Anda di halaman 1dari 26

Nama :

NIM :

Tugas UAS Merangkum

BAB I MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN (PPh)

A. Pajak merupakan alat yang digunakan oleh lembaga pemerintahan dalam mencapai
tujuan negara dalam menerima dana yang didapatkan dari masyarakat baik secara
langusng maupun tidak langsung, kesadaran masyarakat menjadi pekerjaan rumah bagi
pemerintah untuk menanamkan wajib pajak agar pembengunan negara dapat
terealisasikan. Banyak sekali wajib pajak yang harus dilaksanakan, seperti wajib
kendaraaan bermotor, pajak atas tanah dan pajak penghasilan. Dalam bab ini akan di
bahas mengenai pajak penghasilan. Definisi Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan atau PPh adalah pajak yang dibebankan atas suatu
penghasilan yang diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari
luar negeri. Dasar hukum PPh adalah Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan. UU ini mengalami empat kali perubahan, yakni:Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas UU No.7/1983 tentang Pajak
Penghasilan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua UU
No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan\

Jadi pajak penghasilan ialah pajak yang dipungut kepada objek dan subjek atas
penghasilan yang telah didapatkannya. Dan yang menjadi Badan objek pajak yaitu , tiap
penghasilan yang diperolah wajib pajik berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia
yang dapat dipakai untuk menampah nilai kekayaan negara yang bersangkutan dengan
nama dan dalam bentuk apapun, termasuk :

a) Imbalan yang diterima atas yag diperoleh berupa gaji, tunjangan, upah,
gonorariym, bonus , uang pensiun dan imbalan lain yang tertera dalam undang-
undang
b) Hadiah dari pekerjaan atau undian ataupun penghargaan
c) Laba dari suatu usaha
d) Keuntungan karena suatu penjualan atau adanya pengalihan harta, seperti
keuntungan karena pengalihan persekutuan, perseroan, badan lainnya akibat
penggantian penyertaan modal
e) Keuntungan berupa adanya pembebasan utang
f) Adanya perolehan pembayaran secara berkala
g) Royalti atas penggunaan hak
h) Keuntungan dari selisish kurs mata uang asing :
Hal ini berdasar pada sistem pembukuan mata uang yang dianut dan adanya
fluktasi atas standar akuntansi keuangan Indonesia yang berlaku.
i) Iuran yang diperoleh dari perkumpulan anggota yang menjalankan usaha bebas
j) Penghasilan usaha berbasis syariah
Landasan filosofi dari kegiatan berbasis syariah bersifat konvensional. Namun
pengasilan yang diperolah dari kegiatan ini merupakan tetap sebagai objek
pajak.

Setiap perusahaan jasa maupun non jasa sebagai wajib pajak diwajibkan untuk
membayar pajak. Undang-undang no. 7 Tahun 1984 tentang Pajak Panghasilan (PPH)
berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-undang ini telah beberapa kali mengalami
perubahan dan terakhir kali di ubah dengan Undang-undang no. 17 Tahun 2000.
Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pajak atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh orang pribadi maupun badan.

Dikecualikan dari Objek Pajak Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:

1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima
oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan
yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
3. warisan;
4. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal;
5. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang
dikenakan pajak secara final atau wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan
khusus (deemed profit);
6. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
bea siswa;
7. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik
daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat:
a) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b) bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor
8. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
9. h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun, dalam bidang-bidang
tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; i
10. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
11. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau
12. kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
a) merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan
dalam sektorsektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan; dan
b) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
13. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; m. sisa lebih yang diterima
atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan
dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi
yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu
paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
14. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
15. hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua
pembeli atau konsumen akhir tanpa diundii dan hadiah tersebut diterima langsung
oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa.

Subjek Pajak Penghasilan Yang menjadi subjek pajak penghasilan adalah:

1. orang pribadi;
2. . warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
3. badan; adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
4. bentuk usaha tetap. adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor
e. pabrik
f. bengkel
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan; l. proyek
konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan
l. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan
m. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas
n. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia; dan
o. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet.

Subjek Pajak Dalam Negeri Subjek Pajak dalam negeri adalah:

a) orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi
yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia; Kewajiban pajak subjektif orang pribadi dimulai
pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk
bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
b) badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah; dan pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan
fungsional negara; Kewajiban pajak subyektif badan dimulai pada saat
badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan
berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di
Indonesia.

c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Kewajiban pajak subyektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya
warisan yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai
dibagi

Subjek Pajak Luar Negeri Subjek Pajak luar negeri adalah:

a) orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia; Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan
dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap.
b) orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak
dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia. Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan
dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi
menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.

Tidak termasuk subjek pajak Tidak termasuk subjek pajak adalah:

1. kantor perwakilan negara asing


2. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan
3. konsulat atau
4. pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan
kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama
mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak
menerima atau memperoleh penghasilan diluar jabatan atau pekerjaannya
tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
5. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
a) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan
b) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota; Organisasi
Internasional adalah organisasi/badan/ lembaga/asosiasi/
perhimpunan/forum antar pemerintah atau non-pemerintah yang
bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional dan dibentuk
dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama.
c) pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional dengan syarat
bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan,
atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Pejabat perwakilan organisasi internasional adalah pejabat yang
diangkat atau ditunjuk langsung oleh induk organisasi internasional
yang bersangkutan untuk menjalankan tugas atau jabatan pada kantor
perwakilan organisasi internasional tersebut di Indonesia.

