Anda di halaman 1dari 5

Nama : Muhammad Fakhri Avicenna

NIM : 8111419165

Mata Kuliah : Kemahiran Bantuan Hukum

Dosen Pengampu : Ridwan Arifin, S. H., LL. M

TUGAS

1. Bagaimana kondisi pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia?

Pada tataran praktiknya, kondisi pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia cenderung


memprihatinkan. Banyak persoalan yang menghambat tegaknya supremasi hukum di
Indonesia dengan berbagai persoalan yang menerpa, mulai dari tidak optimalnya pemberian
bantuan hukum yang disebabkan mentalitas para Advokat/LBH di Indonesia yang dalam
menangani kasus masih tebang pilih dan berorientasi pada kasus-kasus masyarakat menengah
ke atas dengan nominal angka yang tinggi demi gengsi dan harga diri. Kemudian, minimnya
kesadaran akan hukum yang berlaku tidak hanya menimbulkan konsekuensi berupa
pelanggaran hukum saja, melainkan berpotensi menghambat keinginan masyarakat untuk
memperoleh keadilan, terkhusus bagi masyarakat miskin yang notabene dihantui
ketidaktahuan akan pentingnya memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan di hadapan hukum
atau equality before the law. Belum lagi ditambah dengan benturan kepentingan antara pihak
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dengan aparat penegak hukum itu sendiri. Padahal
berdasarkan Pasal 1 ayat (1) konstitusi, negara Indonesia merupakan negara hukum sehingga
dalam rangka memastikan tegaknya supremasi hukum, diharamkan adanya kesewenang-
wenangan atau tindakan diskriminasi di hadapan hukum, terlebih kepada hak-hak warga
negara terutama bagi kelompok masyarakat marjinal. Dalam hal ini, negara harus menjamin
setiap warga negara berkedudukan setara di hadapan hukum sebagaimana prinsip equality
before the law. Seluruh warga negara yang dihadapkan pada suatu permasalahan hukum,
sudah seharusnya diperlakukan sama sebab seluruh warga negara berhak untuk mendapatkan
keadilan. Dalam rangka mewujudkan harapan dan cita-cita tersebut, maka dibentuklah
Undang-Undang Nomor 16 Thaun 2011 tentang Bantuan Hukum.

2. Apa permasalahan utamanya?

Pemberian bantuan hukum secara implementatif masih menemui berbagai permasalahan


serius yang memberikan konsekuensi sulit terwujudnya access to law and justice bagi
masyarakat terutama kelompok masyarakat marjinal. Beberapa problematika utama yang
menghambat akses bantuan hukum bagi masyarakat diantaranya sebagai berikut :

a. Belum optimalnya pemberian bantuan hukum dalam tataran praktik oleh


LBH/advokat
Dalam hal ini terdapat dua persoalan utama yang menyebabkan tidak optimalnya
pemberian bantuan hukum yang dilakukan oleh LBH/advokat. Pertama, kecenderungan
menghindari perkara hukum rakyat miskin dengan berbagai alasan yang tidak objektif.
Sebagian advokat dan beberapa LBH cenderung memprioritaskan pembelaan terhadap
klien mereka yang secara ekonomi masuk dalam kategori menengah keatas ketimbang
membela rakyat miskin. Hampir sebagian advokat enggan menyediakan bantuan
hukum/pembelaan secara pro bono publicio atau legal aid secara cuma-cuma dengan
alasan yang tidak objektif. Masih ada sebagian LBH berikut advokatnya yang
berorientasi pada nominal ketika menerima dan memeriksa suatu perkara hukum. Kedua,
profesi advokat di Indonesia identik dengan persaingan gengsi antar advokat,
konsekuensinya adalah sebagian advokat hanya akan menangani permasalahan hukum
yang sekiranya dapat meningkatkan ‘pamor’ advokat yang bersangkutan sehingga
cenderung mengabaikan terhadap perkara-perkara rakyat miskin yang notabene bukan
perkara hukum yang besar. Padahal, bantuan hukum dihadirkan tanpa memandang
problematika hukum yang akan ditangani dan subjek yang hendak dibela, melainkan
bagaimana masyarakat miskin memperoleh hak untuk mencapai access to law and justice
manakala mereka dihadapkan pada suatu persoalan hukum.
b. Minimnya kesadaran hukum kelompok masyarakat marginal
Minimnya kesadaran akan hukum yang berlaku tidak hanya menimbulkan
konsekuensi berupa pelanggaran hukum saja, melainkan berpotensi menghambat
keinginan masyarakat untuk memperoleh keadilan, terkhusus bagi masyarakat miskin
yang notabene dihantui ketidaktahuan akan pentingnya memperjuangkan nilai-nilai
kesetaraan di hadapan hukum atau equality before the law. Bilamana masyarakat
marginal masih cenderung pasif pada level praktiknya akibat terbatasnya pengetahuan
terhadap hukum, maka optimalisasi pemberian bantuan hukum tidak akan berfungsi
secara maksimal.

