Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Diabetes melitus merupakan masalah kesehatan yang telah mencapai tingkat
yang mengkhawatirkan, di seluruh dunia hampir setengah miliar orang hidup dengan
diabetes (International Diabetes Federation, 2019). Berdasarkan data dari
International Diabetes Federation (IDF, 2019) diperkirakan 463 juta orang dewasa
usia 20-79 tahun hidup dengan diabetes pada tahun 2019, hal ini mewakili 9.3% dari
populasi penduduk usia yang sama. Selain itu, pada tahun 2030 angka ini diperkirakan
meningkat mencapai 578 juta (10.2%) dan pada tahun 2045 diperkirakan meningkat
mencapai 700 juta (10.9%). IDF juga telah mengidentifikasi 10 negara dengan jumlah
penderita diabetes usia dewasa terbesar. Cina, India, dan Amerika Serikat menempati
urutan tiga teratas sedangkan negara Indonesia sendiri berada pada peringkat ke-7
dengan jumlah orang dewasa usia 20-79 tahun dengan penderita diabetes sebanyak
10,7 juta jiwa (IDF, 2019).
Berdasarkan laporan nasional Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun
2018 prevalensi penderita diabetes melitus di Indonesia berdasarkan diagnosa dokter
pada penduduk semua umur adalah 1.017.290 jiwa sebesar 1,5%. Sedangkan
prevalensi penderita diabetes melitus berdasarkan diagnosa dokter pada umur ≥ 15
tahun sebesar 2% tertimbang 713.783 jiwa. Angka ini mengalami peningkat dari
tahun 2013 sebesar 1,5%. Prevalensi diabetes melitus yang didiagnosa dokter pada
penduduk semua umur menurut kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat sebanyak
37.063 jiwa. Prevalensi penderita diabetes yang didiagnosa dokter pada semua umur
menurut karakteristiknya di kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat, jenis kelamin
perempuan lebih banyak menderita diabetes melitus sebesar 1,50% dibandingkan
prevalensi penderita diabetes pada jenis kelamin laki-lak i sebesar 0,79%, dimana
Sumatera Barat berada di urutan ke 21 dari 34 provinsi di Indonesia (Kementrian
Kesehatan, 2018). Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat tahun 2018,
jumlah kasus DM di Sumatera Barat tahun 2018 berjumlah 44.280 kasus, dengan
jumlah kasus tertinggi berada di wilayah Kota Padang berjumlah 12.231 kasus (DKD,
2018).
Diabetes melitus diartikan sebagai penyakit kronis bersifat progresif yang
ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein yang merujuk ke hiperglikemia atau kadar glukosa darah tinggi.
Diabetes melitus di klasifikasikan secara umum menjadi 2 kelompok yakni insuline
dependent diabetes melitus (IDDM) sebagai DM tipe 1 dan non-insuline dependent
diabetes melitus (NIDDM) sebagai DM tipe 2 (Black & Hawks, 2014). Menurut
Arisman (2013) mengatakan DM tipe 2 menempati lebih dari 90% kasus di negara
maju, sedangkan di negara berkembang hampir seluruh masyarakat yang menderita
diabetes tergolong DM tipe 2 dengan 40% terbukti dari kelompok masyarakat dengan
perubahan gaya hidup (Permata, 2017).
Diabetes Melitus tipe 2 atau non insuline dependent diabetes mellitus (NIDDM)
terjadi akibat penurunan sekresi insulin dan penurunan sensitivitas jaringan terhadap
insulin karena adanya ganguan pada reseptor insulin. Diabetes tipe 2 ini paling sering
terjadi pada orang yang berumur lebih dari 30 tahun, disebabkan oleh faktor obesitas
atau kegemukan yang dapat diatasi dengan diet dan olahraga teratur (Smeltzer et al.,
2008). Pada pasien diabetes melitus cenderung mengalami peningkatan glukosa darah
(hiperglikemi) akan menimbulkan komplikasi jangka panjang yakni komplikasi
makroangiopati (penyakit jantung koroner,hipertensi, penyakit pembuluh darah perifer,
dan infeksi), dan komplikasi mikroangiopati (retinopati, neuropati, dan nepropati)
(Black & Hawks, 2014). Untuk meminimalisir masalah yang dialami, penderita
diabetes melitus harus memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk
mengontrol penyakit dengan cara melakukan perawatan diri (Kusniawati, 2011).
Komplikasi yang ditimbulkan dapat diminimalkan dengan menerapkan manajemen diri
pada DM. Manajemen diri DM adalah perilaku individu dalam mengelola penyakitnya
terutama dalam hal mengontrol dan mengurangi komplikasi yang ditimbulkan,serta
bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hidup bagi penderita diabetes (Vaccaro JA et
al., 2014).
Menurut Coyle et al. (2013) manajamen diri pada diabetes melitus terdiri dari
pengaturan diet, aktivitas fisik, manajemen obat, pengontrolan kadar glukosa darah,
dan perawatan kaki. Pada manajemen diri diabetes melitus ada faktor utama yang perlu
di perhatikan yakni karakteristik individu penderita diabetes melitus, karakteristik dari
penyedia pelayanan kesehatan, dan dukungan sosial yang di dapatkan oleh penderita
diabetes (Fisher et al., (1998) dalam Ravi et al., 2018).
1.2 TUJUAN
a. Tujuan Umum
Membandingkan teori dan kasus diabetes mellitus
b. Tujuan Khusus
1. Penulis mampu melakukan pengkajian pada klien diabetes mellitus
2. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien diabetes mellitus
3. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada klien diabetes
mellitus
4. Penulis mampu melakukan implementasi pada klien diabetes mellitus
5. Penulis mampu melakukan evaluasi pada klien diabetes mellitus
6. Penulis mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada klien diabetes
mellitus
1.3 Manfaat
Studi kasus ini, diharapkan memberikan manfaat bagi :
1. Masyarakat
Memberikan informasi kepada klien dan keluarga tentang cara perawatan pasien
dengan diabetes mellitus
2. Bagi Pengembangan ilmu dan Teknologi Keperawatan
Menambah keluasan ilmu dan tehnologi terapan bidang keperawatan medical bedah.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 KONSEP DASAR
2.1.1 Pengertian
Diabetes melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa darah(hiperglikemia) akibat kerusakan pada
sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (smelzel dan Bare,2015). Diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit atau gangguan metabolik dengan
karakteristik hipeglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi urin, kerja insulin,
atau kedua – duanya (ADA,2017).
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas
tidak cukup dalam memproduksi insulin atau ketika tubuh tidak efisien menggunakan
insulin itu sendiri. Insulin adalah hormon yang mengatur kadar gula darah.
Hiperglikemia atau kenaikan kadar gula darah, adalah efek yang tidak terkontrol dari
diabetes dan dalam waktu panjang dapat terjadi kerusakan yang serius pada beberapa
sistem tubuh, khususnya pada pembuluh darah jantung (penyakit jantung
koroner), mata (dapat terjadi kebutaan), ginjal (dapat terjadi gagal ginjal) (WHO,
2011).
Diabetes Mellitus (kencing manis) adalah suatu penyakit dengan peningkatan
glukosa darah diatas normal. Dimana kadar diatur tingkatannya oleh hormon insulin
yang diproduksi oleh pankreas (Shadine, 2010).
2.1.2 Anatomi Fisiologi

