Anda di halaman 1dari 8

PENGARUH KABUT ASAP BAGI

MASYARAKAT

Muhammad Rifqi Syafiq


Universitas Tanjungpura
d1051201063@student.untan.ac.id

ABSTRAK

Kabut asap adalah kasus pencemaran udara berat yang bisa terjadi berhari -
hari hingga hitungan bulan yang bisa terjadi karena beberapa penyebab, yaitu salah
satunya pembakaran hutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh yang disebabkan kabut asap bagi kesehatan masyarakat serta untuk
mengetahui cara mengatasi permasalahan yang ditimbulkan dari kabut asap.
Penelitian ini diambil dari data kesehatan masyarakat juga data pendapatan di
Kelurahan Tuah Karya Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru pada saat kabut asap
terjadi. Metode yang digunakan pada penelitian ini tergolong pada jenis penelitian
Deskriptif.
Kata Kunci : Pencemaran udara, kabut asap, kesehatan

ABSTRACT

Smog is a case of heavy air pollution that can occur for days to months which
can occur due to several causes, one of which is forest fires. This study aims to
determine how much influence the smoke haze has on public health and to find out
how to overcome the problems caused by the haze. This study was taken from public
health data as well as income data in Tuah Karya Village, Tampan District,
Pekanbaru City when the smog occurred. The method used in this study belongs to
the type of descriptive research.

Keyword : Air pollution, smog, health


PENDAHULUAN
Kabut asap yang ada di kota Pontianak biasanya adalah hasil dari kebakaran
hutan dan lahan yang ada disekitar kota Pontianak. Kabut asap dapat memengaruhi
berbagai sektor kehidupan, diantaranya seperti kerusakan ekologis, penurunan
pariwisata, aktivitas kehidupan terganggu, jalur transportasi terhambat, dampak
ekonomi dan politik, serta gangguan kesehatan. Asap yang dikeluarkan merupakan
gas dan partikel yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Penyakit yang sering
ditemukan saat kebakaran hutan adalah gangguan pernafasan, asma, bronkitis, dan
pneumonia.
Partikel dalam jumlah yang sangat banyak masuk kedalam alveoli dan
melumpuhkan pertahanan mukosiliaris, yang apabila pertahanan tersebut hancur,
mikroorganisme mudah masuk ke dalam paru-paru dan menyebabkan infeksi seperti
pneumonia, bronkopneumonia, bronkitis dan edema paru. Gangguan kesehatan akibat
kebakaran hutan lebih nyata dijumpai pada lanjut usia dan balita, atau mereka yang
telah mengalami penyakit paru-paru sebelumnya.
Balita merupakan kelompok paling rentan terhadap pneumonia karena sistem
kekebalan tubuh yang masih rendah. Di Indonesia, period prevalence pneumonia
tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun. Angka kematian akibat pneumonia
pada Balita sebesar 1,19%. Pada kelompok bayi, angka kematian lebih tinggi, yaitu
sebesar 2,89% dibandingkan kelompok umur 1-4 tahun (0,20%). Pneumonia pada
Balita dapat terjadi karena lingkungan berpolusi, terjadi pergantian cuaca, sehingga
terhirup asap atau debu.
Telah dilakukan penelitian mengenai dampak kebakaran hutan dan lahan di
Kalimantan Barat terhadap kualitas udara Kota Pontianak. Hasil yang didapat
diantaranya semakin banyak jumlah titik panas (hotspot) yang terpantau, berpengaruh
terhadap kualitas udara di Kota Pontianak. Penurunan kualitas udara Kota Pontianak
sebagai akibat dari peristiwa kebakaran hutan dan lahan dapat menyebabkan
peningkatan jumlah penderita penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan
gangguan saluran pernafasan lainnya. Di Kota Pontianak, kasus ISPA termasuk
pneumonia selalu menempati urutan pertama dalam sepuluh kasus penyakit terbesar.
Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi perilaku penderita hipertensi yang ikut dalam
cakupan kesehatan universal yang membentuk gaya hidup dalam pencegahan
komplikasi akibat hipertensi.

