Anda di halaman 1dari 21

Materi ke-10: Dasar-dasar Logika

Dosen: Dr. St. Tri Guntur Narwaya

___________

Makna dan Logika dalam


Beragam Perspektif Bahasa

“Menyingkap keyakinan tak masuk akal


akan menjadikan seseorang rasional dalam sehari
Menyingkap pemikiran tak masuk akal
akan menjadikan seseorang rasional sepanjang hidup

(Bo Bennet)

Dalam berbagai bentuk ekspresi bahasa, kita bisa menemukan logika cara pandang
bahasa yang beragam, baik artikulasi bahasa dalam interaksi keseharian hingga pada
penerapannya yang lebih formal. Keragaman perspektif bahasa ini tidak jarang saling
bernegosiasi dan seringkali juga kerab berkonfrontasi (berkonflik). Memahami bentuk-bentuk
ekspresi bahasa sejatinya juga membicarakan persoalan perspektif dan logika penalaran di
dalamnya. Ada banyak logika penalaran bahasa yang begitu kuat diyakini oleh masing-
masing orang seperti halnya sebuah ‘keyakinan atau dogma’, namun sementara itu lebih
banyak yang menggunakan begitu saja bahasa tanpa memahami dengan sadar atas
karakteristik perspektif bahasa dan bagaimana konsekuensi logis yang diakibatkannya.
Kekeliruan dan kecacatan penalaran bahasa bisa sepenuhnya berangkat dari dasar
perspektif yang secara sadar digunakan, namun juga bisa muncul karena proses ketidaktahuan
dan ketidaksadaran berbahasa. Dalam kasus kedua ini, seringkali bahasa lalu given dan taken
for granted diterima begitu rupa seolah merupakan kebenaran. Secara turun-temurun ia juga
diyakini menjadi doksa kebenaran. Kesesatan dan kecacatan bahasa (fallacy) bisa merupakan
ekspresi sadar dan disengaja seperti halnya kasus praktik propaganda, pelintiran bahasa,
ujaran kebohongan (hoax) atau teror bahasa, namun juga bisa merupakan problem logika
pikir karena buah ketidaksadaran seperti halnya ‘stereotipe bahasa’.. Untuk kasus yang kedua

1
orang-orang melakukan kekeliruan karena bisa saja menganggap bahwa selama ini yang ia
yakini dalam kehidupan keseharian dan turun-menurun itu adalah sebuah kebenaran.
Dalam kebiasaan praktik bahasa komunitas masyarakat tertentu, ada beberapa jenis
bahasa yang lalu dikatagorikan sebagai kelompok bahasa yang dianggap bermartabat dan
sebagian bahasa dikatakan tidak bermartabat. Bahasa dalam hal ini diyakini memiliki esensi
dan hakikat sifat tertentu. Ketika seseorang mengatakan ‘anjay’ dianggap memiliki
pengertian yang buruk di dalamnya. Bahasa seplah memiliki ciri esensi tertentu di dalamnya.
Tak hanya itu banyak jenis kata, bahasa atau baokan ungkapan-ungkapan yang yang diyakini
sebagai jenis bahasa yang tidak sopan, pamali dan tak bermartabat. Dalam kultur feudal Jawa
misalnya kita mengenal bentuk-bentuk dan jenis strata bahasa dari yang paling kasar sampai
pada yang paling halus. Bahasa lalu sering dilekatkan pada kelas, strata, dan hirarki sosial
tertentu. Sebagian orang meyakini bahwa bahasa memiliki substansi isi di dalamnya. Ilustrasi
ini hanya menjadi salah satu dari bentuk nalar perspektif bahasa yang ada.
Sebelum memberikan beragam contoh kecacatan nalar (fallacy)yang berkembang
begitu rupa dalam berbagai praktik artikulasi bahasa, setidaknya penting untuk menunjukan
posisi ragam perspektif nilar dalam memandang posisi logika nalar bahasa dan ruang lingkup
pemaknaan ini. Ada beberapa jenis perspektif yang setidaknya berkembang dalam kaitannya
dengan kehidupan bahasa. Perspektif bahasa ini sejatinya dibangun atas berbagai asumsi,
pengandaian dan juga dasar pijakan berpikir yang khas dan berbeda satu dengan yang
lainnya. Dalam paper makalah ini akan ditunjukan beberapa diantara perspektif bahasa yang
berkembang dengan segala karakteristik yang dimilikinya.

1. Esesnsialisme/Objektivisme Bahasa
Dalam pemikiran yang lebih tradisional mengenai bahasa, sebagian pandangan
melihat bahwa bahasa diyakini sekaligus diposisikan sebagai entitas yang esensial, objektif
dan netral yang difungsikan sebagai sarana atau instrumen berkomunikasi (penyampaian
pesan). Bahasa dan makna bahasa adalah entitas subtansi yang berlaku tetap dan baku. Jika
orang mengungkapkan sesuatu dalam proposisi kalimat, subjek (orang) dianggap membawa
sebentuk substansi pesan yang bisa dirujuk pendasarannya kepada sesuatu yang riil. Bahkan
jika seseorang menyatakan sesuatu pernyataan berupa teks bahasa, apa yang keluar dari
mulutnya merupakan entitas yang orisionil berasal dari kehendak pikirannya dan bisa diujuk
asal=usulknya. Jika terjadi sesuatu masalah dalam bahasa ataupun wacana maka ia dianggap
sepenuhnya berasal dari kehendak yang bermasalah. Bahasa difahami memiliki

