Anda di halaman 1dari 18

UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA

TERORISME DI INDONESIA*

Hery Firmansyah**

Abstract Abstrak

Terrorism has become the most serious


Terorisme adalah permasalahan yang
issue in Indonesia after terrorist attacks in
sangat serius di Indonesia, pasca
Bali, November 2002. With the current
serangan bom di Bali pada November
condition where Indonesia still faces a key
2002. Dengan keadaan sekarang di mana
risk of new militant attacks with new cells
Indonesia masih menghadapi
and more bomb experts, this paper aims to
permasalahan serius serangan militan
analyse the way Indonesian government
dengan jaringan baru dan lebih banyak
fight against terrorism.
ahli bom, tulisan ini bertujuan men-
ganalisis cara yang ditempuh pemerintah
untuk melakukan penanggulangan tindak
pidana terorisme.

Kata Kunci: terorisme, militan, bom.

A. Latar Belakang Masalah adalah terorisme. Rangkaian peristiwa


Sejalan dengan Pembukaan Undang- pengeboman yang dilancarkan oleh para
undang Dasar 1945, maka negara Republik teroris yang terjadi di wilayah Negara
Indonesia adalah negara kesatuan yang Republik Indonesia telah menimbulkan rasa
berlandaskan hukum dan memiliki tugas takut di kalangan masyarakat secara luas,
dan tanggung jawab untuk memelihara kasus bom Bali 1 dan 2 serta serentetan
kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera peristiwa serupa yang mengakibatkan
serta ikut secara aktif memelihara hilangnya nyawa serta kerugian harta benda
perdamai- an dunia. Untuk mencapai tujuan sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak
tersebut diatas, pemerintah wajib menguntungkan pada kehidupan sosial,
memelihara dan menegakkan kedaulatan ekonomi, politik, dan hubungan Indonesia
dan melindungi setiap warga negaranya dari dengan dunia internasional.
setiap ancaman atau tindakan destruktif Peledakan bom tersebut merupakan
baik dari dalam negeri maupun dari luar salah satu modus pelaku terorisme yang
negeri. telah menjadi fenomena umum di beberapa
Salah satu bentuk kejahatan yang negara. Terorisme merupakan kejahatan
akhir- akhir ini marak dibicarakan media lintas negara, terorganisasi, dan bahkan
massa baik media cetak maupun media
elektronik

*
Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Tahun 2010.
**
Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
(e-mail: hery18_mendunia@yahoo.co.id).
Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di 377
Indonesia
merupakan tindak pidana internasional yang telah mapan maupun yang telah
yang mempunyai jaringan luas, yang bergolak atau tidak stabil dan diidentifikasi
mengancam perdamaian dan keamanan sebagai “negara-negara gagal” (failed
nasional maupun internasional. Menyikapi states), tak luput dari ancaman munculnya
hal tersebut, tentunya diperlukan suatu gerakan dan aksi-aksi terorisme yang
langkah penanggulangan yang tepat oleh berskala internasional. Globalisasi yang
Pemerintah. telah berlangsung secara cepat belakangan
Terorisme merupakan jelmaan kejahat- ini juga telah mempermudah bertemu dan
an sistematik. Ibaratnya, kejahatan ini men- menyatunya ide-ide dan aksi-aksi terorisme
cerminkan sebuah lingkaran kekerasan internasional. Berdasarkan uraian diatas,
seperti kata Dom Helder Camara sebagai- penulisan hukum ini akan meneliti dan
mana yang dikutip oleh Thomas Santoso:1 mengkaji tentang “Upaya Penanggulangan
Bahwa yang melahirkan kekerasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia”.
baru dan selanjutnya akan menjelma
menjadi kekuatan iblis yang gelap, B. Perumusan Masalah
yang mendiami sanubari manusia tak Bertolak dari uraian latar belakang
bersuara dalam mata hati. Mereka
masalah di atas maka terdapat permasalahan
menjadi pem- bunuh berdarah dingin
karena nuraninya telah mati akibat yang perlu mendapatkan penelitian
cinta kasih yang hilang. Riset telah dan pengkajian terkait dengan upaya
menunjukkan bahwa unsur terpenting penanggulangan tindak pidana terorisme
terorisme , yang membuatnya menjadi di Indonesia, yaitu “Bagaimana langkah-
suatu strategi yang demikian kuat langkah yang dilakukan oleh pemerintah
dalam situasi tertentu, adalah
efektifitasnya dalam menimbulkan dalam upaya penanggulangan terhadap
kondisi ketakutan yang sangat tindak pidana terorisme?”
menonjol meskipun terhadap mereka
yang secara tidak langsung atau secara C. Metode Penelitian
kebetulan menjadi objek serangan Bahan-bahan hukum yang diperguna-
teroris. kan berupa bahan hukum primer dan
Perang melawan terorisme merupakan sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan
tantangan besar bagi dunia pasca perang hukum yang berhubungan erat dengan
dingin. Sekalipun sebenarnya terorisme permasalahan yang diteliti. Bahan hukum
bukanlah merupakan masalah baru, primer terdiri dari Kitab Undang-undang
melainkan masalah yang telah ada sejak Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hu-
beberapa dasawarsa dan bahkan abad kum Acara Pidana, Perppu Nomor 1 Tahun
lalu, namun ia menjadi ancaman global 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
yang menakutkan sejak tahun-tahun awal Terorisme, Undang-undang Nomor 15
berakhirnya perang dingin. Pemerintah Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
baik di negara maju maupun berkembang, Terorisme, serta konvensi, resolusi, dan
dan bahkan terbelakang, ataupun di negara peraturan

1
Thomas Santoso, 2002, Teori-teori Kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 17.
37 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 -

perundang-undangan yang berkaitan termasuk definisi terorisme itu sendiri. Itulah


dengan terorisme dan upaya sebabnya yang pertama kali perlu kita bahas
penanggulangannya. Bahan hukum adalah definisi dari terorisme.
sekunder, yaitu bahan hukum yang Istilah teroris “terroris” (pelaku)
memberikan penjelasan yang lebih lanjut dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin
mengenai hal-hal yang telah dikaji oleh “terrere” yang kurang lebih berarti
bahan- bahan hukum primer. Bahan hukum membuat gemetar atau menggetarkan. Kata
sekunder terdiri dari buku-buku tentang ‘teror’ juga bisa menimbulkan kengerian.
hukum pidana, buku-buku yang membahas Dalam Black Laws Dictionary seperti yang
tentang terorisme dan upaya dikutip oleh Muladi:2
penanggulangannya, dokumen dan data Dikatakan bahwa tindak pidana teror-
yang diperoleh melaui internet, serta isme adalah kegiatan yang melibatkan
majalah, surat kabar, tulisan ilmiah yang unsur kekerasan atau yang
berkaitan dengan materi penelitian. menimbulkan efek bahaya bagi
Bahan hukum tersier yaitu bahan kehidupan manusia yang melanggar
hukum pidana, dan jelas dimaksudkan
hukum yang memberikan penjelasan
untuk mengintimidasi pen- duduk sipil;
terhadap bahan hukum primer dan bahan mempengaruhi kebijakan pemerintah;
hukum sekunder yang meliputi Kamus mempengaruhi penyeleng- garaan
Besar Bahasa Indonesia, kamus hukum, Negara dengan cara penculikan dan
dan bahan-bahan tertulis lain yang relevan pembunuhan.
berupa kamus dan ensiklopedia. Pengertian terorisme untuk pertama
kali dibahas dalam European Convention
D. Hasil Penelitian dan Pembahasan on the Suppression of Terrorism (ECST) di
Terorisme belakangan ini menjadi Eropa tahun 1977 terjadi perluasan para-
suatu fenomena modern dan telah menjadi digma arti dari Crime against State menjadi
fokus perhatian berbagi organisasi Crime against Humanity. Crime against
internasional, berbagai kalangan dan Humanity meliputi tindak pidana yang
negara. Ketika kekuatan imperealisme, dilakukan untuk menciptakan suatu keadaan
rasisme, dan zionisme mulai yang mengakibatkan individu, golongan,
mempropagandakan terminologi terorisme dan masyarakat umum ada dalam suasana
ke dalam perbincangan politik serta yang mencekam. Terorisme dikategorikan
berbagai bidang lainnya, maka kaum sebagai suatu sebagai bagian serangan yang
tersebut telah mencampuradukkan dengan meluas atau sistematik, serangan itu
sengaja dua fenomena yang berbeda secara ditujukan se- cara langsung terhadap
substantial, yaitu kriminalitas terorisme dan penduduk sipil, lebih-lebih diarahkan pada
perjuangan perlawanan suatu bangsa dalam jiwa-jiwa orang yang tidak bersalah (public
menentukan nasibnya sendiri. Hal ini telah by innocent) sebagaimana halnya terjadi di
menimbulkan bias dalam metode Bali. Seruan diperlukannya suatu
penanganan masalah terorisme, perundang-undangan

2
Muladi, 2002, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Habibie Center, Jakarta,
hlm. 173.
Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di 379
Indonesia
disambut pro-kontra mengingat polemik 4. mengakibatkan kerusakan atau
definisi mengenai terorisme masih bersifat kehancuran terhadap objek-objek
multi-interpretatif, umumnya lebih vital yang strategis atau lingkungan
mengarah kepada polemik mengenai hidup atau fasilitas publik atau
kepentingan negara atau state-interested. fasilitas internasional.
Unsur-unsur terorisme dapat kita Pasal ini termasuk dalam delik materil
temukan dalam dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu yang ditekankan pada akibat yang
Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang dilarang yaitu hilangnya nyawa, hilangnya
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme harta, atau kerusakan dan kehancuran.
sebagai berikut: perbuatan melawan hukum; Sedangkan yang dimaksud dengan kerusak-
dilakukan secara sistematis; dengan maksud an atau kehancuran lingkungan hidup ada-
untuk menghancurkan kedaulatan bangsa lah tercemarnya atau rusaknya kesatuan
yang dilakukan; dengan menggunakan semua ruang dengan semua benda, daya,
kekerasan atau ancman kekerasan; me- keadaan, dan makhluk hidup termasuk ma-
nimbulkan suasana teror atau rasa takut nusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
terhadap orang secara meluas atau kelangsungan perikehidupan dan kesejah-
menimbulkan korban bersifat massal; dan teraan manusia serta makhluk lainnya.
dengan cara merampas kemerdekaan atau Pemahaman tentang definisi terorisme
hilangnya nyawa dan harta benda orang adalah hal mendasar dan sangat penting
lain, atau mengakibatkan kerusakan atau yang perlu dikuasai terlebih dahulu
kehancuran terhadap objek-objek vital sebelum melakukan berbagai tindakan pe-
yang strategis atau lingkungan hidup atau nanggulangan terhadap terorisme. Bahkan
fasilitas publik atau fasilitas internasional. Magnis Suseno mengatakan bahwa aparat
Tindak pidana terorisme tersebut penegak hukum di Indonesia ternyata
di atas terdapat dalam rumusan Pasal 6 masih perlu memahami perbedaan penger-
Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang tian antara teroris, fundamentalis dan
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, radikalis.3 Seorang teroris, bisa jadi seorang
yang unsur-unsurnya adalah: fundamentalis dan seorang radikalis
1. setiap orang; sementara seorang fundamentalis dan
2. dengan sengaja menggunakan radikalis belum tentu seorang teroris. Ke-
kekerasan atau ancaman kekerasan tidakpahaman akan pengertian terorisme
menimbulkan suasana teror atau kadang bisa menjadi sebab dilakukannya
rasa takut terhadap orang secara labeling oleh pemerintah terhadap orang
meluas atau menimbulkan korban atau kelompok tertentu.
yang bersifat missal; Sampai saat ini tidak ada definisi
3. dengan cara merampas kemerdeka- universal tentang terorisme. Kecenderungan
an atau hilangnya nyawa dan harta yang terjadi ialah apa yang disebut dengan
benda orang lain; dan one dimensional conception on terrorism.

3
Magnis Suseno, “Komitmen Bersama bagi Koruptor”, Sinar Harapan. 2002.
38 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 -

