Anda di halaman 1dari 13

ILMU PENGETAHUAN DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN

PENDAHULUAN
Pandangan Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diketahui prinsip –
prinsipnya dengan menganalisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah, Yang mengajar
( manusia ) dengan perantaraan Kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak di
ketahuinya”.
Iqra’ terambil dari akar kata yang berarti “menghimpun”, dari menghimpun lahir aneka
ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu,
dan membaca baik tertulis maupun tidak.
Wahyu pertama Al-Qur’an tersebut mengisyratkan bahwa menuntut ilmu adalah suatu
perintah yang wajib dilaksanakan oleh manusia, sebagaimana Nabi Muhammad yang menuruti
perintah Malaikat Jibril tentang peristiwa di gua hira.
Selanjutnya ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu Pengetahuan. Allah
mengajar dengan pena atau bacaan (apa yang telah diketahui manusia sebelumnya) dan mengajar
manusia tanpa pena (apa yang belum di ketahui manusia). Dalam kata lain dinamakan pencarian
melalui kasbi dan ladunni.
Ilmu dapat meningkatkan keimanan seseorang, karena selain membuktikan kebenaran
Alqur’an terhadap pengetahuan alamiah yang ilmiah, juga dapat menjadikan karakter seseorang
yang berkepribadian mulia, sehingga dapat memperoleh keselamatan baik di dunia maupun di
akhirat.
Namun penggunaan ilmu yang tidak berdasarkan Alqur’an hanyalah akan mendapatkan
kehampaan bahkan kesesatan yang berbahaya baik di dunia maupun di akirat.
A.    Konsep Ilmu dalam Al Qur’an
1.      Pengertian dan Keutamaan Ilmu
Ilmu adalah isim masdar dari ‘alima yang berarti mengetahui, mengenal, merasakan, dan
menyakini. Secara istilah, ilmu ialah dihasilkannya gambaran atau bentuk sesuatu dalam akal.
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Alqur’an, dan digunakan dalam
arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan. Ilmu dari segi bahasa berarti
kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Jadi
dalam batasan ini faktor kejelasan merupakan bagian penting dari ilmu.1[1]
Dari segi maknanya, pengertian ilmu sepanjang terbaca dalam pustaka menunjuk
sekurang-kurangnya pada tiga hal, yakni pengetahuan, aktivitas, dan metode. Diantara para
filosof dari berbagai aliran terdapat pemahaman umum bahwa ilmu adalah suatu kumpulan yang
sistematis dari pengetahuan.2[2] Jadi pada umumnya ilmu diartikan sebagai sejenis dengan
pengetahuan, akan tetapi tidak semua pengetahuan dapat diartikan sebagai ilmu. Karena
mungkin saja pengetahuan tersebut tidak berdasarkan pada metode ilmiah.
Para ulama menyimpulkan bahwa menuntut ilmu adalah wajib, sesuai dengan jenis ilmu
yang akan dituntut. Inilah hukum dasar menuntut ilmu, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
SAW yang telah diriwayatkan oleh Anas bin Malik :
‫طلب العلم فريضة على كل مسلم‬

Artinya:  “Menunut ilmu hukumnya wajib bagi orang islam (HR. Ibnu Majjah)
Peranan ilmu pengetahuan dalam kehidupan seseorang sangat besar, dengan ilmu
pengetahuan, derajat manusia akan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga
tidaklah sama antara orang yang berpengetahuan dan orang yang tidak berpengetahuan.
ِ ‫ستَ ِوي الَّ ِذينَ يَ ْعلَ ُمونَ َوالَّ ِذينَ الَ يَ ْعلَ ُمونَ ِإنَّ َما يَتَ َذ َّك ُر ُأولُو اَأل ْلبَا‬
)9 :‫ب (الزمر‬ ْ َ‫قُ ْل َه ْل ي‬
Artinya : "Katakanlah :"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran." (Az-Zumar:9)

Allah SWT juga berfirman:

