantum dalam pasal 21 Undang-
undang perlindungan anak bahwa pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan
perlindungan anak di daerah dengan diwujudkan melalui upaya dalam membangun
Kabupaten/kota Layak Anak (KLA). Melalui program tersebut, pemerintah mengintegrasikan
komitmen dari pemerintah, masyarakat, media dan dunia usaha dalam rangka pemenuhan hak
dan perlindungan khusus anak.
Jumlah anak-anak di Indonesia pada tahun 2018, mencapai 79,5 juta orang atau
sekitar 30,1 persen dari total penduduk Indonesia. Terdiri dari 40,4 juta anak laki-laki dan
39,1 juta anak perempuan. Anak terbanyak berada di Provinsi Riau, jumlahnya sebesar 35,5%
dari total penduduk Riau, sedangkan jumlah anak terkecil terdapat di Provinsi DI Yogyakarta.
Sekitar 24,8% dari penduduk DI Yogyakarta adalah anak usia 0-17 tahun. Rasio jenis
kelamin anak di Indonesia sebesar 103,3 artinya dari setiap 100 anak perempuan terdapat
sekitar 103 anak laki-laki.
Dalam beberapa puluh tahun terakhir, Indonesia telah mencapai kemajuan luar biasa
dan bertransisi menjadi negara berpendapatan menengah. Namun, pencapaian di bidang gizi
masih tertinggal dari aspek kesehatan lain yang terkait dengan tumbuh kembang anak. Jutaan
anak dan remaja Indonesia masih menderita angka stunting dan wasting yang tinggi, serta
mengalami ‘beban ganda’ akibat malnutrisi, baik dalam bentuk kurang gizi maupun lebih
gizi.
Sebagai informasi, dalam 1.000 hari pertama (sejak janin dalam kandungan hingga
berusia dua tahun) kehidupan bayi merupakan usia emas bagi tumbuh kembang anak.
Sayangnya anak-anak yang seharusnya menjadi harapan masa depan bangsa Indonesia masih
banyak yang mengalami masalah gizi (29,9%) di usia dini. Untuk, itu pemerintah
menganggarkan dana dalam APBN 2019 sebesar Rp 123,1 triliun guna meningkatkan akses
dan kualitas layanan kesehatan serta penguatan penanganan stunting.
Kasus stunting pada anak balita masih menjadi masalah kesehatan yang perlu diwaspadai
di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Menteri Kesehatan pada tanggal 12 November 2019,
bertepatan dengan Hari Kesehatan Nasional ke-55 (Kompas.com, 12 November 2019). Data
prevalensi anak balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO) yang
dirilis tahun 2018 menyebutkan Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan
prevalensi tertinggi di South-East Asian Region setelah Timor Leste (50,5%) dan India
(38,4%) yaitu sebesar 36,4% (Pusat Data dan Informasi Kemenkes, 2018). Angka prevalensi
stunting di Indonesia masih di atas 20%, artinya belum mencapai target WHO yang di bawah
20%.
DPR RI, melalui Komisi IX, perlu melakukan pengawasan atas kejadian dan upaya
pengurangan 16 kasus stunting di Indonesia. DPR RI perlu melakukan koordinasi dengan
semua kementerian terkait untuk ikut berperan dalam praktik pengasuhan yang baik,
peningkatan pelayanan kesehatan pada masa kehamilan, persalinan dan setelah persalinan,
membuka akses keluarga terhadap ketersediaan sumber makanan bergizi, air bersih dan
sanitasi yang layak. DPR RI juga perlu mendorong pemberian akses pendampingan kepada
keluarga dan masyarakat secara berkesinambungan untuk meningkatkan pengetahuan
terhadap gizi terbaik bagi janin dan anak balita.
Selain masalah stunting, angka obesitas di Indonesia juga cukup tinggi. berdasarkan data
Riskesdas 2018 menunjukkan angka 21,8 persen untuk obesitas di Indonesia. Angka itu terus
beranjak naik sejak Riskesdas 2007 sebesar 10,5 persen dan 14,8 persen pada Riskesdas
2013. Meningkatnya angka obesitas ini ujung-ujungnya bakal berpengaruh pada
meningkatnya Penyakit Tidak Menular (PTM), seperti diabetes hingga jantung.
Kemajuan Indonesia dalam memperbaiki kondisi kesehatan anak, remaja, dan ibu
amat ditunjang oleh akses masyarakat yang lebih baik kepada layanan kesehatan dan beragam
program yang bertujuan menekan angka penyakit pada anak. Pemerintah menunjukkan
komitmen kuat dan nyata (yang terbaru adalah melalui RPJMN 2020–2024) untuk
memperbaiki akses kepada layanan kesehatan melalui cakupan kesehatan universal dan
langkah pencegahan yang bertujuan mempromosikan gaya hidup sehat kepada anak dan
remaja. Akan tetapi, terdapat celah dan tantangan penting yang perlu diatasi, seperti cakupan
imunisasi dan penanggulangan penyakit tidak menular.
1. Imunisasi
Satu dari sedikit cara yang masih dianggap paling mendasar untuk mencegah kematian
anak adalah imunisasi universal. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah
mengadopsi dan melaksanakan program imunisasi rutin versi Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) sejak tahun 1977 dan kini imunisasi bersifat wajib untuk semua anak di Indonesia.38
Namun demikian, jumlah anak yang tidak diimunisasi—sama sekali atau hanya sebagian—
tetap tinggi dan terdapat ketimpangan mendalam baik secara geografis maupun status sosial
ekonomi. Akibatnya, angka anak Indonesia yang tidak menerima imunisasi adalah keempat
tertinggi di dunia. Setiap tahun, penyakit yang seharusnya dapat dicegah dengan imunisasi
menyebabkan 1,5 juta anak mengalami kematian yang tidak perlu terjadi. Menurut data
pemerintah, proporsi anak satu tahun yang menerima imunisasi lengkap telah naik dalam
tahun-tahun terakhir, yaitu dari 59 persen pada 2007 ke 65 persen pada tahun 2017.40 Akan
tetapi, sebagaimana terlihat pada aspek-aspek lain sektor kesehatan di Indonesia, angka
imunisasi pada kelompok rumah tangga miskin secara khusus rendah (39,5 persen) dan
variasi antarprovinsi signifikan.
2. Penyakit tidak menular
Saat ini, Indonesia menghadapi serangkaian penyakit tidak menular yang secara khusus
berbahaya bagi anak dan janin, termasuk: tuberkulosis, malaria, demam berdarah, tifus, HIV,
dan beragam jenis diare. Tiap-tiap penyakit merupakan ancaman bagi keberlangsungan hidup
dan dapat menimbulkan kerugian jangka panjang, mulai dari gangguan belajar hingga
kerusakan otak. Indonesia telah meraih pencapaian yang baik dalam hal penurunan dan
penghapusan malaria; lebih dari separuh kabupaten/kota sudah dinyatakan bebas malaria.
Namun, prevalensi malaria di kawasan timur (Papua, Papua Barat, dan khususnya sebagian
Nusa Tenggara Timur) masih tinggi. Sebuah keputusan menteri yang diterbitkan tahun 2009
menyatakan komitmen Indonesia untuk menghapus malaria secara penuh pada tahun 2030.
Terdapat sekitar 630.000 orang yang hidup dengan HIV di Indonesia, 14.000 di antaranya
adalah anak berusia di bawah 15 tahun. Meskipun angka penularan HIV secara umum turun,
angka kasus baru pada kelompok remaja usia 15–19 tahun naik pada periode antara 2011 dan
2015—walaupun stabil dalam beberapa tahun terakhir. Penularan HIV dari ibu ke anak masih
merupakan isu penting. Pada tahun 2018, hanya 1.536 (12,8 persen) dari perkiraan 12.000
orang ibu yang hidup dengan HIV di Indonesia yang menerima terapi antiretroviral untuk
mencegah penularan kepada janin.
Pencemaran udara adalah satu dari tiga faktor risiko utama kematian anak di Indonesia.
Pada anak, efek polusi udara lebih signifikan karena paru-paru mereka masih berkembang
hingga usia 12 tahun dan anak membutuhkan oksigen dua kali lebih banyak dibandingkan
orang dewasa. Selain itu, anak cenderung menghabiskan waktu lebih lama di luar ruangan
untuk melakukan kegiatan fisik dibandingkan orang dewasa, sehingga lebih banyak pula
menghirup udara yang tercemar.43 Pencemaran udara berkontribusi kepada berat badan
rendah saat lahir, hambatan pertumbuhan, dan penyakit pernapasan pada anak, serta faktor
risiko utama bagi anak balita di Indonesia. Angka kematian telah turun signifikan sejak 1990
(khususnya kematian bayi), namun masih terhitung tinggi. Banyak hal berkontribusi kepada
pencemaran udara di Indonesia, seperti pembangkitan listrik bertenaga batu bara, emisi
kendaraan bermotor, dan pembakaran hutan. Selain itu, pembakaran bahan bakar padat oleh
rumah tangga berpendapatan rendah mengakibatkan anak-anak termiskin Indonesia terpapar
pencemaran udara dengan kadar 20 kali lebih tinggi dibandingkan batasan yang
direkomendasikan WHO.
4. Akses kepada layanan kesehatan reproduksi
Menurut data tahun 2017, 68 persen perempuan menyatakan dapat mengakses metode
kontrasepsi modern sesuai kebutuhan. Hal ini berarti Indonesia masih harus memacu
kemajuannya agar dapat mewujudkan target akses universal menurut SDGs pada tahun 2030.
Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, kemajuan dalam penurunan angka kehamilan
remaja mengalami stagnasi dengan angka di kawasan perdesaan lebih tinggi dibandingkan
perkotaan. Laporan baru dari Bank Dunia memperkirakan bahwa 47,3 dari setiap 1.000
remaja perempuan pernah melahirkan. Angka ini sedikit lebih tinggi dari rata-rata dunia
sebesar 44 dan belum berubah signifikan sejak pertengahan 1990-an.
5. Penyalahgunaan zat
Penyalahgunaan zat khususnya dalam bentuk merokok dan konsumsi alkohol adalah
masalah yang meluas di kalangan remaja Indonesia, terutama lelaki. Lebih dari separuh (55,3
persen) remaja lelaki usia 15–19 menyatakan mereka mengonsumsi tembakau setiap hari dan
15,5 persen mengonsumsinya sesekali.44 Konsumsi tembakau juga lebih tinggi di kalangan
perdesaan dibandingkan perkotaan. Pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa langkah
untuk mengatasi penyalahgunaan zat di kalangan remaja, antara lain dengan menetapkan
wilayah bebas rokok di sekolah-sekolah, tempat kerja, dan area publik.
kondisi stunting, berat badan rendah, dan anak sangat kurus (wasting) terus memengaruhi
anak usia balita. Stunting mencerminkan kekurangan gizi kronis dan dapat menimbulkan
dampak jangka panjang, antara lain hambatan pertumbuhan, penurunan kemampuan kognitif
dan mental, kerentanan terhadap penyakit, produktivitas ekonomi rendah, dan kualitas hasil
reproduksi rendah. Wasting adalah hasil dari kekurangan gizi akut dan frekuensi sakit yang
tinggi pada anak; kondisi ini meningkatkan risiko kematian anak secara signifikan. Stunting
dan wasting terjadi karena anak tidak mendapatkan gizi layak ataupun sesuai pada semua
tahapan hidupnya. Kondisi ini dapat berimplikasi signifikan terhadap kesehatan dan
keberlangsungan hidup anak dalam jangka panjang serta produktivitas ekonomi Indonesia
dan kemampuan bangsa ini mencapai target pembangunan nasional dan internasionalnya.