Anda di halaman 1dari 4

Pentingnya Kesehatan Mental Siswa dalam Sistem Pembelajaran Daring

oleh
Rizka Khairani

Munculnya pandemik COVID-19 yang disebabkan oleh virus corona (SARS-CoV-2)


pada tahun 2019 mengubah berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia. Perubahan dalam waktu
singkat membuat berbagai lini kehidupan harus beradaptasi dengan cepat agar aktivitas dunia
tetap berjalan dengan baik. Hal tersebut merupakan sebuah tantangan besar yang menjadi PR
cukup berat bagi tiap sendi kehidupan, termasuk dibidang pendidikan. Pandemi yang melanda
dunia menuntut sistem pendidikan di seluruh dunia untuk mengubah sistem pembelajaran
menjadi sistem pembelajaran daring.

Upaya yang dilakukan melalui sistem pembelajaran daring bertujuan untuk mengurangi
interaksi banyak orang yang memungkinkan meningkatnya penyebaran virus corona. Sistem
pembelajaran daring ini diharapkan sebagai alternatif dalam melanjutkan aktivitas pendidikan.
Dalam pelaksaaan sistem pembelajaran daring, ada prinsip yang diterapkan dalam masa
pandemik ini, yaitu “kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan,
keluarga, dan masyarakat merupakan prioritas utama dalam menetapkan kebijakan
pembelajaran” .Maka dari itu, sudah seharusnya kesehatan mental peserta didik, pendidik, tenaga
kependidikan, keluarga, dan masyarakat juga harus ikut diperhatikan—tidak hanya kesehatan
dan keselamatan manusia dari virus corona. Namun, bagaimana pengawasan dan solusi dari
masalah yang menyebabkan masalah kesehatan mental dalam masa pembelajaran daring ini?

Selama pembelajaran daring, terdapat berbagai hasil survei yang menyatakan tentang
berbagai hambatan dan gangguan yang dialami peserta didik maupun pendidik dalam
melaksanakan sistem pembelajaran daring. Hambatan dan gangguan yang dialami peserta didik
akan menimbulkan tekanan mental bagi peserta didik maupun pendidik, apalagi dengan durasi
pandemik yang tidak ketahui kapan berakhir sepenuhnya.

Ada berbagai macam gangguan dan hambatan yang dialami siswa dalam menjalani
sistem pembelajaran online. Berdasarkan penelitian, ada hambatan seperti adanya kuota terbatas
yang dimiliki siswa sebanyak 21,5%, jaringan yang tidak stabil sebanyak 23,4% dan tugas yang
menumpuk sebanyak 30,6%.

Dalam penelitian lain, dikatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kecemasan pada
siswa ada beberapa hal, yaitu kurangnya pemahaman materi siswa (disetujui oleh 14 responden),
adanya dealine tugas (disetujui oleh 14 responden), internet yang tidak stabil (disetujui oleh 13
responden), kesulitan dalam mengerjakan tugas (disetujui oleh 12 responden), kesulitan membeli
kuota internet (disejui oleh 7 responden), adanya kendala teknis (disetujui oleh 7 responden),
penurunan nilai (disetujui oleh 6 responden), terlambat mengikuti kelas (disetujui oleh 5
responden), dan tidak siapnya menghadapi jenjang selanjutnya (disetujui oleh 4 responden).

Saat siswa tidak memahami materi pelajarannya, tentu saja siswa akan merasa tertekan
dan cemas. Kecemasan akan meningkat seiring dengan bertambahnya materi, tapi tak satu pun
yang dapat dimengerti dengan baik. Ketidakpercayaan diri peserta didik dapat muncul karena
biasanya mereka diajarkan oleh guru, sehingga ketidakterbiasaan akan hal ini dapat menjadi
pemicu peserta didik tidak dapat memahami materi dengan baik. Apalagi ada kemungkinan jika
sekolah akan berjalan normal seperti semula; peserta didik akan semakin cemas dimana ia tidak
bisa memahami pelajaran dengan baik,. Peserta didik juga akan cemas dikarenakan ada rasa
tidak siap dalam dirinya dengan materi-materi yang dipelajari, sementara ia sudah harus
melanjutkan materi ke tingkat berikutnya.

Selain itu, permasalahan mengenai koneksi internet tak luput menjadi hambatan dan
gangguan pada siswa dalam melaksanakan sistem pembelajaran daring. Apalagi jika ada kendala
seperti tidak ada biaya untuk membeli kuota internet. Jaringan yang tidak stabil juga akan
menuai kecemasan siswa berupa takut terlambat dalam mengikuti kelas, kesulitan untuk
mendengarkan guru menjelaskan, kemudian tugas yang bisa terlambat terkirim.

