Anda di halaman 1dari 38

SEJARAH SINGKAT PERJUANGAN

PARA WALIDAN ULAMA

Karya tulis ini disusun guna memenuhi tugas


Mata Pelajaran Bahasa Indonesia yang diampu oleh Ibu Ningsih

Disusun oleh:
1. Lilin Mungazza Millata S
2. Madina Futia Aziz A
3. Maulatul Izza
4. Mita Pravita Sari
5. Nur Hidayah

SMP TAKHASUS AL-QUR’AN


KALIBEBER MOJOTENGAH WONOSOBO
TAHUN AJARAN 2012/2013
PENGESAHAN

Karya tulis yang berjudul “Sejarah Perjuangan Para Wali dan Ulama” ini
disetujui dan disahkan pada:

Hari :
Tanggal :
Tempat :

Wonosobo, Januari 2013

Mengetahui,

Pembimbing Wali Kelas

KHOLID HASAN, ST SLAMET RIYONO

Kepala Sekolah

M. NGAFAN MASTUR, S.S

ii
MOTTO

1. Kesempatan datangnya seperti awan, akan cepat berlaku dan hilang. Oleh
karena itu pergunakanlah selagi tampak di hadapanmu.
2. Janganlah engkau menyesal terhadap kegagalan adalah awal dari kesuksesan.
3. Sebaik-baiknya anak ialah anak yang mau mendoakan orang tua dan
kerabatnya.
4. Kejujuran akan membawa kita ke dalam kemakmuran.
5. Ziarah mengigatkan kita akan kehidupan sesudah mati.

iii
PERSEMBAHAN

Karya tulis ini penulis persembahkan kepada:


1. Kedua orang tua kami yang sangat kami sayangi.
2. Bapak Kepala Sekolah, Bapak Ibu Guru serta Karyawan yang telah
menyelenggarakan kegiatan Ziarah ke Makam Walisongo serta pihak yang
telah membantu kami dalam penyusunan laporan kegiatan yang tidak
dapat kami sebutkan satu per satu.
3. Bapak Slamet Riyono, selaku wali kelas IX D.
4. Teman-teman seperjuangan yang kami banggakan.
5. Adik kelas yang tercinta.
6. Pembaca yang budiman.

iv
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Segala puja dan puji syukur kita panjatkan atas ke hadirat ALLAH SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga
kita dapat menyelesaikan tugas karya ilmiah kegiatan ZIARAH WALISANGA ini
tanpa suatu halangan apapun.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini, kami berusaha agar dapat menyajikan
sesempuma mungkin, namun keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang
kami miliki maka penulisan karya ilmiah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu
segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami terima dengan lapang
dada demi menuju kesempumaan karya ilmiah ini.
Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besamya
kepada semua pihak yang telah bersedia membantu dalam penulisan karya ilmiah
ini yang mana ucapan terima kasih ini kami sampaikan kepada :
1. Orang tua yang sangat kami sayangi.
2. Bapak M. Ngafan Mastur, S.S., selaku Kepala Sekolah SMP Takhassus Al-
Qur‟an.
3. Bapak dan Ibu Guru serta Karyawan SMP Takhassus A1-Qur‟an.
4. Teman-teman yang telah membantu menyelesaikan karya ini.
Harapan kami semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi
kami semuanya khususnya dan pembaca pada umumnya. Amiin.
Wassalamui’alaikum Wr. Wb

Kalibeber, ......... Januari 2013

Penulis

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ ii
HALAMAN MOTTO ............................................................................ iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................... v
DAFTAR ISI .......................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Tujuan .................................................................................... 1
C. Metode ................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................... 3
A. Sejarah Singkat Perjuangan Para Wali dan Ulama‟ ............... 3
1. Almaghfurllah Syekh KH. Muntaha Al-Hafidz
2. Sulatan Demak (Raden Patah) ........................................ 4
3. Sunan Kalijaga ................................................................ 5
4. Sunan Kudus ....................................................................
5. Sunan Muria ....................................................................
6. Sunan Bonang ................................................................. 6
7. Sunan Drajad .................................................................. 7
8. Sunan Giri ....................................................................... 9
9. Sunan Gresik .................................................................. 10
10. Sunan Ampel .................................................................. 11
11. K.H. Muhammad Kholil ................................................. 12
12. K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) .............................
B. Pengaruh Peninggalan Para Wali dan Ulama bagi Masyarakat
1. Pengaruh bersifat fisik .................................................... 14
2. Pengaruh bersifat non – fisik .......................................... 14
C. Sifat dan sikap para wali dan ulama yang patut diteladani
Dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan
Bernegara ............................................................................. 15
BAB III PENUTUP ............................................................................... 16
A. Kesimpulan ............................................................................ 16
B. Saran ...................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
BIODATA PENYUSUN ....................................................................... 17

vi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan hasil keputusan dan Rapat Dewan Guru SMP Takhassus


Al-Qur‟an, bahwasanya pada tanggal 16 sampai 18 Desember 2013 akan
diadakan ziarah ke makam para wali dan ulama yang merupakan Program
Tahunan sekolah yang diharap bisa diikuti oleh semua para siswa dan siswi
dalam membuat karya ilmiah yang merupakan salah satu Ujian Praktek Bahasa
Indonesia. Maka dari itu kami berusaha sebaik mungkin menyelesaikan tugas
ini.
Dengan disusunnya karya ilmiah ini, penulis harap juga dapat sedikit
menjelaskan dan mengulas tentang peijuangan para wali dan ulama dalam
menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa ini pada khususnya dan di seluruh
Nusantara pada umumnya. Agar dapat menambah wawasan dan pengetahuan
bagi penulis khususnya maupun bagi pembaca, dengan ini juga penulis ingin
mewujudkan angan-angan dan cita-cita.

B. Tujuan

Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu Ujian Praktek Bahasa
Indonesia dan sebagai penambah wawasan bagi pembaca.

