1 PB
1 PB
TERORISME DI INDONESIA*
Hery Firmansyah**
Abstract Abstrak
*
Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Tahun 2010.
**
Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
(e-mail: hery18_mendunia@yahoo.co.id).
Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di 377
Indonesia
merupakan tindak pidana internasional yang telah mapan maupun yang telah
yang mempunyai jaringan luas, yang bergolak atau tidak stabil dan diidentifikasi
mengancam perdamaian dan keamanan sebagai “negara-negara gagal” (failed
nasional maupun internasional. Menyikapi states), tak luput dari ancaman munculnya
hal tersebut, tentunya diperlukan suatu gerakan dan aksi-aksi terorisme yang
langkah penanggulangan yang tepat oleh berskala internasional. Globalisasi yang
Pemerintah. telah berlangsung secara cepat belakangan
Terorisme merupakan jelmaan kejahat- ini juga telah mempermudah bertemu dan
an sistematik. Ibaratnya, kejahatan ini men- menyatunya ide-ide dan aksi-aksi terorisme
cerminkan sebuah lingkaran kekerasan internasional. Berdasarkan uraian diatas,
seperti kata Dom Helder Camara sebagai- penulisan hukum ini akan meneliti dan
mana yang dikutip oleh Thomas Santoso:1 mengkaji tentang “Upaya Penanggulangan
Bahwa yang melahirkan kekerasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia”.
baru dan selanjutnya akan menjelma
menjadi kekuatan iblis yang gelap, B. Perumusan Masalah
yang mendiami sanubari manusia tak Bertolak dari uraian latar belakang
bersuara dalam mata hati. Mereka
masalah di atas maka terdapat permasalahan
menjadi pem- bunuh berdarah dingin
karena nuraninya telah mati akibat yang perlu mendapatkan penelitian
cinta kasih yang hilang. Riset telah dan pengkajian terkait dengan upaya
menunjukkan bahwa unsur terpenting penanggulangan tindak pidana terorisme
terorisme , yang membuatnya menjadi di Indonesia, yaitu “Bagaimana langkah-
suatu strategi yang demikian kuat langkah yang dilakukan oleh pemerintah
dalam situasi tertentu, adalah
efektifitasnya dalam menimbulkan dalam upaya penanggulangan terhadap
kondisi ketakutan yang sangat tindak pidana terorisme?”
menonjol meskipun terhadap mereka
yang secara tidak langsung atau secara C. Metode Penelitian
kebetulan menjadi objek serangan Bahan-bahan hukum yang diperguna-
teroris. kan berupa bahan hukum primer dan
Perang melawan terorisme merupakan sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan
tantangan besar bagi dunia pasca perang hukum yang berhubungan erat dengan
dingin. Sekalipun sebenarnya terorisme permasalahan yang diteliti. Bahan hukum
bukanlah merupakan masalah baru, primer terdiri dari Kitab Undang-undang
melainkan masalah yang telah ada sejak Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hu-
beberapa dasawarsa dan bahkan abad kum Acara Pidana, Perppu Nomor 1 Tahun
lalu, namun ia menjadi ancaman global 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
yang menakutkan sejak tahun-tahun awal Terorisme, Undang-undang Nomor 15
berakhirnya perang dingin. Pemerintah Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
baik di negara maju maupun berkembang, Terorisme, serta konvensi, resolusi, dan
dan bahkan terbelakang, ataupun di negara peraturan
1
Thomas Santoso, 2002, Teori-teori Kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 17.
37 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 -
2
Muladi, 2002, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Habibie Center, Jakarta,
hlm. 173.
Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di 379
Indonesia
disambut pro-kontra mengingat polemik 4. mengakibatkan kerusakan atau
definisi mengenai terorisme masih bersifat kehancuran terhadap objek-objek
multi-interpretatif, umumnya lebih vital yang strategis atau lingkungan
mengarah kepada polemik mengenai hidup atau fasilitas publik atau
kepentingan negara atau state-interested. fasilitas internasional.