2
substansi/esensi di dalam dirinya. Ketika seseorang misalnya mengatakan “Dasar mereka
penjahat” yang diarahkan pada diri seseorang, maka seolah diyakini bahwa kata ‘penjahat’
sebagai ‘penanda’ memiliki rujukan esensi yang pasti dan secara ilmiah bisa diujuk dasar
objektif maknanya.
Tanda, teks bahasa, wacana atau identitas lalu dianggap sebagai sesuatu penanda yang
pasti dan mempunyai esensi yang pasti (esensialisme). Pasti dalam pengertian bahwa
hubungan antara ‘penanda’ (signifier) dan ‘petanda’ (signified) atau objek yang ditandakan
memiliki relasi yang pasti dan stabil. Teks ‘penjahat’ lalu dianggap memiliki rujukan
(representasi) yang pasti dengan substansi ‘penjahat’ yang diandaikan eksis sebagai yang
tetap dan fixed. Pandangan tentang logika bahasa semacam ini nyaris masih sering kita
temukan dalam struktur nalar keyakinan dan logika berpikir masyarakat dan bahkan pernah
sekian lama mendominasi perspektif tentang logika berpikir bahasa.
Konsekuensi dalam logika cara berpikir demikian tidak hanya berdampak secara
struktural dalam formasi kebahasaan, namunj tidak main-main juga berkorelasi serius
terhadap persoalan-persoalan dinamika praktik sosial masyarakat. Berbagai peristiwa konflik
gesekan sosial, ketersinggungan, ujaran kebencian, fenomena kemarahan publik, pencemaran
nama baik atau kasus-kasus serupa tentang penodaan dan penghinaan yang mendorong
eskalasi persoalan politik lebih besar tidak sedikit dimulai dari prinsip kesadaran logika
berpikir demikian. Ketika sebuah simbol atau teks bahasa dianggap memiliki substansi
objektif dan pasti di dalamnya, maka ia dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa berubah
sepanjang waktu. Dalam cara pandang dominan demikian, keberadaan dan posisi relasi
dengan konteks atau keterhubungan teks yang lain (inter teks atau antar teks) jarang untuk
dipertimbangkan. Makna bahasa dianggap bersifat independen. Ia harus dijaga kemurniannya
atas bahaya penafsiran dan jenis-jenis artikulasi yang berbeda.
Makna bahasa lalu dianggap objektif sebagai sebuah ‘substratum’ yang tetap (fixed)
yang tidak bisa berubah sepanjang waktu. Keaslian dan kemurnian bahasa lalu diyakini ada
dan bisa ditemukan secara objektif asal-usulnya. Yang ‘asali’ bisa ditelusuri dan menjadi
rujukan yang benar-benar dianggap sebagai seuatu yang riil. Jika bahasa itu melekat pada
sebentuk identitas subjek atau identitas sosial, maka ia juga diyakini sebagai entitas yang
tetap. Jika kita menyebut tentang ‘Jawa”, maka seolah-olah apa yang dimaknai sebagai Jawa
itu memang ada secara objektif di luar sana. Pandangan fondasionalisme dan esensialisme
tentang bahasa ini dalam masa sebelum modern dan perkembangan abad modern masih
cukup luas diyakini terutama sebagai bagian dari cara berpikir yang literer, dogmatis dan
positivistik mengenai bahasa. Sebuah teks yang mendefinisikan sebuah konsep tertentu lalu
3
dianggap memiliki karakteristik yang baku. Sebuah teks bahasa bahkan bisa dianggap sebagai
seutuhnya mewakili realitas objek (objektif-eksternal). Saat seseorang mengatakan
“Perempuan itu cantik”. Maka predikasi cantik adalah sebuah entitas yang memang benar-
benar ada (objektif). Ini sama mengandung pengertian bahwa ;cantik’ itu benar-benar eksis
melekat pada orang itu sebagai esensi. Ciri esensialisme bahasa ini sebenarnya menyangkut
juga persoalan logika berpikir dalam memahami tentang kebenaran. Sederhananya bahasa
dianggap bisa meringkus realitas sepenuhnya. Bahasa diyakini sebagai esensi yang bisa
menggambarkan kondisi hakikat eksternal secara penuh dan telanjang sepeuhnya. Bahasa lalu
dianggap atau setidaknya diyakini bisa untuk menemukan kebenaran-kebenaran secara
objektif.
Ada konsekuensi logis yang sering muncul dalam kesadaran perspektif bahasa
semacam ini: Pertama, karena keyakinan bahwa bahasa bisa diringkus dan ditangkap
selayaknya esensi benda (objek) yang lain sebagai yang bisa dimiliki, maka seringkali
memunculkan kecenderungan rezim pembakuan dan dogmatisme atas makna. Perbedaan
tafsir atas makna tidak diberi tempat dan tidak dimungkinkan berkembang. Apa yang berbeda
atas tafsir dominan bisa mudah dianggap sebagai yang sesat, subversif dan berbahaya karena
akan merusak kemurnian makna bahasa. Bahasa menjadi persoalan yang sakral dan
semestinya harus dijaga. Kedua, sering munculnya pola-pola stigma dan pelabelan atas
makna. Karena teks bahasa mewakili substansi makna, maka orang bisa dengan mudah
menggunakan bahasa secara sepihak untuk memberikan label atau katagori tertentu pada
seseorang. Misalnya kita bisa lihat dalam kasus pemberian label buruk atau stigma negatif
terhadap kelompok minoritas, komunitas sosial atau suku tertentu yang sekian lama masih
direproduksi dalam keyakinan orang-orang. Saat orang memberikan label buruk pada
seseorang, maka seseorang telah memberikan esensi pengertian yang sepenuhnya dianggap
benar dan tidak terbantahkan.
Ilustrasi cukup terang dalam kasus semacam ini kita bisa tengok semisal kasus sejarah
reproduksi stigma negatif pada orang-orang yang sekian lama dituduh sebagai ‘komunis’ atau
‘teroris’ yang dilakukan oleh kuasa kepentingan politik negara dan tidak sedikit juga
didukung serta diyakini oleh sebagain pandangan masyarakat kita. Akibat politik pelabelan
(stigma negatif) tersebut dampaknya sungguh sangat serius karena terbukti banyak
mendorong proses politik persekusi, intimidasi, teror, kekerasan, diskriminasi dan politik
pembunuhan karakter yang sangat represif. Hanya karena seseorang yang barangkali tidak
bersalah sama sekali namun telah terkenai stigma/label buruk sebagai orang-orang ‘komunis’
atau ‘teroris’, maka kehidupan sosial dan politiknya sekian lama lalu terdiskriminasi begitu
4
rupa. Bahasa lalu bisa menjadi senjata pembunuh yang sangat efektif. Ketiga, esensialisme
bahasa juga membangun kecenderungan apriori, fatalitas berpikir dan prasangka-prasangka
sosial yang mengakar kuat. Dengan keyakinan esensialis bahasa, seseorang bisa dengan
mudah mencipta prasangka dan dengan cepat pula secara apriori dan fatalistik menganbil
kesimpulan-kesimpulan penalaran yang salah dan serampangan.
Aspek keempat yang juga penting adalah bahwa teks dan makna bahasa seolah-olah
mewakili sepenuhnya dan seutuhnya dari isi kesadaran dan kehendak subjek penutur. Subjek
yang sadar dianggap memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan bahasa sesuai dengan isi
kehendaknya. Perspektif berpikir semacam ini sebenarnya bisa dirujuk dalam pandangan
besar ‘metafisika kehadiran’. Subjek sebagai pusat yang bisa memiliki kemampuan untuk
memahami dan mengartikulasikan bahasa secara objektif. Bahasa yang terucap oleh
seseorang diyakini persis bisa mewakili isi sepenuhnya isi pikiran dan kehendak penutur.
Maka keyakinan ini juga berdampak pada pandangan keyakinan tentang kemurnian pikiran
dan orisionalitas kehendak. Bahasa dianggap sebagai produk kesadaranj murni yang tidak
terkait dengan relasi ekternal apapun. Pandangan ini juga menolak konsep ketidaksadaran
sebagai bagian dari karakteristik struktur bahasa yang dikemudian hari banyak dikembangkan
oleh Psikoanalisis bahasa seperti halnya gagasan besar Lacan atau Deluze dan juga kajian-
kajian Pos-kolonial yang banyak terinspirasi oleh gagasan-gagasan besar Pasca-Strukturalis
yang dikembangkan oleh Jacques Derrida maupun Michel Foucault.

2. Strukturalisme Bahasa
Dalam sebagian besar pandangan besar Strukturalisme, teks bahasa dianggap sebagai
sebuah struktur yang baku dan ajeg. Teks bersifat struktural dan bukan relasional. Dalam
perkembangan bahasa, situasi logika berpikir ini nampak dalam perspektif besar
‘strukturalisme bahasa’. Strukturalisme bahasa sendiri sebagai sebuah perspektif pemikiran
bahasa berkembang di tahun 1960’an di Perancis. Salah satu pemikir utamanya adalah
Ferdinand de Saussure (1857 - 1915). Gagasan tentang strukturalisme yang berkait dengan
bahasa ini tidak lepas dari sebuah maha karya yang ia ciptakan. Secara praktis tidak banyak
karya yang ia publikasikan, tetapi berbagai karya dan gagasan berhasil dihimpun secara
anumerta oleh beberapa murid setiannya. 1 Berbagai tulisan dan catatan kuliah Saussure inilah

1
Dua muridnya yang berhasil menghimpun catatan-catatan kuliah (1906 - 1911) tentang
kajian b ahasa adalah Charles Bally dan Albert Sechehaye. Tulisan-tulisan kuliah itu dikumpulan
menjadi buku maha penting tentang kajian bahasa yakni ‘Cours de Linguistique generale’.

5
yang kemudian menjadi buku penting dalam kajian studi linguistik dan juga semiotika hingga
perkembangan hari ini.
Bisa dikatakan bahwa masa tahun 1960’an adalah masa emas berkembangnya
strukturalisme di Perancis dan kawasan Eropa lainnya. Salah satu pemikir yang menyebarkan
gagasan tentang strukturalisme adalah Jean Piaget seorang guru besar psikologi di
Universitas Jenewa. Berkat karyanya ‘Le Structuralisme’, maka ide-ide pemikiran ini mulai
banyak digemari sebagai kerangka teoritik pada juamannya. 2 Namunpun demikian pasca
1960’an saat kejayaan Strukturalisme mulai berubah dan memudar, namun jejak-jejak dan
pengaruh pemikiran juga masih bisa dirasakan jingga haat ini. Tentu kita tidak akan tidak
mengenal beberapa pemikir kritis Perancis lainnya hang kemudian bisa dikatagorikan masuk
dalam mazhab pemikiran ini. Sosok pemikir seperti Michel Foucault, Roland Barthes, Louis
Althusser, Jaques Lacan dan juga Levi-Strauss adalah pemikir-pemikir yang cukup
berpengaruh dalam kajian-kajian bahasa dan ilmu-ilmu humaniora lainnya.
Dalam perkembangan posisi pemikiran yang digagas oleh Ferdinand de Saussure juga
tidak bisa melepaskan dengan perkembangan perspektif sosial yang baru sangat berpengaruh
di Eropa pasa saat itu. Salah satu pengaruh besar pemikiran Saussure yang tidak terelakkan
adalah oleh pemikiran fakta sosial Emile Durkheim (1858 - 1917). Posisi Durkheim dalam
paradigma ilmu sosial masuk pada ‘Paradigma Fakta Sosial’.3 Paradigma fakta sosial ini
meyakini bahwa struktur masyarakat merupakan susunan kenyataan objektif dari jiwa
kelompok yang mempengaruhi individu. Masyarakat dilihat sebagai sebuah fakta yang
berdiri di luar dari kesadaran individu. Struktur merupakan kekuatan yang berpengaruh
terhadap kesadaran individu.
Dalam gagasan besar Strukturalisme, Saussure memberikan catatan bahwa bahwa
signifikansi (penandaan) atau produksi makna adalah dampak dari struktur-struktur dalam
bahasa yang terwujud dalam gejala budaya yang khusus atau dalam bahasa yang dipakai
manusia. Makna diyakini bukan hasil dari intensi para subjek pelaku (penutur) dalam dirinya
sendiri namun berasal dalam strukur bahasa itu sendiri. Menurut Saussure, makna bahasa

