Anda di halaman 1dari 9

Materi Pertemuan

Pertama Kelas ABCDE MUA


BAB I
HUKUM KEWARISAN

Pengantar
Ada beberapa hal yang perlu diketahui menyangkut ilmu pengetahuan , karena hal ini akan
membantu untuk mendapat gambaran sepintas tentang ilmu yang akan dipelajari. Beberapa hal
yang dimaksud adalah: definisi, objek kajian, peletak ilmu, pengambilan dasar hukum, nama
ilmu, hukum, permasalahan yang dimuat, kaitan dengan ilmu lain (nisbah), faidah
mempelajarinya, dan tujuan.1

A. Pengertian Ilmu Fara’idh


1. Pengertian secara bahasa
Ilmu Mawaris atau disebut juga dengan ilmu faraidh. Kata Faraidh pada “Ilmu Faraidh” (
‫ )علم الفرائض‬adalah merupakan bentuk jama’ dari Faridhah dan memiliki arti yang berbeda,
sebagai yang digunakan al-Qur’an dalam beberapa kesempatan, yaitu:
a. Ketentuan (‫)التقدير‬, seperti firman Allah:
‫ضتُ ْم‬
ْ ‫ف َما َف َر‬ ْ ِ‫ضة فَن‬
ُ ‫ص‬ َ ْ‫ضتُ ْم لَ ُه َّن ف ِري‬
ْ ‫وه َّن َو قَ ْد َف َر‬
ُ ‫س‬ُّ ‫وه َّن ِم ْن َق ْب ِل َأ ْن تَ َم‬
ُ ‫َو ِإ ْن طَلَ ْقتُ ُم‬
“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sesbelum kamu bercampur dengan mereka
padahal sessungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua
dari mahar yang telah kamu tentukan itu”.2

b. Ketetapan pasti ( ‫)القطع‬, seperti firman Allah:


‫يب ِم َّما َت َر َك ال َْوالِ داَ ِن َو‬ ِ ِ ‫ان و اَْألقْرب و َن و لِلن‬ ِ ِ ِ ِ ‫للرج‬
ٌ ‫ِّس اء نَص‬
َ َ ْ َُ َ ‫ب َِّمم ا َت َر َك ال َْوال َد‬ ٌ ‫ال نَص ْي‬ َ ِّ
‫ضا‬ ِ َ‫اَألقْربو َن ِمما قَ َّل ِم ْنهُ َأو َك ُثر ن‬
ً ‫ص ْيبًأ َم ْف ُر ْو‬ َ ْ ّ ُْ َ
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi istri ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut yang telah ditetapkan”3

c. Menurunkan (‫ )االنزال‬seperti firman Allah:


‫اء بِال ُْه َدى َو َم ْن ُه َو‬ ‫ٍ ج‬ ِ ِ
َ ‫ك اْل ُق ْر َآ َن لَرادَّك ِإلَى َم َعاد قُ ْل َربِّي َأ ْعلَ ُم َم ْن َج‬
َ ‫ض َعلَْي‬َ ‫ِإن َّالَّذ ْي َف َر‬
َ ‫فِ ْي‬
‫ضالَل ٍُّمبِي ٍن‬

1
Aḥmad al-Shāwiy al-Māliki, Ḥasyiah al-’Allāmah al-Shāwi ‘Alā Tafsīr al-Jalālain, (Indonesia: Dār Ihyā’
al-Kutub al-Arabiyah, tt), j.I: h.2
2
al-Qur’an surat al-Baqarah (2): 237
3
al-Qur’an surat al-Nisa’ (4): 7
“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakanhukum-hukum) al-Qur’an,
benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: “Tuhanku
mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang
nyata”.4
c. Penjelasan (‫ )التبيين‬seperti firman Allah:
‫كي ُم‬ ِ ‫صلى‬ ‫ج‬
‫ض اهللُ لَ ُك ْم تَ ِحلَّةَ َأيْ َمانِ ُك ْم‬
ْ ‫ْح‬
َ ‫َو ُه َو ال َْعل ْي ُم ال‬ ‫َو اهللُ َمولَى ُك ْم‬ َ ‫قَ ْد َف َر‬
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian kamu membebaskan diri
dari sumpahmu; dan Allah pelindungmu dan Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.5

d. Penghalalan (‫)اإلحالل‬, seperti firman Allah:


