Anda di halaman 1dari 12

POLA PENGEMBANGAN SISTEM ENERGI NASIONAL

YANG MENDUKUNG PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN1


Oleh :
Oetomo Tri Winarno
Pusat Penelitian Material dan Energi (PPE- ITB)

Abstrak
Pemanasan global disebabkan efek rumahkaca yang ditimbulkan oleh terakumulasinya gas-
gas penyebab rumahkaca. Sektor energi merupakan penyumbang terbesar emisi gas
rumahkaca di atmosfir bumi. Emisi dari sektor ini telah meningkat dengan cepat dan akan
terus meningkat sejalan dengan pesatnya pertumbuhan kegiatan manusia. Untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan menciptakan kesejahteraan yang semakin
meningkat di masa datang, salah satu hal yang sangat perlu dilakukan adalah memperbaiki
pola pemakaian dan pemanfaatan energi agar sesedikit mungkin mengeluarkan dampak
yang negatif terhadap lingkungan.

1. Pendahuluan
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada beberapa dekade
terakhir ini menjadi konsep pembangunan yang paling populer, baik di tingkat nasional,
regional, maupun internasional. Pembangunan yang berkelanjutan pada hakekatnya adalah
pembangunan yang mampu menciptakan kesejahteraan yang semakin meningkat dari
generasi ke generasi serta menjamin adanya kelangsungan dan pemerataan kesejahteraan
antar-generasi. Dalam menciptakan pembangunan yang berkelanjutan ini, aspek
lingkungan menjadi hal yang penting, di samping aspek ekonomi dan sosial-budaya.
Kesadaran akan pentingnya masalah lingkungan makin dirasakan setelah terjadinya
perubahan-perubahan lingkungan yang menyebabkan menurunnya daya dukung
lingkungan dan mengakibatkan terganggunya kesejahteraan manusia. Masalah lingkungan
pada saat ini telah menjadi masalah global, karena dampaknya yang tidak dapat dibatasi
oleh wilayah negara.
Salah satu masalah lingkungan yang banyak menimbulkan kekhawatiran masyarakat
dunia akhir-akhir ini adalah kenaikan suhu permukaan bumi, yang diyakini berkaitan erat
dengan makin naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir. Emisi gas rumahkaca yang
sebagian besar merupakan produk ikutan dari kegiatan manusia dituding sebagai penyebab
makin naiknya suhu permukaan bumi ini. Dari beberapa penelitian, telah dibuktikan adanya
korelasi yang positif antara kenaikan suhu dan kenaikan konsentrasi gas rumahkaca
(Schneider,1990).

2. Lingkungan sebagai Masalah Global


Isu pemanasan global (global warming) dewasa ini banyak mendapat perhatian
masyarakat dunia. Isu tersebut timbul karena kekhawatiran akan dampaknya yang sangat
besar apabila hal tersebut benar terjadi. Akibat dari pemanasan global ini dikhawatirkan