Gambar 2.1 Prankreas Gambar 2.2 DM tipe I DM tipe II

Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira – kira 15 cm,


lebar 5 cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata - rata 60 - 90 gram.
Terbentang pada vertebrata lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung.
Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik
hewan maupun manusia. Bagian depan ( kepala ) kelenjar pankreas terletak pada
lekukan yang dibentuk oleh duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan
yang merupakan bagian utama dari organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian
ekornya menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari segi perkembangan embriologis,
kelenjar pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel yang membentuk
usus.
Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu :
Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
1. Pulau Langerhans yang tidak tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi
menyekresi insulin dan glukagon langsung ke darah.
Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pamkreas
tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1- 3 % dari berat total pankreas. Pulau
langerhans berbentuk ovoid dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau
langerhans yang terkecil adalah 50 m, sedangkan yang terbesar 300 m, terbanyak adalah
yang besarnya 100 – 225 m. Jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan
antara 1- 2 juta.

Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu:


1. Sel - sel A ( alpha ), jumlahnya sekitar 20 - 40 %, memproduksi glikagon yang
manjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai anti insulin like
activity.
2. Sel - sel B ( betha ), jumlahnya sekitar 60-80 % , membuat insulin.
3. Sel - sel D ( delta ), jumlahnya sekitar 5-15 %, membuat somatostatin.

Masing - masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan struktur dan sifat
pewarnaan. Di bawah mikroskop pulau-pulau langerhans ini nampak berwarna pucat
dan banyak mengandung pembuluh darah kapiler. Pada penderita DM, sel betha sering
ada tetapi berbeda dengan sel beta yang normal dimana sel beta tidak menunjukkan
reaksi pewarnaan untuk insulin sehingga dianggap tidak berfungsi.
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk insulin
manusia. Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang tidak sama, yaitu rantai
A dan B. Kedua rantai ini dihubungkan oleh dua jembatan ( perangkai ), yang terdiri
dari disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam
amino. Insulin dapat larut pada pH 4-7 dengan titik isoelektrik pada 5,3. Sebelum
insulin dapat berfungsi, ia harus berikatan dengan protein reseptor yang besar di dalam
membrana sel.
Insulin di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan di simpan dalam butiran
berselaput yang berasal dari kompleks Golgi. Pengaturan sekresi insulin dipengaruhi
efek umpan balik kadar glukosa darah pada pankreas. Bila kadar glukosa darah
meningkat diatas 100 mg/100ml darah, sekresi insulin meningkat cepat. Bila kadar
glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan menurun. Selain kadar glukosa
darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak, dan hormon gastrointestina
merangsang sekresi insulin dalam derajat berbeda-beda. Fungsi metabolisme utama
insulin untuk meningkatkan kecepatan transport glukosa melalui membran sel ke
jaringan terutama sel - sel otot, fibroblas dan sel lemak
2.1.3 Etiologi
Menurut Smeltzer 2015 Diabetes Melitus dapat diklasifikasikan kedalam 2 kategori
klinis yaitu:
a. Diabetes Melitus tergantung insulin (DM TIPE 1)
a. Genetik
Umunya penderita diabetes tidak mewarisi diabetes type 1 namun mewarisi sebuah
predisposisis atau sebuah kecendurungan genetik kearah terjadinya diabetes type 1.
Kecendurungan genetik ini ditentukan pada individu yang memiliki type antigen
HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA ialah kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas antigen tranplantasi & proses imunnya. (Smeltzer 2015 dan
bare,2015)
b. Imunologi
Pada diabetes type 1 terdapat fakta adanya sebuah respon autoimum. Ini adalah
respon abdomal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh secara
bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya sebagai jaringan asing.
(Smeltzer 2015 dan bare,2015)
c. Lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan
destruksi selbeta. (Smeltzer 2015 dan bare,2015).

b. Diabetes melitus tidak tergantung insulin (DM TIPE II)


Menurut Smeltzel 2015 Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin
dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor
genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.