Unsur-unsur terorisme dapat kita Pasal ini termasuk dalam delik materil
temukan dalam dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu yang ditekankan pada akibat yang
Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang dilarang yaitu hilangnya nyawa, hilangnya
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme harta, atau kerusakan dan kehancuran.
sebagai berikut: perbuatan melawan hukum; Sedangkan yang dimaksud dengan kerusak-
dilakukan secara sistematis; dengan maksud an atau kehancuran lingkungan hidup ada-
untuk menghancurkan kedaulatan bangsa lah tercemarnya atau rusaknya kesatuan
yang dilakukan; dengan menggunakan semua ruang dengan semua benda, daya,
kekerasan atau ancman kekerasan; me- keadaan, dan makhluk hidup termasuk ma-
nimbulkan suasana teror atau rasa takut nusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
terhadap orang secara meluas atau kelangsungan perikehidupan dan kesejah-
menimbulkan korban bersifat massal; dan teraan manusia serta makhluk lainnya.
dengan cara merampas kemerdekaan atau Pemahaman tentang definisi terorisme
hilangnya nyawa dan harta benda orang adalah hal mendasar dan sangat penting
lain, atau mengakibatkan kerusakan atau yang perlu dikuasai terlebih dahulu
kehancuran terhadap objek-objek vital sebelum melakukan berbagai tindakan pe-
yang strategis atau lingkungan hidup atau nanggulangan terhadap terorisme. Bahkan
fasilitas publik atau fasilitas internasional. Magnis Suseno mengatakan bahwa aparat
Tindak pidana terorisme tersebut penegak hukum di Indonesia ternyata
di atas terdapat dalam rumusan Pasal 6 masih perlu memahami perbedaan penger-
Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang tian antara teroris, fundamentalis dan
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, radikalis.3 Seorang teroris, bisa jadi seorang
yang unsur-unsurnya adalah: fundamentalis dan seorang radikalis
1. setiap orang; sementara seorang fundamentalis dan
2. dengan sengaja menggunakan radikalis belum tentu seorang teroris. Ke-
kekerasan atau ancaman kekerasan tidakpahaman akan pengertian terorisme
menimbulkan suasana teror atau kadang bisa menjadi sebab dilakukannya
rasa takut terhadap orang secara labeling oleh pemerintah terhadap orang
meluas atau menimbulkan korban atau kelompok tertentu.
yang bersifat missal; Sampai saat ini tidak ada definisi
3. dengan cara merampas kemerdeka- universal tentang terorisme. Kecenderungan
an atau hilangnya nyawa dan harta yang terjadi ialah apa yang disebut dengan
benda orang lain; dan one dimensional conception on terrorism.
3
Magnis Suseno, “Komitmen Bersama bagi Koruptor”, Sinar Harapan. 2002.
38 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 -
Meskipun belum ada kesepakatan di ka- nimbulkan suasana teror atau rasa
langan pakar, perumusan tindak pidana takut terhadap orang secara meluas
terorisme memang sebaiknya merupakan atau menimbulkan korban yang ber-
hasil kajian dari berbagai konvensi sifat massal, dengan cara merampas
internasional baik yang telah maupun kemerdekaan atau hilangnya nyawa
dan harta benda orang lain, atau meng-
belum diratifikasi. Selain itu, pengaturan
akibatkan kerusakan atau kehan-
tindak pidana terorisme perlu menempuh curan terhadap objek-objek vital yang
sistem global serta komprehensif dan sistem strategis atau lingkungan hidup atau
kompromi yang memuat kebijakan kriminal fasilitas publik atau fasilitas interna-
bersifat luas, preventif, represif, dan sional.