1
Diterbitkan dalam Jurnal Studi Pembangunan - ITB, Vol. I No. 4, 1998.

Jurnal SP/Oetomo Tri Winarno 1 dari 11 halaman


akan menyebabkan terjadinya perubahan iklim, kenaikan permukaan air laut, penggurunan
daratan, dan sebagainya. Perubahan iklim yang terjadi dan dirasakan sampai saat ini telah
menimbulkan kerugian-kerugian material yang tak terhitung jumlahnya. Kenaikan
permukaan laut berarti akan menenggelamkan kota-kota pantai dan berakibat terjadinya
kepunahan negara-negara kepulauan kecil.
Sampai saat ini, diyakini bahwa pemanasan global disebabkan efek rumahkaca yang
ditimbulkan oleh terakumulasinya gas-gas penyebab rumahkaca pada troposfir bumi. Gas-
gas penyebab efek rumahkaca ini mempunyai kemampuan menyerap sinar infra merah
yang dapat menyebabkan suhu permukaan bumi meningkat. Gas-gas utama penyebab efek
rumahkaca ini yaitu : CO2, CO, CH4, NO2, NOx, SO2, O3, dan CFC. Semakin banyak gas-gas
tersebut, efek gas rumahkaca yang ditimbulkan akan semakin kuat. Pada kondisi yang
setimbang, jumlah gas-gas tersebut dikontrol oleh mekanisme alam. Gas-gas yang
dikeluarkan dari kegiatan makhluk hidup diserap oleh alam melalui tumbuhan dan lautan.
Namun dengan semakin meningkatnya kegiatan manusia, emisi gas rumahkaca jumlahnya
semakin besar yang tidak mampu lagi diserap oleh alam. Di samping itu, muncul juga gas-
gas yang secara alamiah tidak dikeluarkan oleh alam, seperti CFC, sehingga gas ini sulit
untuk didaur-ulang oleh alam.
Kepedulian dunia terhadap masalah-masalah lingkungan dimulai dengan
didirikannya sebuah badan PBB untuk menangani masalah lingkungan dengan nama UNEP
(United Nations Enviromental Programme) pada Konferensi Stockholm tanggal 5 Juni 1972.
Khusus untuk menangani masalah pemanasan global dan perubahan iklim, pada tahun 1988
dibentuk IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). Selanjutnya, IPCC membentuk
FCCC (Framework Convention on Climate Change) dan menyelenggarakan KTT Bumi -
UNCED (United Nations Convention on Environment and Development) di Rio Janeiro pada
bulan Juni 1992 yang dihadiri oleh tidak kurang dari 154 negara.
Sebagai langkah lanjut dari FCCC, pada tanggal 1 Mei 1994 konvensi pembatasan
gas rumahkaca tersebut telah diratifikasi oleh 19 negara OECD (Organization for Economic
Cooperation and Development). Isi konvensi tersebut yaitu masing-masing negara
penandatangan konvensi mempunyai komitmen untuk menurunkan emisi gas CO2 dari
kegiatan produksi dan konsumsi energi serta kegiatan antropogenik lainnya pada tahun
2000 sama dengan tingkat emisi tahun 1990.
Indonesia meratifikasi UN-FCCC pada tanggal 1 Agustus 1994 melalui Undang-
undang tentang Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim Nomor
6/1994. Sehingga dengan demikian Indonesia telah mengikatkan diri pada konvensi
tersebut, yang mempunyai hak dan kewajiban sesuai konvensi tersebut. Salah satu
kewajibannya adalah melaporkan segala kegiatan dalam usaha pengurangan emisi gas
rumahkaca.
Untuk mewujudkan komitmen Indonesia terhadap masalah lingkungan dunia,
khususnya dalam mencegah dan mengurangi kemungkinan terjadinya pemanasan global,
perlu dilakukan tindakan-tindakan nyata dalam hal ini. Sebagai langkah awal dalam
mendukung program lingkungan internasional ini, Indonesia melalui Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup telah menyusun berbagai tindakan yang dapat dilakukan untuk
mengantisipasi pemanasan global yang termuat dalam “Agenda 21 Indonesia”.

Jurnal SP/Oetomo Tri Winarno 2 dari 11 halaman


3. Energi dalam Permasalahan Lingkungan Global
Emisi gas rumahkaca di bumi terutama dihasilkan oleh kegiatan pembakaran energi
fosil dan kegiatan deforestasi (deforestation). Pada tahun 1987, kegiatan pembakaran energi
fosil menyumbang 77 % dari total emisi karbon dunia yang berjumlah 7,17 juta ton, dan
sisanya 23 % dari kegiatan deforestasi. Dari total emisi karbon ini, negara-negara industri
menyumbang 74 % dari total emisi dan 26 % lainnya dari negara-negara berkembang
(Prinn,1990). Dibanding dengan kondisi pada masa Revolusi Industri tahun 1750-an,
konsentrasi CO2 di atmosfir telah naik sekitar 26 % dengan kenaikan per tahunnya sebesar
0,34 % (Clark,1990).
Perkembangan produksi dan pemakaian energi sejak dimulainya Revolusi Industri
menunjukkan pertumbuhan yang relatif sangat tinggi, sejalan dengan ini emisi CO2 dari
sektor ini juga meningkat dengan pesat. Produksi CO2 dari sektor energi ini telah tumbuh
secara eksponensial, sedangkan sektor kehutanan tumbuh secara linier. Gambar-gambar
berikut memperlihatkan perkembangan emisi CO2 antara tahun 1800 - 1987.

