4.B.2 Build Energy Resilience
4.B.2 Build Energy Resilience
Bab IX
9.1 Pengantar
Tantangan zaman terus berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Pada era Orde
Baru, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, di mana minyak
dan gas bumi menjadi salah satu pendukung utamanya. Hingga akhir tahun 70-an,
produksi minyak bumi terus meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 1978
dengan produksi sebesar 614 juta barrel per tahun. Bersamaan dengan ini, harga
minyak dunia juga sedang melambung, sehingga penerimaan negara dari ekspor minyak
bumi sangat dominan pada saat itu, dengan nilai sekitar 80% dari total ekspor
Indonesia.
Produksi minyak bumi yang tinggi terus dipertahankan hingga tahun 1998, ditambah
dengan meningkatnya peran gas bumi dan batubara. Pembangunan yang banyak
ditopang oleh minyak bumi ini kemudian menimbulkan suatu mitos bahwa Indonesia
kaya minyak. Yang kemudian mendorong politisasi BBM, yang dikuatkan dengan UUD
1945 Pasal 33 bahwa kekayaan alam harus dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat dan
pengusahaannya dilakukan oleh negara.
Akibat dari politisasi BBM tersebut, harga BBM terus disubsidi hingga saat ini. Bahkan
kemudian meluas menjadi subsidi LPG dan listrik. Di sisi pengusahaan, pola
pengusahaan monopolistis dan sentralistis masih terus berjalan hingga saat ini,
meskipun telah diberlakukan perundangan yang mengatur mengenai persaingan usaha
dalam pengusahaan energi.
Krisis ekonomi regional tahun 1997 – 1998 telah membawa dampak yang luar biasa
pada sistem politik dan ekonomi Indonesia, yang mendorong munculnya paradigma
baru dalam sistem politik dan ekonomi Indonesia. Paradigma baru dalam sistem politik
adalah menguatnya otonomi daerah, yang diatur melalui UU 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah, yang kemudian diganti menjadi UU 32/2004 dan UU 33/2004.
1
Dalam buku “Membangun Ketahanan Energi”, Ikatan Alumni ITB, 2010
Mengenai subsidi, Propenas 2000 – 2004 menyatakan bahwa subsidi BBM dan listrik
akan dikurangi secara bertahap. Yaitu bahwa total subsidi (termasuk di dalamnya
subsidi energi dan non energi) ditargetkan akan berkurang dari 5,5% PDB pada tahun
2000 menjadi 1,2% PDB pada tahun 2004. Namun demikian, pada kenyataannya target
Propenas dalam pengurangan subsidi energi ini tidak tercapai, bahkan hingga saat ini.
Berdasarkan Propenas 2000 – 2004 dapat dirumuskan suatu peta restrukturisasi energi.
Di mana, restrukturisasi energi terdiri atas tiga komponen pokok, yaitu: (i) penghapusan
subsidi energi, (ii) demonopoli usaha energi, dan (iii) peningkatan peran daerah di
sektor energi. Peta restrukturisasi energi diperlihatkan dalam Gambar 9.1.
2
Dalam buku “Membangun Ketahanan Energi”, Ikatan Alumni ITB, 2010
Penghapusan subsidi energi merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dalam
restrukturisasi energi. Dengan penghapusan subsidi energi, maka mekanisme pasar
dalam pemasokan energi akan terbentuk. Selanjutnya, seiring dengan semakin
mendekatnya harga BBM dan listrik ke harga pasar, dibentuk kelembagaan pasar dan
usaha energi. Monopoli Pertamina dan PLN secara bertahap dihilangkan. Pemain-
pemain baru diberikan kesempatan untuk masuk ke dalam usaha migas dan listrik.
Dengan hilangnya monopoli Pertamina dan PLN berarti juga terjadi desentralisasi
pengelolaan energi ke daerah. Masing-masing daerah berkewajiban mengatur dan
mengelola sektor energi di wilayahnya masing-masing.
Penghapusan subsidi harga energi arahnya adalah melepaskan harga menuju harga
ekonominya dan harga pasarnya. Dengan demikian akan mengurangi beban subsidi
energi yang harus ditanggung negara. Selain itu, penghapusan subsidi BBM dan listrik
juga akan mendorong terjadinya diversifikasi energi dan konservasi energi. Kenaikan
harga BBM berarti akan menaikkan daya saing energi lain untuk menggantikan BBM.
Jenis-jenis energi yang selama ini kurang berkembang akibat subsidi BBM akan
terdorong perkembangannya.