‫ج‬
‫اهلل فِى الَّ ِذيْ َن َخلَ ْوا ِم ْن َق ْب ُل‬
ِ َ‫س نَّة‬
ُ
‫ص لى‬ ِ ِ
َ ‫م اَ َك ا َن َعلَى النَّبِ ِّي م ْن َح َر ٍج ف ْي َم ا َف َر‬
ُ‫ض اهللُ لَ ه‬
‫ورا‬ ِ
ً ‫َو َكا َن َْأم ُر اهلل قَ ْد ًرا َم ْق ُد‬
“Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah
baginya (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi
yang telah berlaku dahulu). Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti.”6

e. Pemberian (‫)العطاء‬, seperti kata-kata yang diungkapkan orang Arab:


‫ضا‬ ً ‫ت ِم ْنهُ َف ْر‬
ً ‫ضا َو الَ َق ْر‬ ُ ‫َألص ْب‬
َ
“Sesungguhnya aku telah memperoleh darinya suatu pemberian bukan pinjaman”.7

Keenam makna dari kata al-Faraidh adalah hampir semakna, dan dapat digunakan dalam
ilmu Faraidh, sebab apa yang ditentukan Allah bagi hamba-Nya merupakan pemberian,
penghalalan, dan ketentuan yang diturunkan Allah.8
2. Pengertian secara istilah
Ilmu Faraidh secara istilah adalah:
‫خص ُك ُّل ِذ ْى َح ٍّق ِم َن الت ِّْر َك ِة‬
ُّ َ‫ص ِل ِلِ ْمع ِرفَ ِة َما ي‬
ِ ‫اب الْمو‬ ِ ‫ث و ِعل‬
ْ ُ ِ ‫ْم اْلح َس‬
ِ
ُ َ ْ‫لم َوا ِري‬
ِ
َ ْ‫ُه َو ف ْقهُ ا‬
“Ilmu Mawarsi adalah ilmu pengetahuan tentang pewarisan dan ilmu hitung yang
menyampaikan untuk mengetahui apa-apa yang khusus bagi setiap orang yang memiliki
hak dalam pewarisan”9

Dari pengertian di atas dapat ditegaskan bahwa Ilmu Mawaris itu merupakan pengetahuan
tentang harta pusaka (warisan). Sebagian ulama memberikan definisi yang lebih sempurna
dengan ungkapan:

4
al-Qur’an surat al-Qashah (28): 85
5
al-Qur’an surat al-Taḥrīm (66): 2
6
al-Qur’an surat al-Aḥzāb (33): 38
7
Qāsim bin Abdillāh bin Amir Ali al-Quzuwi, Anīs al-Fuqahā’ Fi Ta’rīf al-Alfāzh al-Mutadāwilah Bain al-
Fuqahā’ (Jiddah: Dar al-Wafa’, 1406H), h. 49
8
Fathurrahman, Ilmu Waris, (Bandung: al-Ma’arif, 1987), h. 32
9
Sayyid Muḥammad bin Ali al-Musāwiy, al-Nafhah al-Ḥasaniyah ‘Ala al-Tuḥfah al-Sanniyah Fi Ilm al-
Faraidh, (Surabaya: Syirkag Bengkulu Indah, t.t.), h.5
‫ب ِم َن‬ ِ ‫ك وم ْع ِرفَ ِة قَ ْد ِرالْو‬
ِ ‫اج‬ َ
ِ ِ
َ َ َ ‫لى َم ْع ِرفَ ة ذَل‬‫ِ ِإ‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِّ ِ
َ ‫اَلْف ْق هُ اَل ُْمَت َعل ُق ب اِْإل ْرث َو َم ْع ِرفَ ة اْل‬
َ ‫حس اب ال ُْم ْوص ِل‬
‫الت ِّْر َكة ِ لِ ُك ِّل ِذ ْي َح ٍّق‬
“Ilmu Fiqh yang berhubungan dengan pembagian pusaka, pengetahuan tentang cara
perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka itu, dan
pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk masing-
masing pemilik harta pusaka”10

B. Peletak Ilmu Faraidh


Ilmu faraidh adalah ilmu yang paling jelas penjelasanya, sebab sudah dijelaskan
bagian-bagian orang yang mendapat warisan. Tidak ada angka sejelas bilangan ½, 1/4, 1/8
1/3, 2/3, dan 1/6 yang disebutkan dalam al-Qur’an yang kemudian oleh Nabi Muhammad
SAW dijelaskan pelaksanaan pembagian sehingga sesuai dengan al-Qur’an. Berdasarkan hal
itu, maka peletak atau yang membuat ilmu faraidh adalah Allah melalui al-Qur’an yang
kemudian dijelaskan oleh al-Sunnah al-Nabawiyah.