Meskipun belum ada kesepakatan di ka- nimbulkan suasana teror atau rasa
langan pakar, perumusan tindak pidana takut terhadap orang secara meluas
terorisme memang sebaiknya merupakan atau menimbulkan korban yang ber-
hasil kajian dari berbagai konvensi sifat massal, dengan cara merampas
internasional baik yang telah maupun kemerdekaan atau hilangnya nyawa
dan harta benda orang lain, atau meng-
belum diratifikasi. Selain itu, pengaturan
akibatkan kerusakan atau kehan-
tindak pidana terorisme perlu menempuh curan terhadap objek-objek vital yang
sistem global serta komprehensif dan sistem strategis atau lingkungan hidup atau
kompromi yang memuat kebijakan kriminal fasilitas publik atau fasilitas interna-
bersifat luas, preventif, represif, dan sional.
beberapa acara yang bersifat khusus, seperti Menurut Wilkinson Tipologi terorisme
peradilan in absentia, dipergunakannya yang dikutip dari Juliet Lodge ada beberapa
alat bukti elektronik, dan sebagainya, tanpa macam, antara lain:
mengesampingkan promosi dan perlin- 1. Terorisme epifenomenal (teror
dungan HAM serta pengaturan perlindung- dari bawah) dengan ciri-ciri tak
an saksi, pelapor, korban kejahatan, dan terencana rapi, terjadi dalam
penggunaan sistem hearing.4 konteks perjuangan yang sengit;
2. Terorisme revolusioner (teror dari
1. Karakteristik atau Ciri Terorisme bawah) yang bertujuan revolusi
Terorisme memiliki beberapa ciri atau perubahan radikal atas sistem
yang mendasar, dan antara lain: kegiatan yang ada dengan ciri-ciri selalu
terorisme dilakukan dengan cara-cara ke- merupakan fenomena kelompok,
kerasan (contoh pengeboman, penyan- sturuktur kepemimpinan, program
deraan, dan lain-lain) untuk memaksakan ideologi, konspirasi, elemen para
kehendaknya, dan cara tersebut merupakan militer;
sebagai sarana (bukan merupakan tujuan), 3. Terorisme subrevolusioner (teror
sasaran serangannya adalah tempat-tempat dari bawah) yang bermotifkan
umum atau objek vital seperti pusat-pusat politis, menekan pemerintah untuk
perbelanjaan, bandara, stasiun. Korbannya mengubah kebijakan atau hukum,
pun tidak dipilih-pilih, dan kegiatannya perang politis dengan kelompok
sangat profesional untuk dilacak jejaknya. rival, menyingkirkan pejabat
Ciri-ciri terorisme yang terdapat dalam tertentu yang mempunyai ciri-ciri
Pasal 6 Undang-undang Pemberantasan dilakukan oleh kelompok kecil,
Tindak Pidana Terorisme adalah sebagai bisa juga individu, sulit diprediksi,
berikut: kadang sulit dibedakan apakah
suatu perbuatan yang dilakukan psikopatologis atau criminal;
dengan sengaja menggunakan ke- 4. Terorisme represif (teror dari
kerasan atau ancaman kekerasan me- atas atau terorisme negara) yang

4
Muladi, “Belum Mencakup State Terrorism”, www.sijoripos.com.
Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di 381
Indonesia
bermotifkan menindas individu merdeka mereka dianggap sebagai
atau kelompok (oposisi) yang tidak pahlawan bangsa dan dihormati.
dikehendaki oleh penindas (rezim Pada prakteknya, ada perbedaan yang
otoriter atau totaliter) dengan cukup mencolok mengenai tujuan yang
cara likuidasi dengan ciri-ciri ingin dicapai oleh political terror di mana
berkembang menjadi teror masa, mereka berada. Bagi kelompok teroris
ada aparat teror, polisi rahasia, yang berada di negara yang sudah mapan
teknik penganiayaan, penyebaran alam demokrasinya dengan supremasi
rasa kecurigaan dikalangan rakyat, hukum yang kuat, tujuan mereka adalah
wahana untuk paranoid pemimpin.5 mengubah kebijakan. Sementara kelompok
teroris yang berada di negara yang belum
2. Bentuk-Bentuk Terorisme mapan institusi demokrasi dan supremasi
Secara garis besar, tujuan dari aksi hukumnya, maka tujuan mereka pada
teror dapat dibagi dalam 4 kategori besar, umumnya adalah merombak struktur
yaitu: irrational terrorism, criminal politik. Persamaannya adalah teror sebagai
terrorism, political terrorism, dan state alat yang digunakan untuk “menekan” atau
terrorism. mengubah keseimbangan.
Irrational Terrorism. Teror yang State Terrorism. Istilah state terrorism
motif atau tujuannya bisa dikatakan tak ini semula dipergunakan PBB ketika
masuk akal sehat, yang bisa dikategorikan melihat kondisi sosial dan politik di Afrika
dalam kategori ini misalnya saja salvation Selatan, Israel, dan negara-negara Eropa
(pengorbanan diri) dan madness (kegilaan). Timur. Kekerasan negara terhadap warga
Criminal Terrorism. Teror yang negara penuh dengan intimidasi dan
dilatarbelakangi motif atau tujuan berbagai penganiayaan serta ancaman
berdasarkan kepentingan kelompok, teror lainnya banyak dilakukan oleh oknum
oleh kelompok agama atau kepercayaan negara termasuk penegak hukum. Teror
tertentu dapat dikategorikan ke dalam jenis oleh atau penguasa negara, misalnya saja
ini. Termasuk juga kegiatan kelompok penculikan aktivis. Teror oleh negara bisa
bermotifkan balas dendam (revenge). juga terjadi melaui
Political Terrorism. Teror bermotifkan kebijakanekonomiyangdibuatnya.Terorisme
politik. Batasan mengenai political terror yang dilakukan oleh negara atau aparatnya
sampai saat ini belum ada kesepakatan dilakukan untuk dan atas nama kekuasaan,
internasional yang dapat dibakukan. Figur stabilitas politik, dan kepentingan ekonomi
Yasser Arrafat bagi masyarakat Israel elite. Untuk dan atas nama tersebut, negara
adalah tokoh teroris yang harus dieksekusi, merasa sah untuk menggunakan kekerasan
tetapi bagi bangsa Palestina dia adalah dalam segala bentuknya guna merepresi dan
freedom fighter. Begitu pula sebaliknya memadamkan kelompok-kelompok kritis
dengan founding fathers negara Israel yang dalam masyarakat sampai pada kelompok-
pada waktu itu dicap sebagai teroris, setelah kelompok yang memperjuangkan
Israel aspirasinya

5
Muladi, 2002, Op. Cit., hlm. 15.
38 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 -

dengan mengangkat senjata. menganjurkan umatnya untuk berjuang


Menurut Abdul Wahid, Sunardi, dan mewujudkan perdamaian, keadilan, dan
Muhammad Imam Sidik ada dua bentuk kehormatan. Akan tetapi, perjuangan itu
teorisme. Bentuk yang pertama adalah teror haruslah tidak dilakukan dengan cara-cara
kriminal yang menggunakan cara peme- kekerasan atau terorisme. Setiap perjuang-
rasan dan intimidasi. Mereka menggunakan an untuk keadilan harus dimulai dengan
kata-kata yang dapat menimbulkan ke- premis bahwa keadilan adalah konsep
takutan atau teror psikis, teror kriminal universal yang harus diperjuangkan dan
biasanya hanya untuk kepentingan pribadi dibela setiap manusia.
atau memperkaya diri sendiri. Bentuk Azyumardi menambahkan, Islam
kedua adalah teror politik. Teror politik memang menganjurkan dan memberi
tidak memilih-milih korban. Teroris politik justifikasi kepada muslim untuk berjuang,
selalu siap melakukan pembunuhan ter- berperang (harb), dan menggunakan
hadap orang-orang sipil baik laki-laki kekerasan (qital) terhadap para penindas,
maupun perempuan, dewasa atau anak-anak musuh-musuh Islam, dan pihak luar yang
tanpa memepertimbangkan penilaian politik menunjukkan sikap bermusuhan atau tidak
dan moral.6 mau hidup berdampingan secara damai
Berkaitan dengan maraknya opini dengan Islam dan kaum muslimin. Akan
publik yang mengaitkan terorisme dengan tetapi Islam tidak membenarkan menjadi-
perbuatan yang bermotif agama hal ini kan orang yang tidak berdosa sebagi
perlu dikaji ulang, dikarenakan terorisme korban atau ongkos perjuangan. Hak
itu lahir dan tumbuh dari rasa kekecewaan hidup manusia harus ditempatkan dalam
akibat perlakuan tidak adil yang ber- posisi tertingginya sebagai hak yang wajib
langsung lama dan kelihatan tidak ada dihormati dan dijaga dari berbagai bentuk
harapan perubahan. Hasil ini dikemuka- ancaman yang berusaha mengganggu atau
kan dalam seminar tentang terorisme yang merusaknya. Pembenaran terhadap cara-
diselenggarakan Lembaga Pengkajian cara yang mengakibatkan nyawa manusia
Strategis Indonesia (LPSI). melayang sama dengan menghalalkan
Dari sudut pandang Islam, Rektor terjadinya tragedi pelanggaran HAM.7
Universitas Islam Negeri Jakarta (IAIN) Berdasarkan kerangka hukum inter-
Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, nasional tersebut yang erat kaitannya
mengatakan terorisme sebagai kekerasan dengan hak asasi manusia, ada beberapa
politik sepenuhnya bertentangan dengan prinsip dasar yang mesti dipatuhi oleh
etos kemanusiaaan Islam. Islam mengajar- negara dalam menjalankan kewajiban
kan etos kemanusiaan yang sangat internasionalnya mencegah dan menjawab
menekankan kemanusiaan universal. Islam problem-problem yang berkaitan dengan

6
Abdul Wahid Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Hukum,
HAM, PT Refika Aditama, Bandung, hlm. 40.
7
Kompas, 2 November 2001.
Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di 383
Indonesia
kejahatan terorisme, yakni:8 atau otoritas negara melakukan
1. Situasi dan kejadian atau insiden kejahatan hak asasi manusia, yaitu
yang terjadi melanggar hukum kejahatan terhadap hak hidup
pidana (offences against penal seseorang atau yang lebih dikenal
law). Karenanya, kejahatan yang dengan hak-hak yang tidak bisa
dilakukan mesti dibuktikan unsur- dilanggar (non-derogable rights);
unsur pidananya, dan bukan 4. Dalam rangka kerja-kerja pen-
semata- mata berdasarkan asumsi- cegahan dan penanggulangan
asumsi atau bersandar pada teori terorisme, PBB juga mengadopsi
konspi- rasi. Dalam konteks ini, ketentuan tentang kedaulatan
terdapat juga prinsip mesti adanya negara (sovereign rights of a state).
alasan pembenar yang kuat Secara kerangka hukum interna-
(reasonable grounds) untuk sional, tidak dibolehkan adanya
melakukan suatu tindakan-tindakan interpretasi-interpretasi yang di-
yang masuk akal (reasonable buat oleh sebuah negara dengan
measures), baik dalam melakukan tujuan untuk melanggar kedaulatan
pencegahan (reasonable preventive negara lain.
measures) maupun mengatasi Merujuk pada kerangka hukum di
kejahatan dengan mengacu pada atas, dalam konteks Indonesia, aturan main
kebutuhan- kebutuhan yang ini bisa saja dibuat dengan prasyarat untuk
memang diperlu- kan (necessity memperkuat konsolidasi demokrasi dan
principle); membangun sistem negara yang
2. Semua tindakan negara tidak di- demokratis, bukan malah memperlemah.
perkenankan dilakukan berdasar- Dengan demikian, jika malah
kan pertimbangan-pertimbangan memperlemah, jawabannya: tidak
diskriminatif, baik secara politik diperlukan membuat aturan yang dibuat-
maupun berdasarkan diskriminasi buat. Bisa saja Indonesia mengadopsi
ras dan agama (non-discrimination aturan-aturan internasional yang sudah ada.
principles); Misalnya, meratifikasi terlebih dulu dua
3. Prinsip yang penting lainnya kovenan induk dan selanjutnya meratifikasi
adalah perlakuan yang benar dan konvensi-konvensi yang berkaitan dengan
adil (fair treatment principle). persoalan terorisme.
Negara diwajibkan untuk Dalam soal terorisme, merujuk pada
menjamin perlakuan yang adil norma internasional, patut dicatat negara
berdasarkan standar internasional juga mempunyai kewajiban melindungi
yang berlaku di setiap level atau di hak-hak warga negaranya yang oleh otoritas
setiap tahapan atau proses hukum negara lain dituduh sebagai pelaku kejahat-
yang dilakukan. Perlakuan yang an. Di sisi lain, suatu negara diwajibkan
adil ini seperti tidak dibenarkan memberikan informasi sesegera mungkin
pejabat negara

8
A. Patra M. Zen, “Terorisme: Standard Hukum Internasional”, www.hukumonline.com.
38 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 -

tanpa penundaan-penundaan kepada suatu Pemberantasan tindak pidana terorisme


otoritas di negara lain yang dianggap dapat di Indonesia merupakan kebijakan dan
melindungi hak-hak asasi “si tersangka”. langkah antisipatif yang bersifat proaktif
Kewajiban ini juga termasuk memberikan yang dilandaskan dengan kepada kehati-
peluang “si tersangka” untuk dikunjungi hatian dan bersifat jangka panjang karena
oleh pejabat atau perwakilan negara yang masyarakat Indonesia adalah masyarakat
dianggap mempunyai otoritas dalam hal yang multi-etnik dengan beragam dan
perlindungan hak-hak “si tersangka”. mendiami ratusan ribu pulau-pulau yang
Penulis sepakat jika terorisme diberan- tersebar di seluruh wilayah nusantara serta
tas dan menggunakan prinsip extraordinary ada yang letaknya berbatasan dengan Negara
tapi juga harus rasional dan memberi lain. Selanjutnya, dengan karekteristik
perlindungan kepada HAM. Kita pernah masyarakat Indonesia tersebut seluruh
dihebohkan dengan adanya pengambilan komponen bangsa Indonesia berkewajiban
sejumlah sidik jari santri yang mondok di memelihara dan meningkatkan
beberapa pesantren yang dilakukan sebagai kewaspadaan menghadapi segala bentuk
langkah untuk mecegah terorisme di negara kegiatan yang merupakan tindak pidana
ini serta sejumlah aksi salah tangkap, terorisme yang bersifat internasional.
pada hal secara tidak langsung efek “rasa Konflik-konflik yang terjadi akhir-
cemas” oleh para santri yang juga selaku akhir ini sangat merugikan kehidupan
warga negara yang dihormati hak hidup- berbangsa dan bernegara serta merupakan
nya oleh undang-undang telah dinjak- kemunduran peradaban dan dapat dijadikan
injak oleh negara. Pemberian label teroris tempat yang yang subur berkembangnya
kepada suatu intitusi atau organisasi ke- tindak pidana terorisme yang bersifat
agamaan tertentu memberikan suatu internasional baik yang dilakukan oleh
indikasi adanya state terror oleh peme-
9
warga negara Indonesia maupun yang
rintah melalui langkah yang diambilnya dan dilakukan oleh orang asing.
hal ini sangat membahayakan kedudukan Terorisme yang bersifat internasional
hak asasi manusia yang selalu kita junjung merupakan kejahatan yang terorganisasi,
tinggi. sehingga pemerintah dan bangsa Indonesia
Dengan demikian, di satu sisi negara wajib meningkatkan kewaspadaan dan
wajib melakukan upaya efektif dalam bekerjasama memelihara keutuhan Negara
menjawab problem terorisme. Di sisi lain, Kesatuan Republik Indonesia .
negara dituntut juga melakukan kewajiban- Pemberantasan tindak pidana terorisme
kewajibannya untuk memfasilitasi tercipta- di Indonesia bukan semata-mata merupakan
nya kondisi di mana rakyat menikmati masalah hukum dan penegakan hukum
keadilan, kemakmuran, dan keamanan melainkan juga merupakan masalah-
kolektif. masalah sosial, budaya, ekonomi yang