Tarif Pemotongan PPh Pasal 21 Tarif yang dipakai adalah tarif Pasal 17 ayat (1) Undang
undang Pajak Penghasilan, yaitu:

a) Penghasilan dibawah Rp 50.000.000 pertahun tarif pajaknya adalah sebesar


5%.
b) Penghasilan selanjutnya setelah melebihi Rp 50.000.000 hingga Rp
250.000.000 pajaknya sebesar 15%.
c) Penghasilan selanjutnya setelah melebihi Rp 250.000.000 hingga Rp
500.000.000 pajaknya sebesar 25%.
d) Penghasilan sebesar lebih dari Rp 500.000.000 pajaknya adalah 30%.
e) Untuk wajib pajak orang pribadi yang memiliki penghasilan dan memenuhi
kriteria membayar pajak tapi tidak memiliki NPWP, pajak terutang akan
dikenakan 20% lebih tinggi dari pajak yang seharusnya dibayarkan.

 Penyetoran pajak penghasilan (PPh) harus disetorkan paling lambat pada tanggal 10
bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Sedangkan pembayarannya paling lama
tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Sekarang ini proses
pembayaran pajak dapat dilakukan secara online. Dengan begitu akan semakin
memudahkan bagi setiap wajib pajak dalam menunaikan kewajibannya

Salah satu jenis pajak yang wajib dibayarkan oleh setiap warga negara adalah Pajak
Penghasilan (PPh). Oleh karena itu perhitungan pajak penghasilan menjadi sangat
penting diketahui bagi Anda yang sudah berpenghasilan.

Pajak penghasilan dibebankan kepada seseorang yang sudah memiliki penghasilan yang
diatur dalam undang-undang tentang pajak. Disebutkan bahwa yang terkena pajak PPh
adalah semua bentuk penghasilan, termasuk upah, gaji, tunjangan, honorarium, atau
pembayaran lain yang berhubungan dengan jasa, kegiatan, jabatan atau pekerjaan.

Pengetahuan tentang cara perhitungan pajak penghasilan ini berguna bagi wajib pajak
dalam proses pelaporan pajak. Perhitungan pajak penghasilan sendiri dihitung
berdasarkan besaran upah yang diterima, semakin besar upah maka semakin tinggi
pajak yang dikenakan.

Berikut langkah-langkah dalam perhitungan pajak penghasilan yang perlu Anda ketahui
untuk memudahkan Anda dalam membayar kewajiban sebagai warga negara.

ntuk besaran penghasilan sendiri tidak hanya berupa gaji atau upah saja, melainkan juga
termasuk tunjangan-tunjangan yang diterima oleh Anda. Semua penghasilan yang
diterima oleh seorang pegawai dalam setahun ini disebut dengan penghasilan kotor.
Sementara itu, perhitungan pajak penghasilan dikenakan pada penghasilan bersih yang
diterima seseorang dalam satu tahun. Sebelum perhitungan pajak penghasilan, Anda
perlu mengetahui lebih dulu jumlah penghasilan bersih yang diterima dari tempat Anda
bekerja selama satu tahun.

Penghasilan bersih dihitung dari penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan. Di dalamnya termasuk biaya pensiun, hutang,
dan kredit bank.

Menghitung Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Setelah Anda menghitung besaran penghasilan bersih selama satu tahun, langkah
selanjutnya yang perlu dilakukan dalam perhitungan pajak penghasilan adalah
mengetahui Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Perhitungan ini digunakan untuk
mencari Penghasilan Kena Pajak (PKP).

PTKP adalah jumlah penghasilan yang tidak dikenai pajak penghasilan, sehingga para
wajib pajak yang penghasilannya sebesar PTKP atau di bawah batas PTKP tak perlu
membayar pajak penghasilan.

Berikut tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) terbaru yang harus diketahui sebagai
berikut:

 Rp54.000.000 untuk diri wajib pajak orang pribadi.


 Rp4.500.000 tambahan untuk wajib pajak yang telah menikah.
 Rp54.000.000 untuk istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan
suami.
 Rp4.500.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling
banyak 3 orang untuk setiap keluarga.

Menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)

Selesai dengan menghitung PTKP, langkah berikutnya dalam perhitungan pajak


penghasilan adalah mengetahui besaran PKP yang diperoleh dengan melakukan
pengurangan antara penghasilan bersih dengan PTKP.
Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh)

Setelah Anda mengetahui besaran PKP, kemudian tentukan persentase perhitungan


pajak penghasilan (PPh) yang diterapkan dengan ketentuan sebagai berikut:

 PKP kurang dari Rp50.000.000 dikenai tarif pajak sebesar 5%


 PKP antara Rp50.000.000 -- Rp250.000.000 dikenai tarif pajak sebesar 15%
 PKP antara Rp250.000.000 -- Rp500.000.000 dikenai tarif pajak sebesar 25%
 PKP di atas Rp500.000.000 dikenai tarif pajak 30%

Langkah selanjutnya dalam perhitungan pajak penghasilan yaitu dengan mengalikan


antara PKP yang sudah diperoleh dengan persentase sesuai ketentuan. Hasil perkalian
tersebut adalah PPh yang wajib dibayarkan dalam periode satu tahun.

Simulasi Perhitungan Pajak Penghasilan

Untuk lebih memudahkan Anda dalam perhitungan pajak penghasilan, silahkan simak
simulasi perhitungan pajak penghasilan atau PPh berikut ini:

Aditia merupakan seorang kepala keluarga dengan satu anak. Aditia bekerja di salah satu
perusahaan swasta. Penghasilan bruto (kotor) yang terdiri dari gaji, tunjangan, dan
pembayaran lain adalah senilai Rp100.000.000. Aditia membayar iuran pensiun dan
tunjangan hari tua senilai Rp2.000.000 setiap bulan. Maka, berikut perhitungan pajak
penghasilan yang harus dibayar oleh Aditia.

1. Hitung penghasilan bersih (Penghasilan Bruto - beban tanggungan)


Rp100.000.000 - Rp2.000.000 = Rp98.000.000
2. Hitung PTKP (PTKP = Pribadi + Istri + Anak) Rp54.000.000 + Rp4.500.000 +
Rp4.500.000 = Rp63.000.000
3. Hitung PKP (PKP = Penghasilan bersih - PTKP) Rp98.000.000 - Rp63.000.000 =
Rp35.000.000
4. Hitung PPh (PKP x Persentase PPh) Karena PKP Aditia kurang dari Rp50.000.000,
maka pajak yang harus ia bayarkan adalah 5% dari PKP-nya Rp35.000.000 x 5% =
Rp1.750.000
5. Maka, PPh yang harus dibayarkan Aditia selama setahun adalah sebesar
Rp1.750.000.

Contoh lain perhitungan pajak penghasilan belum menikah


Ridwan adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta yang belum menikah.
Dengan begitu, berikut simulasi perhitungan pajak Ridwan.

1. Gaji per bulan = Rp6.000.000


2. Penghasilan neto per tahun = Rp6.000.000 x 12 = Rp72.000.000
3. PTKP = Rp54.000.000
4. PKP Ridwan = Rp72.000.000 – Rp54.000.000 = Rp18.000.000
5. Pembayaran PPh (tarif 5%) = 5% x Rp18.000.000 = Rp900.000
6. PPh tersebut sudah dipotong oleh pemberi kerja (perusahaan), sehingga saat
melaporkan pajak di SPT Tahunan nihil atau tidak kurang bayar pajak.

Untuk itu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk: penggantian atau
imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk
gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan
dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini; hadiah dari
undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; laba usaha; keuntungan karena
penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: keuntungan karena pengalihan harta
kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal; keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya.