C. Hukum Mempelajari Ilmu Faraidh


Hukum mempeajari ilmu faraidh diperselisihkan ulama’, ada yang menghukumkan
wajib ‘ainiy atau wajib kifa’iy.11 Timbulnya hukum tersebut karena adanya anjuran Rasulullah
sebagaimana dalam hadist berikut:
‫َّاس َت َعلَّ ُم وا‬
َ ‫ْم َو َعلِّ ُم وهُ الن‬
ِ َّ َّ ِ ُ ‫ال لِي َر ُس‬
َّ َّ َ ِّ‫ول اهلل‬
َ ‫ "َت َعل ُم وا الْعل‬:‫ص لى الله َعلَْي ه َو َس ل َم‬
ٍ ‫ال ابن مس ع‬
َ َ‫ود ق‬ ُ ْ َ ُ ْ َ َ‫ق‬
‫ض َوتَظ َْه ُر‬ ِ ٌ ‫الْ َفراِئض و َعلِّموهُ النَّاس َتعلَّم وا الْ ُق رآ َن و َعلِّم وهُ النَّاس فَ ِإ نِّي ام رٌؤ م ْقب‬
ُ َ‫ْم َس ُي ْقب‬
ُ ‫ َوالْعل‬.‫وض‬ ُ َ ُْ َ ُ َ ْ َُ َ ُ َ َ َ
‫ص ُل َب ْيَن ُه ْم‬ ِ ِ
ِ ‫ان َأح ًدا ي ْف‬
َ َ ‫ضة الَ يَج َد‬
ٍ َ ‫ان فِي فَ ِري‬ َ ِ‫ال ِْفتَ ُن َحتَّى يَ ْختَل‬
ِ َ‫ف ا ْثن‬
“Ibnu Ma’sud bertutur: “Rasulullah bersabda kepadaku: “pelajarilah ilmu dan ajarkan
kepada orang lain, pelajarilah ilmu Faraidh dan ajarkan kepada orang lain, pelajarilah al-
Qur’an dan ajarkan kepada orang lain, karena sesugguhnya aku adalah seorang yang akan
meninggal, demikian juga ilmu itu akan tercabut sekaligus bentuk fitnah akan tampak,
sehingga dua orang akan berselisih dalam masalah faraidh tidak akan menemukan
seorang yang dapat memutuskan (perkara) antara mereka”.12

Dalam hadist lain Rasulullah bersabda:


ُ‫ف اْ ِلعل ِْم َو ِإنَّه‬ ِ
ْ ِ‫ض َو َعلِّ ُم ْوه ُ فَِإ نَّهُ ن‬
ُ ‫ص‬ َ ‫َتعلَّ ُم وا الْ َف َراِئ‬
َ " (:‫)ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم‬
ِ
َ ‫ال َر ُس ْو ُل اهلل‬
َ َ‫ق‬
‫ُي ْن َسى َو ُه َو ََّأو ُل َما ُي ْن َزعُ ِم ْن َُّأمتي‬
“Rasulullah bersabda: “Pelajarilah (ilmu) Faraidh dan ajarkan kepada orang-orang,
karena ia merupakan sebagian dari ilmu, dan (ilmu) yang akan dilupakan orang. Ilmu
yang akan pertama kali dicabut dari umatku”13