TINJAUAN PUSTAKA
Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan pada dasarnya merupakan penyalaan bahan bakar organik
kering yang ada didalam hutan, namun demikian tipe kebakaran yang terjadi sangat
bervariasi. Jumlah, kondisi, dan penyebaran bahan-bahan yang potensial dapat
terbakar, kondisi cuaca, kondisi topografi, sangat menentukan tipe kebakaran dan
akibat kerusakan yang terjadi didalam hutan. Kebakaran dalam hutan dapat terjadi
bila sedikitnya tersedia tiga komponen yaitu bahan bakar yang potensial, oksigen atau
udara, dan penyalaan api. Seluruh komponen penyusun hutan pada dasarnya dapat
merupakan bahan bakar untuk kebakaran hutan. Potensi komponen tersebut sebagai
bahan bakar, baik sendiri atau secara kumulatif, ditentukan oleh jumlah, kondisi
terutama kadar airnya dan penyebaran dalam hutan.
Pohon-pohon penyusun hutan, yang merupakan bagian terbesar dari
komponen hutan yang dapat berperan sebagai bahan bakar, mempunyai potensi dan
kemudahan terbakar yang sangat bervariasi. Perbedaan kemudahan terbakar tersebut
dapat disebabkan oleh perbedaan jenis atau komposisi jenis tanaman, jenis pohon
berdaun lebar lebih sulit terbakar dibanding pohon-pohon berdaun jarum yang lebih
banyak mengandung zat-zat seperti resin. Kebakaran hutan dan lahan memiliki
dampak bersifat eksplosif yaitu akan memusnahkan hutan dan lahan dalam waktu
singkat dengan areal yang luas. Mengingat dampaknya yang eksplosif tersebut, maka
upaya perlindungan terhadap kawasan hutan dan tanah sangatlah penting.
Perlindungan tersebut berupa upaya pencegahan lebih diutamakan dari pada upaya
penanggulangan, dalam hal ini upaya pencegahan lebih diutamakan dari pada upaya
penanggulangan, seperti pepatah mengatakan “sedia payung sebelum hujan”. Jadi
janganlah baru sibuk setelah hutan dan lahan hampir ludes terbakar habis.
Api merupakan faktor ekologi potensial yang mempengaruhi hampir seluruh
ekosistem daratan, walau hanya terjadi pada frekuensi yang sangat jarang. Pengaruh
api terhadap ekosistem ditentukan oleh frekuensi, intensitas dan tipe kebakaran yang
terjadi serta kondisi lingkungan. Api yang terjadi didalam hutan dapat menimbulkan
kerusakan yang besar. Tetapi dalam kondisi tertentu pembakaran hutan dapat
memberikan manfaat dalam pengelolaan hutan. Api diketahui sebagai salah satu
faktor lingkungan yang berperan terhadap distribusi dan kelimpahan jenis tumbuhan,
dan secara luas api mempengaruhi watak sistem ekologis hutan dan vegetasi penutup
lainnya. Kebakaran, walaupun terjadi pada frekuensi yang jarang, menimbulkan
perubahan kondisi lingkungan yang radikal dalam waktu yang singkat sehingga
mampu mengubah komposisi vegetasi penyusun ekosistem hutan yang tadinya teratur.
Berikut adalah tipe – tipe kebakaran hutan :
1. Kebakaran permukaan (surface fire )
Kebakaran permukaan membakar bahan-bahan yang tersebar pada permukaan
lantai hutan, misalnya serasah, cabang, dan ranting yang mati yang gugur dan
tumbuhan bawah. Dengan keberadaan O2 sangat melimpah, terlebih dibantunya
adanya angin, kebakaran permukaan disertai nyala api cukup besar berbentuk
agak lonjong. Kelembapan yang tinggi pada lapisan humus dibawah serasah
kering menyebabkan kebakaran permukaan tidak membakar lapisan humus
tersebut, sehingga organisme renik yang dibawahnya tidak mati.
2. Kebakaran dalam tanah (ground fire)
Kebakaran dalam tanah terjadi pada jenis tanah yang mempunyai lapisan
bahan organik tebal misalnya gambut. Bahan bakar berupa tumpukan bahan
organik yang tebal ini pada musim kemarau dapat menurun kadar airnya sehingga
mudah terbakar bila ada api. Kebakaran tanah menyebabkan banyak hara hilang,
mematikan organisme mikro dan hewan kecil yang hidup didalamnya akar-akar
tanaman juga mati karena kenaikan suhu yang tinggi.
3. Kebakaran dalam tanah (ground fire)
Kebakaran dalam tanah terjadi pada jenis tanah yang mempunyai lapisan bahan
organik tebal misalnya gambut. Bahan bakar berupa tumpukan bahan organik
yang tebal ini pada musim kemarau dapat menurun kadar airnya sehingga mudah
terbakar bila ada api. Kebakaran tanah menyebabkan banyak hara hilang,
mematikan organisme mikro dan hewan kecil yang hidup didalamnya akar-akar
tanaman juga mati karena kenaikan suhu yang tinggi.
Menurut terjadinya kebakaran hutan itu bersumber dari api liar (tidak terkendali),
karena faktor alamiah dan atau buatan. Faktor alamiah yang dapat menyebabkan
kebakaran adalah karena adanya deposit tambang (misalnya: batu bara) dan terjadinya
gesekan dari bahan bakar kering, sehingga menyebabkan materi tersebut menjadi
panas dan akhirnya memunculkan api sebagai sumber kebakaran. Faktor buatan
manusia merupakan faktor yang disengaja dalam rangka kegiatan tertentu misalnya:
penyiapan ladang berpindah, perkebunan, hutan tanaman industri, transmigrasi atau
juga kegiatan peternakan besar seperti ternak sapi yang selalu membutuhkan hijauan
makanan ternak dari rumput muda, dengan membakar alang-alang, maka segera akan
didapatkan rumput muda yang segar untuk pakan ternak sapi tersebut sehingga akan
mengakibatkan kebakaran hutan.
Faktor-faktor terjadinya suatu kebakaran hutan dan lahan adalah karena adanya
unsur panas, bahan bakar dan udara/oksigen. Ketiga unsur ini dapat digambarkan
dalam bentuk segitiga api. Penyebaran api bergantung kepada bahan bakar dan cuaca.
Bahan bakar berat seperti log, tonggak dan cabang-cabang kayu dalam keadaan kering
bisa terbakar, meski lambat tetapi menghasilkan panas yang tinggi. Bahan bakar
ringan seperti rumput dan resam kering, daun-daun pinus dan serasah, mudah terbakar
dan cepat menyebar, yang selanjutnya dapat menyebabkan kebakaran hutan. Kadar
air/kelembaban bahan bakar juga penting untuk dipertimbangkan dalam pengendalian
kebakaran hutan dan lahan. Pada keadaan normal, api menyala perlahan pada malam
hari karena kelembaban udara diserap oleh bahan bakar. Udara yang lebih kering pada
siang hari dapat menyebabkan kebakaran yang cepat. Oleh sebab itu, secara teknis
pada malam hari akan lebih mudah mengendalikan kebakaran hutan/lahan daripada
siang hari. Namun demikian tidak lantas berarti, bahwa pengendalian kebakaran
secara serius tidak dilakukan pada siang hari.
Kabut Asap
Asap kebakaran hutan dan lahan secara umum berisi gas CO, CO2, H2O,
jelaga, debu (partikel) ditambah dengan unsur-unsur yang telah ada di udara seperti
N2, O2, CO2, H2O, dan lain - lain. Berdasarkan data pengamatan tahun 1997,
ketinggian puncak lapisan asap di pulau Sumatera berkisar antara 7000 kaki hingga
9000 kaki dan di Kalimantan berkisar antara 5000 kaki hingga 6000 kaki. Pada saat
observasi lapangan tanggal 15 s.d 17 Maret 2002, diketahui bahwa puncak lapisan
asap di wilayah Sumatera Bagian Utara bervariasi antara 8000 kaki hingga 9000 kaki.
Asap tersebut tidak segera naik ke angkasa karena gas asap tersebut lebih berat dari
udara normal, sehingga lama-kelamaan asap tersebut terakumulasi dan menjadi pekat
(BPPT, 1997). Asap yang pekat menyebabkan visibility (kekuatan jarak pandang)
menjadi rendah, dan menghalangi radiasi matahari ke permukaan tanah, sehingga
tidak terjadi proses konveksi. Temperatur di lokasi asap umumnya rendah yaitu
sekitar 24 derajat Celcius. Di sekitar lokasi asap umumnya terdapat awan. Dasar awan
umumnya berkisar antara 5000 kaki hingga 6000 kaki, atau lebih rendah dari puncak
lapisan asap, sehingga awan yang berada di sekitar lokasi asap tertahan masuk. Di
atas lapisan asap terdapat aliran yang laminer, dimana angin berhembus mengikuti
pola aliran laminer tersebut (Sitorus, 2002).
Standar Kualitas Udara
Saat ini, pemerintah menggunakan standar kualitas udara untuk menentukan
besar kecilnya pencemaran udara akibat kabut asap dengan acuan ISPU. ISPU
ditetapkan berdasarkan lima pencemar utama, yaitu partikel halus berukuran 10
mikrogram (PM10) ke bawah, gas sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO),
ozon (O3), dan nitrogen dioksida (NO2). Menurut data Kemenkes, Indeks Standar
Pencemar Udara (ISPU) pada Agustus hingga September 2015 di Kota Palangkaraya
berkisar antara 109-125, di Kota Pekanbaru mencapai 172 dan di Kota Palembang
mencapai 412. Dengan angka ISPU tersebut, kualitas udara di tiga kota tersebut
termasuk dalam kategori tidak sehat. Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan,
mengingat dampak pencemaran udara yang sangat berbahaya bagi manusia, baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