BAB II Definisi Pencatatan Dan Pembukuan, Syarat-Syarat Pencatatan dan


Pembukuan, Dan Sanksi Terkait Pencatatan Dan Pembukuan
Didalam pembukuan dan pencatatan pajak adalah metode kas dan metode
akrual. Metode kas ialah metode perhitungan penghasilan dan biaya berdasarkan pada
saat diperoleh atau pada saat terhutang. Metode akrual ialah metode menghitung yang
didasarkan pada penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar tunai. Salah satu
bentuk tanggungjawab wajib pajak ialah penyelenggaraan pembukuan dan pencatatan
kegiatan usaha (perusahaan) milik wajib pajak. Dimana ada dua laporan pembukuan dan
pencatatan keuangan yang akan ditunjukan yaitu yang pertama untuk para kreditur,
investor, manajer dan karyawan dan yang kedua untuk pemerintah.
Perpajakan ialah suatu proses dimana digunakan untuk mengumpulkan
data dan informasi yang mencakup keadaan harta, kewajiban atau utang, modal,
penghasilan dan biaya. Tujuan utama dalam proses pembukuan dan pencatatan ialah
untuk menghitung pajak terutang setiap tahun. Sistem pembukuan dan pencatatan
biasa menggunakan Sistem Self Assessement yaitu dengan memberikan kepercayaan
dan tanggungjawab kepada masyarakat untuk menghitung, membayara dan melaporkan
sendiri pajak yang harus ditanggung atau dibayar. Dipandang dari sudut pandang
kebijakan, kebijakan perpajakan ini diharapkan dapat merangsang investasi di berbagai
sektor yang ada, karena pertumbuhan investasi berarti mencerminkan tumbuhnya
proses pemasukan pajak. Sedangkan perpajakan dan akuntasi juga memiliki perbedaan
peraturan, akuntasi bersifat umum atau standar akuntasi keuangan, sedangkan pajak
memiliki ketentuan perpajakan. Manajemen menghitung laba perusahaan dengan dua
tujuan untuk setiap tahunnya, yaitu untuk melaporkan keuangan berdasarkan Prinsip
Akuntasi Berterima Umum (PABU) dan pelaporan berdasarkan pajak untuk mengetahui
dan menentukan besarnya penghasilan kena pajak (taxable income) laba fiskal. Dalam
pembukuan dan pencatatan juga terdapat sanksi yang mengikat para wajib pajak hal ini
dimaksudkan agar para wajib pajak dapat memenuhi tanggungjawabnya sebagai wajib
pajak.
Proses pembukuan maupun pencatatan pajak merupakan kegiatan utama di
dalam akuntansi komersial. Dari sisi pajak, pembukuan dan pencatatan ini menjadi suatu
hal yang sangat krusial karena apa yang dibukukan atau dicatat akan menjadi dasar bagi
setiap Wajib Pajak untuk menghitung besarnya pajak yang terutang.
Pada prinsipnya, setiap Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas, dan Wajib Pajak Badan di Indonesia wajib menyelenggarakan
pembukuan.Hal ini telah diatur di dalam Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007.
Namun, kewajiban pembukuan dikecualikan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai ketentuan perundang-
undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto.
Fitur aplikasi pajak Jurnal untuk perpajakan otomatis
Wajib Pajak yang dimaksud antara lain Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan
usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah bruto dalam setahun kurang dari
Rp4,8 Milyar. Sebagai gantinya, Wajib Pajak dengan kriteria tersebut tetap wajib
melakukan pencatatan. Kewajiban pencatatan juga berlaku bagi Wajib Pajak yang tidak
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Lantas bagaimana perbedaan
pembukuan dan pencatatan pajak menurut ketentuan perundang-undangan?
Di dalam Pasal 1 angka 26 UU KUP, disebutkan bahwa pembukuan merupakan suatu
proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan
informasi keuangan.
Informasi keuangan yang dimaksud adalah yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa,
yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, serta laporan laba-
rugi untuk periode tahun pajak tersebut.
Adapun proses pembukuan yang dilakukan setiap Wajib Pajak harus memenuhi syarat-
syarat berikut ini:
a) Harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan
keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
b) Diselenggarakan di Indonesia dan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan
mata uang rupiah serta disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa
asing yang telah diizinkan oleh Menteri Keuangan.
c) Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel
kas.
Selain itu setiap pembukuan sekurang-kurangnya harus terdiri dari catatan mengenai
harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta transaksi dalam satu periode
sehingga dapat dihitung besarnya pajak terutang.
Di dalam Pasal 28 ayat UU KUP telah disebutkan bahwa pencatatan merupakan kegiatan
pengumpulan data yang dilakukan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan
bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang
terutang. Hal ini termasuk penghasilan yang bukan merupakan objek pajak dan/atau
yang dikenai pajak yang bersifat final.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2017 tentang
Bentuk Dan Tata Cara Pencatatan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, syarat-syarat
penyelenggaraan pencatatan pajak adalah sebagai berikut:
a) Pencatatan harus dilakukan secara teratur dan mencerminkan keadaan yang
sebenarnya dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang
rupiah, serta harus disusun menggunakan bahasa Indonesia.
b) Pencatatan dalam satu tahun harus dilakukan secara kronologis.
c) Dalam pencatatan pajak, harus menggambarkan peredaran atau penerimaan bruto
dan/atau jumlah penghasilan bruto yang diterima dan/atau diperoleh. Selain itu
juga harus menggambarkan penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau
penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
Pencatatan Pajak
Jurnal PPN dapat diartikan sebagai pencatatan akuntansi atas PPN yang melekat pada suatu
transaksi, baik transaksi penjualan maupun pembelian. Jika seorang PKP telah melakukan
penjualan atau penyerahan atas BKP/JKP, maka PKP tersebut memiliki hak untuk
melakukan pemungutan PPN.
Hal tersebut merupakan pajak keluaran. Sementara, jika PKP melakukan transaksi
pembelian atau menerima BKP/JKP, maka PKP tersebut akan dikenakan pajak
masukan.Pembuatan jurnal PPN dengan mencatat setiap transaksi pembelian atau
penjualan BKP/JKP diperlukan sebagai fungsi analisis untuk menentukan perkiraan yang di
debit dan perkiraan yang dikredit. Selain itu, pembuatan jurnal PPN juga diperlukan untuk
mencatat setiap aktivitas bisnis yang berhubungan dengan PPN.
Prosedur pembukuan atau pembuatan jurnal PPN terdiri dari tiga faktor, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Pembelian BKP atau JKP, dimana PPN dapat dikreditkan dan yang tidak dapat
dikreditkan.
2. Penjualan dan PPN yang terutang.
3. PPN yang masih harus dibayarkan dan lebih bayar PPN.
Bagi Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis atau tempat usaha, pencatatan
pajak harus dilakukan secara jelas. Pencatatan harus menggambarkan masing-masing jenis
atau tempat usaha tersebut. Selain kewajiban untuk menyelenggarakan pencatatan, Wajib
Pajak juga harus menyelenggarakan pencatatan.
Pencatatan pajak yang dimaksud terdiri atas harta dan kewajiban. Penyelenggaraan
pembukuan maupun pencatatan bertujuan untuk mempermudah setiap Wajib Pajak dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya. Diantaranya adalah pengisian SPT, perhitungan PKP,
PPN dan PPnBm. Serta untuk mengetahui posisi keuangan dari hasil kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas Wajib Pajak.