2
Bisa dikatakan juga bahwa sejarah kemunculan dari pemikiran ‘strukturalisme’ juga sebagai
respon dialektika pemikiran untuk mengkritisi nalar pemikiran eksistensialisme yang salah satu
pemikir besarnya adalah Jean Paul Satre. Strukturalisme juga merupakan kritik terhadap
perkembangan fenomenologis yang sebelumnya juga berkembang pesat (salah satu pemikir
besarnya adalah Edmund Husserl). Untuk kepentingan kajian mendalam, sengaja tidak dipaparkan
dalam tulisan ini.
3
Ada tiga paradigma besar yang cukup berpengaruh dalam kajian-kajian ilmu sosial yakni
‘Paradigma Fakta Sosial’, ‘Paradigma Definisi Sosial’ dan ‘Paradigma Perilaku Sosial’. Lihat, I.B
Irawan, Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma, Penerbit Kencana, Jakarta, 2012.

6
dihasilkan oleh sebuah sistem pembedaan yang terstruktur dalam bahasa sehingga pemaknaan
merupakan hasil dari aturan dan konvensi yang mengatur bahasa. Strukturalisme secara
umum lebih terfokus pada struktur-struktur bahasa yang membuat ”performa linguistik”
mungkin terjadi. Strukturalisme menandai pergeseran paradigma yang berorientasi pada
subjek (metafisika kehadiran) ke arah orientasi bahasa. Bagi Strukturalisme, makna bukanlah
berasal dari intensi kesadaran subjek atau dunia objektif, melainkan berkait dengan struktur
bahasa. Untuk lebih jelasnya mengenai gagasan besar Strukturalisme bahasa yang
dfikembangkan oleh Ferdinand de Saussure akan dijelaskan di bawah ini.

‘Langue’, ‘Parole’ dan ‘Langage’

Pandangan Strukturalisme secara umum meyakini bahwa, struktur kesadaran


kelompok (sosial) yang dimaknai sebagai masyarakat akan mempengaruhi setiap tindakan
dan perilaku yang akan dilakukan oleh subjek individu. Oleh Saussure, prinsip pandangan ini
juga bisa diberlakukan untuk memandang fenomena ‘bahasa’. Bahasa menurut Saussure
adalah sebuah kenyataan fakta sosial objektif yang hadir di luar dari kesadaran manusia.
Bahasa adalah sistem aturan atau konvensi sosial masyarakat yang berlaku dan hidup di luar
dari pemikiran subjektif manusia. Prinsip pemikiran Durkheim memberikan rangsangan
kepada Saussure dalam penyelidikannya tentang bahasa.4 Bahasa dalam pandangan
strukturalisme Saussure dilihat sebagai ‘benda’ yang terlepas dari pemakaian ‘penuturnya’.
Benda yang dimengerti ini sebagai bukan ‘fakta kongkrit empiris indrawi’ tetapi berupa
‘fakta sosial’. Bahasa adalah ‘fakta sosial’ karena meliputi suatu masyarakat dan menjadi
kendala bagi penuturnya. Individu tidak bisa semena-mena dan bebas untuk merubah bahasa.
Bahasa menjadi tak ubahnya objek yang dapat diteliti secara ilmiah karena berlaku umum.5
Pada beberapa dimensi penting gagasan strukturalisme, Saussure memperkenalkan
beberapa konsep dan pengertian kunci dalam karyanya yakni : ‘Langue’, ‘Parole’ dan
‘Langage’. Namun beberapa konsep kunci yang lain yang ada antara lain tentang
‘Sintagmatik’, ‘Paradigmatik’, ‘Sinkroni’, ‘Diakroni’, ‘Signifian’ dan ‘Signifie’. Masing-
4
Dalam beberapa tulisan yang terkumpul dalam Course in General Linguistik karya
Ferdinand de Saussure, ‘bahasa’ dimengerti sebagai sebuah tanda yang mengekspresikan ide-ide
(gagasan-gagasan) dank arena itu dapat dibandingkan dengan sistem tulisan, huruf-huruf untuk
orang bisu-tuli, simbol-simbol keagamaan, aturan-aturan sopan santun, tanda-tanda kemiliteran dan
sebagainya. Bahasa merupakan hal yang sangat penting dari keseluruhan sistem tersebut. Lihat,
Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer
(Penterjemah: M. Dwi Mariayanto), Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta,2010, hal. 4.
5
Lihat, Harimurti Kridaleksana, Mongin Ferdinand de Saussure (1857 - 1913): Peletak dasar
Strukturalisme dan Linguistik Modern, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 16.

7
masing konsep itu tentu saja mengandung berbagai perbedaan pengertian dan relasi antar
pengertian dan juga posisi-posisi khusus dalam pemahaman pemikiran Saussure mengenai
bahasa dan juga terkait dengan pemahaman tentang ‘tanda’.
Langue (Struktur abstraksi bahasa), adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh
secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa, yang memungkinkan para penutur saling
memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dalam masyarakat.6
Kebiasaan bahasa ini pada perjalanannya menjadi ‘tradisi’ atau ‘konvensi’ yang mengikat
semua orang yang menjadi penutur. Penutur tidak lagi bisa secara bebas untuk menggunakan
bahasa. Abstraksi bahasa itu diyakini hidup dalam masa yang tak terbatas waktu (a-historis).
Konvensi itu seakan bisa dibahasakan sebagai ‘kode’ atau ‘sistem nilai yang murni’. Bahasa
adalah abstraksi dari fakta.7 Tentu bukan fakta itu sendiri melainkan sebuah abstraksi yang
telah dianggap sebagai fakta itu sendiri (fakta sosial). 8 Langue bisa juga dimaknai sebagai
konvensi bahasa yang siap pakai dari penutur-penutur sebelumnya yang kemudian
berkembang begitu lambat dan seakan tidak terjadi perubahan.
Bagi pandangan Saussure, hampir serupa dalam pendangan penelitian-penelitian
ilmiah yang lainnya, bahasa merupakan ‘abstraksi atas fakta-fakta yang kemudian
menjadikan dirinya sebagai sistem yang tetap dan tidak berubah.’ Bisa dikatakan, bahasa
adalah sebagai objek sosial yang murni. Keberadaan bahasa ada di luar individu. Bahasa
merupakann institusi sosial yang otonom, tidak tergantung pada materi-materi tanda-tanda
pembentuknya.9 Oleh sebab itu bahasa merupakan sebuah kontrak kolektif yang harus
dipatuhi jika memang orang-orang ingin bisa membangun komunikasi antar masing-masing

6
Lihat, Harimurti Kridaleksana, Ibid, hal. 19. Menurut catatan Harimurti Kridaleksana,
‘langue’ berada dalam bentuk keseluruhan kesan yang tersimpan dalam otak setiap orang (individu)
yang lebih menyerupai sebagai ‘kamus yang dibagikan kepada setiap orang’.
7
Pemahaman ‘abstraksi’ ini sejatinya kalau kita lihat dalam prinsip keyakinan Saussure
tentang bahasa amatlah erat. Abstraksi tentang fakta akan menjadi seolah bisa dikatakan sebagai
fakta itu sendiri. Abstraksi selalu diperlukan sebagaimana kita mengakui bahwa jumlah fakta adalah
tak terbatas dan tidak mungkin semua akan bisa diteliti satu persatu. Maka tugas abstraksi menjadi
penting. Anstraksi juga selaras dengan posisi pandangan bahwa bahasa bukanlah substansi tetapi
hanyalah bentuk (form). Bahasa dalam dirinya merupakan cara untuk memformalkan sesuatu
(realitas). Dalam diri bahasa tidak ada substansi yang sifatnya fakta. Yang terpenting bukan bahan
(subtansi) dari mana bahasa itu tetapi adalah penting membaca aturan-aturan yang
mengkonstitusikannya dan melihat setiap unsure-unsur di dalam bahasa yang lebih bersifat formal.
8
Pada pengertian senada, V. Brondal mendefinisikan ‘langue’ sebagai suatu entitas yang
murni abstrak, suatu norma yang berada di atas individu-individu, sekumpulan tipe-tipe yang
esensial, yang direalisasikan oleh parole dengan keanekaragaman yang tak terbatas. Lihat, Roland
Barthes, Petualangan Semiologi, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal. 18.
9
Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isi dan Problem Ikonisitas, Penerbit Jalasutra,
Yogyakarta, 2011, hal. 24.