C. Metode
Dalam penulisan karya ilmiah ini, kami menggunakan metode sebagai
berikut:
1. Metode Pustaka
Kami memperoleh bahan ini dengan membaca beberapa buku, di
antaranya :
- Kisah Perjuangan Hidup Walisongo
- Biografi K.H. Muntaha Al-Hafidz

vii
2. Metode Observasi
Selain membaca buku kami juga datang ke makam-makam para
wali secara langsung

viii
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Singkat Perjuangan Para Wali Dan Ulama’


1. Syekh KH. Muntaha Alh

K.H. Muntaha Al-Hafidz atau yang dikenal dengan sebutan Mbah


Mun adalah seorang ulama legendaris dan kharismatik, lahir pada tanggal
9 Juli 1912 dari pasangan K.H. Asy‟ari dan Nyai Hj. Safinah. Berdasarkan
informasi dari berbagai pihak, K.H. Muntaha Al-Hafidz bukan keturunan
keluarga biasa, beliau adalah keturunan keluarga bangsawan, yaitu
keturunan dari Raden Wijaya, yang mana Raden Wijaya adalah salah satu
seorang pengawal dari Pangeran Diponegoro yang berhasil meloloskan
diri dari kejaran tentara Belanda di Magelang Jawa Tengah.
Pertama kali Mbah Mun Al-Hafidz memperoleh pendidikan adalah
tidak lain dari ibunya sendiri. Beliau belajar Al-Qur‟an pertama kali
kepada ibunya sampai fasih membaca Al-Qur‟an. Di samping memperoleh
pendidikan dari ibunya, beliau juga memperoleh pelajaran agama Islam
dari sang ayah, K.H. Asy‟ari.
Setelah usianya menginjak remaja, beliau dikirim untuk belajar di
Madrasah Darul Ma‟arif, Banjamegara. Madrasah Darul Ma‟arif pada
masa itu merupakan lembaga pendidikan Islam modern yang diasuh oleh
K.H. Fadlulloh, seorang ulama yang berasal dari Singapura. Menurut
penuturan dari K.H. Khabibullah Idris, belakangan diketahui bahwa K.H.
Fadlulloh adalah masih satu rumpun keturunan dari K.H. Nida
Muhammad, akan tetapi pada masa nyantri di Banjamegara tersebut belum
diketahui bahwa antara guru dan murid ada hubungan keturunan.
Selepas dari Banjamegara, K.H. Muntaha Al-Hafidz melanjutkan
pendidikan Tahfidzul Qur‟an di Pondok Pesantren Kauman Kaliwungu,
Kendal kepada K.H. Utsman. Di Pesantren Kaliwungu inilah K.H.
Muntaha
Al-Hafidz dapat menyelesaikan hafalan Al-Qur‟annya. Pondok
Pesantren Kaliwungu Kendal adalah merupakan pondok pesantren besar di

ix
wilayah Kabupaten Kendal, yang lebih menitikberatkan pada ilmu
pengetahuan dan pengkajian Kitab Kuning dan A1-Qur‟an.
Selepas belajar di Pondok Pesantren Kaliwungu, K.H. Muntaha
meneruskan pendidikannya di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak
Yogyakarta. Di Krapyak, K.H. Muntaha belajar mengenai llmu-ilmu ke-
A4- Qur‟an-a» kepada K.H. Munawwir. K.H. Munawwir adalah seorang
ulama, yang dikenal alim dalam bidang Al-Qur‟an. Untuk
menyempumakan pengetahuan dan ilmu-ilmu agama, K.H. Muntaha
melanjutkan pendidikannya di Termas, Pacitan, Jawa Timur. Di Pesantren
Termas, K.H. Muntaha belajar ilmu-ilmu agama, kepada K.H. Dimyati.
Sebagaimana diketahui, Pondok Pesantren Termas merupakan pondok
pesantren besar di wilayah Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 1950, K.H. Muntaha pulang kampung, untuk
mengembangkan pesantren keluarganya di Kalibeber. Dengan latar
belakang dan pengalaman pendidikan yang cukup beraneka ragam, K.H.
Muntaha berkeinginan untuk memadukan berbagai pengalaman di antara
lembaga pendidikan yang pemah dipelajarinya.
Salah satu hal menarik dari pemikiran K.H. Muntaha Al-Hafidz
adalah perpaduan antara pendidikan keagamaan dengan pendidikan
formal, yang di beberapa pondok belum sepenuhnya diterima. Tetapi
ternyata, K.H. Muntaha mampu mengembangkan sistem pendidikan ini,
seperti diketahui bahwa lembaga pendidikan seperti SMP, SMA, SMK
adalah lembaga pendidikan formal di Pondok Pesantren Al-Asy‟ariyyah
yang menekankan ketakhassusan Al-Qur‟an dan juga pengetahuan
modem.
Tuntutan penguasaan ilmu pengetahuan baik agama maupun umum
sampai kepada kunjungan beliau ke beberapa negara yang kaya akan ilmu
pengetahuan, seperti Istambul (Turki) di Cina. Kunjungan beliau ke negara
Cina adalah sebagai bukti keingintahuan beliau terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di negeri itu. Beliau
mengatakan bahwa Nabi pemah bersabda : “Carilah ilmu sampai ke negeri

x
Cina” (Al-Hadits). Dari Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa umat Islam
agar selalu mencari ilmu, sekalipun tempatnya itu jauh.
Tidak ada satu pun ciptaan Allah yang kekal, kodrat manusia
adalah kembali kepada-Nya, begitu juga dengan K.H. Muntaha. Setelah
melakukan perjuangan yang cukup lama akhimya pada hari Rabu, 29
Desember 2004, beliau mendapatkan ketenangan abadi di sisi Allah SWT,
dan jasadnya sekarang dimakamkan di Dero, Mojotengah, Wonosobo.

2. Sultan Demak (Raden Patah)

Raden Patah adalah pendiri dan raja pertama di Demak. Pada masa
pemerintahan Raden Patah, Demak megalami perkembangan pesat dengan
bantuan para Wali.
Atas perintah Sunan Ampel, Raden Patah ditugaskan mengajarkan
agama Islam serta membuka pesantren di Desa Glagah Wangi.
Sekitar tahun 1475 M, Raden Patah mulai melaksanakan perintah
gurunya dengan membuka madrasah atau pondok pesantren. Rupanya
Raden Patah menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Lama kelamaan Desa Glagah Wangi ramai dikunjungi orang
bahkan menjadi pusat perdagangan dan akhimya menjadi pusat Kerajaan
Islam pertama di Jawa.
Dalam perkembangannya, Desa Glagah Wangi dijadikan ibukota
negara dengan nama Bintoro Demak. Mengenai nama Bintoro ini terdapat
berbagai pendapat yang berbeda-beda, di antaranya :
a. Menurut keterangan Dr. R.M. Soetjipto Wirjosoeparto
“Demak berasal dari bahasa Kawi yang artinya ialah pegangan
(pemberian) dan kata Bintoro yang rupanya berhubungan dengan
perkataan Betoro yang merupakan gelar dari Dewa Syiwa.”
b. Menurut Prof. Dr. R. Ng. Berbatjara
Menurut bahasa Jawa Kuno, Demak itu artinya hadiah,
sedangkan menurut pendapat Hamka, Demak itu berasal dari bahasa
Arab, yaitu “Dama” yang artinya air mata.