METODOLOGI
Penelitian ini tergolong pada jenis penelitian Deskriptif. Penelitian deskriptif
yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan, menggambarkan dan
menganalisa kejadian yang ada serta bertujuan untuk memperoleh informasi -
informasi mengenai dampak kabut asap di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru
dengan teori yang ada. Penelitian deskriptif menurut Nawawi (2012:67) adalah
metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah
yang diselidiki dengan menggambarkan/ melukiskan keadaan subyek/ obyek
penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang
berdasarkan fakta-fakta yang tampak, atau sebagaimana adanya. Teknik analisa data
yang digunakan untuk menganalisa data penelitian ini adalah secara deskriptif yaitu
digunakan analisa statistik berupa formula persentase karena tujuannya adalah untuk
melihat kecendrungan - kecendrungan indikator masing-masing variabel dan
penelitian ini hanya bertujuan untuk menggambarkan kenyataan dilapangan tidak
untuk dilihat hubungan atau perbandingan oleh sebab itu maka rumus persentase
sangat cocok dalam penelitian ini dengan rumus:
Dimana :
P= f/n x 100%
P : Persentase
F : Frekuensi
n : Jumlah responden
(Sumber : Arikunto suharsimi :2006)

PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh gambaran sebagai berikut:
Kesehatan masyarakat di Kelurahan Tuah Karya Kecamatan Tampan Kota
Pekanbaru pada saat kabut asap terjadi sangat mempengaruhi kondisi kesehatan
jasmani dimana terganggunya fungsi mekanisme tubuh sehingga warga Tuah Karya
murah terserang penyakit contohnya seperti ISPA, alergi, batuk-batu dan iritasi mata,
tidak hanya kesehatan jasmani yang terganggu tetapi kenyamanan warga juga ikut
terganggu banyak warga yang mengeluh akibat kabut asap. Sedangkan dilihat dari
tingkat sosial warga sangat kurang karena kebanyakan warga yang acuh tak acuh
dengan warga lainnya saat kabut asap terjadi, dan jarak yang harus di tempuh warga
untuk pergi berobat juga sangat jauh yaitu sekitar 5 kilo dari rumah warga. Penelitian
ini sesuai dengan penelitian Yulaswita (2013) dimana dalam penelitian Yulaswita
mengatakan kesehatan jasmani merupakan dimensi sehat yang paling nyata yaitu
fungsi mekanisme tubuh. Sedangkan Kesehatan rohani (kenyamanan/kejiwaan) yaitu
perasaan sehat dan bahagia serta mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima
orang lain sebagaimana adanya serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri.
Dalam penelitian ini sangat terkait karna selama kabut asap terjadi mekanisme tubuh
warga sangat terganggu dan kenyamanan warga juga ikut terganggu.
Pendapatan warga Tuah Karya yang terkena dampak kabut asap untuk
pendapatan pokok/bulan yang mereka memperoleh hanya yaitu Rp 1.000.000 – Rp
1.500.000/bulan, sedangkan pendapatan perminggu rata-rata mereka hanya
mendapatkan Rp. 500.000 – Rp. 700.000 Selama kabut asap terjadi. Berbeda dengan
Sebelum terjadinya kabut asap dimana pendapatan warga Tuah Karya lebih besar
dibandingkan saat kabut asap terjadi bisa dilihat pendapatan perbulan sebelum
terjadinya kabut asap mereka rata-rata berkisar Rp 4.000.000 – Rp 5.000.000/bulan,
sedangkan pendapatan rata-rata warga Tuah Karya Rp 500.000 dan pendapatan dari
pekerjaan sampingan warga rata-rata memperoleh Rp 1.500.000 – Rp 2.000.000.
Penelitian ini sesuai dengan pendapat Noor (2007:186) dimana Noor
mengatakan pendapatan ini dapat di kelompokkan menjadi beberapa jenis yaitu:
Pendapatan pokok adalah jumlah seluruh pendapatan dari penjualan, sedangkan
Pendapatan rata-rata yaitu pendapatan rata-rata dari setiap unit penjualan dan
Pendapatan tambahan yaitu tambahan pendapatan yang didapat untuk setiap tambahan
satu unit penjualan.
Pengaruh kabut asap terhadap kualitas udara saat kabut asap terjadi sangat
buruk dikarenakan kabut asap yang tebal membuat kondisi lingkungan warga menjadi
tidak terkendali dan jarak pandang pun bisa dikatakan hanya 100 m, tidak hanya
kualitas udara tetapi dampak kabut asap juga sangat berpengaruh terhadap tanaman
dimana akibat dampak kabut asap tanaman banyak yang menjadi layu dan mati
sehingga membuat warga menjadi rugi, dan pengaruh kabut asap juga berpengaruh
terhadap kelancaran transportasi dimana banyaknya angkot yang tidak jalan akibat
kabut asap, dan abut asap juga menganggu aktivitas warga. Penelitian ini sesuai
dengan Melda Mardani (2013) yaitu: Lingkungan fisik, yaitu lingkungan yang dari
gaya kosmik dan fisiografis seperti tanah, udara, laut, radiasi, gaya tarik, ombak dan
sebagainya, sedangkan Lingkungan social ini dapat dibagi kedalam tiga bagian :
pertama Lingkungan fisiososial, yaitu yang meliputi kebudayaan materil, kedua
Lingkungan biososial manusia dan bukan manusia, yaitu manusia dan interaksinya
terhadap sesamanya dan tumbuhan beserta hewan domestic dan semua bahan yang
digunakan manusia yang berasal dari sumber organic. Ketiga Lingkungan psikososial,
yang berhubungan dengan tabiat batin manusia seperti sikap, pandangan, keinginan,
kayakinan.

