Anda di halaman 1dari 9

FAKTA KEBIJAKAN DAN TEORI PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan Nasional merupakan sistem  yang komponennya terdiri dari undang


– undang, peraturan Nasional dan Daerah, Kurikulum, Manajemen, penyelenggaraan
pendidikan secara nasional dan daerah, sarana dan prasarana  pendidikan,
sumberdaya, anggaran, dan program – program strategis yang cenderung disusun
berdasarkan tuntutan nasional maupun internasional. Seluruh
permasalahan  pendidikan yang ada tidak terlepas  dari dasar kebijakan nasional yang
dioperasionalkan  ke sekolah – sekolah, yang belum mendapatkan mutu yang memadai
secara tuntas. 
Fenomena perubahan sosial kehidupan masyarakat cukup kompleks. Fenomena
sosial yang ada seringkali mengacu pada adanya indikasi-indikasi yang rentan sekali
melahirkan perbedaan dan bahkan perselisihan dalam hal persepsi dan interpretasi.
Hal ini dikarenakan persoalan kemanusiaan sangat erat hubungannya dengan
perubahan dan perkembangan sosial.
Manusia senantiasa membutuhkan satu sama lain untuk kelangsungan hidup
dan mempertahankan predikatnya sebagai manusia. Wujud dari itu akan melahirkan
ketergantungan yang pada akhirnya mendatangkan sebuah bentuk kerjasama,
berlangsung dalam rentang waktu yang tak terbatas. Dari interaksi-interaksi tersebut
pada akhirnya akan melahirkan sebuah bentuk masyarakat yang beraneka ragam, baik
dari segi struktur, politik maupun sosialnya. Ini adalah sebuah keniscayaan, karena
sejak kehadirannya, mereka telah dianugerahi gelar sebagai makhluk sosial.
Tujuan pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa melalui sistem pendidikan
nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan
mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan
sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga
perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan
berkesinambungan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Fungsional – Struktural