Penyusunan Pencatatan Pajak


Ada 3 cara atau metode yang dapat dilakukan untuk melakukan pencatatan jurnal PPN.
Ketiga metode tersebut diantaranya adalah sebagai berikut ini:
PPN masukan dan PPN keluaran harus dibukukan pada satu perkiraan. Pembukuan
dengan cara ini hanya dapat menggunakan satu perkiraan, yaitu PPN yang saldonya
mungkin debit atau kredit. Hal tersebut tergantung mana yang lebih besar antara pajak
masukan atau pajak keluaran untuk suatu masa pajak.
PPN masukan dan PPN keluaran harus dibukukan secara terpisah tanpa prosedur offset
pada setiap masa pajak. Dengan cara seperti ini, saldo masing-masing perkiraan akan
bertambah secara terus-menerus. Karena akan terjadi akumulasi PPN masukan dan PPN
keluaran selama periode tertentu.
PPN masukan dan PPN keluaran harus dibukukan secara terpisah, dengan prosedur
offset pada setiap akhir masa pajak. Prosedur pembukuan sampai dengan penyetoran
selisih PPN masukan dan PPN keluaran ke kas negara atau penerimaan restitusi sama
seperti prosedur pembukuan pada cara kedua. Pada akhir masa pajak, harus dilakukan
penjurnalan untuk meng-offset perkiraan PPN. Baik PPN masukan dan PPN keluaran pada
saat selesainya pembuatan SPT masa pajak PPN bulan yang bersangkutan.

A. SYARAT – SYARAT PEMBUKUAN DAN PENCATATAN


Adapun proses pencatatan dan pembukuan yang dilakukan setiap Wajib Pajak yang
wajib memenuhi syarat-syarat berikut ini
a. Diselenggarakan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan
usaha yang sebenanya.
b. Harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka
Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam Bahasa Indonesia atau
dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
c. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel
akrual atau stelsel kas. Perubahan pada metode pembukuan dan/atau tahun
buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
d. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta,
kewajiban modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian
sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
e. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah
dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri
Keuangan
f. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan
dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang
dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online dalam hal ini
wajib disimpan di Indonesia selama 10 (tahun) tepatnya di tempat kegiatan
atau tempat tinngal orang pribadi atau wajib pajak.
B. SANKSI TIDAK MEMENUHI KEWAJIBAN PENCATATAN DAN PEMBUKUAN

Adapun sanksi yang diberikan kepada wajib pajak apabila tidak memenuhi kewajiban
pencatatan dan pembukuan antara lain:
a. Tidak mengadakan pembukuan/pencatatan, pajak yang terutang ditetapkan
dengan SKP ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%, dan
khusus untuk PPh Pasal 29 ditambah kenaikan sebesar 50%.
b. Setiap orang yang dengan sengaja:
1. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu
atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya.
2. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain.
3. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen laim termasuk hasil penoolahan
data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan
'secara program aplikasi online di Indonesia.

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang tidak atau
kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar. Pidana menjadi 2 (dua) kali hukuman pidana apabila seseorang
melakukan lagi tindak pidana pada bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun,
terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
c. Sanksi Perpajakan
Sanksi perpajakan adalah suatu jaminan dimana ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan atau norma perpajakan yang wajib dituruti/ditaati/dipatuhi.
Dengan istilah lain merupakan alat pencegah (preventif) supaya wajib pajak tidak
melanggar norma-norma perpajakan. Didalam undang-undang perpajakan dikenal
memiliki dua macam sanksi, yaitu Sanksi Administrasi dan Sanksi Pidana. Perbedaan
sanksi administrasi dan sanksi pidana ialah:
Sanksi Administrasi
Yaitu pembayaran sejumlah uang kepada negara akibat sesuatu yang menyebabkan
kerugian negara.
Sanksi pidana
Yaitu suatu aturan hukum yang bersifat menyiksa yang digunakan fiskus agar norma-
norma perpajakan dipatuhi.
d. Sanksi Pidana
Ketentuan sanksi pidana dilihat dalam ketentuan dalam undang-undang perpajakan ada 3
macam sanksi pidana, yaitu: denda pidana, kurungan, dan penjara.
e. Denda pidanaPerbedaan antara Sanksi berupa hukuman administrasi yang hanya
diancam/ dikenakan kepada Wajib Pajak yang melanggar ketentuan peraturan
perpajakan, sedangkan sanksi berupa hukuman pidana selain dikenakan pada Wajib Pajak
ada juga yang diancamkan pada pejabat pajak atau pihak ketiga yang melanggar norma.
Hukuman pidana dikenakan kepada tindak pidana bersifat pelanggaran dan bersifat
kejahatan.
f. Pidana kurungan,
Pidana kurungan biasanya diancamkan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran.
Ditunjukan kepada wajib pajak dan pihak ketiga yang melanggar undang-undang didalam
perpajakan. Maka dalam hal ini ketentuan mengenenai denda pidana diganti dengan
pidana kurungan
g. Pidana penjara
Pidana penjara hampir sama dengan pidana kurungan, merupakan hukuman perampasan
kemerdekaan kepada wajib pajak. Pidana penjara diancamkan terhadap kejahatan.
Ancaman pidana penjara tidak ditujukan kepada pihak ketiga, namun pada pejabat dan
kepada Wajib Pajak.