2
ْ ِ‫ش ِه َد هللاُ َأنَّهُ اَل ِإلَهَ ِإاَّل ُه َو َوا ْل َماَل ِئ َكةُ َوُأولُو ا ْل ِع ْل ِم قَاِئ ًما ِبا ْلق‬
‫س ِط اَل ِإلَهَ ِإاَّل ُه َو ا ْل َع ِزي ُز ا ْل َح ِكي ُم‬ َ
)18 :‫(آل عمران‬

Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Ali Imran: 18).
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa yang menyatakan tiada yang berhak disembah selain
Allah adalah dzat Allah sendiri, lalu para malaikat dan para ahli ilmu. Diletakkannya para ahli
ilmu pada urutan ke-3 adalah sebuah pengakuan Allah SWT, atas kemualian dan keutamaan para
mereka.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
ٍ ‫يَ ْرفَ ِع هللاُ الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوالَّ ِذينَ ُأوتُوا ا ْل ِع ْل َم َد َر َجا‬
)11 :‫ت َوهللاُ ِب َما تَ ْع َملُونَ َخبِي ٌر (المجادلة‬
Artinya:  “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa derajat para ahli ilmu dan
orang mukmin yang lain sejauh 700 derajat. Satu derajat sejauh perjalanan 500 tahun.3[3]

2.      Pandangan Ulama tentang Pentingnya Ilmu


Imam As-Syafi’i mengatakan:
‫َمنْ َأ َرا َد ال ُّد ْنيَا فَ َعلَ ْي ِه بِا ْل ِع ْل ِم َو َمنْ َأ َرا َد اآْل ِخ َرةَ فَ َعلَ ْي ِه بِا ْل ِع ْل ِم‬

Artinya:  “Barang siapa menghendaki (kebaikan) dunia, maka hendaknya ia menggunakan


ilmu, dan barang siapa menghendaki kebaikan akhirat, maka hendaknya menggunakan ilmu.4[4]
Abu Aswad berkata :
‫ الملوك حكام على الناس والعلماء حكام على الملوك‬،‫ ليس شيء أعز من العلم‬:‫وقال أبو األسود‬
Artinya : “tidak ada sesuatu yang lebih mulia dari pada ilmu, kerajaan itu bertindak
menghakimi manusia, sementara ulama bertindak menghakimi kerajaan”5[5]

3
4
5
Dari perkataan abu Aswad tersebut dapat diambil ibroh bahwa ketika sistem
kepemerintahan dikendalikan oleh ulama, pasti kepemerintahan tersebut akan berjalan dengan
lancar dan sejahtera. Artinya ilmu sangat penting untuk bisa mengendalikan tatanan kenegaraan
yang sistematis.
Ali bin Abi Thalib berkata kepada Kumail:
“Wahai Kumail, ilmu itu lebih utama dari pada harta karena ilmu itu menjagamu,
sedangkan kamu menjaga harta. Ilmu adalah hakim, sedang harta adalah yang dihakimi. Harta
menjadi berkurang jika dibelanjakan, sedangkan ilmu akan berkembang dengan diajarkan
kepada orang lain”.6[6]

3.      Tujuan Menuntut Ilmu


a.     Memperbaiki Diri
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Ankabut : 69)
Antara tujuan utama kita dalam menuntut ilmu adalah agar dapat memperbaiki diri.
Memperbaiki diri bermaksud berusaha bersungguh-sungguh untuk menambah ilmu pengetahuan
serta membawa ibadah dan juga taraf kehidupan ke tempat yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Dengan menuntut ilmu kita secara tidak langsung bukan saja mendapat petunjuk, malah
dipimpin ke jalan yang lurus.
b. Mensyukuri nikmat Allah yang Maha Agung
Dan sesungguhnya Kami telah memberikan ilmu pengetahuan kepada Nabi Daud
dan Nabi Sulaiman; dan mereka berdua bersyukur dengan berkata: "Segala puji tertentu bagi
Allah yang dengan limpah karuniaNya memberi kami kelebihan mengatasi kebanyakan hamba-
hambaNya yang beriman". (QS. An-Naml : 15)
Walaupun ayat berkenaan tentang ilmu yang diberikan kepada Nabi Daud a.s dan
Nabi Sulaiman a.s, namun lafaznya umum. Antara nikmat terbesar yang dikurniakan kepada
manusia adalah nikmat akal untuk belajar dan memahami ilmu dalam menjalani kehidupan di
dunia dan persediaan untuk akhirat. Maka antara tujuan kita dalam usaha menuntut ilmu adalah
sebagai tanda syukur atas segala macam nikmat-Nya.