Demonopoli usaha energi arahnya adalah menuju keterbukaan pasar dan persamaan
kesempatan berusaha di sektor energi. Demonopoli akan mendorong partisipasi swasta
dan daerah dalam usaha energi dan mendorong investasi di sektor energi. Dengan
demikian, tugas pemerintah (pusat) untuk mengembangkan sektor energi menjadi lebih
ringan karena adanya partisipasi dari berbagai pihak. Dengan adanya keterbukaan pasar
dan terciptanya persaingan pasar, maka akan mendorong peningkatan efisiensi usaha
dan efisiensi ekonomi secara terus menerus. Meningkatnya partisipasi masyarakat akan
menggairahkan perekonomian dan mempercepat pemulihan ekonomi. Di samping itu,
terciptanya persaingan pasar akan mendorong alokasi sumberdaya secara efisien dalam
mendukung visi energi berkelanjutan.
3
Dalam buku “Membangun Ketahanan Energi”, Ikatan Alumni ITB, 2010
mengembangkan seluruh sumberdaya energi yang ada untuk menciptakan nilai tambah
yang maksimal bagi daerahnya.
Dari peta restrukturisasi energi yang ditampilkan pada Gambar 9.1, terlihat bahwa
peningkatan peran daerah merupakan tahapan terakhir dari restrukturisasi energi.
Untuk mencapai peningkatan peran daerah di bidang energi, maka dua tahapan
sebelumnya harus dilaksanakan terlebih dahulu, yaitu pengurangan subsidi energi dan
demonopoli usaha energi. Kedua hal ini merupakan prasyarat peningkatan peran
daerah dalam bidang energi. Karena jika kedua hal tersebut terjadi, maka daerah tidak
lagi hanya menjadi obyek dari kebijakan energi. Jika kedua hal tersebut masih terus
terjadi, maka kegiatan pengusahaan energi akan selalu bersifat sentralistik.
Dari sekian perangkat perundangan tersebut di atas, dapat dikatakan yang paling
populer atau paling luas dibahas adalah Perpres 5/2006 tentang Kebijakan Energi
Nasional. Karena di dalam Perpres ini tercantum kebijakan energi nasional khususnya
mengenai target pengembangan energi sampai dengan tahun 2025. Pada saat ini,
Perpres ini sedang dalam peninjauan ulang, tetapi sebelum target baru diumumkan
secara resmi, dalam pembahasan ini mengacu pada target yang masih berlaku saat ini,
yaitu seperti yang tercantum dalam Perpres 5/2006.
4
Dalam buku “Membangun Ketahanan Energi”, Ikatan Alumni ITB, 2010
Dengan asumsi pertumbuhan pemakaian energi primer sebesar rata-rata 5,25% per
tahun (menurun dari 5,5%/tahun pada tahun 2003 menjadi 5%/tahun pada tahun
2025), maka pemakaian energi primer masing-masing jenis energi seperti yang
diilustrasikan pada Gambar 9.2. Sebagai contoh, berdasarkan target tersebut di atas
maka pemakaian batubara pada tahun 2025 akan meningkat sebesar 7,8 kali dari
pemakaian batubara pada tahun 2003. Atau, pemakaian batubara di dalam negeri
meningkat dari 31,4 juta ton pada tahun 2003 menjadi 245 juta ton pada tahun 2025.
Yang berarti akan meningkat rata-rata sekitar 10 juta ton per tahun.
3000
Minyak Bumi
2500 Gas Bumi
2000 Batubara
1500 Biofuel
1000 Panasbumi
500 Lainnya
0
2003
2025
Target di atas jelas suatu target yang ambisius, apalagi jika tidak dibarengi dengan
tahapan-tahapan yang jelas untuk mencapainya. Hingga saat ini, empat tahun setelah
Perpres tersebut diluncurkan (terbit tanggal 25 Januari 2006), dapat dikatakan energi
primer mix belum beranjak dari titik awal secara signifikan.
Hal-hal yang perlu dibenahi dalam pencapaian target energi primer mix tersebut,
menurut penulis, adalah:
5
Dalam buku “Membangun Ketahanan Energi”, Ikatan Alumni ITB, 2010
b. Harus ada tahapan dan perencanaan yang jelas dalam pencapaian target energi
primer mix. Memang, pada saat telah ada blueprint yang menjelaskan tahapan
pengembangan masing-masing sub sektor energi. Tetapi, perlu dievaluasi
apakah blueprint tersebut masih valid dan perlu dirumuskan kembali sesuai
dengan kondisi saat ini.
c. Harus ada arahan yang tegas dan rinci dari pemerintah (pusat) kepada
pemerintah daerah dalam pencapaian target energi primer mix. Pada saat ini
target pemakaian energi primer mix masih di tingkat nasional. Jelas bahwa
target nasional ini tidak dapat langsung diterapkan sebagai target pemakaian
energi primer mix masing-masing propinsi. Karena setiap propinsi mempunyai
sumber daya energi yang berbeda, infrastruktur energi yang berbeda, dan
karakteristik pemakaian energi yang berbeda.