8
orang. ‘Langue’ bisa secara mendasar dan singkat dimengerti sebagai bahasa dalam
wujudnya sebagai sebuah ‘sistem’ atau ‘kaidah’.
Berbeda dengan pemahaman tentang langue, ‘parole’ merupakan bagian yang
sepenuhnya individual.10 Parole adalah ‘penggunaan aktual bahasa’ sebagai tindakan
individu-individu penutur. Jika dalam langue berlaku kontrak kolektif dan disepakati, dalam
parole ada unsur subjektifitas penggunaan. Maka meskipun dalam masyarakat memiliki
kaidah auran tentang sebuah bahasa, namun subjektifitas tindakan individu ini bisa berlaku
beragam masing-masing penutur. Dalam kebiasaan bahasa bisa kita identikan dengan dialek,
gaya bahasa atau ungkapan-ungkapan khas bahasa yang hidup bermacam-macam dalam
individu. Parole sekaligus sebagai tindakan ‘seleksi’ dan juga ‘aktualisasi’ individu. Pada
dimensi ‘parole’, persoalan-persoalan perubahan bunyi, tekanan, pelafalan, diksi ataupun
gaya penuturan akan bisa berubah-ubah sesuai dengan seleksi penutur dalam penggunaan
bahasa. Namunpun demikian, seluruh kombinasi dan seleksi itu tidak bisa semena-mena
merubah struktur/kaidah bahasa (langue) yang disepakati (kontrak kolektif).
Relasi hubungan antara ‘langue’ dan ‘parole’ amatlah dialektis dan komprehensif.
Keduanya tidak bisa dipisahkan. Tidak ada langue tanpa kehadiran parole dan sebaliknya
tidak ada parole tanpa sebuah langue. Hubungan keduanya berlangsung secara ‘resiprok’.
Bisa dikatakan secara lebih jelas bahwa ‘langue’ adalah kekayaan material yang
dukumpulkan oleh lewat praktik-praktik tindakan parole dalam satu komunitas yang sama.
Praktik-praktik itu terkumpul dalam massa penutur yang banyak dalam satu komunitas
sehingga keberadaan ‘langue’ akan semakin utuh dan sempurna. Sebuah ‘langue’ tidak bisa
hidup dalam hanya diri individu penutur. Dalam perkembangannya, fakta-fakta parolelah
yang selalu mendahului keberadaan ‘langue’. Secara genetis jika kita melihat perkembangan
pemahaman bahasa pada manusia, orang tua tidak akan mengajarkan ‘langue’ yang misal
berupa gramatika atau kosa kata terhadap si bayi. Yang diajarkan dan didengarkan pertama
kali pada sang bayi adalah parole individual. Demikian juga yang diajarkan pada seseorang
yang ingin memasuki wilayah komunitas bahasa yang baru. Misal seorang penduduk asing
yang masuk dalam percakapan bahasa di luar bahasa yang dia ketahui. Yang dia fahami dan
dengarkan pertama kali tentu adalah ‘parole’ dari penuturan individu dalam komunitas itu.
Selanjutnya ia akan mencari berbagai kaidah untuk dijadikan acuan baku komunikasi dengan
individu yang lain.
Keberlakuan hubungan ‘langue’ dan ‘parole’11 ini tentu tidak terpisahkan. Kita tidak
perlu untuk mempertanyakan posisi aspek mana dulu yang harus didahulukan untuk
10
Kris Budiman, Ibid, hal. 25.

9
mempelajari bahasa. Saat kita bisa meyakini bahwa parole yang kita lakukan adalah sesuatu
yang bermakna, sejatinya sebenarnya dalam diri parole itu telah ada aspek dimensi ‘langue’
yang menjadi pengikat pemahaman. Sebaliknya sebuah kaidah bahasa sesempurna apapun
tetapi minus praktik wicara tindakan ini, maka sebenarnya pula bahasa itu tak ada sama-
sekali. Titik dialektika resiprokal inilah yang perlu menjadi pemahaman yang paling
mendasar pada pemahaman konsep dikotomis Saussure tentang relasi ‘langue’ dan ‘parole’.
Sedangan pengertian ‘langage’ menurut Saussure lebih merujuk pada relasi kesatuan
‘langue’ dan ‘parole’ yang disebut sebagai bahasa. Langage adalah bahasa Perancis untuk
memberi pengertian pada fenomena bahasa (secara keseluruhan). Dalam langage belum
menjadi bahasa murni sebagai kaidah karena masih tercampuri oleh subjektifitas dan
kreatifitas tuturan individu. Ia akan menjadi kaidah saat parole kemudian tidak ada. Jika
‘parole’ dimengerti sebagai tuturan, wicara, atau dalam bahasa inggris bisa ditulis ‘speech’,
maka langage lebih dari ucapan atau tuturan. Langage adalah keseluruhan bagian tubuh yang
terdiri dari ‘langue’ sebagai sistem dan kaidah bahasa dengan parole sebagai tindakan
praktik berbahasa atau tuturan yang sifatnya individual. Memang pemakaian konsep-konsep
ini harus dimengerti secara lebih jelas sehingga masing-masing tidak tumpang tindih dan
kabur.

Relasi Perbedaan ‘signifiant/signifier’ dengan ‘signifie/signified’


Dalam terjemaham bahasa Indonesia kita bisa gantikan penamaan
‘signifiant/signifier’ sebagai ‘penanda’ dan ‘signifie/signified’ sebagai ‘petanda atau tinanda’.
Dalam pandangan Ferdinand de Saussure, pemahaman bahasa tidak bisa dihindarkan dengan
perbincangan tentang pemaknaan. Sistem pemaknaan untuk menunjuk pada realitas itulah
yang biasa disebut sebagai ‘sistem tanda’. Tanpa poin nilai pemaknaan inilah, maka sulit
dibayangkan akan terjadi sebuah dialog atau komunikasi antar individu. Bagi Saussure,
langue sebagai konvensi bahasa itu juga merupakan ‘khasanah tanda’. Sifat sistem tanda ini
menurut pandangan Saussure lebih bersifat ‘abriter’ dan ‘konvensional’.
Karakteristik ‘abriter’ (manasuka) pada tanda ingin mengatakan bahwa sebuah tanda
memiliki referensi terhadap objek tanpa kita mengetahui alasannya dan pertimbangannya
(bersifat manasuka). Sistem tanda juga bersifat ‘konvensional’ karena tanda-tanda tersebut
11
Oleh pengembangan gagasan Roland Barthes, perbedaan dikotomis antara ‘langue’ dan
‘parole’ bisa difahami seperti pada konsep ‘bahasa’ dan ‘tuturan’. Tuturan dalam pemahamab
Barthes dalam arti luas bisa berupa ‘wacana’. Sebagai pengembangan kajian semiotika Barthes, poisi
kunci ini kemudian banyak dielaborasi dan dikembangkan dalam berbagai modifikasi analisis tentang
produk kebudayaan lainnya seperti makanan, perabot, pakaian dll.