9
State terror, adalah aksi teror yang dilakukan oleh penguasa suatu terhadap rakyatnya untuk membentuk
perilaku dari segenap lapisan masyarakat. Contohnya antara lain, Kaisar Nero dan Idi Amin di Uganda.
Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di 385
Indonesia
berkaitan erat dengan masalah ketahanan pertama, terorisme merupakan kegiatan
bangsa sehingga kebijakan dan langkah yang bersifat politik, baik memiliki latar
pencegahan dan pemberantasannya pun belakang politik, bertujuan politik, maupun
ditujukan untuk memelihara keseimbangan kegiatan yang disponsori oleh kepentingan
dalam kewajiban melindungi kedaulatan politik. Pandangan lain, adalah bahwa
negara, hak asasi korban dan saksi, serta kegiatan terorisme merupakan kegiatan
hak asasi tersangka terdakwa. kriminal yang sangat merugikan dan
Pemberantasan tindak pidana terorisme membahayakan kehidupan dan perdamaian
dengan ketiga tujuan di atas menujukkan bangsa. Kedua pandangan yang berbeda
bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa secara mendasar tersebut sudah tentu, juga
yang menjunjung tinggi peradaban umat membawa perbedaan mengenai cara-cara
manusia dan memiliki komitmen yang kuat pemberantasannya.
untuk tetap menjaga keutuhan wilayah Pandangan yang pertama sering
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disampaikan dengan justifikasi bahwa
berdaulat di tengah-tengah gelombang untuk mencegah dan memberantas kegiatan
pasang surut perdamaian dan keamanan terorisme perlu diungkapkan akar dari
dunia. masalah terorisme”.11 Pandangan kedua
Menurut Prof. Dr. Romli Atmasasmita, sering disampaikan dengan justifikasi
S.H., LL.M., terdapat dua aspek tindakan “perlindungan global umat manusia”
pemberantasan terorisme, yaitu aspek (global protection for humankind). Kedua
nasional dan aspek global. Hal ini dapat pandangan tersebut akan mempengaruhi
dilihat di dalam Konvensi Internasional setiap undang-undang yang akan digunakan
tentang Pemberantasan Pendanaan untuk mencegah dan memberantas tindak
Terorisme (1999) dan Konvensi pidana terorisme.
Internasional tentang Pemberantasan Pandangan yang pertama sudah
Pengeboman oleh Teroris (1997) telah tentu tidak setuju dengan undang-undang
dibedakan antara terorisme internasional yang bersifat represif karena masalah
dan terorisme domestik di mana ketentuan ketidakadilan yang menjadi akar masalah
Pasal 3 dari kedua konvensi tersebut terorisme tidak mungkin dapat diselesaikan
menegaskan bahwa ketentuan dalam hanya dengan menahan, menuntut, dan
konvensi tidak berlaku terhadap kegiatan memenjarakan pelakunya, melainkan yang
teror yang terjadi di satu negara dan harus diutamakan adalah langkah-langkah
dilakukan oleh warga negara yang yang bersifat preventif.
bersangkutan kecuali terlibat yurisdiksi a. Kebijakan Internasional
negara lain di dalamnya.10 Dalam perang melawan terorisme di-
perlukan upaya komprehensif secara lintas
3. Kebijakan Pemberantasan instansi dan lintas negara. PBB melalui
Terorisme Ada dua pandangan terhadap
kegiatan terorisme yang berkembang saat
ini yaitu
10
Pandangan ini sering diungkapkan oleh pemimpin negara-negara berkembang dibandingkan dengan negara
maju, khususnya para pemimpin negara islam.
11
Pandangan ini sering dikemukakan oleh pemimpin negara-negara maju.
38 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 -

United Nations Terrorism Prevention Court) tahun 1998 tidak memasukkan


Branch telah melakukan studi mendalam terorisme sebagai salah satu yurisdiksi
dan merekomendasikan langkah-langkah Mahkamah, sehingga secara expressive
penanggulangan secara komprehensif se- verbis status hukum terorisme belum
bagai berikut: aspek politik dan peme- merupakan kejahatan internasional (inter-
rintahan (political and governance); aspek national crime) seperti halnya genosida
ekonomi dan sosial (economic and social); dan kejahatan terhadap masalah terorisme
aspek psikologi, komunikasi, pendidikan terutama setelah peristiwa 11 September
(psychology, communication, education); 2001. PBB melalui Dewan Keamanan telah
peradilan dan hukum (judicial and law); menempatkan masalah ini dalam status
aspek kepolisian dan sistem pemasya- sebagai “kejahatan internasional”.
rakatan (police and prison system); Landasan hukum mengenai penang-
aspek intelijen (intelligent); aspek militer gulangan terorisme secara umum, terdapat
(military); aspek imigrasi (immigration). dalam:
Terorisme pasca perang dingin dan 1. Pasal 38 ayat (1) Statuta
memasuki pertengahan era globalisasi saat Pengadilan Internasional tentang
ini merupakan masalah aktual dan menuntut sikap dan tindakan bagaimana yang
perhatian dan langkah serius dari seluruh dibenar- kan bila negara
negara. Menghadapi masalah ini terutama menetapkan tata- cara penyelesaian
yang berskala internasional terbukti tidak sengketa melalui penggunaan
mudah dan sangat memerlukan kesamaan kekerasan bersenjata;
visi dan misi serta kebijakan dan langkah 2. Ketentuan tentang Penggunaan
koordinatif dan bukan hanya semata pada Kekerasan Bersenjata tercantum
tingkat nasional atau regional melainkan dalam Konvensi Geneva dan
juga pada tingkat internasional. Meneliti The Hague, yaitu dalam suatu
ketentuan konvensi internasional yang sengketa bersenjata melukai dan
mengatur tentang terorisme sejak tahun memusnahkan anggota dan
1937 sampai dengan tahun 1999 dan instalasi militer lawan merupakan
beberapa resolusi Dewan Keamanan PBB keharusan yang harus diambil dan
tentang masalah ini jelas bahwa terorisme dibenarkan secara hukum
diakui sebagai ancaman terhadap internasional, sedangkan
perdamaian dan keamanan umat manusia menjadikan penduduk sipil sebagai
(threaten to the peace and security of sasaran kekerasan bersenjata jelas-
mankind) sesuai dengan Bab VII Piagam jelas dilarang;
PBB, dengan implikasi hukum adanya 3. Konvensi dalam Bidang Terorisme,
kewajiban setiap negara untuk menangkap, Pembajakan, Kejahatan Penyelun-
menuntut dan menghukum atau dupan yaitu Resolusi No. 6 Tahun
mengekstradisi pelaku terorisme. Namun 1984 mengenai hukum pidana in-
demikian Statuta Mahkamah Pidana ternasional, isinya antara lain men-
Internasional (Interna- tional Criminal dukung kelangsungan peradilan
Court/World Criminal internasional dalam kaitannya
dengan berbagai pelanggaran serta
Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di 387
Indonesia
persoalan mengenai penanggu- ada, apabila terdapat cukup pe-
langgan dan penerapan hukumnya; tunjuk, wajib menahan si tersangka
4. Dalam kaitannya dengan terorisme, atau mengambil tindakan lainnya,
Resolusi No. 7 Tahun 1984 cukup untuk menjamin proses penuntutan
signifikan mengatur fenomena atau ekstradisi. Meski bisa saja
terorisme, di dalamnya diatur terjadi seorang penjahat tinggal
mengenai tindakan terorisme yang dengan aman di suatu negara yang
menyangkut elemen internasional, tidak memiliki keterikatan timbal
yaitu melanggar pemerintah asing/ balik dalam persoalan ekstradisi.
organisasi internasional, melanggar Karena itu dalam suatu ketentuan
terhadap suatu bangsa, dilakukan yang berlaku, suatu ekstradisi
oleh orang yang menyeberang diberlakukan harus memenuhi dua
batas internasional, di suatu negara ketentuan. Pertama, suatu negara
di mana ekstradisi dilaksanakan. memiliki wewenang hukum secara
Dalam kasus ekstradisi, Indonesia domestik atas penerapan sanksi
telah pernah melakukannya hukum bagi pelanggar. Karena itu,
dengan pemerintah Thailand atas dasar suatu perjanjian negara
ketika pemnajakan kapal Woyla lain yang terikat menjadi wajib
dilakukan oleh Imam Imran, pim- untuk menyerahkan penjahatnya
pinan Komando Jihad. Hasil dari suatu dengan permohonan negara
ekstradisi itu, pengadilan negeri di yang bersangkutan. Kedua, ekstra-
Indonesia memutuskan hukuman disi dilakukan untuk memenuhi
mati bagi Imran. Meskipun kasus tuntutan agar supaya penjahat
Imran telah menjadi yurisprudensi, tidak terbebas dari tuntutan hukum.
putusan hakim atas hukuman mati Dengan demikian kepedulian
Imran termasuk dalam kasus negara-negara untuk mengekstra-
pembajakan masih dapat diper- disikan penjahat-penjahat juga
debatkan. Namun bagaimanapun dalam rangka mencegah menjalar-
hukuman mati bagi terorisme dan nya lalu lintas penjahat ke negara-
pembajakan akan selalu meng- negara tetangga lainnya;
undang kontroversi, meskipun 6. cara lain yang biasa dipergunakan
dari segi pendidikan sosial bisa oleh masyarakat internasional ada-
dipandang positif; lah dengan membuat negara-negara
5. Kewajiban negara untuk menahan donor dapat memberikan sanksi
dan menangkap para pembajak dengan cara penyetopan bantuan,
didasarkan pada Pasal 13 Konvensi baik sebagian atau seluruhnya
Tokyo 1963 juncto Konvensi terhadap negara-negara yang
Den Haag 1970. Pasal tersebut tidak mau memperketat jaringan
menyatakan bahwa setiap negara pengawasan penjahat terorganisir.
peserta di wilayah tersangka ber- Sanksi ini diberlakukan atas dasar
38 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 -

