Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Kasus (masalah utama)


Defisit Perawatan Diri

B. Proses terjadinya masalah


1. Pengertian
Defisit perawatan diri merupakan suatu kondisi pada seseorang yang
mengalami kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas
perawatan diri secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian atau berhias,
makan, BAB atau BAK (toileting) (Keliat budi, 2007).

Defisit perawatan diri adalah kurangnya perawatan diri pada pasien dengan
gangguan jiwa terjadi akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan
untuk melakukan aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri terlihat
dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri antaranya mandi, makan minum
secara mandiri, berhias secara mandiri, toileting (BAK/BAB) (Damaiyanti, 2012).

2. Etiologi
Menurut Ridhayalla (2015) penyebab kurang perawatan diri adalah
kelelahan fisik dan penurunan kesadaran. Menurut Depkes (2000) dikutip dalam
Ridhayalla, (2015) terdapat penyebab kurang perawatan diri adalah:
a. Faktor Predisposisi
1) Perkembangan Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien
sehingga perkembangan inisiatif terganggu
2) Biologis Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun Klien dengan gangguan jiwa dengan
kemampuan realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya
dan lingkungan termasuk perawatan diri
4) Sosial Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri
b. Faktor Presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah
yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri. Menurut Ridhayalla (2015), Faktor – faktor yang
mempengaruhi personal hygiene adalah:
1) Body image gambaran individu terhadap dirinya sangat
mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan
fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
2) Praktik sosial pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan
diri, maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal
hygiene.
3) Status sosial ekonomi, personal hygiene memerlukan alat dan bahan
seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang
semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
4) Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien
penderita diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5) Budaya di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak
boleh dimandikan.
6) Kebiasaan seseorang yang menggunakan produk tertentu dalam
perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.
7) Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri
berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.

Dampak yang sering timbul pada maslah personal hygine:


1) Dampak fisik, Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang
karena tidak terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik,gangguan
fisik yang sering terjadi adalah: gangguan intleglitas kulit, gangguan
membrane mukosa mulut, infeksi mata dan telinga dan gangguan fisik
pada kuku
2) Dampak psikososial, Masalah sosial yang berhubungan dengan personal
hygine adalah gangguan kebutuhan aman nyaman, kebutuhan cinta
mencintai, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi
sosial (Damaiyanti, 2012).

3. Gambaran Klinis/manifestasi klinis


Menurut Depkes (2000) dikutip dalam Damaiyanti (2012) tanda dan gejala klien
dengan defisit perawatan diri adalah:
a. Fisik
1) Badan bau, pakaian kotor
2) Rambut dan kulit kotor
3) Kuku panjang dan kotor
4) Gigi kotor disertai mulut bau
5) Penampilan tidak rapi.
b. Psikologis
1) Malas, tidak ada inisiatif
2) Menarik diri, isolasi diri
3) Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c. Social
1) Interaksi kurang
2) Kegiatan kurang
3) Tidak mampu berperilaku sesuai norma
4) Cara makan tidak teratur
5) BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok gigi dan mandi tidak
mampu mandiri.

4. Pohon masalah
Gangguan pemeliharaan kesehatan : Effect

Defisit perawatan diri : Core problem

Gangguan konsep diri: Harga diri rendah : Causa


5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut herman (Ade, 2011) adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
b. Membimbing dan menolong klien merawat diri
c. Ciptakan lingkungan yang mendukung
d. BHSP (bina hubungan saling percaya)

6. Dampak defisit perawatan diri


Dampak yang sering timbul pada maslah personal hygine
a. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik,gangguan fisik yang sering
terjadi adalah: gangguan intleglitas kulit, gangguan membrane mukosa mulut,
infeksi mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku

b. Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygine adalah
gangguan kebutuhan aman nyaman , kebutuhan cinta mencintai, kebutuhan
harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial (Damaiyanti, 2012).

C. Asuhan Keperawatan Teoritis Defisit Perawatan Diri


1. Pengkajian
a. Pengumpulan Data
1) Identitas pasien
2) Riwayat kesehatan
3) Pola kebiasaan
4) Pemeriksaan fisik
5) Pemeriksaan psikososial
2. Analisa Data
a. Data Subyektif
Pasien mengatakan tidak mau mandi, tidak mau membersihkan dirinya,
tidak mau bertemu dengan orang lain.
b. Data Obyektif
Rambut kotor dan acak-acakan, gigi kotor, kulit berdaki dan bau, kuku
panjang dan kotor, pakaian kotor dan tidak rapi, pada pasien laki-laki tidak
bercukur, pada pasien wanita tidak berdandan. Ketidakmampuan mengambil
mkn secar mandiri, makan berceceran, dan makan tidak pada tempatnya.
BAB/BAK tidak pada tempatnya, tdk membersihkan diri dengan baik setelah
BAB/BAK.
3. Diagnosa Keperawatan
Defisit perawatan diri
4. Perencanaan
Adapun strategi pelaksanaan pada deficit perawatan diri yaitu:
a. BHSP
1) Strategi
2) Mengucapkan salam
3) Memperkenalkan diri
4) Menjabat tangan
5) Menanyakan nama pasien
6) Menjelaskan tujuan berinteraksi
7) Membuat kontrak, topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien

b. Strategi Pelaksanaan
STRATEGI PELAKSANAAN
SP 1 PASIEN SP 1 KELUARGA
Pengkajian dan melatih cara menjaga Melatih cara merawat dan
kebersihan diri : mandi,cuci membimbing pasien : kebersihan diri
rambut,sikat gigi,potong kuku
1) Identifikasi masalah perawatan 1) Mendiskusikan masalah yang
diri : kebersihan diri, berdandan, dirasakan keluarga dalam merawat
makan / minum, BAB/BAK klien.
2) Menejelaskan pentingnya 2) Jelaskan pengertian, tanda dan
kebersihan diri, cara dan alat gejala , proses terjadinya defisit
kebersihan diri perawatan diri (gunakan booklet)
3) Melatih cara menjaga kebersihan 3) Jelaskan cara merawat defisit
diri : mandi dan ganti pakaian, perawatan diri
sikat gigi, cuci rambut, potong 4) Bimbing cara merawat : kebersihan
kuku diri
4) Memasukan dalam jadwal
5) Anjurkan membantu pasien sesuai
kegiatan
jadwal dan memberikan pujian
SP2P SP2K
Melatih cara merawat
Melatih cara berdandan setelah
dan membimbing pasien :
kebersihan diri : sisiran, rias muka
berdandan
untuk perempuan: sisiran cukuran
untuk laki- laki

1) Mengevaluasi tanda dan gejala 1) Evaluasi kemampuan keluarga


defisit diri mengidentifikasi gejala defisit
2) Evaluasi manfaat melakukan perawatan diri
kegiatan pertama 2) Validasi kemampuan keluarga
3) jelaskan cara berdandan setelah dalam memimbing pasien
kebersihan diri, sisiran, rias muka melaksanakan kegiatan yang telah
untuk perempuan, sisiran,cukuran dilatih
untuk pria 3) Evaluasi mamfaat yang dirasakan
4) masukan pada jadwal kegiatan keluarga dalam merawat, beri
untuk kebersihan diri dan pujian
berdandan 4) Bersama keluarga melatih pasien
cara berdandan
5) Anjurkan membantu pasien
sesuai jadwal dan beri pujian
SP3P SP3K
Melatih cara makan dan minum yang Membimbing cara makan dan
baik minum pasien
1) Evaluasi tanda dan gejala defisit 1) Evaluasi kemampuan keluarga
diri, mengidentifikasi gejala defisit
2) Validasi kemampuan pasien perawatan diri
melakukan kegiatan pertama dan 2) Validasi kemampuan keluarga
kedua yang telah dilatih dan beri dalam membimbing
pujian pasienmelaksanankan kegiatan
3) Evaluasi manfaat melakukan yang telah dilatih
kegiatan pertama,kedua dan 3) Evaluasi manfaat yang dirasakan
ketiga, jelaskan kebutuhan dan keluarga dalam merawat dan beri
cara makan minum. pujian
4) Latih cara makan dan minum yang 4) Bersama keluarga melatih pasien
baik dan masukan pada jadwal cara makan yang benar
kegiatan 5) Anjurkan membantu pasien sesuai
jadwal dan beri pujian
SP4P SP4K
Melatih BAB dan BAK yang baik Melatih merawat dan membimbing
BAB dan BAK pasien, follow up
ke PKM, tanda kambuh, rujukan

1) Evaluasi tanda dan gejala defisit 1. Evaluasi kemampuan keluarga


diri, mengidentifikasi gejala defisit
2) Validasi kemampuan pasien perawatan diri
melakukan kegiatan pertama, 2. Validasi kemampuan
kedua dan ketiga yang telah keluargadalam membimbing
dilatih dan beri pujian pasien melaksanankan kegiatan
3) Evaluasi manfaat melakukan yang telah dilatih
kegiatan pertama, kedua dan 3. Evaluasi man faat yang dirasakan
ketiga keluarga dalam merawat dan beri
4) Jelaskan cara BAB dan BAK yang pujian
baik 4. Bersama keluarga melatih pasien
5) Latih BAB dan BAK yang baik cara BAB dan BAK yang benar
6) Masukkan pada jadwal kegiatan 5. Jelaskan follow up ke PKM ,tanda
kambuh, rujukan, anjurkan
membantu pasien sesuai jadwal
dan beri pujian

5. Implementasi
Implementasi atau tindakan yang akan dilakukan disesuaikan dengan intervensi
atau rencana keperawatan yang dilakukan.

6. Evaluasi
Evaluasi yang dilakukan berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan, adapun
evaluasi tersebut yakni evaluasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien
dan kemampuan yang dapat digunakan.

D. Diagnosa Medis : Skizofrenia


1. Pengertian
Skizofrenia merupakan penyakit otak neurologis yang berat dan terus menerus.
Respon dapat berupa yaitu sangat mengganggu kehidupan baik individu, keluarga
dan masyarakat. Karena gejalanya yang dikeluarkan berupa sulit memulai
pembicaraan, afek tumpul atau datar, berkurangnya motivasi, atensi, pasif, apatis,
defisit perhatian, dan penarikan diri. Gejala lainnya dapat bertambah meliputi
waham, halusinasi, gangguan pemikiran, bicara kacau, perilaku bizar, dan afek
tidak sesuai (Stuart, 2016).

Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa, yang termaksud gangguan


skizofrenia yaitu gangguan skizofektif, gangguan waham, gangguan psikotik
singkat, dan gangguan psikotik induktif zat (American Psychiatric Association,
2013).
2. Etiologi
Sindrom gejala yang kompleks pada skizofrenia memunculkan berbagai faktor
tentang etiologi gangguan skizofrenia :
a. Faktor predisposisi
Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon
neurobiologi seperti:
1) Faktor genetik
Sebagai besar penelitian mengindikasikan hubungan genetik dan pola
familial. Semakin dekat hubungan darah dengan individu yang menderita
skizofrenia, semakin tinggi risiko genetik terhadap skizofrenia. Penelitian
penting lain menunjukan bahwa anak-anak yang memiliki satu orang tua
biologis penderita skizofrenia memiliki resiko 15%, angka ini meningkat
sampai 35% jika kedua orang tua biologis menderita skizofrenia (Videbeck,
2011).
2) Faktor struktur dan fungsi otak (neuroanatomi)
Hipotesis perkembangan saraf dalam perkembangan skizofrenia didasarkan
pada observasi skizofrenia pada bayi yang terpajan dengan infeksi virus
pada trimester kedua serta tanda neurologis ringan yang ditemukan ketika
mengevaluasi klien skizofrenia. Faktor perkembangan, struktur saraf,
biokimia, dan lingkungan mempengaruhi kemampuan individu dalam
memproses informasi. Masalah dalam memfokuskan perhatian, mengkaji
stimulus, dan menetapkan makna afek terhadap pengalaman dapat
menggangu kognisi dan menghambat kemampuan berinteraksi secara
afektif dengan lingkungan. Faktor hambatan dalam memproses informasi
terus terjadi karena ketidakmampuan memodulasi stresor biologis.
3) Faktor neurotransmiter (neurokimia)
Penurunan aktivitas lobus frontal pada klien skizofrenia dianggap berkaitan
dengan penurunan aktivitas glutamatergik dan dengan gejala negatif serta
defisit kognitif. Peningkatan aktivitas dopamin mesolimbik diperkirakan
berkaitan dengan efek farmakologis obat antipsikotik dalam memblok
dopamin dan pengaruh obat tersebut pada berbagai sistem neurotransmiter
(Kaplan, 2010).
4) Faktor psikososial
Menurut teori psikoanalisis, kerusakan yang menentukan penyakit mental
adalah gangguan dalam organisasi ‘ego’. Gangguan ini terjadi sebagai
akibat distorsi dalam hubungan timbal balik antara bayi dan ibunya, dimana
si anak tidak dapat berkembang melampui fase oral dari perkembangan
jiwanya. Didapati juga bahwa penderita skizofrenia tidak pernah dapat
mencapai hubungan yang erat dengan ibunya pada masa bayinya. Beberapa
psikoanalisis beranggapan bahwa gangguan pada fungsi ego seseorang
dapat menyebabkan perasaan bermusuhan. Distorsi hubungan ibu-bayi ini
kemudian mengakibatkan terbentuknya suatu kepribadian yang peka
terhadap stress. Teori psikoanalis beranggapan bahwa berbagai gejala
skizofrenia mempunyai arti simbolik untuk si penderita secara individu.

b. Faktor presipitasi

Faktor presipitasi disebut juga faktor pencetus respon neurobiologis meliputi:

1) Lingkungan

Faktor lingkungan yang menjadikan pencetus terjadinya skizofrenia


lingkungan yang mempengaruhi atau menimbulkan penyakit diantara lain:
ekonomi, pendidikan, masalah rumah tangga, kehilangan kebebasan hidup,
perubahan kebiasaan hidup, pola aktivitas sehari-hari, kesukaran
berhubungan dengan orang lain, isolasi sosial, kurangnya dukungan sosial,
tekanan kerja, stigmasiasi, kemiskinan, kurangnya alat transportasi dan
ketidakmampuan mendapatkan pekerjaan.
2) Sikap atau perilaku
Sikap atau perilaku juga menjadikan pencetus skizofrenia karena sikap atau
perilaku timbul terdapat merasa tidak mampu, tekanan psikologis, putus
asa, merasa gagal, kehilangan kendali diri (demoralisasi), merasa punya
kekuatan berlebihan dengan gejala tersebut, merasa malang, dari segi usia
maupun kebudayaan, rendahnya kemampuan sosialisasi, perilaku agresif,
perilaku kekerasan, ketidak adekuatan pengobatan dan ketidak adekuatan
penanganan gejala stresor seseorang terpaksa mengadakan adaptasi
(penyesuain diri) untuk menanggulangi stresor (tekanan) yang timbul.
Namun, tidak semua orang mampu mengadakan adaptasi dan mampu
menanggulanginya, sehingga dampak dari stresor yang ada berdampaklah
seseorang terkena skizofrenia.

Dari penyebab skizofrenia diatas dapat disimpulkan bahwa skizofrenia sampai


sekarang belum diketahui dasar penyebab skizofrenia secara pasti. Dapat dikatakan
bahwa faktor keturunan mempunyai pengaruh. Faktor yang mempercepat, yang
menjadikan manifestasi atau faktor pencetus atau presipitasi faktor seperti penyakit
badaniah atau stress psikologis, biasanya bisa menyebabkan skizofrenia.