10
kemudian pada akhirnya dilembagakan, ditradisikan, dan dibakukan dalam sebuah sistem
‘langue’ yang dijadikan kesepakan kontrak kolektif untuk ditaati (bersifat memaksa).
Individu dalam komunitas bahasa harus mentaati konvensi yang ada. Dalam pandangan ini,
maka bahasa tidaklah hanya sekumpulan kata-kata, tetapi merupakan himpunan semesta
tanda.
Kita bisa memulai membahas tentang prinsip pemikiran Saussure mengenai tanda ini.
Pada pandangan Saussure, tanda terdiri dari dua komponen penting. (1) adalah ‘kesan bunyi’
atau ‘citra akustik’ yang kemudian disebut ‘penanda’ dan (2) ‘konsep’ atau ‘citraan mental’
yang disebut ‘petanda’ atau ‘tinanda’. Bagaimana kita bisa mendapatkan kesan bunyi
tersebut. Penanda adalah kesan bunyi yang didapatkan dari mulut penutur (individu)
sedangkan ‘petanda’ adalah ‘konsep’ atau ‘citraan’ yang ditunjuk oleh penanda, namun ia
hanya bisa dirasakan dalam mental pikiran para penutur. Penanda membentuk aspek material
bahasa, sedangkan petanda membentuk aspek ‘makna bahasa’.12 Hubungan dua komponen ini
tentu saja tidak terpisahkan. Artinya, sebuah citra akustik tidak akan bisa memberi makna
dan pengertian selama dia tidak mempunyai citraan mental pada diri penutur atau sekaligus
pendengarnya. Sebaliknya, sebuah konsep dalam tanda tidak dapat disampaikan kecuali jika
in divide bisa mengungkapkannya melalui citra akustik atau kesan bunyi yang
dimunculkannya.
Kaitan antara ‘penanda’ dan ‘petanda atau antara ‘citra akusitik dengan ‘konsep
dalam citraan mental’ selalu menghasilkan hubungan refrensialnya. Sebagaimana pandangan
kaum strukturalis bahwa bahasa adalah hanyalah ‘bentuk’ tanpa punya ‘substansi’ apapun
maka kehadiran sebuah tanda akan selalu merupakan bentuk dari penggabungan dan relasi
kedua komponen ini. Tanda sekaligus bersifat relasional. Setiap tanda selalu akan berkait dan
berinteraksi dengan berbagai tanda yang lain dan sifatnya tak terbatas. Ada mekanisme
sendiri antara tanda yang satu dengan tanda yang lainnya. Kata kunci utama untuk bisa
menjelaskan ini adalah ‘prinsip perbedaan’ atau prinsip differensi (bahasa Perancis :
difference). Tanpa prinsip perbedaan ini, maka tidak akan ada tanda yang bisa berbunyi dan
difahami. Tanpa prinsip diferensi ini maka tanda tidak akan bisa menjelaskan realitas yang
hendak dimaksud.13

12
Muhammad Al-Fayadl, Derrida, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2005, hal. 37.
13
Prinsip perbedaan (difference) ini oleh Saussure bisa dikaji dan dipelajari melalui dua hal
yang penting yakni (1) aspek konseptual yang oleh Saussure disebutkan dengan istilah ‘valensi’ atau
‘nilai’. Sestiap sistem tanda atau bahasa, akan mempunyai sistem valensi (nilai) yang berbeda. (2)
aspek material yang berkait dengan aspek fonetis atau perbedaan bunyi. Perbedaan pada aspek
fonetik ini banyak berhubungan dengan fungsi bahasa yang arbiter (semena-mena dan kebetulan)

11
Dalam perkembangan sistem tanda, bentuk-bentuk ini tidak dapat berdiri sendiri,
tetapi selalu tergantung pada relasi dan hubungannnya dengan tanda-tanda yang lain. Sebuah
makna tanda atau kata ‘tanah’ tidak akan mendapat makna dan pengertiannya tanpa sebuah
relasinya dengan tanda yang lain misal ‘ranah’, ’panah’, ‘ramah’ atau kata-kata yang lain.
Jadi setiap identitas tanda selalu mengandung prinsip differensi. 14 Tanpa itu kata ‘tanah’
sama sekali tak bisa dimengerti. Inilah prinsip penting dari kerangka semiotika Saussurian
yang harus digarisbawahi. Perbedaan-perbedaan itu berasal dari ‘citra bunyi’ yang terserap
dalam diri penutur. Prinsip perbedaan citra bunyi ini juga pada prinsipnya bersifat ‘abriter’,
refrensi rujukannya tidak ada (semena-mena/manasuka).

Relasi Asosiatif (Paradigmatik) dan Relasi Sintagmatik Tanda


Sebagaimana pemahaman bahasa dalam pemikiran Saussure, bahasa sebagai objek
linguistik mempunyai dua sifat utama yakni : arbiter dan linier. 15 Aspek arbiter dan linier ini
dalam telaah soal bahasa ini sangat berkonsekuensi amat luas. Setiap bahasa akan berelasi
dengan bahasa atau tanda yang lain. Pada pandangan Saussure, ada dua hubungan yang
sekaligus muncul dalam penggunaan bahasa. Hubungan yang pertama kita sebut sebagai
hubungan ‘asosiatif/paradigmatik’. Setiap bahasa yang kita ucapkan atau tuliskan akan
berhubungan dengan bahasa lain yang serupa atau berbeda. Ketika kita menuliskan kata
‘meja kantor’, pada kata itu sebenarnya secara asosiatif bisa merujuk pada asosiatif bahasa
yang sama semisal ‘meja tulis’, ‘meja tamu’ dll. Hubungan yang kedua adalah “hubungan
sintagmatik’ yakni bahwa setiap teks atau bahasa yang kita ucapkan mengandung
pengelompokanyang saling melengkapi dengan yang lain. Jika kita menyebut kata ‘meja’
maka di sana sebenanrnya juga merujuk pada entitas sesuatu yang melengkapi dengan fungsi
meja, semisal kursi, almari. Rak buku dll. Karena hubungan arbiter pembedaan yang ada
dalam identitas sesuatu hal maka penyebutan nama setiap benda yang ada juga hanya bersifat
manasuka (abtiter). Sifat relasional yang ada dalam setiap proses pemaknaan makna

14
Dalam perkembangan selanjutnya, terutama kritik kaum pascastrukturalis seperti Derrida,
‘differ(a)nce’ tidak hanya sebagai prinsip perbedaan. Tapi melampui itu; Difference menunjukan
pada ‘penundaan’ yang tidak memungkinkan sesuatu hadir. Difference ingin menunjukan bahawa
pada setiap bahasa mengandung aspek ambiguitas. Pada konsep Derrida, sistem tanda tidak hanya
terpusat dalam citra bunyi (fonosentrisme ala Saussure) tetapi juga tulisan (aksara). Difference
menjadi gambaran kematian akan ‘fonosentrisme’. Ada banyak kata yang jika tidak ditulsikan maka
tidak akan mempunyai makna karena secara bunyi akan kedengaran sama. Lihat, Muhhamad Al
Fayadl, Ibid, hal. 110 - 111.
15
Harimurti Kridaleksana, Ibid, hal. 32.

12
menyebabkan setiap makna tidak bisa hadir pada dirinya sendiri, namun selalu akan
terhubung dengan identitas makna yang lain.

3. Bahasa dan Makna dalam Pandangan Pasca-Strukturalisme

Gagasan-gagasan besar tentang filsafat yang memprioritaskan pada pusat rasionalitas,


pengalaman, idealitas roh ataupun kesadaran subjek mendapat gugatan dari beberapa
pemikiran lain. Gagasan-gagasan besar itu dalam beberapa hal kesamaan menempatkan
pandangan fondasionalisne dalam nalar pemikiran yang dianut. Nalar fondasionalisme adalah
nalar yang umum dilekatkan pada upaya filosofis untuk memberikan pendasaran atau
pembenaran yang absolute-universal bagi kebenaran pengetahuan dan nilai-nilai. Pandangan
fondasionalisme banyak diusung dalam akal pikir modernitas dan terutama perspektif-
perspektif modern ilmu yang menopangnya. Abad pencerahan modern dan berbagai wacana
teoritis yang diusung oleh nalar modernitas menempatkan secara tinggi keberadaan akal budi
kesadaran (metafisika kehadirasn) sebagai puncak pengetahuan dan kemajuan masyarakat.
Kekuatan akal budi rasio modern dianggap bisa menjamin ditemukannya kebenaran-
kebenaran yang pasti yang gilirannya akan bisa menghasilkan sebongkah kebenaran-
kebenaran yang absolut, objektif dan universal.
Pandangan dasar fondasionalisme/esensialisme ini mendapat tantangan kritis dari
beberapa pemikiran lain setelahnya bseperti pemikiran-pemikiran pragmatisme,
pascamodernisme dan juga pasca-strukturalisme. Tiga pandangan besar ini melihat bahwa
pendasaran objektif-universal pemngetahuan atau nilai tidaklah memungkinkan Upaya
melakukan pencarian kebenaran yang universal akan berakhir sia-sia. Upaya untuk
membangun fondasi pengetahuan yang pasti dan absolut akan selalu terbentur batas baik
dalam dimensi historis atau kultural. Beberapa pandangan yang “anti-fondasionalisme’ ingin
mengatakan sebuah keyakinan bahwa pengetahuan bersifat spesifik terhadap permainan
bahasa tertentu sehingga kita tidak bisa memberikan pendasaran atau membenarkan tindakan
atau kepervayaan kita di atas kebenaran-kebenaran universal. Anti fondasionalisme juga
berpandangan bahwa meskipun kita bisa menjelaskan tentang berbagai hal realitas
pengetahuan, namun pada kenyataannya kita tidak bisa mengklaim penjelasan-penjelasan
tersebut sebagai benar dalam artian berkorespondensi dengan dunia objektif atau kenyataan
yang independen.16 Lokus dimensi yang kemudian menjadi pusat perhatian pandangan-
?
16
Chris Barker, Kamus Kajian Budaya (Penterjemah: B. Hendar Putranto), Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 2014, hal. 103.

13
pandangan ‘anti-fondasionalisme’ atau ‘anti-esensialisme’ tidak lagi pada intense kesadaran,
rasionalitas akal budi atau pengalaman melainkan pada ‘bahasa’. Peralihan ke ‘bahasa; inilah
yang menjadi tanda penting dalam perkembangan filsafat pemikiran abad 20 terutama
perspektif besar Strukturalisme dan Pasca-Strukuturalisme.
Dalam sejarah perkembangannya, Pasca-Strukturalis sebenarnya masih melanjutkan
gagasan prinsip Strukturalisme dalam menemapatkan bahasa sebagai pusat pemikiran.
Perspektif ini berkembang melalui berbagai pemikiran yang beragam dari beberapa tokoh
penting seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, Jean Boudrillard, Guatarri, Julia Kristeva,
Gilles Deluze, Lacan dan beberapa pemikir Pasca-strukturalis sesudahnya seperti Zizek atau
Laclau.. Dalam beberapa hal prinsip-prinsip kunci Strukturalisme masih digunakan oleh
Pasca-Strukturalisme terutama adalah gagasan seperti sifat ‘realisonal bahasa’ dan juga
‘proses dasar pembentukan makna’. Seperti halnya Strukturalisme, Pasca-Strukturalisem juga
berususan dengan ‘sistem-sistem relasi tanda’.Makna, identitas atau tanda sesuatu hal tidak
bisa tercipta di luar dari re;lasi-relasi pendaan tersebut. Gagasan besar Pasca-Strukturalisme
berbunyi bahwa makna tidak hanya bisa dibatasi dalam kata-kata, kalimat-kalimat dan teks-
teks tunggal tertentu, melainkan hasil dari relasi antar teks atau inter-tekstualitas. 17Makna
sendiri dihasilkan oleh relasi-relasi perbedaan antar penanda alih-alih rujukan pada dunia
objek yang independen. Kita bisa sebutkan contoh semisal makna tentang ‘Kuda” tidak bisa
dihasilkan oleh kuda itu sendiri, namun harus dikaitkan dengan relasinya dengan entitas
makna yang lain. Prinsip ini berlaku universal terhadap segala sesuatu yang lain. Kehadiran
makna yang lain merupoakan unsur penting yang scara konstitutif (wajib mkenentukan)
kehadiran makna tentang ‘Kuda’. Kita bisa menamai dan menyebut itu sebagai ‘Kuda’ karena
ada makna lain selain ‘Kuda’ yang juga menentukan makna tentang ‘Kuda’. Jika dikaitkan
dengan pandangan Pasca-Strukturalis maka mempunyai keyakinan bahwa makna trentang
kuda tidaklah memiliki asal0usul yang pasti dan bersifat objektif.
Pasca-Strukturalis mehgkritik pandangan Strukturalisme yang menganggap bahwa
ada struktur tanda yang bersifat tetap, baku, stabil dan otonom. Bagi pandangan Pasca-
Strukturalis tidak ada struktur bahasa yang bisa berlaku otonom, tetap dan universal, Struktur
serlalu bersifat berubah, plural dan terus bergerak. Tak ada konvensi atau aturan bahasa yang
bisa berlaku tetap. Pasca-Strukturalisme melawan pandangan prinsip gagasan Strukutralisme
yang masih meyakini bahwa bahasa memiliki sistem aturan yang otonom yang dipamdu oleh
aturan-aturan baku dengan struktur-struktur yang menopangnya. Pasca-Strukturalisme masih
menggunakan prinsip argument Strukturalisme tentang karakter bahasa yang relasional dan
?
17
Chris Barker, Ibid, hal. 228.

14
proses pemaknaan bahasa (signifikansi) lewat proses ‘prinsip pembedaan’.namun demikian,
Pasca-Strukturalis menolak ide dasar pasangan biner yang stabil dalam setiap proses
pemaknaan bahasa. Makna bahasa pada dasarnya tidak pernah stabil. Makna bahasa selalu
akan ‘ditunda’ kepenuhannya. Pasca-Strukuturalis meninggalkan upaya untuk mencari asal-
susul makna dan juga obsesi untuk membangun makna yang stabil. Pasca=Strukturalis pada
dasarnya tidak berkendak dan juga menolak ide untuk berobsesi menremukan kebenaran-
kebenaran universal yang stabil dan kokoh. Kebenaran lebih tepat dipahami sebagai yang
ditemukan bukan sudah ada sebelumnya. Identitas, makna atau kebenaran selalu merupakan
konstruksi dan diproduksi yang secara historis terus mengalami perubahan-perubahannya.
Kebenaran, makna atau identitas sesuatu hal pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak ajek
(tetap) dan fixed.
Jika dalam pandangan fondasionalisme/esensialisme mempercayai bahwa identitas
atau makna adalah sesuatu yang bisa dan harus ditemukan, pandangan Pasca-strukturalis
justru melihat bahwa makna atau identitas adalah sesuatu yang didefinisikan, diproduksi dan
dikonstruksi. Identitas bukan sesutu subtansi tetap yang ada di luar sana melainkan ciptaan
dan konstruksi bentukan. Bagi pandangan Strukturalisme, Identitas atau makna bahasa tidak
memiliki acuan obektif dengan aspek objek esensial atau universal. Pada dasarnya bahasa
adalah mencipta makna bukan menemukan makna. Identitas bukanlah sebuah benda
melainkan suatu deskripsi dalam bahasa. Identitas adalah konstruksi diskursif yang berubah
maknanya menurut ruang, waktu dan konteks pemakainnya.18
Ada tiga kritik mendasar yang sejak awal ingin disampaikan oleh Post=Strukturalisme
yang pada perkembangan awalnya juga ingin disampaikan oleh pandangan Strukturalisme.19
Pertama adalah kritik atas pandangan ‘Subjek’ manusia. Arus besar pandangan subjek sejak
era modern lebih banyak didominasi oleh pandangan subjek yang otonom sebagai sentral dari
kesadaran dan juga pengetahuan. Subjek ala Cartesian hampir mempengaruhi sebagian besar
pokok pikiran yang memandang manusia modern sebagai ‘diri yang otonom’. Strukturalisme
dan terutama dikembangkan lebih radikal dalam =Post-Strukuralisme’ adalah berupaya untuk
mendekonstryksi dan memberi makna lain atas -subjek’. Bagi pandangan Pasca-
Strukturalisme, pemikiran bahwa ada ‘subjek yang sadar’ adalah ilusi dan sangat meragukan.
Alih-alih memandang keberadaan subjek yang sadar dan otonomj, pemikiran Pasca

?
18
Chris Barker, Cultural Studies, Teori dan Praktik (Penterjemah: Nurhadi), Penerbit Kreasi
Wacana, Yogyakarta, 2004, hal. 171.
?
19
Madan Sarup, Panduan Pengantar untuk Memahami Post-Strukturalisme dan Post-
Modernisme )Penerjemah: Medhy Aginta Hidayat), Penerbit Jalasutra, Yogyakarta, 2011, hal. xv _
xvii.

15
Strukturalis memandang bahwa apa yang diposisikan sebagai subjek hanyalah hasil
konstruksi, bentukan dan buah dari aktifitas penandaan yang terbentuk dan terjadi secara
spesifik serta pada umumnya tidak disadari. Posisi pemikiran seperti ini tentu saja menolak
asumsi subjek yang sdadar (subjek yang sinonim dengan aspek kesadaran). Dengan
mendekonstru7ksi pandangan subjek modern ini, pandangan pasca-strukturalis persis
mengakui bahwa karena sebagaimana konstruksi bahasa sendiri tak pernah stabil dan terus
berubah maka posisi subjek juga tidak pernah bisa dipahami sebagai entitas pengertian yang
fixed, stabil dan menetap, melainkan selalu dalam kondisi yang tidak stabil dan akan selalu
bisa mengalami perubahan tergantung dari unsur-unsur relasi penandaan yang
melingkupinya.
Poin mendasar kedua adalah ada pada kritik tentang sejarah (historisisme). Pandangan
Pasca-strukturalis terang-terangan mengkritik nalar pandangan yang memahami sejarah
sebagai sebuah proses perkembangan yang mekanik, linier dan memiliki pola-pola umum
yang bersifat tetap. Sejarah sebagai proses menuju kemajuan telah digugat. Sejarah pada
dasarnya menurut meteka tidfak selalu memiliki kontinuitas dan keberlangsungan yang bisa
diramalkan secara pasti. Sejarah sendiri juga memiliki banyak diskontinuitas atau patahan-
patahan yang sangat spesifik. Michel Foucault mengenalkan konsep Geneologi dan
Archeologi baru yang membaca sejarah tidak sebagai bentangan waktu yang linier yang
seolah-olah masa lalu selalu terkait secara determinan dengan sejarah saat ini. Pemahaman
tentang sejarah tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan berbagai aktifitas diskursif yang
pada kenyataannya membentuk ragam sejarah yang hadir secara spesifik yang sulit untuk
diprediksikan atau difahami sebagai pola-pola yang baku. Dengan begitu persis seperti yang
dikatakan oleh Michel Foucault, sejarah pada dasarnya tak terkait dengan konsep tentang
kemajuan. Sejarah tidak memiliki titik tuju yang bisa diramalkan begitu persis. Sejarah juga
tidak memiliki titik akhir yang pasti. Kritik ini tentu saja dialamatkan pada pandangan besar
gistorisisme ynag sangat percaya bahwa sejarah sendiri memiliki pola dan hukum-hukum
yang pasti seperti yang diandaikan oleh pandangan Marxisme tentang datangnya masa depan
Sosialisme atau juga pandangan kaum liberalis yang menyatakan adanya akhir sejarah (the
end of history seperti yang pernah dilontarkan oleh Francis Fukuyama.
Kritik ketiga ada dalam pandangan kritiknya terhadap ‘makna’. Pemikiran
esensialisme melihat bahwa makna merupakan sesuatu konsep yang bisa ditetapkan secara
pasti. Makna dalam pandangan ini tentu saja bukan bentukan atau hasil dari konstruksi
pemaknaan. Makna diandaikan berkait dengan rujukan (representasi) pada objek yang pasti.
Kata, kalimat atau wacana pada akhirnya dimengerti memiliki esensi tertentu yang
16
diandaikan ‘mengada’ secara objektif. Makna selalu berkait dengan objek makna yang
diandaikan ada secara objektif. Ji8ka kita memgatakan ‘kucing’ misalnya, maka objek
tentang kucing itu memang ada dan bisa mewakili keutuhan pengertian tentang kucing secara
penuh. Strukturalisme dan pasca-strukturaliusme menggugat pandangan ini. Bagi kedua
pandangan ini, makna sebenarnya hanya terjadi dalam proses relasi penandaan (signifikansi).
Pembentukan makna juga ditentukan oleh prinsip ‘pembedaan’.Pembentukan makna tidak
bisa datang dari dirinya sendiri. Pembentukan makna selalu berelasi dengan kehadiran makna
yang lain. Doktrin ini berlaku universal terhadap setiap pembentukan makna. Dalam Pasca-
Strukutralis bahkan melihat bahwa proses penandaan bukan sebuah persitiwa relasi antara
‘penanda’ dan ‘petanda’ sebagai objek makna. Proses pembentukan makna (penandaan)
terjadi dalam relasi penanda dengan penanda lain yang ada dalam semesta penadaan yang
tidak terbatas. Untuk memahami pandangan ini sebenarnya bisa memulai dengan membaca
dan memahami Doktrin.Prinsip Relasi Internal yang pernah dikembangkan oleh Hegel dan
kemudian dielaborasi secara radikal oleh Derrida dan hampir me njadi jantung mendasar dari
pemikiran Pasca-Strukturalis. Untuk penjelasan secara khusus apa dan bagaimana nalar kerja
dari prinsip ‘Doktrin Relasi Internal” diuraikan selanjutnya dalam tulisan ini.

Dialektika Realisme dan Filsafat Bahasa

Prinsip perbedaan ‘Realisme’ satu sisi dengan ‘filasafat Anti-realisme’ sisi yang lain
memang dalam kancah perkembangan ilmu-ilmu sosial hari ini memang amatlah masih
terasa. Satu pandangan meletakkan ‘kenyataan riil-objektif’ sebagai dimensi kebenaran dan
sisi lain meletakkan dimensi kesadaran subjektif sebagai kebenaran. Jika meletaakan dalam
perdebatan ini, tentu saja kita akan sangat memahami bahwa ‘kajian semiotika’ lebih
cenderung ada dalam kelompok kedua. Pandangan Realisme/materialisme20 memang
sangatlah berkembang pada pandangan-pandangan teori-teori modern hingga saat ini. Abad
19 pandangan Realisme cukuplah berkembang. Namun sisi lain oleh para pengkritiknya,
pandangan ini seolah menjadi ‘hantu’ yang begitu sangat ditakuti dan bahkan pada
perkembangan pemikiran-pemikiran ‘strukturalis’ dan ‘pascastrukturalis’ ingin disingkirkan
jauh-jauh. Pemikiran ‘strukturalis’ dan ‘pascastrukturalis’ ini merujuk pada perkembangan
filsafat yang melatakkan dimensi penting ‘bahasa’ dalam memahami realitas.

20
Pandangan yang meyakini bahwa realitas objektif yang ekstrenal dan independen dari
subjek itu ada.

17
Pada perkembangan Abad 20, situasi perkembangan filsafat mulai ada pergeseran.
Mulai banyak pemikiran yang mencoba menggugat dan berkehendak menolak segala postulat
dan pengandaian yang dilakukan oleh ‘Realisme’. Beberapa gejala pandangan filsafat abad
20 yang ‘anti-realisme’ ini juga ikut menyumbang pada banyak bentuk kesadaran
postmodernisme saat ini yang hidup di tengah-tengah masyarakat : ‘tak ada kebenaran
tunggal’, ‘tak ada kebenaran absolut’, ‘tak ada oposisi total’, ‘tak ada perbedaan esensial
antara ilmu pengetahuan dan kepercayaan’, ‘kebenaran pada prinsipnya sangatlah relatif’,
‘tak ada kebenaran yang benar-benar objektif’.21 Sehingga dalam prinsip besarnya,
sebenarnya, filsafat kontemporer (postmodernisme) ini pada beberapa dimensi sejatinya
merupakan sebuah ‘filsafat idealisme’.22
Beberapa unsur dimensi penting bagi kesadaran ‘strukturalis’ maupun
‘pascastrukturalis’ memang secara teoritik menjadi bingkai besar pada berbagai kesadaran
semiotika dengan berbagai intensitas dan penekannya. Pemahaman-pemahaman kunci
tersebut sebenarnya berangkat dari catatan awal mereka terhadap kritik atas pandangan
‘realisme/naturalisme/objektivisme’ yang banyak digunakan pada nalar filsafat sebelumnya.
Kesadaran strukturalis dan pascastrukturalis meletakkan pada dimensi bahasa
‘formal/struktural’. Seperti diktum besar yang juga amat berpengaruh pada kesadaran mereka
yakni yang diungkap Derrida bahwa ‘tidak ada sesuatupun di luar teks’.
Bagi pandangan ‘strukturalis’ maupun ‘pascastrukturalis’ yang banyak berpusat di
filsafat pemikiran Perancis abad 20, apa yang dimaknai sebagai realitas objektif sejatinya
hanya ilusi. Realitas objektif-eksternal adalah mitos tentang ‘kehadiran murni’ yang
sebenarnya tidak pernah ada. ‘Realitas’ tak lain hanyalah ‘produk dari mekanisme
pembedaan-penundaan yang intra-diskursif’. Untuk lebih memahami apa yang menjadi
pandangan dasar dari pemikiran ‘pascastrukturalis’ mengenai posisi ‘anti-realisme’ maka
penting untuk melihat beberapa pemikiran kuncinya.