Hambatan dan gangguan yang dialami peserta didik ini dapat berakibat fatal. Dilansir
dari Media Indonesia, pada tanggal 17 Oktober 2020, seorang remaja kelas 11 SMA Kota Gowa
berinisial MI (16) mengakhiri hidupnya. Siswa ini menelan racun rumput. Hal ini diduga terjadi
karena siswa depresi lantaran tekanan pembelajaran jarak jauh berbasis daring yang ia lakukan.
Siswa ini dikatakan sempat mengeluh pada temannya mengenai sulitnya mengakses tugas
sekolah disebabkan oleh koneksi jaringan yang tidak baik. Hal ini menjadi bukti bahwa begitu
pentingnya fokus terhadap kondisi mental siswa dalam melaksanakan system pembelajaran
daring.

Untuk mengatasi berbagai hambatan ini, sejujurnya dibutuhkan kesadaran diri yang
tinggi bagi para peserta didik dalam menghadapinya. Kemandirian adalah kunci utama untuk
mengatasi permasalahan untuk memahami materi dengan baik dan mengatasi tugas menumpuk.
Dalam menghadapi kesulitan memahami materi pelajaran atau sedang mengerjakan tugas yang
dirasa sulit, peserta didik juga bisa berdikusi dengan teman-temannya ataupun dengan gurunya.
Dalam kondisi sulit seperti saat sekarang ini, kita membutuhkan komunikasi yang baik dapat
berbagai hal. Karena dengan sendirian, tingkat kecemasan yang dialami akan lebih cenderung
tinggi dibandingkan saat bersama-sama dengan orang lain. Setidaknya, kita tahu, bahwa kita
tidak sendiri. Selain itu, peserta didik juga bisa melakukan aktivitas lain yang dapat menurunkan
kecemasannya. Hal-hal yang bisa dilakukan oleh peserta didik tersebut antara lain; tidur,
menonton film, bermain game, makan, berolahraga, mendengarkan musik, membaca buku, atau
melakukan hobi-hobinya.

Namun, tentu saja tak hanya hal-hal dari dalam diri murid itu saja yang harus
diperhatikan. Pada dasarnya, kita hidup bersama dan menghadapi efek dari pandemik berupa
sistem pembelajaran daring ini juga dengan bersama-sama. Para peserta didik tak akan mampu
menghadapi semua sendirian karena tak semua hal dapat diceritakan, atau dilimpahkan begitu
saja kewajiban akan kemandiriannya pada murid tersebut. Ada berbagai kondisi yang lebih
kompleks yang dapat menjadi gangguan dan kondisi psikologis seseorang tidak bisa begitu saja
akan menangani hambatan dan gangguan yang didapatkan dari sistem pembelajaran daring ini
sendirian apalagi dipaksa beradaptasi dengan perubahan yang masif dan cepat seperti ini.. Tidak
peserta didik bisa mandiri begitu saja, mau berbagi tentang kesulitannya tentang pelajaran pada
teman-temannya, karena kondisi tiap orang pada lingkungannya berbeda pula. Oleh karena itu,
dibutuhkan dukungan lebih besar pada peserta didik dalam menjalani pembelajaran daring.

Seperti Pemerintah Tiongkok, Australia, dan Jepang misalnya. Dilansir dari Media
Indonesia, pemerintah Tiongkok, Australia dan Jepang dapat dikatakan berhasil dalam
menurunkan banyak permasalahan yang dihadapi oleh para peserta didiknya. Mereka
menyediakan fasilitas seperti disediakannya layanan konseling telepon (hotline), online, maupun
offline bagi masyarakat sebagai pertolongan pertama pada permasalahan kesehatan mental
masyarakatnya dalam menghadapi kondisi seperti saat sekarang ini.

Sangat disayangkan bahwa Indonesia tampak belum memiliki kiat-kiat lebih baik dlagi
dalam mebantu siswanya yang mengalami kecemasan karena sistem pembelajaran daring.
Namun terlepas dari itu, kita perlu mengingat bahwa nyatanya hal ini merupakan permasalahan
bersama bagi kita semua. Kita perlu bergandengan tangan untuk mengatasi permasalahan ini.
Ditengah wabah COVID-19, kita perlu menguatkan diri serta peduli sesama, agar dapat melewati
ini semua dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai