Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK

DENGAN INSTABILITAS PADA LANSIA

(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik)

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK :

1. Annisha Nurillah
2. Leni Yulistiani

PENDIDIKAN NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BUDI LUHUR

CIMAHI

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang trauma
abdomen.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran
dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.

Cimahi, September 2020

Penyusun

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Gangguan keseimbangan merupakan gangguan yang sering terjadi pada pasien
lansia dan berkontribusi terhadap resiko jatuh dan cidera pada pasien lansia
diakibatkan adanya gangguan keseimbangan.Keseimbangan adala keadaan untuk
mempertahankan ekuilibrum baik statis maupun dinamis ketika tubuh diletakkan
dalam berbagai posisi. Keseimbangan adalah sebuah bagian penting dari pergerakan
tubuh dalam menjaga tubuh tetap stabil sehingga tubuh tidak jatuh walaupun tubuh
berubah posisi. Keseimbangan memerlukan input dari sistem visual, vestibular, dan
sistem propioseptif. Input tersebut akan diolah di otak otak akan mengolah informasi
dari sistem sensoris tersebut dan memberikan output motorik untuk menjaga
keseimbangan tubuh.
Menurut WHO (2014), proporsi penduduk diatas 60 tahundi dunia tahun 2000
sampai 2050 akan berlipat ganda dari sekitar 11% MENJADI 22% atau secara absolut
meningkat dari 605 juta menjadi 2 miliyar lansia. Peningkatan jumlah lansia juga
terjadi di negara indonesia. Persentase penduduk lansia tahun 2008, 2009 dan 2012
telah mencapai diatas 7% dari keseluruhan penduduk, dengan spesifikasi 13,4%
berada di Yogyakarta, 10,4% berada di jawa timur, 10,34% berada di jawa tengah,
dan 9,78% berada di bali(susenas,2012). Penduduk lansia terbesar di yogyakarta
berasal dari kabupaten sleman, yaitu sekitar 135,644 orang atau 12,95% dari jumlah
penduduk sleman (pemkab sleman,2015).
Meningkatnya populasi usia lanjut ditandai dengan umur harapan hidup yang
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal tersebut membutuhkan pemeliharaan
serta peningkatan kesehatan dalam rangka usaha mencapai masa tua yang sehat,
bahagia,berdaya guna, dan produktif (UU no. 23 Tahun 1992 pasal 19 tentang
kesehatan. Menurut susenas (2012), usia harapan hidup lansia pada tahun 200 adalah
64,5 tahun.
Meningkatnya jumlah lansia dan umur harapan hidup berdampak besar
terhadap kesehatan masyarakat, terlebih dengan perubahan perubahan yang di alami
lansia dari berbagai sistem tubuh, baik segi fisik ,fisiologis, sosial,dan spiritual
(wirahardja dan satya,2014). Menurut Granacher et al (2011). Perubahan yang paling
terlihat adalah kemunduran dan penurunan fisik, misalnya penurunan masa dan
kekuatan otot, melemahnya koordinasi motorik, dan hilangnya kemampuan bergerak
dan mempertahankan keseimbangan.
Penurunan kemampuan tersebut dapat menyebabkan lansia rawan mengalami
masalah. Jatuh merupakan suatu maslah fisik yang sering dialami pada lansia. Tingkat
ketergantungan lansia yang tinggi berhubungan positif dengan penurunan fungsi
tubuh dalam melakukan aktivitas sehari hari, sehingga kejadian jatuh semakin
meningkat (aslan,2008). Gangguan keseimbangan menimbulkan morbiditas yang
tinggi pada lansia untuk mengurangi morbiditas jatuh pada pasien lansia, harus
dilakukan skrining mengenai gangguan keseimbangan pada lansia, sehingga

3
diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai gangguan keseimbangan pada
lansia.
Dari latar belakang tersebut maka diperlukan tinakan yang dapat dilakukan
untuk mencegah dengan terus meningkatkan dan mempertahankan kemampuan
keseimbangan pada lansia, sehingga perlu dilakukan asuhan keperawatan gerontik
dengan instabilitas pada lansia.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana konsep gangguan keseimbangan pada lansia dan contoh asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan keseimbangan?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
a. Mengetahui konsep dasar gangguan keseimbangan pada lansia
b. Mengetahui konsep asuhan keperawatan pasien dengan gangguan
keseimbangan pada lansia
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi alat keseimbangan tubuh
b. Untuk mengetahui definisi gangguan keseimbangan
c. Untuk mengetahui etiologi gangguan keseimbangan pada lansia
d. Untuk mengetahui manifstasi klinis gangguan keseimbangan pada lansia

D. Manfaat
Mahasiswa mampu memahami konsep dan proses asuhan keperawatan
gerontik dengan instabilitas sehingga dapat menjadi bekal saat melakukan proses
asuhan keperawatan gerontik pada lansia.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep dasar keseimbangan tubuh


1. Definisi keseimbangan
Keseimbangan dalah kemampuan untuk mempertahankan kesetimbangan tubuh ketika
ditempatkan diberbagai posisi. Definisi menurut O’sullivan, keseimbangan adalah
kemampuan untuk mempertahankan pusat gravitasi pada bidang tumpu terutama
ketika saat posisi tegak. Selain itu menurut Ann Thomson, keseimbangan adalah
kemampuan untuk mempertahankan tubuh dalam posisi kesetimbangan maupun
dalam keadaan statis atau dinamis, serta menggunakan aktivitas otot yang minimal.

2. Jenis kesimbangan
Keseimbangan terbagi 2 kelompok , yaitu:
a. Keseimbangan statis:
Kemampuan tubuh untuk menjaga kesetimbangan pada posisi tetap (sewaktu
berdiri dengan satu kaki, berdiri diatas papan keseimnbangan).
b. Keseimbangan dinamis:
Kemampuan untuk mempertahankan kesetimbangan ketika bergerak.
Keseimbangan dinamis adalah pemeliharaan kepada tubuh melakukan gerakan
atau saat berdiri pada landasan yang bergerak (dynamic standing) yang akan
menenpatkan ke dalam kondisi yang tidak stabil. Keseimbangan merupakan
interaksi ang kompleks dari integasi sistem sensorik (vestibular,visual, dan
somatosensorik termasuk propioceptor) dan muskulor keletal(otot, snedi, dan
jaringan lunak lain) yang dimodifikasi/diatur dalam otak (kontrol
motorik,sensorik, basal ganglia,cerebellum, area asosiasi) sebagai respon terhadap
perubahan kondisi internal dan eksternal. Dipengaruhi juga oleh faktor lain seperti
usia, motivasi,kognisi,lingkungan, kelelahan, pengaruh obat dan pengalaman
terdahulu.
3. Anatomi dan fisiologi keseimbangan tubuh
Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan orientasi tubuh dan bagian
bagian tubuh dalam hubungannya dengan lingkungan sekitarnya. Keseimbangan
tergantung pada input terus menerus dari tiga sistem yaitu sistem vestibular,sistem
propioseptif(somatosensori), dan sistem visual serta integrasinya dibatang otak dan
serebelum.
1. Sistem vestibular
a. Sistem vestibular perifer
Sistem ini terdapat di telinga tengah dan dalam, terdiri dari tulang membrane
labirin, juga termasuk di dalamnya sel rambut (hair cells) yang berfungsi
sebagai sensor gerakan sistem vestibular.
Tulang labirin terdiri dari 3 kanalis semisirkularis (semisircular canal/SCC),
koklea, dan vestibulum. Ketiga scc berada pada bidang yang berbeda. SCC