Gambar 1. Perkembangan produksi CO2 dunia dari sektor energi, non-energi,


dan produksi semen tahun 1800 - 1987 (Grubler,1990)

Minyak
Gas 14.1%
4.7%

Batubara
28.2%
Non Energi
51.6%
Produksi
semen
1.4%

Jurnal SP/Oetomo Tri Winarno 3 dari 11 halaman


Gambar 2. Akumulasi produksi CO2 dunia dari sektor energi, non-energi, dan
produksi semen tahun 1800 - 1987 (Grubler,1990)

Emisi CO2 dari sektor energi telah meningkat dengan cepat selama dua abad
terakhir ini. Melihat kecenderungannya, peranan sektor ini terhadap emisi CO2 total di masa
mendatang tetap akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan populasi penduduk dunia
dan pertumbuhan tingkat ekonominya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih negatif dalam neraca emisi CO2,
artinya kemampuan penyerapan CO2 di Indonesia masih lebih besar dari emisi yang
dihasilkannya. Pada tahun 1990, kemampuan penyerapan total emisi CO2 oleh hutan di
Indonesia sebesar 686 Tg (Terra gram = 1012 gram)/tahun, sedangkan emisi total CO2 pada
tahun ini sebesar 497 Tg/tahun. Dari emisi yang dihasilkan ini, sebesar 339 Tg/tahun (68 %)
dikeluarkan oleh sektor kehutanan, 141 Tg/tahun (28 %) dihasilkan dari pembakaran energi
fosil, dan 17 Tg/tahun (3 %) dikeluarkan dari proses industri (ALGAS,1997).
Emisi dari sektor energi pada tahun 1990 yang berjumlah 158 Tg, 33 %-nya
dikeluarkan oleh industri energi, yang terdiri atas pembakaran energi di pembangkit listrik,
penambangan minyak bumi, gas bumi, dan batubara; 21 % dikeluarkan dari pembakaran
energi di transportasi, 20 % dari pembakaran energi di industri, 12 % dari rumah tangga -
komersial, 11 % dari hasil samping proses di industri, dan 3 % dari gas hidrokarbon yang
lepas (fugitive) di penambangan minyak-gas bumi dan batubara.

Proses Industri Industri Energi


Fugitif 11% 33%
3%
R.Tangga&Komers.
12%

Transportasi
21% Industri
20%

Gambar 3. Prosentase emisi gas rumahkaca di sektor energi Indonesia


tahun 1990 (ALGAS, 1997)

4. Kondisi Keenergian di Indonesia


Sektor energi, khususnya industri minyak dan gas bumi, mempunyai peranan yang
cukup besar dalam perekonomian Indonesia. Selama PJP I, sektor minyak dan gas bumi
telah menyumbang sekitar 20 % terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) total
Indonesia per tahunnya. Peranan sektor migas pada tahun-tahun awal PJP I cukup dominan,

