Anda di halaman 1dari 13

AGAMA DAN TANTANGAN RADIKALISME

Disusun oleh:

Bintang Satrio Purnomo (205080407111006)


Zahra Zabilla (205080407111013)
Diyah Kusumaningtiyas (205080407111019)
Fahira Wanda Tasyalwa (205080407111035)

Universitas Brawijaya
Malang
2021
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dewasa ini, Indonesia dihadapkan dengan berbagai persoalan dan ancanan


radikalisme, terorisme dan separatism yang semuanya bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila dan UUD’45. Radikalisme merupakan ancaman terhadap ketahanan ideologi. Jika
Ideologi negara sudah tidak kokoh maka akan berdampak terhadap ketahanan nasional.

Radikalisme bisa diartikan suatu sikap atau paham yang secara ekstrim,revolusioner
dan militant untuk memperjuangkan perubahan dari arus utama yang dianut masyarakat.
Radikalisme tidak harus muncul dalam wujud yang berbau kekerasan fisik. Ideologi
pemikiran, kampanye yang masif dan demontrasi sikap yang berlawanan dan ingin mengubah
mainstream dapat digolongkan sebagai sikap radikal.

Melalui peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang kini telah dihadapi oleh seluruh


lapisan masyarakat Indonesia. Meningkatnya radikalisme dalam agama Indonesia menjadi
fenomena sekaligus bukti nyata yang tidak bisa begitu saja diabaikan ataupun dihilangkan.
Radikalisme keagamaan yang semakin meningkat di Indonesia ini ditandai dengan berbagai
aksi kekerasan dan terror. Aksi tersebut telah menyedot banyak potensi atau energi
kemanusiaan serta telah merenggut hak hidup orang banyak termasuk orang yang sama sekali
tidak mengerti mengenai permasalahan ini. Meski berbagai seminar dan dialog telah digelar
untuk mengupas persoalan ini yaitu mulai dari pencarian sebab hingga sampai pada
penawaran solusi, namun tidak juga kunjungan memperlihatkan adanya suatu titik terang.

Fenomena tindak radikalisme dalam agama memang bisa dipaham secara beragama,
namun secara ensensial, radikalisme agama umunya memang selalu dikaitkan dengan
pertentangan secara tajam anatara nilai-nilai yang diperjuangkan kelompok agama tertentu
dengan tatanan nilai yang berlaku atau dipandang mapan pada saat itu. Dengan demikian,
adanya pertentangan, pergesekan ataupun ketegangan, pada akhirnya menyebabkan konsep
dari radikalisme selalu saja dikonotasikan dengan kekerasan fisik. Apalagi realitas yang saat
ini telah terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat mendukung dan semakin
memperkuat munculnya pemahaman seperti itu.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Agama?
2. Apa yang dimaksud dengan Radikalisme?
3. Bagaimana asal mula terjadinya radikalisme?
4. Apa saja factor pemicu radikalisme agama?
5. Bagaimana cara mencegah terjadinya radikalisme?
BAB 2. Pembahasan

2.1 Kajian Pustaka


2.2 Pengertian Agama

Banyak ahli menyebutkan agama berasal dari bahasa Sansakerta,  yaitu “a” yang
berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. Maka agama berarti tidak kacau (teratur).
Dengan demikian agama itu adalah peraturan, yaitu peraturan yang mengatur keadaan
manusia, maupun mengenai sesuatu yang gaib, mengenai budi pekerti dan pergaulan hidup
bersama. Menurut Daradjat (2005) agama adalah proses hubungan manusia yang dirasakan
terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu lebih tinggi dari pada manusia. Sedangkan
Glock dan Stark mendefinisikan agama sebagai sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai,
dan system perilaku yang terlembaga, yang kesemuanya terpusat pada persoalan-persoalan
yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate Mean Hipotetiking). Cliffort Geertz
mengistilahkan agama sebagai sebuah system simbol-simbol yang berlaku untuk menetapkan
suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi dan yang tahan lama dalam diri
manusia dengan merumuskan konsep konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan
membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga suasana hati
dan motivasi-motivasi itu tampak realistis.

Agama disebut Hadikusuma dalam Bustanuddin Agus sebagai ajaran yang diturunkan


oleh Tuhan untuk petunjuk bagi umat dalam menjalani kehidupannya. Ada juga yang
menyebut agama sebagai suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti
bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang
memenuhi untuk disebut “agama” yang terdiri dari tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan dan
nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka
yang di dalamnya juga mengandung komponen ritual. Ada beberapa istilah lain dari agama,
antara lain religi, religion (Inggris), religie (Belanda) religio/relegare (Latin) dan dien (Arab).
Kata religion (Bahasa Inggris) dan religie (Bahasa Belanda) adalah berasal dari bahasa induk
dari kedua bahasa tersebut, yaitu bahasa Latin “religio” dari akar kata “relegare”yang berarti
mengikat. Menurut Cicero, relegare berarti melakukan sesuatu perbuatan dengan penuh
penderitaan, yakni jenis laku peribadatan yang dikerjakan berulang-ulang dan tetap.
Lactancius mengartikan kata relegare sebagai mengikat menjadi satu dalam persatuan
bersama.

Dalam Bahasa Arab, agama di kenal dengan kata al-din dan al-milah. Kata al-din
sendiri mengandung berbagai arti. Ia bisa berarti al-mulk (kerajaan), al-khidmat (pelayanan),
al-izz (kejayaan), al-dzull (kehinaan), al-ikrah (pemaksaan), al-ihsan (kebajikan), al-adat
(kebiasaan), al-ibadat (pengabdian), al-qahr wa al-sulthan (kekuasaan dan pemerintahan), al-
tadzallulwa al-khudu (tunduk dan patuh), al-tha‟at (taat), al-Islam al-tauhid (penyerahan dan
mengesakan Tuhan). Dari istilah agama inilah kemudian muncul apa yang dinamakan
religiusitas. Glock dan Stark merumuskan religiusitas sebagai komitmen religius (yang
berhubungan dengan agama atau keyakinan iman), yang dapat Dilihat melalui aktivitas atau
perilaku individu yang bersangkutan dengan agama atau keyakinan iman yang dianut.
Religiusitas seringkali diidentikkan dengan keberagamaan. Religiusitas diartikan sebagai
seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan
kaidah dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya.
2.3 Pengertian Radikalisme

Menurut kamus besar Baahsa Indonesia, radikalisme adalah paham atau aliran yang
menghendaki perubaan sosial dan politik, dengan mengunakan kekerasan sebagai batu
loncatan untuk menjustifikasi keyakinan yang mereka anggap benar. Dari sini, dapat dilihat
bahwa radikalisme adalah suatu paham kenegaraan yang menghendaki adanaya perubaan dan
revolusi besar-besaran, sebagai jalan untuk menggapai taraf kemajuan yang signifikan.
Definisi yang terakir ini cenderung bermakna positif yang bisa melahirkan kemajuan yang
besar terhadap peradapan dunia. Kecenderungan makna radikalisme yang melahirkan bias
politik maupun ekonomi, pada dasarnya tidak lepas dari pandangan para penganut nya, yang
memiliki argumentasi berbeda untuk memaknaigerakan radikalisme yang tumbuh pesat
dikalangan umat islam. Tidak heran bila pandangan positif dan negatif teradap munculnya
gerakan radikalaisme sangat tergantung pada keyakinan dasar penganutnya.

Pengertian lain mengungkapkan bahwa yang dimaksud engan radikal atau radikalisme
adalah prinsip-prinsip atau praktik-praktik yang dilakukan secara radikal. Suatu pilihan
tindakan yang umumnya dapat dilihat dengan mempertentangkan secara tajam antara nilai-
nilai yang diperjuangkan oleh kelompok (aliran) agama tertentu dengan tatanan nilai yang
berlaku atau dipandang mapan pada saat itu.

Kata radikal juga sering diartikan sebagai keberpiakan, kecondongan, mendukung


pada satu ide pemikiran saja, satu kelompok atau suatu ajaran agama secara penuh dan
bersungguh-sungguh serta berfokus pada suatu tujuan serta relatif dan aktif. Secarah harifah,
radikalisme atau fundamentalisme tidak memiliki suatu yang negatif. Namun secara etimolgi,
radikalisme dan fundamentalisme telah mengalami penyempitan maknya yang bermakna
negatif.