5
lateral terletak pada bidang horizontal, dan kedua SCC lainnya tegak lurus
terhadap SCC lateral dan tegak lurus satu sama lain. Tiap SCC melebar pada
satu ujungnyaa yang disebut ampula, dimana terdapat organ reseptor krista
ampularis. Tulang labirin penuh cairan perilimfatik yang komposisinya sama
dengan cairan serebrospinal.cairan perilimfatik berhubunga dengan cairan
serebrospinal melalui akuaduktur koklea.
Membran lanirinmelekat di dalam tulang labirin oleh jaringan ikan penunjang,
berisi lima organ sensorikyaitu bagian membran dari ketiga SCC dan dua
organ otolit yaitu utrikulus, dan sakulus. Organ otolit mengandung epitel
sensorik yaitu makula yang mengandung sel-sel rambut dan sel-sel penunjang.
Makula berada vertikal pada sakular dan horizontal pada utrikulus saat kepala
dalam keadaan tegak.
Membran labirin berisi cairan endolimfatik yang menyerap cairan
intraselualar(berhubungan dengan duktus koklea) dan dikelilingi oleh
perilimfatik dalam tulang labirin (berhubungan dengan skala vestibulue dan
skala timpani koklea).
Sel-sel rambut khusus terdapat pada tiap ampula dan organ otolit. Sel
rambut merupakan sensor biologis yang mngubah perbedaan akibat
pergerakan kepala menjadi impuls neural. Tiap sel rambut terdapat 30 sampai
beberapa ratus stereosillia heksagonal yang teratur dan satu kinosillium yang
lebih tinggi.
Sel rambut ampula berada pada tonjolan krista ampularis yang terdiri dari
pembuluh darah, serat saraf, dan jaringan penunjang. Stereosillia dam kinosilia
dari sel rambut pada tiap krista menempel pada suatu matriks gelatin yang
disebut dengan kupula. Kupula terletak di tiap krista dan berbatasan satu sama
lain dengan atap dari ampula.
Tiap sel rambut diinervasi oleh saraf aferen dari ganglion vestibularis (scarpa)
di dekat ampula. Saat rambut membengkok mendekat atau menjauh, jumlah
impuls pada nervus vestibularis akan meningkat atau menurun. Sehubung
dengan sudut gerakan kepala, tekanan endolimfe menyebabkan kupula
membengkok ke depan dan belakang, menstibulasi sel-sel rambut.
Membran otolit struktur yang serupa dengan kupula namun lebih berat,
mengandung kristal kalsium karbonat yang disebut otokonia. Otokonia
membuat membran otolitil lebih berat dan struktur sekitarnya sehingga
menyebabkan makula sensitive terhadap gravitasi dan akselerasi linier.
Sebaliknya kupula mempunyai kepadatan ang serupa dengn cairan
endolimfatik sekitar dan tidak sensitive terhadap gravitasi.
Sel-sel rambut dari kanalis dan otolit mengubah energi mekanis
gerakan kepala menjadi impuls neural ke area-area spesifik di batang otak dan
serebelum. Kanalis berespons terhadap kecepatan angular/rotasional dan otolit
berespons terhadap akselerasi linier. Gerkan stereosillia ke arah kinosillium
membuka mekanik kanal gerbang transduksi si ujung stereosillia sehingga
terjadi depolarisasi sel rambut dan menyebabkan pelepasan neurotransmiter ke
serabut nervus vestibularis. Pergerakan stereosillia menjauhi kinosilium
menutup kanal, terjadi hierpolarisasi sel rambut sehingga menurunkan
aktivitas nervus vestibularis.

6
Serabut nervus vestibularis adalah proyeksi aferen dari neuran bipolar
ganglior vestibularis (scarpa)yang terletak di kanalis audiotorik iternal
(internal audiotoric canal/IAC). Nervus vestibularis menyampaikan sinyal
aferen dari labirin ke IAC. Pada IAC, nervus vestibularis bergabung dengan
nervus koklearis, nervus fasialis, nervus intermedius dan arteri labirintin. IAC
berjalan melalui bagian petrous tulang temporal sampai ke fosa posterior
setingkat dengan pons, kemudian berjalan menyebrangi ruang subrachnoid
memasuki batang otak pada sudut pontomdularis, dan selanjutnya menuju ke
nucleus vestibularis pada dasar ventrikel empat.
b. Sistem vestibular sentral
Jalur vestibular sentral mengkoordinasi dan mengintegrasi informasi informasi
tentang gerakan kepala dan tubu serta menggunakan untuk mengontrol
keluaran dari neuron motorik yang menyesuikan kepala, mata, dan posisi
tubuh. Proyeksi sentral sistem vestibular berperan dalam 3 kelompok reflex
utama:
1) Membantu mempertahankan keseimbangan dan gaze dengan
mengkoordinasi kepa dan gerakan mata untuk tetap terfiksasi pada
obyek selama pergerakan.
2) Mempertahankan postur.
3) Mempertahankan tonus otot.
Reflex vestibulo-okular (VOR) merupakan mekanisme untuk
menghasilkan gerakan mata melawan gerakan kepala, memungkinkan
gaze untuk tetap terfiksasi pada titik tertentu. Proyeksi desending
nucleus vestibular penting untuk penyesuaian kepala ang dimediasi
oleh reflex vestibulo-spinal (VSR). Jalur VCR mengatur posisi kepala
dengan aktivis refleks otot-otot leher sebagai respons stimulasi dari
SCC terhadap akselerasi rotasional kepala. VSR mengaktivasi
kelompok neuron motorik ipsilateral yang menginervasi otot-otot
ekstensor rangka dan anggota gerak untuk memediasi keseimbangan
dan mempertahankan postur yang tegak.
Terdapat dua target utama inputvestibular dari aferen utama:
kompleks nukleus vestibularis dan serebelum. Komples nudeus
vestibularis adalah proses utama input vestibular dan menjalankan
koneksi antara informasi aferen dan keluaran neuron motorik.
Sedangkan serebelum berfungsi untuk memonitor fungdi vestibular
dan mengatur pengolahan vestibular sentral bila perlu. Pada kedua
tempat tersebut, input sensorik vestibular diproes dengan input
somatosensorik dan visual.
Nukleus vestibularis superior dan lateral member akson ke
kompleks nulear ventral osterior di thalamus yang kemudian
memproyeksinya ke dua area kortikal yaitu posterior somatosensorik
primer dan transisi antara korteks sensorik dan korteks motorik.
2. Sistem proprioseptif
Sistem ini memungkinkan tubuh untuk merasakan posisi tubuh dan mengetahui
pergerakan anggota tubuh tanpa melihatnya. Proprioseptor terdapat pada berbagai
organ seperti otot, tendon, fascia, kapsul sendi reseptor kutaneus dan reseptor

