1. Bagaimana kondisi pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia?
Pada tataran praktiknya, kondisi pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia cenderung
memprihatinkan. Banyak persoalan yang menghambat tegaknya supremasi hukum di Indonesia dengan berbagai persoalan yang menerpa, mulai dari tidak optimalnya pemberian bantuan hukum yang disebabkan mentalitas para Advokat/LBH di Indonesia yang dalam menangani kasus masih tebang pilih dan berorientasi pada kasus-kasus masyarakat menengah ke atas dengan nominal angka yang tinggi demi gengsi dan harga diri. Kemudian, minimnya kesadaran akan hukum yang berlaku tidak hanya menimbulkan konsekuensi berupa pelanggaran hukum saja, melainkan berpotensi menghambat keinginan masyarakat untuk memperoleh keadilan, terkhusus bagi masyarakat miskin yang notabene dihantui ketidaktahuan akan pentingnya memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan di hadapan hukum atau equality before the law. Belum lagi ditambah dengan benturan kepentingan antara pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dengan aparat penegak hukum itu sendiri. Padahal berdasarkan Pasal 1 ayat (1) konstitusi, negara Indonesia merupakan negara hukum sehingga dalam rangka memastikan tegaknya supremasi hukum, diharamkan adanya kesewenang- wenangan atau tindakan diskriminasi di hadapan hukum, terlebih kepada hak-hak warga negara terutama bagi kelompok masyarakat marjinal. Dalam hal ini, negara harus menjamin setiap warga negara berkedudukan setara di hadapan hukum sebagaimana prinsip equality before the law. Seluruh warga negara yang dihadapkan pada suatu permasalahan hukum, sudah seharusnya diperlakukan sama sebab seluruh warga negara berhak untuk mendapatkan keadilan. Dalam rangka mewujudkan harapan dan cita-cita tersebut, maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 16 Thaun 2011 tentang Bantuan Hukum.
2. Apa permasalahan utamanya?
Pemberian bantuan hukum secara implementatif masih menemui berbagai permasalahan
serius yang memberikan konsekuensi sulit terwujudnya access to law and justice bagi masyarakat terutama kelompok masyarakat marjinal. Beberapa problematika utama yang menghambat akses bantuan hukum bagi masyarakat diantaranya sebagai berikut :
a. Belum optimalnya pemberian bantuan hukum dalam tataran praktik oleh
LBH/advokat Dalam hal ini terdapat dua persoalan utama yang menyebabkan tidak optimalnya pemberian bantuan hukum yang dilakukan oleh LBH/advokat. Pertama, kecenderungan menghindari perkara hukum rakyat miskin dengan berbagai alasan yang tidak objektif. Sebagian advokat dan beberapa LBH cenderung memprioritaskan pembelaan terhadap klien mereka yang secara ekonomi masuk dalam kategori menengah keatas ketimbang membela rakyat miskin. Hampir sebagian advokat enggan menyediakan bantuan hukum/pembelaan secara pro bono publicio atau legal aid secara cuma-cuma dengan alasan yang tidak objektif. Masih ada sebagian LBH berikut advokatnya yang berorientasi pada nominal ketika menerima dan memeriksa suatu perkara hukum. Kedua, profesi advokat di Indonesia identik dengan persaingan gengsi antar advokat, konsekuensinya adalah sebagian advokat hanya akan menangani permasalahan hukum yang sekiranya dapat meningkatkan ‘pamor’ advokat yang bersangkutan sehingga cenderung mengabaikan terhadap perkara-perkara rakyat miskin yang notabene bukan perkara hukum yang besar. Padahal, bantuan hukum dihadirkan tanpa memandang problematika hukum yang akan ditangani dan subjek yang hendak dibela, melainkan bagaimana masyarakat miskin memperoleh hak untuk mencapai access to law and justice manakala mereka dihadapkan pada suatu persoalan hukum. b. Minimnya kesadaran hukum kelompok masyarakat marginal Minimnya kesadaran akan hukum yang berlaku tidak hanya menimbulkan konsekuensi berupa pelanggaran hukum saja, melainkan berpotensi menghambat keinginan masyarakat untuk memperoleh keadilan, terkhusus bagi masyarakat miskin yang notabene dihantui ketidaktahuan akan pentingnya memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan di hadapan hukum atau equality before the law. Bilamana masyarakat marginal masih cenderung pasif pada level praktiknya akibat terbatasnya pengetahuan terhadap hukum, maka optimalisasi pemberian bantuan hukum tidak akan berfungsi secara maksimal.