Jurnal SP/Oetomo Tri Winarno 4 dari 11 halaman


dengan sumbangannya mencapai sekitar 80 % dari nilai ekspor total per tahun, namun
porsinya cenderung terus menurun.
Di samping untuk memenuhi keperluan ekspor, minyak bumi juga merupakan
pemasok energi yang utama di Indonesia. Peranan minyak bumi dalam pemasokan energi
domestik selama PJP I sangat dominan, meskipun pangsanya cenderung menurun. Selama
periode ini peranan minyak bumi dalam memasok kebutuhan energi domestik per
tahunnya berkisar antara 95 % (pada awal PJP I) sampai 75 % (pada akhir PJP I).
Pertumbuhan permintaan energi di Indonesia cenderung terus meningkat sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduknya. Industrialisasi yang terus
dikembangkan membutuhkan masukan energi yang semakin meningkat. Demikian juga
dengan semakin bertambahnya penduduk berarti semakin banyak membutuhkan
pemanasan, penerangan, dan pergerakan.
Pemasokan Energi
Indonesia memiliki sumberdaya energi yang cukup besar dan beragam. Hampir
semua jenis sumberdaya energi terdapat di wilayah Indonesia. Selain sumberdaya energi
fosil yang sudah banyak dikembangkan pada saat ini, terdapat juga berbagai potensi energi
terbarukan yang ketersediaannya lebih merata di seluruh wilayah Indonesia.
Sumberdaya energi fosil total yang dimiliki Indonesia berjumlah 260,8 milyar SBM
(setara barrel minyak), yang terdiri atas minyak bumi 66,7 milyar SBM, gas bumi 48,0 milyar
SBM (266,7 TSCF)(US Embassy,1996), dan batubara 146,0 milyar SBM (36,5 milyar
ton)(DPE,1994). Batubara merupakan sumberdaya energi terbesar di Indonesia, namun
demikian produksinya masih relatif sangat kecil. Minyak bumi meskipun sumberdaya
totalnya cukup besar, tetapi hampir 60 % di antaranya berada di lepas pantai dan baru
seper-tujuhnya berupa cadangan yang sudah ditemukan (cadangan total 9,5 milyar barrel,
di antaranya 5,6 barrel berupa cadangan terbukti).
Energi fosil merupakan energi yang utama, baik untuk memenuhi kebutuhan energi
di dalam negeri maupun untuk menghasilkan devisa dari ekspor. Dari produksi minyak bumi
total, sekitar setengahnya diekspor dan sisanya untuk kilang dalam negeri. Produksi gas
bumi dan batubara sampai saat ini cenderung terus meningkat. Gas bumi baru mulai tahun
1976 dijual secara komersial, sebelumnya gas bumi hanya merupakan produk samping dari
minyak bumi. Baik gas bumi maupun batubara sebagian besar produksinya dialokasikan
untuk ekspor, yaitu sekitar 80 % dari produksi bersihnya.