7
jaringan ikat. Jaras aferen menhubungkan proprioseptir tersebut dengan otak
melalui traktus kolumma posterior. Sedangkan impuls yang berasal dari
proprioseptor otot,sendi, dan tendon dibawa ke serebelum melalui traktus
spinoserebelar.
3. Sistem visual
Sistem ini memberikan informasi kepada otak tentang posisi tubuh terhadap
lingkungan berdasarkan sudut dan jarak dengan objek sekitarnya. Dengan inpus
visual, maka tubuh dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi sisekitar
dan member informasi langsung ke otak, kemudian otak memberi informasi agar
sistem muskuloskeletal dapat bekerja secara sinergi untuk mempertahankan
keseimbangan tubuh.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan menurut Suhartono,2005 adalah:
a. Pusat gravitasi (center of gravity-COG)
Pusat gravitasi terdapat pada semua objek, pada benda, pusat gravitasi terletak
tepat di tengah benda tersebut. Pusat gravitasi adalah titik utama pada tubuh
yang akan mendistribusikan massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu
ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Pada manusia,
pusat gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat
gravitasi manusia ketika berdiri tegak adalah tepat di atas pinggang diantara
depan dan belakang vertebra sakrum ke dua.
Derajat stabilitas tubuh dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu: ketinggian dari titik
pusat gravitasi dengan bidang tumpu, ukuran bidang tumpu, lokasi garis
gravitasi dengan tumpu, serta berat badan.
b. Garis gravitasi (Line of Gravity-LOG)
Garis gravitasi merupakan garis imanijer yang berada vertikal melalui pusat
gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi
dengan bidang tumpu adalah menentukan derajat stabilitas tubuh
c. Bidang tumpu (base of support-BOS)
Bidang tumpu merupakan bagian dari tubuh yang berhubungan dengan
permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada di bidang tumpu,
tubuh dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya
area bidang tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakintinggi stabilitas.
Misalnya berdiri dengan dua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan
satu kaki. Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas
tubuh makin tinggi.

B. Konsep Stabilitas Instabilitas


1. Definisi instabilitas
Instabilitas adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu untuk
mempertahankan orientasi tubuhnya dan bagian-bagian tubuh dalam hubungannya
dengan lingkungan sekitarnya yang disebabkan seseorang merasa pusing, goyang, dan
seperti berpindah tempat, dan seakan dunia serasa berputar sehingga beresiko untuk
jatuh.
Kemampuan untuk mengontrol posisi tubuh dalam ruang merupakan suatu interaksi
kompleks sistem saraf dan muskuloskeletal yang dikenal sebagai sistem kontrol
postural. Jatuh terjadi manakala sistem kontrol postural tubuh gagal mendeteksi

8
pergeseran dan tidak mereposisi pusat gravitasi terhadap landasan penopang ( kaki,
saat berdiri) pada waktu yang tepat untuk menghindari hilangnya keseimbangan.
2. Penyebab gangguan keseimbangan pada lansia
Faktor penyebab jatuh pada lansia dibagi dalam 2 golongan besar, yaitu:
a. Faktor intrinsik
Faktor instrinsik dapat disebabkan oleh proses penuaan dan berbagai penyakit
seperti stroke yang mengakibatkan kelemahan tubuh sesisi, parkinson yang
mengakibatkan kekakuan alat gerak, maupun depresi yang menyebabkan lansia
tidak terlalu perhatian saat berjalan. Gangguan penglihatanpun seperti misalnya
katarak meningkatkan resiko jatuh pada lansia. Gangguan sisitem kardiovaskuler
akan menyebabkan syncope, syincopelah yang sering menyebabkan jatuh pada
lansia. Jatuh dapat juga disebabkan oleh dehidrasi. Dehidrasi bisa disebabkan oleh
diare, demam, asupan cairan yang kurang atau penggunaan diuretik yang
berlebihan. Perubahan fisiologis yang berhubungan dengan penuaan yang
empengaruhi keseimbangan antara lain:
1). Sistem vestibular
a) Degenerasi rambut getar
b) Degenerasi membran otokonial di dalam makula, sakula, dan utrikula.
c) Degenerasi nervus vestibular.
2). Degenerasi neural di vermis serebelum.
a) Sistem visual
 Penurunan visus
 Penurunan desensiivitas kontras
 Penurunan pesepsi kedalaman
 Penurunan adaptasi gelap
b) Sistem proprioseptif
 Penurunan diskriminasi dua titik
 Penurunan sensasi getaran
c) Sistem muskuloskeletal
 Penurunan massa otot
 Penurunan massa tulang
b. Faktor ekstrinsik
Alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua atau tergeletak di bawah
tempat tidur tidak stabil atau kamar mandi yang rendah dan tempat berpegangan
yang tidak kuat atau tidak mudah dipegang, lantai tidak datar, licin atau menurun,
karpet yang tidak di lem dengan baik, keset yang tebal/menekuk pinggirnya, dan
benda benda alas lantai licin atau mudah tergeser, lantai licin atau basah,
penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan), alat bantu jalan yang tidak
tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya dan pusat gravitasi (centre of
Gravity-COG), gangguan keseimbangan dapat terjadi karena adanya perubahan
postur sebagai akibat dari perubahan titik pusat gravitasi. Pada manusia, pusat
gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat
GAMBARRRR

9
Degenerasi yang terjadi pada sistem keseimbangan akan bertambah hebat jika
disertai dengan penyakit kronis seperti diabetes melitus atau arterisosklerosis
serebrovaskukar.