Resolusi Dewan Ekonomi dan Aksi teror yang terjadi di wilayah


Sosial PBB No. 1747, 24 Maret Indonesia yang dimulai dengan Bom Bali
1974. 1 kemudian disusul dengan yang paling
7. Di dalam konvensi tentang pence- mutakhir perampokan Bank CIMB Niaga di
gahan dan penghukuman terhadap Medan yang menewaskan satu orang
terorisme pada tanggal 16 anggota Brimob, hampir semua negara
November 1937 dimuat ketentuan memberikan perhatian dan dukungan
mengenai kewajiban-kewajiban konkret terhadap upaya Indonesia dalam
negara pe- serta untuk menetapkan pengungkapan kasus bom Bali, terutama
tindakan terorisme sebagai suatu dalam proses investigasi untuk menangkap
tindakan yang memiliki karakter para pelaku teror dan mengajukan mereka
internasio- nal sehingga tindak ke sidang pengadilan. Dengan
terorisme yang dilakukan di negara tertangkapnya para teroris tersebut maka
lain dapat dihukum berdasarkan telah terungkap fakta yang jelas di
hukum pi- dana negara yang mana teroris lokal telah mempunyai
berkepentingan. Ditegaskan pula di hubungan erat dengan jaringan teroris
dalam konvensi ini bahwa global. Timbul kesadaran dan keyakinan
diperlukan adanya kerjasama kita bahwa perang melawan terorisme
kepolisian antara negara- negara mengharuskan kita untuk melakukan
penandatangan konvensi ini. sinergi upaya secara komprehensif dengan
Dalam konteks perkembangan kon- pendekatan lintas sektoral dan lintas negara.
vensi-konvensi internasional tersebut, pe- Untuk itu perlu ditetapkan suatu strategi
merintah Indonesia sudah menandatangani nasional dalam rangka perang melawan
resolusi PBB Nomor 1373 Tahun 2001 terorisme.
tentang pembekuan aset-aset teroris pada Bagi Indonesia, pencegahan dan
tanggal 28 September 2001. pemberantasan terorisme memerlukan
kecermatan pengamatan atas kultur,
b. Kebijakan Nasional kondisi masyarakat, dan stabilitas politik
Kejadian-kejadian teror yang selama pemerintahan. Ketiga faktor tersebut sangat
ini terjadi di Indonesia merupakan sinyal mempengaruhi efektivitas undang-undang
bahwa Indonesia telah merupakan salah tersebut. Konsep barat dan negara Islam
satu target operasi organisasi terorisme baik tentang definisi terorisme sangat sulit
internasional maupun domestik. diterima oleh Indonesia karena kondisi
Meningkatkan kewaspadaan secara politik yang terjadi di negara-negara yang
fisik semata-mata tidaklah cukup untuk berbasis Islam berbeda secara mendasar
menghadapi organisasi terorisme interna- baik sisi latar belakang dan
sional karena secara organisatoris kelompok perkembangannya dengan yang terjadi di
tersebut sudah memiliki perencanaan dan Indonesia. Begitu pula kultur masyarakat
persiapan yang sangat diperhitungkan baik baik dari negara- negara tersebut maupun
segi operasional, personil, maupun dari negara barat berbeda dengan kultur
dukungan infrastruktur dan pendanaan. masyarakat Indonesia. Masyarakat
Indonesia mengakui
Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di 389
Indonesia
eksistensi multi agama dan multi etnik dan warga masyarakat; penggarapan kesehatan
hidup berdampingan secara damai. jiwa melalui pendidikan formal, agama
Strategi penanggulangan terorisme dan sebagainya; peningkatan usaha-usaha
yang dilakukan oleh Pemerintah di- kesejahteraan anak dan remaja; kegiatan
implementasikan melalui upaya preventif, patroli dan usaha pengawasan lainnya dan
preemtif, dan represif. sebagainya.
i. Upaya Preventif Tujuan dari usaha-usaha non penal
Mengingat keterbatasan dari upaya adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial
penal maka perlu adanya penanggulangan tertentu, namun secara tidak langsung
kejahatan yang tidak hanya bersifat penal, mempunyai pengaruh preventif terhadap
akan tetapi juga dapat menggunakan kejahatan.
sarana- sarana atau kebijakan yang sifatnya Secara umum pencegahan kejahatan
non- penal. dapat dilakukan dengan menggabungkan
Upaya non-penal ini merupakan suatu beberapa metode. Metode pertama adalah
pencegahan kejahatan, dimana dilakukan cara moralistic (miring) yang dilaksanakan
sebelum kejahatan itu terjadi, sehingga dengan penyebarluasan ajaran-ajaran agama
upaya ini lebih dikenal dengan upaya yang dan moral, perundang-undangan yang baik
sifatnya preventif atau pencegahan. Ini dan sarana-sarana lain yang dapat
seharusnya harus lebih diutamakan daripada mengekang nafsu untuk berbuat kejahatan.
upaya yang sifatnya represif. Ada pendapat Sedangkan cara kedua adalah cara
yang mengatakan bahwa mencegah lebih abiliosinistik yang berusaha untuk
baik daripada mengobati. Demikian pula memberantas sebab- musababnya.
WA.Bonger mengatakan:12 Umpamanya kita ketahui bahwa faktor
Dilihat dari efisiensi dan efektifitas upa- tekanan ekonomi (kemelaratan) merupakan
ya pencegahan lebih baik daripada
salah satu faktor penyebab, maka usaha
upaya yang bersifat represif. Dalam
dunia ke- dokteran kriminal telah untuk mencapai kesejahteraan untuk
disepakati suatu pemikiran bahwa mengurangi kejahatan yang disebabkan
mencegah kejahatan adalah lebih baik oleh faktor ekonomi merupakan cara
daripada mencoba mendidik penjahat abiliosinistik. Adapun pencegahan
menjadi baik kem- bali, lebih baik kejahatan melalui pendekatan
disini juga berarti lebih mudah, lebih
kemasyarakatan, yang biasa disebut
murah dan lebih mencapai tujuannya.
Community Based Crime Prevention,
Penggunaan sarana nonpenal sebagai
melibatkan segala kegiatannya untuk
upaya untuk menanggulangi kejahatan
memperbaiki kapasitas masyarakat dalam
dapat dilakukan misalnya dengan
mengurangi kejahatan dengan jalan
penyantunan dan pendidikan sosial dalam
meningkatkan kontrol sosial informal.13
rangka mengembangkan tanggung jawab Langkah preventif yang diambil oleh
sosial pemerintah dalam rangka penanggulangan
terhadap tindak pidana terorisme, yaitu:

12
W.A.Bonger, 1995, Pengantar tentang Kriminologi Pembangunan, Ghalia Indonesia, hlm. 167.
13
Soedjono, 1983, Penanggulangan Kejahatan, Alumni, Bandung, hal. 22
39 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 -