beberapa acara yang bersifat khusus, seperti Menurut Wilkinson Tipologi terorisme
peradilan in absentia, dipergunakannya yang dikutip dari Juliet Lodge ada beberapa
alat bukti elektronik, dan sebagainya, tanpa macam, antara lain:
mengesampingkan promosi dan perlin- 1. Terorisme epifenomenal (teror
dungan HAM serta pengaturan perlindung- dari bawah) dengan ciri-ciri tak
an saksi, pelapor, korban kejahatan, dan terencana rapi, terjadi dalam
penggunaan sistem hearing.4 konteks perjuangan yang sengit;
2. Terorisme revolusioner (teror dari
1. Karakteristik atau Ciri Terorisme bawah) yang bertujuan revolusi
Terorisme memiliki beberapa ciri atau perubahan radikal atas sistem
yang mendasar, dan antara lain: kegiatan yang ada dengan ciri-ciri selalu
terorisme dilakukan dengan cara-cara ke- merupakan fenomena kelompok,
kerasan (contoh pengeboman, penyan- sturuktur kepemimpinan, program
deraan, dan lain-lain) untuk memaksakan ideologi, konspirasi, elemen para
kehendaknya, dan cara tersebut merupakan militer;
sebagai sarana (bukan merupakan tujuan), 3. Terorisme subrevolusioner (teror
sasaran serangannya adalah tempat-tempat dari bawah) yang bermotifkan
umum atau objek vital seperti pusat-pusat politis, menekan pemerintah untuk
perbelanjaan, bandara, stasiun. Korbannya mengubah kebijakan atau hukum,
pun tidak dipilih-pilih, dan kegiatannya perang politis dengan kelompok
sangat profesional untuk dilacak jejaknya. rival, menyingkirkan pejabat
Ciri-ciri terorisme yang terdapat dalam tertentu yang mempunyai ciri-ciri
Pasal 6 Undang-undang Pemberantasan dilakukan oleh kelompok kecil,
Tindak Pidana Terorisme adalah sebagai bisa juga individu, sulit diprediksi,
berikut: kadang sulit dibedakan apakah
suatu perbuatan yang dilakukan psikopatologis atau criminal;
dengan sengaja menggunakan ke- 4. Terorisme represif (teror dari
kerasan atau ancaman kekerasan me- atas atau terorisme negara) yang
4
Muladi, “Belum Mencakup State Terrorism”, www.sijoripos.com.
Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di 381
Indonesia
bermotifkan menindas individu merdeka mereka dianggap sebagai
atau kelompok (oposisi) yang tidak pahlawan bangsa dan dihormati.
dikehendaki oleh penindas (rezim Pada prakteknya, ada perbedaan yang
otoriter atau totaliter) dengan cukup mencolok mengenai tujuan yang
cara likuidasi dengan ciri-ciri ingin dicapai oleh political terror di mana
berkembang menjadi teror masa, mereka berada. Bagi kelompok teroris
ada aparat teror, polisi rahasia, yang berada di negara yang sudah mapan
teknik penganiayaan, penyebaran alam demokrasinya dengan supremasi
rasa kecurigaan dikalangan rakyat, hukum yang kuat, tujuan mereka adalah
wahana untuk paranoid pemimpin.5 mengubah kebijakan. Sementara kelompok
teroris yang berada di negara yang belum
2. Bentuk-Bentuk Terorisme mapan institusi demokrasi dan supremasi
Secara garis besar, tujuan dari aksi hukumnya, maka tujuan mereka pada
teror dapat dibagi dalam 4 kategori besar, umumnya adalah merombak struktur
yaitu: irrational terrorism, criminal politik. Persamaannya adalah teror sebagai
terrorism, political terrorism, dan state alat yang digunakan untuk “menekan” atau
terrorism. mengubah keseimbangan.
Irrational Terrorism. Teror yang State Terrorism. Istilah state terrorism
motif atau tujuannya bisa dikatakan tak ini semula dipergunakan PBB ketika
masuk akal sehat, yang bisa dikategorikan melihat kondisi sosial dan politik di Afrika
dalam kategori ini misalnya saja salvation Selatan, Israel, dan negara-negara Eropa
(pengorbanan diri) dan madness (kegilaan). Timur. Kekerasan negara terhadap warga
Criminal Terrorism. Teror yang negara penuh dengan intimidasi dan
dilatarbelakangi motif atau tujuan berbagai penganiayaan serta ancaman
berdasarkan kepentingan kelompok, teror lainnya banyak dilakukan oleh oknum
oleh kelompok agama atau kepercayaan negara termasuk penegak hukum. Teror
tertentu dapat dikategorikan ke dalam jenis oleh atau penguasa negara, misalnya saja
ini. Termasuk juga kegiatan kelompok penculikan aktivis. Teror oleh negara bisa
bermotifkan balas dendam (revenge). juga terjadi melaui
Political Terrorism. Teror bermotifkan kebijakanekonomiyangdibuatnya.Terorisme
politik. Batasan mengenai political terror yang dilakukan oleh negara atau aparatnya
sampai saat ini belum ada kesepakatan dilakukan untuk dan atas nama kekuasaan,
internasional yang dapat dibakukan. Figur stabilitas politik, dan kepentingan ekonomi
Yasser Arrafat bagi masyarakat Israel elite. Untuk dan atas nama tersebut, negara
adalah tokoh teroris yang harus dieksekusi, merasa sah untuk menggunakan kekerasan
tetapi bagi bangsa Palestina dia adalah dalam segala bentuknya guna merepresi dan
freedom fighter. Begitu pula sebaliknya memadamkan kelompok-kelompok kritis
dengan founding fathers negara Israel yang dalam masyarakat sampai pada kelompok-
pada waktu itu dicap sebagai teroris, setelah kelompok yang memperjuangkan
Israel aspirasinya
5
Muladi, 2002, Op. Cit., hlm. 15.