3. Patofisiologi
Penurunan keseimbangan pada lansia disebabkan oleh berbagai macam faktor di
antaranya adalah adanya gangguan pada sistem sensorik, gangguan pada sistem saraf
pusat (SSP), maupun adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal. Informasi
mengenai posisi tubuh terhadap lingkungan atau gravitasi diberikan oleh sistem
sensorik, sedangkan sistem saraf pusat berfungsi untuk memodifikasi komponen
motorik dan sensorik sehingga stabilitas dapat dipertahankan melalui kondisi yang
berubah-ubah. Gangguan pada isitem sensorik meliputi gangguan pada sistem visual,
vestibular, dan somatosensoris(suadnyana,2013).
Sistem visual seperti sistem organ lain mengalami degenerasi karena proses
penuaan. Pada sisitem visual lansia, terjadi penebalan jaringan fibrosa dan atrifi
serabut saraf, berkurangnya sel-sel reseptor di retina, serta perubahan elastisitas lensa
dan otot siliaris. Penurunan fungsi visual tersebut, menyebabkan masalah dalam
persepsi bentuk dan kedalaman serta informasi visual mengenai posisi tubuh yang
diperlukan untuk kontrol postural (Barnedh,2006).
Sistem lain yang mengalami penurunan fungsi adalah sistem vestibular.
Perubahan degenaratif tersebut mengenai organ vestibular seperti: otolith, epithelium
sensorik dan sel rambut, nervus vestibularis, dan serebelum. Makula secara progresif
mengalami demineralisasi dan menjadi terpecah-pecah. Hal ini mengakibatkan
penurunan kemampuan dalam menjaga respon postural terhadap gravitasi dan
pergerakan linear. Selain itu terjadi pula atrofi sel rambut disertai pembentukan
jaringan parut dan setelah usia di atas 70 tahun terjadi penurunan sebanyak 20%
jumlah sel rambut di makula dan 40% di krista ampularis kanalis semisirkularis
(Barnedh,2006).
Sistem somatosensori memberikan informasi tentang posisi tubuh dan kontak dari
kulit melalui tekanan, taktilsensor, getaran, serta proprioseptor sendi dan otot. Sensai
kulit melalui sentuhan, getaran dan tekanan sensor penting dalam setiap aktivitas
sehari-hari, terutama yang melibatkan gerakan. Sensivitas kulit berkurang dengan
bertambahnya usia. Kurangnya masukan dari taktil, tekanan dan getaran reseptor
membuatnya sulit untuk berdiri atau berjalan dan mendeteksi perubahan dalam
pergeseran, yang penting dalam menjaga keseimbangan (Suadnyana,2013).
Lansia juga mengalami penurunan dalam kemampuan motorik. Hal ini
berhubungan dengan penurunan terhadap kontrol neuromuskular, perubahan sendi,
dan struktur lainnya. Menurunnya sistem muskuloskeletal berpengaruh terhadap
kseimbangan tubuh lansia karena terjadinya atropi otot yang menyebabkan penurunan
kekuatan otot, terutama ekstremitas bawah, sehingga enyebabkan langkah kaki lansia
menjadi lebih pendek, jalan menjadi lebih lambat, tidak dapat menapak dengan kuat
dan cenderung mudah goyah, serta ada kecenderungan untuk tersandung. Hal ini
mengakibatkan lansia menjadi kurang percaya diri dan lebih berhati hati dalam

10
berjalan. Penurunan kekuatan otot pelvis dan tungkai juga menjadi faktor kontribusi
bagi penurunan respon postural tersebut. Secara bersamaan, hampir seluruh gerakan
menjadi tidak elastis dan halus. Gangguan motorik ini utamanya disebabkan oleh
mulai hilangnya neruon neuron di medulla spinalis, otak, dan serebelum (Siti,2009).
Oleh karena itu, penurunan fungsi setiap sistem pada lansia akan menyebabkan
penurunan pada keseimbangan, seperti yang dijabarkan pada gambar 2. 212
GAMBARRRRRR

4. Komplikasi
Jatuh pada lansia menimbulkan komplikasi-komplikasi seperti : (kane,2005; Van-Der-
Cammen,2000)
a. Perlukaan (injury)
1) Rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau
tertariknya jaringan otot, robeknya arteri/vena.
2) Patah tulang (fraktur) :perlvis, femur (terutama kollum0, humerus, lengan
bawah, tungkai bawah, kista.
3) Hematom subdural
b. Perawatan rumah sakit
Komplikasi akibat tidak dapat bergerak (imobilisasi).
c. Resiko penyakit-penyait iatrogenik.
1) Disabilitas
2) Penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik
3) Penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan kepercayaan diri, dan
pembatasan gerak.

5. Pencegahan
Pencegahan dilakukan berdasarkan faktor risiko apa yang dapat menyebabkan
jatuh seperti faktor risiko neuromuskular, muskuloskeletal, penyakit yang sedang di
derita, pengobatan yang sedang dijalani, gangguan keseimbangan dan gaya jalan,
gangguan visual, ataupun faktor lingkungan dibawah ini akan diuraikan beberapa
metode pencegahan jatuh pada orang tua:
a. Latihan fisik
Latihan fisik diharapkan mengurangi resiko jatuh dengan meningkatkan kekuatan
tungkai dan tangan, memperbaiki keseimbangan, koordinasi, dan meningkatkan
reaksi terhadap bahaya lingkungan, latihan fisik juga bisa mengurangi kebutuhan
obat-obatan sedatif. Latihan fisik yang dianjurkan yang melatih kekuatan tungkai,
tidak terlalu berat dan semampunya, salah satunya dalah berjalan kaki.
b. Manajemen obat-obatan
Gunakan dosis terkecil yang efektif an spesifik diantaranya:
1) Perhatikan terhadap efek samping dan interaksi obat
2) Gunakan alat bantu berjalan jika memang diperlukan selama pengobatan
3) Kurangi pemberian obat-obatan ang sifatnya untuk waktu lama terutama
sedatif dan tranquilisers
4) Hindari pemberian obat multiple (lebih dari empat macam0 kecuali atas
indikasi klinis kuat