3. Klasifikasi
Adapun klasifikasi dari skizofrenia adalah:
a. Skizofrenia Paranoid (F20.0)

Jenis skizofrenia dimana penderitanya mengalami bayangan dan khayalan


tentang penganiayaan dan kontrol dari orang lain dan juga kesombongan yang
berdasarkan kepercayaan bahwa penderitanya itu lebih mampu dan lebih hebat
dari orang lain. (Videbeck, 2011)
b. Skizofrenia Tak Teratur / Skizofrenia Hebefrenik (F.20.1)

Jenis skizofrenia yang sifatnya ditandai terutama oleh gangguan dan kelainan di
pikiran. Seseorang yang menderita skizofrenia sering menunjukkan tanda-tanda
emosi dan ekspresi yang tidak sesuai untuk keadaan nya. Halusinasi dan
khayalan adalah gejala gejala yang sering dialami untuk orang yang mederita
skizofrenia jenis ini. (Videbeck, 2011)
c. Skizofrenia Katatonia (F.20.2)
Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, dan biasanya akut serta sering
didahului oleh stres emosional. Merupakan salah satu tipe skizofrenia yang
gambaran klinisnya didominasi oleh suatu hal berikut ini, yaitu :
1) Stupor katatonik
Pasien tidak berespons terhadap lingkungan atau orang. Menunjukkan
pengurangan hebat dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan atau
pengurangan dari pergerakan. Walaupun penampilan klinisnya demikian,
pasien sering menyadari hal-hal yang sedang berlangsung disekitarnya.
2) Kekakuan (rigiditas) katatonik
Mempertahankan sikap kaku terhadap semua upaya untuk menggerakan
dirinya.
3) Kegaduhan katatonik
Kegaduhan aktivitas motorik yang tidak bertujuan dan tidak dipengaruhi
oleh rangsangan yang datangnya dari luar.
4) Sikap tubuh katatonik
Secara sadar mengambil sikap tidak wajar atau aneh.

5) Kegembiraan katatonik

Pasien sangat aktif dan gembira. Mungkin dapat mengancam jiwanya


(misal, karena kelelahan).
d. Skizofrenia Residual (F.20.5)
Tipe ini merupakan sisa-sisa (residu) dari gejala skizofrenia yang tidak begitu
menonjol. Misalnya alam perasaan yang tumpul dan mendatar serta tidak serasi
(inappropriate), penarikan diri dari pergaulan sosial, tingkah laku eksentrik,
pikiran tidak logis dan tidak rasional atau pelonggaran asosiasi pikiran.
e. Skizofrenia tak terinci (F.20.3)
Terdapat gejala psikotik yang jelas dan tidak dapat diklasifikasikan dalam salah
satu kategori yang telah disebutkan diatas, atau yang memenuhi lebih dari satu
tipe kriteria. Suatu tipe skizofrenia yang gambaran klinisnya ditandai dengan
waham yang jelas, halusinasi, inkoherensi, atau tingkah laku kacau. Tidak
memenuhi kriteria dari salah satu tipe yang telah disebutkan di atas atau
memenuhi lebih dari kriteria dalam satu tipe
4. Penatalaksanaan Skizofrenia
Menurut Hawari (2014) pengobatan skizofrenia antara lain:

a. Psikofarmaka

Pada skizofrenia terdapat gangguan pada fungsi penghantar saraf


(neurotransmitter) yaitu sel-sel susunan saraf pusat pada otak merupakan
pelepasan zat dopamine dan serotin yang mengakibatkan gangguan pada alam
pikir, alam perasaan, dan perilaku. Oleh karena itu, obat psikofarmaka
ditujukan pada gangguan fungsi neurotransmitter sehingga gejala-gejala klinis
dapat dihilangkan.

Masing-masing jenis obat psikofarmaka meiliki kelebihan dan kekurangan


masing-masing selain efek samping. Terdapat obat psikofarmaka yang lebih
berkhasiat menghilangkan gejala negatif skizofrenia daripada gejala postif
skizofrenia atau sebaliknya, ada juga yang lebih cepat menimbulkan efek
samping dan lain sebagainya.