c. Access to justice yang disediakan LBH seringkali berbenturan dengan aparat
penegak hukum Masih banyak terjadi kasus benturan kepentingan antara pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dengan aparat penegak hukum itu sendiri. Dalam konteks ini, kerap kali terjadi penangkapan secara sewenang-wenang terhadap mahasiswa yang melakukan aksi unjuk rasa, yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yaitu pihak kepolisian. Benturan kepentingan terjadi ketika pihak LBH yang pada dasarnya konsisten mengawal aksi unjuk rasa para mahasiswa tidak diperkenankan masuk ke kantor kepolisian untuk mendampingi para mahasiswa yang tertangkap aparat kepolisian. Kepentingan pendampingan hukum oleh LBH membentur “pagar betis” aparat kepolisian dengan dalil bahwa penangkapan dilakukan demi kepentingan umum.
d. Minimnya pengawasan terhadap penerapan bantuan hukum
Hal yang perlu dikritisi dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yaitu belum mengakomodir ketentuan pengawasan dalam proses pemberian bantuan hukum. Padahal, fungsi pengawasan dinilai sangat penting dalam menjamin agar pemberian bantuan hukum berjalan sesuai peruntukkannya.
3. Bagaimana penyelesaian masalah tersebut, seperti apa solusinya?
Menurut pandangan saya pribadi, solusi yang dapat diterapkan berdasarkan
permasalahan utama terkait pelaksanaan bantuan hukum diatas antara lain : a. Mengubah mindset para Advokat/LBH dalam menangani suatu kasus agar tidak berorientasi kepada nominal, gengsi, dan harga diri saja, melainkan lebih mengutamakan perkara-perkara yang orientasinya pada kepentingan masyarakat miskin. Perubahan mindset tersebut dapat diterapkan pada individu yang sedang mengenyam pendidikan advokat, dengan menyelipkan dan menekankan materi-materi yang pro terhadap masyarakat marjinal. b. Meskipun minimnya kesadaran hukum masyarakat miskin memang sudah menjadi problematika bangsa Indonesia yang telah mendarah daging, namun tidak henti-hentinya diri saya pribadi menyarankan agar dalam konteks ini negara lah yang harus bertindak aktif merangkul masyarakat menengah kebawah. Konkretnya, pemerintah semestinya senantiasa menyelenggarakan sosialisasi terhadap hukum maupun peraturan perundang- undangan yang baru dan yang secara langsung akan berimplikasi terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat miskin. c. Benturan yang terjadi antara aparat penegak hukum (kepolisian) dengan pihak LBH kerap kali dimulai dengan tindakan sewenang-wenang pihak aparat penegak hukum yang melarang pihak LBH untuk melakukan pendampingan terhadap tersangka, padahal mendapatkan pendampingan hukum merupakan hak sepenuhnya dari tersangka. Oleh karena itu perlu adanya koordinasi yang langsung menuju ke pusat, dalam hal ini antara LBH yang bersangkutan dengan petinggi kepolisian (Kapolri) untuk memerintahkan bahkan menindak tegas anggotanya yang tidak memperkenankan pemberian bantuan hukum terhadap tersangka. Tindakan tegas Kapolri akan memberikan efek jera terhadap anggota polri secara keseluruhan, agar tidak terjadi kasus yang sama lagi di seluruh penjuru wilayah. d. Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum rasanya perlu dilakukan sebab undang-undang tersebut belum mengakomodir ketentuan pengawasan dalam proses pemberian bantuan hukum. Padahal fungsi pengawasan dinilai sangat penting dalam menjamin agar pemberian bantuan hukum berjalan sesuai peruntukkannya, dan perlu aturan yang konkret sebagai payung hukumnya. Referensi :
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
Triwulandari, A. M. (2020). Problematika Pemberian Bantuan Hukum Struktural dan Non
Struktural Kaitannya dengan Asas Equality Before The Law. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 14(3), 539-552.
Al-Muhajir, A. (2019). Problematika implementasi bantuan hukum di indonesia. LISAN AL-
HAL: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, 13(2), 341-366.