11
5) Menghentikan obat yang tidak terlalu diperlukan
c. Modifikasi lingkungan
Atur suhu ruangan supaya tidak terlalu panas atau dingin untuk menghindari
pusing akibat suhu di antaranya:
1) Taruhlah barang-barang yang memang seringkali diperlukan berada dalam
jangkauan tanpa harus berjalan dulu
2) Gunakan karpet antislip dikamar mandi
3) Perhatikan kualitas penerangan di rumah
4) Jangan sampai ada kabel listrik pada lantai uang biasa untuk melintas
5) Pasang pegangan tangan pada tangga, bila perlu pasang lampu tambahan
untuk daerah tangga
6) Singkirkan barang-barang yang bisa membuat terpeleset dari jalan yang
biasa untuk melintas
7) Gunakan lantai yang tidak licin
8) Atur letak furnitur supaya jalan untuk melintas dipermudah. Menghindari
tersandung.
9) Pasang pegangan tangan ditempat yang diperlukan seperti misalnya di
kamar mandi.
d. Memperbaiki kebiasaan pasien lansia, misalnya:
a) Hindari sepatu berhak tinggi, pakai sepatu berhak lebar
b) Jangan berjalan hanya dengan kaus kaki karena sulit untuk menjaga
keseimbangan
c) Pakai sepatu anti slip
e. Alat bantu jalan
Terapi untuk pasien dengan gangguan berjalan dan keseimbangan difokuskan
untuk mengatasi atau mengeliminasi penyebabnya atau faktor yang mendasarinya.
1) Penggunaannya alat bantu jalan memang membantu meningkatkan
keseimbangan, namun disisi lain menyebabkan langkah yang terputus dan
kecenderungan tubuh untuk membungkuk, terlebih jika alat bantu tidak
menggunakan roda, karena itu penggunaan alat bantu ini haruslah
direkomendasikan secara individual.
2) Apabila pada lansia yang kasus gangguan berjalannya tidak dapat ditangani
dengan obat-obatan maupun pembedahan. Oleh karena itu, penanganannya
adalah dengan alat bantu jalan seperti cane(tongkat), crutch(tongkat ketiak), dan
walker. Jika hanya 1 ektremitas atas yang digunakan, pasien dianjurkan pakai
cane. Pemilihan cane type apa yang digunakan, ditentukan oleh kebutuhan dan
frekuensi menunjang berat badan. Jika ke 2 ektremitas atas diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan dan tidak perlu menunjang berat badan, alat
yang paling cocok adalah four-wheeled walker. Jika kedua ektremitas atas
diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan menjunjang berat badan,
maka pemilihan alat ditentukan oleh frekuensi yang diperlukan dalam
menunjang berat badan.
f. Periksa fungsi penglihatan dan pendengaran
g. Memelihara kekuatan tulang
1) Suplemen nutrisi terutama kalsium dan vitamin D terbukti meningkatkan
densitas tulang dan mengurangi resiko fraktur akibat terjatuh pada orangtua

12
2) Berhenti merokok
3) Hindari konsumsi alkohol
4) Latihan fisik
5) Anti-resorbsi seperti biophosphonates dan modulator reseptor estrogen
6) Suplementasi hormon estrogen/terapi hormon pengganti.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Kasus
Tn. B usia 75 tahun alamat jln. L.A sucipto Gg. Mungil 212. Pendidikan terakhir
smp, pekerjaan buruh, kebangsaan indonesia, suku jawa, agama islam. Memiliki anak
bernama Tn.F usia 40 tahun, pendidikan terakhir sarjana, pekerjaan wiraswasta dan
aktif bekerja, kebangsaan indonesia,suku jawa, agama islam, telah menikah dan
memiliki anak 1. Istrinya, Ny. Telah meninggal dunia dan sekarang tinggal bersama
anaknya. Dirumah, Tn.B sering sendiri karena anaknya dan menantunya bekerja.
Tn.B sering susah untuk berjalan karena sudah tidak kuat berjalan lama, Tn.B bahwa
ia sudah susah untuk beraktivitaas seperti biasa karena itu lebih sering duduk
menonton tv dan tiduran, dan penglihatan matanya kabur dan sudah sejak 5 tahun
yang lalu ia menderita katarak. tn. B mengaku pandangannya sudah tidak terlalu jelas,
pendengarannya kurang dan terdapat sedikit kotoran, diketahui Tn. B menggunakan
kacamata dan penglihatan sudah silau ketika melihat cahaya terang. Dia susah untuk
berjalan jadi menggunakan tongkat untuk menuju ke dapur untuk mengambil
makanan. Tn.B mengatakan punggung terasa nyeri ketika berjalan lebih dari 50 m.
Pada pemeriksaan didapatkan keadaan umum baik, keadaan emosionalnya stabil dan
kesadaran composmentis. TD 130/mmHg, denyut nadi 70x/menit, pernafasan
18x/menit dan suhu badan 36,5 derajat celcius, TB 160 cm , BB 55 kg.
Hasil pemeriksaan fisik rambut beruban, pada kepala tidak ada benjolan,
mengalami penurunan pendengaran, tidak ada oedema pada muka, konjungtiva merah
muda, pupil mata keruh, sklera terlihat putih, pandangan mata kabur dan berbayang.
Pada mulut dan bibir tidak ada sariawan (stomatitis), lidah bersih,tidak ada
pembengkakan dan perdarahan gusi, gigi tidak lengkap lagi. Tidak ada pembesaran
pada kelenjar tyroid dileher dan kelenjar getah bening di axilla. Bentuk dadanya
simetris dan tidak ada retraksi pada dadanya, bunyi jantung tidak ada bunyi mur-mur
dan paru-paru tidak ada bunyi wheezing, pada punggung dan pinggang tidak ada
kelainan, posisi tulang belakang sedikit meembungkuk, tidak ada nyeri ketuk pada
pinggang. Kulit kuning bersih, keriput, tidak ada bekas luka dan tidak ada odema. Tn.
B BAB 1x sehari, BAK 5x sehari.