Secara umum pembukuan merupakan proses pencatatan yang dilakukan secara


teratur yang digunakan untuk mengumpulkan suatu data atau informasi keuangan seperti
harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan
penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak yang diakhir akan ditutup dengan
penyusunan laporan keuangan yang berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap
tahun pajak berakhir.

Pembukuan wajib dilakukan oleh wajib pajak yang mempunyai keperluan


perpajakan seperti perseroan yang melakukan kegiatan usaha, badan koperasi yang pada
dasarnya menjadi subjek pajak penghasilan , serta wajib pajak orang pribadi yang memiliki
modal tertentu minimal dalam jumlah Rp 10 JT dan memiliki peredaran bruto dalam
setahun melebihi Rp 120 JT . Selain itu untuk wajib pajak orang pribadi yang diluar
ketentuan yang berlaku tersebut dapat membuat dan menjalankan pembukuan untuk
menghitung penghasilan atau laba kena pajaknya.

Perlu kita ketahui bahwa biasanya pembukuan ataupun dokumen lainnya harus
disimpan selama 10 tahun yang diberlakukan untuk wajib pajak ditempat kegiatan itu
sendiri dan untuk wajib pajak badan di tempat kedudukannya. Bagi wajib pajak orang
pribadi dan badan yang tidak melakukan pembukuan maka akan mendapatkan sanksi
atas tidak mengadakannya pembukuan, sanksi tersebut antara lain :

1. Pajak terutang yang ditetapkan oleh Surat Ketetapan Pajak (SKP) akan dinaikan
menjadi 100% , khusus untuk PPh 29 akan dinaikan menjadi 50%
2. Jika WP pribadi ataupun badan memperlihatkan pembukuan atau dokumen lain
palsu yang seolah-olah dibenarkan, tidak mengadakan pembukuan,dan tidak
memperlihatkan dokumen lainnya maka akan mendapat pidana sampai 3 tahun
dan denda sampai 4 kali jumlah pajak yang tidak dibayar.

Sementara itu pemeriksaan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencari,


mengumpulkan, serta mengolah data atau keterangan lain guna untuk pengawasan
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak sesuai dengan peraturan dalam
undang-undang perpajakan yang berlaku. Untuk menghadapi wajib pajak dalam
mengadakan pembukuan maka DJP menunjuk KPP sebagai instansi yang memiliki
wewenang dalam bidang perpajakan yang diberikan sepenuhnya oleh undang-undang
guna untuk mengadakan pemeriksaan pembukuan terhadap wajib pajak.

Apabila DJP dan KPP mendapat keraguan terhadap ketentuan pembukuan yang dibuat
oleh WP maka Direktur Jenderal Pajak dapat menugaskan seorang akuntan untuk
mengadakan pemeriksaan atas semua pembukuan WP sampai pada bukti-bukti mendasar
dan dapat dilakukan pemeriksaan secara sektoral atau pemeriksaan atas bagian tertentu
dalam pembukuan. Dalam melakukan pemeriksaan yang dilakukan oleh akuntan dapat
dilaksanakan di tempat usaha atau tinggal wajib pajak.

Nah, dan yang terakhir adalah penyelidikan. Penyelidikan itu sendiri merupakan suatu
kegiatan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang
dimana dengan adanya bukti tersebut membuat adanya titik terang atas tindak pidana
dalam bidang perpajakan yang terjadi dan dapat menemukan tersangka serta mengetahui
besarnya pajak terutang yang diduga digelapkan dalam tindak pidana tersebut.

Penyidikan tindak pidana pada dasarnya hanya dapat dilakukan oleh pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang berada dalam lingkungan DJP yang diberi penugasan
atau wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana yang terjadi dalam perpajakan.

Tindak pidana dalam bidang perpajakan ini dapat berupa kealpaan atau kesengajaan yang
dilakukan oleh WP. Kealpaan itu sendiri merupakan sesuatu yang terjadi ketika WP alpa
atau dengan sengaja tidak menyampaikan SPT ataupun menyampaikan SPT namun isinya
tidak benar dan tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian yang berdampak
pada pendapatan negara.

Ketika mendaftar sebagai wajib pajak baik itu wajib pajak orang pribadi maupun badan
usaha, maka kita sebagai wajib pajak wajib menyelenggarakan pembukuan ataupun
pencatatan dalam menghitung pajak terutangnya. Penyelenggaraan pembukuan
dilakukan oleh orang Pribadi ataupun badan apabila peredaran brutonya selama setahun
mencapai 4,8 milyar, sedangkan penyelenggaraan pencatatan dilakukan hanya oleh orang
Pribadi yang peredaran brutonya adalah dibawah 4,8 milyar setahun.

Hal ini isebutkan dalam UU KUP pasal 1 angka 29, pembukuan adalah suatu
proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan
informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban modal, penghasilan dan biaya.