6
Dengan ilmulah kita mengenal cara melaksanakan ibadah dan kategorinya, dengan
ilmu kita mengenal kebaikan dan kejahatan, dan dengan ilmu juga kita mengetahui tentang dunia
dan akhirat. Maka wajiblah kita bersyukur atas nikmat yang tak terhingga ini, yaitu nikmat akal
dan ilmu pengetahuan.
c.    Menegakkan Agama Islam
“Dan tidaklah (betul dan elok) orang-orang yang beriman keluar semuanya (pergi
berperang); oleh itu, hendaklah keluar sebahagian sahaja dari tiap-tiap puak di antara mereka,
supaya orang-orang (yang tinggal) itu mempelajari secara mendalam ilmu yang dituntut di
dalam agama, dan supaya mereka dapat mengajar kaumnya (yang keluar berjuang) apabila
orang-orang itu kembali kepada mereka; mudah-mudahan mereka dapat berjaga-jaga (dari
melakukan larangan Allah)”. (QS. At-Taubah : 122)
Menegakkan agama Islam bermaksud memuliakan, mengamalkan perintah dan
larangannya, melaksanakan hukum-hukumnya, dan menyebarkannya dengan cara melalui umat
Islam yang beriman, beramal soleh dan berpendidikan, mampu memerintah, adil dan mampu
memikul tanggungjawab sebagai hamba dan khalifah Allah yang Maha Tinggi di muka bumi.

4.      Objek Ilmu dan cara Memperolehnya


Obyek ilmu pengetahuan dapat dibagi dalam dua bagian pokok yaitu alam materi dan
alam non materi. Sains mutakhir mengarahkan pandangan kepada alam materi, sehingga mereka
membatasi ilmu pada bidang tersebut. Bahkan sebagian mereka tidak mengetahui adanya realita
yang tidak dapat dibuktikan dialam materi
Pada dasarnya potensi yang dimiliki oleh manusia untuk mengetahui sesuatu terdiri atas
tiga macam, yaitu indera, akal, dan hati. 7[7] Sebagaimana yang termaktub dalam surat an-Nahl:
78, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.

a. Pengamatan Melalui Indera


Al-Qur’an menjelaskan adanya pengetahuan yang diperoleh melalui indera dengan cara
mengamati. Dalam surat al-Ankabut : 20, Allah SWT menyuruh manusia untuk berjalan di muka

7
bumi dan memerhatikan percipataan manusia. Dalam surat Yunus : 101, Allah SWT
memerintahkan manusia untuk memperhatikan apa yang ada di langit dan memerhatikan apa
yang ada di bumi.
Namun tidak semua pengetahuan yang hendak diketahui dapat diperoleh dengan indera.
Karena keterbatasan kemampuan inderawi, manusia tidak dapat menjangkau hal-hal yang ada
dibalik penangkapan indera tersebut. Karena itu, Allah SWT mengecam orang-orang yang hanya
mengandalkan inderanya untuk memeroleh pengetahuan lebih dalam, Allah SWT berfirman :
“dan ingatlah ketika kamu berkata, “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum
kami melihat Allah dengan terang. Karena itu, kamu disambar halilintar, sedang kamu
menyaksikannya,” (QS al-Baqarah : 55).
b. Pengamatan Melalui Akal
Keterbatasan dan kelemahan indera, disempurnakan oleh akal. Akal dapat mengoreksi
kesalahan pengetahuan inderawi sebab akal mempunyai kemampuan untuk mengetahui objek-
objek abstrak yang logis. Seperti halnya pengetahuan bahwa Allah SWT itu Maha Kuasa dan
Maha Penyayang diperoleh dengan menggunakan akal, bukan dengan menggunakan indera.
c. Pengamatan Melalui Suara Hati
Selain indera dan akal, potensi yang dimiliki manusia untuk mengetahui pengetahuannya
adalah potensi hati. Atau menurut Imam al-Ghazali yang disebut dhamir. Potensi ketiga ini dapat
memberi peluang kepada manusia untuk memeroleh pengetahuan dengan lebih baik.  Jika akal
hanya dapat mengetahui objek abstrak yang logis, potensi hati dapat mengetahui objek abstrak
yang supra logis (ghaib).  
Al-Ghazali menjelaskan bahwa pengetahun yang diterima para nabi dan Rasul Allah,
bukanlah melalui indera dan akal, melainkan melalui hati yang disebut wahyu. Sebagaimana
dalam firman-Nya : “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan
perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak
pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami
tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan
sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.  (QS. asy-Syu’ara :
52).