B. Pengkajian

13
FORMAT PENGKAJIAN LANSIA
ADAPTASI TEORI MODEL CAROLA MILLER

Nama :Tn. B
Tanggal pengkajian : 22 OKTOBER 2019
1. IDENTITAS KLIEN
Nama : Tn. B
Umur : 75 tahun
Agama :Islam
Alamat asal : Jln. L.A sucipto Gg. Mungil 212

2. DATA KELUARGA
Nama :Tn. F
Umur : 40 tahun
Hubungan : anak
Pekerjaan :wiraswasta
Alamat : Jln. L.A sucipto Gg. Mungil 212

3. STATUS KESEHATAN SEKARANG:


Keluhan utama: klien mengeluh sulit berjalan, kalau berjalan sering merasa ingin terjatuh
dan pandangan mata sering kabur
Pengetahuan, usaha yang dilakukan untuk mengatasi keluhan: menggunakan alat bantu
tongkat
Obat-obatan : Vit B kompleks, captropil

4. Age Related Change ( perubahan terkait proses menua):


FUNGSI FISIOLOGIS
1. Kondisi umum
Kelelahan :YA
Perubahan BB :YA
Perubahan nafsu makan :YA
Masalah tidur :Tidak
Kemampuan ADL :YA
KETERANGAN :keterbatasan gerak dalam pemenuhan kebutuhan ADL

2. Integumen
Lesi/ luka :TIDAK
Perubahan pigmen :TIDAK
Memar :TIDAK
Pola penyembuhan lesi :TIDAK
KETERANGAN :kulit Tn. B dalam keadaan baik

14
3. Hematopoetic
Perdarahan abnormal :TIDAK
Pembengkakan :TIDAK
Anemia :TIDAK
KETERANGAN :tidak ada keluhan

4. Kepala
Sakit kepala :TIDAK
Pusing :YA
Gatal pada kulit kepala :TIDAK
KETERANGAN :sering mengeluh pusing karena pandangan matanya
kabur

5. Mata
Perubahan penglihatan :YA
Pakai kaamata :YA
Kekeringan mata :YA
Nyeri :TIDAK
Gatal :TIDAK
Photopobia :YA
Diplopia :TIDAK
Riwayat infeksi :TIDAK
KETERANGAN : memiliki penyakit katarak sejak 5 tahun yang lalu

6. Telinga
Penurunan pendengaran :YA
Dischange :TIDAK
Tinitus :TIDAK
Vertigo :TIDAK
Alat bantu dengar :TIDAK
Riwayat infeksi :TIDAK
Kebiasaan membersihkan telingan :YA
Dampak pada ADL :terkadang ketika dipanggil dari jarak yang tidak
terlalu jauh dan suara normal, TN. B tidak mampu mendengar
KETERANGAN :pendengaran kurang karena faktor usia namun
tidak menggunakan alat bantu dengar

7. Hidung sinus
Rhinorrhea :TIDAK
Discharge :TIDAK
Epistaksis :TIDAK

15
Obstruksi :TIDAK
Snoring :TIDAK
Alergi :TIDAK
Riwayat alergi :TIDAK
KETERANGAN :tidak ada masalah pada hidung

8. Mulut, tenggorokan
Nyeri telan :TIDAK
Kesulitan menelan :TIDAK
Lesi :TIDAK
Perdarahan gusi :TIDAK
Caries :YA
Perubahan rasa :TIDAK
Gigi palsu :TIDAK
Riwayat infeksi :TIDAK
Pola sikat gigi :2x sehari, hanya ketika mandi
KETERANGAN :mulut dan gigi kurang bersih

9. Leher
Kekakuan :YA
Nyeri tekan ;TIDAK
Massa :TIDAK
KETERANGAN :tidak ada pembesaran kelenjar tyroid

10. Pernafasan
Batuk :TIDAK
Nafas pendek :YA
Hemoptisis :TIDAK
Wheezing :TIDAK
Asma :TIDAK
KETERANGAN :RR 18x/menit

11. Kardiovaskuler
Chest pain :TIDAK
Palpitasi :TIDAK
Dipsnoe :TIDAK
Paraximal nocturnal :TIDAK
Orthopnea :TIDAK
Murmur :TIDAK
Edema ;TIDAK
KETERANGAN :TD 130/80 mmHg

12. Gastrointestinal
Disphagia :TIDAK

16
Nausea/vaniting :TIDAK
Hemateemesis :TIIDAK
Perubahan nafsu makan:TIDAK
Massa ;TIDAK
Jaundice :TIDAK
Perubahan pola BAB :TIDAK
Melena :TIDAK
Hemorrhoid :TIDAK
Pola BAB : BAB 1x sehari dan teksturnya lunak
KETERANGAN : tidak ditemukan masalah

13. Perkemihan
Dysuria :TIDAK
Frekuensi : 5x sehari
Hesitancy :TIDAK
Urgency :TIDAK
Hematuria :TIDAK
Poliuria :TIDAK
Olliguria :TIDAK
Nocturia :TIDAK
Inkontinensia :TIDAK
Nyeri berkemih :TIDAK
Pola BAK :normal
KETERANGAN :tidak ada kelainan patologis dan fisiologis

14. Reproduksi
Lesi :TIDAK
Disharge :TIDAK
Testiculer pain :TIDAK
Testiculer massa :TIDAK
Perubahan gairah sex : YA
Impotensi :TIDAK

15. Muskuloskeletal
Nyeri sendi ;YA
Bengkak :TIDAK
Kaku sendi :TIDAK
Deformitas :TIDAK
Spasme :TIDAK
Kram :TIDAK
Kelemahan otot :YA
Masalah gaya berjalan:YA
Nyeri punggung :YA
Pola latihan :pola latihan berjalan Tn. B dengan berjalan jarak pendek yang
efektif. Latihan keseimbangan

17
Dampak ADL :Tn. B memakai tongkat bantu jalan
KETERANGAN : Tn. B mudah lelah dalam berjalan karena pandangan matanya
kabur

16. Persyarafan
Hadache :TIDAK
Saizures :TIDAK
Syncope :TIDAK
Tic/tremor ;TIDAK
Paralysis :TIDAK
Paresis :TIDAK
Masalah memori :TIDAK
KETERANGAN :tidak ada kelainan patologis dan fisiologis

5. POTENSI PERTUMBUHAN PSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL :


PSIKOSOSIAL
Cemas :TIDAK
Depresi :TIDAK
Ketakutan :TIDAK
Insomnia :TIDAK
Kesulitan dalam mengambil keputusan :TIDAK
Kesulitan konsentrasi :TIDAK
Mekanisme koping :Koping Tn. B baik, tidak ada masalah yang
berarti
Persepsi tentang kematian ; TN. B menganggap kematian merupakan hal
yang pasti terjadi pada manusia dan harus siap
menghadapinya dengan banyak beribadah
Dampak pada ADL :tidak ada dampak pada ADLnya karena TN. B
merupakan individu yang memiliki koping
individu yang baik serta rajin menjalankan
ibadah
KETERANGAN :TN. B rajin beribadah dan menganggap
hambatan dalam beribadah merupakan suatu
tantangan yg harus dengan ikhlas dihadapi

6. LINGKUNGAN
Kamar : bersih dan rapi
Kamar mandi :dekat dengan kamar Tn. B namun kurang dalam penerangan dan
lantainya keramik yang sering dibersihkan sehingga tidak licin
Dalam rumah :bersih dan rapi, pencahayaan kurang
Luar rumah :padat penduduk