2.4 Asal usul radikalisme agama


2.4.1 Akar sejarah radikalisme atas nama agama

Radikalisme Islam pada zaman dulu banyak dilatarbelakangi oleh adanya kelemahan
umat Islam baik pada bidang aqidah, syariah maupun perilaku, sehingga radikalisme Islam
merupakan ekspresi dari tajdid (pembaruan), islah (perbaikan), dan jihad (perang) yang
dimaksudkan untuk mengembalikan muslim pada ruh Islam yang sebenarnya

2.4.2 Berawal dari persengketaan politik


Dalam sejarah islam, setelah kepala pemerintahan Nabi Muhammad saw. Diambil alih oleh
empat sahabatnya, berjalan relative stabil dari khalifah pertama sampai ketiga
meskipunsedikit muncul konflik tetapi masih bisa terselesaikan dengan baik. Tetapi sejak
khalifah keempat yaitu Khalifah Ali bin Abi Thalib, mulai muncul pergolakan yang sulit
diselesaikan. Hal tersebut dapat dilihat dari pemberontakan-pemberontakan yang berakhir
dengan peperangan. Setelah adanya peperangan, disepakati untuk tidak melanjutkan tetapi
muncul kelompok pro dan kontra yang berakhir pada munculnya perpecahan di kalangan
umat islam.

Berdasarkan hal tersebut dalam sejarah islam, radikalisme berawal dari persengketaan
politik yang kemudian berimbas pada pemaknaan sepihak tentang ajaran Islam itu sendiri.
Sepihak dalam hal ini diartikan bahwa demi mencapai tujuan politisnya kemudian
menghalalkan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuannya

2.4.3 Kesalahan memahami konsep jihad

Jihad dalam pemaknaan konvensional cenderung diartikan dengan perang atau


diistilahkan sebagai jihaad besar yang hanya diperbolehkan pada sangat terpaksa Ketika tidak
ditemui jalan lain untuk bernegosiasi dan mencari solusi terbaik. Sedangkan pemaknaan jihad
secara modern, diartikan sebagai perang tetapi bukan perang secara fisik, tetapi perang
melawan hawa nafsu dan berjuang, menegakkan dan memajukan agama Islam, menyuruh
berbuat baik dan mencegah dari hal yang tidak baik. Sehingga di era tanpa peperangan, jihad
tetap harus dilakukan sebagai kewajiban umat Islam dan sebagai ketaatan terhadap Tuhan dan
agamanya. Jihad dengan pemaknaan modern ini sering disebut dengan jihad kecil karena
tidak harus mengorbankan jiwa dan raga. Jihad melawan hawa nafsu tersebut juga ada yang
menyebut sebagai jihad akbar karena sulitnya menaklukkan hawa nafsu.

Setelah mengamati bukti dari klasik sampai zaman sekarang, dapat disimpulkan
bahwa gerakan jihad yang saat ini adalah sebagai hal yang dibenarkan berdasarkan sejarah
Islam klasik.13 Maka, pemaknaan jihad secara historis berbeda dengan jihad intelektual
modern sehingga jihad melalui pertumpahan darah saat ini sudah tidak diperlukan lagi

2.4.4 Gerakan radikalisme di Indonesia

Pasca reformasi yang ditandai dengan terbukanya kran demokratisasi telah menjadi lahan
subur tumbuhnya kelompok Islam radikal. Fenomena radikalisme di kalangan umat Islam
seringkali disandarkan dengan paham keagamaan, sekalipun pencetus radikalisme bisa lahir
dari berbagai sumbu, seperti ekonomi, politik, sosial dan sebagainya. Akan tetapi,
gerakangerakan radikal ini kadang berbeda pandangan serta tujuan, sehingga tidak memiliki
pola yang seragam. Ada yang sekedar memperjuangkan implementasi syariat Islam tanpa
keharusan mendirikan “negara Islam”, namun ada pula yang memperjuangkan berdirinya
“negara Islam Indonesia”, disamping itu pula da yang memperjuangkan berdirinya “khilafah
Islamiyah”.

