Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.. Pengertian Motivasi Kerja

Motivasi kerja ialah perilaku individu pada tugas kerja yang

mengarahkan individu tersebut pada kesenangan ketika melakukan

pekerjaan. Motivasi kerja didefinisikan sebagai keadaan pada diri manusia

yang mendorong hasrat manusia untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan

tertentu guna mencapai keinginan dan tujuan.. Gibson (2000) mengatakan

bahwa motivasi kerja adalah semangat yang muncul pada dalam diri

seorang manusia yang mengarahkan dan menggerakan perilaku. Menurut

Robbins (1996) Motivasi ada didalam tiap individu akan dikabulkan dalam

suatu kepribadian yang mengarahkan untuk bertujuan mencapai sasaran

kepuasan (Handoko,1990). Di dalam kaitan ini, al-Qur’an banyak

membicarakan tentang aqidah dan keimanan yang diikuti oleh ayat-ayat

tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan dengan

masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan

pahala di dunia dan di akhirat. Surah At-Taubah ayat 105 :

Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta

orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan

dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang

nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.

11
12

Motivasi kerja adalah suatu model dalam menggerakkan dan

mengarahkan para karyawan agar dapat melaksanakan tugasnya masing-

masing dalam mencapai sasaran dengan penuh kegairahan, kesadaran dan

bertanggung jawab. Hasil yang diharapkan ini merupakan tuntutan dari

manusia itu sendiri maupun tuntutan dari perusahaan dimana ia bekerja..

Jadi motivasi kerja ialah hal yang menimbulkan dorongan atau semangat

untuk bekerja. Karena hal tersebut, motivasi kerja dalam psikologi biasa

diujar sebagai pendorong semangat dalam bekerja. Berpengaruh atau

tidaknya motivasi kerja seorang karyawan berandil menentukan bagaimana

besar kecilnya prestasi (Anoraga, 1992). Drucker (dalam Anoraga, 1992)

berangapan bahwasanya motivasi menjadi penguat keinginan dan kemauan

manusia. Serta motivasi dasar yang seseorang meengupayakan sendiri untuk

menggabungkan dirinya dengan organisasi agar ikut berperan dengan

sempurna.

2. Aspek-Aspek Motivasi Kerja

Menurut Jurgensen (dalam Ibrahim,2009) yang telah melakukan

riset di Minneapolis Gas Light Company mengungkapkan beberapa aspek

yang mendasari adanya motivasi kerja, antara lain :

a. Rasa aman (Security)

Rasa aman atau security ialah mampu melaksanakan

pekerjaan tanpa terbebani resiko yang bisa membahayakan diri

pegawai. Adanya rasa aman mewujudkan suatu yang diinginkan

oleh tiap-tiap individu, terutama jika ia sedang melaksanakan


13

pekerjaan yang merupakan pijakan hidup individu tersebut.

Perasaan yang aman ini meliputi pengertian yang luas, dimana di

dalamnya termasuk rasa aman ditinjau dari kecelakaan kerja, rasa

aman dari kelanjutan hubungan kerja atau sewaktu-waktu

mengalami pemutusan hubungan kerja yang tidak dikehendaki.

b. Kemauan untuk maju (Advancement)

Ialah harapan agar mendapatkan posisi yang lebih tinggi

dibandingkan posisi yang sebelumnya. Tiap individu selalu

menginginkan adanya peningkatan dari usaha yang telah

dilakukannya. Dengan adanya kesempatan untuk maju itu, maka

kemauan untuk meningkat dapat terpenuhi.

c. Nama baik tempat bekerja (Company)

Nama baik tempat kerja ialah area saat pegawai bekerja telah

dikenal dan mempunyai reputasi yang baik di kalangan masyarakat

dan lingkungan. Adanya kebanggaan pada tempat dimana individu

bekerja itu akan memberi kepercayaan dan semangat pada individu

tersebut agar melakukan kegiatan kerja dengan baik.

d. Rekan satu tempat (CoWorkers)

Ialah rekan kolega yang bisa bekerja sama dan Rekan dengan

hubungan yang baik. Kerja sama dan rasa saling menghargai sesama

kolega akan memberikan perasaan tenang dan membutuhkan

persatuan dan keakraban yang dapat memperlancar aktivitas kerja.

e. Jenis pekerjaan (Type of work)