Jurnal SP/Oetomo Tri Winarno 5 dari 11 halaman


1200

Batubara
1000
Gas bumi
Minyak bumi
800

Juta SBM/tahun
600

400

200

0
1966

1968

1970

1972

1974

1976

1978

1980

1982

1984

1986

1988

1990

1992
Tahun

Gambar 4. Perkembangan produksi energi fosil di Indonesia (US Embassy,1996),


(DPE, 1994), (Pertamina,1996)
Selain energi fosil, Indonesia juga memiliki beragam potensi energi terbarukan.
Energi terbarukan yang sudah dikembangkan secara komersial sampai saat ini masih
terbatas pada tenaga air dan panasbumi. Energi terbarukan lain yang mulai dikembangkan
misalnya energi surya dan biomasa. Selain itu, masih banyak potensi lain yang dapat
dikembangkan, misalnya energi angin dan energi pasang-surut. Energi terbarukan ini
terdapat relatif lebih merata di seluruh wilayah Indonesia.
Potensi tenaga air total di Indonesia berjumlah 75 GW atau setara dengan 0,91
milyar SBM. Potensi tenaga air ini sebagian besar terdapat di luar Jawa. Potensi yang
terdapat di Jawa hanya berjumlah 4,2 GW, atau 5,6 % dari total potensi yang ada. Potensi
yang sudah dikembangkan baru 3,24 GW atau seper-duapuluhlima dari potensi total, dan
hampir seluruhnya di Jawa (PLN,1996).
Potensi panasbumi total di Indonesia berjumlah 19,66 GW atau setara dengan 0,29
milyar SBM. Potensi panasbumi ini sebagian besar terdapat di luar Jawa. Potensi yang sudah
dikembangkan baru 0,3 GW atau seper-enampuluh dari potensi total. Pemanfaatan potensi
panasbumi ini sebagian besar dilakukan di Jawa (PLN,1996).
Pemasokan energi primer dalam negeri sampai saat ini masih didominasi oleh
minyak bumi. Perkembangan pemasokan energi primer selama PJP I diperlihatkan dalam
Gambar 5. Pola permintaan minyak bumi yang cenderung terus meningkat ini menimbulkan
kerawanan, karena kemampuan produksi minyak bumi di dalam negeri terbatas. Sehingga
dengan kenaikan permintaan minyak bumi ini porsi minyak bumi ekspor akan makin
berkurang, bahkan bisa jadi pada suatu saat Indonesia akan menjadi net importer minyak
bumi.
Usaha-usaha menaikkan pemanfaatan energi non minyak telah dilakukan, terutama
dalam pembangkitan listrik. Pembangkit-pembangkit baru yang dibangun sebagian besar
adalah pembangkit berbahan bakar non-minyak, yaitu gas bumi dan batubara.
Perkembangan fuel-mix dalam pemasokan energi primer di sektor pembangkitan listrik
diperlihatkan dalam Gambar 6.

Jurnal SP/Oetomo Tri Winarno 6 dari 11 halaman


450000

400000 Panas Bumi


Tenaga Air
350000
Batubara
300000

Ribu SBM/tahun
Gas Bumi

250000 Minyak Bumi

200000

150000

100000

50000

0
1969

1971

1973

1975

1977

1979

1981

1983

1985

1987

1989

1991

1993
Tahun

Gambar 5. Perkembangan pemasokan energi primer di Indonesia (DJLPE,1997)

30000

Panasbumi
25000 Gas Alam
Batubara
20000 Tenaga Air
Minyak Bumi
Ribu SBM

15000

10000

5000

0
1970

1972

1974

1976

1978

1980

1982

1984

1986

1988

1990

1992

Tahun

Gambar 6. Perkembangan pemasokan energi primer untuk pembangkit listrik


PLN (PLN,1996)

Pemakaian Energi
Pola pemakaian energi final komersial di Indonesia sampai saat ini masih didominasi
oleh BBM, disusul berturut-turut oleh gas bumi, listrik, batubara, dan elpiji. Dominasi BBM
pada awal PJP I meliputi 95 % dari total energi yang digunakan, yang kemudian menurun
menjadi 75% pada akhir PJP I. Melihat kecenderungan ini, peranan BBM dalam pemakaian
energi di masa mendatang tampaknya akan tetap besar dalam waktu yang cukup lama.
Kurang berkembangnya penggunaan energi komersial lain terutama disebabkan
oleh kebijakan harga energi yang kurang mendukung. Harga bahan bakar minyak sampai
saat ini masih disubsidi, sehingga harganya relatif lebih murah dibanding energi lain. Di
samping itu infrastruktur untuk pemasokan bahan bakar minyak sudah sangat mapan
dibanding energi lain. Faktor lain yang tidak kalah penting, yaitu persepsi masyarakat yang
terlalu berorientasi pada penggunaan bahan bakar minyak, sehingga sulit untuk
merubahnya untuk menggunakan energi yang lain. Kondisi di atas menyebabkan

Jurnal SP/Oetomo Tri Winarno 7 dari 11 halaman


pengembangan energi lain kurang mendapatkan insentif. Ditambah lagi masalah-masalah
birokrasi dan kesimpang-siuran dalam pengelolaan energi yang cukup menghambat.

