Agama Dan Tantangan Radikalisme
Agama Dan Tantangan Radikalisme
Disusun oleh:
Universitas Brawijaya
Malang
2021
BAB 1. PENDAHULUAN
Radikalisme bisa diartikan suatu sikap atau paham yang secara ekstrim,revolusioner
dan militant untuk memperjuangkan perubahan dari arus utama yang dianut masyarakat.
Radikalisme tidak harus muncul dalam wujud yang berbau kekerasan fisik. Ideologi
pemikiran, kampanye yang masif dan demontrasi sikap yang berlawanan dan ingin mengubah
mainstream dapat digolongkan sebagai sikap radikal.
Fenomena tindak radikalisme dalam agama memang bisa dipaham secara beragama,
namun secara ensensial, radikalisme agama umunya memang selalu dikaitkan dengan
pertentangan secara tajam anatara nilai-nilai yang diperjuangkan kelompok agama tertentu
dengan tatanan nilai yang berlaku atau dipandang mapan pada saat itu. Dengan demikian,
adanya pertentangan, pergesekan ataupun ketegangan, pada akhirnya menyebabkan konsep
dari radikalisme selalu saja dikonotasikan dengan kekerasan fisik. Apalagi realitas yang saat
ini telah terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat mendukung dan semakin
memperkuat munculnya pemahaman seperti itu.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Agama?
2. Apa yang dimaksud dengan Radikalisme?
3. Bagaimana asal mula terjadinya radikalisme?
4. Apa saja factor pemicu radikalisme agama?
5. Bagaimana cara mencegah terjadinya radikalisme?
BAB 2. Pembahasan
Banyak ahli menyebutkan agama berasal dari bahasa Sansakerta, yaitu “a” yang
berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. Maka agama berarti tidak kacau (teratur).
Dengan demikian agama itu adalah peraturan, yaitu peraturan yang mengatur keadaan
manusia, maupun mengenai sesuatu yang gaib, mengenai budi pekerti dan pergaulan hidup
bersama. Menurut Daradjat (2005) agama adalah proses hubungan manusia yang dirasakan
terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu lebih tinggi dari pada manusia. Sedangkan
Glock dan Stark mendefinisikan agama sebagai sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai,
dan system perilaku yang terlembaga, yang kesemuanya terpusat pada persoalan-persoalan
yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate Mean Hipotetiking). Cliffort Geertz
mengistilahkan agama sebagai sebuah system simbol-simbol yang berlaku untuk menetapkan
suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi dan yang tahan lama dalam diri
manusia dengan merumuskan konsep konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan
membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga suasana hati
dan motivasi-motivasi itu tampak realistis.
Dalam Bahasa Arab, agama di kenal dengan kata al-din dan al-milah. Kata al-din
sendiri mengandung berbagai arti. Ia bisa berarti al-mulk (kerajaan), al-khidmat (pelayanan),
al-izz (kejayaan), al-dzull (kehinaan), al-ikrah (pemaksaan), al-ihsan (kebajikan), al-adat
(kebiasaan), al-ibadat (pengabdian), al-qahr wa al-sulthan (kekuasaan dan pemerintahan), al-
tadzallulwa al-khudu (tunduk dan patuh), al-tha‟at (taat), al-Islam al-tauhid (penyerahan dan
mengesakan Tuhan). Dari istilah agama inilah kemudian muncul apa yang dinamakan
religiusitas. Glock dan Stark merumuskan religiusitas sebagai komitmen religius (yang
berhubungan dengan agama atau keyakinan iman), yang dapat Dilihat melalui aktivitas atau
perilaku individu yang bersangkutan dengan agama atau keyakinan iman yang dianut.
Religiusitas seringkali diidentikkan dengan keberagamaan. Religiusitas diartikan sebagai
seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan
kaidah dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya.
2.3 Pengertian Radikalisme
Menurut kamus besar Baahsa Indonesia, radikalisme adalah paham atau aliran yang
menghendaki perubaan sosial dan politik, dengan mengunakan kekerasan sebagai batu
loncatan untuk menjustifikasi keyakinan yang mereka anggap benar. Dari sini, dapat dilihat
bahwa radikalisme adalah suatu paham kenegaraan yang menghendaki adanaya perubaan dan
revolusi besar-besaran, sebagai jalan untuk menggapai taraf kemajuan yang signifikan.
Definisi yang terakir ini cenderung bermakna positif yang bisa melahirkan kemajuan yang
besar terhadap peradapan dunia. Kecenderungan makna radikalisme yang melahirkan bias
politik maupun ekonomi, pada dasarnya tidak lepas dari pandangan para penganut nya, yang
memiliki argumentasi berbeda untuk memaknaigerakan radikalisme yang tumbuh pesat
dikalangan umat islam. Tidak heran bila pandangan positif dan negatif teradap munculnya
gerakan radikalaisme sangat tergantung pada keyakinan dasar penganutnya.