14

Kecocokan pekerjaan yang ditangani dengan kemauan

pegawai itu sendiri. Maksudnya ialah dengan adanya kemauan

disela kemampuan kesesuaian pegawai tersebut pada pekerjaan yang

diberikan, sehingga karyawan tersebut dapat bekerja dengan tenang

dan baik. Gaji yang diuji cukup besar serta pantas bagi karyawan

tersebut menurut kemauannya sendiri. Hal ini merupakan kebutuhan

hidup yang paling esensial dan merupakan faktor pertama bagi

keberlangsungan hidup manusia. Dengan dirasakan adanya gaji

yang besar, maka diharapkan tugas pegawai itu tidak terhalang oleh

ideologi dimana ia bertahan hidup.

f. Pemimpin (Supervisor) yang menggembirakan

Pemimpin yang mennggembirakan ialah pemimpin yang

bisa membimbing sekaligus digemari oleh para anak buahnya.

Pandangan yang bijaksana ketika diperlihatkan oleh seorang

pimpinan terhadap pegawainya merupakan contoh baik dan dapat

memberikan ketenangan dan tuntunan oleh pegawai dalam

melakukan pekerjaaannya.

g. Jam kerja (Hours)

Ialah waktu kerja yang tidak lama dan menjemukan. Jenuh

dan kelpenatan yang dihasilkan oleh terlalu lamanya waktu kerja,

dapat mengakibatkan perasaan jenuh dan malas, sehingga dapat

menurunkan hasrat kerja karyawan. Keadaan tempat kerja (Working

Condition) yang kondusif. Kondisi lingkungan kerja yang kondusif


15

misalnya dengan adanya kebersihan, pergantian udara dan suhu

ruangan kerja dalam kondisi yang baik.

h. Fasilitas-fasilitas lain yang telah tersedia

Fasilitas yang dimaksud ialah tersedianya fasilitas-fasilitas

lain yang terdapat di tempat kerja seperti kendaraan, tempat tinggal,

pengobatan gratis, asuransi dan lain-lain. Tersedianya fasilitas ini

semakin memberikan keyakinan bagi para pekerja bahwa hidupnya

tidak merasa sia-sia dan menjadi terabaikan, sehingga keadaan ini

dapat menambah motivasi dalam bekerja.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja

Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi kerja individu, menurut

(Sutermeister 1969) terdiri dari kondisi sosial area kerja, kondisi fisik area

kerja, dan terpenuhi kebutuhan primer individu tersebut. Keadaan fisik

dalam bekerja berhubungan dengan masalah pencahayaan, ventilasi udara,

kebisingan, keamanan, suhu tempat bekerja, jam istirahat, musik dan

kelembapan. Keadaan fisik tempat individu bekerja dilihat memiliki

peranan yang sangat dibutuhkan terhadap keamanan, kenyamanan dan

ketenangan kerja. Kondisi sosial lingkungan kerja yang efektif meliputi

empat faktor utama, yaitu organisasi informal, organisasi formal, serikat

kerja dan pemimpin kerja. Faktor dari organisasi formal yang sangat

berpengaruh terhadap motivasi kerja adalah struktur organisasi, iklim

kepemimpinan, efesiensi dari sebuah organisasi, kebijakan komunikasi dan


16

personalia. Faktor-faktor yang dapat menggerakkan motivasi Menurut

(Gary 2000) prestasi individu yang memiliki keinginan terhadap prestasi

dianggap sebagai suatu yang dibutuhkan untuk mendorong individu guna

mencapai sasaran. Penghargaan atau pengakuan atas suatu prestasi yang

telah dicapai oleh individu akan menjadi sebuah motivasi yang kuat.

Tantangan yang dihadapi merupakan motivator bagi individu untuk

mengatasi masalah tanggung jawab. Motivasi untuk bertanggung jawab

dibutuhkan individu untuk turut merasa bertanggung jawab pada pekerjaan.

Kemampuan seseorang dalam mengembangkan pengalaman kerja ataupun

kesempatan untuk maju, dapat menjadi motivator yang kuat bagi karyawan

untuk bekerja lebih giat. Keterlibatan, rasa ikut terlibat dalam sebuah proses

akan membantu meningkatkan motivasi kerja karyawan, kesempatan untuk

berkembang dalam kontribusi membentuk sebuah jenjang karir yang

universal merupakan sumber motivasi yang paling efektif bagi karyawan itu

sendiri.