350000

300000 LPG
Listrik
250000 Batubara
Gas Bumi

Ribu SBM/tahun
200000 BBM

150000

100000

50000

0
1970

1972

1974

1976

1978

1980

1982

1984

1986

1988

1990

1992

1994
Tahun

Gambar 7. Perkembangan pemakaian energi final per jenis energi (DJLPE,1997)

Berdasarkan sektor pemakai, penggunaan energi dibagi menjadi tiga sektor


pemakai, yaitu : sektor rumah tangga (dan komersial), sektor industri, dan sektor
transportasi. Pada Gambar 6 diperlihatkan perkembangan penggunaan energi final
komersial per sektor pemakai. Sektor industri merupakan sektor yang paling cepat
pertumbuhan pemakaian energinya (11 % per tahun), disusul berturut-turut sektor
transportasi (9 % per tahun) dan rumah tangga (6 % per tahun). Pertumbuhan pangsa
pemakaian energi sektor industri ini sejalan dengan tumbuhnya industrialisasi di Indonesia.
Bila dibandingkan dengan pola penggunaan energi total (komersial dan biomasa) di
Amerika Serikat, di negara ini tahun 1974 sektor industri meliputi 41 % dari total pemakaian
energi, sedangkan transportasi hanya 25 % dari total pemakaian (Loftness, 1984). Dengan
program industrialisasi yang dilancarkan Indonesia pada PJP II, diperkirakan pola pemakaian
energi per sektor akan mengikuti pola di negara-negara industri maju seperti pola di
Amerika Serikat ini. Namun dengan wilayah Indonesia yang demikian tersebar, sektor
transportasi tetap cenderung menempati porsi yang relatif besar.

Jurnal SP/Oetomo Tri Winarno 8 dari 11 halaman


300000

250000 Rumah Tangga


Transportasi

Ribu SBM/tahun
200000 Industri

150000

100000

50000

0
1969

1971

1973

1975

1977

1979

1981

1983

1985

1987

1989

1991

1993
Tahun

Gambar 8. Perkembangan pemakaian energi final komersial per sektor pemakai


(DJLPE,1997)

5. Pengembangan Sistem Energi Berwawasan Lingkungan


Dengan semakin meningkatnya kegiatan manusia di muka bumi, kenaikan
akumulasi gas rumahkaca di atmosfir tidak dapat dihindari. Gas rumahkaca memerlukan
waktu yang cukup lama untuk bisa terurai menjadi unsur-unsur yang tidak merugikan.
Kecepatan penambahan gas rumahkaca di atmosfir jauh melebihi kecepatan peruraiannya.
Oleh karena itu, yang dapat dilakukan adalah mengurangi kecepatan penambahan gas
rumahkaca, agar terjadinya pemanasan global dapat diperlambat dan dikurangi.
Emisi gas rumahkaca ke atmosfir sebagian besar berasal dari kegiatan produksi dan
konsumsi energi. Oleh karena itu, usaha pengurangan emisi dari sektor ini perlu mendapat
prioritas. Pada Gambar 9. diperlihatkan strategi-strategi dasar yang dapat dilakukan untuk
melaksanakan hal ini.