xi
c. Menurut H. Oemar Hoesin
Demak berasal dari bahasa Arab Dimyak, yaitu suatu kota di
Mesir, karena pada zaman Khalifah Fatimiyah, guru-guru agama
banyak yang datang ke Indonesia adalah dari sana.
Akan tetapi, menurut pendapat penulis, Demak berasal dari bahasa
Arab yang artinya Rawa. Hal itu terbukti dari sebagian wilayah Demak
berupa rawa-rawa.
Dan kerajaan Islam pertama di Jawa yang berdiri sekitar tahun
1478 M, hal ini didasarkan atas jatuhnya Kerajaan Majapahit yang diberi
tanda Candrasengkala.
Akan tetapi ada pula yang mengatakan, bahwa Kerajaan Demak
berdiri pada tahun 1518 M. Adapun alasannya ialah karena pada tahun
tersebut merupakan tahun berakhirnya masa pemerintahan Prabu Udara
Brawijaya II, yang kalah perang dengan tentara Raden Patah dari Demak.
Banyak para ahli sejarah yang berselisih mengenai pendapat
tentang tahun berdirinya Kerajaan Demak. Mungkin pada waktu itu
Kerjaan Demak berdiri pada tahun 1478 M akan tetapi baru diakui sah
berdirinya oleh para ahli sejarah pada tahun 1518 M.
Berdirinya Masjid Agung Demak
Berdirinya Masjid Agung Demak adalah berhubungan rapat dengan
berdirinya sejarah kerajaannya. Demak merupakan dari kegiatan para Wali
dalam mengajarkan dan menyebarkan agama Islam di Jawa.
Setelah riwayat mengatakan, bahwa Masjid Agung Demak itu
didirikan pada hari Kamis Kliwon malam Jum‟at bertepatan dengan
tanggal 1 Dzulqo‟dah tahun Jawa 1428.
Akan tetapi di samping itu ada pula pendapat lain tentang
berdirinya Masjid Agung Demak.
a. Pendapat yang mengatakan bahwa Masjid Agung Demak itu didirikan
pada tahun Saka 1388, berdasarkan (angka Sengkala X) Naga Salira
Wani, yaitu pengambilan dari gambar petir yang ada di pintu tengah.

xii
b. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa Masjid Agung Demak itu
didirikan pada tahun Saka 1410, berdasarkan gambar bulus yang
terdapat di penginapan masjid.
Menurut kepercayaan setempat, Masjid Agung Demak memang
didirikan para Wali Wasa dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa
dengan menjadikan Demak sebagai pusatnya.

3. Sunan Kalijaga

R.M. Syahid atau yang kemudian bergelar Sunan Kalijaga adalah


putra dari Ki Tumenggung Wilatika, Bupati Tuban. Adapun yang
mengatakan, bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah R. Sahur
Tumenggung Wilatikta. Dikatakan dalam riwayat, bahwa dalam
perkawinannya dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga
memperoleh 3 orang putra, yaitu :
a. R. Umar Said (Sunan Muria)
b. Dewi Rukayah, dan
c. Dewi Sofiah
Di antara para Walisongo, beliau terkenal sebagai seorang wali
yang berjiwa besar, beliau juga terhitung seorang "Reizende Muballigh" i
Muballigh Keliling).
Kaum cendekiawan dan bangsawan amat simpatik kepada beliau
karena caranya beliau dalam menyebarkan agama Islam yang disesuaikan
dengan aliran zaman. Beliau terkenal sebagai seorang pujangga yang
berinisiatif mengarang cerita-cerita wayang yang disesuaikan dengan
ajaran Islam.
Karena masih banyak yang suka kepada pertunjukan wayang,
gemar akan gamelan dan beberapa cabang kesenian lainnya. Sebab-sebab
inilah yang mendorong Sunan Kalijaga sebagai salah satu muballigh.
Sunan Kalijaga hingga saat ini namanya masih tetap harum sebagai
pujangga, beliau telah banyak mengarang cerita-cerita. Di samping itupun
beliau berjasa bagi perkembangan dan kehidupan wayang kulit yang
sekarang ini.

xiii
Sunan Kalijaga adalah pengarang dan kitab-kitab cerita-cerita
wayang yang dramatis serta diberi jiwa agama. Pada waktu itu para
Walisongo belum menemukan cara yang tepat dalam menyebarkan agama
Islam. Namun Sunan Kalijaga adalah seorang yang berjiwa besar dan
berwawasan luas, serta mampu menentukan cara yang tepat dalam
menyebarkan agama Islam.

4. Sunan Kudus

Beliau terlahir sebagai putra R. Usman Haji yang mempunyai


sebutan Sunan Ngudung di Jipang Panolan. Beliau adalah Ja‟far Shodiq
atau lebih dikenal sebagai Sunan Kudus.
Dalam sejarah kita kenal pula seorang wali yang terkenal di Iran,
yang hidup dalam abad VIII yang namanya Ja‟far Shodiq, seorang imam
Syi‟ah yang keenam. Semasa hidupnya beliau mengajarkan agama Islam
di daerah Kudus, khususnya Jawa Tengah pesisir utara umumnya. Beliau
adalah ulama besar yang terkenal dengan keahliannya dalam ilmu agama,
terutama dalam fak-fak ilmu tauhid, usul, hadits, sastra mantiq dan lebih-
lebih di dalam ilmu fiqih, oleh karena itu beliau diberi gelar Waliyyul
„Ilmi.
Beliau juga termasuk pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-
cerita pendek yang berfilsafat serta berjiwa agama. Di antara buah
citaannya yang dikenal ialah Gending Maskumambang dan Mijil. Di Iran
beliau juga terkenal dalam soal hukum maupun ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, Ja‟far Shodiq yang kita kenal di Iran sebagai
Wali, seorang imam dari golongan Syi‟ah yang amat dipuja kiranya
bukanlah Ja‟far Shodiq yang kita kenal sebagai Sunan Kudus. Di antara
peninggalan beliau yang paling terkenal adalah Masjid Menara Kudus,
karena di halamannya terdapat sebuah menara kuno yang indah. Menurut
cerita adalah dahulu Sunan Kudus pergi haji sambil menuntut ilmu di
tanah Arab. Kemudian beliau juga mengajar di sana. Kemudian di Tanah
Arab terjangkit wabah penyakit yang membahayakan. Kemudian penyakit
tersebut reda berkat Sunan Kudus. Maka seorang Amir berkenan