B.     Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Al Qur’an


Ilmu pengetahuan atau sains, secara singkat dapat dirumuskan sebagai himpunan
pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui suatu proses pengajian dan dapat diterima oleh
rasio, artinya dapat dinalar.8[8] Jadi dapat dikatakan bahwa sains adalah himpunan rasionalitas
kolektif insani.
Pandangan AlQur’an tentang ilmu dan teknologi dapat diketahui prinsip-prinsipnya dari
analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw. “Bacalah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah, Yang mengajar ( manusia ) dengan
perantaraan Kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak di ketahuinya”. (QS
Al-’Alaq [96]: 1-5).
Surat Al-Alaq 1-5 merupakan dasar sains dan teknologi dalam Islam. Allah
memerintahkan kita membaca, meneliti, mengkaji dan membahas dengan kemampan intelektual.
Surat ini merangsang daya kreativitas untuk berinovasi, mengembangkan keimanan dengan rasio
dan logika yang dimiliki manusia. Kewajiban membaca dan menulis (memperdalam sains
dengan meneliti) menjadi interen Islam dan penguasaan, dan keberhasialan suatu penelitian atas
restu Allah.9[9]
Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-Quran
menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti
bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri
sesuatu, bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun
yang tidak. Artinya, objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekadar menunjukkan
bahwa kecakapan membaca tidak akan diperoleh kecuali mengulang-ulang bacaan atau membaca
hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan. Tetapi hal itu untuk
mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi Rabbik akan menghasilkan pengetahuan
dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga. Demikian pesan yang dikandung
Iqra’ wa rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah).
Selanjutnya, dari wahyu pertama Al-Quran diperoleh isyarat bahwa ada dua cara
perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena yang telah diketahui

9
manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia (tanpa pena) yang belum diketahuinya. Cara
pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia. Cara kedua dengan
mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Walaupun berbeda, keduanya berasal dari satu
sumber, yaitu Allah Swt. inilah yang disebut ilmu laduni.
Dalam ilmu pengetahuan kealaman atau sains natural, orang mengumpulkan pengetahuan
itu dengan mengadakan pengamatan atau observasi, pengukuran atau pengumpulan data pada
alam sekitar kita, baik yang hidup seperti manusia, binatang, dan tumbuhan, maupun yang tak
bernyawa seperti bintang, matahari, gunung, lautan, dan benda-benda yang mengelilingi kita. 10
[10] Secara lebih rinci pengamatan-pengamatan benda disekitar kita dapat penulis paparkan pada
bagian hakikat ilmu pengetahuan. Dimana hakikat tersebut mempunyai keterpaduan antara sains
dengan Al qur’an.

1.      Hakikat Ilmu Pengetahuan


a.      Alam Semesta
-          Pandangan terhadap Alam Semesta
Pandangan klasik
Pada dasarnya pandangan ini mengatakan bahwa langit yang begitu luas dengan benda-
benda didalamnya, dianggap mengelilingi bumi. Akan tetapi pendapat ini dibantah oleh Galileo
yang mengatakan bahwa semua benda langit berputar mengelilingi matahari.
Pandangan modern
Dari perhitungan mengenai perbandingan jarak dan kelajuan gerak masing-masing
galaksi yang teramati, para fisikawan kosmolog menarik kesimpulan bahwa semua galaksi di
alam ini semula bersatu padu dengan galaksi Bimasakti, kira-kira 15 milyar tahun yang lalu. 11
[11]
Dahulu orang tidak ada yang tahu bahwa langit dan bumi itu awalnya satu. Ternyata ilmu
pengetahuan modern seperti teori Big Bang menyatakan bahwa alam semesta (bumi dan langit)
itu dulunya satu. Kemudian akhirnya pecah menjadi sekarang ini.
Pandangan Al qur’an

10

11
Hasil penelitian modern ternyata senada dengan firman Allah : “Dan apakah orang-orang
yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu
yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala
sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” [Al Anbiyaa:30]
b.      Kesetimbangan Benda Langit
Tegaknya langit yaitu segala apa yang ada di luar bumi, dengan kokoh dan rapi, yang sudah
berjalan beberapa milyar tahun menunjukkan adanya semacam medan gaya tertentu yang bekerja
secara tetap didalam jagad ini.12[12] Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dengan firmannya :
Artinya : “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan)”. (QS. al-
Rahman : 7)
Artinya : “Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh
jika keduanya akan lenyap tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun”. (QS. Faathir : 41)
Ayat-ayat diatas menyatakan adanya semacam gaya penahan yang membawa kepada
kesetimbangan benda-benda langit, meskipun benda-benda langit itu saling bergerak. Realitas
kesetimbangan ini sangat nyata dan sudah diakui kebenarannya oleh umat manusia. Para ahli
fisika sudah cukup lama mengenal gaya grafitasi antara benda-benda bermassa yang bekerja
secara luas dalam alam ini.13[13]
c.       Diselamatkannya Jasad Fir’aun14[14]
“Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran
bagi orang-orang yang datang sesudahmu” [QS. Yunus :92].
Maurice Bucaille dulunya adalah peneliti mumi Fir’aun di Mesir. Pada mumi Ramses II dia
menemukan keganjilan, yaitu kandungan garam yang sangat tinggi pada tubuhnya. Dia baru
kemudian menemukan jawabannya di Al-Quran, ternyata Ramses II ini adalah Firaun yang dulu
ditenggelamkan oleh Allah swt ketika sedang mengejar Nabi Musa as.
Injil dan Taurat hanya menyebutkan bahwa Ramses II tenggelam, tetapi hanya Al-Quran
yang kemudian menyatakan bahwa mayatnya diselamatkan oleh Allah swt, sehingga bisa
menjadi pelajaran bagi kita semua.

12

13

14
Perhatikan bahwa Nabi Muhammad saw hidup 3000 tahun setelah kejadian tersebut, dan
tidak ada cara informasi tersebut (selamatnya mayat Ramses II) dapat ditemukan beliau (karena
di Injil dan Taurat pun tidak disebut). Makam Fir’aun, Piramid, yang tertimbun tanah baru
ditemukan oleh arkeolog Giovanni Battista Belzoni tahun 1817. Namun Al-Quran bisa
menyebutkannya karena memang firman Allah swt (bukan buatan Nabi Muhammad saw).
d.      Gunung yang Bergerak
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia
berjalan sebagai jalannya awan.” [QS An-Naml : 88]
Pada 14 abad lampau seluruh manusia menyangka gunung itu diam tidak bergerak. Namun
dalam Al Qur’an disebutkan gunung itu bergerak. Gerakan gunung-gunung ini disebabkan oleh
gerakan kerak bumi tempat mereka berada. Kerak bumi ini seperti mengapung di atas lapisan
magma yang lebih rapat. Pada awal abad ke-20, untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang
ilmuwan Jerman bernama Alfred Wegener mengemukakan bahwa benua-benua pada permukaan
bumi menyatu pada masa-masa awal bumi, namun kemudian bergeser ke arah yang berbeda-
beda sehingga terpisah ketika mereka bergerak saling menjauhi.
e.       Makhluk Hidup
Menurut Teori evolusi yang dipelopori oleh seorang ahli zoologi bernama Charles Robert
Darwin (1809-1882). Dalam teorinya ia mengatakan : "Suatu benda (bahan) mengalami
perubahan dari yang tidak sempurna menuju kepada kesempurnaan". Kemudian ia memperluas
teorinya ini hingga sampai kepada asal-usul manusia.
Menurut Darwin manusia sekarang ini adalah hasil yang paling sempurna dari
perkembangan tersebut secara teratur oleh hukum-hukum mekanik seperti halnya tumbuhan dan
hewan. Kemudian lahirlah suatu pengertian bahwa manusia yang ada sekarang ini merupakan
hasil evolusi dari kera-kera besar (manusia kera berjalan tegak) selama bertahun-tahun dan telah
mencapai bentuk yang paling sempurna.
Sementara menurut umat Islam mengakui dan meyakini bahwa proses pembentukan
manusia ada empat macam, yakni penciptaan Nabi Adam as, Siti Hawa, Nabi Isa as, dan
manusia biasa.
Dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa Adam diciptakan oleh Allah dari tanah yang kering
kemudian dibentuk oleh Allah dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Setelah sempurna maka oleh
Allah ditiupkan ruh kepadanya maka dia menjadi hidup. Hal ini ditegaskan oleh Allah di dalam
firman-Nya : “Yang membuat sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah”. (QS. As Sajdah (32) : 7) “Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang
diberi bentuk”. (QS. Al Hijr (15) : 26)