sisi demand sisi supply

peralatan
kegiatan pasokan
pengguna
manusia energi
energi

- efisiensi kegiatan - efisiensi alat - fuel-mix dirubah


- pengontrol emisi - efisiensi produksi
- fuel-mix dirubah - pengontrol emisi

Gambar 9. Strategi pengurangan emisi gas rumahkaca

Jurnal SP/Oetomo Tri Winarno 9 dari 11 halaman


Sisi Demand
Dari sisi demand, emisi gas rumahkaca dapat dikurangi dengan mengefisienkan
kegiatan pemakaian energi, menaikkan efisiensi pemakaian energi pada peralatan
pengguna energi, menggunakan peralatan yang menggunakan energi terbarukan
(merubah fuel-mix) dan memasang peralatan pengontrol emisi pada proses-proses industri
maupun pada pembakaran energi fosil.
Mengefisienkan kegiatan dalam arti luas berarti mengurangi kegiatan pemakaian
energi tanpa menurunkan produktifitas, termasuk di dalamnya adalah melakukan konservasi
atau penghematan energi. Contoh dari intervensi ini, misalnya; di sektor transportasi :
mengurangi penggunaan mobil pribadi, mendorong penggunaan angkutan massal,
mengurangi penggunaan kendaraan bermotor; di sektor rumah tangga dan komersial :
mengurangi penggunaan pengatur suhu ruangan (air conditioner), lemari es, lampu
penerangan, dan sebagainya.
Pengurangan pemakaian energi dapat diusahakan juga dengan meningkatkan
efisiensi peralatan pengguna energi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengefisienkan
pemakaian energi pada alat yang sama atau mengganti dengan peralatan yang lebih hemat
energi. Contoh dari intervensi ini, misalnya; di sektor transportasi : mengendarai kendaraan
dengan kecepatan yang disarankan (pada kecepatan tinggi kendaraan menjadi boros bahan
bakar), menggunakan kendaraan yang lebih irit bahan bakar; di sektor rumah tangga :
menggunakan peralatan listrik yang lebih hemat energi; di sektor industri : menggunakan
mesin-mesin yang lebih hemat energi.
Usaha pengurangan emisi gas rumahkaca dapat dilakukan dengan mendorong
pemakaian peralatan yang menggunakan energi terbarukan. Misalnya; di sektor rumah
tangga : menggunakan pemanas air tenaga surya, konstruksi rumah yang memungkinkan
terjadi penerangan alami, pemanfatan biogas di pedesaan, dan sebagainya; di sektor
transportasi : pengembangan kendaraan berbahan bakar fuel cell, energi surya, energi
angin (kapal layar), etanol.
Selanjutnya untuk mengurangi emisi gas rumahkaca di sisi demand, dapat
diusahakan juga dengan memasang alat pengontrol emisi. Khususnya di sektor industri,
upaya ini akan banyak mengurangi emisi gas rumahkaca. Tetapi peralatan pengontrol emisi
ini relatif mahal, sehingga dapat berpengaruh pada biaya produksi. Sedangkan di sektor
transportasi, pengontrolan emisi ini dapat dilakukan dengan menetapkan standar emisi
kendaraan dan uji berkala kendaraan bermotor.

Sisi Supply
Dari sisi supply, usaha-usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan efisiensi
energi dalam memproduksi energi, memasang peralatan pengontrol dan merubah fuel mix
dalam pemasokan energi yang dapat meminimasi penggunaan energi fosil.
Efisiensi dalam produksi energi terutama perlu dilakukan pada produksi gas bumi.
Pada sektor ini, sampai saat ini gas bumi yang dibakar di lapangan (flare gas) dan gas yang
diinjeksikan kembali masih cukup besar. Termasuk dalam hal ini adalah pengurangan rugi-

Jurnal SP/Oetomo Tri Winarno 10 dari 11 halaman


rugi (lossess) pada jaringan transmisi atau pun distribusi, baik pada penyaluran minyak dan
gas bumi, maupun pada jaringan listrik.
Pengurangan emisi dilakukan juga dengan memasang peralatan pengontrol emisi,
terutama pada pusat-pusat pembangkit listrik yang berbahan bakar fosil dan di kilang-
kilang minyak dan gas bumi. Penggunaan teknologi batubara bersih perlu dikembangkan,
mengingat sumberdaya batubara di Indonesia yang melimpah.
Selanjutnya, pengurangan emisi dilakukan dengan mengubah fuel-mix untuk
mengurangi penggunaan energi fosil dan mendorong perkembangan energi terbarukan.
Hal ini terutama dapat dilakukan di sektor pembangkit listrik, dengan mengembangkan
pembangkit listrik tenaga air, tenaga panasbumi, tenaga matahari, tenaga nuklir (apabila
secara sosial dan politik telah diterima), tenaga angin, dan biomasa.
Tenaga air dan panasbumi mempunyai kapasitas yang cukup besar dalam
memenuhi kebutuhan listrik. Dengan mengembangkan sepertiga dari potensi tenaga air
dan panasbumi yang ada, kebutuhan listrik dewasa ini akan dapat dipasok hanya dari kedua
sumber energi ini. Kendala yang membatasi hal ini adalah letak potensinya yang sebagian
besar di luar Pulau Jawa, sedangkan demand-nya sebagian besar di Pulau Jawa. Untuk
mengatasi hal ini, cara yang dapat ditempuh yaitu membangun interkoneksi jaringan listrik
ke Pulau Jawa atau memindahkan pusat kegiatan ke luar Pulau Jawa.
Pola pemenuhan energi yang bersumber pada sumber energi setempat perlu
dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasokan BBM, karena pada
umumnya pembangkit kecil di kawasan terpencil menggunakan BBM. Pembangkit listrik
yang bisa dikembangkan misalnya gasifier biomasa dan mikrohidro.