Doktrin Relasi Internal dan Prinsip ‘Difference’

21
Martin Suryajaya, Materialisme Dialektik : Kajian tentang Marxisme dan Filsafat
Kontemporer, Penerbit Resist Book, Yogyakarta, 2012, hal. 2.
22
Martin Suryajaya, Ibid, hal. 3. Prinsip identifikasi sebagai ‘idealisme’ ini hadir pada doktrin
yang dibangun dalam pandangan kaum idealisme tentang apa yang disebut sebagai ‘Doktrin Relasi
Internal’ yang melihat bahwa “esensi/identitas sesuatu hal dikonstitusikan oleh relasinya dengan hal
yang lain dan ini berlaku universal. Relasi bersifat internal terhadap halnya.”

18
Pertama kesadaran idealisme yang ada dalam prinsip pascastrukturalis adalah tentang
apa yang disebut sebagai ‘Doktrin Relasi Internal’. Sebuah pandangan yang melihat bahwa
esensi/identitas sesuatu hal dikonstitusikan oleh relasinya denganj hal yang lain dan ini
berlaku universal. Mengatakan ‘meja adalah bukan kursi’ berarti menyatakan bahwa ‘kursi’
hadir di dalam ‘meja’ sebagai sesuatu yang negatif, yang dinegasi sekaligus disyaratkan oleh
identitas ‘meja’ sebagai ‘meja’.23 Ini merupakan kerangka prinsip besar pemikiran Hegel
tentang ‘negasi internal’ yang meyakini bahwa ‘dalam setiap positivitas senantiasa terdapat
negativitas , dalam setiap identitas senantiasa terdapat perbedaan’. Bahkan dalam sebuah
tulisan di bukunya Science of Logic, Hegel dengan berani memberi satu penekanan bahwa
“Tak ada sesuatupun di langit dan di bumi yang pada dirinya tidak mengandung ada dan
ketiadaan sekaligus”.
Konsep kunci lain yang cukup penting adalah ‘Differance’. Inti pemikiran ini
merupakan ruh prinsip yang dikembangkan oleh sebagian pemikiran idealisme strukturalis
dan pasca strukturalis sejak Saussure. Mau tidak mau bisa dikatakan bahwa Filsafat Perancis
abad 20 tentang bahasa banyak berhutang dengan pemikiran besar idealisme Hegel dalam
memandang prinsip negasi internal ‘differance’ ini. Apa sejatinya pandangan tentang
differance ini? Saussure sejak awal keyakinannya mengatakan bahwa ‘identitas petanda
justru ditentukan dari perbedaan antar penanda sehingga ranah bahasa secara keseluruhan tak
lain adalah ranah perbedaan.
Dalam pandangan pascastrukturalis seperti yang dibangun Derrida, perbedaan antar
penanda, dengan demikian, menjadi syarat kemungkinan sekaligus syarat ketidakmungkinan
bagi setiap identitas dan makna.24 Prinsip struktur ‘perbedaan asali’ ini secara bersamaan
merupakan prinsip ‘penundaan’ makna dari setiap tanda. Ambil contoh mengenai
pemaknaan mengenai meja di atas, makna kata ‘meja’ akan selamanya ditunda oleh relasi
antar penada ‘meja’ dengan penanda-penanda yang lain dalam keseluruhan semesta tanda.
Struktur perbedaan-penundaan ‘asali’ yang mendahului, memungkinkan sekaligus membatasi
setiap tindak pemaknaan inilah yang oleh Derrida sebagai salah satu pemikir
pascastrukturalis disebut sebaga ‘Differance”.
Posisi prinsip ini yang menjadi kunci dari kritik kaum pascastrukturalis terhadap
filsafat modern (metafisika Barat) yang mempercayai filsafat kehadiran objek dengan
menyebutkannya bahwa realitas obejktif itu ada, Filsafat Barat juga menekankan adanya
substansi dan esensi tetap dalam subjek yang bisa lepas secara eksternal dari intervensi

23
Martin Suryajaya, Ibid, hal. 3.
24
Martin Suryajaya, Ibid, hal. 5

19
kesadaran manusia. “metafisika kehadiran’ yang kemudian menjadi prinsip banyak ilmu-
ilmu positivis selalu menampik kehadiran yang laindan menegaskan positivitas absolut objek
yang tidak dikonstitusikan oleh negativitas. Prinsip ini sekaligus ingin mengatakan bahwa
positivitas objek berlaku penuh tanpa kekurangan. Prinsip ‘Differance’ sekaligus ingin
menandai hilangnya kehadiran objektif. ‘Kehadiran penuh’ yang selalu diyakini oleh filsafat
yang materalistik, objektif dan positivistik sejatinya hanya sebuah ilusi semata dan tidak
pernah ada.
Pengaruh pandangan prinsip ‘negasi internal’ maupun ‘Difference’ ini amat
berpengaruh terhadap perkembangan ilmu semiotika sejak Saussure hingga saat ini. Ambil
kasus tentang pemahaman bahasa, tanda, relasi antar tanda yang ada dalam khasanah
pemikiran semiotika. Tanda-tanda bagi pandangan prinsip semiotika tidaklah sesuatu yang
tetap dan homogen.25 Perbedaan sistem langue menunjukan bahwa tanda memiliki
mekanismenya sendiri dengan relasinya dengan tanda-tanda yang lain dalam semesta tanda.
Mekanisme ini yang kemudian disebutkan sebagai prinsip ‘perbedaan-penundaan’ yang
disebut ‘Differance’. Prinsip perbedaan inilah yang menempati posisi penting dalam berbagai
kajian strukturalis dan kajian-kajian semiotika pascastrukturalis seperti Saussure, Roland
Barthes, Kristeva maupun pemikir semiotika yang lainnya. Ini memperteguh sebuah
kesadaran semiotika yang awal dikembangkan oleh Saussure bahwa bahasa bukanlah
‘substansi’ melainkan hanya bentuk (form). Bentuk mekanisme berbahasa pada dasarnya
dibangun dalam prinsip perbedaan-perbedaan tersebut.

_________

FORUM

Silahkan teman-teman semua membaca dengan cermat makalah ini. Dalam perkembangan
kajian bahasa, ada banyak perspektif bahasa yang bisa kita pelajari. Salah satu dari persepktif
itu adalah: Pasca-Strukturalisme. Tugas untuk FORUM ini adalah: Menurut anda,
bagaimana makna bahasa bisa terbentuk menurut pandangan Pasca-Strukturalisme?

KUIS
25
Muhammad Al-Fayyadi, Derrida, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2012.

20
Dalam perspektif pandangan Strukturalisme ada prinsip tentang pembentukan makna bahasa
yakni prinsip ‘ABRITER”. Menurut anda, apa yang sebenarnya dimengerti sebagai prinsipo
‘ABRITER” bahasa ini? Coba jelaskan jawaban anda dengan singkat dan jelas.

Keterangan

Untuk jawaban FORUM silahkan isi dalam kolom FORUM di web elearning Fikomm
UMBY. Untuk jawaban KUIS silahkan kirim ke alamat Link Google Drive di bawah ini.
Untuk batas waktu pengisian FORUM dan KUIS paling lambat 5 hari setelah jadwal kuliah.
Jawaban untuk KUID ditulis dalam format Word Document. Jangan lupa sertakan Nama
Mahasiswa, NIM dan juga Kode Kelas. Terimakasih dan selamat belajar untuk semua.
Semesta memberkati.

***

21

Anda mungkin juga menyukai