Faktor-faktor resiko :

- Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)

- Obesitas

- Riwayat keluarga
2.1.4 Manifestasi Klinis

Menurut PERKENI (2015) , penyakit diabetes melitus ini pada awalnya


seringkali tidak dirasakan dan tidak disadari penderita. Tanda awal yang dapat diketahui
bahwa seseorang menderita DM atau kencing manis yaitu dilihat langsung dari efek
peningkatan kadar gula darah, dimana peningkatan kadar gula dalam darah mencapai
nilai 160-180 mg/dL dan air seni (urine) penderita kencing manis yang
mengandung gula (glucose),sehingga urine sering dilebung atau dikerubuti semut.
Menurut PERKENI gejala dan tanda tanda DM dapat digolongkan menjadi
2 yaitu:

a. Gejala akut penyakit DM

Gejala penyakit DM bervariasi pada setiap, bahkan mungkin tidak menunjukan


gejala apapun sampai saat tertentu. Pemulaan gejala yang ditunjukan meliputi:

1. Lapar yang berlebihan atau makan banyak(poliphagi)

Pada diabetes,karena insulin bermasalah pemaasukan gula kedalam sel sel


tubuh kurang sehingga energi yang dibentuk pun kurang itun sebabnya orang
menjadi lemas. Oleh karena itu, tubuh berusaha meningkatkan asupan
makanan dengan menimbulkan rasa lapar sehingga timbulah perasaan selalu
ingin makan

2. Sering merasa haus(polidipsi)

Dengan banyaknya urin keluar, tubuh akan kekurangan air atau


dehidrasi.untu mengatasi hal tersebut timbulah rasa haus sehingga orang
ingin selalu minum dan ingin minum manis, minuman manis akan sangat
merugikan karena membuat kadar gula semakin tinggi.

3. Jumlah urin yang dikeluarkan banyak(poliuri)

Jika kadar gula melebihi nilai normal , maka gula darah akan keluar bersama
urin,untu menjaga agar urin yang keluar, yang mengandung gula,tak terlalu
pekat, tubuh akan menarik air sebanyak mungkin ke dalam urin sehingga
volume urin yang keluar banyak dan kencing pun sering.Jika tidak diobati
maka akan timbul gejala banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai
berkurang atau berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu
2-4 minggu), mudah lelah dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual
(PERKENI, 2015) .
b. Gejala kronik penyekit DM
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM (PERKENI, 2015)
adalah:
1. Kesemutan
2. Kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum
3. Rasa tebal dikulit
4. Kram
5. Mudah mengantuk
6. Mata kabur
7. Biasanya sering ganti kaca mata
8. Gatal disekitar kemaluan terutama pada wanita
9. Gigi mudah goyah dan mudah lepas
10. Kemampuan seksual menurun
11. Dan para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam
kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg

2.1.5 Patofisiologi & WOC


Menurut Smeltzer,Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan
untuk menghasilkan insulin karena sel sel beta prankreas telah dihancurkan oleh
proses autoimun.Hiperglikemi puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak
terukur oleh hati. Disamping glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan
dihati meskipun tetap berada dalam darah menimbulkan hiperglikemia
prospandial.jika kosentrasi glukosa daram darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat
menyerap kembali glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul
dalam urine(glikosuria). Ketika glukosa yang berlebihan dieksresikan kedalam
urine,ekresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan,
keadaan ini dinamakan diuresis ostomik,sebagai akibat dari kehilangan cairan
berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dal berkemih(poliurea),dan rasa haus
(polidipsi). (Smeltzer 2015 dan Bare,2015).Difisiensi insulin juga akan menganggu
metabilisme protein dalam lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien
dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunan simpanan
kalori. Gejala lainya kelelahan dan kelemahan . dalam keadaan normal insulin
mengendalikan glikogenolisis(pemecahan glikosa yang tersimpan) dan
glukoneogenesis(pembentukan glukosa baru dari asam asam amino dan subtansi lain).
Namun pada penderita difisiensi insulin,proses ini akan terjadi tampa hambatan dan
lebih lanjut akan turut menimbulkan hipergikemia. Disamping itu akan terjadi
pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang
merupakan produk smping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang
menganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebih. Ketoasidosis
yang disebabkan dapat menyebabkan tanda tanda gejala seperti nyeri abdomen
mual, muntah, hiperventilasi ,mafas berbaun aseton dan bila tidak ditangani akan
menimbulkan penurunan kesadaran,koma bahkan kematian. Pemberian insulin
bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat
kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet
dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen
terapi yang penting. (Smeltzer 2015 dan Bare,2015).
DM tipe II merupakan suatu kelainan metabolik dengan karakteristik utama
adalah terjadinya hiperglikemia kronik. Meskipun pula pewarisannya belum jelas,
faktor genetik dikatakan memiliki peranan yang sangat penting dalam munculnya DM
tipe II. Faktor genetik ini akan berinterksi dengan faktor faktor lingkungan seperti
gaya hidup, obesitas,rendah aktivitas fisik,diet, dan tingginya kadar asam lemak
bebas(Smeltzer 2015 dan Bare,2015). Mekanisme terjadinya DM tipe II umunya
disebabkan karena resistensi insulin dan sekresi insulin. Normalnya insulin akan
terkait dengan reseptor khusus pada permukaan sel.sebagai akibat terikatnya insulin
dengan reseptor tersebut,terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa
didalam sel. Resistensi insulin DM tipe II disertai dengan penurunan reaksi intra sel.
Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan
glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah,harus terjadi peningkatan jumlah insulin yang disekresikan.
(Smeltzer 2015 dan Bare,2015).Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan
ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika
sel sel B tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan insulin, maka kadar
glukosa akan meningkat dan terjadinya DM tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi
insulin yang berupakan ciri khas DM tipe II, namun masih terdapat insulin dengan
jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton
yang menyertainya, karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada DM tipe II,
meskipun demikian, DM tipe II yang tidak terkontrol akan menimbulkan masalah akut
lainya seperti sindrom Hiperglikemik Hiporosmolar Non-Ketotik(HHNK). (Smeltzer
2015 dan Bare,2015) Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat(selama
bertahun tahun) dan progesif, maka DM tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika
gejalannya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan, seperti: kelelahan,
iritabilitas, poliuria,polidipsia, luka pada kulit yang lama sembuh, infeksi vagina atau
pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi.). (Smeltzer 2015 dan
Bare,2015)
2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :

1. Pemeriksaan darah
Tabel 2.1 Kadar Glukosa Darah
No Pemeriksaan Normal

1 Glukosa darah sewaktu >200 mg/dl


Glukosa darah puasa
2 Glukosa darah 2 jam setelah makan >140 mg/dl

3 >200 mg/dl

(Menurut WHO (World Health Organization) ,2015)


2. Pemeriksaan fungsi tiroid
peningkatan aktivitas hormon tiroid dapat meningkatkan glukosa darah dan
kebutuhan akan insulin.
3. Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan
dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna
pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++ ).
4. Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai
dengan jenis kuman.
2.1.7 Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan Keperawatan

Menurut PERKENI 2015 komponen dalam penatalaksan DM yaitu:


a. Diet

Syarat diet hendaknya dapat:

1) Memperbaiki kesehatan umum penderita


2) Mengarahkan pada berat badan normal
3) Menekan dan menunda timbulnya penyakit angiopati diabetic
4) Memberikan modifikasi diit sesuai dengan keadaan penderita Prinsip diet
DM
b. Olahraga
Beberapa kegunaan olahraga teratur setiap hari bagi penderita DM adalah:
1) Meningkatkan kepekaan insulin, apabila dikerjakan setiap 11/2 jam
sesudah makan, berarti pula mengurangi insulin resisten pada penderita
dengan kegemukan atau menambah jumlah reseptor insulin dan
meningkatkan sensivitas insulin dengan reseptornya
2) Mencegah kegemukan bila ditambah olahraga pagi dan sore
3) Memperbaiki aliran perifer dan menanbah suplai oksigen
4) Meningkatkan kadar kolestrol – high density lipoprotein
5) Kadar glukosa otot dan hati menjadi berkurang, maka olahraga akan
dirangsang pembentukan glikogen baru
6) Menurunkan kolesterol(total) dan trigliserida dalam darah karena
pembakaran asam lemak menjadi lebih baik
c. Edukasi/penyuluhan
Harus rajin mencari banyak informasi mengenai diabetes dan
pencegahannya. Misalnya mendengarkan pesan dokter, bertanya pada
dokter, mencari artikel mengenai diabetes
d. Pemberian obat-obatan

Pemberian obat obatan dilakukan apabila pengcegahan dengan cara


(edukasi,pengaturan makan,aktivitas fisik) belum berhasil, bearti harus
diberikan obat obatan
e. Pemantauan gula darah
Pemantauan gula darah harus dilakukan secara rutin ,bertujuan untuk
mengevaluasi pemberian obat pada diabetes. Jika dengan melakukan lima
pilar diatas mencapai target,tidak akan terjadi komplikasi.
f. Melakukan perawatan luka
B. Penatalaksanaan Medis
a. Terapi dengan Insulin
Terapi farmakologi untuk pasien diabetes melitus geriatri tidak berbeda
dengan pasien dewasa sesuai dengan algoritma, dimulai dari monoterapi
untuk terapi kombinasi yang digunakan dalam mempertahankan kontrol
glikemik. Apabila terapi kombinasi oral gagal dalam mengontrol glikemik
maka pengobatan diganti menjadi insulin setiap harinya. Meskipun aturan

pengobatan insulin pada pasien lanjut usia tidak berbeda dengan pasien
dewasa, prevalensi lebih tinggi dari faktor-faktor yang meningkatkan
risiko hipoglikemia yang dapat menjadi masalah bagi penderita diabetes
pasien lanjut usia. Alat yang digunakan untuk menentukan dosis insulin
yang tepat yaitu dengan menggunakan jarum suntik insulin premixed atau
predrawn yang dapat digunakan dalam terapi insulin. 16 Lama kerja
insulin beragam antar individu sehingga diperlukan penyesuaian dosis
pada tiap pasien. Oleh karena itu, jenis insulin dan frekuensi
penyuntikannya ditentukan secara individual. Umumnya pasien diabetes
melitus memerlukan insulin kerja sedang pada awalnya, kemudian
ditambahkan insulin kerja singkat untuk mengatasi hiperglikemia setelah
makan. Namun, karena tidak mudah bagi pasien untuk mencampurnya
sendiri, maka tersedia campuran tetap dari kedua jenis insulin regular (R)
dan insulin kerja sedang ,Idealnya insulin digunakan sesuai dengan
keadaan fisiologis tubuh, terapi insulin diberikan sekali untuk kebutuhan
basal dan tiga kali dengan insulin prandial untuk kebutuhan setelah makan.
Namun demikian, terapi insulin yang diberikan dapat divariasikan sesuai
dengan kenyamanan penderita selama terapi insulin mendekati kebutuhan
fisiologis.
b. Obat Antidiabetik Oral
1. Sulfonilurea