Berbagai jenis obat psikofarmaka yang beredar di pasaran yang hanya bisa
diperoleh dengan resep dokter dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu
golongan generasi pertama (typical) dan golongan kedua (atypical). Adapun
contoh obat jenis golongan pertama dengan nama generic, antara lain:
chlorpromazin HCL, trifluoperazine HCL, thioridazine HCL, dan haloperidol.
Contoh obat golongan kedua dengan nama generic antara lain: risperidone,
paliperidone, clozapine, quetiapine, olanzapine dan aripiprazole.
b. Psikoterapi
Psikoterapi dapat diberikan apabila penerita dengan terapi psikofarmaka sudah
mencapai tahap yang mana kemampuan menilai (Reality Testing Ability/RTA)
sudah kembali pulih dan pemahaman diri (insight) sudah baik. Psikoterapi
diberikan dengan catatan penderita masih tetap mendapat terapi psikofarmaka.
Ada banyak macam psikoterapi, biasanya diberikan sesuai kebutuhan dan latar
belakang sebelum sakit (Pramorbid), misalnya:

1) Psikoterapi suportif

Memberikan dorongan atau motivasi agar penderita tetap semangat dan


tidak putus asa dalam menghadapi penyakitnya.
2) Psikoterapi Re-edukatif
Memberikan pendidikan ulang untuk memperbaiki kesalahan
pendidikan masa lalu agar dapat mengubah pola pendidikan masa lalu
dengan yang baru sehingga penderita lebih adaptif terhadap dunia luar.
3) Psikoterapi Re-konstruktif
Memperbaiki kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi
kepribadian yang utuh seperti semula sebelum sakit.
4) Psikoterapi Kognitif
Memulihkan kembali fungsi kognitif yang rasional sehingga penderita
mampu membedakan nilai-nilai moral etika.
5) Psikoterapi Psiko-dinamik
Menganalisis dan menguraikan proses dinamika kejiwaan yang dapat
menjelaskan seorang jatuh sakit dan upaya dalam mencari jalan
keluarnya. Terapi ini diharapkan penderita mampu memahami
kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya dan mampu menggunakan
mekanisme pertahanan diri dengan baik.
6) Psikoterapi Perilaku
Memulihkan gangguan perilaku yang terganggu menjadi perilaku yang
adaptif.
7) Psikoterapi Keluarga
Dengan terapi ini diharapkan dapat memulihkan hubungan yang terjalin
yaitu penderita dengan keluarganya.

c. Terapi psikososial

Terapi psikososial dimaksudkan agar penderita mampu kembali beradaptasi


dengan lingkungan sosialnya dan mampu merawat diri, mandiri, dan tidak
menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorder Edition (DSM-V). Washington : American Psychiatric Publishing.
Damaiyanti. (2012). Asuhan keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.
Depkes, R. (2000). Keperawatan Jiwa : Teori dan Tindakan keperawatan Jiwa. Jakarta:
Depkes RI.
Depkes. 2008. Standar Pedoman Perawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Afnuhazi, Ridhyalla. 2015. Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Gosyen Publishing
Herman ade. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. yogyakarta: nuha medika
Kaplan, H.I., Sadock, B.J. 2010. Retardasi Mental dalam Sinopsis Psikiatri. Tangerang :
Binarupa Aksara
Keliat, Budi. 2007. Manajemen Kasus Gangguan Jiwa. Jakarta : EGC
Stuart, Gail W. 2016. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 5. Jakarta : EGC
Videbeck, S. L. (2011). Pyschiatric Mental Health Nursing. 5 th edition. Wolters Kluwer
Health. Lippincott Wiliams & Wilk.
Yusuf, AH, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika
Zahnia, Siti & Dyah Wulan Sumekar. (2016). Kajian Epidemiologi Skizofrenia.
Lampung: Medical Journal of Lampung University. Diakses pada 11 Januari
2022 melalui:
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/904

Anda mungkin juga menyukai