Pendidikan tidak bisa terlepas dari sebuah sistem yang mengaturnya. Sistem
tersebut memiliki struktur dan fungsinya masing-masing. Semakin baik sebuah struktur,
maka setiap elemen akan berjalan seimbang (fungsional). Indonesia dengan beragam
masalah sosialnya, seringkali yang disalahkan adalah pendidikannya. Karakter bangsa
yang bobrok merupakan bentuk dari ketidakberhasilan pendidikan di indonesia. Meski
demikian sistem pendidikan tetap eksis berada di tengah masyarakat. Apalagi jika
pendidikan dilihat dari sudut pandang struktural fungsional, pendekatan ini cenderung
mengabaikan pertentangan-pertentangan yang ada di masyarakat. Dari alasan diatas,
penulis tertarik untuk menganalisis perkembangan teori struktural fungsional dalam
pendidikan menurut beberapa teoritisi dan ahli sosial yang menulis buku dan jurnal
mengenai pendidikan dalam perspektif struktural fungsional.
Pendidikan dalam Teori Struktural Fungsional Sebagaimana telah dijelaskan
diawal, bahwa teori struktural fungsional tidak bisa terpisahkan. Stratifikasi yang ada
dalam masyarakat mempunyai peran atau fungsi. Ekstrimisme teori ini adalah
mendarah dagingnya asumsi bahwa semua even dalam tatanan adalah fungsional bagi
suatu masyarakat. Berbicara tentang masyarakat maka hal tersebut tidak bisa
dipisahkan dengan “integrasi” (satu kesatuan yang utuh, padu) seperti dikemukan
Parson, yang berarti bahwa struktur dalam masyarakat mempunyai keterkaitan atau
hubungan satu dengan yang lain. Istilah Struktural Fungsional dalam teorinya
menekankan pada keteraturan (orde).
Dalam teori ini, masyarakat dipandang sebagai suatu sistem sosial (social
system) yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan dan menyatu dalam
keseimbangan. Teori ini mempunyai asumsi bahwa setiap tatanan (struktur) dalam
sistem sosial akan berfungsi pada yang lain, sehingga bila fungsional yang tidak ada,
maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya. Semua tatanan
adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dalam arti demikian, maka teori ini
cenderung memusatkan kajiannya pada fungsi dari suatu fakta sosial (sosial fact)
terhadap fakta sosial lain.
Pemikiran perspektif stuktural fungsional meyakini bahwa tujuan pendidikan
adalah mensosialisasikan generasi muda menjadi anggota masyarakat untuk dijadikan
tempat pembelajaran, mendapatkan pengetahuan, perubahan perilaku dan
penguasaan tata nilai yang diperlukan agar bisa tampil sebagai bagian dari warga
negara yang produktif (Sunarto, 1993:22). Dalam perspektif teori fungsional struktural
ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau
elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan . Perubahan
yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang
lain.
Pendidikan khususnya, tidak bisa dipisahkan dari struktur yang terbentuk dalam
masyarakat. Kita tidak bisa pungkiri bahwa terbentuknya stratifikasi dalam masyarakat
salah satunya dibentuk oleh pendidikan itu sendiri. Demikian sebaliknya Durkheim
dalam Binti Maunah (2016:2) berpendapat bahwa masyarakat secara keseluruhan dan
lingkungannya akan menentukan tipe-tipe pendidikan yang diselenggarakan. Demikian
pula, pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri dan
kesadaran sosial.
Fungsionalisme Struktural tidak hanya berlandaskan pada asumsi-asumsi
tertentu tentang keteraturan masyarakat, tetapi juga memantulkan asumsi-asumsi
tertentu tantang hakikat manusia. Didalam fungsionalisme, manusia diperlakukan
sebagai abstraksi yang menduduki status dan peranan yang membentuk lembaga-
lembaga atau struktur-struktur sosial. Didalam perwujudannya yang ekstrim,
fungsionalisme struktural secara implisit memperlakukan manusia sebagai pelaku yang
memainkan ketentuan-ketentuan yang telah dirancang sebelumnya, sesuai dengan
norma-norma.
Fungsional struktural menekankan keteraturan dan mengabaikan konflik serta
perubahan- perubahan yang terjadi pada masyarakat. Struktural fungsional
menekankan pada peran dan fungsi struktur sosial yang menitik beratkan konsensus
dalam masyarakat. Jika hal ini dikaitkan dengan pendidikan maupun sekolah
mempunyai beberapa fungsi antara lain:
1. Lembaga pendidikan merupakan sarana untuk bersosialisasi. Dalam lembaga
pendidikan dapat merubah orientasi yang khas, salah satunya adalah cara
berpandangan / berpikir dan juga mewarisi terhadap budaya yang dapat membuka
wawasan baru terhadap dunia luar. Di dalam lembaga pendidikan pula terdapat
perubahan yang diperoleh bukan hanya karena adanya keturunan maupun
persaudaraan / hubungan darah, handai taulan, kerabat dekat, teman sejawat dll.
Tetapi terdapat juga peran yang dewasa yang diperoleh dengan penghargaan dan
prestasi yang benar-benar terjadi;
2. Lembaga pendidikan merupakan ajang seleksi dan alokasi yang dapat memberikan
semangat dan motivasi prestasi agar berguna dan dapat diterima dalam lapangan /
dunia pekerjaan dan dapat dialokasikan bagi mereka yang mendapatkan prestasi,
3. Lembaga Pendidikan memberikan kesempatan yang sama dalam hak maupun
kewajiban tanpa adanya pandang bulu darimana dan siapa peserta didiknya.