10
Muhammad al-Khathib al-Syarbiniy, Mughni al-Muhtaj ‘Ila Ma’rifat Ma’ani ‘Al-Fazh al-Minhaj, (Bairut:
Dar al-Fikr, tt), j. III: h.3
11
Sayyid Muḥammad bin Ali al-Musāwiy, al-Nafḥah al-Hasaniyah,…, h..6
12
Abdullāh bin Abdurraḥmān Abu Muḥammad al-Dairamiy, Sunan al-Dairamiy, (Bairut: Dar al-Kitab
al-‘Arabiy, 1407 H), j. I: h. 83
Perintah dalam hadist di atas adalah perintah yang mengarah kepada wajib, hanya saja
kewajiban itu menjadi gugur apabila ada seorang yang telah melaksanakannya. Akan tetapi
apabila tidak ada seorangpun yang melaksanakannya, maka orang Islam sendiri akan
menanggung dosa, karena meninggalkan perintah tersebut. 14 Tujuan utama ilmu Faraidh
adalah menyampaikan hak warisan kepada pemiliknya, dan faidah (kegunaannya) adalah
menentukan bagian bagi pemiliknya.15

D. Sumber Hukum Waris


Ilmu Waris Islam adalah merupakan bagian dari ilmu Fiqh secara umum. Tentu ia memiliki
sumber sebagaimana layak Ilmu Fiqh lainnya. Ilmu Waris bersumber dari sumber pokok
ajaran Islam:
1. al-Qur’an
Dalam al-Qur’an bayank ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang warisan, seperti
penjelsana tentang hak-hak penerimaan warisan dari harta warisan yang ditinggalkan,
seperti yang dijelaskan dalam berbagai ayat, seperti ayat 7, 11, 12 dan 176 dari surat al-
Nisa’, dan surat lainnya.
2. al-Sunnah, seperti hadist yang diriwayatkan al-Dairamiy:
ِ ِ ِ ِ
‫َِألولَى َر ُج ٍل‬ َ ‫ْح ُق وا اْل َف َراِئ‬
ْ ‫ فَ َم ا بَق َي َف ُه َو‬،‫ض بِ َْأهل َه ا‬ َ ‫ "ال‬:‫ص لَّى اهللُ َعليَ ه َو َس لَّ َم‬
َ ‫َّبي‬
ُّ ‫ال الن‬َ َ‫ق‬
"‫ذَ َك ٍر‬
“Nabi bersabda: “Berikanlah harta pusaka kepada orang-orang yang berhak. Sesudah
itu, sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama”.16

3. Ijma ulama.
Ijma’ juga merupakan salah satu sumber dari ilmu Mawaris, karena banyak hal yang
menjadi kesepakatan ulama yang diterapkan dalam pembagian harta warisan, seperti
kasus:
a. Status pembagian warisan antara kakek dan saudara-saudara. Dalam al Qur’an hal ini
tidak dijelaskan, akan tetapi menurut kebanyakan ulama dengan cara mengikuti
pandangan Zaid bin Sabit, bahwa bagian kakek harus mendapat bagian yang paling
menguntungkan, dari beberapa cara: Muqasamah (bagi rata), 1/6 seluruh harta
peninggalan, 1/3 sisa, jika mereka bersama zawil furudh lainnya dan jika mereka
tidak bersama zawil furudh mereka menerima muqasamah dan 1/3 seluruh harta.17
b.Status cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal daripada kakek yang bakal menerima
warisan bersama saudara-saudara ayah cucu yang meninggal tadi. Menurut undang-
undang Hukum Waris Mesir setelah mengadopsi pandangan ulama Salafi dan
Khalafi, bahwa cucu tadi mendapat warisan dengan jalan wasiat wajibah.18 Misalnya
ada seorang meninggal dunia (A), dia mempunyai dua orang anak (B) dan (C)

13
Muḥammad bin Abdillah Abu Abdillah al-Ḥakīm al-Nisaiburiy, al-Mustadarak ‘Ala al-Shahain, (Bairut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), j. IV: h. 369
14
Fathurrahman, Waris,…., h. 15
15
Sayyid Muhammad bin Ali al-Musawiy, al-Nafhah,…,h.7
16
Abdullah bin Abdurrahman Abu Muhammada al-Dairamiy, Sunan al-Darimiy, (Bairut: Dar al-Kitab al-
Arabiy, 1407H), j.II: h. 464
17
Fathurrahman, Ilmu Waris…, h. 274-277
18
Ibid, h.63
dimana (C) ini telah meninggal lebih dahulu sebelum (A) meninggal dan memiliki
anak (D). Maka harta peninggalan si (A) diambil seluruhnya (B) sebab ia menghijab
cucu (D). Tetapi, susugguhnya ia akan mendapatkan bagian ayahnya bila ayahnya
masih hidup, oleh karena itu ia diberikan dengan jalan wasiat wajibah.19

E. Asas-Asas Hukum Kewarisan


Setiap ilmu tentunya memiliki asas tertentu yang menjadi ciri khas dalam disiplinnya.
Demikian juga ilmu waris Islam memiliki asas yang khusus yang digali dari sumbernya
sebagaimana yang dijelaskan berikut. Asas kewarisan yang terdapat dalam sumber hukum
Ilmu Faraidh, baik yang digali dari al-Qur’an ataupun al-Sunnah dapat dikalsifikasi menjadi
beberapa bagian, antara lain adalah:20
a. Asas Ijbari. Kata Ijabari secara bahasa dapat diartikan “paksaan”, yaitu melakukan
sesuatu di luar kehendak sendiri. Dalam hal ini hukum waris berarti “terjadinya peralihan
harta seorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendiri.
Artinya pemberi waris tidak memiliki perbuatan hukum baik untuk menolak atau
menghalanginya terjadinya peralihan harta tersebut. Dengan kata lain, bahwa dengan
meninggalnya pemberi waris maka hartanya langsung dapat berpindah tangan kepada
penerima warisan, apakah ia suka menerima atau tidak dengan tampa perkecualian. Ijbar
ini dapat dilihat pada tiga sisi:
a. Segi peralihan harta.
b. Segi jumlah harta yang beralih.
c. Segi penerima warisan.
Ketentuan asas ini bersumber pada firman Allah dalam al-Qur’an, yaitu surat an-Nisa’ (4)
ayat 7 sebagai berikut:

‫يب ِم َّما َت َر َك ال َْوالِ داَ ِن َو‬ ِ ِ ‫ان و اَْألقْرب و َن و لِلن‬


ِ ِ ِ ِ ‫للرج‬
ٌ ‫ِّس اء نَص‬
َ َ ْ َُ َ ‫ب َِّمم ا َت َر َك ال َْوال َد‬ ٌ ‫ال نَص ْي‬ َ ِّ
‫ضا‬ ِ َ‫اَألقْربو َن ِمما قَ َّل َأو َك ُثر ن‬
ً ‫ص ْيبًأ َم ْف ُر ْو‬ َ ْ ّ ُْ َ
Artinya:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, dan bagi bagi istri ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-
bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut yang telah ditetapkan”.
21

“Nashib" pada ayat yang dimaksud di atas dapat berarti saham, jatah, bagian dari harta
peninggalan si pewaris sebagaimana yang dimaksud ayat tersebut.

b. Asas Bilateral, yaitu seorang dapat menerima hak warisan dari dua jalur; ibu dan ayah.
Asas ini secara tegas ditemukan dalam ketentuan al-Qur’an seperti:
1. Surat an-Nisa’ (4) ayat 7:

19
Untuk lebih jelasnya mengenai Wasiat Wajibah ini Anda dapat melihat Fathurrahman, Ilmu Waris,… h..
186-194
20
Amir Syarifuddin, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Kencana, 1984), h. 18
21
Al-Qur'an Surat al-Nisa' (4) Ayat 7.
‫يب ِم َّما َت َر َك ال َْوالِ داَ ِن َو‬ ِ ِ ‫ان و اَْألقْرب و َن و لِلن‬ِ ِ ِ ِ ‫للرج‬
ٌ ‫ِّس اء نَص‬
َ َ َُْ َ ‫ب َِّمما َت َر َك ال َْوال َد‬ ٌ ‫ال نَص ْي‬ َ ِّ
‫ضا‬ ِ َ‫اَألقْربو َن ِمما قَ َّل َأو َك ُثر ن‬
ً ‫ص ْيبًأ َم ْف ُر ْو‬ َ ْ ّ ُْ َ
Artinya:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, dan bagi bagi istri ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
yang telah ditetapkan”. 22