xiv
memberikan hadiah, namun beliau menolak hanya meminta kenang-
kenangan sebuah batu.
Konon batu tersebut berasal dari Baitul Maqdis/Jerussalem. Maka
sebagai peringatan kepada kita di mana Ja‟far Shodiq hidup, kemudian
diberi nama Kudus. Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itu juga
diberi nama Menara Kudus.
Adapun mengenai nama Kudus (Al-Kudus) ini di dalam buku
Encyclopedia Islam yaitu sebagai berikut:
“Al-Kudus, the usual arabic name for Jerussalem in later times to
older writers call in commonly Bait al-Makdis (according to soma:
Mukaddas) with really meant the temple (of Solomon) a translation of the
Hebre Bethamikdath, but is because applited to the whole town.”
Mengenai perjuangan Sunan Kudus dalam menyebarkan agama
Islam tidaklah berbeda dengan para Wali lainnya, yaitu senantiasa dipakai
jalan kebijaksanaan. Dengan siasat dan taktik yang demikian itu, rakyat
diajak memeluk agama Islam.

5. Sunan Muria

Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga, nama aslinya yaitu


Raden Umar Said. Sunan Muria adalah seorang Wali yang menciptakan
Gending
Sinom dan Kinanthi yang tetap mempertahankan sebagai alat
kesenian Jawa yang bisa diwamai dengan unsur-unsur Islam sebagai
sarana berdakwah.
Pada saat itu Sunan Muria sedang menyebarkan agama Islam di
Malang Selatan. Pada saat itu orang-orang Malang Selatan banyak yang
mengakui Islam KTP, misalnya kalau ada orang yang meninggal dunia
mereka akan mengadakan selamatan dan menyediakan sesajen untuk si
mati.
Selamatan tersebut sering disebut kenduri atau kenduren. Ada
upacara selamatan yang dilakukan menjelang jenazah si mati

xv
diberangkatkan ke kuburan, ada yang dilaksanakan sesudah penguburan
mayat.
Jaman dulu (Hindu, Budha, Animisme, dan Dinamisme) kalau ada
orang mati, pihak keluarga di rumah menyediakan sesaji untuk si mati.
Pihak keluarga di rumah akan menyediakan sesaji di kuburan. Ada yang
dilaksanakan sesudah penguburan mayat.
Jaman dulu (Hindu, Budha, Animisme dan Dinamisme) kalau ada
orang mati, pihak keluarga akan menyediakan sesaji di kuburan.
Ada istilah selamatan ngesor tanah (kenduren setelah mengubur
mayat), ada istilah nelong dinani (kenduren setelah tiga hari mengubur
mayat), ada istilah mitung dinani (kenduren setelah tuju hari mengubur
mayat), ada istilah matang puluh, nyatus dina, mendak pisan, mendak
pindo dan istilah nyewu atau seribu hari kematian si mayit.
Adat istiadat tersebut sangat sukar dihilangkan begitu saja. Maka
Sunan Muria memberi wama Islam. Dengan demikian tidak teijadi
kontradiksi di dalam masyarakat. Wama Islam yang dimaksud adalah
upacara yang sekarang disebut tahlil, yaitu niatnya bersedekah untuk si
mayit dengan cara memberikan kalimat tayyibah serta ayat-ayat Al-
Qur‟an. Ini dimaksudkan untuk menggantikan doa mantra yang biasa
diucapkan para pendeta. Sedang pahalanya diberikan kepada orang yang
mati.
Kalau upacara selamatan itu langsung dihilangkan atau diberantas,
rakyat pasti akan marah karena masih belum mengerti dengan dalam
syariat dan aqidah Islam yang sesungguhnya.
Maka selamatan boleh tetap diadakan namun upacara pembakaran
kemenyan dan membuat sesajen dihilangkan, diganti dengan bacaan dzikir
dan ayat-ayat Al-Qur‟an serta salawat Nabi.
Demikian pula adat selamatan bila si ibu mengandung maupun
melahirkan bayi. Hal itu diberi warna Islam, biasanya dengan cara
membaca salawat Nabi. Demikian perjuangan Sunan Muria di Malang
Selatan.

xvi
6. Sunan Bonang

Sunan Bonang adalah putra dari Sunan Ampel. Beliau memiliki


nama asli Raden Maulana Makdum Ibrahim. Beliau salah seorang besar
yang mengepalai suatu departemen ketika terjadi pembentukan adat yang
berdasarkan Islam, tatkala agama Islam memasuki daerah Minangkabau
dan berpangkat Makdum.
Beliau rupanya Makdum Islam yang datang ke Malaka pada abad
XV ketika Malaka mencapai puncak kejayaan. Selain sebagai Putra Sunan
Ampel, beliau juga sebagai muridnya. Adapun daerah operasinya di Jawa
Timur. Di sanalah beliau mulai berjuang menyebarkan agama Islam.
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng
Manila, seorang putra dari Arya Teja, salah seorang Tumenggung
Majapahit yang berkuasa di Tuban. Menurut prediksi, Sunan Bonang
dilahirkan pada tahun 1465 M, dan wafat pada tahun 1525 M.
Maulana Makdum Ibrahim, semasa hidupnya giat sekali
menyebarkan agama Islam di sekitar Jawa Timur, terutama di daerah
Tuban dan sekitamya. Sebagaimana halnya ayahnya, maka Sunan Bonang
pun mendirikan pondok pesantren di daerah Tuban untuk mendidik serta
menggembleng kader-kader Islam yang akan ikut menyiarkan agama
Islam ke seluruh tanah Jawa. Beliau ini juga yang menciptakan Gending
Dharma, setelah berusaha mengganti nama-nama hari nahas/sial menurut
kepercayaan orang Hindu, serta nama-
nama Dewa diganti dengan nama-nama Malaikat dan Nabi-nabi.
Hal ini dimaksudkan agar orang-orang kenal dan masuk Islam.
Menurut filsafat Ketuhanannya adalah :
“Adapun pendirian saya ialah bahwa iman, taubid/makrifat itu
terdiri dari pengetahuan yang sempuma. Sekiranya orang hanya mengenak
makrifat saja, maka belumlah cukup sebab ia masih insaf akan itu. Maksud
saya ialah, bahwa kesempumaan barulah akan tercapai hanya dengan terus
menerus mengabdi pada Tuhan. Seseorang itu tidak mempunyai gerakan
sendiri, begitu pula tidak mempunyai kemauan. Dan seseorang itu
diumpamakan Buta, Tuli, Bisu. Segala gerakannya itu datang dari Allah.”