Dalam motivasi kerja, religiositas memberikan sumbangan yang

cukup besar dalam membentuk Perilaku seseorang. Irmayani (2005)

mengungkapkan perilaku Religius ini tidak terlepas dari dua faktor penting

yang mempengaruhinya, yaitu: pertama, faktor individual (seseorang) itu

sendiri, semisal, masa kerja, usia, psikis, fisik, jenis kelamin dan motivasi

berperilaku. Kedua, situasional atau lingkungan luar, misalnya, suasana

kerja, lingkungan kerja, dan lain sebagainya. Sedang keinginan berperilaku

religius itu merupakan salah satu dari banyak keinginan manusia dalam
17

berkehidupan. Keinginan-keinginan itu tidak bisa dilepaskan dari sifat

manusia yang tidak pernah puas dan selalu ingin mendapatkan yang lebih

dari apa yang telah didapatnya. Dan sudah barang tentu tiap orang memiliki

penilaian dan perhatian yang berbeda terhadap perilaku religius mereka.

Inilah yang secara psikologi dikatakan bahwa manusia memiliki struktur

kepribadian. Selain itu, lingkungan juga ikut membentuk manusia dengan

adanya interaksi dan internalisasi nilai-nilai. Dari interaksi dan internalisasi

nilai nilai ini manusia dapat berubah perilakunya, yang sudah barang tentu

akan berimbas pada aktifitas kerjanya. Karena kuatnya pengaruh

lingkungan ini, manusia perlu diarahkan perilakunya melalui lembaga-

lembaga yang menanamkan pendidikan keberagamaan (religiositas).

Keberagamaan atau religiositas diwujudkan dalam berbagai sisi

kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika

seseorang melakukan peribadatan (ritual), tapi juga ketika melakukan

aktivitas lain yang di dorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang

berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat mata, tapi juga

aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu,

keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi.

Dengan demikian, agama adalah sebuah sistem yang berdimensi banyak.

Agama adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan system

perilaku yang terlembagakan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-

persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi. Agama membentuk

pribadi-pribadi yang kokoh dalam berperilaku, seperti, kejujuran,


18

kedisiplinan, kesetiakawanan, keoptimisan, semangat, toleran. Karena pada

dasarnya agama memang mengajarkan mengenai moral. Rasa

keberagamaan seseorang (religiositas) memiliki peran yang tidak kecil

untuk memompa semangatnya dalam beraktifitas. Secara teoritis akan

sangat berbeda Prestasi Kerja seseorang dalam bekerja antara orang yang

tidak memiliki dasar agama yang kuat dan yang memiliki dasar agama yang

telah tertempa melalui pengalaman dan pemahaman yang benar terhadap

keyakinan agamanya. Seorang yang selalu taat melakukan ritual

keagamaannya, misalnya sholatnya khusyu’, akan berimplikasi terhadap

aktifitas kerjanya, salah satunya adalah disiplin. Memiliki keyakinan

terhadap keberadaan sang maha pencipta, akan menumbuhkan sikap optimis

dalam bekerja. Namun juga tidak menutupkemungkinan, bahwa religiositas

disini hanya pada tataran ritual belaka, sehingga dalam praktiknya masih

ada karyawan yang berlaku tidak sesuai dengan ajaran agamanya, yang

menuntut untuk selalu jujur dalam melaksanakan aktifitas dalam bekerja

B.Religiositas

1. Pengertian Religiositas

Secara kaidah ada tiga hal yang setiap kata tersebut dimana masing-

masing dari istilah kata tersebut mempunyai perbedaan arti yakni

religiositas, religi dan religius. Menurut Slim (Rasmanah, 2003) memaknai

arti yang disadur dari bahasa Inggris. Religi yang asalnya dari kata religion

bagaikan bentuk dari kata benda yang berarti kepercayaan/agama akan


19

adanya sesuatu kekuatan ketetapan di atas individu. Religiositas berasal dari

kata religiosity yang berarti dedikasi yang masif pada kepercayaan atau

agama atau keshalihan. Religiositas berasal dari religious yang berkaitan

dengan religi atau sifat religi yang sudah ada pada diri seseorang.

Religiositas berasal dari bahasa latin “relegare” yang artinya adalah

mengikat secara baik atau ikatan kebersamaan (Kaye & Raghavan, 2002).