BAB III MENGHITUNG PPh ORANG PRIBADI DAN BADAN


Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi dan Badan
Pajak penghasilan (PPh) orang pribadi merupakan pajak yang dikenakan terhadap
pribadi atas penghasilan yang diterimanya atau diperoleh dalam tahun pajak. Seperti
yang sudah dijelaskan di atas bahwa subjek pajak yang dimaksud yaitu orang pribadi
yang berdomisili di Indonesia atau sedang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam
periode 12 bulan dan orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia,
serta berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

Sedangkan yang dimaksud objek pajak penghasilan orang pribadi yaitu penghasilan
atau setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh orang
pribadi, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia yang dapat digunakan
sebagai penambah kekayaan wajib pajak. PPh Badan menurut UU Nomor 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Badan adalah sekumpulan orang
atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan kegiatan usaha ataupun
tidak melakukan kegiatan usaha. Badan meliputi perseroan komanditer, perseroan
terbatas, atau perseroan lainnya, badan usaha milik negara, maupun badan usaha milik
daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, dan lainnya. Subjek pajak
penghasilan badan yaitu subjek pajak badan dalam negeri dan luar negeri. Subjek badan
dalam negeri merupakan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia,
kecuali unit tertentu dari badan pemerintah. Subjek badan luar negeri adalah badan
yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Secara
umum ruang lingkup pajak penghasilan badan yaitu PPh yang dipotong atau dipungut
pihak lain yang meliputi PPh 22, PPh 23, dan PPh 24. Serta, PPh yang dibayar sendiri
meliputi PPh 25 dan PPh 29.
1. Ketentuan Hukum PPh Orang Pribadi
Adapun ketentuan hukum yang berlaku pada PPh orang pribadi dengan
mengacu pada aturan yang terkait sebagai berikut:
a. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 17 tentang tarif yang
diberlakukan oleh pemerintah terhadap subjek pajak.
b. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-536/PJ/2000 tentang norma
penghitungan penghasilan neto bagi wajin pajak yang dapat menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan.
c. Peraturan Dirjen Pajak No. PER-17/PJ/2015tentang norma penghitungan
penghasilan neto.
d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 23 Tahun 2018 tentang pajak
penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib
pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu (menggantikan PP 46 Tahun
2013).
e. Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tata cara
perpajakan (perubahan UU No. 6 Tahun 1983).
2. Ketentuan Hukum PPh Badan
Adapun ketentuan hukum yang berlaku pada PPh badan dengan mengacu
pada aturan yang terkait sebagai berikut:
a. UU Nomor 7 tahun 1983 stdtd UU Nomor 36 tahun 2008 tentang pajak
penghasilan.
b. Peraturan Pemerintah No. 94/2010 tentang penghitungan penghasilan kena
pajak dan pelunasan pajak penghasilan dalam tahun berjalan.
c. Peraturan Pemerintah No. 56/2015 tentang penurunan tarif pajak penghasilan
bagi wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka.
d. Peraturan Pemerintah No. 36/2017 tentang pengenaan pajak penghasilan atas
penghasilan tertentu berupa harta bersih yang diperlakukan atau dianggap
sebagai penghasilan.
e. Peraturan Pemerintah No. 23/2018 tentang pajak penghasilan atas
penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu.
f. Peraturan Menteri Keuangan No. 35/PMK.010/2018 tentang pemberian
fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan.
g. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-02/PJ/2015 tentang penegasan
atas pelaksanaan pasal 31E ayat 1 UU No. 7 Tahun 1983 tentang pajak
penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No.
36 tahun 2008.

Perhitungan dan Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi dan Badan

A. Perhitungan dan Tarif PPh Orang Pribadi


Dalam menghitung besarnya PPh terutang, Wajib Pajak Orang Pribadi harus
terlebih dahulu mengetahui besarnya penghasilan neto yang dapat dihitung melalui
pembukuan atau pencatatan. Pemilihan menggunakan pembukuan atau
pencatatan ini berpengaruh terhadap penetapan tarif pajak yang digunakan untuk
menghitung besarnya PPh terutang

Contoh Menghitung PKP atau Cara Menghitung Pajak Penghasilan Pibadi Karyawan 1

BU Yuyun adalah seorang pekerja swasta dengan penghasilan sebesar Rp280.000.000


dalam satu tahun. Saat ini Bu Yuyun berstatus belum kawin dan tidak memiliki
tanggungan. Berapakan Penghasilan Kena Pajak yang ditanggung oleh Bu. Yuyun?

Berikut perhitungan PPh Pribadi Pasal 21 atas gaji Bu Yuyun yang dipotong
perusahaan sesuai tarif PPh Pribadi terbaru dalam UU HPP:

Berikut perhitungannya:

Penghasilan 1 tahun Rp280.000.000

Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/0) Rp 54.000.000

Penghasilan Kena Pajak:

= (Penghasilan 1 tahun) – (PTKP)

= Rp280.000.000 – Rp54.000.000

= Rp226.000.000

PPh Terutang adalah:

= 5% x Rp60.000.000 = Rp3.000.000

= 15% x Rp166.000.000 = Rp24.900.000


Jadi, jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh Bu Yuyun atau yang dipotong
perusahaan pemberi kerja adalah Rp3.000.000 + Rp24.900.000 = Rp27.900.000 dalam
satu tahun.

