1
5. Penambahan jumlah pegawai berdampak pada meningkatnya APBD karena adanya
penambahan DAU sebagai kompensasi bertambahnya beban belanja pegawai, prosentase
peningkatan jumlah pegawai dan APBD serta beban belanja pegawai per tahun dan per daerah
tidak sama. Terdapat variasi dalam waktu pelaksanaan pelimpahan pegawai dan pelimpahan
anggaran, ada yang dilakukan pada tahun yang sama ada juga yang beberapa tahun kemudian.
6. Kegiatan perencanaan kebutuhan pegawai yang dilakukan di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota
pada dasarnya sudah sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam peraturan yang berlaku
(Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pengadaan PNS), akan tetapi dalam
praktiknya masih perlu didukung dengan berbagai instrumen pendukung agar formasi yang
disusun benar-benar mencerminkan kebutuhan nyata organisasi. Misalnya instrumen
pengukuran beban kerja, analisis jabatan dan sebagainya.
7. Kegiatan perencanaan kebutuhan pegawai terdapat ketidakjelasan informasi mengenai quota
atau batas pengajuan yang boleh diajukan oleh Pemerintah Daerah sehingga setiap pengajuan
formasi selalu dikurangi jumlahnya oleh Pemerintah Pusat (Kementerian PAN, BKN) tanpa
alasan yang jelas. Dalam hal ini juga timbul ketidakjelasan mekanisme dan koordinasi yang
terbangun diantara Kementerian PAN, BKN, Provinsi dan Kabupaten/Kota, mencakup peran
dan kewenangan masing-masing instansi tersebut dalam kegiatan perencanaan kebutuhan
pegawai.
8. Adanya pelimpahan pegawai dari instansi vertikal sebagai dampak pelaksanaan kebijakan
otonomi daerah menyebabkan Pemerintah Daerah mengalami kesulitan dalam penataan
pegawainya, khususnya dalam kegiatan perencanaan kebutuhan pegawai. Distribusi pegawai
dan penempatan pegawai sesuai kebutuhan menjadi permasalahan utama dalam penataan
pegawai karena kompetensi pegawai limpahan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan.
9. Kegiatan pengembangan pegawai belum menjadi prioritas utama di daerah karena adanya
keterbatasan anggaran. Mekanisme yang dibangun di beberapa daerah kajian sudah cukup
bagus, artinya kegiatan pengembangan pegawai sudah diupayakan sesuai dengan kebutuhan
organisasi sehingga bisa menutupi gap kompetensi. Karena adanya keterbatasan dana dalam
pelaksanaan kegiatan pengembangan pegawai, Pemerintah Daerah sudah menjalin kerjasama
dengan berbagai institusi baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
10. Kegiatan perencanaan kebutuhan dan pengembangan pegawai daerah belum efisien karena
belum didasarkan pada kebutuhan nyata organisasi dan adanya keterbatasan dalam masalah
anggaran. Meskipun sudah ada kebijakan yang mengatur (khususnya dalam perencanaan
kebutuhan pegawai) tetapi belum diikuti dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis
yang lebih bersifat operasional.
Dari kesimpulan yang diberikan diatas, selanjutnya dapat diberikan beberapa saran sebagai
berikut : (1) Perlu disusun mekanisme dan prosedur yang jelas dalam pelaksanaan kegiatan
perencanaan kebutuhan pegawai yang melibatkan Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota
mencakup peran, fungsi dan wewenang masing-masing instansi. Peraturan yang ada saat ini masih
bersifat parsial sehingga perlu diperbaiki agar lebih komprehensif; (2) Perlu disusun instrumen
pendukung untuk melakukan perencanaan kebutuhan pegawai, yaitu instrumen pengukuran
beban kerja, instrumen analisis jabatan dan sebagainya. Tujuannya agar formasi yang disusun
mencerminkan kebutuhan nyata organisasi baik dari aspek kuantitas maupun kualitas; (3)
Penetapan quota kebutuhan pegawai secara nasional maupun lokal harus dilakukan secara
transparan yang dikaitkan dengan kemampuan anggaran nasional (APBN) dan dilakukan sebelum
daerah melakukan perencanaan kebutuhan pegawainya; (4) Pengembangan pegawai harus
didasarkan pada kebutuhan nyata dengan didahului adanya training need analysis (TNA),
kegiatan ini untuk menemukan gap antara kompetensi yang diharapkan dengan kompetensi yang
dimiliki pegawai; dan (5) Kegiatan perencanaan kebutuhan dan pengembangan pegawai harus
2
selalu memperhatikan kondisi existing pegawai yang ada menurut sebarannya. Untuk keperluan
ini keberadaan dan dukungan database kepegawaian merupakan suatu kemutlakan yang harus
disiapkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
3
Kajian
Jumlah Pegawai Daerah dan Beban Pembiayaannya
dalam APBD
Suradji
Kajian Jumlah Pegawai Daerah dan Beban Pembiayaannya
dalam APBD/oleh Suradji, Agustinus Sulistyo. et al
Cetakan 1 - Jakarta : Pusat KKSDA-LAN, 2007
xxii, 238 hal. 25 cm
ISBN 978-979-99218-2-6
1. Pegawai Negeri – gaji, tunjangan, dsb.
I. Suradji
II. Agustinus Sulistyo
351.12
Diterbitkan oleh :
Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur
Lembaga Administrasi Negara
Jl. Veteran Nomor 10, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3868201-05 ext. 151, 152
Fax. (021) 3866857, 3865102
1
Kajian Jumlah Pegawai Daerah dan Beban Pembiayaannya dalam APBD
Penyusun :
2
Kata Sambutan
Pegawai Negeri Sipil di Indonesia menunjukkan jumlah yang terus meningkat dari tahun ke
tahun demikian pula beban pembiayaannya. Dalam konteks daerah, pada tahun 1999/2000, jumlah
pegawai daerah mengalami lonjakan yang cukup besar. Kondisi ini disebabkan adanya pelimpahan
pegawai dari instansi vertikal menjadi pegawai daerah sebagai dampak kebijakan otonomi daerah,
khususnya implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi
Perangkat Daerah dan penggantinya Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003.
Kajian “Jumlah Pegawai Daerah dan Beban Pembiayaannya dalam APBD” ini mencoba
menemukan berbagai fenomena dan permasalahan yang muncul sebagai dampak pelaksanaan
kebijakan otonomi ini. Kajian ini difokuskan pada kegiatan perencanaan kebutuhan pegawai daerah
dan pengembangan pegawai daerah dengan mencermati data jumlah pegawai daerah dan beban
pembiayaannya dalam APBD.
Kajian ini menemukan bahwa kenaikan jumlah pegawai daerah tidak selalu diikuti dengan
kenaikan beban pembiayaannya dalam APBD. Kondisi ini terjadi karena adanya efisiensi
pemanfaatan anggaran atau adanya perubahan status kepegawaian, misalnya perubahan pangkat dan
golongan/ruang, perubahan jabatan, pensiun dan lainnya yang berdampak pada perubahan skala
gaji/tunjangan pegawai. Selain itu, dalam perencanaan kebutuhan dan pengembangan pegawai daerah
kurang memperhatikan aspek anggaran. Ini disebabkan karena anggaran gaji dan tunjangan pegawai
dibebankan pada APBN, yaitu dalam pos DAU, yang menjadi beban APBD adalah biaya
pengembangan pegawai. Apabila perencanaan kebutuhan pegawai tidak direncanakan dengan baik
konsekuensinya adalah bertambahnya biaya pengembangan pegawai.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Kedeputian Bidang Kajian Kinerja Kelembagaan dan
Sumber Daya Aparatur yang telah menghasilkan kajian ini. Diharapkan kajian ini dapat memberikan
masukan khususnya kepada Pemerintah Daerah dalam melakukan perencanaan kebutuhan dan
pengembangan pegawai dengan lebih efisien dengan memperhatikan kondisi nyata pegawai dan
kemampuan anggaran yang ada.
Sunarno
3
Kata Pengantar
Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur negara mempunyai peranan yang penting bagi
keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, khususnya dalam pelayanan
masyarakat. Dalam upaya mewujudkan dan memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat
maka diperlukan jumlah pegawai yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anggaran untuk
pembiayaannya. Apabila kita berbicara mengenai hubungan atau keterkaitan antara jumlah pegawai
dan beban pembiayaannya, yang ada dalam pikiran kita tentunya suatu hubungan yang bersifat
positif, yaitu setiap kenaikan jumlah pegawai pasti diikuti oleh naiknya beban pembiayaannya. Data
dan informasi yang diperoleh di lapangan - terkait dengan Kajian Jumlah Pegawai Daerah dan Beban
Pembiayaannya dalam APBD - ternyata menemukan hubungan berbeda. Ternyata tidak selalu
kenaikan jumlah pegawai diikuti dengan kenaikan beban pembiayaannya, adakalanya justeru terjadi
penurunan beban belanja pegawai.
Gaji dan tunjangan pegawai memang tidak secara langsung menjadi beban APBD, karena gaji
dan tunjangan pegawai merupakan beban APBN yang dialokasi ke daerah melalui pos DAU. Jadi
pengelolaan gaji dan tunjangan pegawai diserahkan ke daerah tetapi alokasi anggarannya tetap
menjadi beban APBN. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa justeru yang menjadi beban APBD
adalah biaya pengembangan pegawai. Kajian ini menemukan fakta bahwa dalam pengelolaan
kepegawaian daerah apabila perencanaan kebutuhan pegawai tidak dilakukan sesuai dengan
kebutuhan nyata organisasi dan kemampuan anggaran, maka akan memberikan dampak
meningkatnya beban keuangan negara. APBN diharuskan membayar beban biaya pegawai yang
sebenarnya tidak dibutuhkan, sementara APBD dibebani biaya pengembangannya karena
kemampuan yang dimiliki tidak sesuai dengan yang dibutuhkan.
Berdasarkan temuan dan analisis terhadap data lapangan, kajian ini menyarankan perlunya
disusun suatu instrumen pengukuran beban kerja dan analisis jabatan yang dapat membantu daerah
dalam melakukan kegiatan perencanaan dan pengembangan pegawai sehingga selain memperhatikan
pada jumlah pegawai yang ada dan kemampuan anggaran juga mempertimbangkan beban kerja riil
organisasi. Selain itu perlu ada mekanisme yang jelas dalam kegiatan perencanaan dan pengembangan
pegawai daerah. Dalam hal ini peran, fungsi dan kewenangan dari instansi Pusat seperti Kementerian
PAN dan BKN serta instansi daerah seperti Provinsi dan Kabupaten/Kota perlu ditata ulang agar
semakin jelas. Dalam melakukan kegiatan ini diperlukan adanya dukungan database kepegawaian
yang up to date dengan sistem komputer.
Dalam kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
menyediakan waktu untuk diwawancarai dan memberikan berbagai data dan informasi yang
diperlukan oleh Tim Peneliti.
4
Tidak dapat dipungkiri kajian ini masih banyak kekurangan dan kelemahan sehingga kami
sangat mengharapkan adanya kritikan dan saran yang dapat menyempurnakan hasil kajian. Akhirnya
atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
Sudiman
5
Ringkasan Eksekutif
Penelitian dengan judul Kajian Jumlah Pegawai Daerah dan Beban Pembiayaannya dalam
APBD ini dilatarbelakangi kondisi kepegawaian (PNS) yang konon kelebihan pegawai tetapi dalam
kenyataannya setiap tahun selalu dilakukan rekrutmen pegawai. Kebijakan zero growth yang
kemudian dilanjutkan dengan minus growth yang bertujuan menemukan jumlah pegawai yang tepat
sesuai kebutuhan juga belum kelihatan hasilnya. Apabila dikaitkan dengan kemampuan anggaran
negara (APBN) yang terbatas, sementara manajemen kepegawaian (PNS) yang ada saat ini belum
mampu menyelesaikan masalah yang ada, maka perlu suatu penataan dan penyempurnaan dalam
manajemen kepegawaian (PNS) tersebut. Terkait dengan hal tersebut, Lembaga Administrasi Negara
khususnya Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur melakukan penelitian ini dengan tujuan
untuk menemukan keterkaitan antara jumlah pegawai daerah dan beban pembiayaannya dalam
APBD khususnya dalam pelaksanaan kegiatan perencanaan kebutuhan dan pengembangan pegawai
daerah yang efisien.
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang difokuskan pada hubungan
atau keterkaitan antara jumlah pegawai daerah dan beban pembiayaannya dalam APBD yang
menekankan pada pelaksanaan kegiatan perencanaan kebutuhan dan pengembangan pegawai daerah.
Lokus kajian dipilih di sembilan Provinsi dengan sembilan Kabupaten dan sembilan Kota yang ada di
masing-masing Provinsi. Setelah dilakukan penelitian dihasilkan beberapa temuan lapangan sebagai
berikut :
1. Kegiatan perencanaan kebutuhan dan pengembangan pegawai daerah kurang memperhatikan
aspek anggaran. Ini disebabkan karena anggaran gaji dan tunjangan pegawai dibebankan pada
APBN, yaitu dalam pos DAU. Yang menjadi beban APBD adalah biaya pengembangan pegawai.
Apabila perencanaan kebutuhan pegawai tidak direncanakan dengan baik konsekuensinya adalah
bertambahnya biaya pengembangan pegawai.
2. Adanya hubungan dan keterkaitan yang sangat erat antara jumlah pegawai dan beban belanja
pegawai. Akan tetapi ternyata hubungan yang terjadi tidak selalu menunjukkan gambaran yang
positif (setiap kenaikan jumlah pegawai selalu diikuti kenaikan beban belanja pegawai dalam
APBD), tetapi juga menunjukkan hubungan negatif (kenaikan jumlah pegawai justeru diikuti
dengan turunnya beban belanja pegawai dalam APBD). Hal ini disebabkan adanya berbagai
efisiensi dalam anggaran maupun adanya perubahan status kepegawaian yang berdampak dalam
beban pembiayaan pegawai.
3. Adanya variasi dalam rasio APBD dan beban pembiayaan pegawai. Temuan di Provinsi Bali dan
Kota Surabaya menunjukkan rasio yang cukup besar, yaitu rata-rata diatas 80% yang artinya lebih
dari 80% bagian APBD dipergunakan untuk belanja pegawai. Sementara temuan di daerah lain
menunjukkan gambaran rata-rata rasionya sebesar 50%.
4. Terjadinya lonjakan penambahan jumlah pegawai dan jumlah beban belanja pegawai dalam
APBD yang terjadi pada tahun 2000-an. Penambahan ini merupakan dampak dari pelaksanaan
kebijakan otonomi daerah, yaitu dilakukannya pelimpahan pegawai instansi vertikal menjadi
6
pegawai daerah yang kemudian diikuti dengan pelimpahan anggaran dalam bentuk penambahan
APBD dalam pos DAU.
5. Penambahan jumlah pegawai berdampak pada meningkatnya APBD karena adanya penambahan
DAU sebagai kompensasi bertambahnya beban belanja pegawai, prosentase peningkatan jumlah
pegawai dan APBD serta beban belanja pegawai per tahun dan per daerah tidak sama. Terdapat
variasi dalam waktu pelaksanaan pelimpahan pegawai dan pelimpahan anggaran, ada yang
dilakukan pada tahun yang sama ada juga yang beberapa tahun kemudian.
6. Kegiatan perencanaan kebutuhan pegawai yang dilakukan di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota
pada dasarnya sudah sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam peraturan yang berlaku
(Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pengadaan PNS), akan tetapi dalam
praktiknya masih perlu didukung dengan berbagai instrumen pendukung agar formasi yang
disusun benar-benar mencerminkan kebutuhan nyata organisasi. Misalnya instrumen pengukuran
beban kerja, analisis jabatan dan sebagainya.
7. Kegiatan perencanaan kebutuhan pegawai terdapat ketidakjelasan informasi mengenai quota atau
batas pengajuan yang boleh diajukan oleh Pemerintah Daerah sehingga setiap pengajuan formasi
selalu dikurangi jumlahnya oleh Pemerintah Pusat (Kementerian PAN, BKN) tanpa alasan yang
jelas. Dalam hal ini juga timbul ketidakjelasan mekanisme dan koordinasi yang terbangun
diantara Kementerian PAN, BKN, Provinsi dan Kabupaten/Kota, mencakup peran dan
kewenangan masing-masing instansi tersebut dalam kegiatan perencanaan kebutuhan pegawai.
8. Adanya pelimpahan pegawai dari instansi vertikal sebagai dampak pelaksanaan kebijakan otonomi
daerah menyebabkan Pemerintah Daerah mengalami kesulitan dalam penataan pegawainya,
khususnya dalam kegiatan perencanaan kebutuhan pegawai. Distribusi pegawai dan penempatan
pegawai sesuai kebutuhan menjadi permasalahan utama dalam penataan pegawai karena
kompetensi pegawai limpahan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan.
9. Kegiatan pengembangan pegawai belum menjadi prioritas utama di daerah karena adanya
keterbatasan anggaran. Mekanisme yang dibangun di beberapa daerah kajian sudah cukup bagus,
artinya kegiatan pengembangan pegawai sudah diupayakan sesuai dengan kebutuhan organisasi
sehingga bisa menutupi gap kompetensi. Karena adanya keterbatasan dana dalam pelaksanaan
kegiatan pengembangan pegawai, Pemerintah Daerah sudah menjalin kerjasama dengan berbagai
institusi baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
10. Kegiatan perencanaan kebutuhan dan pengembangan pegawai daerah belum efisien karena belum
didasarkan pada kebutuhan nyata organisasi dan adanya keterbatasan dalam masalah anggaran.
Meskipun sudah ada kebijakan yang mengatur (khususnya dalam perencanaan kebutuhan
pegawai) tetapi belum diikuti dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang lebih
bersifat operasional.
Dari kesimpulan yang diberikan diatas, selanjutnya dapat diberikan beberapa saran sebagai
berikut : (1) Perlu disusun mekanisme dan prosedur yang jelas dalam pelaksanaan kegiatan
perencanaan kebutuhan pegawai yang melibatkan Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota
mencakup peran, fungsi dan wewenang masing-masing instansi. Peraturan yang ada saat ini masih
bersifat parsial sehingga perlu diperbaiki agar lebih komprehensif; (2) Perlu disusun instrumen
7
pendukung untuk melakukan perencanaan kebutuhan pegawai, yaitu instrumen pengukuran beban
kerja, instrumen analisis jabatan dan sebagainya. Tujuannya agar formasi yang disusun
mencerminkan kebutuhan nyata organisasi baik dari aspek kuantitas maupun kualitas; (3) Penetapan
quota kebutuhan pegawai secara nasional maupun lokal harus dilakukan secara transparan yang
dikaitkan dengan kemampuan anggaran nasional (APBN) dan dilakukan sebelum daerah melakukan
perencanaan kebutuhan pegawainya; (4) Pengembangan pegawai harus didasarkan pada kebutuhan
nyata dengan didahului adanya training need analysis (TNA), kegiatan ini untuk menemukan gap
antara kompetensi yang diharapkan dengan kompetensi yang dimiliki pegawai; dan (5) Kegiatan
perencanaan kebutuhan dan pengembangan pegawai harus selalu memperhatikan kondisi existing
pegawai yang ada menurut sebarannya. Untuk keperluan ini keberadaan dan dukungan database
kepegawaian merupakan suatu kemutlakan yang harus disiapkan oleh Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah.
8
Daftar Isi
Hal.
Halaman Judul
Kata Sambutan 3
Kata Pengantar 4
Ringkasan Eksekutif 6
Daftar Isi 9
Bab 1 Pendahuluan 20
A. Latar Belakang Masalah 20
B. Rumusan Masalah 24
C. Ruang Lingkup 24
D. Tujuan Kajian 25
E. Hasil yang Diharapkan 25
Bab 2 Kajian Pustaka 26
A. Manajemen Sumber Daya Manusia 26
B. Perencanaan Pegawai 28
C. Rekrutmen dan Seleksi Pegawai 31
D. Pengembangan Pegawai 34
Bab 3 Metodologi Penelitian 37
A. Fokus Penelitian 37
B. Desain Penelitian 37
C. Lokasi Penelitian 37
D. Sumber Data 38
E. Data yang Diperlukan 38
F. Metode Pengumpulan Data 38
G. Teknik Analisis Data 38
H. Pola Pikir 39
Bab 4 Deskripsi dan Analisis Data Lapangan 41
A. Deskripsi Data Lapangan 41
1. Provinsi Sulawesi Utara 41
Kota Manado 47
9
Kabupaten Minahasa Selatan 57
2. Provinsi Kalimantan Barat 62
Kota Pontianak 69
Kabupaten Pontianak 75
3. Provinsi Nusa Tenggara Barat 82
Kota Mataram 87
Kabupaten Lombok Tengah 93
4. Provinsi Sulawesi Tenggara 99
Kota Kendari 102
Kabupaten Konawe 105
5. Provinsi Jambi 108
Kota Jambi 108
Kabupaten Muaro Jambi 117
6. Provinsi Jawa Barat 124
Kota Bandung 126
Kabupaten Garut 132
7. Provinsi Sumatera Selatan 138
Kota Palembang 142
Kabupaten Ogan Komering Ilir 147
8. Provinsi Bali 151
Kota Denpasar 158
Kabupaten Bangli 163
9. Provinsi Jawa Timur 168
Kota Surabaya 174
Kabupaten Malang 181
B. Analisis Data Lapangan 189
1. Analisis terhadap Data Kepegawaian dan Data
Keuangan 189
2. Analisis terhadap Kegiatan Perencanaan dan
Pengembangan Pegawai 193
10
Bab 5 Kesimpulan dan Saran 200
A. Kesimpulan 200
B. Saran 202
Daftar Gambar, Tabel, Diagram, Grafik 12
Daftar Pustaka 204
Tim Peneliti 2
Instrumen Penelitian 205
11
Daftar Gambar, Tabel, Diagram, Grafik
Hal.
Gambar 2.1 Simplified Model of External and Internal Factors
that Influence Recruitment 30
Gambar 2.2 Steps in the Development and Evaluation of a
Selection Procedure 33
Gambar 2.3 Analisis Kinerja 35
Gambar 2.4 A System Model of Training 36
Gambar 3.1 Pola Pikir Kajian 39
Tabel 4.1 Daftar Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Utara 42
Tabel 4.2 Data Kepegawaian dan Keuangan Provinsi
Sulawesi Utara Tahun 2000-2006 42
Diagram 4.3 Data Jumlah Pegawai Provinsi Sulawesi Utara
Tahun 2001-2006 43
Grafik 4.4 Data APBD Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2000-
2005 44
Grafik 4.5 Data Belanja Pegawai Provinsi Sulawesi Utara
Tahun 2000-2005 44
Diagram 4.6 Rasio APBD dengan Beban Belanja Pegawai
Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2000-2005 45
Tabel 4.7 Data Pegawai menurut Golongan di Kota Manado
Tahun 2005 48
Tabel 4.8 Data Kepegawaian dan Keuangan di Kota Manado
Tahun 1999-2005 49
Diagram 4.9 Data Jumlah Pegawai di Kota Manado Tahun
1998-2005 50
Grafik 4.10 Data Beban Belanja Pegawai Kota Manado Tahun
1999-2005 52
Tabel 4.11 Data Keuangan di Kabupaten Minahasa Selatan
Tahun 2004-2006 58
Diagram 4.12 Data APBD di Kabupaten Minahasa Selatan
Tahun 2004-2006 58
12
Diagram 4.13 Data PAD di Kabupaten Minahasa Selatan Tahun 60
2004-2006
Tabel 4.14 Data Kepegawaian dan Keuangan Provinsi 63
Kalimantan Barat Tahun 1998-2005
Diagram 4.15 Data Jumlah Pegawai Provinsi Kalimantan Barat 64
Tahun 1998-2005
Grafik 4.16 Data Beban Belanja Pegawai di Provinsi 65
Kalimantan Barat Tahun 1998-2005
Tabel 4.17 Jumlah PNS Kota Pontianak Menurut Golongan 70
Tahun 2006
Tabel 4.18 Jumlah PNS Kota Pontianak Menurut Pendidikan 70
Tahun 2006
Tabel 4.19 Data Kepegawaian dan Keuangan di Kota 71
Pontianak Tahun 1998-2005
Grafik 4.20 Data APBD di Kota Pontianak Tahun 1998-2005 72
Grafik 4.21 Data Belanja Pegawai di Kota Pontianak Tahun 72
1998-2005
Diagram 4.22 Rasio APBD dengan Belanja Pegawai di Kota 73
Pontianak Tahun 1998-2005
Tabel 4.23 Data Kepegawaian dan Keuangan Kabupaten 76
Pontianak Tahun 1998-2005
Diagram 4.24 Data Jumlah Pegawai di Kabupaten Pontianak 77
Tahun 1998-2003
Grafik 4.25 Data APBD di Kabupaten Pontianak Tahun 1998- 78
2005
Grafik 4.26 Data Beban Belanja Pegawai di Kabupaten 78
Pontianak Tahun 1998-2005
Diagram 4.27 Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di 79
Kabupaten Pontianak Tahun 1998-2005
Tabel 4.28 Data Keuangan Provinsi Nusa Tenggara Barat 83
Tahun 1998-2005
Grafik 4.29 Data APBD di Provinsi Nusa Tenggara Barat 84
Tahun 1998-2005
13
Grafik 4.30 Data Beban Belanja di Provinsi Nusa Tenggara 84
Barat Tahun 1998-2005
Diagram 4.31 Rasio APBD dengan Beban Belanja di Provinsi 85
Nusa Tenggara Barat Tahun 1998-2005
Tabel 4.32 Data Jumlah Pegawai Kota Mataram Menurut 88
Tingkat Pendidikan dan Golongan Tahun 2005
Tabel 4.33 Data Keuangan Kota Mataram Tahun 1998-2005 88
Grafik 4.34 Data APBD di Kota Mataram Tahun 1998-2005 89
Grafik 4.35 Data Beban Belanja Pegawai di Kota Mataram 90
Tahun 1998-2005
Diagram 4.36 Rasio APBD dengan Beban Belanja Pegawai di 91
Kota Mataram Tahun 1998-2005
Tabel 4.37 Nama Kecamatan, Desa, Kelurahan, Dusun dan 94
Lingkungan di Kabupaten Lombok Tengah
Tabel 4.38 Jumlah Pegawai menurut Pangkat, 95
Golongan/Ruang di Kabupaten Lombok Tengah
Tahun 2005
Tabel 4.39 Data Keuangan Kabupaten Lombok Tengah 96
Tahun 1998-2005
Grafik 4.40 Data APBD di Kabupaten Lombok Tengah Tahun 96
1998 - 2005
Grafik 4.41 Data Beban Belanja Pegawai di Kabupaten 97
Lombok Tengah Tahun 1998-2005
Diagram 4.42 Rasio APBD dengan Beban Belanja Pegawai di 98
Kabupaten Lombok Tengah Tahun 1998-2005
Tabel 4.43 Pembagian Pemerintahan Provinsi Sulawesi 100
Tenggara Tahun 2004
Tabel 4.44 Data Keuangan Kota Kendari Tahun 1998-2005 103
Grafik 4.45 Data APBD di Kota Kendari Tahun 1998-2005 103
Grafik 4.46 Data Beban Belanja Pegawai di Kota Kendari 104
Tahun 1998-2005
Diagram 4.47 Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di Kota 105
Kendari Tahun 1998-2005
14
Tabel 4.48 Data Keuangan Kabupaten Konawe Tahun 1998- 106
2005
Grafik 4.49 Data APBD di Kabupaten Konawe Tahun 1998- 106
2005
Grafik 4.50 Data Beban Belanja Pegawai di Kabupaten 107
Konawe Tahun 1998-2005
Diagram 4.51 Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di 108
Kabupaten Konawe Tahun 1998-2005
Tabel 4.52 Tabel Realisasi APBD di Provinsi Jambi Tahun 110
1998-2005
Grafik 4.53 Data Realisasi APBD di Provinsi Jambi Tahun 110
1998-2005
Tabel 4.54 Jumlah Pegawai dan Beban Pembiayaannya 111
dalam APBD di Provinsi Jambi Tahun 1998-2005
Diagram 4.55 Data Jumlah Pegawai di Provinsi Jambi Tahun 112
1998-2005
Grafik 4.56 Data Beban Belanja Pegawai di Provinsi Jambi 113
Tahun 1998-2005
Tabel 4.57 Rasio Realisasi APBD dengan Beban Belanja 114
Pegawai di Provinsi Jambi Tahun 1998-2005
Diagram 4.58 Rasio Realisasi APBD dengan Beban Belanja 115
Pegawai di Provinsi Jambi Tahun 1998-2005
Tabel 4.59 Data Kecamatan, Kelurahan dan Desa di 118
Kabupaten Muaro Jambi
Tabel 4.60 Data Pegawai Kabupaten Muaro Jambi Menurut 118
Golongan Tahun 2000-2005
Tabel 4.61 Data Kepegawaian dan Keuangan Kabupaten 119
Muaro Jambi Tahun 2000-2005
Diagram 4.62 Data Jumlah Pegawai di Kabupaten Muaro Jambi 120
Tahun 2000-2005
Grafik 4.63 Data APBD di Kabupaten Muaro Jambi Tahun 120
2000-2005
Grafik 4.64 Data Beban Belanja Pegawai di Kabupaten Muaro 121
Jambi Tahun 2000-2005
15
Diagram 4.65 Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di 122
Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2000-2005
Tabel 4.66 Data Jumlah Pegawai dan Keuangan Kota 127
Bandung Tahun 1998-2005
Diagram 4.67 Data Jumlah Pegawai Kota Bandung Tahun 1998 - 127
2005
Grafik 4.68 Data APBD di Kota Bandung Tahun 1998-2005 128
Grafik 4.69 Data Beban Belanja Pegawai di Kota Bandung 129
Tahun 1998-2005
Diagram 4.70 Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di Kota 129
Bandung Tahun 1998-2005
Tabel 4.71 Data Kepegawaian dan Keuangan Kabupaten 132
Garut Tahun 1998-2003
Diagram 4.72 Data Jumlah Pegawai di Kabupaten Garut Tahun 133
1998-2003
Grafik 4.73 Data APBD di Kabupaten Garut Tahun 1998-2003 134
Grafik 4.74 Data Beban Belanja Pegawai di Kabupaten Garut 135
Tahun 1998-2003
Diagram 4.75 Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di 135
Kabupaten Garut Tahun 1998-2003
Tabel 4.76 Data Kepegawaian dan Keuangan di Provinsi 139
Sumatera Selatan Tahun 1998-2005
Diagram 4.77 Data Jumlah Pegawai di Provinsi Sumatera 139
Selatan Tahun 1998-2005
Grafik 4.78 Data Beban Belanja Pegawai di Provinsi Sumatera 140
Selatan Tahun 1998-2005
Tabel 4.79 Data Kepegawaian dan Keuangan di Kota 143
Palembang Tahun 1998-2005
Diagram 4.80 Data Jumlah Pegawai di Kota Palembang Tahun 143
1998-2005
Grafik 4.81 Data APBD di Kota Palembang Tahun 1998-2005 144
Grafik 4.82 Data Beban Belanja Pegawai di Kota Palembang 145
Tahun 1998-2005
Grafik 4.83 Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di Kota 146
16
Palembang Tahun 1998-2005
Tabel 4.84 Data Kepegawaian dan Keuangan Kabupaten 148
Ogan Komering Ilir Tahun 1998-2005
Diagram 4.85 Data Jumlah Pegawai di Kabupaten Ogan 148
Komering Ilir Tahun 1998-2005
Grafik 4.86 Data APBD di Kabupaten Ogan Komering Ilir 149
Tahun 1998-2005
Grafik 4.87 Data Beban Belanja Pegawai di Kabupaten Ogan 150
Komering Ilir Tahun 1998-2005
Diagram 4.88 Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di 150
Kabupaten Ogan Komering Ilir Tahun 1998-2005
Tabel 4.89 Data Jumlah Penduduk Provinsi Bali Tahun 2001- 151
2005
Tabel 4.90 Data Kepegawaian dan Keuangan di Provinsi Bali 152
Tahun 1998-2005
Diagram 4.91 Data Jumlah Pegawai di Provinsi Bali Tahun 153
1998-2005
Grafik 4.92 Data APBD di Provinsi Bali Tahun 1998-2005 154
Grafik 4.93 Data Beban Belanja Pegawai di Provinsi Bali 155
Tahun 1998-2005
Diagram 4.94 Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di 155
Provinsi Bali Tahun 1998-2005
Tabel 4.95 Data Kepegawaian dan Keuangan di Kota 159
Denpasar Tahun 1997-2005
Diagram 4.96 Data Jumlah Pegawai di Kota Denpasar Tahun 159
1997-2005
Grafik 4.97 Data APBD di Kota Denpasar Tahun 1997-2005 160
Grafik 4.98 Data Beban Belanja Pegawai di Kota Denpasar 161
Tahun 1997-2005
Grafik 4.99 Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di Kota 161
Denpasar Tahun 1997-2005
Tabel 4.100 Data Kepegawaian dan Keuangan di Kabupaten 163
Bangli Tahun 1999-2005
Diagram 4.101 Data Jumlah Pegawai di Kabupaten Bangli Tahun 164
17
1999-2005
Grafik 4.102 Data APBD di Kabupaten Bangli Tahun 1999- 165
2005
Grafik 4.103 Data Beban Belanja Pegawai di Kabupaten Bangli 166
Tahun 1999-2005
Diagram 4.104 Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di 167
Kabupaten Bangli Tahun 1999-2005
Tabel 4.105 Data Kepegawaian dan Keuangan di Provinsi 169
Jawa Timur Tahun 1998-2005
Diagram 4.106 Data Jumlah Pegawai di Provinsi Jawa Timur 170
Tahun 1998-2005
Grafik 4.107 Data APBD di Provinsi Jawa Timur Tahun 1998- 171
2005
Grafik 4.108 Data Beban Belanja Pegawai di Provinsi Jawa 172
Timur Tahun 1998-2005
Diagram 4.109 Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di 172
Provinsi Jawa Timur Tahun 1998-2005
Tabel 4.110 Data Kepegawaian dan Keuangan di Kota 175
Surabaya Tahun 1998-2005
Diagram 4.111 Data Jumlah Pegawai di Kota Surabaya Tahun 176
1998-2005
Grafik 4.112 Data APBD di Kota Surabaya Tahun 1998-2005 177
Grafik 4.113 Data Beban Belanja Pegawai di Kota Surabaya 178
Tahun 1998-2005
Diagram 4.114 Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di Kota 179
Surabaya Tahun 1998-2005
Tabel 4.115 Data Kepegawaian dan Keuangan di Kabupaten 182
Malang Tahun 1998-2006
Diagram 4.116 Data Jumlah Pegawai di Kabupaten Malang 183
Tahun 1998-2006
Grafik 4.117 Data APBD di Kabupaten Malang Tahun 1998- 184
2005
Grafik 4.118 Data Beban Belanja Pegawai di Kabupaten 185
Malang Tahun 1998-2005
18
Diagram 4.119 Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di 186
Kabupaten Malang Tahun 1998-2005
Grafik 4.120 Data Beban Pengembangan Pegawai di 186
Kabupaten Malang Tahun 1998-2005
19
1
Pendahuluan
A. Latar Belakang Permasalahan
Penduduk Indonesia saat ini yang mencapai lebih dari dua ratus sepuluh juta jiwa
membutuhkan pelayanan dari aparatur (PNS) dengan jumlah yang seimbang. Data dari tahun ke
tahun menunjukkan bahwa jumlah penduduk terus bertambah demikian pula halnya dengan
jumlah PNS. Meskipun ada kebijakan dari Pemerintah untuk melakukan kebijakan zero growth
PNS, yaitu dengan melakukan rekrutmen pegawai sejumlah PNS yang pensiun saja, akan tetapi
pada praktiknya jumlah PNS cenderung terus bertambah sehingga dilanjutkan dengan kebijakan
minus growth untuk menurunkan pertumbuhan tersebut. Hal ini disebabkan karena kebutuhan
akan pegawai baru ternyata lebih besar daripada pegawai yang pensiun. Bertambahnya jumlah
PNS juga didorong oleh munculnya daerah-daerah pemekaran, baik Provinsi maupun
Kabupaten/Kota. Munculnya daerah-daerah pemekaran ini otomatis membutuhkan tambahan
pegawai-pegawai baru sehingga perlu dilakukan rekrutmen meskipun ada kemungkinan daerah
lain dapat menyediakan kebutuhan pegawai tersebut. Dampak langsung dari bertambahnya
jumlah PNS ini adalah bertambahnya beban pembiayaannya yang terkait dengan pembayaran gaji
pegawai, tunjangan untuk pejabat-pejabatnya, biaya operasionalnya dan lain-lain. Akan tetapi
dalam kenyataannya, bertambahnya jumlah pegawai dan beban pembiayaannya tersebut tidak
berdampak positif terhadap peningkatan kinerja pegawai.