2. Surat al-Nisa’ ayat 11 sebagai berikut:


ِ
ً ‫اُألنثَي ْي ِن فَ ِإ ْن ُك َّن ن َس‬
‫اء َف ْو َق ا ْثنََت ْي ِن َفلَ ُه َّن ُثلُثَ ا‬ َ ‫ظ‬ ِّ ‫لذ َك ِر ِمثْ ل َح‬َّ ِ‫وصي ُك ْم ااهللُ فِي َْأواَل ِد ُك ْم ل‬ ِ ‫ي‬
ُ
ُ
‫س ِم َّما َت َر َك ِإ ْن‬ ُ ‫الس ُد‬ ُّ ‫اح ٍد ِم ْن ُه َم ا‬ ِ ‫ف وَأِلبوي ِه لِ ُك ِّل و‬
َ ْ َ َ َ ُ ‫ِّص‬
ِ ْ َ‫م ا َت ر َك وِإ ْن َك ان‬
ْ ‫ت َواح َدةً َفلَ َه ا الن‬ َ َ َ
‫س‬ ُّ ‫ُأِلم ِه‬
ُ ‫الس ُد‬ ِّ َ‫ث فَِإ ْن َك ا َن لَ هُ ِإ ْخ َوةٌ ف‬ ُ ُ‫الثل‬ُّ ‫ُأِلم ِه‬
ِّ َ‫َكا َن لَهُ َولَ ٌد فَِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ َولَ ٌد َو َو ِرثَهُ ََأب َواهُ ف‬
ِ ٍِ ِ ِ
َ ‫ب لَ ُك ْم َن ْف ًعا فَ ِر‬
ً‫يض ة‬ ُ ‫م ْن َب ْعد َوصيَّة يُوصي بِ َها َْأو َديْ ٍن آبَاُؤ ُك ْم َو َْأبنَاُؤ ُك ْم الَ تَ ْد ُرو َن َُّأي ُه ْم َأق َْر‬
ِ ِ ِ
‫يما‬
ً ‫يما َحك‬ ً ‫م ْن اهلل ِ ِإ َّن اهللَ َكا َن َعل‬
Artinya:
Allah perintahkan kamu mengenai (pembahagian harta pusaka untuk) anak-
anak kamu, yaitu bahagian seorang anak elaki menyamai bahagian dua
orang anak perempuan. Tetapi jika anak-anak perempuan itu lebih dari dua,
maka bahagian mereka ialah dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh si
mati. Dan jika anak perempuan itu seorang saja, maka bahagiannya ialah
satu perdua (separuh) harta itu. Dan bagi ibu bapa (si mati), tiap-tiap
seorang dari keduanya: satu perenam dari harta yang ditinggalkan oleh si
mati, jika si mati itu mempunyai anak. Tetapi jika si mati tidak mempunyai
anak, sedang yang mewarisinya hanyalah kedua ibu bapaknya, maka
bahagian ibunya ialah satu pertiga. Kalau pula si mati itu mempunyai
beberapa orang saudara (adik-beradik), maka bagian ibunya ialah satu
perenam. (Pembahagian itu) ialah sesudah diselesaikan wasiat yang telah
diwasiatkan oleh si mati, dan sesudah dibayarkan hutangnya. lbu-bapak
kamu dan anak-anak kamu, kamu tidak mengetahui siapa di antaranya yang
lebih dekat serta banyak manfaatnya kepada kamu (pembagian harta pusaka
dan penentuan bahagian masing-masing seperti yang diterangkan itu ialah)
ketetapan dari Allah; sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, dan
lagi Maha Bijaksana.23
22
Al-Qur'an Surat al-Nisa' (4) Ayat 7.
23
Al-Qur'an Surat al-Nisa' (4) Ayat 11 Sebab turunnya ayat ini adalah adanya laporan istri Sa’id bin Rabi’
kepada Rasulullah dengan membawa kedua anaknya. Selanjutnya ia bercerita kepada Rasulullah bahwa ayah kedua
anak ini meninggal sebagai syahid pada peperangan bersama Rasulullah, sementara harta yang dimiliki diambil oleh
pamannya, ia tidak memberikannya. Maka turunlah ayat di atas sebagai jawaban atas peristiwa itu. Kemudian