Religiositas adalah sebuah ekspresi Spiritual seseorang yang berkaitan

dengan sistem keyakinan, nilai, hukum yang berlaku dan ritual (Kaye &

Raghavan, 2002). Religiositas merupakan aspek yang telah dihayati oleh

individu di dalam hati, getaran hati nurani pribadi dan sikap personal

(Mangunwijaya, 1986). Hal serupa juga diungkapkan oleh Glock & Stark

(Dister, 1988) mengenai religiositas yaitu sikap keberagamaan yang berarti

adanya unsur internalisasi agama ke dalam diri seseorang. Definisi lain

mengatakan bahwa religiositas merupakan sebuah proses untuk mencari

sebuah jalan kebenaran yang berhubungan dengan sesuatu yang sakral

(Chatters, 2000). Menurut Madjid (1997) religiositas adalah tingkah laku

individu yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaan kepada kegaiban atau

alam gaib, yaitu kenyataan-kenyataan supra-empiris. Individu melakukan

tindakan empiris sebagaimana layaknya tetapi individu yang mempunyai

religiositas meletakan harga dan makna tindakan empirisnya dibawah

supra-empiris. Secara mendalam Chaplin (1997) mengatakan bahwa religi

merupakan sistem yang kompleks yang terdiri dari keyakinan, kepercayaan


20

yang terlihat dalam sikap diri individu dan melaksanakan ibadah-ibadah

keagamaan dengan maksud supaya dapat terhubung dengan Tuhan.

2. Aspek-aspek

Glock & Stark (dalam Ancok dan Suroso, 2001) mengatakan bahwa ada 5

dimensi dari religiositas, yaitu :

a. Iman (belief dimension), yang mencakup harapan bahwa seorang

pedalam agama menganut dan memahami suatu cerminan teologis

mengakibatkan penganut tersebut mengakui serta menerima

kebenaran dari pondasi agama yang dia anut.

b. Praktis keagamaan (religious practice), yang melibatkan ibadah

(ritual) yang menjadi kewajiban yang mengharuskan individu selalu

dipenuhi setiap pengikut agama.

c. Pengalaman keagamaan (the experience dimension or religious

experience), yang melibatkan kenyataan bahwa agama punya

harapan bersifat universal tetapi setiap pribadi dari penganutnya bisa

mendapatkan pengalaman langsung kepada individu terhadap

pribadi dalam berkomunikasi dengan realitas supranatural itu.

d. Pengetahuan (the knowledge dimension), yang berpondasi pada

dugaan bahwa individu yang berkeyakinan agama tertentu

diharapkan mempunyai pengatahuan standar minimal mengenai hal-

hal mendasar pada agama: tradisi, kitab suci, iman dan ritus.

Dimensi iman dan pengetahuan mempunyai hubungan timbal balik,


21

yang mempengaruhi sikap hidup dalam menghayati agamanya

setiap hari.

e. Dimensi konsekuensi sosial (the consequences dimension). Dimensi

ini mengidentifikasi akibat dari keempat dimensi yang telah

dijelaskan diatas dalam kehidupan sehari-hari, praktek serta

pengalaman.

C. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Religiositas

Thoules (dalam Dewi, 2013) menyebutkan terdapat faktor yang

mempengaruhi religiositas antara lain :

1. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan asocial

(faktor social). Faktor ini mencakup semua pengaruh sosial dalam

perkembangan sikap religiositas, termasuk pendidikan dari orang tua,

tradisi-tradisi sosial, tekanan-tekanan lingkungan sosial untuk

menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati

oleh lingkungan

2. Berbagai pengalaman yang dialami oleh seseorang dalam membentuk

sikap religiositas terutama pengalaman-pengalaman seperti keindahan,

keselarasan, dan kebaikan didunia lain (faktor alamiah) seperti menjalin

hubungan yang baik pada semua dengan saling tolong menolong.

Adanya konflik moral (faktor moral) seperti mendapatkan tekanan-

tekanan dari lingkungan dan pengalaman emosional keagamaan (faktor

efektif) seperti perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari


22

Tuhan. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari

kebutuhan-kebutuhan terhadap keamanan, cinta kasih, harga diri, dan

ancaman kematian.