Pengertian lain mengungkapkan bahwa yang dimaksud engan radikal atau radikalisme
adalah prinsip-prinsip atau praktik-praktik yang dilakukan secara radikal. Suatu pilihan
tindakan yang umumnya dapat dilihat dengan mempertentangkan secara tajam antara nilai-
nilai yang diperjuangkan oleh kelompok (aliran) agama tertentu dengan tatanan nilai yang
berlaku atau dipandang mapan pada saat itu.
Radikalisme Islam pada zaman dulu banyak dilatarbelakangi oleh adanya kelemahan
umat Islam baik pada bidang aqidah, syariah maupun perilaku, sehingga radikalisme Islam
merupakan ekspresi dari tajdid (pembaruan), islah (perbaikan), dan jihad (perang) yang
dimaksudkan untuk mengembalikan muslim pada ruh Islam yang sebenarnya
Berdasarkan hal tersebut dalam sejarah islam, radikalisme berawal dari persengketaan
politik yang kemudian berimbas pada pemaknaan sepihak tentang ajaran Islam itu sendiri.
Sepihak dalam hal ini diartikan bahwa demi mencapai tujuan politisnya kemudian
menghalalkan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuannya
Setelah mengamati bukti dari klasik sampai zaman sekarang, dapat disimpulkan
bahwa gerakan jihad yang saat ini adalah sebagai hal yang dibenarkan berdasarkan sejarah
Islam klasik.13 Maka, pemaknaan jihad secara historis berbeda dengan jihad intelektual
modern sehingga jihad melalui pertumpahan darah saat ini sudah tidak diperlukan lagi
Pasca reformasi yang ditandai dengan terbukanya kran demokratisasi telah menjadi lahan
subur tumbuhnya kelompok Islam radikal. Fenomena radikalisme di kalangan umat Islam
seringkali disandarkan dengan paham keagamaan, sekalipun pencetus radikalisme bisa lahir
dari berbagai sumbu, seperti ekonomi, politik, sosial dan sebagainya. Akan tetapi,
gerakangerakan radikal ini kadang berbeda pandangan serta tujuan, sehingga tidak memiliki
pola yang seragam. Ada yang sekedar memperjuangkan implementasi syariat Islam tanpa
keharusan mendirikan “negara Islam”, namun ada pula yang memperjuangkan berdirinya
“negara Islam Indonesia”, disamping itu pula da yang memperjuangkan berdirinya “khilafah
Islamiyah”.
Gerakan ini telah muncul pada masa kemerdekaan Indonesia, bahkan dapat dikatakan
sebagai akar gerakan Islam garis keras era reformasi. Gerakan dimaksud adalah DI/TII (Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia) dan Negara Islam Indonesia (NII) yang muncul era 1950- an
(tepatnya 1949). Darul Islam atau NII mulanya di Jawa Barat, Aceh dan Makassar. Gerakan
ini disatukan oleh visi dan misi untuk menjadikan syariat sebagai dasar negara Indonesia.
Pada awalnya, alasan utama dari radikalisme agama atau gerakan-gerakan Islam garis keras
tersebut adalah dilatarbelakangi oleh politik lokal: dari ketidakpuasan politik, keterpinggiran
politik dan semacamnya. Namun setelah terbentuknya gerakan tersebut, agama meskipun
pada awalnya bukan sebagai pemicunya, kemudian menjadi faktor legitimasi maupun perekat
yang sangat penting bagi gerakan Islam garis keras. Sungguhpun begitu, radikalisme agama
yang dilakukan oleh sekelompok muslim tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan
Islam sebagai biang radikalisme. Yang pasti, radikalisme berpotensi menjadi bahaya besar
bagi masa depan peradaban manusia. Gerakan radikalisme ini awalnya muncul sebagai
bentuk perlawanan terhadap komunisme di Indonesia. Selain itu, perlawanan mereka
terhadap penerapan Pancasila sebagai asas Tunggal dalam politik. Bagi Kaum radikalis
agama sistem demokrasi pancasila itu dianggap haram hukumnya dan pemerintah di
dalamnya adalah kafir taghut (istilah bahasa arab merujuk pada “setan”), begitu pula
masyarakat sipil yang bukan termasuk golongan mereka. Oleh sebab itu bersama
kelompoknya, kaum ini menggaungkan formalisasi syariah sebagai solusi dalam kehidupan
bernegara.
Ketua umum PBNU Said Agil Siradj menegaskan bahwa paham dan gerakan
radialisme agama tidak mungkin tihadapi dengan tindakan dan kebijakan yang parsial, tetapi
dibutuhkan perencanaan kebijakan dan implemntasi yang komperhensip dan terpadu.