Rasulullah menjelaskan bahwa 2 (dua) orang anak mencapat 2/3, ibu mendapat 1/8, dan paman mendapat ashabah.
Lihat Syihabuddin Abi al-Fadhal Ahmad bin ‘Ali, al-‘Ijab Fi Bayan al-Asbab, (al-Damam: Dar al-Jauziy, 1997),
3. Surat al-Nisa’ ayat 12:
‫الربُ ُع ِم َّما‬ُّ ‫اج ُك ْم ِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَ ُه َّن َولَ ٌد فَ ِإ ْن َك ا َن لَ ُه َّن َولَ ٌد َفلَ ُك ْم‬
ُ ‫ف َم ا َت َر َك َأ ْز َو‬ ُ ‫ص‬ ْ ِ‫َولَ ُك ْم ن‬
‫الربُ ُع ِم َّما َت َر ْكتُ ْم ِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَ ُك ْم َولَ ٌد فَ ِإ ْن‬
ُّ ‫ين بِ َه ا َْأو َديْ ٍن َولَ ُه َّن‬ ِ ٍ ِ ِ ِ
َ ‫َت َر ْك َن م ْن َب ْع د َوص يَّة يُوص‬
‫وص و َن بِ َه ا َْأو َديْ ٍن َوِإ ْن َك ا َن َر ُج ٌل‬ ٍ ِ ِ ِ ِ ‫َك ا َن لَ ُكم ولَ ٌد َفلَه َّن الث‬
ُ ُ‫ُّم ُن م َّما َت َر ْكتُ ْم م ْن َب ْع د َوص يَّة ت‬ ُ ُ َْ
‫س فَ ِإ ْن َك انُوا َأ ْك َث َر ِم ْن‬ ُّ ‫اح ٍد ِم ْن ُه َم ا‬
ُ ‫الس ُد‬
ِ ‫ت فَلِ ُك ِّل و‬
َ ٌ ‫خ َْأو ُأ ْخ‬ ٌ ‫ث َكاللَ ةً َْأو ْام َرَأةٌ َولَ هُ َأ‬ُ ‫ور‬ َ ُ‫ي‬
ِ ‫ص يَّةً ِمن‬ ِ ‫ض ٍّار و‬ ِ َ ُ‫ص يَّ ٍة ي‬ ِ ‫ث ِمن ب ْع ِد و‬ ُّ ‫ك َف ُه ْم ُش َر َكاءُ فِي‬
ِ ُ‫الثل‬ َ ِ‫ذَل‬
‫اهلل‬ ْ َ َ ‫وص ى ب َه ا َْأو َديْ ٍن غَْي َر ُم‬ َ َْ
‫يم‬ ِ ِ‫وااهلل ُ َعل‬
ٌ ‫يم َحل‬ ٌ َ
Artinya:
Dan bagi kamu satu perdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isteri
kamu jika mereka tidak mempunyai anak. Tetapi jika mereka mempunyai
anak maka kamu beroleh satu perempat dari harta yang mereka tinggalkan,
sesudah ditunaikan wasiat yang mereka wasiatkan dan sesudah dibayarkan
hutangnya. Dan bagi mereka (isteri-isteri) pula satu perempat dari harta yang
kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak. Tetapi kalau kamu
mempunyai anak maka bahagian mereka (isteri-isteri kamu) ialah satu
perlapan dari harta yang kamu tinggalkan, sesudah ditunaikan wasiat yang
kamu wasiatkan, dan sesudah dibayarkan hutang kamu. Dan jika si mati yang
diwarisi itu, lelaki atau perempuan, yang tidak meninggalkan anak atau bapa,
dan ada meninggalkan seorang saudara lelaki (seibu) atau saudara perempuan
(seibu) maka bagi tiap-tiap seorang dari keduanya ialah satu perenam. Kalau
pula mereka (saudara-saudara yang seibu itu) lebih dari seorang, maka
mereka bersekutu pada satu pertiga (dengan mendapat sama banyak lelaki
dengan perempuan), sesudah ditunaikan wasiat yang diwasiatkan oleh si mati,
dan sesudah dibayarkan hutangnya; wasiat-wasiat yang tersebut hendaknya
tidak mendatangkan mudarat (kepada waris-waris). (Tiap-tiap satu hukum itu)
ialah ketetapan dari Allah. Dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui, lagi Maha
Penyabar.24