2.      Penggunaan Ilmu Pengetahuan


Alqur’an menjadikan ilmu pengetahuan bukan hanya untuk mencapai kebenaran dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini, melainkan lebih jauh dari itu adalah untuk
mencapai keselamatan, ketenangan, serta kebahagiaan hidup dibalik kehidupan dunia yang fana
ini, yaitu kehidupan di akhirat. “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan
dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai”. (QS. Ar-Rum : 6-7).
“Bukankah akhirat itu lebih baik dari pada (yang) pertama (dunia)”. (QS. Ad-Duha:3)
Penggunaan sains tergantung pada diri masing-masing bila penggunaannya tidak sesuai
dengan tujuannya akan mendatangkan madhorot, tapi bila penggunaan yang tepat sasaran akan
memberikan manfaat yang lebih besar pada kehidupan manusia dan hal ini akan mendapat restu
Allah.

C.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat penulis simpulkan bahwa hakikat ilmu pengetahuan dalam
Al qur’an adalah rangkaian aktivitas manusia dengan prosedur ilmiah baik melalui pengamatan,
penalaran maupun intuisi sehingga menghasilkan pengetahuan yang sistematis mengenai alam
seisinya serta mengandung nilai-nilai logika, etika, estetika, hikmah, rahmah, dan hidayah bagi
kehidupan manusia.
ilmu adalah sesuatu yang mulia yang wajib dicari oleh setiap manusia. Disamping itu
manusia memliki naluri yang selalu haus akan ilmu pengetahuan. Dua keinginan yang tidak akan
pernah puas, yaitu keinginan menuntut ilmu dan keinginan menuntut harta.
Ketidakpuasan pencarian ilmu selain untuk membuktikan kebenaran Alqur’an secara
ilmiah juga untuk membentuk karakter seseorang agar bisa mendapatkan keselamatan dan
kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Sementara ketidakpuasan pencarian harta dimana
penggunaan ilmu tidak pada semestinya maka hanyalah akan menjuruskan pada madhorot.
Untuk lebih membantu pembaca dalam rangka menagungkan kebesaran Allah.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali. Ihya’ Ulum al-Din. Maktabah Syamilah.
Alim, Sahirul. Mengeuak Keterpaduan Sains, Teknologi dan Islam. Yogyakarta : Titian Ilahi Press.
1998.
An-Nawawi. Majmu’ syarah al muhadzdzab. Maktabah Syamilah.
Baiquni, A. Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern. Jakarta : Pustaka ITB. 1983.
Jumin, Hasan Basri. Sains dan Teknologi dalam Islam Tinjauan Genetis dan Ekologis. Jakarta : PT
Rajagrafindo Persada. 2012.
Khomaeni, Kevin. “Pandangan Al Qur’an terhadap Ilmu Pengetahuan”. www. www
http://dirasahislamiyah.blogspot.com
Nizami. “Keajaiban Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan”. www. www.Syiar Islam.com
Syafi’ie, Imam. Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Alqur’an. Yogyakarta : UII Press. 2000.

Anda mungkin juga menyukai