Data dari Kantor Kementerian PAN yang diperkuat oleh hasil penelitian UGM dan JICA
yang dipublikasikan dalam Buku Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia (Thoha, 2005),
menyebutkan bahwa PNS di Indonesia yang produktif hanya 60% saja. Artinya 40% sisanya tidak
produktif dan hanya menerima gaji saja tanpa hasil yang berarti. Dana APBN yang digunakan
untuk membayar gaji pegawai yang berasal dari rakyat menjadi kurang efisien. Seharusnya dana
tersebut bisa dimanfaatkan dengan baik untuk membiayai pegawai yang berkualitas tetapi pada
kenyataannya pegawainya tidak berkualitas. Tentunya ini merupakan suatu ironi, dana yang
diambil dari rakyat tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal. Hasil penelitian UGM dan JICA
(2005) menyebutkan bahwa jumlah PNS di Indonesia kurang lebih 2% dari jumlah penduduk dan
dari 2% tersebut yang benar-benar produktif dan kompeten hanya sekitar 40% saja. Artinya 2 juta
lebih (lebih dari separuh jumlah PNS Indonesia) tidak produktif dan tidak kompeten.
Jumlah PNS yang ada di Indonesia menurut data PUPNS 2003 yang dikeluarkan oleh BKN
tercatat sebanyak 3.648.005 orang. Apabila dibandingkan dengan jumlah PNS tahun 2000 yang
tercatat sebanyak 3.927.146 orang, terdapat penurunan jumlah pegawai sebanyak 279.141 orang.
PNS tersebut tersebar baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah yang meliputi Provinsi dan
20
Kabupaten/Kota. Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia tahun 2003 yang
mencapai 210.485.600 orang, maka perbandingan antara PNS dengan penduduk kurang lebih
adalah sebesar 1 : 57. Artinya seorang PNS akan melayani kurang lebih 57 orang penduduk.
Memang tidak ada perhitungan perbandingan yang tepat mengenai berapa jumlah ideal antara
jumlah penduduk dan pegawai negeri, akan tetapi secara rasionalitas apabila dilihat dari angka
perbandingan tersebut, dapat dikatakan perbandingan tersebut cukup ideal. Akan tetapi apabila
dilihat dari persebarannya menurut karakteristik wilayah yang ada di Indonesia, akan diperoleh
gambaran yang sangat berbeda. Hal tersebut dapat dicermati dari persebaran PNS dalam data
PUPNS 2003 berikut ini, jumlah PNS Pusat (Departemen, LPND, Sekretariat Lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara dan lain-lain) adalah sebanyak 840.007 orang (23%), di Provinsi
sebanyak 311.047 orang (8,5%) dan di Kabupaten/Kota sebanyak 2.496.951 orang (68,4%). Dari
data tersebut terlihat bahwa lebih dari separuh PNS Indonesia berada di daerah Kabupaten/Kota.
Dan apabila dicermati pada masing-masing daerah Kabupaten/Kota akan lebih terlihat bahwa
persebaran pegawai lebih tidak merata, banyak pegawai yang terkonsentrasi pada daerah ibukota
Kabupaten/Kota dan daerah sekitar ibu kota, sementara di daerah-daerah yang relatif terpencil
masih kekurangan pegawai.
Dari aspek anggaran, APBN tahun 2000 menunjukkan jumlah penerimaan negara adalah
sebesar Rp 205,335 trilyun. Penerimaan tersebut terdiri dari pos penerimaan perpajakan sebesar
Rp 115,913 trilyun dan pos penerimaan bukan pajak (SDA Migas) sebesar Rp 89,422 trilyun.
Belanja negara untuk tahun 2000 tercatat sebesar Rp 221,467 trilyun, yang terdiri dari pos belanja
Pemerintah Pusat sebesar Rp 188,392 trilyun dan dana yang dialokasikan untuk dana
perimbangan sebesar Rp 33,075 trilyun. Dari APBN tahun 2000 tersebut, alokasi yang
dipergunakan untuk pengeluaran rutin adalah sebesar Rp 162,577 trilyun dan pengeluaran
pembangunan sebesar Rp 25,815 trilyun. Pengeluaran rutin tersebut terdiri dari pos belanja
pegawai sebesar Rp 29,613 trilyun. Pos pengeluaran rutin tersebut terdiri dari pembayaran gaji
dan pensiun, tunjangan beras, uang makan dan lauk pauk, lain-lain belanja pegawai dalam negeri
dan belanja pegawai luar negeri.
Sementara itu, dalam APBN tahun 2003 tercatat jumlah pendapatan negara adalah sebesar
Rp 336,156 trilyun, yang terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 254,140 trilyun dan
penerimaan bukan pajak (SDA Migas) sebesar Rp 82,015 trilyun. Sementara itu, jumlah
pengeluaran atau belanja negara tercatat sebesar Rp 370,592 trilyun. Pengeluaran tersebut terdiri
dari pos belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp 253,714 trilyun dan pengeluaran dana perimbangan
sebesar Rp 107,491 trilyun. Selain itu ada pos pengeluaran untuk dana otonomi khusus dan dana
penyeimbang sebesar Rp 9,387 trilyun. Dari APBN 2003 tersebut, pos belanja Pemerintah Pusat
terdiri dari pengeluaran rutin sebesar Rp 188,584 trilyun dan pengeluaran pembangunan sebesar
Rp 65,130 trilyun. Pengeluaran rutin didalamnya termasuk belanja pegawai yang terdiri dari
pembayaran gaji dan pensiun, tunjangan beras, uang makan dan lauk pauk, lain-lain belanja
pegawai dalam negeri dan belanja pegawai luar negeri sebesar Rp 50,241 trilyun.
21
Terkait dengan kajian jumlah pegawai daerah dan beban pembiayaannya dalam APBD,
secara nasional dapat dicermati bahwa pertumbuhan jumlah PNS mengalami penurunan, data
PUPNS 2003 menunjukkan jumlah PNS adalah sebanyak 3.648.005 orang, sementara pada tahun
2000 tercatat sebanyak 3.927.146 orang sehingga ada penurunan sebanyak 279.141 orang selama
periode tahun 2000-2003 atau rata-rata terjadi penurunan sebanyak 93.047 orang pertahun.
Sementara dari aspek anggaran, APBN tahun 2003 menunjukkan data pos belanja pegawai dalam
pengeluaran rutin adalah sebesar Rp 50,241 trilyun sementara dalam APBN tahun 2000, pos
belanja pegawai menunjukkan data sebesar Rp 29,613 trilyun, sehingga ada peningkatan sebesar
Rp 20,628 trilyun atau rata-rata pertumbuhan sebesar Rp 6,876 trilyun per tahun selama periode
tahun 2000-2003.
Dalam konteks daerah, sangat penting untuk menganalisis hubungan antara pertumbuhan
jumlah pegawai daerah dengan beban pembiayaannya dalam APBD. Terlebih apabila konteks
waktunya diambil pada saat implementasi kebijakan otonomi daerah tahun 1999/2000. Banyak
permasalahan yang muncul dalam upaya implementasi kebijakan otonomi daerah terkait dengan
pertumbuhan jumlah pegawai daerah dan beban pembiayaannya dalam APBD.
Kebijakan otonomi daerah secara signifikan telah menambah jumlah pegawai daerah
yang berasal dari penggabungan pegawai dari instansi-instansi vertikal yang ada di daerah. Data
penelitian yang dilakukan oleh BKN pada tahun 2000 menunjukkan bahwa dampak dari
pelaksanaan otonomi khususnya dalam penataan organisasi perangkat daerah dan penataan
pegawai adalah sangat besar (Affandi, 2001). Hasil penelitian BKN tersebut mencatat bahwa
jumlah PNS berdasarkan wilayah kerja secara nasional adalah lebih dari 90% PNS bekerja di
daerah. Sebagai contoh dari hasil penelitian BKN tersebut, Departemen Dalam Negeri yang
mempunyai pegawai sebanyak 666.138 pegawai, sebanyak 661.109 orang atau 99,2% bekerja di
daerah, yaitu di instansi vertikal. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional, 96% lebih dari
sekitar dua juta pegawainya bekerja di daerah. Data ini menunjukkan betapa beratnya beban
daerah dalam menerima limpahan pegawai dari organisasi vertikal.
Pegawai-pegawai instansi vertikal tersebut dengan kebijakan otonomi diangkat menjadi
pegawai daerah. Dalam kebijakan pelimpahan pegawai tersebut seharusnya langsung diikuti juga
dengan pelimpahan sarana prasarana dan pembiayaannya. Dalam kenyataan di lapangan,
pelimpahan sarana prasarana dan pembiayaan tidak langsung dilakukan pada tahun yang sama
tetapi butuh beberapa tahun lagi. Dampaknya, beban gaji yang dahulu ada di Pusat (Dinas terkait)
sekarang menjadi beban daerah. Meskipun beban gaji tersebut dimasukkan dalam pos DAU (Dana
Alokasi Umum) yang berasal dari bantuan Pusat, akan tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan
adanya asumsi bahwa pegawai-pegawai limpahan tersebut membebani APBD. Selain itu adanya
penggabungan instansi tersebut telah menyebabkan membengkaknya struktur organisasi
perangkat daerah yang otomatis menambah biaya operasional yang harus dikeluarkan oleh daerah
sehingga menambah beban APBD. Bahkan ada asumsi bahwa lebih dari 50% APBD dihabiskan
untuk belanja rutin pegawai (membayar gaji pegawai dan beban operasionalnya) sehingga
mengurangi pos belanja pembangunan. Dampaknya adalah tersendatnya pembangunan berbagai
22
sarana dan prasarana masyarakat yang memberikan dampak lebih lanjut pada melemahnya
pelayanan masyarakat.
Komposisi APBD dari sisi penerimaan terdiri dari empat komponen, yaitu Dana
Perimbangan, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Sementara dari sisi belanja terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa,
belanja perjalanan dinas, belanja pemeliharaan dan lain-lain. Empat komponen dari sisi
penerimaan tersebut, Dana Perimbangan, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus
(DAK) merupakan pemberian dari Pemerintah Pusat, artinya menjadi beban APBN, sementara
PAD merupakan pendapatan yang berasal dari daerah sendiri. Kalau dilihat dari kontribusinya
dalam APBD, PAD memberikan kontribusi yang paling kecil (kurang lebih 5% sampai 30% dari
total APBD) dan 70% sampai 95% berasal dari tiga komponen lainnya. Sehingga dapat dikatakan
mayoritas APBD sebagian besar tetap ditanggung oleh Pemerintah Pusat (APBN). Kalau dilihat
alokasi pemanfaatannya, DAU dan DAK sudah jelas pemanfaatannya. DAU terdiri dari Alokasi
Dasar (AD) dan celah fiskal, DAU dipergunakan untuk pembayaran gaji dan berbagai tunjangan
pegawai sementara celah fiskal pemanfaatannya lebih fleksibel. Sementara DAK dipergunakan
untuk kebutuhan yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, misalnya DAK bidang
pendidikan harus untuk pendidikan, DAK bidang kesehatan harus untuk kesehatan. Sementara
Dana Perimbangan dan PAD dapat dimanfaatkan secara fleksibel sesuai kebutuhan daerah.
Dari gambaran tersebut terlihat bahwa beban pembayaran gaji pegawai termasuk
tunjangannya sudah ditanggung oleh Pemerintah Pusat (APBN) dalam bentuk DAU. Gambaran
kondisi lapangan menunjukkan banyak daerah yang menyatakan bahwa kondisi keuangan atau
APBD-nya dalam kondisi kurang atau tidak mencukupi untuk membiayai operasionalisasinya.
Akan tetapi mereka tetap melakukan rekrutmen pegawai padahal banyak pegawainya yang belum
dimanfaatkan secara maksimal. Kebutuhan penambahan pegawai tersebut adalah pada pegawai
yang mempunyai keahlian khusus, misalnya untuk pegawai-pegawai fungsional seperti para
medis, guru, penyuluh pertanian dan lainnya. Akan tetapi pada praktiknya yang direkrut justeru
pegawai administrasi atau pegawai dengan keahlian umum. Sehingga tidak sesuai dengan
kebutuhan dan beban kerja riil di unit organisasi. Kondisi inilah yang semakin membebani APBD
untuk membiayai kebutuhan pegawai, yaitu membayar gaji pegawai dan membayar biaya
pengembangan dan peningkatan kemampuannya. Sangat penting untuk merumuskan kebijakan
dalam perencanaan kebutuhan dan pengembangan pegawai dengan melihat pada kebutuhan riil
organisasi dan kemampuan atau dukungan keuangan yang ada.
Gambaran tersebut diperkuat dengan hasil penelitian UGM dan JICA (2005) yang
menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan manajemen PNS di Indonesia masih banyak sekali
permasalahan. Dalam proses rekrutmen dan pengangkatan pegawai banyak diwarnai dengan
praktek kolusi dan nepotisme atau kekerabatan, promosi jabatan yang diwarnai ”politicking”, dan
kegiatan pelatihan yang kurang profesional dan beraroma ”uang”. Apabila dikaitkan dengan
kemampuan keuangan (APBN/APBD) Pemerintah Indonesia maka sangat menarik untuk
mengkaji kesesuaian antara jumlah pegawai dengan beban pembiayaannya dalam APBN/APBD.
23
Gambaran latar belakang tersebut mendorong LAN untuk melakukan kajian dengan
melihat dan mencermati fenomena dan hubungan yang terjadi antara jumlah pegawai daerah dan
beban pembiayaannya dalam APBD, khususnya dalam kurun waktu lima tahun (1998-2003),
terutama untuk melihat dampak dari pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini terkait dengan
kebutuhan untuk melakukan perencanaan kebutuhan pegawai daerah yang tepat dan kebutuhan
pengembangan pegawai daerah yang sesuai dengan kebutuhan organisasi sehingga dana yang
diambil dari APBD dapat dimanfaatkan secara dan efisien. Dengan latar belakang tersebut, kajian
ini mengambil judul : ”Kajian Jumlah Pegawai Daerah dan Beban Pembiayaannya dalam APBD”.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul kajian, maka jumlah pegawai daerah dan beban pembiayaannya
dalam APBD akan dijadikan fokus pembahasan yang ditekankan pada pelaksanaan kegiatan
perencanaan kebutuhan dan pengembangan pegawai daerah. Sehingga permasalahan dalam
kajian ini dirumuskan menjadi : Bagaimana keterkaitan antara jumlah pegawai daerah dan beban
pembiayaannya dalam APBD khususnya dalam pelaksanaan kegiatan perencanaan kebutuhan dan
pengembangan pegawai daerah yang efisien?
Untuk dapat menjawab permasalahan tersebut, dirumuskan pertanyaan penelitian berikut
ini :
1. Bagaimana hubungan dan keterkaitan antara jumlah pegawai daerah dengan beban
anggarannya dalam APBD selama kurun waktu enam tahun (1998-2003)?
2. Apakah kebijakan dalam perencanaan kebutuhan dan pengembangan pegawai daerah juga
didasarkan atas perhitungan yang cermat terhadap beban dan ketersediaan anggaran?
3. Bagaimana merumuskan langkah strategis dalam perencanaan kebutuhan dan pengembangan
pegawai daerah secara efisien?
C. Ruang Lingkup
Untuk dapat menghasilkan kajian yang optimal, maka perlu dilakukan pembatasan ruang
lingkup kajian. Dalam kajian ini data-data dibatasi pada jumlah pegawai daerah dan beban
pembiayaannya dalam APBD dalam kurun waktu enam tahun, yaitu tahun 1998 sampai dengan
2003. Kurun waktu ini diambil sebelum dan setelah dilaksanakannya kebijakan otonomi daerah
pada tahun 1999/2000.
Analisis difokuskan pada fenomena, hubungan dan permasalahan yang terjadi dalam
kegiatan perencanaan kebutuhan dan pengembangan pegawai daerah dengan mencermati dan
menganalisis data-data jumlah pegawai dan beban pembiayaannya dalam APBD selama kurun
waktu enam tahun (1998-2003).
24
D. Tujuan Kajian
Tujuan yang hendak dicapai dengan dilakukannya kajian ini adalah :
1. Mengidentifikasi jumlah pegawai daerah dan beban pembiayaannya dalam APBD selama
kurun waktu enam tahun (1998-2003);
2. Mengidentifikasi fenomena, hubungan dan permasalahan dalam perencanaan kebutuhan dan
pengembangan pegawai daerah dari perspektif anggaran;
3. Merumuskan langkah strategis dalam melakukan perencanaan kebutuhan dan pengembangan
pegawai daerah yang efisien.
25
2
Kajian Pustaka
Dalam membahas dan menjawab permasalahan dalam Kajian Jumlah Pegawai Daerah dan
Beban Pembiayaannya dalam APBD, konsep teoritis yang dipergunakan adalah teori manajemen
sumber daya manusia (MSDM). Dengan teori MSDM akan diperoleh gambaran ideal dalam
melakukan perencanaan kebutuhan dan pengembangan pegawai yang baik.
26
Human resource management ... is the development and utilization of personnel for the
effective achievement of individual, organizational, community, national and
international goals and objectives.
Sementara dari sudut mikro dikutip dari pendapat Tulus berikut ini :
... perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan atas pengadaan,
pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan dan pemutusan
hubungan tenaga kerja dimaksud membantu mencapai tujuan organisasi, individu dan
masyarakat.
Sementara itu Mondy (1990) memberikan definisi human resource management (HRM) is
the utilization of human resources to achieve organizational objectives. Definisi yang diberikan
oleh Prasetya Irawan (1997), adalah :
Manajemen sumber daya manusia adalah ilmu untuk mengatur atau mengelola sumber
daya manusia yang ada dalam organisasi sehingga dapat berkinerja maksimal dan optimal
untuk pencapaian tujuan dan sasaran organisasi.
Dari berbagai definisi yang dikutip dari para pakar tersebut dapat disimpulkan bahwa
MSDM adalah suatu ilmu untuk memberdayakan sumber daya manusia agar lebih berdaya guna
dan berhasil guna dalam mencapai tujuan organisasi. Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut
maka ada ruang lingkup yang dibahas dalam MSDM. Sebagaimana halnya definisi yang berbeda-
beda dalam MSDM, maka dalam membahas ruang lingkup MSDM-pun para pakar memberikan
ruang lingkup yang berbeda-beda.
Prasetya (1997) mencatat pendapat lima orang pakar MSDM yang menjelaskan mengenai
fungsi MSDM. Menurut Flippo sebagaimana dikutip oleh Prasetya (1997) ada sepuluh fungsi
MSDM, yaitu : (1) planning, (2) organizing, (3) directing, (4) controlling, (5) procurement, (6)
development, (7) compensation, (8) integration, (9) maintenance, dan (10) separation. Sementara
Yoder dalam Prasetya (1997) membagi fungsi MSDM dalam enam fungsi, yaitu : (1) staffing,
terdiri dari recruitment, selection, promotion dan placement, (2) employee development and
training, (3) labour relation, (4) wage and salary administration, (5) employee benefit service, dan
(6) research.
Pakar MSDM lainnya yang dikutip oleh Prasetya (1997), adalah Moekijat dan Malayu S.P
Hasibuan. Menurut Moekijat, fungsi MSDM terdiri dari : perencanaan, penilaian prestasi, seleksi,
pengembangan dan pelatihan, administrasi gaji dan upah, lingkungan kerja, pengawasan
pelaksanaan pekerjaan, hubungan perburuhan, kesejahteraan sosial, dan penilaian dan riset.
Sedangkan Malayu S.P Hasibuan membagi fungsi MSDM menjadi: perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, pengendalian, administrasi gaji dan upah, lingkungan kerja,
pengawasan pelaksanaan pekerjaan, hubungan perburuhan, kesejahteraan sosial, dan penilaian
dan riset.
Manulang dalam Prasetya (1997) membagi fungsi MSDM dalam tiga fungsi besar dengan
sembilan fungsi turunannya, yaitu: (1) procuring, terdiri a) membuat anggaran tenaga kerja bagi
27
perusahaan, b) membuat job analysis, job description dan job specification, c) menentukan dan
menghubungi sumber-sumber tenaga kerja, d) mengadakan seleksi, (2) developing, terdiri dari a)
melatih dan mendidik pegawai, b) mempromosikan dan memindahkan pegawai, c) mengadakan
penilaian kecakapan, dan (3) maintaining, terdiri dari a) mengurus pemberhentian, b) mengurus
pensiun, c) mengurus kesejahteraan pegawai termasuk pembayaran upah, pemindahan dan lain-
lain, d) motivasi.
Mondy (1990) menyebutkan adanya enam fungsi dalam human resource management
(HRM), yaitu : human resource planning, recruitment and selection, human resource
development, compensation and benefits, safety and health, employee and labour relation, dan
human resource research. Hal yang menarik dari fungsi-fungsi MSDM yang diberikan Mondy
adalah dimasukkannya fungsi safety and health. Menurut Mondy, fungsi ini sangat penting
karena pegawai yang bekerja dalam kondisi aman dan terjamin kesehatan maupun
keselamatannya diyakini akan bekerja secara lebih produktif sehingga dapat menguntungkan bagi
organisasi.
Beragamnya ruang lingkup atau fungsi yang diberikan oleh para pakar tersebut
menunjukkan karakteristik kepakaran masing-masing, dalam keragaman tersebut terdapat tujuh
fungsi yang sama yang merupakan ruang lingkup pembahasan MSDM, yaitu : (1) perencanaan
pegawai, (2) seleksi dan orientasi pegawai, (3) pengembangan pegawai, (4) manajemen karier, (5)
penilaian prestasi kerja, (6) kompensasi dan (7) pemutusan hubungan kerja. Fungsi-fungsi ini
diyakini dapat mewakili semua fungsi yang diberikan oleh para pakar sebagaimana telah
dijelaskan didepan. Dalam kajian ini fungsi yang dibahas dibatasi pada fungsi perencanaan
pegawai dan pengembangan pegawai dengan tidak mengurangi pentingnya fungsi yang lain.
B. Perencanaan Pegawai
Pegawai adalah sumber daya yang dimiliki oleh organisasi yang digunakan untuk
menggerakkan atau mengelola sumber daya lainnya sehingga harus benar-benar dapat digunakan
secara efektif dan efisien sesuai kebutuhan riil organisasi. Dalam hal ini perlu dilakukan
perencanaan kebutuhan pegawai secara tepat sesuai beban kerja yang ada dengan didukung
adanya proses rekrutmen yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi.
Sebagaimana dijelaskan oleh Suharyanto dan Heruanto (2005) :
Perencanaan pegawai dimaksudkan untuk menjamin bahwa kebutuhan pegawai bagi
organisasi tetap terpenuhi secara konstan dan dalam jumlah dan kualitas yang memadai.
Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam melakukan perencanaan pegawai harus mengacu
pada isu-isu strategis sebagai hasil penelaahan lingkungan internal dan eksternal organisasi. Dari
telaahan ini akan dapat diketahui kekuatan dan kelemahan SDM yang dimiliki dalam organisasi,
sehingga dapat diambil langkah-langkah yang tepat dalam mengahadapi berbagai peluang dan
tantangan yang ada. Dengan dilakukannya perencanaan kepegawaian atau analisis kebutuhan
SDM, maka perusahaan/organisasi dapat meningkatkan kinerjanya dan memanfaatkan sumber
28
daya yang dimilikinya dengan lebih efektif dan efisien. Mondy (1990) memberikan pengertian
bahwa :
Human resource planning (HRP) is the process of systematically reviewing human
resource requirements to ensure that the required numbers of employees, with the
required skills, are available when they are needed.
Prasetya (1997) menyatakan bahwa dalam melakukan perencanaan pegawai atau sumber
daya manusia perlu dipahami beberapa hal, yaitu : makna dan cakupan perencanaan pegawai,
metode-metode perencanaan, analisis pekerjaan/jabatan, perhitungan beban kerja dan
perhitungan angkatan kerja. Amstrong (2003) menyebutkan dalam merencanakan kebutuhan
pegawai berkaitan dengan : mendapatkan dan mempertahankan jumlah dan mutu pegawai yang
diperlukan, mengidentifikasi tuntutan keterampilan dan cara memenuhinya, menghadapi
kelebihan atau kekurangan pegawai, mengembangkan tatanan kerja yang fleksibel dan
meningkatkan pemanfaatan pegawai. Syafri Mangkuprawira (2004) mengistilahkan perencanaan
kepegawaian dengan istilah analisis kebutuhan SDM. Menurut Syafri, manfaat analisis kebutuhan
SDM bagi organisasi meliputi : (a) optimalisasi sistem manajemen informasi, utamanya tentang
data karyawan; (b) memanfaatkan SDM secara optimal; (c) mengembangkan sistem perencanaan
sumber daya manusia secara efisien dan efektif; (d) mengkoordinasikan fungsi-fungsi manajemen
SDM secara optimal; dan (e) membuat perkiraan kebutuhan SDM secara akurat dan cermat.
Ada dua faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan analisis kebutuhan perusahaan
terhadap SDM, yaitu (1) perubahan lingkungan eksternal, yang meliputi kondisi perekonomian
makro, hukum-politik-sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi dan persaingan usaha, dan (2)
perubahan lingkungan internal, yang meliputi perubahan kondisi perusahaan dan perubahan
kondisi karyawan. Faktor-faktor tersebut harus diperhatikan dan dipertimbangkan karena dapat
mempengaruhi kebutuhan perusahaan akan karyawan, baik dari aspek kuantitas maupun
kualitasnya.
Sementara itu, definisi perencanaan pegawai yang diberikan oleh Bernardin (2003) adalah
:
HR planning is the forecasting of HR needs in the context of strategic business planning.
The HR planning process of the past was typically reactive in nature, with business needs
defining personnel needs. However, with major changes in the business environment and
increasing uncertainty, many organizations have adopted a longer-term perspective and
integrating HR planning with strategic business planning centered on a consideration of
core business competencies.
Menurut Bernardin, proses ini haruslah terintegrasi dengan proses perencanaan pegawai
dan kegiatan manajemen kepegawaian lainnya, terutama kegiatan seleksi. Kegiatan-kegiatan
dalam manajemen kepegawaian, misalnya rekrutmen, seleksi atau kegiatan lainnya adalah saling
tergantung atau terkait secara erat. Misalnya rekrutmen yang sukses akan menyebabkan proses
seleksi yang sukses dan demikian pula sebaliknya. Bernardin memberikan bagan yang
29
menjelaskan proses rekrutmen dengan memperhatikan faktor internal dan eksternal sebagaimana
digambarkan berikut ini.
Gambar 2.1
Simplified Model of External and Internal Factors
that Influence Recruitment
External Factors Internal Factors
Strategic Business
Legal Environment Planning
Operational Planning
Labor Markets
Human Resource
Planning
Business Environment
Recruitment Planning
Dari bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam melakukan perencanaan rekrutmen
pegawai harus dikaitkan dengan faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal. Perencanaan
pegawai yang efektif seharusnya mencakup enam kegiatan, yaitu : environmental scanning, labor
demand forecast, labor supply forecast, gap analysis, action programming, dan control and
evaluation.
Seperti dijelaskan didepan, Amstrong (2003) menyatakan bahwa perencanaan pegawai
merupakan kegiatan menentukan jumlah karyawan yang diperlukan. Dalam kegiatan penentuan
jumlah inilah perlu dilakukan peramalan jumlah penawaran dan permintaan jumlah pegawai.
Dalam melakukan peramalan kebutuhan atau permintaan jumlah pegawai ada beberapa teknik
yang bisa dipakai, yaitu : keputusan manajerial, analisis rasio kecenderungan dan teknik studi
kerja. Sementara untuk melakukan peramalan ketersediaan atau penawaran jumlah pegawai,
dilakukan dengan beberapa pertanyaan berikut ini :
1. Berapa jumlah pegawai yang ada saat ini, dan apa keterampilan/kompetensi yang dimiliki?
2. Berapa perkiraan angka turnover (keluar masuk) pegawai saat ini dan di masa datang?
3. Berapa perkiraan angka ketidak-hadiran pegawai saat ini dan di masa datang?
4. Dari pegawai yang ada saat ini, berapa jumlah pegawai yang mempunyai
keterampilan/kompetensi yang sesuai kebutuhan? Berapa jumlah yang mempunyai potensi
untuk dikembangkan keterampilan/kompetensinya?
30
5. Berapa perkiraan jumlah pegawai yang dibutuhkan dengan keterampilan/kompetensi yang
dibutuhkan?
6. Dari mana pegawai-pegawai baru tersebut dapat direkrut?
Mondy (1990) memberikan beberapa teknik yang dipergunakan untuk meramalkan atau
merencanakan kebutuhan pegawai, yaitu : (1) zero-base forecasting, yang menggunakan kondisi
organisasi saat ini sebagai dasar perhitungan kebutuhan pegawai di masa depan. Berapa jumlah
pegawai yang dimiliki saat ini, berapa yang akan memasuki usia pensiun, berapa yang akan
keluar, berapa posisi yang lowong merupakan gambaran kondisi yang harus diperhatikan dalam
pendekatan zero-base forecasting ini; (2) bottom-up approach, pendekatan ini mendasarkan pada
pemikiran bahwa manajer di masing-masing unit adalah yang paling paham mengenai kebutuhan
pegawainya. Manajer dari unit yang paling bawah merencanakan kebutuhan pegawainya yang
selanjutnya dikumpulkan menjadi kebutuhan organisasi; (3) use of predictor variables, dalam
pendekatan ini digunakan beberapa variabel untuk menentukan kebutuhan pegawai di masa
depan. Salah satu contoh variabel yang kerap digunakan untuk melakukan perencanaan
kebutuhan pegawai adalah jumlah penjualan atau permintaan barang. Kedua variabel ini
berhubungan positif artinya setiap ada kenaikan permintaan barang maka jumlah pegawai juga
naik sehingga dengan menggunakan regression analysis akan dapat diperkirakan kebutuhan
pegawai di masa depan. Selain permintaan barang dimungkinkan juga memasukkan variabel-
variabel lain menjadi dependent variable atau variabel pengaruh dari jumlah pegawai. Untuk
keperluan ini maka yang dipergunakan sebagai alat analisis adalah multiple regression.
31
Rekrutmen internal Rekrutmen eksternal
Keunggulan : Keunggulan :
1. Karyawan lebih familiar 1. Memiliki gagasan dan
dengan perusahaan, pendekatan baru,
2. Biaya rekrutmen dan 2. Bekerja mulai dengan
pelatihan lebih murah, lembaran bersih dan
3. Meningkatkan moral dan memperhatikan spesifikasi
motivasi pegawai, pengalaman,
4. Peluang berhasil karena 3. Tingkat pengetahuan dan
penilaian kemampuan dan keahlian tidak tersedia
keahlian lebih tepat. dalam perusahaan yang
sekarang.
Kelemahan : Kelemahan :
1. Konflik politik dalam 1. Keterbatasan keteraturan
promosi posisi, antara karyawan dan
2. Tidak berkembang, perusahaan,
3. Masalah moral tidak 2. Moral dan komitmen
dipromosikan. karyawan rendah,
3. Periode penyesuaian yang
lama.
Dalam banyak kasus, jumlah pelamar ternyata lebih banyak daripada yang dibutuhkan sehingga
diperlukan proses seleksi untuk mendapatkan pegawai yang dibutuhkan dan sesuai dengan
kualifikasi yang dibutuhkan.
Menurut Mondy (1990) selection is the process of choosing from a group of applicants the
individual best suited for a particular position. Proses seleksi dapat disebut sebagai tahap yang
sangat menentukan bagi organisasi untuk memperoleh calon pegawai yang mempunyai
kemampuan yang handal dan profesional. Sebagaimana diungkapkan oleh Bernardin (2003) :
personnel selection is a key to organizational effectiveness. The most successful firms tend to use
methods that accurately predict future performance. Hal ini didukung pula oleh Mondy (1990)
yang mengutip pendapat Charles Brown seorang Senior Staff Vice-President di Honeywell, Inc.,
yang menyatakan : team building starts with the basic task of selection.
Metode seleksi yang akurat menjadi faktor penentu untuk dapat memperoleh pegawai-
pegawai yang baik, profesional dan handal. Metode yang dilakukan dapat berupa beberapa
tahapan untuk menyaring sejumlah pelamar menjadi beberapa pegawai yang dibutuhkan.
Pegawai yang diperlukan oleh organisasi menurut Bernardin (2003) adalah :
Employees who will not only be effective, but who will work for us as long as we want
them and who will not engage in counterproductive behavior such as violence, substance
abuse, avoidable accidents and employee theft.
32
Metode atau prosedur yang digunakan dalam melakukan seleksi untuk menyaring
pelamar menurut Prasetya (1997) meliputi beberapa tahap, yaitu : penerimaan pendahuluan, tes
penerimaan, terdiri dari tes pengetahuan (TPA/Tes Potensi Akademik), tes psikologi, tes
pelaksanaan pekerjaan, wawancara, pemeriksaan referensi, evaluasi medis (tes kesehatan),
wawancara oleh calon atasan langsung (supervisor), dan keputusan penerimaan. Sementara itu,
Syafri Mangkuprawira (2004) memberikan beberapa jenis tes yang dapat dipergunakan dalam
menyeleksi pegawai, yaitu : tes kepribadian dan minat, tes prestasi, tes bakat, tes pengetahuan dan
tes kesehatan.