7. Additional risk factor


Riwayat perilaku yang mempengaruhi kondisi saat ini: Tn. B dalam bekerja dari pagi jam
7 sampai jam 4 sore Tn. B juga sering makan dan jarang berolahraga

18
8. NEGATIVE FUNCTIONAL CON SEQUENCES
1. Kemampuan ADL : ketergantungan sedang
2. Aspek kognitif : tidak ada gangguan kognitif
3. GDS : tidak depresi
4. Status nutrisi : baik
5. Fungsi sosial lansia : menurun, karena terkendala mobilitas dan pandangan
mata yang kabur
6. Hasil pemeriksaan diagnostik :

No. Jennis pemeriksaan Tanggal Hasil


diagnostik pemeriksaan
1. GDS 23/10/2019 110 mg/dL (80-200)
2. Asam urat 23/10/2019 3,3 mg/dL (2,4-5,7 P)
3. kolestrol 23/10/2019 180 mg/dL (150-200)

1. Kemampuan ADL
Tingkat kemandirian dalam kehidupan sehari-hari (KATZ INDEKS)
No. kriteria skor Skor yang
di dapat
1. Makan 0= tidak mampu 1
1= butuh bantuan (memotong lauk,
mengoles mentega, dll)
2= mandiri
2. Mandi 0= tergantung oranglain 0
1= mandiri
3. Berpakaian 0= terganttung orang lain 1
1= sebagian dibantu (misalnya mengancing
baju)
2= mandiri (mengancingkan, memakai
resleting, menalikan renda/tali)
4. Perawatan diri 0= membutuhkan bantuan orang lain 0
1= mandiri dalam perawatan muka,
rambut, gigi, dan bercukur
5. Buang air 0= inkontinensia(tidak teratur atau perlu 2
besar enema)
1= kadang inkontinensia (sekali seminggu)
2= kontinensia ( teratur)
6. Buang air kecil 0= inkontinensia atau pakai kateter (tidak 2
terkontrol
1= kadang inkontinensia (max 1x24 jam)
2= kontinensia ( teratur untuk lebih dari 7
hari)
7. Penggunaan 0= tergantung bantuan orang lain 0
toilet 1= membutuhkan bantuan, tapi dapat
melakukan beberapa hal sendiri
2= mandiri
8. Naik turun 0= tidak mampu 0

19
tangga 1= membutuhkan bantuan (alat bantu)
2= mandiri
9. Mobilitas 0= immobile (tidak mampu) 2
(berjalan di 1= menggunakan kursi roda
permukaan 2= berjalan dengan bantuan satu orang
datar) 3=mandiri (meskipun menggunakan alat
bantu seperti, tongkat)
10. Transfer 0= tidak mampu 1
1= butuh bantuan untuk bisa duduk (2
orang yang membantu)
2= bantuan kecil (1 orang)
3= mandiri
TOTAL SKOR 9

INTERPRETASI:
1. Skor 20 :mandiri
2. Skor 12-19 : ketergantungan ringan
3. Skor 9-11 : ketergantungan sedang
4. Skor 5-8 : ketergantungan berat
5. Skor 0-4 : ketergantungan total
Aspek kognitif
2. MMSE (Mini Mental Status Exam)
Nama : Tn. B
Tgl/jam :23 oktober 2019

No. Aspek Nilai Nilai kriteria


kognitif maksimal klien
1. orientasi 5 5 Menyebutkan dengan benar:
Tahun :2019
Hari: rabu
Musim: panas
Bulan :oktober
Tanggal :23/10/2019
2. orientasi 5 5 Dimana sekarang kita berada?
Negara :indonesia
Provinsi : jawa timur
Kab: surabaya
Panti:-
Wisma/kamar :-
3. registrasi 3 3 Sebutkan 3 nama obyek (misal:
kursi,piring,kertas), kemudian
ditanyakan kepada klien, mejawab:
1. Kursi
2. Piring
3. Kertas

20
4. Perhatian dan 5 2 Meminta klien berhitung mulai dari 100
kalkulasi kemudian kurangi 7 sampai 5 tingkat.
Jawaban:
1. 93
2. 86
3. 79
4. 72
5. 65
5. Mengingat 3 3 Minta klien untuk mengulangi ketiga
obyek pada point ke 2 (tiap point nilai 1)
1. Mampu
6. Bahasa 9 7 Menanakan pada klien tentang berada
(sambil menunjukkan benda tersebut).
1. Kipas angin
2. Tv
3. Minta klien untuk mengulangi
kata berikut: “tidak ada, dan,
jika, atau tetapi)
Klien menjawab:
Tidak ada, dan, jika, atau tetapi
Minta klien untuk mengikuti perintah
berikut yang terdiri 3 langkah.
4. Ambil kertas ditangan anda
5. Lipat dua
6. Taruh dilantai
Perintahkan pada klien untuk hal
berikut ( bila aktifitassesuai
perintah yang dituliskan dikertas
nila 1 point
7. Meminta klien untuk membaca
kalimat yang bertuliskan “tutup
mata anda”
8. Perintahkan kepada klien untuk
menulis kalimat, dan
9. Menyalin gambar 2 segi lima
yang saling bertumpuk
Total point 30 25

Interpretasi hasil:
24-30 : tidak ada gangguan kognitif
18- 23 : gangguan kognitif sedang
0-17 : gangguang kognitif berat
Kesimpulan: tidak ada gangguan kognitif

Tes Keseimbangan

21
Time up go test
No. Tanggal pemeriksaan Hasil TUG (detik)
1. 24/10/2019 38 detik
2.
3.
Rata rata waktu TUG
Interpretasi hasil Diperkirakan membutuhkan
bantuan dalam mobilisasi dan
melakukan ADL
Observasi gaya berjalan Tn. A berjalan lambat,
langkah pendek, postur tubuh
sedikit membungkuk,
menggunakan tongkat saat
berjalan.