xvii
Ada juga kitab yang disebut Suluk Sunan Bonang yang berbahasa
prosa Jawa Tengahan, namun terpengaruh dengan bahasa Arab. Isinya
adalah ajaran Islam, kemungkinan besar adalah pelajaran yang diajarkan
kepada murid-muridnya. Pada masa hidupnya Sunan Bonang pemah pergi
belajar ke Pasai. Dan sepulangnya ia memasukkan ajaran Islam ke
kalangan bangsawan Keraton Majapahit serta mempergunakan Demak
sebagai tempat berkumpul murid-muridnya.
Siasat Sunan Bonang ialah memberi didikan Islam kepada Raden
Patah putra dari Brawijaya VI di Kerajaan Majapahit. Rupanya Sunan
Bonang berhasil mendirikan Kerajaan Islam di Demak. Hanya sayang
sekali harapan beliau agar supaya Demak dapat menjadi pusat agama
Islam untuk selama-lamanya kiranya tidak berhasil.

7. Sunan Drajad

Nama asli Sunan Drajat adalah Raden Qosim, dan ada juga yang
menyebut Raden Syarifudin. Beliau adalah putra Sunan Ampel dengan
Dewi Candrawati yang lahir di Surabaya.
Raden Qosim ditugaskan ayahnya berdakwah di sebelah barat
Surabaya, tepatnya di daerah Drajad sehingga terkenal dengan sebutan
Sunan Drajad.
Beliau berangkat dengan menaiki perahu melalui Gresik menuju ke
arah Barat. Dalam perjalanan melalui laut itu, perahu yang dinaiki Raden
Qosim diserang badai sehingga hancur dan karam. Dalam keadaan kritis
tersebut, Raden Qosim ditolong Ikan Talang. Dengan naik punggung ikan
itu beliau dapat selamat dari keganasan ombak laut.
Ikan itu membawa beliau ke tepi pantai di Dusun Jelag Kecamatan
Paciran Kabupaten Lamongan. Di sana beliau membuka sebuah pesantren,
karena cara dakwah yang lunak, tutur kata dan budi bahasa yang halus,
serta sikap yang sopan dan ramah-tamah, maka banyak orang-orang yang
berdatangan untuk berguru kepada beliau.
Selama satu tahun di Jelag, Raden Qosim mendapat petunjuk agar
menuju ke selatan. Di sana beliau mendirikan langgar untuk berdakwah.

xviii
Lalu tiga tahun kemudian, beliau mendapat petunjuk dari Allah agar
mencari tempat strategis untuk berdakwah, yaitu sebuah bukit yang
kemudian dinamakan Dalem Duwur. Sekarang di tempat itu didirikan
museum yang cukup megah. Letak museum itu tidak jauh dari makam
beliau.
Di tempat yang disebut Dalem Duwur itu, para pengikut Raden
Qosim semakin banyak, karena cara menyiarkan agama Islam yang
dilakukan dengan cara damai. Orang dikumpulkan dengan cara menambah
seperangkat gamelan, kemudian baru diberi ceramah agama Islam.
Makin hari nama Raden Qosim semakin terkenal. Orang-orang
semakin menaruh hormat kepadanya, derajatnya makin tinggi, lagi pula
beliau tinggal di tempat yang tinggi (bukit) maka masyarakat sekitar
kemudian menyebutkan Sunan Drajad.
Di antara terjemahan ajaran Sunan Drajad yang terkenal untuk
menganjurkan masyarakat agar berjiwa sosial adalah :
a. Berikanlah tongkat kepada orang yang buta.
b. Berikanlah makan kepada orang yang lapar.
c. Berikanlah pakaian kepada orang yang telanjang.
d. Berikanlah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan.
Itulah ajaran Sunan Drajad yang terkenal di kalangan rakyat. Sunan
Drajad dikenal sebagai salah seorang anggota Walisongo, dan ikut
mendirikan Kerajaan Islam Demak.
Makam beliau terletak di Desa Drajad Kecamatan Paciran
Kabupaten Lamongan.

8. Sunan Giri

Jaka Samudra, Prabu Sakmaka yang berjiwa seni adalah sebutan


dari Sunan Giri. Beliau adalah putra Syekh Maulana Ishaq atas
perkawinannya dengan Dewi Sekardadu, putri dari Prabu Menak
Sembayu, raja dari Negeri Blambangan. Waktu itu Negeri Blambangan
sedang dilanda musibah, yaitu berupa wabah penyakit yang menyerang

xix
rakyat dan Dewi Sekardadu. Wabah itu dapat dihentikan oleh Syekh
Maulana Ishaq.
Putri Raja Blambangan atau Dewi Sekardadu dapat disembuhkan,
raja dan permaisuri sangat gembira. Akhimya seluruh rakyat Blambangan
masuk Islam dan Syekh Maulana Ishaq dinikahkan dengan Dewi
Sekardadu. Ketika Dewi Sekardadu hamil 7 bulan, Syekh Maulana Ishaq
berpamitan akan pergi ke Negeri Pasai. Syekh Maulana Ishaq berpesan
jika lahir anak laki-laki diberi nama Raden Paku.
Patih Banjul menyebar fitnah kepada Prabu Menak Sembayu
bahwa wabah penyakit dayang kembali akibat anak yang dikandung oleh
Dewi Sekardadu dan menghasut Raja Blambangan untuk menyingkirkan
bayinya.
Akhimya Raja Blambangan mengutus prajurit memasukkan bayi
yang baru beberapa hari itu ke dalam peti dan dibuangnya ke laut. Setelah
kejadian itu Dewi Sekardadu jatuh sakit dan akhimya meninggal.
Telah cukup umur, akhimya Jaka Samudra dititipkan oleh Sunan
Ampel dan menatap di pesantren Sunan Ampel. Keajaiban pun terjadi
pada diri Jaka Samudra, pada waktu tertidur terlihat cahaya yang
memancar pada
diri seorang santri Sunan Ampel yang tidak lain adalah Jaka
Samudra. Sunan Ampel semakin memberi perhatian khusus kepada Jaka
Samudra. Atas pertemuan itu akhirnya diketahui bahwa Jaka Samudra
adalah putra dari Syekh Maulana Ishaq.
Sesuai apa yang diwasiatkan oleh Syekh Maulana Ishaq kepada
Sunan Ampel maka nama Jaka Samudra diubah menjadi Raden Paku.