Pelaksanaan penyusunan RUED dan RUKD akan menjadi awal peningkatan peran daerah
di bidang energi dan ketenagalistrikan. Sebagaimana diketahui, hingga saat ini daerah
dapat dikatakan belum menyadari bahwa mereka mempunyai peranan dalam bidang
energi, khususnya bagi daerah-daerah yang tidak mempunyai sumber daya energi.
Karena hingga saat ini, pengelolaan energi dianggap merupakan tanggung jawab
pemerintah pusat. Sebagai contoh dalam hal penyediaan dan pendistribusian BBM dan
listrik, penetapan subsidi dan harga BBM dan listrik, dan sebagainya.
6
Dalam buku “Membangun Ketahanan Energi”, Ikatan Alumni ITB, 2010
butir (c) pada Subbab 9.3 sangat diperlukan untuk memberikan arah yang jelas bagi
daerah dalam menyusun perencanaan energinya. Selanjutnya, pemerintah daerah harus
menjabarkan target energi primer mix yang diberikan pemerintah pusat kepada
daerahnya dan membentuk kelembagaan untuk melaksanakannya, sebagaimana
disebutkan dalam butir (a) dan (b) pada Subbab 9.3.
Pada saat ini, aturan dan petunjuk teknis penyusunan RUED dan juga RUKD belum
ditetapkan. Hal-hal yang perlu diatur lebih lanjut dalam pelaksanaan perencanaan
energi daerah adalah:
b. Siklus perencanaan apakah tahunan atau lima tahunan. Mengacu pada RUKD
yang pernah dilaksanakan berdasarkan UU 20/2002, siklus perencanaan adalah
tahunan.
d. Perlu diatur kaitan antara RUED dan RUKD dengan perencanaan lain. Pada saat
ini, sesuai dengan UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional, pemerintah daerah yang dikoordinasikan oleh BAPPEDA telah
menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), RPJM Daerah, dan RPJP
Daerah. Perlu diatur di mana letak RUED dan RUKD dalam sistem perencanaan
baku ini, sehingga menjadi suatu sistem perencanaan yang terpadu.
7
Dalam buku “Membangun Ketahanan Energi”, Ikatan Alumni ITB, 2010
dilakukan oleh pemerintah daerah. Sama halnya dengan pertanyaan sebelumnya, siapa
yang dimaksud dengan pemerintah daerah? Apakah dinas yang membidangi energi atau
BAPPEDA?
Dari level penetapannya, RUED akan membutuhkan waktu lebih panjang dibanding
RUEN, karena harus mendapat persetujuan dari DPRD sedangkan RUEN cukup
ditetapkan oleh Presiden selaku Ketua Dewan Energi Nasional. Hal ini tentunya akan
menyulitkan dan berpotensi menghambat proses perencanaan energi bertingkat dari
kabupaten/kota, propinsi, hingga nasional. Menurut penulis, telah terjadi kesalahan
dalam Pasal 18 UU 30/2007, di mana yang tertulis “ditetapkan dengan Peraturan
Daerah” seharusnya ditulis “ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah”. Hal ini
mengacu pada penetapan RPJM Daerah dan RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah)
yang ditetapkan melalui Peraturan Kepala Daerah. Hanya RPJP Daerah yang ditetapkan
melalui Peraturan Daerah.
Lembaga yang menyusun RUEN dan RUED harus merupakan lembaga yang bersifat
lintas sektoral. Karena RUEN dan RUED di dalamnya mencakup perencanaan pemakaian
energi dan perencanaan penyediaan energi, jadi di dalam kelembagaan yang dibentuk
harus mewakili pihak-pihak yang terkait dengan pemakaian energi dan pihak-pihak yang
terkait dengan penyediaan energi.
Jauh sebelum dibentuknya Dewan Energi Nasional, telah diperkenalkan secara tidak
resmi nama Forum Energi Daerah sebagai lembaga yang melakukan penyusunan
perencanaan energi daerah. Untuk level propinsi, Forum Energi Daerah diketuai oleh
Gubernur dan Kepala Dinas Energi sebagai Ketua Harian. Forum Energi Daerah berfungsi
sebagai lembaga yang membuat keputusan-keputusan tertinggi dalam bidang energi.
Untuk mendukung pelaksanaan tugasnya, Forum Energi Daerah dibantu oleh Tim Teknis
Energi Daerah. Tim Teknis Energi Daerah adalah sebuah unit di dalam Forum Energi
Daerah yang bertugas melakukan pengkajian dan penyiapan bahan-bahan untuk Forum
Energi Daerah dalam pengambilan keputusan.