Bernardin (2003) memberikan prosedur seleksi sebagaimana dapat dicermati dalam bagan
berikut ini :
Gambar 2.2
Steps in the Development and Evaluation of
a Selection Procedure
Job Analysis/HR Planning
Identify knowledge, abilities, skills and others characteristics
(KASOCs)
Recruitment Strategy: Selection/Develop Selection
Procedures
Review options for assessing applicants on each of the
(KASOCs): standardized test (cognitive, personality,
motivational, psychomotor),
Applicants blanks, biographical data,
Performance test, assessment center, interview
Determine Validity for Selection Methods
Criterion-related validation,
Expert judgement (content validity),
Validity generalization
Determine Weighting System for Selection Methods and
Resultan Data
Setelah pegawai berhasil diseleksi, biasanya mereka tidak langsung dipekerjakan tetapi
diorientasi terlebih dahulu dengan dibekali berbagai pengetahuan dan keterampilan yang
berkaitan dengan tugas pekerjaannya. Seperti dijelaskan oleh Prasetya (1997), orientasi adalah
program yang dirancang untuk menolong pegawai baru (yang baru lolos seleksi) untuk mengenal
pekerjaan dan organisasi tempatnya bekerja. Orientasi ini sangat bermanfaat untuk
memperkenalkan peranan dan kedudukan baru yang diperoleh pegawai baru, menambah
wawasan mereka serta memperkenalkan dengan organisasi dan rekan kerja sehingga dapat cepat
beradaptasi dalam dunia kerja. Orientasi dapat berjalan singkat (dalam beberapa hari) tapi bisa
33
juga berjalan lama (beberapa minggu atau bulan), selain dapat meliputi satu unit organisasi atau
beberapa unit organisasi.
D. Pengembangan Pegawai
Pengembangan pegawai identik dengan kegiatan pendidikan dan pelatihan (diklat) atau
training and development dan kegiatan pelatihan dan pengembangan. Fungsi ini sangat penting
karena pada tahap ini pegawai ditingkatkan dan dikembangkan kemampuannya (kompetensi)
sehingga dapat memberikan kinerja yang optimal bagi organisasi. Mondy (1990) mendefinisikan
human resource development (HRD) :
… is planned, continues effort by management to improve employee competency levels
and organizational performance through training, education and development program .
Ada tiga aspek penting dalam HRD menurut Mondy, yaitu (1) training; kegiatan untuk
mengembangkan kinerja pegawai dalam melaksanakan suatu pekerjaan, misalnya kursus, diklat,
(2) education; kegiatan untuk meningkatkan pemahaman pegawai dalam melaksanakan suatu
pekerjaan, misalnya melalui seminar, dan (3) development; kegiatan pengembangan yang bersifat
lebih umum yaitu untuk menghadapi berbagai perubahan yang terjadi saat ini atau di masa depan.
Prasetya (1997) menyebutkan, pengembangan pegawai merupakan suatu proses
merekayasa perilaku kerja pegawai sedemikian rupa sehingga pegawai dapat menunjukkan
kinerja yang optimal dalam pekerjaannya. Kata kunci dalam pengembangan pegawai adalah
rekayasa perilaku (behaviour engineering) pegawai, artinya perilaku kerja pegawai diubah dari
buruk menjadi baik, dari baik menjadi lebih baik. Kegiatan merubah perilaku ini dilakukan secara
sadar dan tanpa tekanan, artinya pegawai secara sukarela mau untuk diubah atau dikembangkan
perilaku kerjanya.
Tujuan dari pengembangan pegawai menurut Prasetya, yaitu : (1) memberi orientasi
pekerjaan kepada pegawai baru; (2) mempersiapkan pegawai untuk menggunakan peralatan baru;
(3) mempersiapkan pegawai bekerja di sistem baru; (4) mempersiapkan pegawai agar mampu
mencapai standar kualitas kerja baru; (5) menyegarkan (refreshing) ilmu dan keterampilan yang
dimiliki pegawai; (6) meningkatkan kualitas kinerja pegawai; dan (7) menyiapkan pegawai
menghadapi pekerjaan baru. Untuk meningkatkan efektivitas dari pengembangan pegawai,
Prasetya (1997) menyatakan perlunya dilakukan analisis kinerja. Analisis kinerja ini perlu
dilakukan untuk mendapatkan gap kemampuan pegawai, yaitu antara standar kinerja dengan
kompetensi riil yang dimiliki pegawai. Proses analisis kinerja yang dilakukan adalah :
34
Gambar 2.3
Analisis Kinerja
Standar
Kinerja
GAP Kinerja
Masalah
Bukti Masalah
Penyebab Masalah
Sejalan dengan pemikiran Mondy dan Prasetya tersebut, Amstrong mencatat ada 4
(empat) aspek yang dapat diubah dalam rangka mengembangkan pegawai, yaitu (1) pengetahuan,
(2) keterampilan, (3) kemampuan dan (4) sikap (Amstrong, 2003). Pengetahuan berkaitan dengan
hal-hal yang harus diketahui oleh pegawai agar dapat melakukan pekerjaan dengan baik.
Keterampilan berkaitan dengan apa yang harus dilakukan pegawai agar tujuan yang ditetapkan
bisa dicapai dan pengetahuan yang dimiliki bisa digunakan secara efektif. Sementara kemampuan
adalah kompetensi berbasis kerja atau kompetensi perilaku yang diperlukan untuk mencapai
tingkatan kinerja yang ditetapkan dan sikap adalah perilaku untuk bekerja sesuai dengan
persyaratan kerja.
Dalam melakukan kegiatan pengembangan pegawai ada 3 (tiga) kegiatan utama yang
harus dilakukan, yaitu perencanaan, implementasi dan evaluasi. Bernardin menawarkan suatu
sistem model training yang efektif sebagai berikut :
35
Gambar 2.4
A System Model of Training
Needs Assessment Development Evaluation
Derive instructional
objectives Choose evaluation design
Conduct training
36
3
Metodologi Penelitian
A. Fokus Penelitian
Penelitian mengenai Jumlah Pegawai Daerah dan Beban Pembiayaannya dalam APBD ini
memfokuskan pada keterkaitan antara jumlah pegawai daerah dan beban pembiayaannya dalam
APBD yang menekankan pada pelaksanaan kegiatan perencanaan kebutuhan dan pengembangan
pegawai daerah. Sedangkan aspek-aspek yang dikaji meliputi kebijakan dalam perencanaan
kebutuhan dan pengembangan pegawai daerah, pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan
tersebut, masalah dan kendala yang dihadapi serta strategi untuk dapat melaksanakan kegiatan
tersebut secara efisien.
B. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif kualitatif, yaitu suatu prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 1999). Penelitian kualitatif berkaitan dengan arti,
konsep, definisi, karakteristik, perumpamaan, simbul dan deskripsi dari suatu hal. Sementara itu
Brannen (1999) memberikan pendapatnya bahwa dengan digunakannya metode kualitatif maka
diharapkan penelitian dapat lebih mendekatkan diri pada objek-objek yang diteliti serta
meningkatkan sensitivitas terhadap konteks-konteks yang ada dan sifat-sifat tersebut cenderung
membuahkan konfidensi yang lebih besar pada kesahihan data kualitatif dibandingkan
kuantitatif.
Tujuan penelitian ini adalah memperoleh gambaran dan mendeskripsikannya dalam
bentuk uraian kata-kata atau ungkapan lisan yang ditranskrip dari orang-orang atau perilaku yang
dapat dijadikan sumber data. Deskripsi data ini terkait dengan pelaksanaan kegiatan perencanaan
kebutuhan dan pengembangan pegawai daerah yang efisien.
C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam kajian ini dipilih dengan mempertimbangkan karakteristik
daerah dengan melihat pada keterwakilan menurut lokasi geografis, yaitu bagian Barat, Tengah
dan Timur. Selain itu dipertimbangkan juga aspek potensi daerah, jumlah penduduk, besar
kecilnya APBD, serta pertimbangan lain yang dapat mempermudah penggalian data dan
informasi.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut maka daerah yang dijadikan sampel dalam kajian
ini meliputi 9 (sembilan) daerah Provinsi, yaitu : Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan,
Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sulawesi Utara,
Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Provinsi Bali. Selain di tingkat
37
Provinsi, penggalian data juga dilakukan di tingkat Kabupaten/Kota, dari masing-masing Provinsi
tersebut dipilih satu Kabupaten dan satu Kota sebagai lokasi penggalian data.
D. Sumber Data
Data dan informasi yang diperlukan dalam kajian ini diperoleh dari sejumlah key
informant, yaitu pejabat-pejabat yang terkait dengan penyelenggaraan kepegawaian dan
pembiayaannya di daerah, yaitu : Sekretaris Daerah, Kepala Badan Kepegawaian Daerah, Kepala
Bagian Keuangan dan Kepala Bappeda. Selain itu dimungkinkan untuk menambah key informant
dengan pihak-pihak lain yang dianggap berkompeten di bidangnya dan sesuai dengan kebutuhan
kajian.
Gambar 3.1
Pola Pikir Kajian
Otonomi Daerah
Kondisi yg
Kondisi Riil
1999/2000
Diharapkan
APBD
APBD (PAD + APBN)
MSDM :
Perencanaan
Kebut.
& Pengemb.
Pegawai
Jumlah Pegawai
Jumlah (Beban Kerja +
Pegawai Kebut Org)
Kondisi riil saat ini sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang masalah
menunjukkan bahwa jumlah pegawai daerah dan beban pembiayaannya selalu meningkat dari
tahun ke tahun akan tetapi belum diketahui secara pasti berapa prosentase pertumbuhannya,
fenomena, hubungan serta permasalahan apa yang ada dibalik pertumbuhan tersebut, khususnya
dilihat dari aspek perencanaan kebutuhan dan pengembangan pegawai daerah. Hal ini akan
menarik apabila dilihat dengan ruang lingkup waktu implementasi kebijakan otonomi daerah
(1999/2000). Pengaruh kebijakan ini sangat menarik untuk dikaji dan dianalisis terutama pada
fokus perencanaan kebutuhan dan pengembangan pegawai daerah. Karena dengan diterapkannya
kebijakan otonomi daerah terjadi pelimpahan pegawai dari instansi pusat ke daerah.
Apabila dicermati, beban gaji dan tunjangan pegawai yang merupakan hak pokok yang
harus diterima pegawai merupakan tanggungan Pemerintah Pusat (dialokasikan dalam APBN).
Akan tetapi bagaimana dengan kegiatan perencanaan dan pengembangan pegawai yang dilakukan
daerah? Adanya kebijakan otonomi yang diikuti dengan kebijakan pelimpahan pegawai instansi
vertikal menjadi pegawai perangkat daerah maka berdampak pada perubahan pada kegiatan
39
perencanaan dan pengembangan pegawai. Pegawai yang diterima otomatis perlu dikembangkan
kompetensinya dan memerlukan dana APBD. Dimasa yang akan datang diharapkan kegiatan
perencanaan kebutuhan dan pengembangan pegawai daerah selalu memperhatikan pada
kemampuan keuangan dan beban kerja dan kebutuhan organisasi. Inilah yang diharapkan dapat
dihasilkan dalam kajian ini, yaitu dirumuskannya langkah strategis dan solusi dalam perencanaan
kebutuhan dan pengembangan pegawai sehingga APBD dapat dimanfaatkan secara efektif dan
efisien dan jumlah pegawai sesuai dengan beban kerja dan kebutuhan organisasi.
40
4
Deskripsi & Analisis Data
Lapangan
41
Tabel 4.1
Daftar Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Utara
No Kabupaten/Kota Kecamatan Desa/Kelurahan
1. Kabupaten Bolaang Mongondow 26 275
2. Kabupaten Kepulauan Sangihe 17 177
3. Kabupaten Kepulauan Talaud 8 77
4. Kabupaten Minahasa 18 188
5. Kabupaten Minahasa Selatan 15 195
6. Kabupaten Minahasa Utara 8 111
7. Kota Manado 9 87
8. Kota Tomohon 3 34
9. Kota Bitung 5 60
Sumber Data : Provinsi Sulawesi Utara dalam Angka Tahun 2004
Tabel 4.2
Data Kepegawaian dan Keuangan Provinsi Sulawesi Utara
Tahun 2000 - 2006
No Tahun Jumlah Peg. APBD Belanja Peg. Pengemb. Peg.
1. 2000 - 177.831.657.508 41.406.294.045 -
2. 2001 6.496 314.957.915.577 172.481.192.310 5.463.715.456
3. 2002 6.408 452.620.231.327 118.075.220.803 5.141.042.962
4. 2003 6.337 422.255.626.618 104.457.193.633 10.710.715.462
5. 2004 5.867 421.726.388.349 111.529.741.190 10.213.757.294
6. 2005 6.073 487.625.043.439 105.599.682.568 11.327.880.917
7. 2006 5.738 - - -
Sumber Data : BKD Prov Sulut dan Biro Keuangan Prov Sulut
Selanjutnya data tersebut disajikan dalam bentuk Diagram Batang dan Grafik Garis
sebagaimana terlihat dibawah ini.
42
Diagram 4.3
Data Jumlah Pegawai Provinsi Sulawesi Utara
Tahun 2001-2006
6.600
Jumlah Pegawai
6.400
6.200
6.000
5.800
5.600
5.400
5.200
s
01
02
03
04
05
De
20
20
20
20
20
06
20
Tahun
43
Grafik 4.4
Data APBD Provinsi Sulawesi Utara
Tahun 2000-2005
600.000.000.000
500.000.000.000
Jumlah APBD
400.000.000.000
300.000.000.000
200.000.000.000
100.000.000.000
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005Des
Tahun
Grafik 4.5
Data Belanja Pegawai Provinsi Sulawesi Utara
Tahun 2000-2005
200.000.000.000
180.000.000.000
Jumlah Belanja Pegawai
160.000.000.000
140.000.000.000
120.000.000.000
100.000.000.000
80.000.000.000
60.000.000.000
40.000.000.000
20.000.000.000
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005Des
Tahun
44
terjadi peningkatan yang cukup tinggi, yaitu sebesar 75,99% atau terjadi penambahan beban
sebesar Rp 131.074.898.265,-.
Penambahan beban belanja pegawai yang cukup besar tersebut terjadi pada saat jumlah
pegawai sebanyak 6.496 orang. Hal yang menarik adalah pada tahun berikutnya, yaitu tahun
2002 terjadi penurunan jumlah pegawai sebanyak 88 orang atau sebesar 1,37% tetapi beban
belanja pegawai pada tahun 2002 tersebut mengalami penurunan yang sangat tajam, yaitu
sebesar 46,08%. Secara rata-rata, beban belanja pegawai selama periode 2001 sampai dengan
2005 terjadi penurunan sebesar 14,6% sejalan dengan jumlah pegawai yang juga mengalami
penurunan 2,59% selama periode 2001 sampai dengan 2006. Apabila dicermati, maka terlihat
bahwa ada kesesuaian antara data jumlah pegawai dan beban belanja pegawai, dimana jumlah
pegawai meningkat maka bebannya juga bertambah dan apabila jumlah pegawai menurun
maka bebannya juga berkurang.
Diagram 4.6
Rasio APBD dengan Beban Belanja Pegawai Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2000-2005
500.000.000.000
APBD dan Belanja
450.000.000.000
400.000.000.000
350.000.000.000
Pegawai
300.000.000.000
250.000.000.000
200.000.000.000
150.000.000.000 Series1
100.000.000.000 Series2
50.000.000.000
0
s
00
01
02
03
04
De
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
45
(3) Perencanaan dan Pengembangan Pegawai di Provinsi Sulawesi Utara
Perencanaan kebutuhan pegawai pada dasarnya dilakukan setiap tahun, tetapi saat ini
Provinsi tidak menerima pegawai dari umum karena memanfaatkan pegawai honda yang
diangkat menjadi PNS dengan menyesuaikan formasi yang ada dan sisanya menunggu sampai
tahun 2009. Dalam perencanaan kebutuhan pegawai ada keterlibatan Kementerian PAN,
BKN dan Departemen Dalam Negeri karena Provinsi meminta formasi dari instansi tersebut
dan merekalah yang memutuskan berapa yang disetujui.
Perencanaan dan penetapan formasi pegawai baik di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota dibuat
dan direkap oleh BKD Provinsi berdasarkan formulir yang telah disampaikan oleh
pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota yang selanjutnya disampaikan kepada Kementerian
PAN. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam perencanaan kebutuhan pegawai adalah tidak
adanya kesesuaian antara formasi yang diajukan oleh pemerintah Provinsi termasuk dari
Kabupaten/Kota dengan formasi yang ditetapkan Kementerian PAN. Untuk mengantisipasi
hal tersebut, kedepan Pemerintah Provinsi akan meminta kebutuhan formasi terlebih dahulu
ke Kementerian PAN baru meminta formasi ke dinas-dinas. Saat ini pemenuhan kebutuhan
pegawai tidak sesuai dengan formasi yang disetujui oleh Kementerian PAN.
Anggaran pengembangan pegawai di Provinsi Sulawesi Utara khususnya untuk mengikuti
pendidikan formal S1, S2 dan S3, maupun untuk diklatpim dan diklat teknis lainnya
dirasakan masih kekurangan dana. Kondisi ini disebabkan karena ketidak-mampuan para
pengambil kebijakan di bidang keuangan (khususnya di Biro Kepegawaian) dalam
merencanakan kebutuhan pengembangan pegawai. Hal ini disebabkan karena ada bidang
atau sektor lain yang mengambil anggaran tidak sesuai kebutuhan sehingga bidang
pengembangan kepegawaian tidak mendapat jatah anggaran yang memadai.
Dalam data belanja pengembangan pegawai di Provinsi Sulawesi Utara untuk periode tahun
2001 sampai 2005 terlihat adanya penambahan rata-rata sebesar 12,67%. Sementara apabila
dilihat pertahun, terjadi penurunan pada tahun 2002 sebesar 6,28% dan tahun 2004 sebesar
4,87%. Kenaikan beban pengembangan pegawai yang tinggi terjadi pada tahun 2003, yaitu
sebesar 52% atau ada penambahan beban pengembangan pegawai sebesar Rp 5.569.672.500,-.
Pada tahun ini, pimpinan daerah mulai memprioritaskan pengiriman pegawai untuk
mengembangkan kompetensinya dengan mengikuti pendidikan formal khususnya S2 ke
berbagai perguruan tinggi. Pegawai inilah yang dipersiapkan (dikader) untuk menduduki
berbagai jabatan strategis di masa mendatang. Dari data beban pengembangan pegawai
tersebut terlihat adanya peningkatan yang cukup besar, tetapi rasionya terhadap APBD masih
sangat kecil, rata-rata hanya 2,03%. KOndisi ini menguatkan informasi bahwa anggaran
pengembangan pegawai di Provinsi Sulawesi Utara memang masih sangat kurang.
Dari jumlah pegawai yang ada - yaitu sebanyak 5738 orang - kalau dipertimbangkan beban
kerja yang ada dengan jumlah pegawainya, memang tidak seimbang. Masalah yang ada
sebenarnya dalam distribusi pegawai, ada unit yang kelebihan pegawai tetapi dilain pihak ada
unit yang kekurangan pegawai. Kondisi ini disebabkan karena rekrutmen pegawai yang
46
dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan riil, sehingga banyak tugas-tugas yang tidak dapat
diselesaikan oleh pegawai yang ada.
Pada dasarnya perencanaan kebutuhan pegawai yang dilaksanakan saat ini sudah sesuai
dengan jurusan, jabatan dan kualifikasinya, misalnya kalau yang dibutuhkan ahli tambang,
harus mempunyai latar belakang pendidikan pertambangan. Tetapi pada saat disetujui oleh
pusat, kualifikasi tersebut berubah. Memang harus diakui bahwa di Provinsi Sulawesi Utara,
PNS merupakan pekerjaan yang masih menjadi favorit dan kadangkala banyak kepentingan
politis yang bermain. Akan tetapi seharusnya pengadaan pegawai bukan sekedar memberikan
lapangan kerja kepada masyarakat, tetapi harus tetap disesuaikan dengan kebutuhannya.
Kondisi yang terjadi di Kabupaten/Kota saat ini banyak penerimaan pegawai tetapi
kualifikasinya tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Seharusnya tidak perlu dilakukan
rekrutmen tetapi cukup dengan mendayagunakan tenaga honor yang sudah diangkat menjadi
PNS saja sesuai kebutuhan organisasi.
Anggaran untuk kegiatan diklat fungsional dan struktural di Provinsi mengikuti kebutuhan
dari masing-masing dinas yang menganggarkan untuk kegiatan diklat tersebut. Ada usulan,
sebaiknya anggaran untuk diklat dipusatkan saja di BKD Provinsi, tetapi kalau dikumpulkan
menjadi satu pos dalam APBD akan kelihatan anggaran diklat sangat besar, kondisi ini akan
mendorong DPRD untuk melakukan pengurangan anggaran diklat. Sehingga untuk
menyiasatinya anggaran diklat tetap disebar pada masing-masing dinas.
Dengan adanya keterbatasan dana tersebut, kegiatan pengembangan pegawai di Provinsi
Sulawesi Utara masih terbatas. Misalnya dengan mengikutsertakan pegawai dalam kursus
atau diklat teknis sedangkan untuk pendidikan S2 tahun ini belum dapat dipenuhi. Untuk
seleksi seperti fit and proper test tetap dilaksanakan dengan meminta bantuan Sekda. Untuk
mutasi pegawai dengan memperhatikan latar belakang pendidikan, penjenjangan dan
keahlian pegawai dan tidak ada ketentuan waktu untuk melakukan mutasi pegawai karena
apabila ada pegawai yang kinerjanya menurun/jelek mereka langsung dimutasikan, kecuali
untuk non job, akan dilaksanakan apabila pegawai tersebut melakukan kesalahan besar,
misalnya korupsi.
a. Kota Manado
47
Jumlah penduduk Kota Manado sebanyak 410.870 jiwa (2003) dengan luas wilayah kurang
lebih 159,0215 km² sehingga tingkat kepadatan rata-ratanya adalah 2.584 jiwa/km².
Sementara batas wilayahnya : sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Wuri (Kabupaten
Minahasa), sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Dimembe, sebelah Selatan
berbatasan dengan Kecamatan Pineleng dan sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Manado
dan Laut Sulawesi. Wilayah pemerintahan Kota Manado terbagi atas sembilan (9) Kecamatan
dan delapan puluh tujuh (87) kelurahan/desa. Sembilan Kecamatan tersebut adalah
Kecamatan Malalayang, Kecamatan Sario, Kecamatan Wanea, Kecamatan Wenang,
Kecamatan Tikala, Kecamatan Mapanget, Kecamatan Singkil, Kecamatan Tuminting dan
Kecamatan Bunaken.
Sektor yang memberikan sumbangan terbesar dalam pendapatan masyarakat (PDRB atau
Produk Domestik Regional Bruto) Kota Manado adalah dari sektor jasa yang memberikan
sumbangan sebesar 27,17%, sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan sumbangan
sebesar 22,98% dan sektor angkutan dan komunikasi sebesar 20,04%.
Data pegawai di Kota Manado menurut golongan sebagai berikut :
Tabel 4.7
Data Pegawai menurut Golongan di Kota Manado
Tahun 2005
No. Golongan Jumlah
1. I 99 orang
2. II 1.341 orang
3. III 5.192 orang
4. IV 1.632 orang
Jumlah 8.264 orang
Sumber Data : BKD Kota Manado
Jumlah PNS Kota Manado pada tahun 2005 tercatat sebanyak 8.264 orang. Sementara apabila
dilihat persebarannya didalam golongan tersebut, paling besar ada di golongan III/d, yaitu
sebanyak 1.637 orang, kemudian golongan III/c sebanyak 1.244 orang, golongan III/a
sebanyak 1.191 orang dan golongan III/b sebanyak 1.120 orang.
Pegawai golongan III merupakan mayoritas pegawai di Kota Manado, yaitu sebesar 63%.
Sementara golongan II sebanyak 16%, golongan IV sebesar 20% dan golongan I yang paling
sedikit, yaitu sebesar 1%. Pegawai golongan III yang merupakan pegawai golongan menengah
dengan pendidikan minimal sarjana (S1) atau kalaupun masih SLTA atau D3 mereka
mempunyai pengalaman kerja yang sudah cukup lama, maka dapat dikatakan Kota Manado
didukung oleh pegawai yang mayoritas cukup handal dilihat dari kemampuannya.
48
(2) Kondisi Kepegawaian dan Keuangan di Kota Manado
Berikut disajikan Tabel Data Kepegawaian dan Keuangan di Kota Manado :
Tabel 4.8
Data Kepegawaian dan Keuangan di Kota Manado
Tahun 1999-2005
No Tahun Jumlah Peg. Jumlah Angg. Pembiayaan
1. 1999 4.630 Rp 26.222.095.000
2. 2000 4.842 Rp 39.515.550.000
3. 2001 6.993 Rp 85.927.469.100
4. 2002 8.210 Rp 108.005.102.800
5. 2003 8.538 Rp 149.819.754.974
6. 2004 8.691 Rp 165.382.680.627
7. Okt 2005 8.264 Rp 158.282.665.965
Sumber Data : BKD Kota Manado dan Bag. Keuangan Kota Manado
Pada periode tahun 2000 sampai dengan 2001 terjadi kenaikan jumlah pegawai yang cukup
besar di Kota Manado, yaitu sebesar 30,76% atau sebanyak 2.151 orang. Demikian juga untuk
beban pembiayaan pegawai dalam APBD juga mengalami kenaikan yang cukup besar pada
tahun 2000-2001, yaitu sebesar 54,01%. Menurut penjelasan dari BKD Kota Manado,
kenaikan ini merupakan dampak dari pelaksanaan kebijakan otonomi, pada saat terjadi
pelimpahan pegawai.
49
Diagram 4.9
Data Jumlah Pegawai di Kota Manado
Tahun 1998-2005
9.000
8.000
7.000
Jumlah Pegawai
6.000
5.000
4.000
3.000
2.000
1.000
0
1999 2000 2001 2002 2003 2004 Okt-05
Tahun
51
Grafik 4.10
Data Beban Belanja Pegawai Kota Manado
Tahun 1999-2005
180.000.000.000
160.000.000.000
140.000.000.000
100.000.000.000
80.000.000.000
60.000.000.000
40.000.000.000
20.000.000.000
0
1999 2000 2001 2002 2003 2004 Okt-05
Tahun
52
berapa pegawai yang memasuki batas usia pensiun (BUP) dan sudah pensiun, pegawai yang
mengalami kenaikan pangkat dan golongan, pegawai yang berhenti atau keluar, pegawai yang
dimutasi (perbantuan, penarikan kembali, pengalihan, pindah dan lain-lain) dan perubahan-
perubahan lain yang dapat mengubah posisi atau kedudukan seorang pegawai. Data-data
tersebut selanjutnya dianalisis oleh BKD dan dilakukan bezetting atau penataan pegawai, dari
hasil bezetting tersebut kemudian ditetapkan berapa kebutuhan formasi pegawai yang
diperlukan, bisa melalui rekrutmen, mutasi atau promosi. Data-data tersebut diperoleh
dengan melibatkan seluruh unit kerja yang ada di Pemerintah Kota Manado yang mencakup
unit terkecil (tingkat desa/kelurahan) sehingga dapat diperoleh gambaran riilnya.
Informasi berikut ini merupakan contoh perencanaan kebutuhan pegawai pada tahun 2005.
Setelah dilakukan analisis dari data yang diperoleh dari unit-unit kerja diperoleh data jumlah
pegawai existing pada tahun 2004 adalah sebanyak 8.691 orang yang tersebar di 29 unit kerja,
baik di Sekretariat Daerah, Dinas, Badan sampai Kecamatan dan Desa/Kelurahan. Dari analisis
beban kerja yang dilakukan dengan melibatkan unit-unit terkait, disimpulkan bahwa
kebutuhan pegawai pada tahun 2005 diperkirakan sebanyak 9.535 orang.
Dalam perhitungan formasi kebutuhan pegawai tersebut sudah mencakup kategori
pendidikan, jurusan dan golongan/ruang dari pegawai yang dibutuhkan. Dari perhitungan
yang dilakukan ditemukan masih ada kekurangan pegawai sebanyak 1.034 orang, kekurangan
pegawai ini mencakup pegawai untuk jabatan struktural, jabatan fungsional maupun staf
dengan rincian sebagai berikut : kekurangan pejabat struktural untuk eselon III sebanyak 15
orang dan eselon IV sebanyak 421 orang sehingga secara keseluruhan dibutuhkan 436 orang;
kekurangan tenaga kependidikan atau guru dan penjaga SD sebanyak 155 orang dengan
rincian : guru TK sebanyak 34 orang, guru SD sebanyak 40 orang, guru SLTP sebanyak 40
orang, guru SLTA sebanyak 25 orang dan penjaga SD sebanyak 16 orang; kekurangan tenaga
kesehatan sebanyak 38 orang dengan rincian : tenaga medis sebanyak 4 orang, tenaga para
medis sebanyak 32 orang dan tenaga farmasi sebanyak 2 orang; dan kekurangan tenaga teknis
sebanyak 465 orang. Dari kekurangan pegawai sebanyak 1.034 orang tersebut sebanyak 658
orang diusulkan sebagai formasi CPNS Kota Manado untuk tahun 2005. Sementara sejumlah
436 orang diisi melalui promosi atau mutasi pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Manado.
Permasalahan yang muncul dalam perencanaan kebutuhan pegawai adalah belum adanya
instrumen yang jelas dalam menghitung beban kerja organisasi untuk mendapatkan
kebutuhan formasi pegawai yang tepat. Selama ini kebutuhan hanya dihitung dengan
perkiraan saja dari beban riil yang ada di suatu unit kerja. Instrumen ini sangat penting agar
perhitungan yang dilakukan benar-benar merepresentasikan kebutuhan riil dari suatu unit
kerja. Sementara itu, dukungan ketersediaan anggaran (APBD) bukan menjadi permasalahan
di Kota Manado, karena selama ini perencanaan kebutuhan pegawai yang maksimal selalu
didukung oleh kemampuan anggaran daerah. Karena formasi yang disusun oleh Pemerintah
Kota Manado seringkali tidak disetujui seluruhnya maka dari segi anggaran tidak ada
53
masalah. Dukungan anggaran (APBD) selalu dialokasikan untuk jumlah pegawai yang
maksimal atau sesuai yang diusulkan.
Permasalahan lain yang muncul adalah untuk promosi pegawai dalam jabatan struktural.
Misalnya, menurut Surat Edaran Menteri PAN, tenaga guru atau pendidik dilarang untuk
dipromosi menjadi pejabat struktural, dampaknya terjadi kekurangan pejabat struktural di
Kota Manado karena pegawai yang lain belum memenuhi syarat jabatan (dari pangkat dan
golongan). Kalau ditilik dari sisi pangkat dan golongan memang guru atau tenaga pendidik
sudah banyak yang tinggi karena mereka adalah tenaga fungsional yang kenaikan pangkatnya
didasarkan pada angka kredit. Akan tetapi dari sisi kemampuan manajerial atau memimpin
mereka masih banyak kelemahan. Kondisi ini menyebabkan di Kota Manado banyak jabatan
struktural yang di-Pjs-kan (pejabat sementara) atau di-Plt-kan (pelaksana tugas).
Selain itu, mekanisme yang disusun oleh Pemerintah Pusat dalam melakukan perencanaan
kebutuhan pegawai saat ini dirasakan sangat bertele-tele. Mekanisme yang ditetapkan saat
ini, setelah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan perencanaan kebutuhan pegawai
dengan berbagai perhitungan sampai tersusun kebutuhan formasi pegawai, selanjutnya
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melaporkan formasi tersebut ke Pemerintah Provinsi,
setelah mendapat paraf atau persetujuan dari Pemerintah Provinsi baru dikirimkan ke
Pemerintah Pusat (BKN atau Kementerian PAN). Pertanyaannya adalah : apa fungsi
Pemerintah Provinsi dalam perencanaan pegawai ini, karena mereka tidak diberi
kewenangan untuk mengubah formasi yang diajukan tersebut. Pemerintah Provinsi hanya
berhak memberikan paraf saja (dalam kapasitas mengetahui) setelah itu Kementerian PAN
yang menentukan jumlah formasi yang disetujui dan ditetapkan. Jumlah formasi inipun tidak
dipahami apa dasar perhitungannya karena kadangkala tidak sesuai kualifikasinya dengan apa
yang diajukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sehingga bukan hanya jumlahnya
yang dikurangi tetapi juga kualifikasinya yang meliputi jenis, tingkat pendidikan dan lainnya
juga berubah. Peran Pemerintah Provinsi dalam perencanaan pegawai sebaiknya dihapus saja
karena hanya menambah urusan administratif, lebih baik Pemerintah Kabupaten/Kota
berhubungan langsung dengan Pemerintah Pusat sehingga lebih sederhana.
Hal ini juga terkait dengan promosi pejabat struktural setingkat eselon II yang
mengharuskan ada konsultasi dengan Pemerintah Provinsi (sesuai amanat Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Sementara tidak disebutkan secara
jelas apa kewenangan Pemerintah Provinsi dalam promosi tersebut.
Mengenai perbedaan dalam melakukan perencanaan pegawai pada saat sebelum atau sesudah
pelaksanaan otonomi, menurut key informant di Kota Manado tidak ada perbedaan yang
mencolok. Artinya secara prosedur tidak ada perbedaan, secara substantif pun tidak ada
perbedaan. Pemerintah Daerah tetap tergantung pada kebijakan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat. Sehingga dapat dikatakan, sudah capai-capai melakukan berbagai
perhitungan kebutuhan formasi pegawai tetapi tetap saja yang dilaksanakan adalah keputusan
dari Pusat. Bahkan ada kesan, sistem yang dibangun oleh Pemerintah Pusat dalam melakukan
54
perencanaan kebutuhan pegawai, kemudian rekrutmen dan seleksi yang dilakukan belum
terbangun dengan baik. Contohnya pada tahun 2004 pernah terjadi salah pengisian formasi
pada saat rekrutmen dilakukan oleh Pemerintah Provinsi. Pemerintah Kota Manado tidak
pernah membutuhkan tenaga pawang gajah, tetapi di komputer bisa muncul formasi pawang
gajah. Akhirnya formasi itu tetap disahkan, solusinya dengan menerbitkan SK yang dilakukan
oleh Pemerintah Kota Manado tetapi penempatannya di daerah yang membutuhkan.