9. Sunan Gresik (Syekh Maulana Malik Ibrahim)

Menurut dari beberapa sumber sejarah, bahwasanya Syekh


Maulana Malik Ibrahim berasal dari Gujarat, ada yang mengatakan dari
Iran serta ada juga yang mengatakan dari Arab dan Turki. Beliau masih
keturunan Zainal Abidin bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a.

xx
Pada tahun 1404 M, beliau menyiarkan agama Islam ke Pulau Jawa
tepatnya di Kota Gresik, Jawa Timur. Pada saat itu juga Jawa masih
dikuasai Kerajaan Majapahit. Syekh Maulana Malik Ibrahim disebut juga
Kakek Bantal karena seorang tokoh ahli tata negara. Pada saat itu
masyarakat Jawa mayoritas masih beragama Hindu dan Budha, maka tentu
saja untuk menyampaikan agama Islam kepada mereka harus
membutuhkan pengalaman yang cukup dan bijaksana serta kesabaran.
Agama dan adat istiadat mereka tidak ditentang dengan begitu saja. Beliau
memperkenalkan budi pekerti yang diajarkan Islam dan juga secara
langsung beliau memberi contoh dalam masyarakat akan tutur kata yang
sopan, lemah lembut, dan santun pada fakir miskin, menghormati kepada
yang lebih tua dan menyayangi yang muda, sehingga dikatakan rakyat,
beliau tersohor sebagai orang yang baik budinya dan dermawan.
Syekh Maulana Malik Ibrahim dan para pengikutnya menyebarkan
Islam di daerah Gresik dan sekitarnya sampai wafatnya beliau. Beliau
wafat pada hari Senin, 12 Rabi'ul Awal tahun 822 H atau 1419 M. Beliau
dimakamkan di Gresik. Dan pada batu nisan beliau tertulis dengan tulisan
Arab yang terdiri dari :
a. Surat Al-Baqarah ayat 255
b. Surat Al-Imron ayat 185
c. Surat Ar-Rahman ayat 26 dan 27
d. Surat At-Taubah ayat 21 dan 22

10. Sunan Ampel

Nama asli Sunan Ampel adalah Sayyid Ali Rahmatullah atau biasa
dikenal Raden Rahmat. Beliau lahir di Campa pada tahun 1401. Ayahnya
bernama Syekh Ibrahim As-Samarqandi dan ibunya bernama Dewi
Candrawulan, putri Raja Campa.
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat pada tahun 1919, para
wali kebingungan untuk mencari penggantinya. Atas usul Syekh Maulana
Ishaq, Raden Rahmat didatangkan untuk menggantikan Syekh Maulana
Malik Ibrahim. Raden Rahmat sudah berkali-kali mengajak Prabu

xxi
Brawijaya masuk Islam, namun Prabu Brawijaya enggan menerima Islam
sebagai agamanya, karena ia ingin menjadi raja Budha yang terakhir di
Majapahit. Kendati sang prabu tidak menghalangi agama Islam masuk ke
negaranya. Prabu Wijaya merasa senang dan suka kepada Raden Rahmat
karena tutur katanya yang ramah dan lemah lembut. Raden Rahmat
disuruh memilih sekian bayu putri di Majapahit untuk dijadikan istrinya,
ternyata Raden Rahmat memilih Dewi Cendrawati sebagai istrinya dan
Prabu Wijaya pun memberi tanah kepada Raden Rahmat yang terletak di
Desa Ampel Denta. Di situlah Raden Rahmat mendirikan pesantren,
murid-muridnya kebanyakan dari bangsawan dan putra adipati kerajaan.
Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Raden B antara Katong
(Adipati Ponorogo yang pertama), Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Drajat, Sunan Kalijaga dan lain-lain. Beliau wafat pada tahun 1478.

11. KH. Muhammad Kholil (Bangkalan Madura)

Bangkalan, ujung barat Pulau Madura pada tahun 1820 (11


Jumadil Akhir 1235 H). K.H. Cholil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya
bernama K.H. Abdul Latif. Beliau masih mempunyai pertalian darah
dengan Sunan Gunung Jati. Pendidikan agama diperoleh langsung dari
keluarganya. Menjelang dewasa ia dikirim ke pesantren.
Ketika usianya menjelang 30 tahun sekitar tahun 1850, K.H. Cholil
belajar kepada K. Muh. Nur di Pesantren Langitan Tuban Jawa Timur.
Dari
Langitan pindah ke Cangan Bangil Pasuruan, kemudian pindah lagi
ke Pesantren Kebon Candi.
Pada tahun 1855, K.H. Cholil melanjutkan studinya ke Mekkah, di
sana beliau bertemu dengan Syekh Nawai Banten, Syekh Ahmad Khatib
Minangkamau, Syekh M. Yasin Padang. K.H. Cholil terkenal dengan ahli
fiqih dan tauhid. Setelah kepulangannya dari Mekkah, kemudian K.H.
Cholil dipandang berhasil memadukan dua disiplin ilmu tersebut, yang
satu sama lain cenderung dianggap saling bertentangan menurut kalangan
Islam tradisionalis. Untuk menggabungkan pengetahuan keislaman yang

xxii
diperoleh, K.H. Cholil mendirikan pesantren di Cengkuban sekitar 1
kilometer barat laut, yang kemudian diserahkan kepada menantunya Kyai
Muntaha. Adapun beliau kembali ke pesantren di pusat kota ± 200 meter
sebelah alun-alun Kota Bangkalan.
Sebagai tokoh yang hidup di masa kolonial, K.H. Cholil dari
keterlibatan penjajah. Tentu saja K.H. Cholil tidak terjun langsung,
melainkan lebih banyak berperan di balik layar sebagai tokoh kharismatik.
Selain itu, K.H. Cholil banyak mencetak kader-kader pemimpin umat, di
antara mereka yang kemudian menjadi pemimpin dan tokoh agama
terkemuka adalah:
a. K.H. Hasyim Asy‟ari (Pendiri PP Tebu Ireng, Jombang dan Pendiri
NU)
b. K.H. Bisri Syamsuri (Pendiri PP Denanyar, Jombang)
c. K.H. Bisri Mustofa (Pendiri PP Rembang)
d. K.H. As‟ad Samsul Arifin (Pengasuh PP Asem Bagus, Situbondo)
K.H.M. Cholil wafat tahun 1925 (29 Ramadhan 1343 H) dalam
usia yang sangat lanjut, 108 tahun dan dimakamkan di Bangkalan,
Madura.

12. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Abdurrahman “Addakhil”, demikian nama lengkapnya. Secara


leksikal, “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil
Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang
telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata
“Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, Abdurrahman
Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus”
adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai
yang berati “abang” atau “mas”.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang
dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus
1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya,
K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy‟ari, pendiri jam‟iyah

xxiii
Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan
pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah
adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri.
Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais
„Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian,
Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh
bangsa Indonesia.
Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah
berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga
keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru
telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan
berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah
kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini
memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama
Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai
berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang
sering mangkal di rumahnya.
Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat
bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki
kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April
1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa
Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang
pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami
kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal.
Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca
dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga
aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun
Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan
buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak
hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana

xxiv
tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari
perhatianya.
Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola,
catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah
diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran
lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop.
Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia
film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat
sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan
Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai
meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren
Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum
berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya,
yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan
ketika ia berada di Mesir
Pengalaman Pendidikan
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H.
Hasyim Asy‟ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan
membaca al-Qur‟an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-
Qur‟an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal
di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda.
Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk
Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah
pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik
yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan
Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan
mencintai musik klasik.
Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan
lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima
hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah
mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya

xxv
wajar jika pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai
berbagai media massa.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya
untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren
Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan
tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula
pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang
hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal
di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang
yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh
mengaji pada K.H. Ma‟sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan
pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan
anggota Muhammadiyah lainnya.
Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi
membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong
oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu
satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa
Inggris.
Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest
Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia
juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre
Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti:
Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga
melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul „The Story of
Civilazation‟. Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa
Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk
menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice
of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai
dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota
Partai Komunis-memberi buku karya Lenin „What is To Be Done‟ . Pada
saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah

xxvi
mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan
sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi
dan keluasan wawasan Gus Dur.
Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren
Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H.
Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai
Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan
menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini
pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para
wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa
seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-
heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan
kemampuannya dalam berhumor dan berbicara.
Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik
yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta
akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri
yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan
minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan,
tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-
hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada
umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo.
Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur
pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat
itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya,
K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua
keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk
menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk
melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir,
ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas
al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan).
Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang
telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus

xxvii
Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi
Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-
buku yang dikehendaki.
Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di
Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang
nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual.
Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan yang
cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern
yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam
Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970.
Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda
dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan
rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang
sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana
orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan
membaca hampir semua buku yang ada di Universitas.
Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam
keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri
jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-
Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di
sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang
terjadi di Irak, ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus
Dur pada saat itu. Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab,
khususnya kepada Saddam Husain sebagai salah satu tokohnya, menjadi
luntur ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh.
Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan
studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam
bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus
menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping
bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah
melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke
universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam

xxviii
bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan
Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali
sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal
tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk
mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya
ia kembali ke Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik
sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur
berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki
kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya.
Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya
pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di
Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik
itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan
menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang
dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru
dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian
dipertahankan di hadapan sidang akademik.
Perjalanan Karir

Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke


Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini
bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga
tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada
tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni
bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut
gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak. Djohan
Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus
Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya,
kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri. Sehingga tidak heran
jika tulisan-tulisannya jarang menggunakan foot note.
Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim
untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi
sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi

xxix
nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan,
baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam
kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab
Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren,
kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis
Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya
sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi
dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik
dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur
semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan
kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap
„menyimpang‟-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus
pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua
juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.
Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim
ahl hall wa al-‟aqdi yang diketuai K.H. As‟ad Syamsul Arifin untuk
menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di
Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di
pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa
Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus
Dur menjabat presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-
nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh
lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu,
khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya.
Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan
yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid.
Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam
pembahasan ini adalah menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti
1991-1999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan,
khususnya kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur

xxx
menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan menuduh organisai kaum „elit
Islam‟ tersebut dengan organisasi sektarian.
Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa
kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya,
bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang
ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda.
Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan
hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis,
fundamentalis, sampai moderrnis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur
mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh
basa-basi, sampai denga budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal.
Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang
konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami.
Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia
pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang
penuh etik, formal, dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur
Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann
Agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang
liberal-radikal. Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur
banyak dipengaruhi oleh para pemikir Barat dengan filsafat
humanismenya. Secara rasa maupun praktek prilaku yang humanis,
pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil
besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah
dari Tambak Beras, KH. Ali Ma‟shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori
dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat
peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan.
\Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya.
Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat
hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua,
dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang
liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan

xxxi
membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh
membentuk pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan
dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu
kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan
luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas
tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.
Penghargaan
- Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)
- Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
- Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi
dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne
University, Paris, Perancis (2000)
- Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat
University, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok,
Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok,
Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang
(2002)
- Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University,
Israel (2003)
- Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul,
Korea Selatan (2003)
- Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan
(2003)
- Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)
- Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya
mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
- Bapak Tionghoa Indonesia (2004)
- Pejuang Kebebasan Pers

xxxii
B. Pengaruh Peninggalan Para Wali dan Ulama
1. Pengaruh yang Bersifat Fisik

Seperti yang telah kita ketahui bahwa peninggalan para Wali dan
Ulama tidaklah sedikit jumlahnya. Banyak peninggalan-peninggalan dari
Wali dan Ulama yang sangat berpengaruh bagi masyarakat Indonesia.
Sebagai salah satu contoh yaitu julukan yang diberikan kepada Kota
Demak sebagai Kota Wali. Di antara lainnya, penggunaan salah satu nama
dari Walisongo yang digunakan sebagai salah satu nama Universitas di
Indonesia, dijadikannya tempat-tempat sejarah para Wali sebagai obyek
wisata. para Wali dan Ulama pun juga meninggalkan beberapa tempat-
tempat ibadah, Masjid Agung Demak sebagai salah satu contoh. Selain itu,
adanya alat-alat kesenian tradisional yang ada di Jawa seperti alat-alat
musik (gamelan), wayang kulit, dan tembang-tembang dolanan yang
merupakan karya seni dari para Wali. Berkembangnya upacara-upacara
adat Jawa sama dengan ajaran Islam yang disebarkan oleh para Wali.
Dalam bentuk lain juga ada pesantren- pesantren yang sampai saat ini juga
masih digunakan untuk memproduksi
generasi-generasi penerus Islam, yang nantinya akan menggantikan
peran dari para Walisongo dan ulama itu.