3. Berbagai proses pemikiran verbal (faktor intelektual) dimana faktor ini

juga dapat mempengaruhi religiositas individu. Manusia adalah

makhluk yang dapat berpikir, sehingga manusia akan memikirkan

tentang keyakinan-keyakinan agama yang dianutnya

Sedangkan Jalaludin (2012) menjelaskan ada beberapa faktor yang

mempengaruhi perkembangan religiositas seseorang antara lain:

1. Faktor Internal yaitu faktor yang muncul dari dalam diri seseorang untuk

tunduk kepada Allah SWT

2. Faktor Eksternal yaitu faktor yang meliputi lingkungan masyarakat.

Lingkungan keluarga dimana keluarga adalah sebuah system kehidupan

sosial terkecil dan merupakan tempat seseorang anak pertama belajar

berbagai hal yang salah satunya adalah mengenai religiositas

D. Pengaruh Religiositas Terhadap Motivasi Kerja Karyawan .

Dalam aspek dimensi iman jika individu beriman mereka pasti mempunyai

motivasi yang lebih dalam hal beribadah karena mereka yakin dengan agama yang

dianutnya seperti aspek dimensi iman Glock (dalam Ancok dan Suroso, 2001) Di

dalam kaitan ini, Al-Qur’an banyak membicarakan tentang aqidah dan keimanan

yang diikuti oleh ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja

tersebut dikaitkan dengan masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan


23

hukuman dan pahala di dunia dan di akhirat. Surah At-Taubah ayat 105 : Dan

Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang

mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada

(Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya

kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.

Selain termotivasi dalam beribadah dimensi iman seseorang cenderung

mempengaruhi keyakinan khususnya dalam memotivasi dirinya didalam kehidupan

dijumpai bahwa inti religiositas mempunyai efek yang positif dan relevan pada

orientasi kerja karyawan.

Dimensi praktis keagamaan pun dapat berefek pada motivasi karena pada

hakikatnya ritual wajib keagamaan seperti salat 5 waktu dalam islam atau ibadah

minggu bagi penganut nasrani, hal tersebut dapat mempengaruhi kedisiplinan

seseorang dikarenakan kewajiban yang diperintahkan oleh agama dan

kepercayaannya dapat berimbas dan mempengaruhi kedisiplinan pada hal lain

dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan tentang sikap

disiplin dalam bekerja yaitu pada surat Al-Ashr ayat 3 : “kecuali orang-orang yang

beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasehati supaya menaati

kebenaran serta nasihat-menasihati supaya tetap dalam kesabaran”(Al-Ashr:3)

Pengalaman keagamaan pun berpengaruh besar terhadap motivasi itu

sendiri, memilih suatu agama dan keyakinan, ketika seorang individu mendapat

suatu pengalaman spiritual ketika sedang menjalankan ibadahnya individu tersebut

akan mampu memperbaiki karakter, kepribadian, dan moral sehingga berdampak

terhadap motivasi dan kemauan individu tersebut untuk berkembang


24

Pengetahuan yang berpondasi atas dasar keyakinan agama atau individu

diharapkan memiliki pengetahuan mendasar terhadap agama, pengetahuan

memiliki timbal balik yang mempengaruhi sikap hidup dalam menghayati

kehidupan serta keagamaannya, sumber pengetahuan seperti Al-quran dan hadist

berperan besar dalam kelangsungan hidup manusia khususnya dalam motivasi kerja

karena pada hakekatnya rezeki ditentukan oleh usaha yang manusia lakukan

sehingga usaha tersebut dijalankan melalui motivasi seseorang tersebut agar

mendapat rezeki dan penghasilan.

Elci (2017) mengungkapkan salah satu aspek yang paling penting dalam

pekerjaan ialah poin-poin religius yang dimiliki pegawai dalam melakukan

pekerjaaannya, dimensi spiritualitas mempunyai jangkauan makna esensial,

keabadian, dan bukan sesuatu yang cirinya sementara, dimensi spiritualitas selalu

terkait langsung dengan Tuhan dan merupakan pusat kemanusiaan itu sendiri.

D. Hipotesis

Penelitian ini adalah ada hubungan positif antara religiositas dengan

motivasi kerja karyawan. Bila tingkat religiositas karyawan tinggi maka tingkat

motivasi kerja karyawan tinggi, sebaliknya jika tingkat religiositas karyawan

rendah maka tingkat motivasi kerja karyawan akan rendah

Anda mungkin juga menyukai