Petunjuk teknis dan tata cara penyusunan perencanaan energi dan ketenagalistrikan
daerah pada saat ini belum diterbitkan. Termasuk level pemerintah daerah yang
diwajibkan menyusunnya belum ditetapkan. Dari sisi level pelaksanaan otonomi,
menurut penulis sudah tepat jika level perencanaan terendah berada pada
kabupaten/kota. Meskipun dari sisi sistem energi, barangkali akan terlalu kecil jika
perencanaan energi berada di kabupaten/kota. Tetapi, pada dasarnya perencanaan
energi dan ketenagalistrikan ini adalah rencana untuk memenuhi kebutuhan energi dan
mendukung pembangunan, di mana jika level perencanaan diangkat ke tingkat propinsi
dikhawatirkan tidak dapat memotret secara rinci pemenuhan kebutuhan energi dan
ketenagalistrikan di level kabupaten/kota. Apalagi untuk propinsi-propinsi dengan
jumlah kabupaten/kota yang banyak dan wilayah yang luas.
8
Dalam buku “Membangun Ketahanan Energi”, Ikatan Alumni ITB, 2010
Jadi, nantinya akan ada tiga level perencanaan, yaitu level kabupaten/kota, level
propinsi, dan level nasional. Perencanaan pada level nasional mengintegrasikan
perencanaan level propinsi, dan perencanaan level propinsi mengintegrasikan
perencanaan level kabupaten/kota. Dan sebaliknya, perencanaan level nasional menjadi
arah bagi perencanaan level propinsi, dan perencanaan level propinsi menjadi arah bagi
perencanaan level kabupaten/kota. Ilustrasi mengenai siklus perencanaan energi dan
ketenagalistrikan disampaikan pada Gambar 9.3.
Tentu saja ada kelebihan dan kekurangannya antara level perencanaan hanya sampai
propinsi dan level perencanaan hingga kabupaten/kota. Jika level perencanaan hingga
kabupaten/kota, berarti proses perencanaan akan lebih panjang dan meluas melibatkan
banyak pihak. Tetapi kelebihannya akan mendorong lebih banyak pihak untuk turut
serta dalam memikirkan sektor energi. Proses bottom-up akan lebih sempurna
diterapkan.
9
Dalam buku “Membangun Ketahanan Energi”, Ikatan Alumni ITB, 2010
Hingga saat ini, telah banyak dilakukan sosialisasi dan bantuan teknis dalam hal
perencanaan energi dan ketenagalistrikan daerah, baik yang dilakukan oleh lembaga
pemerintah, proyek kerjasama antara pemerintah dan negara donor, dan proyek
kerjasama antara universitas dengan negara/lembaga donor. Pada beberapa daerah
telah dilakukan pendampingan dalam penyusunan perencanaan energi daerah. Bahkan
pada beberapa daerah, telah dilaksanakan penyusunan perencanaan energi daerah atas
prakarsa pemerintah daerah sendiri, baik di tingkat propinsi maupun di tingkat
kabupaten. Contoh daerah yang telah menyusun perencanaan energi atas prakarsanya
sendiri adalah Propinsi Jawa Tengah dan beberapa kabupaten di bawahnya.
Namun demikian, secara obyektif dapat dikatakan bahwa lebih banyak daerah yang
belum mempunyai kemampuan dan pengalaman yang cukup dalam melakukan
penyusunan perencanaan energi. Bahkan, pada beberapa daerah tidak mempunyai
bagian yang khusus menangani bidang energi. Hal ini dapat dimengerti karena selama
ini perencanaan energi dan ketenagalistrikan bersifat sentralistik, yang hanya dilakukan
oleh pemerintah pusat.
9.8 Penutup
Dalam era otonomi daerah ini, daerah mempunyai peran yang sangat penting dalam
mendukung ketahanan energi nasional. Pemerintah daerah akan menjadi ujung tombak
dalam melayani kebutuhan energi bagi daerahnya dan mengelola sumber daya energi di
wilayahnya. Pergeseran paradigma perencanaan dan pengelolaan energi yang
sentralistik menuju perencanaan dan pengelolaan energi daerah merupakan salah satu
konsekuensi dari otonomi daerah. Perencanaan dan pengelolaan energi daerah
merupakan suatu kehormatan kepada daerah, yang di dalamnya terkandung suatu
tanggung jawab untuk melaksanakan agenda-agenda dan mencapai target-target
pembangunan nasional di bidang energi.
10
Dalam buku “Membangun Ketahanan Energi”, Ikatan Alumni ITB, 2010
Daftar Pustaka
11