Perbedaan lainnya yang cukup mencolok adalah dari sisi jumlah, pada masa sebelum otonomi
jumlah pegawai yang direkrut bisa lebih banyak sementara pada masa setelah otonomi jumlah
pegawai yang direkrut lebih sedikit karena sudah ada pegawai pelimpahan.
Komitmen dari pejabat di Kota Manado dalam melakukan pengembangan pegawai sangat
tinggi. Komitmen ini selain datang dari para pejabat ternyata juga terbangun di dalam diri
para pegawai sendiri yang ingin mengembangkan kemampuannya. Hal ini terlihat dari
banyaknya pegawai yang berminat untuk mendaftar setiap kali ada kesempatan untuk
mengikuti pendidikan, baik berupa pendidikan formal maupun pelatihan teknis atau
fungsional. Bisa dikatakan setiap ada peluang untuk mengembangkan kemampuan selalu
banyak peminatnya. Akan tetapi karena adanya berbagai keterbatasan (teknis maupun
administrasi atau lainnya) sehingga tidak semua pegawai bisa diakomodasi keinginannya atau
diikutsertakan dalam program pengembangan tersebut. Keterbatasan tersebut, misalnya
karena dana yang terbatas, jumlah pegawai yang sesuai dengan program yang ditawarkan
sangat terbatas, tidak tepatnya waktu penyelenggaraan diklat dan lain sebagainya.
Pengembangan pegawai di Kota Manado, seperti yang dijelaskan oleh key informant di BKD
Kota Manado pada dasarnya memperhatikan beberapa hal, yang utama adalah adanya minat
atau bakat dari pegawai yang bersangkutan, kemudian prestasi kerjanya selama menjadi
pegawai, tingkat pendidikannya serta perilakunya. Kesesuaian minat dan bakat pegawai
menjadi pertimbangan utama karena apabila seorang pegawai dikembangkan tetapi tidak
sesuai dengan minat atau bakatnya diyakini tidak akan bisa meningkatkan kinerjanya secara
optimal. Kemudian perlu juga diperhatikan prestasi kerja dan perilakunya, apakah selama ini
dia menunjukkan kinerja yang baik atau biasa-biasa saja atau justeru kinerjanya kurang.
Apabila kinerjanya kurang baik harus dilihat juga apa yang menjadi faktor penyebabnya.
Diharapkan dengan diikutsertakan dalam program pengembangan pegawai maka kinerjanya
akan meningkat. Selain itu juga dilihat bagaimana perilakunya di dalam melaksanakan tugas
kewajibannya. Perilaku pegawai diamati dengan melihat bagaimana tanggung jawab dalam
melaksanakan tugas, hubungan dengan atasan, rekan kerja atau bawahannya.
Faktor-faktor yang dijelaskan diatas adalah faktor internal dari pegawai yang menjadi
pertimbangan apabila seorang pegawai akan diikutsertakan dalam program pengembangan
pegawai. Selain faktor internal tersebut, juga perlu diperhatikan faktor eksternal. Misalnya
dengan melakukan analisis beban kerja untuk melihat apa kebutuhan riil dari unit kerja. Apa
spesifikasi pegawai yang mereka butuhkan dan berapa pegawai yang dibutuhkan? Selain itu
juga memperhatikan kondisi riil pegawai yang ada saat ini. Bagaimana spesifikasi pegawai
55
yang ada saat ini? Bagaimana distribusi penyebarannya di masing-masing unit kerja,
bagaimana tingkat kemampuannya, apa pendidikannya, apa keahlian yang dimilikinya dan
lain sebagainya? Dan masalah klasik yang selalu menjadi perhatian adalah kemampuan
anggaran yang diberikan pada tahun tersebut. Apakah anggaran yang disiapkan mencukupi
dan memadai untuk memenuhi semua program pengembangan yang direncanakan?
Secara garis besar disebutkan bahwa anggaran yang diberikan untuk pengembangan pegawai
di Kota Manado memang masih sangat terbatas, akan tetapi kalau dilihat dari nilai
nominalnya dari tahun ke tahun ada peningkatan. Untuk mengatasi keterbatasan anggaran
tersebut, Pemerintah Kota Manado melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga. Beberapa
lembaga yang telah menjalin kerjasama dalam program pengembangan pegawai di Kota
Manado adalah BAPPENAS, Departemen Pekerjaan Umum, Universitas Sam Ratulangi dan
UGM, sementara itu ada juga lembaga dari luar negeri, yaitu USAID, AUSAID dan beberapa
lembaga lain. Pengumuman apabila ada penawaran kerjasama atau beasiswa dari lembaga-
lembaga tersebut selalu diinformasikan secara terbuka kepada semua unit kerja yang ada.
Selain itu untuk pegawai-pegawai yang mempunyai kemampuan untuk membiayai sendiri
pengembangannya diberikan kesempatan seluas-luasnya.
Pengembangan pegawai di Kota Manado yang dilakukan saat ini jauh lebih baik apabila
dibandingkan pada masa lalu karena tidak terlalu berbelit-belit. Pada masa sebelum
diterapkannya kebijakan otonomi daerah, pengembangan pegawai harus selalu berkoordinasi
dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, baik dalam kebijakan maupun anggarannya.
Sehingga Pemerintah Kota Manado sangat tergantung pada Pemerintah Provinsi, misalnya
mengenai program-program pengembangan yang dilaksanakan, persyaratan peserta, siapa saja
yang berhak menjadi peserta, jumlah anggaran yang dialokasikan dan lain sebagainya.
Sehingga Pemerintah Kota Manado tidak bisa mandiri dalam melakukan pengembangan
pegawainya.
Mekanisme yang dilaksanakan dalam melakukan pengembangan pegawai daerah sudah
melibatkan unit kerja terkecil. Hal ini dilakukan agar pengembangan pegawai sesuai dengan
kebutuhan riil unit yang bersangkutan. Sehingga apabila seorang pegawai dikembangkan
kemampuannya begitu kembali ke unitnya atau ke permanent system, kemampuannya dapat
dimanfaatkan secara maksimal.
Kegiatan pengembangan pegawai diawali dengan menyebarkan formulir isian ke setiap unit
yang berisi program-program pengembangan pegawai apa yang mereka butuhkan untuk
tahun depan, selanjutnya permintaan dari unit-unit tersebut dirapatkan bersama untuk
disesuaikan dengan arah kebijakan Pemerintah Kota Manado pada tahun tersebut dan
kemampuan anggaran yang ada. Selanjutnya disusun skala prioritas program pengembangan
pegawai yang akan dilaksanakan. Unit-unit yang terlibat dalam kegiatan ini adalah BKD,
Bagian Organisasi, Bagian Keuangan, Asisten Bidang Aparatur dan Sekretaris Daerah.
Mengenai prioritas program pengembangan pegawai di Kota Manado, lebih diprioritaskan
untuk diklatpim atau diklat struktural. Alasannya karena diklatpim diperlukan atau menjadi
56
syarat utama untuk mengisi jabatan-jabatan struktural yang masih lowong. Sementara pejabat
yang menjabat saat ini banyak yang belum mengikuti diklatpim. Padahal menurut peraturan
yang berlaku (Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah
Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural) dua tahun
setelah diangkat dalam jabatan struktural harus mengikuti diklatpim sesuai jabatan yang
didudukinya.
Sementara itu dari key informant di Kota Manado diperoleh informasi bahwa pola karier
pegawai belum ada. Misalnya para pejabat yang melanjutkan pendidikan dengan sistem tugas
belajar, maka sesuai peraturan yang berlaku untuk pendidikan lebih dari 6 bulan mereka
diharuskan melepaskan jabatan. Yang menjadi masalah setelah mereka menyelesaikan
pendidikan, mereka tidak langsung bisa menduduki jabatan mereka kembali meskipun
jabatan tersebut masih lowong. Mereka diposisikan sebagai pelaksana tugas (Plt) dan posisi ini
sangat tidak mengenakkan. Karena disatu sisi tanggung jawab dan beban kerjanya sama
dengan pejabat struktural tetapi mereka tidak mendapatkan haknya sebagai pejabat
struktural, yaitu uang tunjangan. Untuk bisa diangkat kembali mereka harus menunggu
kurang lebih 2 sampai 3 tahun untuk benar-benar bisa menjabat. Demikian pula halnya
untuk pegawai biasa juga belum ada pola karier yang jelas. Sehingga setelah menempuh
pendidikan dan membawa gelar S1 atau S2 dan kembali ke permanent system tidak ada
perubahan yang signifikan. Kondisi ini seringkali menimbulkan kejenuhan dan
ketidakpastian yang berdampak menurunnya kinerja pegawai yang mempunyai potensi bagus
tersebut.
57
Pada tahun 2005 jumlah PNS di Kabupaten Minahasa Selatan berjumlah 5.303 orang yang
terdiri 3.836 PNS di bidang pendidikan dan 1.467 orang di bidang lainnya (kesehatan,
pertanian, sekretariat dan lain-lain).
Tabel 4.11
Data Keuangan di Kabupaten Minahasa Selatan
Tahun 2004-2006
Tahun PAD APBD Kontribusi PAD
2004 2.063.150.000 150.845.086.033 1,37 %
2005 3.207.605.000 185.676.760.700 1,73%
2006 4.605.000.000 327.053.000.000 1,41%
Sumber Data : Bagian Keuangan Kab. Minahasa Selatan
Selanjutnya data tersebut disajikan dalam bentuk Diagram Batang, berikut ini :
Diagram 4.12
Data APBD di Kabupaten Minahasa Selatan
Tahun 2004-2006
5.000.000.000
4.500.000.000
4.000.000.000
Jumlah PAD
3.500.000.000
3.000.000.000
2.500.000.000
2.000.000.000
1.500.000.000
1.000.000.000
500.000.000
0
2004 2005 2006Des
Tahun
58
Pada tahun 2004-2005 peningkatan PAD mencapai 35,68% atau sebesar Rp 1.144.455.000,-
dan pada tahun berikutnya meningkat 30,35% atau Rp 1.397.395.000,-. Kondisi ini
menunjukkan bahwa peningkatan PAD memberikan kontribusi positif dalam peningkatan
APBD. Selama periode tiga tahun tersebut kontribusi PAD terhadap APBD yang tertinggi
terjadi pada tahun 2005, yaitu sebesar 1,73% sementara tahun 2004 sebesar 1,37% dan tahun
2006 sebesar 1,41%.
59
Diagram 4.13
Data PAD di Kabupaten Minahasa Selatan
Tahun 2004-2006
350.000.000.000
300.000.000.000
Jumlah APBD
250.000.000.000
200.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
0
2004 2005 2006Des
Tahun
61
Pembiayaan tenaga honorer juga telah dirancang pada saat awal proses rekruitmen dan
pembiayaannya juga dibebankan pada saat penyusunan APBD. Pelaksanaan rekruimen untuk
tenaga honorer masing-masing diserahkan kepada unit instansi masing-masing sedangkan
BKD tidak ikut terlibat dalam proses seleksi tersebut. Hasil dari proses seleksi honorer
dilaporkan kepada BKD untuk ditindaklanjuti dengan SK masing-masing kepala Dinas atau
Kantor kemudian dilaporkan kepada Bupati.
Jumlah pegawai pada saat sekarang ini kekurangan tenaga guru sekitar 2000 orang sedangkan
untuk keperluan pegawai selain guru harus dianalisis berdasarkan analisis jabatan.
Perencanaan pegawai baik yang diklat maupun non-diklat harus seiring dan sejalan sesuai
dengan kebutuhan organisasi sehingga tidak ada mana yang harus didahulukan serta yang
tidak, sehingga dalam perencanaan pegawai berdasarkan kebutuhan organisasi. Program
pengembangan pegawai dititikberatkan pada aspek pendidikan dan pelatihan untuk bidang
kepemimpinan dan teknis fungsional.
62
Tabel 4.14
Data Kepegawaian dan Keuangan Prov. Kalimantan Barat
Tahun 1998-2005
No. Tahun Jumlah Peg. Jumlah Angg Pembiayaan
1. 1998 2.141 Rp 17.628.840.232
2. 1999 3.280 Rp 35.766.897.000
3. 2000 4.348 Rp 45.027.215.476
4. 2001 6.619 Rp 119.790.263.500
5. 2002 6.026 Rp 117.449.384.180
6. 2003 5.960 Rp 134.416.644.368
7. 2004 5.710 Rp 193.851.743.592
8. 2005 5.702 Rp 250.294.751.250
Sumber Data : BKD Provinsi Kalimantan Barat
Pada periode tahun 1998 sampai 2001 terjadi kenaikan jumlah pegawai yang cukup besar,
yaitu pada tahun 1998 sampai 1999 kenaikannya sebesar 34,7% atau sebanyak 1.139 orang,
tahun 1999 sampai 2000 kenaikannya sebesar 24,6% atau sebanyak 1.068 orang dan tahun
2000 sampai 2001 kenaikannya sebesar 34,3% atau sebanyak 2.271 orang. Sementara pada
tahun 2001 sampai 2005 terjadi penurunan jumlah pegawai, yaitu pada tahun 2001 sampai
2002 terjadi penurunan sebesar 9,8% atau sebanyak 593 orang, tahun 2002 sampai 2003
terjadi penurunan 2,1% atau sebanyak 124 orang sementara pada tahun 2003 sampai 2004 ada
penambahan pegawai sebesar 0,97% atau sebanyak 58 orang dan pada tahun 2004 sampai
2005 terjadi penurunan jumlah pegawai lagi, yaitu sebesar 4,4% atau sebanyak 250 orang.
Apabila dicermati maka terlihat ada perubahan-perubahan yang cukup variatif di Provinsi
Kalimantan Barat, baik berupa penambahan maupun pengurangan jumlah pegawai akan
tetapi mempunyai kecenderungan jumlah pegawai tersebut selalu meningkat.
63
Diagram 4.15
Data Jumlah Pegawai Provinsi Kalimantan Barat
Tahun 1998-2005
7.000
6.000
Jumlah Pegawai
5.000
4.000
3.000
2.000
1.000
5
98
99
00
01
02
03
04
-0
19
19
20
20
20
20
20
kt
O
Tahun
64
Grafik 4.16
Data Beban Belanja Pegawai di Prov. Kalimantan Barat
Tahun 1998-2005
300.000.000.000
250.000.000.000
Beban Pembiayaan
200.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
-
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Okt-05
Tahun
65
organisasi yang terkait. Perhitungan beban kerja riil yang dimiliki oleh masing-masing unit
kerja dan pegawai yang dimiliki saat ini menjadi landasan utama dalam menentukan
kebutuhan pegawai. Selain itu juga mempertimbangkan beban kerja dimasa depan dengan
melihat visi, misi dan tugas pokok yang diemban serta tanggung jawab yang diberikan oleh
Pimpinan Daerah dalam tahun berjalan, biasanya ini terkait dengan visi, misi dari Kepala
Daerah.
Setelah ditemukan jumlah kebutuhan pegawai, draft tersebut dikembalikan ke masing-
masing unit kerja untuk diverifikasi, apakah sudah sesuai dengan kebutuhannya, baik dari
aspek jumlah (kuantitas) maupun kualifikasinya sehingga perencanaan kebutuhan pegawai
yang diajukan benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Pada kegiatan ini, unit kerja bisa
mengajukan penambahan atau pengurangan jumlah atau penyesuaian kualifikasi (tingkat
pendidikan, latar belakang pendidikan) pegawai yang diajukan. Penyesuaian ini didasarkan
pada beban kerja masing-masing dengan melibatkan Biro Organisasi karena memang yang
menguasai. Setelah disetujui, draft diajukan ke Biro Keuangan untuk dihitung kebutuhan
anggaran pembiayaannya. Inilah yang paling rumit karena masing-masing pangkat, golongan
pegawai akan beda gajinya. Baru setelah data ini fix, diajukan ke Pemerintah Pusat
(Kementerian PAN dan BKN).
Mekanisme ini tidak berbeda jauh pada masa sebelum otonomi maupun setelah otonomi.
Karena dampak otonomi lebih dirasakan oleh Kabupaten/Kota, sementara Provinsi tidak
begitu ada dampaknya. Dampak yang terasa hanyalah karena adanya pelimpahan pegawai
dari instansi vertikal. Sebagaimana terlihat dalam data pertumbuhan pegawai, terjadi
kenaikan sebesar 24,6% pada tahun 2000 dan tahun 2001 naik lagi sebesar 34,3%. Jumlah
pegawai yang dilimpahkan pada Pemerintah Daerah Provinsi sebanyak 2.271 orang. Dengan
adanya tambahan pegawai ini, maka harus didistribusikan secara merata di berbagai unit
organisasi yang ada di Provinsi Kalimantan Barat. Setelah terjadi pelimpahan pegawai pada
tahun 2001, pada tahun berikutnya terjadi penurunan jumlah pegawai. Penurunan ini
disebabkan karena adanya pemekaran Kabupaten baru di Kalimantan Barat sehingga secara
otomatis mengurangi jumlah pegawai di Provinsi.
Pertimbangan dalam melakukan perencanaan kebutuhan pegawai di Provinsi Kalimantan
Barat sebagaimana telah dijelaskan didepan meliputi jumlah pegawai existing yang ada di
Provinsi, termasuk didalam perhitungan ini adalah pergerakan pegawai itu sendiri. Misalnya,
pegawai yang masuk usia pensiun (BUP), pegawai yang dimutasi, promosi dan lainnya. Selain
itu juga melihat kebutuhan organisasi terhadap kompetensi atau kemampuan pegawainya.
Dan yang paling utama adalah dukungan dana. Sebagaimana dijelaskan didepan, bahwa
sebelum formasi kebutuhan pegawai diajukan ke Pemerintah Pusat terlebih dahulu dikaji
oleh Biro Keuangan untuk menghitung kebutuhan biayanya. Sehingga dana tetap merupakan
pertimbangan utama.
Permasalahan yang sering dihadapi dalam melakukan perencanaan kebutuhan pegawai
adalah belum adanya instrumen pengukuran beban kerja yang standar secara nasional,
66
sehingga bisa dikatakan pengukuran masih menggunakan instrumen yang dikembangkan
sendiri oleh Biro Organisasi Provinsi Kalimantan Barat. Masalah lainnya adalah pergerakan
atau mobilitas pegawai yang sangat cepat yang meliputi mutasi, promosi, pensiun, naik
pangkat/ golongan dan lain sebagainya. Pergerakan ini apabila tidak dicermati dan dikaji
secara mendalam akan mempengaruhi ketepatan perencanaan kebutuhan pegawai. Data riil
jumlah pegawai yang ada di BKD seringkali tidak cocok dengan data yang ada di Biro
Keuangan. Hal ini terjadi karena BKD lebih sering melakukan update data sementara data di
Biro Keuangan paling tidak di-update setahun sekali sesuai tahun anggaran. Ketidakcocokan
ini berdampak pada anggaran kebutuhan dana untuk pembiayaannya. Di Provinsi
Kalimantan Barat, data jumlah pegawai yang ada di Biro Keuangan lebih banyak daripada
yang ada di BKD karena diambil data maksimalnya, hal ini untuk mengantisipasi jangan
sampai terjadi kekurangan dana untuk membayar kebutuhannya (gaji). Apabila ada sisa dalam
pemanfaatan belanja pegawai atau ada efisiensi maka dimasukkan dalam anggaran sisa lebih
dalam APBD, dan nanti pada saat dilakukan perubahan (APBD Perubahan) sisa tersebut bisa
dimanfaatkan untuk keperluan lainnya.
Komitmen dari pejabat di Provinsi Kalimantan Barat cukup tinggi untuk mengembangkan
kemampuan pegawainya, hal ini terlihat dari terbukanya peluang yang luas bagi pegawai
yang ingin mengembangkan kemampuannya. Baik dengan bantuan dana dari Pemerintah
Daerah, atas biaya sendiri (swadana) atau dengan bekerjasama dengan pihak lain. Arah
pengembangan pegawai di Provinsi Kalimantan Barat diarahkan pada dua hal utama, yaitu
peningkatan kompetensi atau kemampuan pegawai dan peningkatan kepribadian atau
perilaku pegawai. Kedua aspek diharapkan dapat dikembangkan secara bersama dan saling
mendukung karena kedua aspek inilah yang diyakini dapat membentuk pegawai yang handal,
profesional sekaligus berbudi luhur.
Pada dasarnya semua pegawai diberikan kesempatan yang sama untuk mengembangkan
kompetensinya selama ada peluang dan memenuhi persyaratan yang diberikan. Persyaratan
tersebut mencakup persyaratan administratif dan juga kesesuaian dengan tugas pokok di unit
kerjanya. Saat ini ditetapkan adanya TPA (Tes Potensi Akademik) dengan standar dari
Bappenas untuk bisa mendapatkan surat tugas belajar dengan beasiswa dari Pemerintah
Provinsi. Sementara untuk yang ingin mendapatkan ijin belajar diberikan kebebasan selama
tidak mengganggu pelaksanaan tugas pokoknya. Beberapa kerjasama yang sudah dijalin oleh
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dalam rangka pengembangan kemampuan pegawai
adalah dengan beberapa Universitas seperti UGM, Universitas Tanjung Pura atau dengan
instansi Pemerintah seperti Bappenas, Pemerintah Australia (AUSAID), Belanda, New
Zealand dan lain sebagainya. Masing-masing instansi mempunyai persyaratan administratif
yang harus dipenuhi, misalnya dengan melakukan serangkaian tes potensi akademik, tes
TOEFL, psikotest dan lain sebagainya. Kerjasama tersebut selain menambah ruang lingkup
pendidikan, lokasi dan jurusan juga membantu Pemerintah Daerah dalam penyediaan dana
pengembangan pegawai. Tidak bisa dipungkiri bahwa masalah keterbatasan dana seringkali
67
menjadi alasan tidak bagusnya program pengembangan pegawai. Hal ini juga terjadi di
Provinsi Kalimantan Barat sehingga dengan adanya berbagai kerjasama yang sudah dijalin
tersebut akan mengurangi beban anggaran daerah khususnya untuk pengembangan pegawai.
Meskipun diberikan kebebasan yang luas bagi semua pegawai dan pejabat untuk
mengembangkan kemampuannya dengan menempuh pendidikan, akan tetapi pada
praktiknya tetap diberikan rambu-rambu. Rambu ini bermanfaat agar tidak terjadi
kekurangan tenaga karena semuanya ingin menempuh pendidikan, sehingga oleh BKD
ditetapkan setiap pegawai yang ingin mengembangkan kemampuannya harus mendapat ijin
dari atasan langsungnya. Atasan langsung harus melihat bagaimana beban kerja unit kerjanya
apabila ada pegawainya yang “keluar” untuk melanjutkan pendidikannya, apakah akan
mengganggu kinerja unit atau tidak. Apabila sudah ada surat ijin dari atasan langsung maka
BKD akan memprosesnya sesuai prosedur yang berlaku. Demikian juga untuk jurusan yang
akan ditempuh, BKD akan berdiskusi dengan unit kerja yang bersangkutan jurusan apa yang
diperlukan untuk meningkatkan kinerja unit. Hal ini untuk menghindari tidak terpakainya
kemampuan yang diperoleh apabila kembali ke unit kerjanya. Biasanya untuk pemilihan
jurusan ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan pimpinan (Gubernur), yaitu sesuai visi dan
misinya, misalnya apabila untuk penguatan sektor pertanian maka disarankan jurusan-
jurusan yang terkait dengan pertanian yang diambil oleh pegawai yang mengajukan
menempuh pendidikan.
Ada hal menarik yang terjadi di Provinsi Kalimantan Barat pada saat implementasi Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2004 tentang Penataan Organisasi Perangkat Daerah. Dampak
dari implementasi peraturan tersebut, ada penggabungan, penghapusan, pembentukan unit
organisasi baru. Dampaknya dalam kepegawaian adalah terjadi pengurangan 600 jabatan
struktural di lingkungan Provinsi Kalimantan Barat. Hal ini menimbulkan dampak yang
sangat serius karena hilangnya jabatan-jabatan struktural yang artinya banyak pejabat yang
kehilangan jabatannya dan menimbulkan keresahan. Untuk menanggulangi permasalahan
tersebut, BKD memberikan solusi dengan menawarkan jabatan-jabatan fungsional, seperti
widyaiswara, auditor, penyuluh, perencana dan lain sebagainya. Akan tetapi karena
terbatasnya diklat-diklat teknis yang mendukung untuk pelaksanaan tugas jabatan fungsional
tersebut sehingga solusi tersebut masih banyak menghadapi kendala. Selain terbatasnya diklat
teknis yang diselenggarakan, tempat penyelenggaraan yang kebanyakan dilakukan di Pusat
juga menyebabkan banyak yang tidak berminat karena perlu biaya besar untuk
mengikutinya. Tidak adanya informasi yang jelas mengenai jabatan fungsional juga menjadi
kendala untuk pengembangan jabatan fungsional di Provinsi Kalimantan Barat. Tidak adanya
informasi yang jelas menyebabkan munculnya keraguan untuk melamar menjadi pejabat
fungsional. Selain itu rumitnya pengurusan lamaran dan penghitungan angka kredit juga
menjadi kendala yang membuat tidak populernya jabatan fungsional.
Untuk memanfaatkan “mantan” pejabat tersebut, BKD melakukan psikotest dan tes
kompetensi untuk melihat pejabat-pejabat mana yang masih mempunyai kemampuan untuk
68
dimanfaatkan, dan apabila nanti ada lowongan jabatan maka dia akan diprioritaskan
menduduki tentunya dengan berbagai pertimbangan terutama kemampuan. Selain itu
diberikan kesempatan untuk mengajukan pensiun dini, yaitu 2 (dua) tahun sebelum masuk
usia pensiun (BUP) bisa mengajukan pensiun dini.
Hal yang menarik di Provinsi Kalimantan Barat adalah sudah diterbitkannya Surat Keputusan
Gubernur Nomor 462 Tahun 2003 tentang Pola Umum Pengembangan Karier Pegawai
Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Surat Keputusan ini pada
intinya berisi pedoman pengembangan dan pembinaan PNS di Provinsi Kalimantan Barat
yang menggambarkan jalur pengembangan karier serta menunjukkan keterkaitan dan
keserasian antara pendidikan formal, kompetensi, diklat, usia, masa kerja, pangkat, golongan
ruang dan tingkat jabatan seorang PNS sejak pengangkatan pertama sampai dengan pensiun.
Dengan adanya pedoman ini, maka seorang PNS dapat mengetahui dimana dan kemana dia
akan melangkah dengan potensi yang dimilikinya sehingga hal ini dapat meningkatkan
semangat kerja dan motivasi kerja mereka.
Dalam penerapan Surat Keputusan tersebut khususnya untuk pengembangan karier dalam
jabatan struktural, diterbitkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 463 Tahun 2003 tentang
Kriteria Penilaian Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural di
Lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Surat Keputusan ini pada intinya
memuat kriteria atau persyaratan yang harus diperhatikan dalam melakukan promosi
pegawai. Ada dua unsur yang harus diperhatikan, yaitu unsur utama yang terdiri dari : masa
kerja, pangkat, pendidikan formal, hasil penilaian DP3, kompetensi jabatan, dan kesehatan,
dan unsur penunjang yang terdiri dari : senioritas dalam kepangkatan, usia, integritas, disiplin
kerja dan hukuman disiplin. Dengan adanya transparansi kriteria dalam pengangkatan
jabatan struktural ini maka pegawai dapat berkompetisi secara sehat dan dapat melihat
apakah pegawai yang dipromosi berkualitas atau tidak. Memang tidak bisa dipungkiri dalam
promosi ini masih mengutamakan senioritas akan tetapi sudah diperhitungkan kompetensi
yang dimiliki pegawai.
a. Kota Pontianak
69
Kota Pontianak mempunyai luas 107,82 km2 terdiri dari 5 kecamatan dan 24 kelurahan. Kota
Pontianak dilintasi oleh garis Khatulistiwa yaitu pada 0 02‟24” Lintang Utara sampai dengan
0 05‟37” Lintang Selatan dan 109 16‟25” Bujur Timur sampai 109 23‟01” Bujur Timur.
Wilayah Kota Pontianak secara keseluruhan berbatasan dengan wilayah Kabupaten
Pontianak, yaitu : Bagian Utara dengan Kecamatan Siantan; Bagian Selatan dengan
Kecamatan Sungai Raya, Kecamatan Sungai Kakap dan Kecamatan Siantan; Bagian Barat
dengan Kecamatan Sungai Kakap; dan Bagian Timur dengan Kecamatan Sungai Raya dan
Kecamatan Sungai Ambawang.
Mayoritas PNS di Kota Pontianak adalah PNS Golongan III, yaitu sebanyak 61,11% atau
separuh lebih dari keseluruhan PNS di Kota Pontianak. Sementara PNS Golongan I terlihat
paling sedikit, yaitu sebanyak 0,84% atau 56 orang. Kondisi ini menggambarkan bahwa PNS
dengan kualifikasi Golongan II yang mempunyai pendidikan setingkat SD, SLTP sudah
semakin berkurang dan cenderung pada PNS dengan pendidikan menengah (SLTA, D1, D2,
D3 atau bahkan S1). Ini juga menunjukkan bahwa ”kualitas” PNS di Kota Pontianak sudah
cukup bagus apabila dilihat dari tingkat pendidikannya. Berikut disajikan data pegawai Kota
Pontianak menurut tingkat pendidikannya.
Tabel 4.18
Jumlah PNS Kota Pontianak Menurut Pendidikan
Tahun 2006
No Pendidikan Jumlah %
1. SD 153 orang 2,30
2. SLTP 143 orang 2,15
3. SLTA 2.401 orang 36,12
70
4. Diploma I 261 orang 3,93
5. Diploma II 1.153 orang 17,35
6. Diploma III 658 orang 9,90
7. Diploma IV 21 orang 0,32
8. Sarjana S1 1.488 orang 22,39
9. Kependidikan A-IV 298 orang 4,48
10. Kependidikan A-V 0 orang 0
11. Pasca Sarjana S2 71 orang 1,07
12. Doktor S3 0 orang 0
13. Lainnya 0 orang 0
Jumlah Total 6.647 orang 100
Sumber Data : BKD Kota Pontianak
Dari data tersebut, terlihat bahwa pegawai terkonsentrasi pada tingkat pendidikan SLTA, D1,
D2, D3, D4, S1 dan Akta IV, dan mayoritas pegawai di Kota Pontianak mempunyai
pendidikan setingkat SLTA, yaitu sebanyak 36,12% dan sarjana S1 sebanyak 22,39%.
Tabel 4.19
Data Kepegawaian dan Keuangan di Kota Pontianak
Tahun 1998-2005
No Tahun Jumlah APBD Belanja Peg Pengemb Peg
Pegawai
1 1998 - 76.108.418.000 43.497.673.907 236.924.367
2 1999 - 134.839.864.500 61.380.100.213 557.515.650
3 2000 - 129.808.165.524 57.732.614.825 852.487.800
4 2001 - 236.183.848.584 102.793.836.512 1.988.648.759
5 2002 - 287.382.809.042 110.887.699.033 3.863.601.204
6 2003 6.569 329.389.265.700 136.219.796.311 2.787.011.575
7 2004 6.748 323.980.157.088 154.178.276.677 2.406.476.180
8 2005 6.672 333.050.724.763 157.028.530.079 3.737.373.100
Sumber Data : Bagian Keuangan Kota Pontianak
Selanjutnya data tersebut disajikan dalam bentuk Grafik Garis sebagaimana berikut :
71
Grafik 4.20
Data APBD di Kota Pontianak
Tahun 1998-2005
350.000.000.000
300.000.000.000
250.000.000.000
Jumlah
200.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
s
00
01
02
03
04
9
De
99
00
20
20
20
20
20
/1
/2
05
98
99
20
19
19
Tahun
Grafik 4.21
Data Belanja Pegawai di Kota Pontianak
Tahun 1998-2005
180.000.000.000
160.000.000.000
140.000.000.000
Jumlah Belanja
120.000.000.000
100.000.000.000
80.000.000.000
60.000.000.000
40.000.000.000
20.000.000.000
0
s
00
01
02
03
04
99
00
De
20
20
20
20
20
/19
/20
05
98
99
20
19
19
Tahun
72
45.061.221.687. Kenaikan ini juga terjadi terus selama periode tahun berikutnya, yaitu rata-
rata sebesar Rp 16,64% selama lima tahun.
Gambaran tersebut memberikan satu kesimpulan bahwa implementasi kebijakan otonomi
daerah berdampak pada terjadinya peningkatan APBD dan pos belanja pegawai di Kota
Pontianak. Hal ini lebih banyak disebabkan bertambahnya dana alokasi umum (DAU) yang
diberikan oleh Pemerintah Pusat untuk menggaji pegawai limpahan dari instansi vertikal
menjadi pegawai daerah. Dengan adanya pelimpahan pegawai instansi vertikal tersebut
otomatis menambah jumlah biaya yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah untuk
membayar gajinya.
Diagram 4.22
Rasio APBD dengan Belanja Pegawai di Kota Pontianak
Tahun 1998-2005
350.000.000.000
APBD dan Belanja
300.000.000.000
250.000.000.000
Pegawai
200.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
0
00
01
02
03
04
9
s
De
99
00
20
20
20
20
20
/1
/2
05
98
99
20
19
19
Tahun
73
(3) Perencanaan dan Pengembangan Pegawai di Kota Pontianak
Perencanaan kebutuhan dan pengembangan pegawai di Kota Pontianak pada dasarnya belum
sesuai dengan kebutuhan riil yang diperlukan. Antara kebutuhan yang diajukan dengan
formasi yang disetujui berbeda, pegawai yang sudah lulus Diklatpim tetapi belum dipromosi
dalam jabatan struktural.
Koordinasi antara BKD dengan bagian keuangan dilakukan dalam penyusunan anggaran
khususnya antara BKD dengan bagian anggaran, sehingga dalam setiap tahun anggaran sudah
tersusun anggaran untuk pengembangan pegawai. Apabila ada undangan yang mendadak dari
suatu lembaga swasta untuk mengikuti Diklat, pemerintah Kota Pontianak tidak mengijinkan
kecuali yang mengadakan Diklat tersebut adalah Departemen teknis, sehingga dalam
pengiriman pengembangan yang bersifat mendadak harus selektif. Selain untuk
pengembangan, biaya untuk kesejahteraan juga diperhatikan sehingga dalam dua tahun
terakhir (mulai tahun 2003) sudah ada insentif untuk pegawai.
Kesepakatan antara BKD dengan Bapeda diperlukan untuk menentukan program prioritas
yang akan dilaksanakan sesuai dengan RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah). Setiap
pembahasan melibatkan BKD, Keuangan dan Bapeda. Bagian keuangan hanya memberikan
informasi dasar (plafon) untuk setiap kegiatan pengembangan pegawai yang dilakukan setiap
Dinas/instansi dan pembahasan ini dilakukan dalam kegiatan Rakorbang Kota Pontianak.