Pada pasien lanjut usia lebih dianjurkan menggunakan OAD generasi


kedua yaitu glipizid dan gliburid sebab resorbsi lebih cepat, karena
adanya non ionic-binding dengan albumin sehingga resiko interaksi
obat berkurang demikian juga resiko hiponatremi dan hipoglikemia
lebih rendah. Dosis dimulai dengan dosis rendah. Glipizid lebih
dianjurkan karena metabolitnya tidak aktif sedangkan 18 metabolit
gliburid bersifat aktif.Glipizide dan gliklazid memiliki sistem kerja
metabolit yang lebih pendek atau metabolit tidak aktif yang lebih
sesuai digunakan pada pasien diabetes geriatri. Generasi terbaru
sulfoniluera ini selain merangsang pelepasan insulin dari fungsi sel
beta pankreas juga memiliki tambahan efek ekstrapankreatik.

2. Golongan Biguanid Metformi


pada pasien lanjut usia tidak menyebabkan hipoglekimia jika
digunakan tanpa obat lain, namun harus digunakan secara hati-hati
pada pasien lanjut usia karena dapat menyebabkan anorexia dan
kehilangan berat badan. Pasien lanjut usia harus memeriksakan
kreatinin terlebih dahulu. Serum kretinin yang rendah disebakan
karena massa otot yang rendah pada orangtua.
3. Penghambat Alfa Glukosidase/Acarbose
Obat ini merupakan obat oral yang menghambat alfaglukosidase, suatu
enzim pada lapisan sel usus, yang mempengaruhi digesti sukrosa dan
karbohidrat kompleks. Sehingga mengurangi absorb karbohidrat dan
menghasilkan penurunan peningkatan glukosa postprandial.Walaupun
kurang efektif dibandingkan golongan obat yang lain, obat tersebut
dapat dipertimbangkan pada pasien lanjut usia yang mengalami
diabetes 19 ringan. Efek samping gastrointestinal dapat membatasi
terapi tetapi juga bermanfaat bagi mereka yang menderita sembelit.
Fungsi hati akan terganggu pada dosis tinggi, tetapi hal tersebut tidak
menjadi masalah klinis.
4. Thiazolidinediones Thiazolidinediones
memiliki tingkat kepekaan insulin yang baik dan dapat meningkatkan
efek insulin dengan mengaktifkan PPAR alpha reseptor. Rosiglitazone
telah terbukti aman dan efektif untuk pasien lanjut usia dan tidak
menyebabkan hipoglekimia. Namun, harus dihindari pada pasien
dengan gagal jantung. Thiazolidinediones adalah obat yang relatif .
2.1.8 Komplikasi

Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol pada penderita DM tipe II akan
menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi DM tipe II terbagi menjadi
dua berdasarkan lama terjadinya yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik
(Smeltzel dan Bare, 2015; PERKENI , 2015)
a. Komplikasi Akut
o Ketoasidosis Diabetik (KAD)
KAD merupakan komplikasi akut DM yang di tandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl), disertai dengan adanya
tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma
meningkat (300-320 mOs/Ml) dan terjadi peningkatan anion gap
(PERKENI,2015).
o Hipoglikemi
Hipoglikemi ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah hingga
mencapai <60 mg/dL. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik
(berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-
glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma) (PERKENI,
2015).

o Hiperosmolar Non Ketonik (HNK)


Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-
1200 mg/dl), tanpa tanda dan gejala asidosis,osmolaritas plasma sangat
meningkat (330-380 mOs/ml),plasma keton (+/-), anion gap normal atau
sedikit meningkat (PERKENI, 2015).
b. Komplikasi Kronis (Menahun)
Menurut Smeltzer 2015,kategori umum komplikasi jangka panjang terdiri
dari:
o Makroangiopati: pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi,
pembuluh darah otak
o Mikroangiopati: pembuluh darah kapiler retina mata (retinopati diabetik)
dan Pembuluh darah kapiler ginjal (nefropati diabetik)
o Neuropatid : suatu kondisi yang mempengaruhi sistem saraf, di mana
serat-serat saraf menjadi rusak sebagai akibat dari cedera atau penyakit
o Komplikasi dengan mekanisme gabungan: rentan infeksi, contohnya
tuberkolusis paru, infeksi saluran kemih,infeksi kulit dan infeksi kaki.
dan disfungsi ereksi.
1. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang pasien agar dapat mengidentifikasi,
mengenali masalah-masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan pasien baik fisik,
mental, sosial, dan lingkungan.
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah pengumpulan informasi tentang pasien yang
dilakukan secara sistematis untuk menentukan masalah-masalah serta kebutuhan-
kebutuhan keperawatan dan kesehatan pasien. Sumber data diperoleh dari pasien,
keluarga, catatan medik, dan perawat. Adapun cara pengumpulan data yang
digunakan adalah melalui wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik.
Pengumpulan data pada klien dengan gangguan sistem endokrin akibat
Diabetes Mellitus meliputi:
1. Data Biografi
- Identitas Klien
Meliputi nama, umur biasanya penderita Diabetes Mellitus Tipe II berusia diatas
40 tahun, jenis kelamin, agama, pendidikan perlu dikaji untuk mengetahui
tingkat pengetahuan klien yang akan berpengaruh terhadap tingkat pemahaman
klien akan suatu informasi, pekerjaan perlu dikaji untuk mengetahui apakah
pekerjaannya merupakan faktor predisposisi atau bahkan faktor presipitasi
terjadinya penyakit DM, suku/bangsa, status marital, tanggal masuk RS, tanggal
pengkajian, diagnosa medis dan alamat.
- Identitas Penanggung jawab
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan
hubungan dengan klien.
2. Riwayat Kesehatan
- Riwayat Kesehatan Sekarang
Keluhan Utama Masuk Rumah Sakit
Pada umumnya klien dengan Diabetes Mellitus akan mengeluh adanya gejala-
gejala spesifik seperti poliuria, polidipsi dan poliphagia, mengeluh kelemahan
dan penurunan berat badan.
Pada klien DM tipe II biasanya juga mengeluh pruritus vulvular, kelelahan,
gangguan penglihatan, peka rangsang, dan kram otot yang menunjukkan
gangguan elektrolit dan terjadinya komplikasi aterosklerosis. Dapat juga adanya
keluhan luka yang tidak sembuh-sembuh atau bahkan membusuk menjadi latar
belakang penderita datang ke rumah sakit.
Keluhan utama dikembangkan dengan metode PQRST dari mulai keluhan
dirasakan sampai klien datang ke rumah sakit.
Keluhan Utama Saat Pengkajian
Berisi tentang keluhan klien pada saat dilakukan pengkajian yang
dikembangkan dengan metode PQRST.
- Riwayat Kesehatan Dahulu
Perlu dikaji apakah klien memiliki riwayat obesitas, hipertensi, riwayat
penyakit pankreatitis kronis, dan riwayat glukosuria selama stress (kehamilan,
pembedahan, trauma, infeksi, penyakit), atau terapi obat (glukokortikosteroid,
diuretik tiazid, kontrasepsi oral). Perlu juga dikaji apakah klien pernah dirawat di
rumah sakit karena keluhan yang sama.
- Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat Penyakit Menular
Pada umumnya penderita DM mudah terkena penyakit peradangan atau
infeksi seperti TBC Paru, sehingga perlu dikaji apakah pada keluarga ada yang
mempunyai penyakit menular seperti TBC Paru, Hepatitis, dll.
Riwayat Penyakit Keturunan
Kaji apakah dalam keluarga ada yang mempunyai penyakit yang sama dengan
klien yaitu DM karena DM merupakan salah satu penyakit yang diturunkan, juga
perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit 
keturunan seperti asma, hipertensi, atau penyakit endokrin lainnya.
3. Pola Aktivitas Sehari-hari
Perlu dikaji pola aktivitas klien selama di rumah, dan pola aktivitas klien kini di
rumah sakit, meliputi pola nutrisi (makan dan minum), eliminasi (BAB/BAK),
istirahat tidur, personal hygiene, dan aktivitas gerak. Dikaji kebiasaan/pola
makan klien apakah teratur atau tidak dan berapa banyak porsi sekali makan,
apakah klien sering makan makanan tambahan/cemilan terutama yang manis-
manis, apakah ada keluhan selalu merasa lapar walaupun sudah banyak makan
atau ada keluhan penurunan/hilang nafsu makan karena mual/muntah, apakah
klien melanggar program diet yang telah ditetapkan dengan cara memakan
makanan yang dipantang, apakah ada penurunan berat badan dalam periode
beberapa hari/minggu, kaji apakah ada keluhan banyak minum dan selalu merasa
haus. Perlu juga dikaji apakah klien mengeluh sering BAK terutama malam hari,
serta kaji pula kebiasaan klien berolah raga atau beraktivitas sehari-hari.
4. Pemeriksaan Fisik
- Sistem Pernafasan
Biasanya frekuensi nafas normal bila tidak terdapat komplikasi, akan sedikit
meningkat pada klien diabetes yang sudah lansia karena menurunnya otot-otot
pernafasan sehingga kemampuan pengembangan paru juga menurun.
Akan didapatkan pernafasan kussmaul jika penderita mengalami
ketoasidosis dan didapat pula nafas yang berbau aseton, dan bau halitosis atau
bau manis. Bisa juga didapatkan keluhan batuk dengan atau tanpa sputum
purulen (tergantung adanya infeksi atau tidak), dapat pula terjadi paraestesia
atau paralysis pada otot-otot pernafasan (jika kadar Kalium menurun cukup
tajam).
- Sistem Kardiovaskuler
Kaji adanya hipotensi ortostatik, akral dingin, nadi perifer melemah
terutama pada tibia posterior, dan dorsalis pedis, terjadinya aterosklerosis yang