6. Penutup
Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan menciptakan kesejahteraan
yang semakin meningkat di masa datang, salah satu hal yang sangat perlu dilakukan adalah
memperbaiki pola pemakaian dan pemanfaatan energi agar sesedikit mungkin
mengeluarkan dampak yang negatif terhadap lingkungan.
Strategi pengelolaan energi nasional, baik yang tertuang dalam Garis-garis Besar
Haluan Negara maupun dalam Kebijaksanaan Umum Bidang Energi, pada dasarnya telah
menggariskan arah-arah yang mendukung pola pembangunan berkelanjutan. Strategi yang
dimaksud adalah konservasi energi dan diversifikasi energi. Namun demikian, kebijakan
harga energi yang diberlakukan hingga saat ini tidak kondusif untuk pelaksanaan kedua
startegi di atas.
Untuk membentuk pola pemakaian energi yang lebih rasional dan berwawasan
lingkungan, perlu dibuat suatu kebijakan harga energi yang dapat mengurangi penggunaan
energi fosil, terutama BBM yang pangsanya demikian besar dalam pemasokan energi
domestik. Dengan adanya keberpihakan terhadap pengembangan energi terbarukan,
diharapkan ketergantungan terhadap energi fosil dapat diatasi.

Daftar Pustaka
1. ALGAS Project, “Final Report”, Final Report, Asian Development Bank, 1997.

Jurnal SP/Oetomo Tri Winarno 11 dari 11 halaman


2. American Embassy, “Petroleum Report Indonesia 1996”, 1997.
3. Departemen Pertambangan dan Energi, “Neraca Energi Indonesia 1985 - 1994”, 1996.
4. Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi, “Perencanaan Energi Nasional”,
1997.
5. Dit. Batubara, “Batubara Indonesia”, 1994.
6. Grubler, Arnulf, and Fujii, Yasumasa, “Inter-generational and Spatial Equity Issues of
Carbon Accounts”, Energy and the environment in the 21st century : proceeding of the
conference held at Massachusetts Institute of Technology, Cambridge, 1990, halaman
1404, 1405.
7. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, “Agenda 21 Indonesia : Strategi untuk
Pembangunan Berkelanjutan, 1997.
8. Loftness, Robert L., “Energy Technology Handbook”, second edition, van Nostrand
Reinhold Company, 1984, halaman 4-15, 15-4.
9. Pertamina, “Buku Data PERTAMINA”, 1996.
10. Perusahaan Listrik Negara, “Statistik PLN”, tahun 1985 s/d 1996.
11. Prinn, G. Ronald, “Global Atmospheric Chemistry and Global Pollution”, Energy and the
environment in the 21st century : proceeding of the conference held at Massachusetts
Institute of Technology, Cambridge, 1990, halaman 27.
12. Schneider, Stephen H., “Prediction of Future Climate Change”, Energy and the
environment in the 21st century : proceeding of the conference held at Massachusetts
Institute of Technology, Cambridge, 1990, halaman 50.
13. Winarno, Oetomo Tri, “Kajian Strategi Pengurangan Emisi Gas Rumahkaca Sektor Energi
di Indonesia : Pendekatan System Dynamics”, Thesis Magister pada Program Studi
Pembangunan ITB, Bandung, 1997.

Jurnal SP/Oetomo Tri Winarno 12 dari 11 halaman

Anda mungkin juga menyukai