Interpretasi hasil:
Apabila hasil pemeriksaan TUG :
<14 detik Tidak beresiko jatuh
>14 detik Resiko tinggi jatuh
>24 detik Diperkirakan jatuh dalam kurun waktu 6
bulan
>30 detik Diperkirakan membutuhkan bantuan dalam
mobilisasi dan melakukan ADL

C. Analisa Data
No. Data Fokus Masalah
1. Ds: Resiko jatuh (00155)
 Tn.B mengatakan usia 75 tahun
 Tn. B mengatakan sering ditinggal
sendirian dirumah
 Tn. B mengatakan sudah menggunakan
tongkat sejak 5 tahun
 Menderita penyakit katarak sejak 5 tahun
yang lalu
DO:
 Keterbatasan melakukan aktivitas
 Penvahayaan dalam rumah kurang,
sehingga terlihat gelap pada siang hari.
 Klien tampak mengalami penurunan
kekuatan otot ektremitas masalah gaya
berjalan, memakai tongkat
 Tes keseimbangan :diperkirakan
membutuhkan bantuan dalam mobilisasi
dan melakukan ADL (waktu TUG: 38

22
detik)
2. Ds: Hambatan mobilitas fisik
 Tn.B mengatakan susah untuk (00085)
beraktivitas , susah berjalan karena sudah
tuas dan berjalan memakai tongkat
 Klien mengatakan penglihatan saya
kabur apalagikalau melihat orang dari
jarak jauh.
Do:
 Tn. B tampak kelelahan setelah
beraktivitas
 Tidak bisa membaca tulisan kecil dengan
jelas jika tidak memakai kacamata
 Berjalan perlu menggunakan kacamata
 Tampak dispnea setelah beraktivitas
 Ketidakstabilan postur apabila tidak
menggunakan tongkat
 Kemampuan ADL: ketergantungan
sedang (skore:9)

D. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko jatuh berhubungan dengan penurunan kekuatan otot dan penurunan sistem
penglihatan
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakstabilan postur dan
kelelahan setelah beraktivitas

E. Intervensi Keperawatan
N DIAGNOSA NOC NIC
o KEPERAWAT
AN
1. Resiko jatuh Diharapkan resiko Pencegahan jatuh (6490)
(00155) jatuh pada pasien dapat  Identifikasi perilaku
berhubungan dihindari. dan faktor yang
dengan NOC: mempengaruhi resiko
penurunan a. Cara berjalan jatuh.
kekuatan otot (0222),skala  Monitor gaya berjalan,
dan penurunan outcome: keseimbangan dengan
sisitem  Keseimba tepat
penglihatan ngan  Sarankan perubahan
tubuh saat gaya berjalan (terutama
berjalan kecepatan) pada klien
(022202)  Intruksikan pasien
 Berjalan mengenai penggunaan
dengan tongkat

23
ditopang  Rawat alat bantu dalam
(022220) siap pakai
b. Fungsi  Modifikasi lingkungan
sensori :penglihat dengan menghindari
an meletakkan barang
 Pandangan yang rendah
kabur sembarangan
Penglihata  Modifikasi lingkungan
n dengan menyediakan
terganggu cahaya yang cukup
 Pusing dalam rangka
meningkatkan
pandangan
 Sediakan pencahayaan
yang cukup dalam
rangka meningkatkan
pandangan
 Sarankan
menggunakan alas kaki
yang aman
 Lakukan program
latihan fisik yang
meliputi berjalan
2. Hambatan Diharapkan keterbatasan Terapi latihan:
mobilitas fisik pada gerakan fisik tubuh Keseimbangan (0222)
(00085) dapat teratasi.  Tentukan kemampuan
berhubungan NOC: pasien untuk
dengan 1. Pergerakan, skala berpartisipasi dalam
ketidakstabilan otcome: kegiatan yang
postur dan  Keseimba membutuhkan
kelelahan ngan keseimbangan.
setelah  Berjalan  Berikan informasi
beraktivitas 2. Ambulasi , skala mengenai latihan yoga
outcome: dan tai chi.
 Menopang  Sediakan alat-alat
berat bantu untuk
badan mendukung pasien
 Berjalan dalam melakukan
dengan latihan.
pelan  Kolaborasi dengan
3. Kemampuan terapis fisik dalam
berpindah, skala mengembangkan dan
outcome: melaksanakan program
 Berpindah latihan.
dari suatu
tempat ke Terapi latihan: Ambulasi
tempat (0221)
lain.  Anjurkan pasien
4. Cara berjalan, menggunakan pakaian

24
skala outcome: tidak mengekang
 Keseimba  Sediakan alat bantu
ngan (tongkat/walker atau
tubuh saat kursi roda)
berjala  Instruksikan
 Berjalan ketersediaan
dengan menggunakan/memodif
ditopang ikasi si perangkat
 Kaki kaku pendukung
dan sakit  Ajarkan keluarga
saat dalam membantu
berjalan ambulasi yang benar

Terapi latihan : Mobilitas


Sendi (0224)
 Tentukan batasan
pergerakan sendi dan
efeknya terhadap
fungsi sendi
 Pakaikan baju yang
tidak menghambat
pergerakan
 Laukan latihan ROM
aktif maupun pasif
 Jelaskan ke pasien dan
keluarga manfaat
layihan sendi

25
BAB IV
KASIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Lansia rentang mengalami gangguan keseimbangan. Gangguan keseimbangan
sering menyebabkan morbiditas jatuh pada lansia. Pada lansia terjadi penurunan
fungsi organ-organ keseimbangan baik pada vestibulan, visual, somatesensori,
maupun muskuloskeletal.
Pasien juga rentan terken penyakit degenerative yang mengenai organ-organ
pengatur keseimbangan tersebut. Secara umum, manifestasi klini gangguan
keseimbangan dibagi menjadi 3 yaitu vertigo,presinkop dan disekuilibrum.
Vertigo pada lansia dapat merupakan manifestasi klinis pada penyakit BPPV,
penyakit meniere, atau strke batang otak. Presinkop dapat merupakanmanifestasi
klinis dari hipotensi ortostatik. Sedangkan disekuilibrum merupakan gejala dari
penyakit parkinson dan polineuropati diabetikum. Dizziness merupakan gejala
yang tidak bisa diukur secara objektif, sehingga anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang menyeluruh sangat diperlukan. Diagnosis akan lebih terarah stelah
menentukan apakah gejala gangguan keseimbangan yang dimaksud vertigo,
prensinkop, atau disekuilibrium. Penanganan gangguan keseimbangan disesuaikan
dengan diagnosis penyakit tersebut.

B. Saran
Pada pasien lansia yang sering mengalami jatuh harus dipikirkan apakah pasien
tersebut mengalami gangguan keseimbangan. Prevensi jatuh dapat dilakukan
dengan asesmen terhadap faktor risiko jatuh, intervensi olahraga pada pasien
lansia, serta mengeliminasi faktor lingkungan yang meningkatkan risiko jatuh.
Pasien lansia sering merupakan pasien dengan polafarmasi sehingga perlu
evaluasi lebih lanjut apakah obat-obatan yang dikonsumsi dapat menyebabkan
gangguan keseimbangan.

26
DAFTAR PUSTAKA

27
28

Anda mungkin juga menyukai