38 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 -
6
Abdul Wahid Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Hukum,
HAM, PT Refika Aditama, Bandung, hlm. 40.
7
Kompas, 2 November 2001.
Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di 383
Indonesia
kejahatan terorisme, yakni:8 atau otoritas negara melakukan
1. Situasi dan kejadian atau insiden kejahatan hak asasi manusia, yaitu
yang terjadi melanggar hukum kejahatan terhadap hak hidup
pidana (offences against penal seseorang atau yang lebih dikenal
law). Karenanya, kejahatan yang dengan hak-hak yang tidak bisa
dilakukan mesti dibuktikan unsur- dilanggar (non-derogable rights);
unsur pidananya, dan bukan 4. Dalam rangka kerja-kerja pen-
semata- mata berdasarkan asumsi- cegahan dan penanggulangan
asumsi atau bersandar pada teori terorisme, PBB juga mengadopsi
konspi- rasi. Dalam konteks ini, ketentuan tentang kedaulatan
terdapat juga prinsip mesti adanya negara (sovereign rights of a state).
alasan pembenar yang kuat Secara kerangka hukum interna-
(reasonable grounds) untuk sional, tidak dibolehkan adanya
melakukan suatu tindakan-tindakan interpretasi-interpretasi yang di-
yang masuk akal (reasonable buat oleh sebuah negara dengan
measures), baik dalam melakukan tujuan untuk melanggar kedaulatan
pencegahan (reasonable preventive negara lain.
measures) maupun mengatasi Merujuk pada kerangka hukum di
kejahatan dengan mengacu pada atas, dalam konteks Indonesia, aturan main
kebutuhan- kebutuhan yang ini bisa saja dibuat dengan prasyarat untuk
memang diperlu- kan (necessity memperkuat konsolidasi demokrasi dan
principle); membangun sistem negara yang
2. Semua tindakan negara tidak di- demokratis, bukan malah memperlemah.
perkenankan dilakukan berdasar- Dengan demikian, jika malah
kan pertimbangan-pertimbangan memperlemah, jawabannya: tidak
diskriminatif, baik secara politik diperlukan membuat aturan yang dibuat-
maupun berdasarkan diskriminasi buat. Bisa saja Indonesia mengadopsi
ras dan agama (non-discrimination aturan-aturan internasional yang sudah ada.
principles); Misalnya, meratifikasi terlebih dulu dua
3. Prinsip yang penting lainnya kovenan induk dan selanjutnya meratifikasi
adalah perlakuan yang benar dan konvensi-konvensi yang berkaitan dengan
adil (fair treatment principle). persoalan terorisme.
Negara diwajibkan untuk Dalam soal terorisme, merujuk pada
menjamin perlakuan yang adil norma internasional, patut dicatat negara
berdasarkan standar internasional juga mempunyai kewajiban melindungi
yang berlaku di setiap level atau di hak-hak warga negaranya yang oleh otoritas
setiap tahapan atau proses hukum negara lain dituduh sebagai pelaku kejahat-
yang dilakukan. Perlakuan yang an. Di sisi lain, suatu negara diwajibkan
adil ini seperti tidak dibenarkan memberikan informasi sesegera mungkin
pejabat negara
8
A. Patra M. Zen, “Terorisme: Standard Hukum Internasional”, www.hukumonline.com.
38 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 -
9
State terror, adalah aksi teror yang dilakukan oleh penguasa suatu terhadap rakyatnya untuk membentuk
perilaku dari segenap lapisan masyarakat. Contohnya antara lain, Kaisar Nero dan Idi Amin di Uganda.
Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di 385
Indonesia
berkaitan erat dengan masalah ketahanan pertama, terorisme merupakan kegiatan
bangsa sehingga kebijakan dan langkah yang bersifat politik, baik memiliki latar
pencegahan dan pemberantasannya pun belakang politik, bertujuan politik, maupun
ditujukan untuk memelihara keseimbangan kegiatan yang disponsori oleh kepentingan
dalam kewajiban melindungi kedaulatan politik. Pandangan lain, adalah bahwa
negara, hak asasi korban dan saksi, serta kegiatan terorisme merupakan kegiatan
hak asasi tersangka terdakwa. kriminal yang sangat merugikan dan
Pemberantasan tindak pidana terorisme membahayakan kehidupan dan perdamaian
dengan ketiga tujuan di atas menujukkan bangsa. Kedua pandangan yang berbeda
bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa secara mendasar tersebut sudah tentu, juga
yang menjunjung tinggi peradaban umat membawa perbedaan mengenai cara-cara
manusia dan memiliki komitmen yang kuat pemberantasannya.
untuk tetap menjaga keutuhan wilayah Pandangan yang pertama sering
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disampaikan dengan justifikasi bahwa
berdaulat di tengah-tengah gelombang untuk mencegah dan memberantas kegiatan
pasang surut perdamaian dan keamanan terorisme perlu diungkapkan akar dari
dunia. masalah terorisme”.11 Pandangan kedua
Menurut Prof. Dr. Romli Atmasasmita, sering disampaikan dengan justifikasi
S.H., LL.M., terdapat dua aspek tindakan “perlindungan global umat manusia”
pemberantasan terorisme, yaitu aspek (global protection for humankind). Kedua
nasional dan aspek global. Hal ini dapat pandangan tersebut akan mempengaruhi
dilihat di dalam Konvensi Internasional setiap undang-undang yang akan digunakan
tentang Pemberantasan Pendanaan untuk mencegah dan memberantas tindak
Terorisme (1999) dan Konvensi pidana terorisme.
Internasional tentang Pemberantasan Pandangan yang pertama sudah
Pengeboman oleh Teroris (1997) telah tentu tidak setuju dengan undang-undang
dibedakan antara terorisme internasional yang bersifat represif karena masalah
dan terorisme domestik di mana ketentuan ketidakadilan yang menjadi akar masalah
Pasal 3 dari kedua konvensi tersebut terorisme tidak mungkin dapat diselesaikan
menegaskan bahwa ketentuan dalam hanya dengan menahan, menuntut, dan
konvensi tidak berlaku terhadap kegiatan memenjarakan pelakunya, melainkan yang
teror yang terjadi di satu negara dan harus diutamakan adalah langkah-langkah
dilakukan oleh warga negara yang yang bersifat preventif.
bersangkutan kecuali terlibat yurisdiksi a. Kebijakan Internasional
negara lain di dalamnya.10 Dalam perang melawan terorisme di-
perlukan upaya komprehensif secara lintas
3. Kebijakan Pemberantasan instansi dan lintas negara. PBB melalui
Terorisme Ada dua pandangan terhadap
kegiatan terorisme yang berkembang saat
ini yaitu
10
Pandangan ini sering diungkapkan oleh pemimpin negara-negara berkembang dibandingkan dengan negara
maju, khususnya para pemimpin negara islam.
11
Pandangan ini sering dikemukakan oleh pemimpin negara-negara maju.
38 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 -
12
W.A.Bonger, 1995, Pengantar tentang Kriminologi Pembangunan, Ghalia Indonesia, hlm. 167.
13
Soedjono, 1983, Penanggulangan Kejahatan, Alumni, Bandung, hal. 22
39 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 -
14
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 149.
39 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 -
DAFTAR PUSTAKA