dapat terbentuk baik pada pembuluh darah besar (makrovaskuler) atau pembuluh
darah kecil (mikrovaskuler). Kaji pula adanya hipertensi, edema jaringan umum,
disritmia jantung, nadi lemah halus, pucat, dan takikardia serta palpitasi
menunjukkan terjadinya hipoglikemik. Apabila telah terjadi neuropati pada
kelainan jantung maka akan diperoleh kelainan gambaran EKG lambat.
- Sistem Pencernaan
Kaji adanya polidipsi, poliphagi, mual, muntah, konstipasi, diare, perasaan
penuh pada perut, obesitas ataupun penurunan berat badan yang berlebihan pada
periode beberapa hari/minggu dan adanya distensi abdomen.
- Sistem Persarafan
Biasanya didapatkan data penurunan sensasi sensori, rasa pusing, sakit
kepala, kesemutan, kelemahan pada otot, bahkan sampai paraestesia, gangguan
penglihatan, didapat juga gangguan orientasi dengan data klien tampak
mengantuk, gelisah, letargi, stupor, bahkan sampai koma bila klien telah
mengalami komplikasi ketoasidosis, hipoglikemia dan adanya aktivitas kejang.
- Sistem Endokrin
Biasanya pada klien diabetes didapatkan gejala trias P yaitu Poliuria,
Polidipsi dan Poliphagia. Kondisi klien akan lebih berat jika penderita
mempunyai penyakit penyerta lain terutama gangguan pada hormon lain. Oleh
karena itu perlu dikaji penyakit yang dapat ditimbulkan oleh kerja hormon-
hormon tersebut seperti adanya pembesaran kelenjar tiroid paratiroid, moonface,
adanya tremor, dll. Jika tidak ada gangguan pada hormon lain maka pengkajian
difokuskan pada hal-hal yang berhubungan dengan DM seperti trias P,
penggunaan insulin, dan faktor hipoglikemik.
- Sistem Genitourinaria
Biasanya terjadi perubahan pola dan frekuensi berkemih (poliuria) dan
terkadang nokturia, rasa nyeri dan terbakar saat BAK, kesulitan berkemih karena
infeksi, bahkan bisa terjadi infeksi saluran kemih. Urine akan tampak lebih
encer, pucat, kuning, dan poliuria dapat berkembang menjadi oliguria/anuria jika
terjadi hipovolemia berat. Urine bisa tercium bau busuk jika infeksi. Klien sering
merasa haus sehingga intake cairan bertambah. Perlu dikaji juga adanya masalah
impotensi pada laki-laki dan masalah orgasme pada wanita serta infeksi pada
vagina.
- Sistem Muskuloskeletal
Biasanya didapatkan rasa lemah, letih, dan penurunan kekuatan otot,
sehingga klien sulit bergerak/berjalan (beraktivitas), juga adanya keluhan kram
pada otot.
- Sistem Integumen
Biasanya ditemukan turgor kulit menurun, apabila terdapat luka klien sering
mengeluh luka sulit sembuh dan malah membusuk. Akral teraba dingin, dan
integritas kulit menurun (rusak). Kulit bisa kering, gatal, bahkan terjadi ulkus.
Demam dan diaporesis dapat terjadi jika klien mengalami infeksi.
5. Data Psikologis
Meliputi konsep diri, status emosi, pola koping dan gaya komunikasi.
Kemungkinan klien menunjukkan kecemasan bahkan terdapat perasaan depresi
terhadap penyakitnya. Hal ini diakibatkan karena proses penyakit yang lama,
kurangnya pengetahuan tentang prosedur tindakan yang dilakukan. Perlu dikaji
pandangan hidup klien terhadap segala tindakan keperawatan yang dijalani. Kaji
ungkapan klien tentang ketidakmampuan koping/penggunaan koping yang
maladaptif dalam menghadapi penyakitnya, perasaan negatif tentang tubuhnya,
klien merasa kehilangan fungsi tubuhnya, kehilangan kebebasan, dan kehilangan
kesempatan untuk menjalani kehidupannya.
6. Data  Sosial
Perlu dikaji tentang persepsi klien terhadap dirinya sehubungan dengan
kondisi sekitarnya, hubungan klien dengan perawat, dokter, tim kesehatan lain
serta klien lain dan bagaimana penerimaan orang-orang sekitar klien terutama
keluarga akan kondisinya saat ini serta dukungan yang diberikan orang-orang
terdekat klien baik dari segi moril ataupun materil.
Biasanya hubungan klien dengan lingkungan sosial tidak terganggu, klien tetap
ikut serta dalam aktifitas sosial atau menarik diri dari interaksi sosial terutama
jika sudah terjadi komplikasi fisik seperti ulkus, gangren, dan gangguan
penglihatan.
7. Data Spiritual
Perlu dikaji tentang keyakinan dan persepsi klien terhadap penyakit dan
kesembuhannya dihubungkan dengan agama yang klien anut. Bagaimana
aktifitas spiritual klien selama klien menjalani perawatan di rumah sakit dan
siapa yang menjadi pendorong atau pemberi motivasi untuk kesembuhannya.
1. Data Penunjang
Dari pemeriksaan diagnostik ditemukan:
- Tes Toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari 200 mg/dL).
- Gula darah puasa normal (70-115 mg/dL) atau diatas normal (> 115 mg/dL)
- Gula darah dua jam post prandial (PP) lebih dari 140 mg/dL.
- Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal (normal: 5-6%)
- Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton, berat jenis dan osmolalitas urin
mungkin meningkat.
- Kolesterol dan trigliserida serum dapat meningkat.
- Elektrolit: mungkin normal, meningkat atau bahkan menurun.
- Natrium : mungkin normal, meningkat atau menurun
- Kalium : mungkin normal atau terjadi peningkatan semu  akibat perpindahan
seluler, selanjutnya akan menurun
- Fosfor : lebih sering menurun
- Insulin darah: mungkin menurun/bahkan sampai tidak ada (pada tipe I) atau
normal sampai tinggi (pada tipe II) yang mengindikasikan insufisiensi
insulin/gangguan dalam penggunaannya.
- Hb Glikolisat : kadarnya meningkat 2-4 kali lipat dari normal, yang
mencerminkan kontrol DM yang kurang selama 4 bulan terakhir.
- Trombosit darah/Ht : mungkin meningkat/dehidrasi atau normal, leukositosis
hemokonsentrasi merupakan respon terhadap stress atau infeksi.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakstabilan kadar glukosa darah b/d resistensi insulin d/d kadar glukosa dalam
darah tinggi
2. Perfusi perifer tidak efektif b/d hiperglikemia d/d turgor kulit menurun
3. Gangguan integritas kulit b/d penurunan mobilitas d/d kerusakan lapisan kulit
4. Defisit nutrisi b/d peningkatan kebutuhan metabolisme
C. INTERVENSI KEPERAWATAN