KESIMPULAN
Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa pada saat kabut asap terjadi bahwa
kondisi kesehatan jasmani seperti penyakit ISPA, alergi, batuk-batuk dan iritasi mata,
tidak hanya kesehatan jasmani tetapi kenyamanan warga juga ikut terganggu saat
terjadinya kabut asap. Sedangkan dilihat dari tingkat sosial warga sangat kurang
karena kebanyakan warga yang acuh tak acuh dengan warga lainnya saat kabut asap
terjadi, juga pendapatan yang menurun, serta lingkungan warga menjadi tidak
terkendali dan jarak pandang pun bisa dikatakan hanya 100 m, tidak hanya kualitas
udara tetapi dampak kabut asap juga sangat berpengaruh terhadap tanaman dimana
akibat dampak kabut asap tanaman banyak yang menjadi layu dan mati sehingga
membuat warga menjadi rugi, dan pengaruh kabut asap juga berpengaruh terhadap
kelancaran transportasi dimana banyaknya angkot yang tidak jalan akibat kabut asap
dan pemasukan warga pun menjadi berkurang, dan kabut asap juga membuat aktivitas
warga terganggu sehingga banyak warga yang hanya berdiam diri dirumah selama
kabut asap terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT RINEKA
CIPTA.
Mardani,Mela. 2013. Konsi Sosial Ekonomi dan Lingkungan Masyarakat
Sebelum Dan sesudah Pembangunan Pasir di Nagari Talaok Kecamatan Bayang
Kabupaten Pesisir Selatan. Skripsi. STKIP PGRI Sumatera Barat.
Nawawi, Hadari. 2012. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah
Mada University
Noor. 2007. Standar Akutansi Keuangan. Medan: FE Universitas Sumatera
Utara.
Putri,Rismadani.2015.” Dampak Kabut Asap Pada Kehidupan Masyarakat Di
Kelurahan Tuah Karya Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru Provinsi Riau”. STKIP
PGRI. Sumatera Barat
Sukandarrumidi,dkk.2016.” Pengaruh kabut asap pada pneumonia balita di
Kota Pontianak”. Volume 32 .Nomor 4  .Halaman 113-118
Yulaswita,Rezi. 2013. Studi Tingkat Kesejahteraan Pemulung Batu Bara di
Kecamatan Talawi Kota Sawahlunto. Skripsi. STKIP PGRI Sumatera Bara

Anda mungkin juga menyukai