2. Pengaruh yang Bersifat Non-Fisik


Dalam segi non fisik, pengaruh para Wali dan Ulama bagi
masyarakat Indonesia juga tidak sedikit jumlahnya. Salah satunya yaitu
mulai hilangnya adat istiadat lain dari masyarakat Indonesia. Selain itu
pengaruh para penganut Hindu-Budha di Indonesia sedikit demi sedikit
mulai menurun dan ajaran Islam mulai menyebar hampir ke seluruh tanah
air Indonesia. Dan mulai tumbuhnya rasa persaudaraan, persatuan dan
kesatuan dan masyarakat Indonesia untuk mempertahankan tanah
kelahiran dari penjajah bangsa lain. Tidak luput pula bahwa bertambahnya
para penganut agama Islam juga dikarenakan peranan para Wali dan
Ulama.

xxxiii
C. Sifat dan Sikap Para Wali dan Ulama yang Patut Diteladani dalam
Kehidupan Beragama, Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara

Dalam kehidupan beragama, mereka tidak pemah bersikap semena-


mena terhadap adat istiadat lama, termasuk agama yang sudah datang lebih
dahulu ke Indonesia. Bahkan mereka dapat membina tali persaudaraan yang
erat kepada para penganut agama lainnya. Hal inilah yang menjadikan agama
Islam dengan cepatnya tersebar luas ke seluruh Indonesia.
Di dalam kehidupan bermasyarakat mereka dapat bergaul dengan
masyarakat luas untuk mewujudkan tentang kemuliaan dan keistimewaan
ajaran bersedia dan mengikuti mereka ke dalam ajaran agama Islam.
Bahkan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mereka selalu
membina persatuan dan kesatuan untuk membuat bangsa dan negara kita ini
menjadi adil, makmur dan sejahtera. Dan dapat hidup aman, tenteram dan
bahagia.

xxxiv
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari beberapa sejarah Walisongo dan Ulama yang tertuang dalam
karya ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa, perjuangan Walisongo dan Ulama
tidaklah mudah. Mereka harus berpikir keras untuk dapat menarik simpati
masyarakat atau mau masuk dan mengikuti ajaran Islam. Seperti Sunan
Gunung jati bersama R. Fatahillah yang memerangi dan yang berhasil
mengusir Portugis di daerah Sunda Kelapa dan K.H. Muntaha, Alh. yang
berusaha keras menarik simpati masyarakat dengan cara mendirikan beberapa
lembaga pendidikan, SMP, SMA, SMK dan IIQ yang sekarang menjadi
UNSIQ. Dan perlu diketahui bahwa Walisongo dan Ulama memiliki siasat
dan taktik tersendiri untuk menyebarkan agama Islam, seperti Sunan Kudus
yang menempuh jalan kebijaksanaan. Sunan Bonang yang menggunakan
kesenian dan juga Sunan Drajad yang membuka sebuah pesantren dan masih
banyak lagi sunan-sunan yang lainnya.

B. Saran dan Kesan


1. Saran
Setelah membaca sejarah singkat Walisongo dan Ulama‟ dalam
karya ini, kami berharap agar pembaca yang budiman dapat meneladani
dan memetik hikmah dari kisah-kisah tersebut.
Marilah kita bersama-sama sedikit demi sedikit belajar meniru
sikap para wali dan ulama yang pastinya akan membawa kita kepada sikap
dan perilaku yang terpuji, seperti yang telah dicontohkan Sunan Gresik
kepada masyarakat yang langsung beliau praktekkan dengan tutur kata
yang sopan, lemah lembut, santun kepada fakir miskin, menghormati yang
lebih tua dan menyayangi kepada yang lebih muda, sehingga di kalangan
rakyat, beliau tersohor sebagai orang yang baik budinya dan dermawan.
Selain bersikap baik, kita juga dapat memiliki jiwa seni. Seperti
Sunan Bonang yang menciptakan sebuah gending darma setelah berusaha
mengganti nama-nama hari nahas/sial serta nama-nama dewa kepercayaan
orang Hindu diganti dengan nama-nama Malaikat dan Nabi. Hal ini

xxxv
dimaksudkan agar orang kenal dan masuk Islam serta masih banyak lagi
teladan yang perlu kita tiru.
2. Kesan
Setelah terselesainya kegiatan ziarah ini, kami jadi lebih mengerti
dan lebih bisa mendalami tentang bagaimana sejarah para Walisongo
dalam menyebarkan Islam terutama di Tanah Jawa. Terlebih kita juga
bersyukur bisa mendatangi dimana tempat-tempat asal perjuangannya,
kegigihannya serta semangat yang berkobar menjadi modal utama para
wali dalam berperang melawan yang batil dan membela yang haq.
Ternyata perjuangan mereka tidak semudah yang kita bayangkan. Mereka
rela mengorbankan segalanya demi agama Allah. Subhanallah ........

xxxvi
DAFTAR PUSTAKA

Fairus, Muhammad. 2005. Koleksi Kisah Walisongo dan Karamahnya. Surabaya :


Pustaka Media.
Khalid, M.A., Abu. 2005. Kisah Walisongo. Surabaya : Karya Ilmu.
Salam, Solichin. 1960. Sekitar Walisongo. Kudus : Menara Kudus.
Syamsudi. Baidlowi. 1995. Kisah Walisongo. Surabaya : Apollo.
Wahyudi, Asnan. 1996. Kisah Bergambar Walisongo. Surabaya : Karya Ilmu.
Yasin, Drs., Sulchan. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya :
Amanah. sumber: http://wiwitfatur.wordpress.com/2009/04/21/biografi-
abdurrahman-wahid/

xxxvii
BIOGRAFI PENULIS

1. Nama : Lin Mungazza Millata S


TTL : Wonosobo, 07 Juni 1998
Alamat : Jambean, Mojotengah, Wonosobo
Motto : Berolahraga dapat menyehatkan badan

2. Nama : Madina Futia Aziz A


TTL : Wonosobo, 26 Januari 1998
Alamat : Kota Baru, Banjar Masin, Kalimantan Selatan
Motto : Man Jadda wa Jadda

3. Nama : Maulatul Izza


TTL : Pekalongan, 18 September 1998
Alamat : Kertijayan, Buaran, Pekalongan
Motto : Pupuklah ilmu dan selalu berfikiran positif agar cita-cita
dapat diraih.

4. Nama : Mita Pravita Sari


TTL : Semarang, 11 Juni 1998
Alamat : Kupang Jetis, Ambarawa, Semarang
Motto : Janganlah mudah menyerah sebelum mencobanya
mudah.

5. Nama : Nur Hidayat


TTL : Banjar negara, 04 April 1998
Alamat : Pekasiran, Batur, Banjar negara
Motto : Janganlah berjalan mengikuti sungai karena sungai
hanya mengikuti arusnya. Berjalanlah seperti langit
yang indah.

xxxviii

Anda mungkin juga menyukai