4. Surat al-Nisa’ ayat 176:


‫ف َم ا‬ُ ‫ص‬ ْ ِ‫ت َفلَ َه ا ن‬ٌ ‫س لَهُ َولَ ٌد َولَ هُ ُأ ْخ‬َ ‫ك لَْي‬ َ َ‫ك قُ ْل اهللُ ُي ْفتِي ُك ْم فِي الْ َكالَلَ ِة ِإ ْن ْام ُرٌؤ َهل‬ َ َ‫يَ ْسَت ْفتُون‬
‫ان ِم َّما َت َر َك َوِإ ْن َك انُوا‬
ِ َ‫الثلُث‬
ُّ ‫َت َر َك َو ُه َو يَ ِر ُث َه ا ِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَ َه ا َولَ ٌد فَ ِإ ْن َكا َنتَ ا ا ْثنََت ْي ِن َفلَ ُه َم ا‬
‫ض لُّوا َواهللُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء‬ِ َ‫اُألنثي ْي ِن يبيِّن اهلل لَ ُكم َأ ْن ت‬
ْ ُ ُ َُ َ َ ‫ظ‬ ِّ ‫اء فَلِل َّذ َك ِر ِمثْ ل َح‬
ُ
ِ
ً ‫ِإ ْخ َوةً ِر َج االً َون َس‬
“ ‫يم‬ ِ
ٌ ‫َعل‬
Artinya:

j.II: h. 840
24
Al-Qur'an (al-Nisa') ayat 12.
Mereka meminta fatwa kepadamu. Katakanlah: “Allah membei fatwa
kepada kamu tentang kalalah: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempnyia saudara perempuan, maka baginyanya
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mepusakainya jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan
itu dua orng, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.
Dan jika mereka saudara-saudara laki-laki dan perempaun, maka bagian
saudara laki-laki sebanyak bagian dua saudara perempuan. Allah
menreankan kepada kamu supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.25

5. Asas Individual, yaitu bahwa setiap orang berhak atas bagian yang didapatinya
tampa terkait dengan ada atau tidak adanya pada ahli waris lainnya. Dengan demikian
bagian yang diperoleh seorang dari harta warisan adalah dapat dimiliki secara
perorangan dan tidak ada sangkut pautnya ahli waris lain terhadap harta yang
diterimanya, sehingga ia memiliki kebebasan penuh terhadap harta yang diterimanya.
Ketentuan atas asas ini adalah berdasarkan ayat 7 surat al-Nisa’ di atas, dimana disana
dijelaskan bagian masing-masing orang.
6. Asas Keadilan Berimbang, yaitu asas yang mengarahkan kepada perimbangan
antara hak dan kewajiban antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan,
sehingga faktor jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan. Hal ini
berbeda dengan yang diberlakukan pada adat yang dikenal dengan garis keturunan
patrinial, yaitu garis keturunan yang ditarik dari keturunan bapak. 26 Sementara dasar
hukum asas peimbangan ini adalah surat an-Nisa’ ayat 7, 11, 12, dan 176
sebagaimana telah disebutkan.
7. Asas Kewarisan Semata Akibat Kematian, yaitu bahwa hukum waris Islam
memandang terjadinya pewarisan semata-semata disebabkan adanya kematian yang
pemberi warisan. Sementara harta yang diberikan pada saat pemberi warisan masih
hidup bukanlah dinamakan harta warisan, melainkan hibah atau wasiat
Itulah asas pokok Ilmu Mawaris Islam, bila salah satu dari asas itu tidak terpenuhi maka
jelas tidak dikatakan Ilmu Waris Islam. Keberadaan Ilmu Mawaris dengan segala asas
yang dikandungnya adalah bersumber dari beberapa sumber yang akan dijelaskan berikut.
F. Hubungan Dengan Hukum Waris Nasional
Hukum waris Islam merupakan bagian hukum yang diberlakukan bagi orang-orang yang
memeluk agama Islam, sebab di Indonesia diberlakukan pada umumnya beberapa hukum
waris, diataranya:
1. Untuk warga negara golongan Indonesia asli, pada perinsipnya berlaku hukum adat
sesuai dengan daerah masing-masing.
2. Untuk warga negara golongan Indonesia asli yang beragama Islam di berbagai daerah
diberlakukan hukum Islam yang sangat berpengaruh.
3. Bagi orang Arab pada umumnya berlaku hukum Islam secara keseluruhan.
4. Bagi orang-orang Tionghoa dan Erofa berlaku hukum warisan dari Gugerlijik Wetboeh.27

25
Al-Qur'an (al-Nisa') ayat 176.
26
Pius A Partanto dan Dahlan al-Barriy, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), 576
27
Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris Untuk IAIN, STAIN, PTAIS (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hlm, 16

Anda mungkin juga menyukai