1) Peningkatan pengamanan dan c) Penggunaan public figures


pengawasan terhadap senjata api; terkenal untuk mengutuk aksi
2) Peningkatan pengamanan terhadap teroris;
sistem transportasi; d) Pemanfaatan mantan pelaku
3) Peningkatan pengamanan sarana teroris yang telah sadar dalam
publik; kampanye anti-terorisme;
4) Peningkatan pengamanan terhadap e) Penggunaan wanted poster dan
sistem komunikasi; dipublikasikan;
5) Peningkatan pengamanan terhadap f) Pemanfaatan mantan korban
VIP; aksi terorisme untuk meng-
6) Peningkatan pengamanan terhadap gugah empati dan solidaritas
fasilitas diplomatik dan masyarakat agar bangkit me-
kepentingan asing; lawan terorisme;
7) Peningkatan kesiapsiagaan meng- 17) Penyelenggaraan pelatihan pers
hadapi serangan teroris; yang meliput berita tentang aksi
8) Peningkatan pengamanan terhadap terorisme; dan
fasilitas internasional; 18) Pelarangan penyiaran langsung
9) Pengawasan terhadap bahan pe- wawancara dengan teroris.
ledak dan bahan-bahan kimia yang
dapat dirakit menjadi bom; ii. Upaya Preemtif
10) Pengetatan pengawasan Upaya preemtif dapat dilakukan me-
perbatasan dan pintu-pintu keluar- lalui cara-cara sebagai berikut:
masuk; 1) Pencerahan ajaran agama oleh to-
11) Pengetatan pemberian dokumen koh-tokoh kharismatik dan kredibi-
perjalanan (paspor, visa dan se- litas tinggi di bidang keagamaan
bagainya); untuk mengeliminir ekstrimisme
12) Harmonisasi kebijakan visa dan radikalisasi pemahaman ajaran
dengan negara tetangga; agama oleh kelompok kelompok
13) Penerbitan pengeluaran kartu fundamentalis garis keras.
tanda penduduk dan administrasi 2) Penyesuaian kebijakan politik dan
kependudukan; pemerintahan sebagai berikut:
14) Pengawasan kegiatan masyarakat a) Merespon tuntutan politik
yang mengarah pada aksi teror; teroris dengan kebijakan politik
15) Intensifikasi kegiatan pengamanan yang dapat mengakomodir
swakarsa; aspirasi kelompok radikal.
16) Kampanye anti-terorisme melalui b) Pelibatan kelompok-kelompok
media massa yang meliputi: radikal yang potensial
a) Peningkatan kewaspadaan ma- mengarah kepada tindakan teror
syarakat terhadap aksi teroris; dalam penyelesaian konflik
b) Sosialisasi bahaya terorisme secara damai melalui dialog,
dan kerugian akibat tindakan negosiasi, dan sebagainya.
teror;
Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di 391
Indonesia
c) Penawaran konsesi politik bagi Terhadap masalah kemanusiaan
kelompok-kelompok yang ber- dan masalah kemasyarakatan ini telah
gerak di bawah tanah menjadi banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk
gerakan formal secara kons- menanggulanginya. Salah satu usaha
titusional. penanggulangan kejahatan yang dilakukan
3) Pelibatan partai politik dan organi- adalah dengan menggunakan sarana penal
sasi kemasyarakatan atau lembaga yaitu menggunakan hukum pidana dengan
swadaya masyarakat yang mempu- sanksinya yang berupa pidana.
nyai kesamaan atau kemiripan visi Penanggulangan kejahatan dengan
dan ideologi dalam dialog dengan menggunakan hukum pidana merupakan
kelompok-kelompok radikal. cara yang paling tua, setua peradaban
4) Penetapan secara tegas organisasi manusia itu sendiri14. Akan tetapi ini tidak
teroris dan organisasi terkait bararti bahwa penggunaan pidana sebagai
sebagai organisasi terlarang dan salah satu cara untuk menanggulangi
membubarkannya. kejahatan.
5) Program bidang sosial-ekonomi, Langkah represif yang dilakukan
antara lain : oleh pemerintah dalam rangka melakukan
a) Pengentasan kemiskinan. penanggulangan terhadap tindak pidana
b) Pemerataan pembangunan dan terorisme adalah sebagai berikut:
hasil-hasilnya. 1) Pembentukan Badan
c) Penciptaan lapangan kerja. Penanggulang- an Tindak Pidana
d) Pengembangan ketenagakerja- Terorisme, serta pembentukan
an. satuan khusus sebagai langkah
Pengendalian kurikulum pendidik- pemberantasan tindak pidana
an terutama di bidang keagamaan terorisme.
untuk mencegah disusupkannya 2) Penyerbuan terhadap tempat
ideologi-ideologi ekstrim-radikal persembunyian pelaku terorisme.
dalam proses pendidikan. 3) Penjatuhan sanksi pidana yang
6) Pemberlakuan hukuman mati terha- tegas terhadap pelaku tindak pidana
dap pelaku terorisme di Indonesia. terorisme yang telah terbukti
iii. Upaya Represif bersalah berdasarkan bukti-bukti
Upaya penanggulangan kejahatan pada yang ada.
hakekatnya merupakan suatu usaha untuk Menyadari pentingnya peran personil
pengamanan masyarakat (social defence) dalam mengimbangi kemajuan teknologi
agar masyarakat dapat terhindar dari keja- dan modus operandi berbagai jenis ke-
hatan atau setidak-tidaknya mengendalikan jahatan termasuk terorisme, Polri berupaya
kejahatan yang terjadi agar berada dalam untuk meningkatkan kualitas sumber daya
batas-batas toleransi masyarakat. manusia, dengan cara memperbaiki kualitas
pendidikan di lingkungan Polri, termasuk

14
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 149.
39 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 -

pendidikan reserse dan intelijen di mana langkah-langkah yang bersifat represif,


fungsi penyelidikan dan analisis diajarkan. preventif, preemtif maupun rehabilitasi.
Polri juga mengadakan kerjasama pendi- Pengalaman berbagai Negara menerapkan
dikan dan latihan dengan luar negeri, AS, konsep yang hanya mengutamakan tindakan
Inggris, Australia, Jepang, Jerman, dan lain- represif dengan kekuatan bersenjata
lain serta meningkatkan kemampuan ataupun dengan penegakan hukum secara
penguasaan bahasa asing dalam rangka tegas bagaimanapun tidak akan efektif
mempermudah berkomunikasi dengan menghentikan terorisme. Selain langkah
pihak asing guna pertukaran informasi represif dan preventif kita harus menyentuh
untuk meningkatkan kemampuan deteksi akar terorisme (roots of terrorism) melalui
dini. langkah-langkah resosialisasi dan reinte-
grasi para pelaku terorisme ke dalam
E. Kesimpulan masyarakat. Yang perlu diingat bahwa
Berdasarkan uraian yang telah kebijakan dan langkah pemerintah untuk
disebutkan di atas maka ada beberapa menyusun undang-undang tentang pem-
kesimpulan yang dapat diambil antara berantasan terorisme bukan karena tekanan
lain: Negara-negara maju. Undang-undang
Penanggulangan terhadap kegiatan terorisme tersebut didasarkan pada 3
terorisme yang dilakukan oleh pemerintah paradigma sebagai berikut: melindungi
dilakukan dengan pendekatan secara bangsa dan kedaulatan NKRI; melindungi
preemtif, preventif dan represif untuk dapat hak asasi korban dan saksi-saksi; serta
tercapai upaya penegakkan hukum dan melindungi hak asasi pelaku terorisme.
penegakan politik secara terpadu. Dalam Yang harus diingat langkah-langkah
keadaan tertentu perbuatan teror diperlukan yang dilakukan oleh pemerintah tidak
penanggulangan secara konseptual yang boleh diskriminatif. Undang-undang
persuasif sebagai upaya penyelesaian terorisme tidak ditujukan pada suatu
di luar hukum dan politik bersumber kelompok manapun. Siapapun yang
dari kekuatan aksi sosial. Dalam perang melakukan perbuatan teror akan diper-
melawan terorisme perlu dilakukan upaya lakukan sama sesuai perbuatannya dan
secara terkoordinasi lintas instansi, lintas tanpa melihat latar belakang etnis maupun
nasional, dan secara simultan dilakukan agamanya.

DAFTAR PUSTAKA

Bonger, W. A., 1995, Pengantar tentang


Kriminologi Pembangunan, Ghalia Muladi, “Belum Mencakup State
Indonesia. Terrorism”, www.sijoripos.com/
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, , 2002, Demokrasi Hak Asasi
Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Manusia dan Reformasi Hukum di
Bandung, Alumni. Indonesia, Habibie Center, Jakarta.
Santoso, Thomas, 2002, Teori-teori Keke-
Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di 393
Indonesia
rasan, Ghalia Indonesia, Jakarta. Refika Aditama, Bandung.
Soedjono, 1983, Penanggulangan Suseno, Magnis, 2002, “Komitmen
Kejahatan, Alumni, Bandung. Bersama bagi Kemanusiaan”, Sinar
Sunardi, Abdul Wahid dan Muhammad Harapan. Zen, A. Patra M., 2002,
Imam Sidik, 2004, Kejahatan “Terorisme: Standard Hukum
Terorisme Perspektif Agama, Hukum, Internasional”,
HAM, PT www.hukumonline.com.

Anda mungkin juga menyukai