B. Organisasi Sistem Pendidikan Nasional Kaitannya dengan Struktural dan


Fungsional

Organisasi dapat diartikan sebagai pemberian struktur/susunan, terutama dalam


penempatan personal, yang dihubungkan dengan garis kekuasaan dan tanggung
jawabnya didalam keseluruhan organisasi (Purwanto, 2005:128). Pendidikan sebagai
organisasi harus dikelola sesuai dengan sumberdaya yang ada, baik itu SDM maupun
sarana dan prasarana, sehingga aktivitas pelaksanaan program organisasi dapat
berjalan secara efektif dan efisien. Diantara manfaat tujuan organisasi pendidikan
(Suryosubroto, 2004:140) adalah: Mengatasi keterbatasan kemampuan, kemauan dan
sumber daya yang dimiliki dalam mencapai tujuan pendidikan. Terciptanya efektifitas
dan efisiensi organisasi dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan.
Struktur organisasi dalam pendidikan dan pengajaran ditiap negara berbeda-
beda. Hal ini tergantung pada struktur organisasi dan administrasi pemerintah negara
masing-masing. Struktur organisasi yang pokok ada dua macam yaitu sentralisasi dan
desentralisasi. Di antara kedua struktur tersebut terdapat beberapa struktur campuran,
yakni yang lebih cenderung kearah sentralisasi mutlak, dan lebih mendekati
desentaralisasi tetapi beberapa bagaian masih dilakukan secara sentral (Fitriyani,
2019:2)
Di negara-negara yang organisasi pendidikannya dijalankan secara sentral,
yakni yang kekuasaan dan tanggung jawabnya dipusatkan pada suatu badan di pusat
pemerintahan, maka pemerintahan daerah kurang sekali atau sama sekali tidak
mengambil bagian dalam adminstrasi apapun. Di negara-negara yang organisasi
pendidikannya desentralisasi, pendidikan bukan urusan pemerintah pusat, melainkan
menjadi tanggung jawab pemerintahan daerah dan masyarakat setempat. Bahwasanya
struktur sentralisasi maupun struktur desentralisasi memiliki kelebihan dan
kekurangannya. Maka yang lebih baik ialah struktur yang merupakan campuran antara
keduanya, yang susunan dan penyelenggaraannya sesuaikan dengan kondisi- kondisi
dan kebutuhan tiap negara secara keseluruhan.
Desentralisasi pendidikan di Indonesia berawal dari keputusan politik tentang
otonomi daerah salah satu dampak positif dari reformasi bidang pemerintahan yang
diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, kemudian di ubah dengan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 kemudian yang terakhir Undang-Undang No. 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah. Secara umum perubahan Undang-Undang
ini memberikan perubahan tatanan pemerintahan seperti yang awalnya merupakan
urusan pusat menjadi urusan daerah.
Peraturan desentralisasi mengenai pemisahan antara urusan pemerintah,
provinsi, dengan pemerintah daerah telah di atur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah
No.38 Tahun 2007, yang meliputi: pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum,
perhubungan, lingkungan hidup dll. Dengan ini jelas bahwasanya pendidikan di
Indonesia harus desentralis, tujuannya adalah agar pendidikan lebih terfokus. Namun
tetap mengacu kepada tujuan pendidikan nasional sebagai bagian dari upaya
pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Jika ditinjau dari penyelenggaraan otonomi daerah dalam dunia pendidikan
membawa implikasi terhadap desentralisasi pendidikan serta pendidikan berbasis
masyarakat. Penyelenggaraan desentralisasi pendidikan dan pendidikan
bermasyarakat akan berjalan dengan baik jika isu-isu kebijakan pendidikan nasional
seperti masalah mutu, pemerataan, relevansi, masalah guru, sarana dan fasilitas,
kesenjangan, kurikulum, dan isu-isu lainnya berhasil direkonstruksi.
Ada beberapa kebijakan terkait dengan otonomi dan desentralisasi pendidikan
ini, yang harus masuk dalam prioritas pembangunan pendidikan, yaitu: Kebijakan Mutu,
Kebijakan Relevansi, Kebijakan Efisiensi, Kebijakan Pemerataan dan Kebijakan
Kurikulum. Adapun kebijakan yang terkait dengan pemerataan pendidikan dalam
kerangka desentralisasi pendidikan dan pendidikan berbasis masyarakat, antara lain:
a).
peningkatan pemerataan pendidikan dasar; b). peningkatan angka partisipasi murni; c).
pengurangan siswa putus sekolah; d). pemenuhan kebutuhan prasarana; e). penerapan
pendidikan yang berkeadilan, pendidikan untuk semua masyarakat tanpa ada
diskriminasi; f). alokasi dan distribusi anggaran pendidikan yang harus menjunjung
tinggi asas keadilan dengan menerapkan formula pendidikan yang adil dan transparan;
g). penyediaan dana alokasi khusus untuk memberikan bantuan pendidikan melalui
jalur pendidikan alternatif bagi anak-anak kurang beruntung, cacat, dan lambat belajar.
Sistem desentralisasi pendidikan di Indonesia diciptakan memang bertujuan
meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi masih banyak ditemukan kendala-kendala
yang terjadi seperti halnya, masalah yang tampak pada kebijakan pendidikan yang tidak
sejalan dengan prinsip otonomi daerah, kurangnya adanya koordinasi dan sinkronisasi.
Kondisi seperti ini dapat menimbulkan kesulitan pemerintah pusat untuk mengendalikan
pendidikan di daerah sehingga daerah tidak dapat mengembangkan potensi yang
sesuai dengan cita-cita bangsa.
Melalui desentralisasi pendidikan, pemerintah berharap meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan. Ada kenyataanya dirubahnya
pendidikan dari yang terpusat menuju ke daerah juga tidak begitu saja berjalan mulus.
Apapun kebijakan yang diambil oleh pemerintah selalu menemukan kendala dalam
implementasinya. Karena bagaimaanpun kendala merupakan bagian dari proses
terwujudnya suatu tujuan. Begitu pula ada beberapa kendala yang dihadapi oleh
pemerintah pusat maupun daerah dalam mewujudkan desentralisasi pendidikan yang
sesuai dengan tujuan awal, yaitu untuk mewujudkan mutu pendidikan yang lebih baik.
Sistem pendidikan yang sudah dibentuk dengan desentralisasi berdasarkan
Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah tetapi mengenai program
dana BOS yang bersumber dari APBN merupakan proses dekonsentrasi bukan
desentralisasi. Asas dekonsentrasi menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Pasal
1 angka 9 merupakan “pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat,
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali
kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.” Jelas bahwa dana BOS
merupakan dekonsentrasi. Dekonsentrasi adalah sebuah konsep yang unik dalam
ranah administrasi publik. Di satu sisi, dekonsentrasi dipandang sebagai bagian yang
integral dengan desentralisasi, atau bentuk tertentu dari desentralisasi. Dalam posisi ini,
dekonsentrasi maupun desentralisasi sama-sama berhubungan dengan soal
penyebaran kekuasaan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada unit-unit
pemerintahan yang lebih kecil. Namun di sisi lain, dekonsentrasi juga sering
dipersepsikan sebagai implikasi dari agenda sentralisasi. Dekonsentrasi pembiayaan ini
berdampak menghambat penyaluran dana bantuan sekolah (BOS) (Maisyanah, 2018:
1-13). Penyaluran BOS yang harus mendapatkan persetujuan DPRD merupakan faktor
penghambat utama. Mekanisme yang berbelit, mulai dari pengarahan sampai
menunggu ketok palu DPRD memakan waktu, biaya, dan tenaga yang banyak.
Adapun kendala-kendala yang dihadapi baik pemerintah pusat maupun daerah
diantaranya: Sumber daya manusia dari tiap-tiap daerah yang belum memadai secara
merata. Berhubungan dengan kualiatas dan kuantitas, ada daerah tertentu yang masih
sangat tertinggal dalam memahami dan menganalisis serta mengaplikasikan
desentralisasi pendidikan ini. Demikian pula dengan kuantitas SDM, meskipun saat ini
begitu banyak lulusan sarjana tetapi apabila faktor-faktor lain, seperti kompetensi guru
tidak menunjang, jumlah lembaga pendidikan yang tidak sesuai dengan jumlah lulusan,
justru ini yang akan menimbulkan masalah yang baru bagi pemerintah daerah maupun
pemerintah pusat.
Desentralisasi pendidikan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah
untuk melakukan rekrutmen pegawai dan pejabat di bidang pendidikan. Akibatnya
nuansa kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) sangat kental terjadi. Birokrasi
administrasi kepegawaian dalam dunia pendidikan juga menjadi lebih panjang dan
berbelit, akibat penerapan desentralisasi pendidikan. Mekanisme kenaikan pangkat
harus melalui tahap-tahap yang lebih banyak. Kondisi ini melahirkan sistem yang tidak
efektif dan efisien, karena memakan waktu, biaya, dan tenaga lebih banyak.
Kelebihan yang diperoleh dari desentralisasi apabila dilaksanakan secara
optimal adalah meningkatnya mutu pendidikan nasioanal. Dari segi politik desentralisasi
dimaksudkan untuk kepentingan daerah maupun untuk mendukung politik dan
kebijakan nasional melalui pembangunan proses demokrasi lapisan bawah. Dari segi
manajemen, desentalisasi dapat meningkatkan efektifitas, efisiensi, dan akuntabilitas
publik. Dari segi kultural, desentralisasi dimaksudkan untuk memperhatikan
kekhususan, keistimewaan suatu daerah, seperti geografis, kondisi penduduk,
perekonomian, dan kebudayaan. Dari segi segi pembangunan, desentralisasi dapat
melancarkan formulasi dan implementasi program untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat ( Siti Irene, Astuti Dwiningrum, 2011 : 7) . Sedangkan kekurangannya
adalah kebijakan ini sangat memungkinkan menimbulkan kesenjangan antar daerah, ini
sangat tergantung dari pendapatan asli daerah (PAD) masing-masing.
BAB III
PENUTUP