Usulan-usulan tersebut dapat berasal dari sejumlah tokoh masyarakat, LSM serta unit/instansi
yang terkait dengan kegiatan di BKD. Mekanisme ini setelah disetujui dalam Rakorbang Kota
Pontianak maka akan dibahas dalam persetujuan di tingkat DPRD untuk meminta
persetujuan penggunaan anggaran. Begitu juga evaluasi setiap triwulan (monitoring) terus
dilakukan oleh Bapeda terhadap kegiatan yang telah dicapai oleh BKD atau unit kerja sesuai
dengan Renstra. Begitu juga dalam pelaksanaan rekruitmen kewenangan pelaksanaannya
dilakukan oleh BKD tetapi dalam melakukan pengawasan dilakukan oleh Bapeda mencakup
pencapaian kinerjanya termasuk penggunaan anggarannya.
Sejumlah permasalahan yang ada dalam rekruitmen pegawai sebenarnya masih menganut
pola yang lama. Semua formasi ditentukan oleh pemerintah pusat sehingga alokasi dana yang
berasal dari DAU sebenarnya bisa menerima sejumlah pegawai yang dibutuhkan sesuai
dengan alokasi yang diinginkan oleh pemerintah daerah tetapi karena formasi sudah
ditentukan mau tidak mau formasi tersebut harus diisi oleh Pemda. Alokasi dana untuk
pengembangan pegawai memang setiap tahun dirancang untuk melalui sejumlah diskusi
dengan pihak atau unit-unit yang terkait dengan pengembangan pegawai melalui RKT
(Rencana Kerja Tahunan). Semua yang telah dirancang nantinya akan dibahas oleh Bapeda
untuk selanjutnya diminta persetujuannya di DPRD. Ada sejumlah kegiatan yang mengalami
pengurangan biaya yang tidak melihat prioritas yang diutamakan sehingga seringkali
sejumlah kegiatan yang menurut instansi merupakan prioritas tetapi dicoret oleh DPRD.
Belum adanya sinkronisasi antara Manajemen Sumber Daya Manusia dengan manajemen
keuangan menyebabkan semua pengaturan mengenai sumber daya manusia diputuskan oleh
74
Pusat tanpa melihat kondisi aktual yang ada di pemerintah daerah setempat. Pada saat ini
Provinsi tidak campur tangan dalam menangani sejumlah permasalahan yang terdapat di
lingkungan pemerintah daerah karena peraturan tidak mendukung. Kemungkinan untuk
masa mendatang Provinsi akan campur tangan dalam masalah ini.
Pengembangan pegawai yang dilakukan selama ini tidak dibebankan sepenuhnya dalam
APBD, tetapi dapat bekerja sama dengan pihak lain, baik dari dalam maupun luar negeri.
Seperti misalnya dengan GTZ, AusAid atau donor lainnya.
Sistem penganggaran yang diacu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 58 yang merupakan
pengganti dari Peraturan Pemerintah Nomor 105 tentang sistem penganggaran dan pelaporan
yang masih bernuansa sentralistik. Tetapi dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 58
maka sistem yang sentralistis ini diubah menjadi sistem desentralistis, yaitu masing-masing
unit/instansi diberi kewenangan untuk mengatur keuangannya masing-masing. Masing-
masing unit diberi kewenangan untuk menentukan program anggaran sesuai dengan program
kegiatannya sesuai dengan RKT atau RKPD.
Selanjutnya semua kegiatan tersebut disusun dalam RASK (Rencana Anggaran Satuan Kerja).
RASK ini akan dibawa ke Panitia Aggaran Eksekutif untuk dibahas bersama dengan unit yang
bersangkutan yang akan membahas mengenai kinerja, efisiensi maupun dampak. Hasil dari
pembahasan di panitia anggaran ini akan menghasilkan Penetapan Plafon Anggaran
Sementara (PPAS) yang muncul pada akhir Juni. Sehingga dengan demikian untuk proses
pengembangan pegawai dapat juga dilakukan di unit/instansi masing-masing melalui
penyusunan Rencana Anggaran Satuan Kerja.
Hambatan yang muncul di bidang keuangan dalam menangani kepegawaian antara lain :
pemberian yang sifatnya desentralisasi (dari Departemen teknis) kadang tidak semua
unit/instansi mampu menyusun kegiatan yang dapat menghabiskan anggaran; adanya
perubahan dalam peraturan di bidang keuangan sementara pegawai belum siap sehingga
mengalami kendala dalam memahami aplikasi baru tersebut. Kondisi ini berdampak pada
munculnya masalah dalam penyusunan anggaran kegiatan.
c. Kabupaten Pontianak
75
Penduduk Kabupaten Pontianak berjumlah 709.933 jiwa, terdiri dari laki-laki 362.714 jiwa
(51,09%) dan perempuan 34.219 jiwa (48,91%). Dari jumlah penduduk tersebut Pegawai
Negeri di Kabupaten Pontianak tercatat sebanyak 10.157 orang yang terdiri dari pegawai laki-
laki 6.344 orang (62,46%) dan perempuan 3.813 orang (37,54%).
Tabel 4.23
Data Kepegawaian dan Keuangan Kabupaten Pontianak
Tahun 1998 - 2005
No Tahun Jumlah APBD Belanja Peg. Pengemb.
Peg. Peg
1. 1998 2.030 94.049.942.331 35.669.536.849 657.000.000
2. 1999 1.850 111.737.783.343 50.740.900.746 815.000.000
3. 2000 1.779 124.436.319.445 55.561.931.107 258.182.500
4. 2001 2.560 192.894.460.946 125.781.543.238 108.500.000
5. 2002 2.552 220.670.736.130 133.584.408.901 1.720.145.000
6. 2003 8.981 303.572.139.328 172.067.534.151 3.761.473.400
7. 2004 - 310.863.535.100 196.880.718.461 3.282.192.000
8. 2005 - 348.070.305.682 201.890.899.188 2.071.280.000
Sumber Data : BPKD Kabupaten Pontianak
Pertambahan pegawai tertinggi terjadi pada 2002-2003, yaitu sebesar 71,58% yang bertambah
sebanyak 6.429 orang. Selain itu, pertambahan yang cukup besar juga terjadi pada tahun
2000-2001, yaitu sebesar 30,51% yang bertambah sebanyak 781 orang. Pada tahun 2001
terjadi pelimpahan pegawai dari instansi vertikal, dan pada tahun 2003 terjadi lagi
pelimpahan pegawai, khususnya tenaga guru yang jumlahnya cukup besar, yaitu 6.429 orang.
76
Diagram 4.24
Data Jumlah Pegawai di Kabupaten Pontianak
Tahun 1998 - 2003
9.000
8.000
7.000
Jumlah Pegawai
6.000
5.000
4.000
3.000
2.000
1.000
0
s
98
99
00
01
02
De
19
19
20
20
20
03
20
Tahun
77
Grafik 4.25
Data APBD di Kabupaten Pontianak
Tahun 1998 - 2005
400.000.000.000
350.000.000.000
300.000.000.000
Jumlah APBD
250.000.000.000
200.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
0
s
98
99
00
01
02
04
De
De
19
19
20
20
20
20
03
05
20
20
Tahun
Grafik 4.26
Data Beban Belanja Pegawai di Kabupaten Pontianak
Tahun 1998 - 2005
250.000.000.000
Jumlah Belanja Pegawai
200.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
0
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
78
pegawai sangat banyak, yaitu 8.981 orang, ternyata dana yang dialokasikan lebih sedikit
daripada yang dikeluarkan pada tahun 2001, yaitu hanya sebesar Rp 38.483.125.250,-.
Hal ini terjadi karena dilakukannya efisiensi anggaran, pada tahun 2001 dilakukan
implementasi kebijakan otonomi daerah yang selain diikuti dengan pelimpahan pegawai juga
ada pelimpahan sarana, prasarana dan anggarannya. Anggaran yang meliputi gaji pegawai
masuk dalam pos DAU yang berdampak pada meningkatnya APBD Kabupaten Pontianak
sebesar 35,49%. Selanjutnya pada tahun 2003 saat terjadi pelimpahan tenaga guru, dilakukan
efisiensi anggaran sehingga meskipun jumlah pegawai bertambah banyak tetapi dari aspek
beban hanya terjadi kenaikan sebesar 27,31%.
Diagram 4.27
Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di Kab Pontianak
Tahun 1998 - 2005
350.000.000.000
APBD dan Beban Belanja
300.000.000.000
250.000.000.000
200.000.000.000
150.000.000.000
Series1
100.000.000.000 Series2
50.000.000.000
0
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
79
(3) Perencanaan dan Pengembangan Pegawai Kab. Pontianak
Proses awal yang terkait dengan formasi, kualifikasi, anggaran dan dasar kebutuhan pegawai,
penerimaan pegawai Kabupaten Pontianak sebelumnya tidak dilakukan secara taat aturan
karena berbagai perubahan organisasi, tetapi setelah tahun 2003 dilakukan analisis jabatan
untuk memetakan daftar kebutuhan organisasi dan kebutuhan kompetensi dan kompetensi
jabatan yang diharapkan. Perencanaan kebutuhan pegawai juga didasarkan pada kebutuhan
organisasi, perubahan organisasi di Kabupaten Pontianak juga masih digodok kurang lebih 1
tahun, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang perampingan organisasi
Pemda. Persyaratan formasi pegawai di Kabupaten Pontianak dilakukan melalui analisis
jabatan, daftar kebutuhan dari masing-masing satuan kerja, dengan cara melakukan
Bimbingan Teknis bagi pimpinan instansi, mengenai analisis kebutuhan pegawai secara
cermat, berapa jumlahnya dan apa saja kualifikasi yang dibutuhkan.
Koordinasi dalam perencanaan pegawai selama ini, BKD Kabupaten Pontianak membuat
daftar kebutuhan pegawai (bezetting) koordinasi dengan DDN, BKN. Dalam hal ini DDN
sebagai pembina kepegawaian untuk seluruh Pemda-Pemda di Indonesia. Pertimbangan-
pertimbangan yang dilakukan oleh Biro Organisasi dan BKD adalah koordinasi level
kebijakan, serta dengan BPKD (Keuangan) untuk melihat alokasi anggaran yang tersedia
dalam rangka proses rekrutmen pegawai.
Masalah yang dihadapi Kabupaten Pontianak dalam proses perencanaan kebutuhan pegawai
antara lain : dalam perencanaan, seringkali realisasi di lapangan tidak sesuai dengan rencana
awal, dalam anggaran, seringkali dibatasi oleh ketersediaan anggaran yang ada, dan seringkali
kebijakan Pusat antara BKN dan Kementerian PAN kurang sinkron dan miskoordinasi, ini
menyulitkan bagi daerah. Permasalahan dalam formasi terkait dengan instansi pusat
(Kementerian PAN dan BKN), daerah sudah mengusulkan formasi secara lengkap termasuk
kualifikasi yang dibutuhkan yang mencakup jumlah, tingkat pendidikan atau pengalaman
tetapi ternyata realisasinya berbeda dengan yang disetujui. Kemudian masalah ketersediaan
anggaran (APBD), yaitu dengan melihat APBD tahun berjalan dan melakukan prediksi untuk
tahun depan. Solusi yang ditempuh dalam proses perencanaan kebutuhan pegawai dilakukan
dengan mencermati permasalahan yang ada, kemudian dilakukan koordinasi lintas instansi
se-Kabupaten Pontianak untuk meminimalisir kesenjangan, setelah itu dikeluarkan kebijakan
Pemda yang diharapkan sebagai solusi atas permasalahan yang muncul.
Pihak yang terlibat dalam perencanaan kebutuhan pegawai adalah pimpinan instansi di
masing-masing satuan kerja yang melakukan perencanaan kebutuhan pegawainya kemudian
diserahkan ke BKD setelah itu dikoordinasikan dengan Asisten Bupati dan Biro Organisasi,
BPKD (Badan Pengelola Keuangan Daerah) dan Biro Hukum untuk didiskusikan, kemudian
baru diusulkan ke Bupati. Keterpaduan antara kebijakan pusat dan daerah dalam hal ini
sering kali kurang sejalan, misalnya antara BKN, Kementerian PAN, Pemerintah Daerah dan
DPRD. Di tingkat Pemerintah Daerah sendiri, dalam menyusun formasi pegawai, BKD
80
melakukan koordinasi dengan Biro Organisasi dan unit organisasi lain yang terkait langsung
dalam penyusunan formasi pegawai di Kabupaten Pontianak.
Kesejahteraan pegawai di Kabupaten Pontianak cukup baik, selain gaji juga diberikan insentif
baik untuk pejabat maupun staf pelaksana. Insentif ini selain berfungsi untuk meningkatkan
kesejahteraan dan motivasi kerja pegawai juga untuk meningkatkan kinerja Pemerintah
Daerah Kabupaten Pontianak secara umum.
Komitmen pengembangan pegawai dari pimpinan di Pemerintah Kabupaten Pontianak
sangat tinggi. Ini terlihat dengan diberikannya kesempatan belajar kepada para pegawai
untuk melanjutkan studinya mulai dari SLTA, Sarjana maupun Pasca Sarjana. Untuk
kesempatan ijin belajar terbuka lebar bagi semua pegawai, khususnya dengan biaya sendiri.
Sementara untuk tugas belajar biasanya diberikan kepada pegawai yang mempunyai potensi
dan jurusannya sesuai atau dibutuhkan oleh organisasi.
Program pengembangan pegawai banyak jenisnya, yaitu tugas/ijin belajar, diklat, bintek,
promosi, mutasi, dan lain sebagainya. Kabupaten Pontianak berupaya memberikan jabatan
sesuai dengan standar kompetensi yang dimiliki pegawai, selama ini memang banyak
penempatan yang tidak sesuai kompetensinya, misalnya Sarjana Teknik ditempatkan di TU
yang berdampak pada menurunnya kinerja pegawai yang bersangkutan. Sehingga
penempatan dimasa mendatang diupayakan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.
Kerjasama dengan pihak lain dalam rangka pengembangan pegawai juga dilakukan oleh BKD
Kabupaten Pontianak misalnya dengan menjalin kerjasama dengan Universitas Terbuka (UT)
untuk meningkatkan kompetensi para guru yang ada di Kabupaten Pontianak; Universitas
Tanjungpura untuk pengembangan kompetensi pegawai sesuai kebutuhan organisasi dan
pegawai, dan dengan universitas yang ada di Pulau Jawa, misalnya UGM dan STIA LAN
dalam rangka pengembangan kompetensi pegawai yang tidak dapat dipenuhi di Pontianak.
Penyelenggaraan Diklat Struktural, Fungsional dan Teknis biasanya disesuaikan dengan
alokasi anggaran yang tersedia, untuk prioritas biasanya pemberian diklat bagi pejabat
struktural baik Diklatpim Tingkat V, IV, III, II dan I. Pertimbangannya adalah untuk mengisi
kekosongan jabatan yang ada di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Pontianak, tapi
untuk prioritas utama adalah bagi yang sudah menduduki jabatan struktural. Sedangkan
untuk Diklat Fungsional, BKD akan menyeleksi kebutuhan diklat yang sangat penting untuk
pengembangan jabatan fungsional di Pontianak. Secara teknis tugas-tugas dibidang
kepegawaian ini dilakukan oleh BKD, dengan koordinasi untuk penyamaan persepsi dari
berbagai pihak.
Program pemicu pengembangan pegawai di BKD diantaranya adalah melalui ujian
penyesuaian ijazah, ternyata banyak pegawai yang berminat melanjutkan pendikannya mulai
dari SLTA, sarjana dan pasca sarjana. Setelah selesai sekolah ijazahnya diserahkan ke BKD
untuk dapat disesuaikan dengan pangkat dan golongannya, dengan persyaratan lulus tes
penyesuaian ijazah. Pengembangan kompetensi bagi pegawai dilakukan dengan berbagai
cara, baik Diklat, pemberian ijin belajar/tugas belajar dan forum-forum ilmiah lainnya yang
81
dapat meningkatkan wawasan pegawai. Yang sering dilakukan BKD adalah mengadakan
Bintek bagi para pejabat yang menangani bidang kepegawaian, untuk menyampaikan
berbagai permasalahan dan daftar kebutuhan, yang akhirnya dijadikan rencana tindakan BKD
untuk rencana kegiatan tahun yang akan datang, misalnya Bintek tentang standar
kompetensi, tentang kinerja, budaya kerja, LAKIP dan lainnya.
Permasalahan mengenai pengembangan pegawai biasanya dari awal perencanaan pegawai,
apabila perencanaan tidak didasarkan pada kebutuhan organisasi, maka proses selanjutnya
pada pengembangan pegawai menemui kendala, setelah terjadi permasalahan yang
disalahkan adalah BKD. Untuk itu dalam pengelolaan kepegawaian harus menggunakan data
yang existing dan benar, sesuai dengan kebutuhan organisasi dan kebutuhan pegawai
sehingga proses pola karirnya dapat berjalan dengan baik.
Permasalahan lain pengembangan pegawai adalah seringkali kebijakan yang diambil tidak
terkait dengan manajemen kepegawaian secara keseluruhan, misalnya butuh pegawai dengan
kualifikasi tertentu, tetapi langkah kebijakannya adalah rekrutmen pegawai baru, mestinya
bisa dilakukan dengan mengembangkan pegawai yang ada untuk tugas belajar dengan jurusan
yang dibutuhkan. Tujuan pengembangan pegawai adalah untuk memenuhi kebutuhan
organisasi sekaligus meningkatkan kompetensi pegawai, sehingga yang diharapkan nantinya
kinerja individu meningkat dan dampak positifnya akan meningkatkan kinerja organisasi
secara keseluruhan.
82
Tanah Toraja. Secara administratif Provinsi Nusa Tenggara Barat beribukota di Kota Mataram
dan terdiri atas 7 (tujuh) Kabupaten dan 2 (dua) Kota, masing-masing 4 (empat)
Kabupaten/Kota berada di Pulau Lombok dan 5 (lima) Kabupaten/Kota berada di Pulau
Sumbawa.
Tabel 4.28
Data Keuangan Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tahun 1998 – 2005
No. Tahun APBD Belanja Peg. Pengemb. Peg
1. 1998 129,983,941,701 22,309,929,600 288,000,000
2. 1999 190,100,758,734 34,093,929,600 662,500,000
3. 2000 267,347,188,748 47,278,739,423 1,067,000,000
4. 2001 348,247,133,743 119,544,673,661 1,931,156,139
5. 2002 382,903,473,317 113,232,609,938 1,893,620,000
6. 2003 459,005,456,705 123,501,693,620 1,898,197,750
7. 2004 476,368,783,701 134,974,147,441 3,856,514,750
8. 2005 581,792,711,662 136,094,387,177 2,987,868,965
Sumber Data : Biro Keuangan Provinsi NTB
83
Grafik 4.29
Data APBD di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tahun 1998 – 2005
700.000.000.000
600.000.000.000
500.000.000.000
Jumlah APBD
400.000.000.000
300.000.000.000
200.000.000.000
100.000.000.000
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
160.000.000.000
140.000.000.000
Jumlah Belanja Pegawai
120.000.000.000
100.000.000.000
80.000.000.000
60.000.000.000
40.000.000.000
20.000.000.000
-
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
600.000.000.000
APBD dan Belanja
500.000.000.000
400.000.000.000
Pegawai
300.000.000.000
Series1
200.000.000.000 Series2
100.000.000.000
-
1998 2000 2002 2004
Tahun
a. Kota Mataram
87
Tabel 4.32
Data Jumlah Pegawai Kota Mataram
Menurut Tingkat Pendidikan dan Golongan Tahun 2005
Golongan
Tingkat Pendidikan Jumlah
I II III IV
1. SD 76 52 - - 128
2. SLTP 58 79 - - 137
3. SLTA 7 584 276 - 867
4. Diploma I - 18 24 - 42
5. Diploma II - 5 2 - 7
6. Diploma III - 76 97 3 176
7. Sarjana (S1) - 34 674 181 889
8. Pasca Sarjana - - 29 14 43
(S2)
Jumlah 141 848 1.102 198 2.289
Sumber Data : BKD Kota Mataram
Mayoritas pegawai di Kota Mataram berpendidikan S1 dan SLTA, S1 sebanyak 38,84% dan
SLTA sebanyak 37,88%. Sementara yang paling kecil adalah diploma II, yaitu 0,31%.
Tabel 4.33
Data Keuangan Kota Mataram
Tahun 1998 - 2005
No. Tahun APBD Belanja Peg Pengemb.Peg
1. 1998 27.737.197.136 15.097.164.800 287.500.000
2. 1999 58.857.569.865 25.019.075.500 761.907.000
3. 2000 53.365.634.884 24.762.172.500 563.350.000
4. 2001 110.020.491.999 65.114.390.592 737.158.000
5. 2002 176.506.859.854 91.579.427.712 1.503.000.000
6. 2003 226.275.815.558 116.707.790.754 1.107.735.500
7. 2004 228.318.359.425 128.882.600.247 1.085.525.000
8. 2005 253.546.750.182 135.993.987.066 1.480.612.620
Sumber Data : Bagian Keuangan Kota Mataram
300.000.000.000
250.000.000.000
Jumlah APBD
200.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
89
Grafik 4.35
Data Beban Belanja Pegawai di Kota Mataram
Tahun 1998 - 2005
160.000.000.000
140.000.000.000
100.000.000.000
80.000.000.000
60.000.000.000
40.000.000.000
20.000.000.000
0
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005Des
Tahun
90
Diagram 4.36
Rasio APBD dengan Beban Belanja Pegawai di Kota Mataram
Tahun 1998 - 2005
300.000.000.000
200.000.000.000
Pegawai
150.000.000.000
100.000.000.000 Series1
50.000.000.000 Series2
0
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
93
Tabel 4.37
Nama Kecamatan, Desa, Kelurahan, Dusun & Lingkungan
di Kabupaten Lombok Tengah
No Kecamatan Desa Kelurahan Dusun Lingk.
1. Praya 5 9 37 43
2. Praya Tengah 7 3 67 14
3. Praya Barat 9 - 68 -
4. Praya Barat Daya 6 - 47 -
5. Pujut 15 - 119 -
6. Praya Timur 10 - 83 -
7. Janapria 9 - 77 -
8. Kopang 9 - 88 -
9. Batukliang 9 - 108 -
10. Batukliang Utara 8 - 59 -
11. Jonggat 13 - 95 -
12. Pringgarata 7 - 75 -
Jumlah 107 12 933 57
Sumber Data : Bagian Tata Pemerintahan Setda Kabupaten Loteng
Pegawai (PNS) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah pada tahun 2005
tercatat sebanyak 9.339 orang pegawai sebagaimana tersaji dalam Tabel berikut :
94
Tabel 4.38
Jumlah Pegawai menurut Pangkat, Golongan/Ruang
di Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2005
No. Pangkat Golongan/Ruang Jumlah
1. Pembina Utama IV/e -
2. Pembina Utama Madya IV/d -
3. Pembina Utama Muda IV/c 1
4. Pembina Tingkat I IV/b 20
5. Pembina IV/a 367
6. Penata Tingkat I III/d 998
7. Penata III/c 1.326
8. Penata Madya Tingkat I III/b 1.449
9. Penata Muda III/a 1.547
10. Pengatur Tingkat I II/d 1.549
11. Pengatur II/c 730
12. Pengatur Madya Tingkat I II/b 524
13. Pengatur Muda II/a 440
14. Juru Tingkat I I/d 257
15. Juru I/c 101
16. Juru Madya Tingkat I I/b 30
17. Juru Muda I/a -
Jumlah 9.339
Sumber Data : Bagian Tata Pemerintahan Setda Kabupaten Loteng
95
Tabel 4.39
Data Keuangan Kabupaten Lombok Tengah
Tahun 1998 - 2005
No. Tahun APBD Belanja Pegawai Pengemb Peg.
1. 1998 53.321.739.000 32.474.224.000 275.000.000
2. 1999 57.613.847.000 40.795.769.376 438.247.250
3. 2000 101.131.697.000 60.789.058.640 763.770.500
4. 2001 247.753.148.760 134.327.516.161 2.231.571.250
5. 2002 286.717.014.000 142.507.880.490 1.587.367.250
6. 2003 310.360.424.738 185.050.749.528 1.752.960.400
7. 2004 327.405.226.415 205.495.391.586 1.819.630.000
8. 2005 351.736.655.161 104.929.217.261 2.027.307.650
Sumber Data : Bagian Keuangan Kabupaten Lombok Tengah
Grafik 4.40
Data APBD di Kabupaten Lombok Tengah
Tahun 1998 - 2005
400.000.000.000
350.000.000.000
300.000.000.000
Jumlah APBD
250.000.000.000
200.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
0
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
96
Grafik 4.41
Data Beban Belanja Pegawai di Kab. Lombok Tengah
Tahun 1998 - 2005
250.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
97
Diagram 4.42
Rasio APBD dengan Beban Belanja Pegawai
di Kabupaten Lombok Tengah Tahun 1998 - 2005
400.000.000.000
350.000.000.000
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
98
Pada pengangkatan pegawai yang baru dilakukan di Lombok Tengah, dibutuhkan tenaga
pendidik dan tenaga kesehatan tetapi tidak disetujui oleh Pusat sehingga sampai saat ini
masih menjadi masalah di daerah. Pengangkatan pegawai honorer kurang tepat karena tidak
sesuai dengan kebutuhan nyata daerah. Lombok Tengah sebenarnya membutuhkan tenaga
pendidik dan tenaga kesehatan untuk ditempatkan di daerah-daerah terpencil tetapi yang
diangkat adalah pegawai honda yang sudah tua sehingga tidak mau ditempatkan di daerah
terpencil.
Untuk meningkatkan profesionalisme pegawai perlu adanya reward/kompensasi yang
diberikan sebagai motivator untuk meningkatkan kinerja pegawai. Demikian juga bagi
pegawai honorer, mungkin tidak perlu semuanya diangkat menjadi PNS tetapi perlu diseleksi
secara ketat sesuai kebutuhan formasi. Bagi yang tidak masuk dapat tetap menjadi pegawai
honda atau diberhentikan dengan diberikan uang pesangon. Pemerintah Pusat sebagaimana
tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 memberikan penghargaan
kepada pegawai honda yang mengabdi 1-5 tahun, 6-0 tahun dan seterusnya tetapi tidak harus
dengan mengangkatnya menjadi PNS. Apabila yang diangkat tenaga komputer atau penyuluh
tidak masalah tetapi menjadi masalah apabila yang diangkat adalah tenaga administrasi yang
sudah cukup banyak. Kondisi ini perlu dipikirkan dan dicarikan solusi terbaik karena sudah
terlanjur menjadi kebijakan Pusat.
Tenaga honorer di Lombok Tengah ada kurang lebih 2200 orang, sementara jumlah PNS ada
8000 orang. Dari sisi jumlah pegawai selain tenaga guru dan tenaga kesehatan memang sudah
mencukupi, tetapi dari sisi kompetensi, tingkat pendidikan dan keahlian yang dimiliki belum
memadai. Sehingga berkembang istilah banyak orang tapi kurang orang karena dari segi
kuantitas banyak pegawai namun dari segi kualitas belum memadai.
99
Tabel 4.43
Pembagian Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tenggara
Tahun 2004
No Kabupaten/Kota Kecamatan Desa Kelurahan
1. Kabupaten Buton 52 262 52
2. Kabupaten Muna 29 245 41
3. Kabupaten Kendari 18 313 42
4. Kabupaten Kolaka 20 183 44
5. Kabupaten Konawe 11 282 10
6. Kota Kendari 4 52
7. Kota Bau-Bau 4 9 29
Sumber Data : Prov. Sulawesi Tenggara dalam Angka Tahun 2004
100
Sementara itu program pengembangan pegawai yang dilakukan oleh BKD adalah melakukan
program pengembangan melalui pendidikan D3, S1, S2 dan S3, selain itu juga diklat struktural
seperti Diklat Kepemimpinan Tingkat I, II, III dan IV. Anggaran untuk penyelenggaraannya
biasanya dibebankan dalam pos DAK dan ada kontribusi dari masing-masing peserta.
Sementara itu pembiayaan untuk penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional dilakukan
oleh masing-masing unit kerja.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemampuan APBD khususnya untuk pengembangan pegawai
sangat terbatas. Selama ini untuk pelaksanaan kegiatan pengembangan pegawai tidak ada
bantuan yang langsung dikelola oleh BKD, tetapi langsung ke pegawai yang bersangkutan
atau unit kerjanya. Kondisi inilah yang agak menyulitkan BKD karena sulitnya melakukan
koordinasi, BKD baru tahu apabila ada peserta yang mendapat donor untuk melanjutkan
pendidikan keluar negeri saat yang bersangkutan meminta surat tugas ke BKD. Sangat
disayangkan bahwa unit kerja tidak mengkoordinasikan kegiatan pengembangan pegawainya
yang mendapat donor/ bantuan kepada BKD. Seharusnya mekanisme pendidikan dan latihan
satu pintu pada Badan Diklat Provinsi dimanfaatkan secara optimal, dengan duduk bersama
untuk mengkoordinasikan kegiatan pengembangan pegawai antara donor, unit kerja
penerima donor, Badan Diklat Provinsi dan BKD Provinsi, kalau ini dilakukan maka
mekanisme pengembangan pegawai akan berjalan dengan baik. Hal ini ditegaskan dengan
Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor 25 Tahun 2004 yang menyebutkan
penyelenggaraan Diklat harus terkoordinasi satu pintu melalui Badan Diklat Provinsi.
Misalnya kalau Badan Diklat akan menyelenggarakan suatu program diklat maka harus
berkoordinasi dengan BKD dan Bappeda, diberikan informasi program diklat apa yang akan
dilaksanakan dan apa manfaat dan tujuan dari diklat tersebut terhadap pegawai dan unit
kerja. Sejak otonomi daerah dan berdasarkan Surat Gubernur Nomor 25 Tahun 2004, Badan
Diklat mengkoordinasi kegiatan diklat baik diklat struktural, teknis dan fungsional dan
diklat-diklat lainnya diselenggarakan satu pintu di Badan Diklat Provinsi, baik untuk pegawai
Provinsi, Kabupaten maupun Kota. Biaya Diklat ada dari anggaran Badan Diklat yang
dialokasikan dari APBD yang dibiayai dari alokasi APBD Kabupaten dan Kota. Contoh
beberapa Diklat teknis dan fungsional yang diselenggarakan oleh Badan Diklat adalah Diklat
Manajemen Pemerintahan, Diklat RPJM, Standar Pelayanan Minimal, Pengembangan
Kompetensi Birokrasi, Manajemen Kepegawaian, Kearsipan, Keprotokolan dan lain-lain.
Sebelum penyelenggaraan diklat dilaksanakan, dilakukan koordinasi Diklat dengan instansi
seperti Dinas, Badan, Biro tujuannya agar tidak terdapat tumpang tindih dalam
penyelenggaraan Diklat dan Badan Diklat meminta Diklat apa yang sangat prioritas untuk
diselenggarakan oleh Instansi. Terdapat beberapa jenis pembiayaan Diklat dari APBN, APBD
dan dari sponsor/donor, untuk penyelengaraan diklat yang bersifat khusus dan spsecifik dari
instansi tertentu yang diselenggarakan di luar Badan Diklat Provinsi. Misalnya Diklat
Pemberantasan Penyakit Kulit dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan, untuk diklat yang bersifat
umum dilaksanakan pada Badan Diklat Provinsi.
101
Dalam meningkatkan kebutuhan pegawai dilakukan dengan analisis kebutuhan diklat, yaitu
apabila ada surat permintaan pendidikan dari Badan Diklat maka pimpinan unit kerja akan
mencari pegawai yang cocok untuk mengikuti Diklat tersebut. Perencanaan program diklat
pegawai dirancang dan disusun oleh Badan Diklat dengan Bappeda untuk jangka waktu satu
tahun kedepan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Dalam program tersebut
diprioritaskan program diklat yang paling dibutuhkan oleh pegawai dan unit kerja. Apabila
kebutuhan diklat ternyata lebih besar dari anggaran pengembangan pegawai yang tersedia
maka program tersebut dapat dilaksanakan pada tahun berikutnya.
Tahun 2004 pernah dilakukan analisis kebutuhan diklat yang melibatkan seluruh unit kerja,
dari hasil analisis ini menghasilkan program pengembangan pegawai. Badan Diklat yang
bertugas mengembangkan pegawai bertanggungjawab atas pelaksanaan Diklat dengan gugus
kendali mutu yang baik dan bukan hanya sekedar menyelesaikan proyek tapi ada
tanggungjawab secara moral. Biaya pengembangan pegawai dari DAK melekat pada unit kerja
masing-masing sehingga dapat mengembangkan pegawainya dengan mengikuti pelatihan atau
sekolah formal untuk menambah wawasan baik di dalam negeri maupun luar negeri. Biaya
pengembangan pegawai Provinsi Sulawesi Utara cukup besar terutama untuk pendidikan
formal seperti Diploma, S-1, S-2 dan S-3.
a. Kota Kendari
102
Tabel 4.44
Data Keuangan Kota Kendari
Tahun 1998-2005
No Tahun APBD Belanja Pegawai Pengemb. Peg
1. 1998 37.099.504.866 15.621.368.870 163.500.000
2. 1999 48.017.184.830 22.484.832.001 315.000.000
3. 2000 56.155.526.811 21.204.369.045 359.490.300
4. 2001 111.520.924.192 64.977.448.924 1.105.400.000
5. 2002 156.690.444.518 77.874.132.840 1.854.025.000
6. 2003 192.817.016.042 105.407.607.994 1.872.250.000
7. 2004 203.783.704.025 115.942.513.616 1.366.200.000
8. 2005 209.950.131.932 118.059.012.367 1.537.600.000
Sumber Data : Bagian Keuangan Kota Kendari
Selama periode delapan tahun tersebut terlihat bahwa APBD Kota Kendari mengalami
kecenderungan peningkatan. Secara umum, rata-rata pertumbuhan APBD di Kota Kendari
adalah sebesar 20,39%. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 49,65%
atau terjadi pertumbuhan APBD sebesar Rp 55.365.397.381,-. Pada tahun berikutnya,
pertumbuhan APBD masih cukup tinggi, yaitu sebesar 28,83% pada tahun 2002 dan 18,74%
pada tahun 2003. Setelah itu pertumbuhan APBD di Kota Kendari tidak terlalu tinggi
dibawah dua digit, yaitu sebesar 5,38% dan 2,94%.
Grafik 4.45
Data APBD di Kota Kendari
Tahun 1998-2005
250.000.000.000
200.000.000.000
Jumlah APBD
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
0
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
103
Peningkatan APBD yang cukup besar di tahun 2001 adalah dampak pelaksanaan kebijakan
otonomi daerah. Selain berdampak pada meningkatnya jumlah pegawai juga berdampak pada
meningkatnya APBD sebagaimana terlihat dalam grafik diatas. Sebab kebijakan ini juga
diikuti dengan pelimpahan dana dan sarana prasarana. Penambahan dana ini masuk dalam
APBD khususnya di pos DAU.
Grafik 4.46
Data Beban Belanja Pegawai di Kota Kendari
Tahun 1998-2005
140.000.000.000
Jumlah Beban Belanja Pegawai
120.000.000.000
100.000.000.000
80.000.000.000
60.000.000.000
40.000.000.000
20.000.000.000
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
104
Diagram 4.47
Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di Kota Kendari
Tahun 1998-2005
250.000.000.000
Beban Belanja
Pegawai
150.000.000.000
100.000.000.000
Series1
50.000.000.000 Series2
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
b. Kabupaten Konawe
105
Kabupaten Konawe terdiri dari 19 wilayah kecamatan dengan 334 desa/kelurahan. Pada
tahun 2002 bertambah menjadi 23 wilayah kecamatan dengan 631 desa/kelurahan.
Tabel 4.48
Data Keuangan Kabupaten Konawe
Tahun 1998-2005
No Tahun APBD Belanja Pegawai Pengemb. Peg
1. 1998 57.807.940.074 34.559.842.053 142.012.900
2. 1999 68.397.378.950 41.714.562.739 161.905.000
3. 2000 86.062.206.488 56.733.973.484 384.076.700
4. 2001 233.156.174.618 156.622.621.082 1.784.033.000
5. 2002 213.205.009.819 155.652.366.019 2.945.930.000
6. 2003 314.029.454.695 203.800.556.407 1.939.275.000
7. 2004 219.256.615.001 153.869.437.187 889.265.000
9. 2005 241.139.180.341 169.089.841.829 575.264.100
Sumber Data : Bagian Keuangan Kabupaten Konawe
Grafik 4.49
Data APBD di Kabupaten Konawe
Tahun 1998-2005
350.000.000.000
300.000.000.000
Jumlah APBD
250.000.000.000
200.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
-
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
106
Trend yang tergambar dalam APBD Kabupaten Konawe mengalami pasang surut atau
konjungtur yang cukup besar. Akan tetapi lonjakan yang paling besar terjadi pada tahun
2001, yaitu sebesar 63,09% atau terjadi penambahan APBD sebanyak Rp 147.093.968.130,-.
Dalam gambar trend tersebut terlihat bahwa periode tahun 1998 sampai 2001, APBD
Kabupaten Konawe cenderung naik, kemudian pada tahun 2002 turun, kemudian naik lagi
dan tahun 2003 turun lagi kemudian pada tahun 2005 naik lagi. Meskipun terlihat naik
turun, tetapi secara umum, APBD Kabupaten Konawe selama periode tahun tersebut secara
rata-rata adalah meningkat, yaitu sebesar 12,53%. Peningkatan tajam APBD yang terjadi pada
tahun 2001 adalah dampak adanya pelimpahan dana sebagai dampak dilimpahkannya
pegawai dari instansi vertikal menjadi pegawai daerah sebagai pelaksanaan kebijakan
otonomi daerah.
Grafik 4.50
Data Beban Belanja Pegawai di Kabupaten Konawe
Tahun 1998-2005
250.000.000.000
Jumlah Beban Belanja Pegawai
200.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
107
Diagram 4.51
Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di Kab. Konawe
Tahun 1998-2005
350.000.000.000
Belanja Pegawai
250.000.000.000
200.000.000.000
150.000.000.000
Series1
100.000.000.000
Series2
50.000.000.000
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
5. Provinsi Jambi
109
Tabel 4.52
Tabel Realisasi APBD di Provinsi Jambi
Tahun 1998-2005
No Tahun Realisasi APBD Pertumb. (%)
1. 1998 Rp 117.118.237.500 -
2. 1999 Rp 154.658.546.118 24,27
3. 2000 Rp 160.646.722.006 3,73
4. 2001 Rp 228.955.125.326 29,83
5. 2002 Rp 354.284.731.377 35,38
6. 2003 Rp 489.371.648.110 27,6
7. 2004 Rp 581.432.848.040 15,83
8. 2005 Rp 642.833.021.071 9,55
Sumber Data : Biro Keuangan Provinsi Jambi
Dari Grafik Garis Realisasi APBD Provinsi Jambi tahun 1998 sampai 2005 terlihat ada
pertumbuhan yang signifikan. Kenaikan yang signifikan terlihat tahun 2000-an, dimana
Provinsi Jambi mulai melaksanakan kebijakan otonomi daerah berupa pelimpahan pegawai.
Grafik 4.53
Data Realisasi APBD di Provinsi Jambi
Tahun 1998-2005
900.000.000.000
800.000.000.000
700.000.000.000
600.000.000.000
Jumlah
500.000.000.000
400.000.000.000
300.000.000.000
200.000.000.000
100.000.000.000
-
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Des-05
Tahun
Tabel 4.54
Jumlah Pegawai dan Beban Pembiayaannya dalam APBD
di Provinsi Jambi Tahun 1998-2005
No. Tahun Jumlah Peg Realisasi Pembiayaan
1. 1998 3.713 Rp 17.826.490.452
2. 1999 3.828 Rp 25.691.212.984
3. 2000 3.791 Rp 34.419.217.876
4. 2001 7.215 Rp 103.737.503.273
5. 2002 4.597 Rp 95.659.445.564
6. 2003 3.980 Rp 103.610.429.653
7. 2004 4.104 Rp 130.609.923.567
8. 2005 5.421 Rp 129.440.866.085
Sumber Data : Biro Kepegawaian Provinsi Jambi
Terdapat variasi yang cukup beragam dalam pertambahan jumlah pegawai di Provinsi Jambi,
meskipun pada dasarnya ada kenaikan jumlah tetapi ada penurunan jumlah yang cukup
signifikan. Apabila dicermati pada tahun 2001 terjadi kenaikan jumlah yang cukup besar,
yaitu sebanyak 3.424 orang atau sebesar 47,46%. Akan tetapi pada tahun berikutnya, yaitu
tahun 2002 terjadi penurunan jumlah pegawai yang cukup besar, yaitu sebanyak 2.618 orang
atau sebesar 56,95%.
Kenaikan jumlah pegawai yang cukup besar merupakan dampak dari terjadinya pelimpahan
pegawai dari instansi vertikal sebagai pelaksanaan kebijakan otonomi. Sementara penurunan
jumlah pegawai disebabkan pada tahun tersebut terjadi pemekaran 4 Kabupaten baru yang
sebagian pegawainya berasal dari Provinsi Jambi. Pengurangan terbesar disebabkan karena
adanya pegawai yang pensiun sementara pada tahun itu tidak dilakukan rekrutmen pegawai
baru.
111
Diagram 4.55
Data Jumlah Pegawai di Provinsi Jambi
Tahun 1998-2005
8.000
7.000
Jumlah Pegawai
6.000
5.000
4.000
3.000
2.000
1.000
-
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Des-05
Tahun
112
Grafik 4.56
Data Beban Belanja Pegawai di Provinsi Jambi
Tahun 1998-2005
140.000.000.000
120.000.000.000
100.000.000.000
Beban Biaya
80.000.000.000
60.000.000.000
40.000.000.000
20.000.000.000
-
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Des-05
Tahun
Penjelasan diatas dapat dicermati dalam Diagram Batang yang menunjukkan rasio realisasi
APBD dengan realisasi beban pembiayaan pegawai di Provinsi Jambi tahun 1998 sampai 2005.
Dalam Diagram tersebut terlihat bahwa APBD selalu mengalami kenaikan yang cukup
signifikan, demikian pula beban pembiayaannya akan tetapi rasio diantara keduanya terlihat
semakin besar. Pada tahun 1998 sampai 2000 terlihat rasionya membesar kemudian pada
tahun 2001 terlihat rasionya menjadi agak seimbang, dan tahun 2002 sampai 2005 terlihat
rasionya membesar kembali.
Hal ini juga menunjukkan fenomena bahwa APBD Provinsi Jambi tidak hanya habis untuk
belanja pegawai tanpa memperhatikan kebutuhan pembangunan fisik. Meskipun pembayaran
gaji merupakan hal yang mutlak harus dilakukan akan tetapi tidak meninggalkan kebutuhan
pembangunan proyek atau pelayanan masyarakat. Dan perimbangan yang ada menunjukkan
bahwa pembangunan fisik tetap diperhatikan dan APBD tidak hanya untuk keperluan beban
pembiayaan pegawai.
114
Diagram 4.58
Rasio Realisasi APBD dengan Beban Belanja Pegawai
di Provinsi Jambi Tahun 1998-2005
700.000.000.000
600.000.000.000
500.000.000.000
Jumlah
400.000.000.000
300.000.000.000
200.000.000.000
100.000.000.000
-
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Des-05
Tahun
Series1 Series2
115
Selanjutnya data diolah di Biro Kepegawaian, yaitu dikompilasi dan dirangkum sehingga
dapat diketahui penyebaran dan kualifikasinya dimasing-masing unit.
Kemudian Biro Kepegawaian menghitung kebutuhan tambahan pegawai dengan melibatkan
unit-unit kerja terkecil. Diharapkan dengan melibatkan unit terkecil ini akan dapat diperoleh
gambaran kebutuhan riil dari masing-masing unit kerja berdasarkan beban kerja riil yang
diembannya. Perencanaan formasi kebutuhan ini tidak hanya mencakup jumlahnya saja
tetapi juga kualifikasi yang dibutuhkan, terutama tingkat pendidikan dan latar belakang
pendidikan atau kemampuannya. Setelah jumlah dan kualifikasi yang direncanakan
disepakati bersama antara Biro Kepegawaian dan unit-unit terkecil, data tersebut diserahkan
ke Biro Keuangan untuk dihitung kebutuhan pembiayaannya. Dalam hal ini pembiayaan
pegawai (gaji pegawai) selalu dimasukkan dalam komponen DAU. Setelah semua dihitung
dan disetujui oleh Gubernur baru dikirim ke Pemerintah Pusat (Kementerian PAN).
Setelah dikirim ke Pemerintah Pusat inilah seringkali timbul permasalahan, yaitu jumlah
yang diajukan dikurangi dengan berbagai alasan pertimbangan, misalnya karena kemampuan
anggaran nasional dan perhitungan quota secara nasional. Hal inilah yang sering membuat
kesulitan bagi Biro Kepegawaian khususnya dan Pemerintah Provinsi Jambi pada umumnya
dalam memenuhi kebutuhan pegawainya. Jumlah yang dibutuhkan selalu tidak sesuai dengan
jumlah yang disetujui, dan kondisi ini menuntut Pemerintah Daerah untuk mencari solusi
lain dalam mengatasi kekurangan pegawai tersebut. Salah satu yang dapat ditempuh adalah
dengan mengangkat pegawai honorer. Akan tetapi hal ini menyalahi peraturan karena sejak
tahun 2002, Menteri Dalam Negeri sudah melarang adanya rekrutmen pegawai honorer.
Tetapi Pemerintah Daerah tidak menemukan solusi lain karena beban pekerjaan yang sangat
besar.
Menurut penjelasan dari Bagian Analisis Jabatan, dalam penghitungan kebutuhan formasi
pegawai memang belum dilakukan analisis jabatan dan analisis beban kerja dengan baik. Hal
ini disebabkan adanya perbedaan tugas pokok dan fungsi dalam struktur kelembagaan di
Provinsi Jambi. Kalau di daerah lain sesuai kebijakan Kementerian PAN, fungsi analisis
jabatan merupakan tugas pokok dan fungsi dari Biro Organisasi tetapi di Provinsi Jambi
fungsi ini dilaksanakan oleh Biro Kepegawaian sehingga pelaksanaannya dirasakan tidak bisa
maksimal. Bahkan sudah pernah dibentuk Tim Analisis Jabatan sesuai arahan BKN dan
Kementerian PAN tetapi tidak bisa maksimal karena adanya kendala ”politis” terkait dengan
SOT Pemerintah Provinsi Jambi.
Komitmen para pejabat di Provinsi Jambi dalam upaya pengembangan kompetensi pegawai
sangat besar. Demikian pula minat pegawai sendiri sangat besar untuk mengembangkan
kompetensi yang dimilikinya sebagaimana dijelaskan oleh Bapak Asisten I Provinsi Jambi.
Akan tetapi karena adanya berbagai keterbatasan, khususnya yang terkait dengan
kemampuan anggaran maka ada pertimbangan-pertimbangan khusus yang perlu dipikirkan
untuk mengirimkan seseorang mengikuti diklat atau untuk melanjutkan pendidikan
formalnya. Pertimbangan tersebut antara lain : track record pegawai, kinerjanya di unit,
116
catatan DP3, tingkat umur, latar belakang pendidikan dan peluang pengembangannya atau
kemanfaatannya bagi organisasi.
Selain itu adanya keterbatasan dana untuk pengembangan pegawai juga mempengaruhi
banyak sedikitnya pegawai yang dikirim untuk dikembangkan kemampuannya. Sehingga
Pemerintah Provinsi membuka peluang seluas-luasnya apabila ada pegawai yang mau
menempuh pendidikan dengan swadana atau mencari beasiswa dari berbagai instansi atau
lembaga. Ada beberapa universitas yang sudah menjalin kerjasama dengan Pemerintah
Provinsi Jambi dalam upaya pengembangan pegawai, yaitu UGM, IPB, PU, OTO Bappenas,
Pemerintah Filipina. Instansi-instansi tersebut selain memberikan kesempatan menempuh
pendidikan tetapi juga memberikan beasiswa untuk pegawai.
Akan tetapi dalam kegiatan pengembangan pegawai yang dilakukan selama ini dengan
adanya keterbatasan anggaran, maka prioritasnya diletakkan pada pengembangan pegawai
untuk mengikuti diklat kepemimpinan. Diklat kepemimpinan inipun diprioritaskan bagi
pegawai yang sudah menjabat jabatan struktural tetapi belum mengikuti diklat
kepemimpinan. Karena dalam peraturan mereka diwajibkan mengikuti diklat kepemimpinan
setelah setahun menjabat.
Tabel 4.60
Data Pegawai Kabupaten Muaro Jambi
Menurut Golongan Tahun 2000 - 2005
Golongan
Tahun Jumlah
I II III IV
2000 113 1.593 1.704 45 3.455
2001 118 1.628 1.764 53 3.663
2002 109 1.710 2.093 68 3.980
2003 87 1.311 2.450 197 3.845
2004 75 963 2.512 338 3.363
2005 78 940 2.725 392 4.138
Sumber Data : BKD Kabupaten Muaro Jambi
Selanjutnya disajikan data kepegawaian dan keuangan di Kabupaten Muaro Jambi periode
tahun 2000 sampai 2005.
118
Tabel 4.61
Data Kepegawaian dan Keuangan Kabupaten Muaro Jambi
Tahun 2000-2005
No Tahun Jml. Peg. APBD Belanja Pegawai
1. 1998 - - Msh bergab dg
2. 1999 - - Kab. Batanghari
3. 2000 3.455 - -
4. 2001 3.663 101.904.196.165 48.180.746.967
5. 2002 3.980 143.470.969.800 56.097.552.220
6. 2003 3.845 194.879.848.519 67.857.900.431
7. 2004 3.363 216.282.179.466 73.377.096.040
8. 2005 4.138 255.136.363.259 77.173.746.225
Sumber Data : BKD Kab Muaro Jambi dan Bag Keuangan Kab Muaro Jambi
Selanjutnya data tersebut disajikan dalam Diagram Batang sebagaimana berikut ini.
119
Diagram 4.62
Data Jumlah Pegawai di Kabupaten Muaro Jambi
Tahun 2000-2005
4.500
4.000
3.500
Jumlah Pegawai
3.000
2.500
2.000
1.500
1.000
500
-
s
00
01
02
03
04
De
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
Grafik 4.63
Data APBD di Kabupaten Muaro Jambi
Tahun 2000-2005
300.000.000.000
250.000.000.000
Jumlah APBD
200.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
-
2001 2002 2003 2004 2005Des
Tahun
120
Grafik 4.64
Data Beban Belanja Pegawai di Kabupaten Muaro Jambi
Tahun 2000-2005
90.000.000.000
80.000.000.000
60.000.000.000
50.000.000.000
40.000.000.000
30.000.000.000
20.000.000.000
10.000.000.000
-
2001 2002 2003 2004 2005Des
Tahun
121
Diagram 4.65
Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di Kab Muaro Jambi
Tahun 2000-2005
300.000.000.000
Belanja Pegawai
200.000.000.000
150.000.000.000
Series1
100.000.000.000 Series2
50.000.000.000
-
2001 2002 2003 2004 2005Des
Tahun
a. Kota Bandung
126
Tabel 4.66
Data Jumlah Pegawai dan Keuangan Kota Bandung
Tahun 1998 - 2005
Tahun Jml Peg APBD Belanja Peg. Pengemb. Peg
1998 13.565 471.189.844.779 93.537.817.660 2.430.710.965
1999 13.239 669.262.198.309 123.659.217.504 2.466.258.560
2000 13.167 600.714.490.834 116.565.838.177 4.369.332.855
2001 22.799 1.625.171.480.820 359.068.398.235 10.255.988.565
2002 22.386 1.767.643.912.304 365.796.006.423 9.547.530.890
2003 21.869 1.907.392.890.100 505.481.924.251 8.599.234.907
2004 22.126 2.093.785.354.381 557.213.274.918 7.008.699.496
2005 21.335 2.219.689.437.938 610.465.896.808 6.217.300.450
Sumber Data : BKD Kota Bandung dan Bagian Keuangan Kota Bandung
Selanjutnya data tersebut disajikan dalam bentuk Diagram Batang sebagaimana terlihat di
bawah ini.
Diagram 4.67
Data Jumlah Pegawai Kota Bandung
Tahun 1998 - 2005
25.000
20.000
Jumlah Pegawai
15.000
10.000
5.000
0
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
127
bahwa setelah ada peningkatan jumlah pada tahun 2001, tahun berikutnya terjadi penurunan
jumlah, yaitu rata-rata sebesar 1,63%.
Dari gambaran tersebut terlihat bahwa pada dasarnya di Kota Bandung sudah melakukan
kebijakan zero growth bahkan minus growth dalam pengelolaan kepegawaiannya. Akan
tetapi adanya pelimpahan pegawai dari instansi vertikal menjadi pegawai perangkat daerah
yang terjadi pada tahun 2001 telah menambah jumlah pegawainya secara signifikan.
Selanjutnya dalam Grafik Garis berikut disajikan trend pertumbuhan APBD Kota Bandung
selama periode tahun 1998 sampai 2005. Sebagaimana gambaran yang diperoleh dalam
jumlah pegawai, trend pertumbuhan APBD juga terlihat ada peningkatan yang signifikan
pada tahun 2001. Besarnya peningkatan mencapai 170,54%, suatu jumlah yang cukup
fantastis. Dan selama periode 1998 sampai 2005 terlihat bahwa APBD Kota Bandung
cenderung mengalami peningkatan rata-rata sebesar 33,54%.
Grafik 4.68
Data APBD di Kota Bandung
Tahun 1998 - 2005
2.500.000.000.000
2.000.000.000.000
Jumlah APBD
1.500.000.000.000
1.000.000.000.000
500.000.000.000
0
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
128
Grafik 4.69
Data Beban Belanja Pegawai di Kota Bandung
Tahun 1998 - 2005
700.000.000.000
600.000.000.000
400.000.000.000
300.000.000.000
200.000.000.000
100.000.000.000
0
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005Des
Tahun
2.500.000.000.000
APBD dan Belanja
2.000.000.000.000
Pegawai
1.500.000.000.000
1.000.000.000.000
Series1
500.000.000.000 Series2
0
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
129
bahwa dana dalam APBD tidak habis dipakai untuk keperluan rutin belanja pegawai tetapi
masih ada sisa yang cukup memadai untuk keperluan belanja pembangunan dan
penyelenggaraan pelayanan masyarakat.
Tabel 4.71
Data Kepegawaian dan Keuangan Kabupaten Garut
Tahun 1998-2003
No Tahun Jml. Peg. APBD Belanja Pegawai
1. 1998 13.012 127.276.747.671 103.095.785.613
2. 1999 13.086 167.180.372.141 137.000.500.610
3. 2000 13.132 167.276.800.845 159.853.659.068
4. 2001 19.421 451.842.834.364 233.656.603.846
5. 2002 19.026 496.606.975.355 300.435.027.012
6. 2003 18.790 623.832.016.867 353.966.532.760
Sumber Data : BKD Kab Garut dan Bagian Keuangan Kab Garut
Selanjutnya data disajikan dalam bentuk Diagram Batang dan Grafik Garis dibawah ini.
132
Diagram 4.72
Data Jumlah Pegawai di Kabupaten Garut
Tahun 1998-2003
20.000
18.000
16.000
Jumlah Pegawai
14.000
12.000
10.000
8.000
6.000
4.000
2.000
-
1998 1999 2000 2001 2002 2003Des
Tahun
133
Grafik 4.73
Data APBD di Kabupaten Garut
Tahun 1998-2003
700.000.000.000
600.000.000.000
500.000.000.000
Jumlah APBD
400.000.000.000
300.000.000.000
200.000.000.000
100.000.000.000
s
98
99
00
01
02
De
19
19
20
20
20
03
20
Tahun
134
Grafik 4.74
Data Beban Belanja Pegawai di Kabupaten Garut
Tahun 1998-2003
400.000.000.000
350.000.000.000
250.000.000.000
200.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
-
s
98
99
00
01
02
De
19
19
20
20
20
03
20
Tahun
700.000.000.000
APBD dan Belanja Pegawai
600.000.000.000
500.000.000.000
400.000.000.000
300.000.000.000
Series1
200.000.000.000
Series2
100.000.000.000
-
98 99 00 01 02 s
19 19 20 20 20 De
03
20
Tahun
137
7. Provinsi Sumatera Selatan
138
Tabel 4.76
Data Kepegawaian dan Keuangan di Prov Sumatera Selatan
Tahun 1998-2005
No Tahun Jumlah Peg. Belanja Pegawai
1. 1998 9.910 163.695.723.498
2. 1999 9.520 130.518.273.038
3. 2000 9.430 142.665.049.552
4. 2001 8.522 356.039.469.686
5. 2002 8.472 421.525.860.866
6. 2003 9.069 384.860.799.352
7. 2004 7.781 -
8. 2005 7.540 -
Sumber Data : BKD Prov Sumsel dan Bag Keuangan Prov Sumsel
Selanjutnya data dalam Tabel tersebut disajikan dalam diagram berikut ini.
Diagram 4.77
Data Jumlah Pegawai di Provinsi Sumatera Selatan
Tahun 1998-2005
10.000
9.000
8.000
Jumlah Pegawai
7.000
6.000
5.000
4.000
3.000
2.000
1.000
-
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
Grafik 4.78
Data Beban Belanja Pegawai di Provinsi Sumatera Selatan
Tahun 1998-2005
450.000.000.000
350.000.000.000
300.000.000.000
250.000.000.000
200.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
-
1998 1999 2000 2001 2002 2003Des
Tahun
140
Kabupaten yang sedang berkembang keberadaan pejabat fungsional memang sangat
diperlukan.
Dalam penerimaan pegawai dilakukan dengan melihat pada formasi serta peta jabatan. Dari
beban tugas yang diemban oleh suatu unit akan terlihat kebutuhan formasi yang riil
dibutuhkan. Mekanisme perencanaan pegawai mengacu kepada Peraturan Pemerintah
Nomor 11 Tahun 2002 tentang pengadaan pegawai yang mengatur mengenai tahap persiapan,
seleksi dan pengangkatan. Dalam melakukan perencanaan pegawai ada satu tim yang
dipimpin oleh Gubernur dibantu oleh tim analisa pengadaan pegawai.
Sementara itu untuk pembinaan pola karier pegawai sudah dibentuk tim Baperjakat. Tim ini
bertugas menghimpun seluruh usulan dari unit kerja kemudian dibahas dalam rapat tim.
Terutama mengenai syarat yang harus dipenuhi, sebagai contoh untuk promosi ke eselon III
pangkat minimal yaitu IV/a, untuk promosi eselon IV pangkat minimal yaitu III/c, kemudian
disesuaikan dengan pendidikan yang diikuti, misalnya untuk menduduki eselon IV harus
sudah mengikuti Diklatpim IV kemudian untuk eselon III diutamakan sudah mengikuti
Diklatpim III. Sementara untuk pengangkatan dalam jabatan fungsional mengikuti Surat
Keputusan Kementerian PAN, yang terkait dengan persyaratan diklat yang diikuti serta
melihat formasi yang ada dan unsur pendidikan, pengalaman, teknis administrasi dan lain
sebagainya.
Dalam pengembangan pegawai dapat bekerja sama dengan pihak luar, misalnya dengan
perguruan tinggi setempat atau yang ada diluar daerah ataupun di luar negeri, seperti
Belanda, Jepang dan Australia.. Prioritas pengembangan pegawai di Provinsi Sumatera
Selatan adalah pada Diklatpim karena untuk memenuhi jabatan yang sudah dipangku.
Sementara prioritas berikutnya adalah pendidikan formal dan non formal, seperti berbagai
bentuk dan jenis diklat.
Untuk alokasi anggaran Pemerintah Daerah selalu berkoordinasi dengan DPRD dengan
melihat kemampuan anggaran daerah. Sementara untuk teknisnya diatur oleh BKD, misalnya
untuk alokasi penugasan belajar, diatur dalam Surat Keputusan Gubernur. Surat Keputusan
Gubernur ini mengatur mengenai kewajiban pegawai yang mendapat tugas belajar, yaitu
setelah selesai mengikuti pendidikan harus mengabdi minimal 3 tahun, setiap tahun selama
melaksanakan tugas belajar menyampaikan laporan kemajuannya, ini untuk
mempertanggungjawabkan anggaran yang dikeluarkan oleh daerah. Selain dengan diklat atau
pendidikan, pengelolaan pegawai juga dilakukan melalui mutasi dengan menyesuaikan antara
kebutuhan dan kualifikasi yang dimiliki pegawai. Mutasi ini bisa lintas institusi, misalnya dari
Kota ke Provinsi, Provinsi ke Kabupaten atau lainnya, juga lintas unit, misalnya antar Dinas,
Badan atau Sekretariat.
141
a. Kota Palembang
142
Tabel 4.79
Data Kepegawaian dan Keuangan di Kota Palembang
Tahun 1998-2005
No Tahun Jumlah APBD Belanja Peg Pengemb. Peg
Pegawai
1. 1998 9.507 133.531.394.900 62.947.891.760 698.451.000
2. 1999 9.507 179.979.557.300 88.639.305.680 572.785.600
3. 2000 16.378 162.990.400.100 83.803.336.279 -
4. 2001 16.408 420.882.083.700 242.749.266.040 1.612.738.400
5. 2002 15.851 467.960.443.100 250.023.964.871 10.216.528.280
6. 2003 15.981 593.296.195.800 295.908.431.222 2.042.551.350
7. 2004 15.819 651.690.994.605 328.231.771.691 3.402.706.000
8. 2005 15.805 732.658.062.109 321.360.026.052 4.570.921.850
Sumber Data : BKD Kota Palembang dan Bag Keuangan Kota Palembang
Selanjutnya data tersebut disajikan dalam bentuk Diagram Batang sebagaimana dibawah ini.
Diagram 4.80
Data Jumlah Pegawai di Kota Palembang
Tahun 1998-2005
18.000
16.000
14.000
Jumlah Pegawai
12.000
10.000
8.000
6.000
4.000
2.000
0
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005Des
Tahun
143
tahun 2000 sebagai dampak adanya pelimpahan pegawai dari instansi vertikal menjadi
pegawai daerah.
Dampak kebijakan otonomi daerah sebenarnya bukan hanya bertambahnya jumlah pegawai
saja, tetapi juga dalam bidang keuangan sebagaimana terlihat dalam Grafik Garis berikut ini.
Grafik 4.81
Data APBD di Kota Palembang
Tahun 1998-2005
800.000.000.000
700.000.000.000
600.000.000.000
Jumlah APBD
500.000.000.000
400.000.000.000
300.000.000.000
200.000.000.000
100.000.000.000
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
144
Grafik 4.82
Data Beban Belanja Pegawai di Kota Palembang
Tahun 1998-2005
350.000.000.000
98
99
00
01
02
03
04
s
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
145
Grafik 4.83
Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di Kota Palembang
Tahun 1998-2005
800.000.000.000
700.000.000.000
Belanja Pegawai
500.000.000.000
400.000.000.000
300.000.000.000 Series1
200.000.000.000 Series2
100.000.000.000
0
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
147
Tabel 4.84
Data Kepegawaian dan Keuangan Kab Ogan Komering Ilir
Tahun 1998-2005
No Tahun Jumlah APBD Belanja Peg Pengemb. Peg
Pegawai
1. 1998 11.563 75.486.857.857 39.028.272.824 383.814.000
2. 1999 11.120 98.602.164.170 56.085.490.250 639.451.650
3. 2000 10.980 98.108.601.711 61.131.818.413 603.205.000
4. 2001 10.771 289.702.238.684 154.990.666.144 796.786.400
5. 2002 11.052 332.191.214.146 160.760.501.752 1.299.623.700
6. 2003 10.891 410.135.745.659 185.387.858.491 1.164.630.000
7. 2004 6.964 441.199.417.108 209.991.049.864 1.453.224.500
8. 2005 6.560 337.303.449.314 130.018.980.303 1.512.900.000
Sumber Data : BKD Kabupaten OKI dan Bagian Keuangan Kabupaten OKI
Selanjutnya disajikan Diagram Batang untuk jumlah pegawai sebagaimana berikut ini.
Diagram 4.85
Data Jumlah Pegawai di Kabupaten Ogan Komering Ilir
Tahun 1998-2005
12.000
10.000
Jumlah Pegawai
8.000
6.000
4.000
2.000
-
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
148
pegawainya. Bahkan pada tahun 2004 terjadi pengurangan pegawai yang cukup besar, yaitu
56,39% atau terjadi pengurangan sebanyak 3.927 orang.
Kondisi tersebut berbeda dengan apa yang tersaji dalam data APBD Kabupaten OKI
sebagaimana ditunjukkan dalam Grafik Garis berikut. Dalam grafik ini terlihat bahwa pada
tahun 2001 terjadi lonjakan jumlah APBD yang cukup besar, yaitu 66,13% atau ada
penambahan APBD sebesar Rp 191.593.636.973,-. Sementara penurunan yang besar juga
terjadi pada tahun 2005, dimana terjadi penurunan sebesar 30,8% atau sebesar Rp
103.895.967.794,-.
Grafik 4.86
Data APBD di Kabupaten Ogan Komering Ilir
Tahun 1998-2005
500.000.000.000
450.000.000.000
400.000.000.000
350.000.000.000
Jumlah APBD
300.000.000.000
250.000.000.000
200.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
-
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
149
Grafik 4.87
Data Beban Belanja Pegawai di Kab Ogan Komering Ilir
Tahun 1998-2005
250.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
Diagram 4.88
Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai
di Kabupaten Ogan Komering Ilir Tahun 1998-2005
450.000.000.000
APBD dan Beban Belanja
400.000.000.000
350.000.000.000
300.000.000.000
Pegawai
250.000.000.000
200.000.000.000
150.000.000.000 Series1
100.000.000.000 Series2
50.000.000.000
-
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
150
Apabila dicermati gambar tersebut, apa yang sudah dijelaskan didepan ternyata benar,
hubungan antara APBD dan beban belanja pegawai signifikan meskipun prosentase
peningkatan atau penuruannya berbeda-beda. Rasio rata-rata antara APBD dan beban belanja
pegawi di Kabupaten OKI untuk periode 1998 sampai 2005 adalah 50,52%. Artinya, sebesar
50,52% bagian APBD dipergunakan untuk belanja pegawai sementara sisanya 49,48%
dipergunakan untuk belanja pembangunan dan pelayanan masyarakat. Ini angka yang cukup
bagus dalam arti kecukupan anggaran untuk pembangunan dan pelayanan masih mendapat
porsi yang seimbang. APBD tidak hanya dihabiskan untuk belanja pegawai tetapi ada juga
yang dipergunakan untuk pembangunan dan pelayanan masyarakat. Proporsi sebagaimana
ditampilkan Kabupaten OKI sangat bagus.
8. Provinsi Bali
Dalam Grafik Garis Data Jumlah Pegawai di Provinsi Bali terlihat telah terjadi kenaikan yang
cukup besar yang terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 54,11% atau terjadi penambahan
sebanyak 4.125 orang. Selanjutnya pada dua tahun berikutnya terjadi penurunan jumlah
pegawai sebagaimana ditunjukkan dalam Grafik Garis tersebut. Pada tahun 2002 terjadi
penurunan jumlah pegawai di Provinsi Bali sebanyak 711 orang atau sebanyak 10,29%, dan
tahun 2003 terjadi penurunan sebanyak 110 orang atau sebanyak 1,62%.
Penambahan pegawai yang cukup besar pada periode tahun 2000-2001 tersebut menurut
penjelasan dari BKD Provinsi Bali adalah sebagai dampak terjadinya pelimpahan pegawai dari
instansi vertikal sebagai dampak pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Pada saat itu,
banyak pegawai instansi vertikal yang dilimpahkan menjadi pegawai perangkat daerah yang
otomatis menambah jumlah pegawai di Provinsi Bali.
152
Diagram 4.91
Data Jumlah Pegawai di Provinsi Bali
Tahun 1998-2005
8.000
7.000
Jumlah Pegawai
6.000
5.000
4.000
3.000
2.000
1.000
0
2000 2001 2002 2003Des
Tahun
153
Grafik 4.92
Data APBD di Provinsi Bali
Tahun 1998-2005
300.000.000.000
250.000.000.000
Jumlah APBD
200.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
154
Grafik 4.93
Data Beban Belanja Pegawai di Provinsi Bali
Tahun 1998-2005
250.000.000.000
200.000.000.000
Jumlah Belanja
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
300.000.000.000
250.000.000.000
Jumlah Anggaran
200.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
0
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
156
Jumlah pegawai ini tentu sangat berpengaruh pada APBD, karena daerah juga memberi
tambahan penghasilan di luar gaji (berupa insentif) sebagai upaya pemerintah daerah
meningkatkan kesejahteraan pegawainya. Oleh karena itu pertimbangan anggaran dilakukan
dengan cara menganalisis alokasi anggaran diantara pos-pos APBD, misalnya antara belanja
pembangunan dan belanja pegawai yang dibuat proporsional dan wajar/efisien.
Solusi apabila kekurangan dana untuk membiayai pegawai yang dibutuhkan bisa ditempuh
dengan melakukan kerjasama dengan pihak ketiga (sesuai prinsip pelaksanaan pekerjaan) dan
kerjasama dengan daerah/instansi lain dalam rekrutmen pegawai sehingga rekrutmen lebih
efisien. Sebenarnya pemerintah tidak akan kekurangan dana dalam membiayai pegawainya,
tapi jika dilaksanakan dampaknya adalah berkurangnya dana untuk melaksanakan
pembangunan dan pelayanan. Jika anggarannya tidak proporsional berarti penyelenggaraan
pemerintahan tidak efisien, yang harus dilakukan adalah memberdayakan pegawai yang telah
tersedia.