Problem radikalisme agama merentang dari hulu ke hilir. Terorisme merupakan publik enemy
yang membutuhkan keseriusan bersama dalam menanganinya , tanpa pamrih kepada
kepentingan politik yang parsial dan sekedar politik kekuasaan, tetapi pamrih kepada polotik
kebangsaan dan kerakyataan.
2.6.1 Di Perguruan Tinggi Agama Negeri akan dilakukan kegiatan antara lain,
Pemetaan radikalisme di seluruh PTAIN, Penguatan organisasi ekstra kampus,
Pemasyarakatan ideologi Pancasila, Semiloka dan simposium mengenai
strategi preventif dalam penanggulangan terorisme dan radikalisme agama,
Memperkuat regulasi kampus yang mempersempit munculnya pemikiran dan
gerakan radikalisme agama Menjadikan “Terorisme dan Radikalisme Agama"
sebagai materi dalam Mata Kuliah Dasar Umum, Memantau dan membimbing
aktivitas kampus melalui Unit Kegiatan Mahasiswa dan Lembaga Dakwah
Kampus dengan substansi ibadah dan akhlak mulia bersumber pada nash-nash
yang sahih, dan pengembangan wawasan multikultural bagi dosen dan
mahasiswa.
Dari 380 mahasiswa yang dijadikan sampel diketahui 8,4 persen (32 mahasiswa)
yang aktif mengikuti organisasi di luar kampus dan 12,36 % (42 mahasiswa) yang hanya
aktif mengikuti organisasi internal kampus dan tidak aktif berorganisasi di luar kampus
secara umum 7,89 % (30 mahasiswa ) yang aktif di dalam kampus dia juga aktif
berorganisasi di luar kampus ini menunjukkan mahasiswa Poltekba yang aktif
mengembangkan potensi dirinya bukan hanya aktif di organisasi internal kampus tetapi juga
aktif berorganisasi eksternal di luar kampus. Dari 380 mahasisawa ada 4 mahasiswa (1,04% )
yang terindikasi paham radikal berdasarkan indikator dari Badan Nasional Penanggulangan
Teroris (BNPT) yaitu; ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan
mengatasnamakan agama, mengkafirkan orang lain, memaknai jihad secara terbatas,
mendukung, menyebarkan dan mengajak bergabung dengan ISIS. Dari hasil analisis angket
dan wawancara terhadap responden seperti ; sangat setuju ingin mengubah ideologi negara
yang berdasarkan pancasila dan mengganti dengan negara khilafah, setuju melakukan
kekerasan bagi orang lain yang tidak Sependapat dengan keyakinannya, bahkan dia rela mati
untuk mempertahankan keinginan karena dianggap jihad, tidak menyetujui pemimpin yang
berbeda keyakinan. Tiga dari empat kriteria radikal dari BNPT, sudah terdapat pada 4
mahasiswa tersebut.
Dari hasil analisis ini juga diketahui terbentuknya paham radikal dikalangan
mahasiswa melalui jaringan organisasi eksternal kampus. Yusuf Qordowi dalam Hammad
(2018) menyebut kriteria radikal adalah (1) sering mengklaim kebenaran tunggal dan
menyesatkan kelompok lain yang tidak sependapat dengan isi pikirannya; (2) mempersulit
agama Islam yang ringan dengan berargumen bahwa ibadah sunah seakan-akan wajib dan
makruh seakan-akan haram; (3) mayoritas kelompok radikal sangat berlebihan dalam
beragama yang tidak pada tempatnya; (4) dalam menjalin interaksi sosial cenderung kasar
keras dalam bicara da bersikap emosional dalam berdakwah; (5) mudah berburuk sangka
kepada orang lain di luar golongannya; (5) mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda
pendapat. Ada dua organisasi eksternal yang berkembang di kampus Politeknik negeri
Balikpapan yaitu Himpunan Mahasiswa Islam dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah/Ikatan
pemuda Muhammadiyah. Kedua organisasi ini lebih berkembang di Politeknik karena
memiliki kader/anggota dan komisariat/cabang sedangkan organisasi ekternal yang lain
anggota/kadernya kurang berkembang meskipun memiliki kader hanya satu atau dua orang.
Berdasarkan data yang
diperoleh, mahasiswa yang hanya aktif di kampus yang hanya mengikuti organisasi internal
kampus kecenderungan tidak memiliki pola fikir yang radikal, seperti; sangat menghargai
dengan pemeluk agama lain, dan menjunjung tinggi pemimpin meskipun pemimpin itu
berbeda keyakinan atau non muslim, mengakui ideologi pancasila sebagai dasar negara
republik Indonesia, menghindari sikap kekerasan dan arogansi dalam melakukan tindakan
sekalipun itu dengan keyakinan yang berbeda.
BAB 3. Penutup
3.1 Kesimpulan