No SDKI SLKI SIKI


1. Ketidakstabilan kadar Setelah dilakuakn tindakan O:
glukosa darah b/d keperawatan 3 x 24 jam kadar - idenifikasi
resistensi insulin d/d glukosa darah pada rentan kemungkinan
kadar glukosa dalam normal meningkat dengan penyebab
darah tinggi kriteria hasil: hiperglikemia
- kesadaran meningkat - identifikasi situasi yan
- pusing, lelah, lesu, menyebabkan
mengantuk, gemetaran kebutuhan insulin
menurun meningkat
- berkeringatan, mulut - monitor kadar gula
kering, rasa haus menurun darah
- perilaku aneh menurun - monitor intake dan
- kesulitan bicara menurun output
- kadar glukosa dalam darah T:
membaik - berikan asupan cairan
oral
- konsultasi dengan
medis jika tanda dan
gejala hiperglikemia
tetap ada atau
memburuk
- fasilitasi mabulasi jika
ada hipotensi
ortostatik
E:
- anjurkan menghindari
olahraga saat kadar
glukosa darah lebih
dari 250 mg/dl
- anjurkan memonitor
kadar glukosa darah
secara mandiri
- anjurkan kepatuhan
terhadap diet dan
olahraga
K:
- kolaborasi pemberian
insulin jika perlu
- kolaborasi pemberian
IV, jika perlu
- Kolaborasikan
pemberian kalium,
jika perlu

2. Perfusi perifer tidak Setelah dilakukan intervensi O:


efektif b/d selam 2 x 24 jam keadekuatan - Periksa sirkulasi
hiperglikemia d/d aliran darah pembuluh darah perifer
turgor kulit menurun distal untuk menunjang fungsi - Identifikasi faktor
jaringan meningkat dengan resiko gangguan
kriteria hasil: sirkulasi
- Denyut nadi perifer - Monitor panas,
meningkat kemerahan, nyeri
- Penyembuhan luka atau bengkak pada
meningkat ekstremitas
- Kelemahan otot T:
menurun - Jindari pemasangan
Pengisian kapiler membaik infuse atau
pengambilan darah
di area keterbatasan
perfusi
- Hindari oengukuran
TD pada ekstremitas
dengan keterbatasan
perfusi
- Hindari penekanan
dan pemsangan
tourniquet pada area
yang cidera
- Lakukan
pencegahan infeksi
- Lakukan perawatan
kaki dan kuku
E:
- Anjurkan berhenti
merokok
- Anjurkan olajraga
rutin
- Anjurkan mengecek
air mandi untuk
menghindari kulit
terbakar
K:
- Anjurkan
menggunakan obat
penurun tekanan
darah, antikoagulan,
dan penururnan
kolesteril jika perlu
3. Gangguan intregitas Setelah dilakukan intervensi O:
kulit selam 2 x 24 jam maka - Identifikasi
integritas kulit dan jaringan penyebab gangguan
pasien membaik dengan integritas kulit
kriteria hasil: T:
- Elastisitsas meningkat - Ubah posisi setiap 2
- Perfusi jaringan jam
meningkat - Lakukan pemijatan
- Kerusakan lapisan kulit pada area penonjolan
menurun tulang jika perlu
- Kerusakan jaringan - Bersihkan perineal
menurun dengan air hangat
- Suhu kulit membaik - Gunakan produk
berbahan patrolium
atau minyak pada
kulit kering
E:
- Anjurkan minum air
yang cukup
- Anjurkan asupan
nutrisi
- Anjurkan
meningkatkan
asupan buah dan
sayur
DAFTAR PUSTAKA

PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Definisi dan Indikator

Diagnosis. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Definisi dan Kriteria Hasil

Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Definisi dan Tindakan

Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Nurarif, Amin Huda. Kusuma, Hardhi. 2015. Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan

Profesional. Jilid 1. Jogjakarta:Mediaction

Janita, Ria Riduan, Mustofa Syazilia. 2017. Penatalaksanaan KAD dan DM tipe 1 pada Anak

Usia 15 Tahun. Vol. 7. Lampung: Universitas lampung Fakultas Kedokteran.

Anda mungkin juga menyukai