Kembali pada prinsip perencanaan kebutuhan pegawai dimana existing pegawai didasarkan
pada sifat dan jenis pekerjaan, beban kerja, prinsip pengerjaan dan peralatan. Oleh karena
beragamnya sifat dan jenis pekerjaan tersebut maka sangat dipertimbangkan masalah tingkat
pendidikan pegawai, usia, pengalaman kerja, distribusinya bahkan jenis kelamin pegawai
sehingga sesuai dengan bidang tugasnya.
Instansi yang terlibat dalam perencanaan kebutuhan pegawai adalah Kementerian PAN,
selaku pemegang kebijakan perencanaan kebutuhan pegawai, BKN, pejabat pembina
kepegawaian (Gubernur/Bupati), selaku pemegang kebijakan penetapan formasi daerah,
Sekretaris Daerah, selaku penanggungjawab manajemen kepegawaian, BKD, selaku pelaksana
teknis manajemen kepegawaian, dan masing-masing unit kerja, yang memang secara
langsung dapat mengetahui jumlah/kualitas pegawai yang dibutuhkan sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi unit kerja tersebut. Keterlibatan dilakukan dengan menyusun formasi
pegawai masing-masing setiap tahun dan selanjutnya dievaluasi dan dianalisis di BKD sebagai
lembaga teknis daerah yang mengelola manajemen kepegawaian.
Fungsi/peran/keterlibatan Kementerian PAN, BKN dan DDN dalam perencanaan kebutuhan
pegawai adalah sebagai berikut : Kementerian PAN adalah pemegang kebijakan manajemen
kepegawaian, termasuk kebijakan-kebijakan yang bersifat khusus seperti kebijakan
pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS. Dalam hal perencanaan kebutuhan pegawai,
formasi pegawai daerah harus mendapat persetujuan dari Kementerian PAN. BKN
merupakan lembaga teknis kepegawaian ditingkat pusat, antara lain bertugas menyusun
perencanaan, mekanisme dan prosedur yang dijadikan pedoman secara nasional dalam
perencanaan kebutuhan pegawai sedangkan DDN dalam perencanaan kebutuhan pegawai
tidak terlibat secara langsung. Mekanisme atau koordinasi antar pejabat atau unit kerja
dilakukan melalui rapat-rapat koordinasi, surat menyurat, komunikasi langsung
(formal/informal).
157
Sementara itu komitmen dari pimpinan di Provinsi Bali sangat tinggi dalam pengembangan
karier pegawai, hal ini terlihat dari semakin meningkatnya anggaran yang disediakan untuk
program pengembangan pegawai meskipun tetap saja kadang terasa masih kurang memadai.
Solusi yang diambil apabila ternyata ketersediaan anggaran tidak memadai untuk melakukan
pengembangan pegawai yang direncanakan adalah : mengadakan kerjasama dengan lembaga
donor penyelenggara beasiswa pendidikan baik di dalam maupun di luar negeri atau
memotivasi para pegawai untuk mengambil kesempatan memperoleh beasiswa dari lembaga-
lembaga donor tersebut.
Sementara itu mekanisme pelaksanaan pengembangan pegawai, pada intinya : job analysis,
training need analysis, yang disusun oleh unit kerja, diputuskan oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian setelah dipertimbangkan oleh Baperjakat, dan semua pegawai mempunyai hak
dan peluang yang sama. Pejabat yang terlibat dalam proses pengembangan pegawai :
Pimpinan instansi/unit kerja dalam melakukan pengusulan dan selanjutnya Baperjakat
melakukan pembahasan untuk dilaporkan kepada Gubernur.
a. Kota Denpasar
158
Tabel 4.95
Data Kepegawaian dan Keuangan di Kota Denpasar
Tahun 1997-2005
Tahun Jumlah Pegawai APBD Belanja Pegawai
1997 - 62.646.297.486 22.281.741.333
1998 - 78.383.407.905 29.093.660.690
1999 3.306 137.857.465.492 35.479.567.576
2000 5.801 129.195.236.633 33.252.860.006
2001 7.014 262.006.978.836 106.679.172.997
2002 7.032 321.533.252.573 119.051.398.126
2003 6.860 355.950.399.652 183.822.016.476
2004 - 349.241.399.388 189.686.042.062
2005 - 368.128.178.287 190.013.076.129
Sumber Data : BKD Kota Denpasar dan Bag Keuangan Kota Denpasar
Penambahan pegawai yang besar justeru terjadi pada tahun 2000, yaitu sebanyak 2.495 orang
dan tahun 2001 sebanyak 1.213 orang. Baru pada tahun selanjutnya pertumbuhan jumlah
pegawai melandai bahkan pada tahun 2003 terjadi pengurangan pegawai sebanyak 172 orang.
Diagram 4.96
Data Jumlah Pegawai di Kota Denpasar
Tahun 1997-2005
8.000
7.000
Jumlah Pegawai
6.000
5.000
4.000
3.000
2.000
1.000
0
1999 2000 2001 2002 2003Des
Tahun
Grafik 4.97
Data APBD di Kota Denpasar
Tahun 1997-2005
400.000.000.000
350.000.000.000
300.000.000.000
Jumlah APBD
250.000.000.000
200.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
0
s
97
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
160
Grafik 4.98
Data Beban Belanja Pegawai di Kota Denpasar
Tahun 1997-2005
200.000.000.000
180.000.000.000
160.000.000.000
140.000.000.000
Jumlah Belanja
120.000.000.000
100.000.000.000
80.000.000.000
60.000.000.000
40.000.000.000
20.000.000.000
0
s
97
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
400.000.000.000
350.000.000.000
Pembiayaan Pegawai
APBD dan Beban
300.000.000.000
250.000.000.000
200.000.000.000
150.000.000.000
Series1
100.000.000.000 Series2
50.000.000.000
0
s
97
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
161
belanja pegawai sementara sisanya 60,06% dipergunakan untuk belanja pembangunan dan
peningkatan pelayanan masyarakat.
Apabila dicermati data dalam Diagram Batang tersebut terlihat bahwa rasio antara APBD dan
beban belanja pegawai Kota Denpasar pada tahun 1997 sampai 2005 cukup stabil, secara
umum rasio rata-ratanya adalah sebesar 39,94%. Dan apabila dicermati per tahun tidak terjadi
lonjakan yang cukup signifikan, terbesar 25,74% yang terjadi tahun 1999 dan 2000 dan
terendah 54,31% yang terjadi tahun 2004.
162
b. Kabupaten Bangli
Selanjutnya data tersebut disajikan dalam bentuk Diagram Batang dibawah ini.
163
Diagram 4.101
Data Jumlah Pegawai di Kabupaten Bangli
Tahun 1999-2005
4.000
3.500
Jumlah Pegawai
3.000
2.500
2.000
1.500
1.000
500
0
s
00
01
02
03
04
De
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
164
Grafik 4.102
Data APBD di Kabupaten Bangli
Tahun 1999-2005
250.000.000.000
200.000.000.000
Jumlah APBD
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
s
99
00
01
02
03
04
De
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
165
Grafik 4.103
Data Beban Belanja Pegawai di Kabupaten Bangli
Tahun 1999-2005
70.000.000.000
60.000.000.000
50.000.000.000
Jumlah Belanja
40.000.000.000
30.000.000.000
20.000.000.000
10.000.000.000
0
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005Des
Tahun
166
Diagram 4.104
Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di Kab Bangli
Tahun 1999-2005
250.000.000.000
200.000.000.000
100.000.000.000
Series1
50.000.000.000
Series2
s
99
00
01
02
03
04
De
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
167
yang diajukan harus disesuaikan dengan kemampuan anggarannya. Kondisi existing pegawai
(kualitas/kuantitas) juga menjadi pertimbangan dalam perencanaan kebutuhan pegawai.
Seluruh pejabat di unit kerja dilibatkan dalam perencanaan kebutuhan pegawai. BKN dalam
hal ini memberikan formasi yang ditetapkan berdasarkan kemampuan APBN. Mekanisme
atau koordinasi yang dilakukan antar pejabat di unit kerja dalam merencanakan kebutuhan
pegawainya dilakukan dibawah koordinasi dan pengawasan BKD yang sekaligus memberikan
binteknya.
Komitmen pengembangan pegawai di Kabupaten Bangli sudah cukup tinggi. Hal ini
ditunjukkan dengan diselenggarakannya berbagai diklat teknis maupun diklat fungsional
yang bertujuan untuk mewujudkan profesionalisme pegawai. Ketersediaan anggaran (APBD)
menjadi pertimbangan utama dalam melakukan pengembangan pegawai dan selama ini tidak
ada masalah sepanjang daerah mampu membiayai maka program pengembangan pegawai
dilaksanakan. Alokasi APBD untuk pengembangan pegawai di Kabupaten Bangli dapat
dikatakan cukup dan dialokasikan di masing-masing unit kerja/dinas. Meskipun demikian
dalam prakteknya apabila ada kekurangan dana maka solusi yang diambil adalah dengan
mengajukan Anggaran Biaya Tambahan (ABT) kepada Departemen Keuangan dan
pembinaannya oleh Departemen Dalam Negeri sehingga dapat digunakan sesuai dengan
kebutuhannya.
Dalam melakukan program pengembangan pegawai, BKD menyusun program kegiatan
pengembangan pegawai yang akan diselenggarakan lalu meminta usulan pesertanya kepada
seluruh unit kerja. Dalam hal ini semua pegawai mempunyai hak dan peluang yang sama,
karena pengembangan pegawai melalui diklat dampaknya sangat bagus bagi organisasi
khususnya diklat tehnis dan fungsional. Pengembangan pegawai dalam rangka meningkatkan
kompetensi pegawai/organisasi sudah efektif dan akan terus ditingkatkan. Karena dalam
diklat ada nilai tambah berupa pengetahuan, keterampilan dan sharing pengalaman antar
peserta, apabila setelah mengikuti diklat kinerjanya justeru menurun/tidak baik akan
diberikan sanksi.
168
Data penduduk Provinsi Jawa Timur sebagaimana tercatat dalam Provinsi Jawa Timur dalam
Angka Tahun 2005 adalah sebanyak 36.535.530 jiwa dengan pertumbuhan sebesar 0,91%.
Sementara itu Kabupaten/Kota dengan penduduk terbesar adalah Kota Surabaya dengan
penduduk sebanyak 2.675.160 jiwa, Kabupaten Malang dengan penduduk sebanyak 2.359.900
jiwa dan Kabupaten Jember dengan penduduk sebanyak 2.244.050 jiwa. Kepadatan rata-rata
penduduk Provinsi Jawa Timur adalah 787 jiwa per 1 km². Kepadatan ini berbeda untuk
masing-masing Kota dan Kabupaten, biasanya Kota lebih tinggi tingkat kepadatan
penduduknya.
Dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan tahun 2000 diketahui
bahwa pertumbuhan ekonomi Jawa Timur selama tiga tahun adalah sebesar 3,8% pada tahun
2002, 4,78% pada tahun 2003 dan 5,8% pada tahun 2004. Dari data tersebut terlihat bahwa
selama periode tersebut terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan. Pertumbuhan
ekonomi ini terutama didukung oleh pertumbuhan yang terjadi di sektor perdagangan, hotel
dan restoran yang mengalami pertumbuhan sebesar 9,25%, sektor industri sebesar 5,28% dan
sektor pertanian sebesar 2,82%.
Tabel 4.105
Data Kepegawaian dan Keuangan di Provinsi Jawa Timur
Tahun 1998-2005
No Tahun Jml Peg APBD Belanja Peg Pengemb Peg
1. 1998 - 787.090.668.445 141.988.171.932 1.816.874.270
2. 1999 - 829.446.822.224 90.419.898.957 1.493.631.730
3. 2000 - 852.161.346.413 79.584.165.239 1.016.255.400
4. 2001 26.096 1.906.055.928.366 295.404.347.316 2.433.027.500
5. 2002 25.578 2.934.677.847.377 427.304.715.129 3.704.431.860
6. 2003 24.889 3.532.958.320.340 490.154.478.488 6.463.587.548
7. 2004 24.059 3.516.027.159.655 709.774.035.182 10.259.645.033
8. 2005 22.322 4.045.400.885.358 814.311.703.014 39.651.741.148
Sumber Data : BKD Prov Jawa Timur dan Biro Keuangan Prov Jawa Timur
169
Diagram 4.106
Data Jumlah Pegawai di Provinsi Jawa Timur
Tahun 1998-2005
27.000
26.000
Jumlah Pegawai
25.000
24.000
23.000
22.000
21.000
20.000
2001 2002 2003 2004 2005Des
Tahun
170
Grafik 4.107
Data APBD di Provinsi Jawa Timur
Tahun 1998-2005
4.500.000.000.000
4.000.000.000.000
3.500.000.000.000
Jumlah APBD
3.000.000.000.000
2.500.000.000.000
2.000.000.000.000
1.500.000.000.000
1.000.000.000.000
500.000.000.000
-
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
171
Grafik 4.108
Data Beban Belanja Pegawai di Provinsi Jawa Timur
Tahun 1998-2005
900.000.000.000
800.000.000.000
700.000.000.000
Jumlah Belanja
600.000.000.000
500.000.000.000
400.000.000.000
300.000.000.000
200.000.000.000
100.000.000.000
-
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
4.500.000.000.000
4.000.000.000.000
APBD dan Beban
3.500.000.000.000
3.000.000.000.000
Belanja
2.500.000.000.000
2.000.000.000.000
1.500.000.000.000
1.000.000.000.000 Series1
Series2
500.000.000.000
-
s
98
99
00
01
02
03
20 004
De
19
19
20
20
20
20
2
05
Tahun
a. Kota Surabaya
174
(2) Kondisi Kepegawaian dan Keuangan Kota Surabaya
Berikut data kepegawaian dan keuangan di Kota Surabaya.
Tabel 4.110
Data Kepegawaian dan Keuangan di Kota Surabaya
Tahun 1998-2005
No Tahun Jumlah Peg APBD Belanja Pegawai
1. 1998 10.919 73.076.630.000 74.538.993.712
2. 1999 11.082 110.571.679.000 99.611.248.466
3. 2000 10.991 105.727.401.600 93.358.190.458
4. 2001 17.702 301.975.557.000 282.305.387.749
5. 2002 18.374 340.106.026.000 303.550.164.919
6. 2003 17.973 397.800.871.000 373.579.606.712
7. 2004 17.717 473.876.199.862 417.681.297.306
8. 2005 17.312 494.627.990.685 421.358.448.802
Sumber Data : BKD Kota Surabaya dan BPKK Surabaya
Selanjutnya data tersebut disajikan dalam bentuk diagram batang dibawah ini :
175
Diagram 4.111
Data Jumlah Pegawai di Kota Surabaya
Tahun 1998-2005
20.000
18.000
Jumlah Pegawai
16.000
14.000
12.000
10.000
8.000
6.000
4.000
2.000
-
98
99
00
01
02
03
04
s
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
176
Grafik 4.112
Data APBD di Kota Surabaya
Tahun 1998-2005
600.000.000.000
500.000.000.000
Jumlah APBD
400.000.000.000
300.000.000.000
200.000.000.000
100.000.000.000
98
99
00
01
02
03
04
s
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
177
Grafik 4.113
Data Beban Belanja Pegawai di Kota Surabaya
Tahun 1998-2005
450.000.000.000
400.000.000.000
350.000.000.000
Jumlah Belanja
300.000.000.000
250.000.000.000
200.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
-
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
178
Diagram 4.114
Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di Kota Surabaya
Tahun 1998-2005
500.000.000.000
450.000.000.000
Pegawai
300.000.000.000
250.000.000.000
200.000.000.000
Series1
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000 Series2
-
98
99
00
01
02
03
20 04
s
De
19
19
20
20
20
20
20
05
Tahun
b. Kabupaten Malang
181
Tabel 4.115
Data Kepegawaian dan Keuangan di Kabupaten Malang
Tahun 1998-2006
No Tahun Jumlah APBD Belanja Peg Pengemb Peg
Peg
1. 1998 13.579 142.760.540.036 88.933.194.587 1.816.874.270
2. 1999 14.363 213.700.488.086 132.717.046.564 1.493.631.730
3. 2000 15.078 186.008.317.259 125.068.771.552 1.016.255.400
4. 2001 19.724 372.894.467.723 306.089.452.942 2.433.027.500
5. 2002 18.986 507.254.139.529 294.565.834.503 3.704.431.860
6. 2003 17.295 627.317.446.125 326.635.752.222 6.463.587.548
7 2004 16.883 599.156.484.076 355.047.080.713 10.259.645.033
8. 2005 16.962 703.474.928.599 330.654.166.766 39.651.741.148
Sumber Data : BKD Kab Malang dan Bagian Keuangan Kab Malang
Trend pertumbuhan jumlah pegawai yang ada di Kabupaten Malang pada periode 1998-2005
cukup landai, meskipun tetap ada fluktuasi, kenaikan dan penurunan akan tetapi tidak terlalu
besar. Secara rata-rata pertumbuhan jumlah pegawai di Kabupaten Malang selama periode
1998-2005 adalah sebesar 483 orang per tahun atau sebesar 2,59%. Pertumbuhan tertinggi
terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 23,56% atau sebanyak 4.646 orang. Pertambahan yang
sangat besar apabila dibandingkan dengan nilai rata-ratanya yang sebesar 483 orang per
tahun.
182
Diagram 4.116
Data Jumlah Pegawai di Kabupaten Malang
Tahun 1998-2006
20.000
18.000
Jumlah Pegawai
16.000
14.000
12.000
10.000
8.000
6.000
4.000
2.000
0
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
183
Grafik 4.117
Data APBD di Kabupaten Malang
Tahun 1998-2005
800.000.000.000
700.000.000.000
600.000.000.000
Jumlah APBD
500.000.000.000
400.000.000.000
300.000.000.000
200.000.000.000
100.000.000.000
0
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
184
Grafik 4.118
Data Beban Belanja Pegawai di Kabupaten Malang
Tahun 1998-2005
400.000.000.000
350.000.000.000
300.000.000.000
Jumlah APBD
250.000.000.000
200.000.000.000
150.000.000.000
100.000.000.000
50.000.000.000
0
s
98
99
00
01
02
03
04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
185
Diagram 4.119
Rasio APBD dan Beban Belanja Pegawai di Kab Malang
Tahun 1998-2005
800.000.000.000
700.000.000.000
600.000.000.000
Jumlah Uang
500.000.000.000
400.000.000.000
300.000.000.000
200.000.000.000 Series1
Series2
100.000.000.000
0
s
98
99
00
01
02
03
20 04
De
19
19
20
20
20
20
20
05
Tahun
Grafik 4.120
Data Beban Pengembangan Pegawai di Kabupaten Malang
Tahun 1998-2005
45.000.000.000
40.000.000.000
35.000.000.000
Jumlah Belanja
30.000.000.000
25.000.000.000
20.000.000.000
15.000.000.000
10.000.000.000
5.000.000.000
0
98
99
00
01
02
03
04
s
De
19
19
20
20
20
20
20
05
20
Tahun
188
menangani anggaran keuangan. Sehingga dapat menimbulkan sejumlah dampak yang secara
langsung berakibat dalam penyusunan sejumlah kegiatan di setiap unitnya masing-masing.
189
tidak sama. Ada yang dilaksanakan pada tahun 2001 (gambaran secara umum) tetapi ada juga
tahun yang lain (di Provinsi Sumatera Selatan dilakukan pada tahun 2003).
Sementara itu data untuk beban belanja pegawai, trend yang terlihat tidak sama, tetapi secara
umum terlihat adanya peningkatan yang signifikan, yaitu terjadi lonjakan pada tahun 2001.
Trend yang tergambar pada tahun-tahun selanjutnya menunjukkan variasi yang berbeda-
beda. Ada Provinsi yang beban belanjanya menurun seperti yang terjadi di Provinsi Sulawesi
Utara, akan tetapi ada pula yang justeru meningkat seperti yang terjadi di Provinsi
Kalimantan Barat dan Provinsi Jawa Timur, ada pula yang cenderung melandai seperti yang
terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan ada pula yang menurun kemudian meningkat
seperti yang terjadi di Provinsi Jambi dan Provinsi Bali atau sebaliknya meningkat kemudian
menurun seperti yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan. Gambaran tersebut menunjukkan
bahwa dampak pelimpahan pegawai atau bertambahnya jumlah pegawai daerah terhadap
aspek keuangan khususnya dalam beban belanja pegawai sangat besar. Secara otomatis,
apabila jumlah pegawai bertambah maka anggaran untuk beban belanja pegawai juga ikut
meningkat. Akan tetapi dari data yang berhasil dikumpulkan Tim, terlihat bahwa prosentase
peningkatannya tidak selalu sebanding, bahkan ada data yang menunjukkan pada saat jumlah
pegawai bertambah besar, anggaran beban belanja pegawai hanya bertambah sedikit bahkan
ada yang menurun. Selain hal tersebut, dari data yang ditemukan di daerah Provinsi juga
terlihat bahwa ada perbedaan waktu dalam penambahan jumlah pegawai dan peningkatan
beban belanja pegawainya.
Data di Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan bahwa jumlah pegawai pada periode tahun
2001 sampai 2005 cenderung mengalami penurunan, akan tetapi dari data beban belanja
pegawainya justeru menunjukkan peningkatan pada periode tahun tersebut. Demikian pula
data yang diperoleh Tim di Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Bali. Berdasarkan
informasi yang diperoleh di lapangan, kondisi tersebut terjadi karena adanya peningkatan
jumlah gaji dan peningkatan tunjangan sebagai akibat terjadinya perubahan pangkat dan
jabatan pegawai dan berbagai tambahan lain yang menambah beban belanja pegawai. Dari
data ini dapat dipahami bahwa trend jumlah pegawai dan trend beban belanja pegawai tidak
selalu signifikan positif, artinya tidak selalu kenaikan jumlah pegawai diikuti dengan naiknya
beban belanja pegawai dan begitu pula sebaliknya.
Data yang lebih menarik adalah saat dilakukan analisis terhadap rasio antara APBD dan
beban belanja pegawai yang ada di tingkat Provinsi. Secara umum rasio APBD dan beban
belanja pegawai yang ada di Provinsi rata-rata kurang dari 50%. Ini berarti pemanfaatan
anggaran dalam APBD masih cukup bagus karena masih cukup anggaran untuk keperluan di
luar belanja rutin (belanja pegawai). Bahkan data yang diperoleh dari Provinsi Sulawesi
Utara, Provinsi Nusa Tenggra Barat, Provinsi Jambi, dan Provinsi Jawa Timur menunjukkan
secara rata-rata rasionya kurang dari 30%. Artinya ada lebih dari 70% dana APBD yang
dimanfaatkan untuk belanja pembangunan dan pelayanan masyarakat.
190
Akan tetapi data yang ditemukan di Provinsi Bali sangat berbeda, dimana rata-rata rasionya
mencapai 83,14%. Artinya 83,14% bagian APBD dihabiskan untuk belanja pegawai dan
untuk belanja pembangunan dan pelayanan masyarakat hanya tersisa anggaran sebesar
16,86% APBD. Dari data yang diperoleh Tim di Provinsi Bali, ditemukan bahwa pada tahun
2001 dimana jumlah pegawai meningkat sebesar 54,11% ternyata beban belanja pegawainya
meningkat sebesar 75,98% sementara APBD-nya meningkat sebesar 72,54%. Kondisi ini terus
terjadi sejak tahun 1998 sampai 2005, dimana peningkatan APBD selalu diikuti dengan
peningkatan beban belanja pegawai, bahkan prosentase peningkatannya jauh lebih besar.
Sementara itu, data jumlah pegawainya selama periode 2000 sampai 2003 cenderung
mengalami penurunan.
Gambaran yang diperoleh Tim dari data yang dikumpulkan di lapangan menunjukkan bahwa
pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, yaitu dengan dilimpahkannya pegawai instansi
vertikal menjadi pegawai perangkat daerah membawa dampak pada meningkatnya jumlah
pegawai daerah. Peningkatan ini secara otomatis diikuti dengan meningkatnya beban belanja
pegawai dan APBD-nya, tetapi dengan prosentase yang berbeda-beda. Rasio antara APBD
dan beban belanja pegawai yang digambarkan pada tahun 2001 di Provinsi menunjukkan
adanya peningkatan yang cukup signifikan. Sebagaimana ditunjukkan dari data di Provinsi
Sulawesi Utara, pada tahun 2000 rasionya sebesar 23,28% dan pada tahun 2001 meningkat
menjadi 54,76% kemudian pada tahun berikutnya menurun kembali menjadi 26,09%.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pelimpahan pegawai yang dilakukan pada tahun 2001 belum
diikuti dengan dilakukannya pelimpahan dana pendukungnya sehingga menambah beban
belanja pegawai dalam APBD yang ditunjukkan dengan rasionya yang besar. Baru pada tahun
berikutnya dilakukan pelimpahan dana pendukung dalam bentuk penambahan dalam pos
DAU yang menambah APBD sehingga APBD bertambah dan rasionya kembali menurun.
Dari apa yang diperoleh Tim dilapangan dapat disimpulkan bahwa kebijakan otonomi daerah
yang diikuti dengan dilakukannya pelimpahan pegawai instansi vertikal menjadi pegawai
perangkat daerah telah membebani APBD di tingkat Provinsi. Karena ternyata pelimpahan
pegawai tersebut tidak langsung diikuti dengan dilakukannya pelimpahan dana dan sarana
prasarana pendukungnya. APBD pada tahun 2001 tersedot untuk membiayai gaji pegawai
(beban belanja pegawai) sehingga mengurangi dana anggaran untuk pembangunan dan
pelayanan masyarakat. Baru pada tahun berikutnya, yaitu pada tahun 2002, Pemerintah Pusat
memberikan dana tambahan dalam bentuk DAU (Dana Alokasi Umum) kepada Provinsi
untuk menambah anggaran pembayaran beban belanja pegawai.
191
Kabupaten Malang. Sementara gambaran data jumlah pegawai yang diperoleh di Kabupaten
Ogan Komering Ilir (OKI) agak berbeda, karena pada periode 1998 sampai 2005 tersebut
justeru terjadi penurunan jumlah pegawai. Tercatat hanya pada tahun 2002 terjadi
penambahan pegawai, yaitu sebanyak 281 orang atau sebesar 2,54%. Bahkan pada tahun 2004
terjadi pengurangan jumlah pegawai yang sangat besar, yaitu 3.927 orang atau sebesar
56,39%.
Selanjutnya dari data yang ditemukan di lapangan khususnya di Kabupaten/Kota ditemukan
variasi yang berbeda-beda. Sebagai contoh, data yang diperoleh di Kabupaten Pontianak
menunjukkan bahwa pelimpahan pegawai tersebut terjadi pada tahun 2003, dimana terjadi
penambahan pegawai sebanyak 6.429 orang atau sebesar 71,58%. Demikian juga yang terjadi
di Kabupaten Bangli, dimana penambahan pegawai sebanyak 2.069 orang atau sebesar 58,05%
terjadi pada tahun 2003. Sementara data di Kota Palembang justeru sebaliknya, penambahan
jumlah pegawai justeru terjadi pada tahun 2000. Artinya pada tahun diimplementasikannya
kebijakan otonomi daerah langsung dilakukan pelimpahan pegawai, yaitu dengan terjadinya
penambahan pegawai sebanyak 6.871 orang atau sebesar 41,95%. Kondisi yang sama juga
terlihat di Kota Denpasar dimana pelimpahan pegawai terjadi pada tahun 2000 dengan
penambahan pegawai sebanyak 2.495 orang atau sebesar 43,01%.
Gambaran yang ditunjukkan dari data-data tersebut memberikan kesimpulan bahwa
pelimpahan pegawai instansi vertikal sebagai dampak pelaksanaan kebijakan otonomi daerah
di tingkat Kabupaten/Kota waktu pelaksanaannya tidak sama, ada yang pada tahun 2000,
2001 atau tahun-tahun lainnya. Data yang diperoleh dari lapangan juga menunjukkan bahwa
pelimpahan pegawai instansi vertikal di tingkat Kabupaten/Kota dilakukan secara bertahap.
Data yang ditemukan di Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Bangli menunjukkan bahwa
pelimpahan pegawai terjadi tahun 2001 dan pada tahun 2003 terjadi pelimpahan lagi dengan
jumlah yang jauh lebih besar. Kondisi ini nampaknya tergantung pada bagaimana kesiapan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota itu sendiri termasuk juga kesiapan Pemerintah Daerah
Provinsi dan instansi vertikal yang terkait dalam melimpahkan, mengelola dan
mendistribusikan pegawai limpahan tersebut.
Selanjutnya trend yang tergambar dalam jumlah pegawai di tingkat Kabupaten/Kota juga
signifikan dengan trend beban belanja pegawai. Secara umum terjadi lonjakan dalam beban
belanja pegawai yang terjadi pada tahun 2001 dimana jumlah pegawai juga mengalami
penambahan. Gambaran jumlah pegawai di Kabupaten OKI yang mengalami penurunan,
ternyata data beban belanja pegawainya justeru mengalami kenaikan, secara rata-rata
kenaikan beban belanja pegawainya sebesar 9,47%. Data yang mencengangkan terjadi di
Kabupaten Bangli pada tahun 2003. Pada tahun 2003, Kabupaten Bangli mendapat tambahan
pegawai sebanyak 2.069 orang atau meningkat sebesar 58,05% dari tahun sebelumnya, akan
tetapi dalam beban belanja pegawainya justeru terjadi penurunan yang sangat besar, yaitu
516,1%. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bagaimana pembayaran gaji dan tunjangan dari pegawai
tersebut dilakukan? Ataukah telah dilakukan efisiensi anggaran? Sementara itu analisis yang
192
dilakukan terhadap APBD Kabupaten Bangli, terlihat bahwa pada tahun 2003 terjadi
peningkatan sebesar 20,3%. Kondisi ini berdampak pada rasio APBD dan beban belanja yang
turun drastis pada tahun 2003. Pada periode tahun 1999 sampai 2002, rata-rata rasionya
adalah sebesar 43,05% dan pada periode tahun 2003 sampai 2005 turun menjadi 9,3%, satu
jumlah yang sangat kecil. Artinya dana APBD yang dimanfaatkan untuk keperluan
pembangunan dan pelayanan masyarakat menjadi lebih besar.
Apabila dicermati secara umum data rasio APBD dan beban belanja pegawai yang diperoleh
Tim di tingkat Kabupaten/Kota, pada dasarnya menunjukkan gambaran yang sama, yaitu
mengalami kenaikan pada tahun 2001. Kondisi ini terjadi karena prosentase kenaikan jumlah
pegawai sebagai akibat pelimpahan pegawai instansi vertikal lebih besar daripada prosentase
kenaikan APBD. Akan tetapi ada perbedaan data yang ditemukan di tingkat Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Kalau di tingkat Provinsi penambahan dana APBD dalam bentuk DAU tidak
sama waktu pelimpahannya - bisa tahun 2001, 2002 atau 2003 - gambaran data yang
ditemukan di tingkat Kabupaten/Kota menunjukkan bahwa pelimpahan DAU dalam APBD
cenderung dilakukan bersamaan dengan pelimpahan pegawai, yaitu pada tahun 2001 itu juga.
Dari gambaran data yang diperoleh di lapangan, terlihat bahwa implementasi kebijakan
otonomi daerah dengan diikuti pelimpahan pegawai instansi vertikal menjadi pegawai
perangkat daerah di tingkat Kabupaten/Kota cukup signifikan menambah beban belanja
pegawai. Tetapi tidak menjadi masalah dalam alokasi APBD karena diikuti dengan
pelimpahan dana pendukungnya dalam bentuk DAU sekaligus pada tahun 2001. Meskipun
memang ada penambahan beban belanja pegawai dan apabila dicermati rasio APBD dan
beban belanja pegawai juga meningkat tetapi dapat menyesuaikan kembali karena adanya
penambahan anggaran dalam bentuk DAU. Gambaran tersebut juga memberikan kesimpulan
bahwa kebijakan otonomi daerah oleh Pemerintah Pusat memang difokuskan ditingkat
Kabupaten/Kota, hal ini terlihat dari tidak adanya perbedaan waktu antara pelaksanaan
pelimpahan pegawai dengan pelimpahan dana pendukungnya.
a. Gambaran Provinsi
Gambaran data dan informasi yang diperoleh Tim di tingkat Provinsi menghasilkan satu
kesimpulan bahwa kegiatan perencanaan kebutuhan pegawai sudah dilakukan sebagaimana
peraturan yang berlaku. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2003 tentang Formasi PNS dan Peraturan Pemerintah Nomor
98 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pengadaan PNS
diatur mengenai berbagai hal yang terkait dengan penyusunan formasi pegawai dan berbagai
persyaratan dan tata cara melakukan perencanaan kebutuhan pegawai.
Di tingkat Provinsi, terlihat bahwa tahap-tahap dalam melakukan perencanaan kebutuhan
peagwai sebagaimana diatur dalam kebijakan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.
193
Bahkan ada beberapa Provinsi yang sudah melakukan analisis beban kerja, melibatkan unit-
unit terkecil bahkan menggunakan kemajuan teknologi dalam melakukan perencanaan
kebutuhan pegawai. Semua Provinsi menyebutkan bahwa langkah awal dalam melakukan
perencanaan kebutuhan pegawai adalah memotret kondisi riil (existing) kepegawaiannya.
Kondisi riil ini menjadi tolok ukur dan dasar untuk menghitung kebutuhan pegawai. Berapa
jumlah pegawai yang ada, berapa yang masuk usia pensiun (BUP), berapa yang promosi,
mutasi dan lain sebagainya. Sebagai contoh, perencanaan kebutuhan pegawai yang dilakukan
di Provinsi Kalimantan Barat. Untuk melakukan up dating data kepegawaian dilibatkan unit
terkecil untuk menghitung kebutuhan pegawainya berdasarkan kebutuhan riil atau beban
kerjanya. Kebutuhan pegawai tidak hanya dihitung berdasarkan kebutuhan kuantitas tetapi
juga kualitasnya sehingga benar-benar sesuai dengan kebutuhan yang ada. Sementara itu
perencanaan kebutuhan pegawai di Provinsi Jawa Timur sudah memanfaatkan SIMPEG
sebagai penyedia data base kepegawaian yang cukup valid.
Masalah yang dihadapi dalam melakukan perencanaan kebutuhan pegawai di Provinsi rata-
rata menyebutkan adanya ketidaksesuaian antara usulan dan yang diterima oleh Pemerintah
Pusat (Kementerian PAN dan BKN). Daerah sudah ”capai-capai” menghitung kebutuhan riil
pegawainya dengan menghabiskan dana, waktu, pikiran yang tidak sedikit tetapi setelah
diajukan ke Pusat tahu-tahu dipangkas dengan alasan ”klise” kemampuan anggaran negara
yang terbatas. Daerah merasa ”sia-sia” menghitung kebutuhan pegawai lengkap dengan
kualifikasi yang dibutuhkan tetapi setelah turun dari Pusat yang keluar hanya jumlah
kuantitatifnya saja. Sehingga daerah harus bekerja keras lagi untuk menyesuaikan dengan
kebutuhan dan menyusun sesuai prioritas yang ada.