c. Access to justice yang disediakan LBH seringkali berbenturan dengan aparat


penegak hukum
Masih banyak terjadi kasus benturan kepentingan antara pihak Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) dengan aparat penegak hukum itu sendiri. Dalam konteks ini, kerap kali
terjadi penangkapan secara sewenang-wenang terhadap mahasiswa yang melakukan aksi
unjuk rasa, yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yaitu pihak kepolisian. Benturan
kepentingan terjadi ketika pihak LBH yang pada dasarnya konsisten mengawal aksi
unjuk rasa para mahasiswa tidak diperkenankan masuk ke kantor kepolisian untuk
mendampingi para mahasiswa yang tertangkap aparat kepolisian. Kepentingan
pendampingan hukum oleh LBH membentur “pagar betis” aparat kepolisian dengan dalil
bahwa penangkapan dilakukan demi kepentingan umum.

d. Minimnya pengawasan terhadap penerapan bantuan hukum


Hal yang perlu dikritisi dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Bantuan Hukum yaitu belum mengakomodir ketentuan pengawasan dalam proses
pemberian bantuan hukum. Padahal, fungsi pengawasan dinilai sangat penting dalam
menjamin agar pemberian bantuan hukum berjalan sesuai peruntukkannya.

3. Bagaimana penyelesaian masalah tersebut, seperti apa solusinya?

Menurut pandangan saya pribadi, solusi yang dapat diterapkan berdasarkan


permasalahan utama terkait pelaksanaan bantuan hukum diatas antara lain :
a. Mengubah mindset para Advokat/LBH dalam menangani suatu kasus agar tidak
berorientasi kepada nominal, gengsi, dan harga diri saja, melainkan lebih mengutamakan
perkara-perkara yang orientasinya pada kepentingan masyarakat miskin. Perubahan
mindset tersebut dapat diterapkan pada individu yang sedang mengenyam pendidikan
advokat, dengan menyelipkan dan menekankan materi-materi yang pro terhadap
masyarakat marjinal.
b. Meskipun minimnya kesadaran hukum masyarakat miskin memang sudah menjadi
problematika bangsa Indonesia yang telah mendarah daging, namun tidak henti-hentinya
diri saya pribadi menyarankan agar dalam konteks ini negara lah yang harus bertindak
aktif merangkul masyarakat menengah kebawah. Konkretnya, pemerintah semestinya
senantiasa menyelenggarakan sosialisasi terhadap hukum maupun peraturan perundang-
undangan yang baru dan yang secara langsung akan berimplikasi terhadap situasi dan
kondisi kehidupan masyarakat miskin.
c. Benturan yang terjadi antara aparat penegak hukum (kepolisian) dengan pihak LBH
kerap kali dimulai dengan tindakan sewenang-wenang pihak aparat penegak hukum yang
melarang pihak LBH untuk melakukan pendampingan terhadap tersangka, padahal
mendapatkan pendampingan hukum merupakan hak sepenuhnya dari tersangka. Oleh
karena itu perlu adanya koordinasi yang langsung menuju ke pusat, dalam hal ini antara
LBH yang bersangkutan dengan petinggi kepolisian (Kapolri) untuk memerintahkan
bahkan menindak tegas anggotanya yang tidak memperkenankan pemberian bantuan
hukum terhadap tersangka. Tindakan tegas Kapolri akan memberikan efek jera terhadap
anggota polri secara keseluruhan, agar tidak terjadi kasus yang sama lagi di seluruh
penjuru wilayah.
d. Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum rasanya
perlu dilakukan sebab undang-undang tersebut belum mengakomodir ketentuan
pengawasan dalam proses pemberian bantuan hukum. Padahal fungsi pengawasan dinilai
sangat penting dalam menjamin agar pemberian bantuan hukum berjalan sesuai
peruntukkannya, dan perlu aturan yang konkret sebagai payung hukumnya.
Referensi :

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum

Triwulandari, A. M. (2020). Problematika Pemberian Bantuan Hukum Struktural dan Non


Struktural Kaitannya dengan Asas Equality Before The Law. Jurnal Ilmiah Kebijakan
Hukum, 14(3), 539-552.

Al-Muhajir, A. (2019). Problematika implementasi bantuan hukum di indonesia. LISAN AL-


HAL: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, 13(2), 341-366.

Anda mungkin juga menyukai