1. Penyesuaian Fiskal
Penyesuaian fiskal adalah penyesuaian yang harus dilakukan sebelum
menghitung PPh OP bagi wajib pajak yang menggunakan pembukuan dalam
menghitung penghasilan kena pajak. Hal ini bertujuan untuk menyesuaikan jumlah
penghasilan dalam pembukuan menjadi penghasilan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. 
a. Penyesuaian Fiskal Positif 
Penyesuaian ini akan menyebabkan penambahan penghasilan kena pajak dan PPh
terutang. Contoh untuk mengetahui penyesuaian fiskal positif antara lain : 
1. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi. 
2. Premi Asuransi yang dibayarkan oleh Wajib Pajak. 
3. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan. 
4. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan terkait pekerjaan yang
dilakukan. 
5. Harta yang dihibahkan, bantuan, atau sumbangan. . 
6. Sanksi penyusutan/amortisasi komersial diatas penyusutan/amortisasi
fiskal. 
7. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
dikenakan Pajak Penghasilan Final dan penghasilan yang tidak termasuk
Objek Pajak. 
b. Penyesuaian Fiskal Negatif 
Contoh penyesuaian fiskal negatif antara lain : 
1. Penghasilan yang telah dikenakan PPh Final dan Penghasilan yang bukan merupakan
objek pajak. 
2. Selisih penyusutan/amortisasi komersial di bawah penyusutan/amortisasi fiskal. 

Cara Menentukan PPh Badan


Dengan demikian, untuk menentukan tarif PPh Badan bagi Wajib Pajak Badan ini harus
memperhatikan hal berikut ini:

1. Bentuk Badan
Apakah WP Badan tersebut memenuhi syarat perseroan terbuka tertentu atau
bukan?
2. Besarnya peredaran bruto apakah melebihi Rp50 miliar atau tidak
Untuk WP Badan yang tidak melebihi Rp50 miliar, terdapat bagian penghasilan kena
pajak yang memperoleh fasilitas dan bagian yang tidak mendapat fasilitas
pengurangan tarif PPh Badan.

Contoh 1,

PT AAA merupakan Perusahaan Tbk dengan penghasilan bruto sebesar


Rp80.000.000.000 dengan Penghasilan Kena Pajak dari hasil pembukuannya sebesar
Rp5.000.000.000. Karena Peredaran Bruto PT AAA telah melebihi Rp50 miliar, maka
ketentuan penghitungan PPh sesuai Pasal 17 ayat (2a) yaitu menggunakan tarif sebesar
25%.

Maka, PPh Badan Terutang PT AAA adalah:

Peredaran Bruto = Rp80.000.000.000

Penghasilan Kena Pajak = Rp5.000.000.000

PPh Badan = (25% x Penghasilan Kena Pajak)

= 25% x Rp5.000.000.000

= Rp1.250.000.000

Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan bagian penghasilan kena pajak
yang memperoleh fasilitas pengurangan tarif dan menghitung besar PPh untuk bagian
tersebut.

Peredaran Bruto = Rp45.000.000.000

Penghasilan Kena Pajak = Rp4.500.000.000


Bagian Penghasilan Kena Pajak dengan Fasilitas:

= ([Batas Penghasilan Bruto yang mendapat fasilitas tarif : Peredaran Bruto] x


Penghasilan Kena Pajak)

= (Rp4.800.000.000/Rp45.000.000.000) x Rp4.500.000.000

= Rp480.000.000

PPh Terutang untuk Bagian dengan Fasilitas:

= (Pengurang Tarif x Tarif PPh x Penghasilan Kena Pajak dengan Fasilitas)

= 50% x 25% x Rp480.000.000

= Rp60.000.000

a. PPh Final (PP 23 Tahun 2018) 


Soal:
Pak Antasena memiliki usaha apotek dan memilih untuk melakukan pencatatan
omset dalam usahanya. Berdasarkan catatan yang dimilikinya, pada tahun pajak
2020, Pak Antasena memperoleh peredaran bruto sebesar Rp. 1.000.000.000.
Selama bulan Januari 2021, Antasena memperoleh penghasilan dari usaha
apoteknya sebesar Rp. 100.000.000. Berdasarkan data tersebut, berapa besarnya
PPh Final untuk bulan Januari 2021?
Pembahasan:
Pak Bagas tidak menyelenggarakan pembukuan sehingga tidak ada perlakuan
akuntansi dalam kasus ini. Jumlah peredaran bruto pada tahun pajak 2020 tidak
mencapai RP. 4,8 M, sehingga Pak Nusa menggunakan perhitungan sesuai dengan
ketentuan PP 23 tahun 2021. 
Perhitungannya yaitu
Penghasilan Bruto  Rp. 100.000.000 
Tarif PP 23  0.5% ×
PPh Final  Rp. 500.000 
(Bukti Plagiarisme)

Anda mungkin juga menyukai