Dalam hal ini nampaknya Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian PAN dan BKN
sebagai instansi yang bertanggung jawab menangani perencanaan kebutuhan pegawai secara
nasional harus tegas dalam memberikan quota penerimaan pegawai. Quota penerimaan
pegawai secara nasional dan quota untuk masing-masing daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota)
seharusnya sudah diumumkan jauh-jauh hari sebelum daerah melakukan perhitungan
kebutuhan formasinya. Sehingga daerah merasa tidak sia-sia melakukan perhitungan,
seandainya ada kekurangan, kelebihan atau ketidaksesuaian antara yang dibutuhkan dan
yang disetujui masih dapat dihitung lagi sesuai kebutuhan prioritasnya. Yang perlu dibangun
adalah adanya komunikasi dan koordinasi yang bagus antara Pemerintah Pusat dan Daerah
selain itu juga perlu adanya time schedule yang jelas dalam perencanaan kepegawaian
nasional yang dapat menjadi pedoman daerah dalam melakukan kegiatan perencanaan
kebutuhan pegawainya.
Informasi yang cukup mencengangkan yang diperoleh Tim terkait dengan anggaran, ternyata
dalam pelaksanaan kegiatan perencanaan kebutuhan pegawai, daerah tidak begitu
mempertimbangkan kemampuan anggaran (APBD). Meskipun ada juga Provinsi yang
menyatakan mempertimbangkan kemampuan anggarannya seperti Provinsi Kalimantan
Barat. Pemikiran yang mendasari mengapa kemampuan anggaran tidak menjadi
194
pertimbangan utama adalah karena adanya ketidak-konsistenan Pemerintah Pusat
sebagaimana dijelaskan didepan, yaitu apa yang diusulkan selalu dipotong jumlahnya. Selain
itu dari informasi yang diperoleh semenjak era otonomi, beban belanja pegawai termasuk
pembayaran gaji, tunjangan tidak secara langsung membebani APBD tetapi didukung oleh
Pemerintah Pusat dalam bentuk DAU (Dana Alokasi Umum). Ini juga dilandasi keyakinan,
apa yang sudah diputuskan oleh Pusat (dalam bentuk quota jumlah pegawai yang disetujui)
tentunya sudah dihitung beban pembiayaannya dan tidak mungkin tidak akan dibayar.
Perencanaan kebutuhan pegawai di tingkat Provinsi melibatkan Biro Kepegawaian (BKD
Provinsi) sebagai instansi yang bertanggung jawab dalam kepegawaian, selain itu juga
melibatkan Biro Organisasi yang bertugas mengkoordinasi dalam penghitungan beban kerja
dari unit-unit. Sementara untuk menghitung kondisi existing pegawai dan kebutuhan riil dari
masing-masing unit kerja, maka unit kerja juga dilibatkan. Biro Keuangan dilibatkan untuk
menghitung kebutuhan anggarannya. Instansi yang paling menentukan dalam kegiatan
perencanaan kebutuhan pegawai atau dapat disebut sebagai penentunya adalah Kementerian
PAN dan BKN.
Mekanisme yang dibangun adalah : Biro Organisasi melakukan koordinasi dengan unit-unit
kerja untuk memetakan kondisi existing pegawai dan kebutuhan riil dari masing-masing unit
kerja. Setelah ditemukan potretnya dan disusun kebutuhan formasi pegawainya, Biro
Kepegawaian (BKD) dan Biro Keuangan sebagai pelaksana teknis melakukan penghitungan
kebutuhan anggaran dan teknis penyelenggaraan administrasinya. Formasi itu selanjutnya
diajukan ke Pemerintah Pusat (Kementerian PAN dan BKN) untuk mendapatkan
persetujuan. Dalam hal ini biasanya ada pengurangan jumlah formasi karena alasan
kemampuan anggaran negara.
Sementara itu dalam pengembangan pegawai, dari data dan informasi yang diperoleh Tim di
Provinsi menunjukkan bahwa komitmen para pimpinan di Provinsi sangat besar. Hal ini
ditunjukkan dengan anggaran pengembangan pegawai yang selalu meningkat dari tahun
ketahun. Meskipun apabila dilihat dari alokasinya dalam APBD masih sangat kecil, misalnya
di Provinsi Sulawesi Utara rata-rata hanya sebesar 2,03% untuk periode tahun 2000 sampai
dengan 2005, artinya 2,03% dana APBD dialokasikan untuk pengembangan pegawai,
demikian juga di Provinsi Bali yang alokasi pengembangan pegawainya mencapai 2,67%.
Sementara di Provinsi Nusa Tenggara Barat jauh lebih kecil, hanya 0,47% dari APBD yang
dialokasikan untuk pengembangan pegawai.
Kecilnya alokasi untuk kegiatan pengembangan pegawai ini terkait dengan adanya
keterbatasan kemampuan APBD, disamping itu kegiatan pengembangan pegawai belum
menjadi kebutuhan prioritas di daerah. Untuk menyiasati kekurangan dana tersebut,
Pemerintah Provinsi banyak menjalin kerjasama dengan berbagai instansi, baik dengan
Perguruan Tinggi (dalam negeri maupun luar negeri) maupun dengan berbagai instansi
penyedia dana (dalam negeri maupun luar negeri), misalnya dengan Bappenas, berbagai
Dinas, AUSAID, USAID dan negara donor lainnya. Dan akan sangat bagus apabila pegawai
195
dapat membiayai sendiri kegiatan pengembangannya (swadana). Ini biasanya untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, misalnya S1 atau S2 dengan ijin belajar
maupun tugas belajar.
Kebutuhan pengembangan pegawai belum menjadi kebutuhan prioritas sebenarnya
merupakan dampak dari kurangnya dana yang tersedia. Karena bidang-bidang lain lebih
membutuhkan dana APBD, misalnya untuk pembayaran gaji, baik PNS maupun pegawai
honorer. Dalam kegiatan pengembangan pegawai ada hal-hal yang menjadi pertimbangan
dan diprioritaskan. Sebagai contoh, diklat kepemimpinan akan lebih diprioritaskan daripada
diklat teknis dan fungsional karena terkait dengan jabatan struktural. Selain itu kondisi
existing pegawai menjadi pertimbangan utama, yaitu terkait dengan komposisi pegawai yang
ada. Seperti apa sebaran pegawai menurut tingkat pendidikan, jabatan, pangkat dan golongan,
diklat yang pernah diikuti, tingkat usia dan lain sebagainya. Semua itu menjadi dasar utama
dalam kegiatan pengembangan pegawai dan sebenarnya dapat disediakan dengan cepat
apabila tersedia database kepegawaian secara computerized. Dalam hal ini, Provinsi Jawa
Timur sudah dapat menyediakan dan memanfaatkan database kepegawaiannya dengan baik
untuk berbagai keperluan kepegawaian (mutasi, promosi, penilaian kinerja, pengembangan
pegawai dan sebagainya). Selain itu juga ditetapkan berbagai persyaratan administrasi, track
record selama menjadi pegawai, relevansi dengan tugas di unitnya dan perilakunya serta
adanya rekomendasi dari atasan langsung. Selain itu untuk yang mendapat dana dari luar
negeri harus lolos berbagai tes yang diselenggarakan oleh negara pemberi donor.
Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan pengembangan pegawai di Provinsi meliputi,
Gubernur sebagai pimpinan tertinggi di Provinsi menentukan visi misi daerah, misalnya visi
dan misinya adalah peningkatan bidang pertanian maka untuk itu diperlukan pegawai-
pegawai dengan kompetensi di bidang pertanian dan bidang lain yang mendukung;
selanjutnya Sekretaris Daerah dan BKD/Biro Kepegawaian menterjemahkannya dalam
bentuk berbagai program kegiatan pengembangan pegawai. Unit terkecil dilibatkan untuk
memotret kemampuan pegawainya yang perlu dikembangkan sesuai tupoksi, tentunya yang
terkait dengan visi dan misi daerah.
Mengenai efektivitas dari kegiatan pengembangan pegawai dalam meningkatkan kemampuan
pegawai, semua daerah Provinsi yang ditanyai menyatakan sangat efektif. Secara individual,
peningkatan kemampuan lebih kelihatan terbukti dari kinerjanya yang semakin bagus, yaitu
kemampuan melaksanakan tugas, kemampuan berbicara, pemahaman terhadap substansi dan
lain sebagainya. Akan tetapi untuk dampaknya terhadap kinerja organisasi dapat dikatakan
masih sulit diukur. Hal ini disebabkan karena kinerja organisasi dipengaruhi oleh banyak
faktor, bukan hanya kemampuan pegawainya tetapi juga ketersediaan sarana prasarana, dana
dan lain sebagainya. Sehingga tidak mudah untuk mengukur efektivitas pengembangan
pegawai terhadap peningkatan kinerja organisasi.
196
b. Gambaran Kabupaten/Kota
Pada intinya data dan informasi mengenai kegiatan perencanaan dan pengembangan pegawai
yang diperoleh di Kabupaten/Kota dan di Provinsi tidak ada perbedaan yang mencolok.
Perbedaan yang ada lebih disebabkan karena Kabupaten/Kota berada dibawah koordinasi
Provinsi dalam melakukan kegiatan tersebut, meskipun dari data dan informasi yang
diperoleh di lapangan menunjukkan ada juga Kabupaten/Kota yang tidak melakukan
koordinasi dengan Provinsi. Jadi mereka langsung mengirimkan formasi kebutuhan
pegawainya ke Pemerintah Pusat (Kementerian PAN/BKN).
Dalam melakukan perencanaan kebutuhan pegawai, sebagaimana yang dilakukan di Provinsi
terlebih dahulu dilakukan pemetaan kondisi existing pegawai yang ada di Kabupaten/Kota.
Dilakukan pemetaan yang meliputi persebaran pegawai di semua unit kerja, berapa pegawai
yang masuk BUP (Batas Usia Pensiun), berapa yang promosi, mutasi dan perubahan-
perubahan lain yang dapat mengubah posisi dan kedudukan seorang pegawai. Setelah kondisi
pegawai existing terpetakan, kemudian dibuat analisis dan bezetting atau penataan
kepegawaian, yaitu dengan mengukur berapa kebutuhan penambahan pegawai dari masing-
masing unit kerja berdasarkan beban kerjanya. Dalam tahap perhitungan beban kerja inilah
muncul permasalahan, karena belum adanya instrumen yang dapat dijadikan pedoman oleh
daerah. Dampaknya adalah perencanaan kebutuhan formasi pegawai menjadi tidak rasional,
bukan berdasarkan kebutuhan riil. Sebagai contoh, Kabupaten Pontianak sudah melakukan
analisis jabatan dalam menyusun kebutuhan pegawainya dengan melibatkan semua unit
kerja. Demikian juga dengan yang dilakukan di Kota Mataram dan Kabupaten/Kota lainnya,
rata-rata menyatakan sudah melakukan analisis jabatan. Tetapi karena belum ada instrumen
yang jelas, maka perhitungan kebutuhan berdasarkan ”perhitungan kasar” dari masing-
masing unit kerja.
Dari data dan informasi yang diberikan oleh responden di Kabupaten/Kota menjelaskan
bahwa setelah kondisi existing pegawai tersedia, dilakukan analisis jabatan dan analisis beban
kerja yang hasilnya adalah kebutuhan formasi pegawai dari masing-masing unit kerja. Dalam
penyusunan kebutuhan pegawai ini, selain melibatkan BKD juga Bagian Keuangan dan unit
terkecil. Yang menarik adalah meskipun melibatkan Bagian Keuangan, ternyata dalam
perencanaan kebutuhan pegawai ini kemampuan anggaran tidak menjadi pertimbangan
utama. Bagian Keuangan hanya bertugas menghitung berapa anggaran yang dibutuhkan
untuk membiayai pegawai-pegawai baru tersebut, tidak dikaitkan apakah daerah atau negara
mampu membayarnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa gaji pegawai selama ini
masih ditanggung oleh Pemerintah Pusat dalam bentuk pos DAU (Dana Alokasi Umum).
Selain itu, adanya ketidakkonsistenan Pemerintah Pusat dalam menerima usulan dari Daerah
juga menjadi dasar tidak dipertimbangkannya masalah anggaran ini. Menurut informasi,
hampir semua usulan formasi kebutuhan pegawai yang diberikan oleh Daerah tidak ada yang
disetujui secara penuh oleh Kementerian PAN atau BKN, selalu dikurangi dengan alasan
kemampuan anggaran nasional. Inilah yang membuat Daerah kadangkala merasa ”gregetan”
197
sudah capai-capai menghitung ternyata dikurangi juga. Dampaknya adalah Daerah seringkali
membesarkan (mark up) kebutuhan formasi pegawainya karena nantinya pasti dikurangi.
Kondisi ini tentu saja menjadi tidak bagus, karena Pemerintah Pusat tidak bisa memotret
secara langsung kebutuhan riil di daerah dan kalau dibiarkan dapat merusak tatanan birokrasi
karena terjadi pemborosan anggaran.
Dari gambaran tersebut terlihat bahwa peran Pemerintah Pusat sangat besar untuk
menetapkan pedoman dasar untuk melakukan perencanaan kebutuhan pegawai (instrumen
penghitungan beban kerja, intrumen analisis jabatan dan lain sebagainya). Sekanjutnya
diikuti pula dengan kegiatan bimbingan teknis dan pendampingan sehingga formasi yang
diusulkan benar-benar mencerminkan kebutuhan nyata daerah. Selain itu perlu juga
keterbukaan dan transparansi mengenai quota penerimaan pegawai untuk masing-masing
daerah, sehingga daerah sudah tahu terlebih dahulu berapa alokasi penambahan pegawai
untuk daerahnya. Sehingga mereka tidak akan mengajukan lebih besar dari quota yang
ditetapkan, apabila memang ada pengurangan - dengan pertimbangan kepentingan nasional -
tentu akan lebih mudah diterima dan akan meningkatkan kepercayaan daerah kepada
Pemerintah Pusat. Dan yang penting juga adalah menyusun mekanisme yang jelas mengenai
peran Provinsi dalam kegiatan perencanaan formasi kebutuhan pegawai ini. Jangan sampai,
ada Kabupaten/Kota yang melakukan koordinasi dengan Provinsi tetapi ada juga yang tidak,
artinya kalau memang harus melakukan koordinasi semua Kabupaten/Kota harus
melakukannya dan dijelaskan tingkat urgensinya.
Sementara itu, gambaran pelaksanaan kegiatan pengembangan pegawai di Kabupaten/Kota
juga tidak ada perbedaan dengan apa yang dilakukan di tingkat Provinsi. Komitmen para
pimpinan di Kabupaten/Kota cukup tinggi dalam melakukan pengembangan pegawai.
Meskipun tetap ada keterbatasan dalam APBD untuk kegiatan pengembangan pegawai, tetapi
tetap dilaksanakan. Dari analisis yang dilakukan diketahui bahwa alokasi anggaran untuk
kegiatan pengembangan pegawai dari APBD masih sangat kecil sangat jauh dengan alokasi
untuk belanja pegawai. Sebagai contoh, di Kabupaten Lombok Tengah, alokasi APBD untuk
belanja pegawai mencapai 63,99% sementara alokasi APBD untuk pengembangan pegawai
hanya 0,65%. Sementara di Kota Mataram, alokasi APBD untuk belanja pegawai adalah
52,01% dan alokasi APBD untuk pengembangan pegawai adalah 0,81%.
Kecilnya anggaran untuk kegiatan pengembangan pegawai ini disebabkan karena memang
kemampuan APBD yang terbatas sehingga pengembangan pegawai belum menjadi kegiatan
prioritas dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Sehingga dalam kegiatan pengembangan
pegawai, Kabupaten/Kota sering melakukan prioritas kegiatan. Program-program
pengembangan pegawai yang disusun diseleksi dan dipilih mana yang perlu bagi daerah,
dalam hal ini diklat kepemimpinan selalu didahulukan daripada diklat teknis dan diklat
fungsional. Pertimbangannya karena terkait dengan kebijakan yang berlaku, karena semua
pejabat struktural harus mengantongi sertifikat lulus diklatpim apabila tidak mau diturunkan.
Selain itu, untuk meningkatkan kemampuan atau kompetensi pegawainya, Pemerintah
198
Daerah juga membuka kesempatan bagi pegawainya yang ingin melanjutkan pendidikan
formalnya dengan biaya sendiri (swadana). Dengan membayar sendiri - baik untuk program
tugas belajar maupun ijin belajar - maka akan mengurangi beban anggaran yang harus
dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah.
Untuk menyiasati kekurangan dana dalam pengembangan pegawai, Pemerintah Daerah juga
menjalin kerjasama dengan berbagai instansi dan lembaga baik dalam negeri maupun luar
negeri untuk membantu dalam penyediaan dana. Bahkan di Kota Surabaya berhasil menjalin
kerjasama dalam bentuk sister city dengan beberapa negara, yaitu China, Korea, Jepang dan
Perancis. Selain itu, beberapa negara/lembaga donor juga digaet untuk menambah dana
pengembangan pegawai, seperti USAID, AUSAID, OTO Bappenas, berbagai dinas dan
sebagainya.
Beberapa pertimbangan diberikan sebelum seorang pegawai dapat mengikuti program
pengembangan pegawai. Sebenarnya semua pegawai atau pejabat mendapat hak yang sama
untuk dikembangkan kemampuannya, tetapi karena adanya keterbatasan dana maka perlu
ada beberapa pertimbangan. Misalnya di Kota Manado memperhatikan beberapa hal, yaitu
adanya minat atau bakat dari pegawai yang bersangkutan, prestasi kerja selama menjadi
pegawai, tingkat pendidikan serta perilakunya. Selain itu, kondisi existing pegawai juga
menjadi pertimbangan dalam melaksanakan pengembangan pegawai, terutama sebaran latar
belakang pendidikan di berbagai unit kerja. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan
kebutuhan organisasi dengan ketersediaan pegawainya.
Sebagaimana informasi yang diperoleh di Provinsi, di Kabupaten/Kota juga menyatakan
bahwa program-program pengembangan pegawai yang dilakukan memang secara signifikan
meningkatkan kinerja pegawai. Terutama program pengembangan yang terkait dengan
penyelenggaraan diklat-diklat teknis seperti diklat komputer, diklat perbendaharaan, diklat
arsiparis dan sebagainya. Diklat-diklat teknis seperti itu lebih dirasakan manfaatnya bagi
organisasi karena terkait langsung dengan pelaksanaan tugas pegawai. Sementara
pengembangan pegawai yang berupa pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tidak begitu
kentara manfaatnya, meskipun dirasakan ada peningkatan juga.
199
5
Kesimpulan & Saran
A. Kesimpulan
Setelah dilakukan deskripsi data dan informasi yang diperoleh di lapangan dan
selanjutnya dilakukan analisis dapat disimpulkan bahwa secara umum jumlah pegawai sangat
terkait erat dengan beban pembiayaannya dalam APBD. Akan tetapi apabila dicermati dalam
melakukan kegiatan perencanaan kebutuhan pegawai dan pengembangan pegawai daerah,
Pemerintah Daerah tidak atau kurang memperhatikan aspek anggaran.
Kondisi ini terjadi karena secara umum, gaji pegawai dan tunjangannya memang menjadi
tanggungan APBN yang dialokasikan dalam bentuk DAU. Kondisi inilah yang menyebabkan
Pemerintah Pusat (Kementerian PAN dan BKN) selalu membatasi jumlah pengajuan pegawai
baru dari Daerah dengan alasan keterbatasan anggaran. Karena memang semua pembiayaan
pegawai yang berupa gaji dan tunjangan ditanggung oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah
tidak berkontribusi pada pembiayaan pegawai ini, kecuali apabila ada tambahan-tambahan lain
yang diberikan kepada pegawai, misalnya uang kesejahteraan atau lainnya. Informasi key
informant yang menyebutkan bahwa pengajuan formasi pegawai tidak pernah sesuai dengan
beban nyata organisasi sebagaimana diajukan oleh Pemerintah Daerah atau selalu dibatasi oleh
Kementerian PAN dan BKN pertimbangan utamanya adalah karena adanya keterbatasan
kemampuan APBN.
Sementara itu dalam kegiatan pengembangan pegawai, apabila dicermati rasionya dengan
APBD yang masih sangat kurang menunjukkan komitmen pimpinan yang masih kurang.
Meskipun ada informasi yang menyebutkan bahwa para pejabat mempunyai komitmen tinggi
untuk meningkatkan kemampuan pegawai tetapi pada kenyataannya komitmen itu tidak
didukung dengan pemberian alokasi yang memadai untuk melaksanakan kegiatan pengembangan
pegawai. Hal ini dapat dipahami karena anggaran pengembangan pegawai merupakan tanggung
jawab Pemerintah Daerah (dalam APBD) sehingga kegiatan pengembangan kemampuan pegawai
belum menjadi prioritas utama.
Selanjutnya dari kajian yang dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
11. Penambahan atau rekrutmen pegawai daerah secara umum tidak membebani APBD karena
gaji pegawai dan tunjangannya dibebankan dalam APBN (pos DAU), yang menjadi beban
APBD adalah biaya pengembangan pegawai.
12. Dari data kepegawaian dan keuangan yang diperoleh di lapangan selama periode 1998 sampai
dengan 2005 diperoleh gambaran adanya hubungan dan keterkaitan yang sangat erat antara
jumlah pegawai dan beban belanja pegawai. Akan tetapi ternyata hubungan yang terjadi tidak
200
selalu menunjukkan gambaran yang positif (setiap kenaikan jumlah pegawai selalu diikuti
kenaikan beban belanja pegawai dalam APBD), tetapi juga menunjukkan hubungan negatif
(kenaikan jumlah pegawai justeru diikuti dengan turunnya beban belanja pegawai dalam
APBD). Hal ini disebabkan adanya berbagai efisiensi dalam anggaran maupun adanya
perubahan status kepegawaian yang berdampak dalam beban pembiayaan pegawai.
13. Dari data keuangan yang diperoleh di lapangan tergambar bahwa ada variasi dalam rasio
APBD dan beban pembiayaan pegawai. Temuan di Provinsi Bali dan Kota Surabaya
menunjukkan bahwa rasionya cukup besar, yaitu rata-rata diatas 80% yang artinya lebih dari
80% bagian APBD dipergunakan untuk belanja pegawai. Sementara temuan di daerah lain
menunjukkan gambaran rata-rata rasionya sebesar 50%.
14. Dari data kepegawaian dan keuangan tersebut juga diperoleh gambaran bahwa pada tahun
2000-an terjadi lonjakan penambahan jumlah pegawai dan jumlah beban belanja pegawai
dalam APBD. Penambahan ini merupakan dampak dari pelaksanaan kebijakan otonomi
daerah, yaitu dilakukannya pelimpahan pegawai instansi vertikal menjadi pegawai daerah
yang kemudian diikuti pelimpahan anggaran dalam bentuk penambahan APBD dalam pos
DAU.
15. Penambahan jumlah pegawai berdampak pada meningkatnya APBD karena adanya
penambahan dari pos DAU sebagai kompensasi bertambahnya beban belanja pegawai,
prosentase peningkatan jumlah pegawai dan APBD serta beban belanja pegawai per tahun
dan per daerah tidak sama. Terdapat variasi dalam waktu pelaksanaan pelimpahan pegawai
dan pelimpahan anggaran, ada yang dilakukan pada tahun yang sama ada juga yang beberapa
tahun kemudian.
16. Kegiatan perencanaan kebutuhan pegawai yang dilakukan di tingkat
Provinsi/Kabupaten/Kota pada dasarnya sudah sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam
peraturan yang berlaku (Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pengadaan
PNS), akan tetapi dalam praktiknya masih perlu didukung dengan berbagai instrumen
pendukung agar formasi yang disusun benar-benar mencerminkan kebutuhan nyata
organisasi. Misalnya instrumen pengukuran beban kerja, analisis jabatan dan sebagainya.
17. Dalam kegiatan perencanaan kebutuhan pegawai ada ketidakjelasan informasi mengenai
quota atau batas pengajuan yang boleh diajukan oleh Pemerintah Daerah sehingga setiap
pengajuan formasi selalu dikurangi jumlahnya oleh Pemerintah Pusat (Kementerian PAN,
BKN) tanpa alasan yang jelas. Dalam hal ini juga timbul ketidakjelasan mekanisme dan
koordinasi yang terbangun diantara Kementerian PAN, BKN, Provinsi dan Kabupaten/Kota,
mencakup peran dan kewenangan masing-masing instansi tersebut dalam kegiatan
perencanaan kebutuhan pegawai.
18. Adanya pelimpahan pegawai dari instansi vertikal sebagai dampak pelaksanaan kebijakan
otonomi daerah (Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 dan perubahnnya Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah)
menyebabkan Pemerintah Daerah mengalami kesulitan dalam penataan pegawainya,
201
khususnya dalam kegiatan perencanaan kebutuhan pegawai. Distribusi pegawai dan
penempatan pegawai sesuai kebutuhan menjadi permasalahan utama dalam penataan pegawai
karena kompetensi pegawai limpahan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan.
19. Kegiatan pengembangan pegawai belum menjadi prioritas utama di daerah karena adanya
keterbatasan anggaran. Mekanisme yang dibangun di beberapa daerah kajian sudah cukup
bagus, artinya kegiatan pengembangan pegawai sudah diupayakan sesuai dengan kebutuhan
organisasi sehingga bisa menutupi gap kompetensi. Karena adanya keterbatasan dana dalam
pelaksanaan kegiatan pengembangan pegawai, Pemerintah Daerah sudah menjalin kerjasama
dengan berbagai institusi baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
20. Kegiatan perencanaan kebutuhan dan pengembangan pegawai daerah belum efisien karena
belum didasarkan pada kebutuhan nyata organisasi dan adanya keterbatasan dalam masalah
anggaran. Meskipun sudah ada kebijakan yang mengatur (khususnya dalam perencanaan
kebutuhan pegawai) tetapi belum diikuti dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis
yang lebih bersifat operasional.
B. Saran
Mekanisme yang tergambar dari hasil kajian ini adalah apabila perencanaan kebutuhan
pegawai dilakukan dengan baik dalam arti dikaitkan dengan kebutuhan nyata organisasi dan
kemampuan keuangan yang ada maka kebutuhan pengembangan pegawai akan lebih mudah
diprediksikan (dilihat dari kemampuan APBD). Pembiayaan pegawai yang terkait dengan
pembayaran gaji dan tunjangan pegawai memang menjadi tanggungan Pemerintah Pusat, tetapi
apabila perencanaan kbutuhannya tidak baik (terkait dengan kualitasnya) maka akan
memberikan dampak pada APBD, karena beban pengembangan pegawai menjadi tanggung jawab
Pemerintah Daerah (APBD). Apabila pegawai yang direkrut banyak yang kurang kompeten atau
tidak sesuai dengan yang dibutuhkan organisasi maka secara otomatis akan memerlukan anggaran
pengembangan yang jauh lebih besar, baik untuk diklat strukturalnya maupun diklat teknis dan
fungsional.
Dari kesimpulan yang diberikan diatas, selanjutnya dapat diberikan beberapa saran
sebagai berikut :
1. Perlu disusun mekanisme dan prosedur yang jelas dalam pelaksanaan kegiatan perencanaan
kebutuhan pegawai yang melibatkan Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota mencakup
peran, fungsi dan wewenang masing-masing instansi.
2. Perlu disusun instrumen pendukung untuk melakukan perencanaan kebutuhan pegawai,
yaitu instrumen pengukuran beban kerja, instrument analisis jabatan dan sebagainya.
Tujuannya agar formasi yang disusun mencerminkan kebutuhan nyata organisasi baik dari
aspek kuantitas maupun kualitas.
202
3. Penetapan quota kebutuhan pegawai secara nasional maupun lokal harus dilakukan secara
transparan yang dikaitkan dengan kemampuan anggaran nasional (APBN) dan dilakukan
sebelum daerah melakukan perencanaan kebutuhan pegawainya.
4. Pengembangan pegawai harus didasarkan pada kebutuhan nyata dengan didahului adanya
training need analysis (TNA), kegiatan ini untuk menemukan gap antara kompetensi yang
diharapkan dengan kompetensi yang dimiliki pegawai.
5. Kegiatan perencanaan kebutuhan dan pengembangan pegawai harus selalu memperhatikan
kondisi existing pegawai yang ada menurut sebarannya. Untuk keperluan ini keberadaan
database kepegawaian merupakan suatu kemutlakan yang harus disiapkan oleh Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah.
203
Daftar Pustaka
Affandi, M. Joko, Dampak Penataan Organisasi Pemerintahan Daerah, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Badan Kepegawaian Negara, Jakarta, 2001.
Amstrong, Michael, The Art of HRD, Managing People, A Practical Guide for Line Managers , PT
Gramedia, Jakarta, 2003.
Bernardin, John, Human Resource Management, Third Edition, An Experiential Approach, McGraw-
Hill Higher Education, United State, 2003.
Brannen, Julia, Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
1999.
DeCenzo, David A. and Robbins, Stephen P., Human Resource Management, Seventh Edition, John
Wiley & Sons, Inc., United State of America, 2002.
Irawan, Prasetya, Motik, Suryani S.F., Sakti, Sri Wahyu Krida, Manajemen Sumber Daya Manusia,
Penerbit STIA LAN Press, Jakarta, 1997.
Mangkuprawira, Safri, Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik, Penerbit Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2004.
McKenna, Eugene and Beech, Nic, The Essence of Human Resource Management, Prentice Hall
Europe, Maylands Avenue, 1995.
Moleong, J. Lexy, Dr. MA., Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit PT Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1999.
Mondy, R. Wayne, Noe, M. Robert, Human Resource Management, Fourth Edition, Allyn and Bacon,
United States of America, 1990.
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Penerbit Rake Sarasin, Bandung, 2000.
Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2001.
Suharyanto, Hadriyanus dan Hadna, Heruanto, Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit Media
Wacana, Yogyakarta, 2005.
Thoha, Miftah, Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Penerbit Prenada Media, Jakarta, 2005.
Undang-Undang Kepegawaian : Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2000.
Website : www.ri.go.id/produk-uu
204
Instrumen Penelitian
Kisi-Kisi Pertanyaan
Kajian Jumlah Pegawai Daerah dan Beban Anggarannya dalam APBD
1. Data Sekunder
a. Data jumlah pegawai daerah selama enam tahun (1998-2003) menurut :
- pangkat/golongan,
- unit kerja,
- tingkat pendidikan,
- jabatan struktural/fungsional,
b. Data APBD selama enam tahun (1998-2003) secara lengkap, terutama untuk belanja rutin
(pembiayaan pegawai).
2. Data Primer
Perspektif dari kajian ini adalah sebelum dan sesudah otonomi, jadi diharapkan data-data yang
diperlukan juga digali dari perspektif sebelum dan sesudah otonomi.
Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan adalah pertanyaan pancingan, diharapkan peneliti mampu
membuat pertanyaan lanjutan untuk menggali informasi yang lebih mendalam.
a. Perencanaan Kebutuhan Pegawai
1. Bagaimana kegiatan perencanaan kebutuhan pegawai dilakukan?
2. Apakah dukungan dana (APBD) juga menjadi pertimbangan dalam perencanaan
kebutuhan pegawai? Bagaimana pertimbangan tersebut dilakukan?
3. Solusi apa yang diambil apabila ternyata dana tidak memadai untuk menambah pegawai?
4. Berapa besar anggaran untuk belanja pegawai? Berapa prosen dari keseluruhan APBD?
(enam tahun)
5. Berapa besar anggaran untuk belanja pembangunan di daerah ini? Berapa prosen dari
keseluruhan APBD?
6. Bagaimana keterlibatan masing-masing unit dalam kegiatan perencanaan kebutuhan
pegawai?
7. Bagaimana pelaksanaan identifikasi kebutuhan organisasi terhadap penambahan pegawai?
Apakah melibatkan unit terkecil dalam proses ini?
8. Apakah kondisi existing pegawai yang ada juga dipertimbangkan dalam perencanaan
kebutuhan pegawai?
9. Bagaimana cara memprediksikan ketersediaan pegawai yang ada di daerah ini?
10. Bagaimanakah peran/keterlibatan DPRD dalam perencanaan kebutuhan pegawai?
11. Bagaimanakah peran/keterlibatan pimpinan (Gubernur/ Bupati/Walikota) dalam
perencanaan kebutuhan pegawai?
205
12. Bagaimanakah fungsi Kementerian PAN dan BKN dalam perencanaan kebutuhan pegawai
di daerah ini?
13. Bagaimanakah dampak adanya pelimpahan pegawai (otonomi) dalam perencanaan
kebutuhan pegawai? Perubahan apa yang paling mendasar?
14. Bagaimanakah rekrutmen pegawai diselenggarakan di daerah?
15. Bagaimanakah peran Kementerian PAN dan BKN dalam rekrutmen pegawai di daerah
ini?
16. Apakah dukungan dana menjadi pertimbangan dalam melakukan rekrutmen pegawai?
17. Bagaimanakah seleksi pegawai diselenggarakan di daerah?
18. Apakah menganut prinsip transparansi dan profesionalisme?
19. Bagaimanakah peran masing-masing unit dalam seleksi pegawai?
20. …..
b. Pengembangan Pegawai
1. Bagaimanakah cara mengembangkan kemampuan pegawai di daerah ini? Dalam bentuk
apa saja?
2. Apakah dukungan dana/APBD menjadi pertimbangan dalam melakukan pengembangan
pegawai?
3. Berapa besar anggaran untuk pengembangan pegawai di daerah ini? Berapa prosen dari
keseluruhan APBD? (enam tahun)
4. Apakah ada perbedaan kebijakan dalam pengembangan pegawai semenjak
diberlakukannya kebijakan otonomi? Perbedaan apa yang paling mendasar?
5. Bagaimana solusi yang diambil apabila ternyata dukungan dana tidak memadai untuk
melakukan pengembangan pegawai yang direncanakan?
6. Apakah ada jangka waktu tertentu (terjadwal) yang dilakukan dalam melakukan
pengembangan pegawai?
7. Bagaimana pengaturan dalam pengembangan pegawai tersebut? Apakah sudah ada job
analysis?
8. Apakah semua pegawai/pejabat mempunyai hak dan peluang yang sama untuk
dikembangkan kemampuannya?
9. Bagaimana keterlibatan unit-unit dalam pengembangan pegawai di daerah ini?
10. Bagaimana keterlibatan pimpinan (Gubernur/Bupati/ Walikota) dalam pengembangan
pegawai daerah?
11. …..
206