Dapat kita simpulkan bahwa praktek teori struktural-fungsional yang


mengedepankan integrasi, maka tanggung jawab dan peran masing-masing pihak
harus selalu menjadi prioritas dalam rangka membangun intergrasi solid di sekolah
terutama yang erat kaitannya dengan peningkatan mutu Pendidikan. Tujuan pendidikan
tidak mungkin tercapai apabila berat sebelah, atau dengan kata lain tidak seimbang.
Kunci yang mampu mewujudkan tujuan pendidikan di indonesia bukan hanya menjadi
tanggung jawab pemerintah saja, melainkan ini adalah tanggung jawab dan kerjasama
antara pemerintah, masayarakat dan elemen terkecil dan terpenting dalam mewujudkan
pendidikan di Indonesia ini adalah keluarga. Semuanya harus mampu bertindak
sebagai praktisi sekaligus mampu mengontrol secara bersama-sama dalam upaya
meningkatkan kualitas pendidikan dan mencapai tujuan pendidikan baik secara mikro
maupun secara makro.
DAFTAR PUSTAKA

Astuti Dwiningrum, Siti Irene. 2011. Desentralisasi Dan Partisipasi Masyarakat


Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Fitriyani. 2019. Konsep Organisasi Pendidikan Dalam Pemberdayaan Sekolah


El-Ghiroh. Vol. Xvii, No. 02.

Purwanto, M, Ngalim 2005. Administrasi Dan Supervisi Pendidikan. Bandung : Pt


Remaja Rosda Karya.

Maisyanah. 2018. Analisis Dampak Desentralisasi Pendidikan Dan Relevansi


School Based Management. Quality Volume 6, Nomor 2, 1-13.

Maunah, Binti. 2016. Pendidikan Dalam Perspektif Struktural Fungsional.


Cendekia, Vol. 10, No. 2.

Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit


Fakultas Ekonomi Universitas Andalas.

Suryosubroto. 2004. Manajemen Pendidikan Di Sekolah. Jakarta : Rhineka


Cipta.

Anda mungkin juga menyukai