Gerakan ini telah muncul pada masa kemerdekaan Indonesia, bahkan dapat dikatakan
sebagai akar gerakan Islam garis keras era reformasi. Gerakan dimaksud adalah DI/TII (Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia) dan Negara Islam Indonesia (NII) yang muncul era 1950- an
(tepatnya 1949). Darul Islam atau NII mulanya di Jawa Barat, Aceh dan Makassar. Gerakan
ini disatukan oleh visi dan misi untuk menjadikan syariat sebagai dasar negara Indonesia.
Pada awalnya, alasan utama dari radikalisme agama atau gerakan-gerakan Islam garis keras
tersebut adalah dilatarbelakangi oleh politik lokal: dari ketidakpuasan politik, keterpinggiran
politik dan semacamnya. Namun setelah terbentuknya gerakan tersebut, agama meskipun
pada awalnya bukan sebagai pemicunya, kemudian menjadi faktor legitimasi maupun perekat
yang sangat penting bagi gerakan Islam garis keras. Sungguhpun begitu, radikalisme agama
yang dilakukan oleh sekelompok muslim tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan
Islam sebagai biang radikalisme. Yang pasti, radikalisme berpotensi menjadi bahaya besar
bagi masa depan peradaban manusia. Gerakan radikalisme ini awalnya muncul sebagai
bentuk perlawanan terhadap komunisme di Indonesia. Selain itu, perlawanan mereka
terhadap penerapan Pancasila sebagai asas Tunggal dalam politik. Bagi Kaum radikalis
agama sistem demokrasi pancasila itu dianggap haram hukumnya dan pemerintah di
dalamnya adalah kafir taghut (istilah bahasa arab merujuk pada “setan”), begitu pula
masyarakat sipil yang bukan termasuk golongan mereka. Oleh sebab itu bersama
kelompoknya, kaum ini menggaungkan formalisasi syariah sebagai solusi dalam kehidupan
bernegara.

2.5 Faktor pendorong munculnya gerakan radikalisme.


2.5.1 Faktor Sosial-Politik
Gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik daripada
gejala keagamaan. Gerakan yang secara salah oleh Barat disebut sebagai radikalisme itu lebih
tepat dilihat akar permasalahannya oleh sudut konteks sosialpolitik dalam kerangka
historisitas manusia yang ada di masyarakat. Secara historis kita bisa melihat bahwa konflik-
konflik yang ditimbulkan oleh kalangan radikal dengan seperangkat alat kekerasannya dalam
menentang dan membenturkan diri dengan kelompok lainnya ternyata lebih berakar pada
masalah sosial-politik.Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama,
kaum radikalis mencoba menyentuh emosi keagamaan dan menggalang kekuatan untuk
mencapai tujuan “mulia” dari politiknya.
2.5.2 Faktor-faktor Emosi Keagamaan
Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentiment
keagamaan, termasuk didalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas
oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi
keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang obsolut) walaupun gerakan radikalisme
selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dahil membela agama, jihad dan mati
syahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai
pemahaman realitas yang sifatnya interpretative. Jadi sifatnya nisbi dan subjektif.
2.5.3 Faktor-faktor Kultural
Ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatar belakangi munculnya
radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural didalam masyarakat selalu
ditemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jarring-jaring kebudayaan tertentu yang
dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural disini adalah sebagai anti
tesa terhadap budaya sekularisme. Badaya barat merupakan sumber sakularisme yang
dianggap sebagai musuh yang harus dihilangkan dari bumi. Sedangkan faktor sejarah
memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negara-negara dan
budaya. Peradaban barat sekarang ini merupakan ekspresi dominan dan universal umat
manusia yang telah dengan sengaja melakukan proses merjinalisasi seluruh sendi-sendi
kehidupan.
2.5.4 Faktor-faktor Ideologis Anti Westernisme
Motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan
keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan
ketidakmampuan mereka dalam memprosisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan
peradaban.
2.5.5 Faktor-faktor Kebijakan Pemerintah
Ketidakmampuan pemerintah di negara-negara Islam untuk bertindak situasi atas
berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagai umat Islam disebabkan dominasi ideologi,
militer maupun ekonomi dari negara-negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di
negara-negara belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya
tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasiproblematika sosial yang
dihadapi umat. Disamping itu, faktor media massa (pers) Barat yang selalu memojokkan
umat Islam juga menjadi faktor reaksi dengan kekerasan yang dilakukan.

2.6 Cara Mencegah Terjadinya Radikalisme

Ketua umum PBNU Said Agil Siradj menegaskan bahwa paham dan gerakan
radialisme agama tidak mungkin tihadapi dengan tindakan dan kebijakan yang parsial, tetapi
dibutuhkan perencanaan kebijakan dan implemntasi yang komperhensip dan terpadu.
Problem radikalisme agama merentang dari hulu ke hilir. Terorisme merupakan publik enemy
yang membutuhkan keseriusan bersama dalam menanganinya , tanpa pamrih kepada
kepentingan politik yang parsial dan sekedar politik kekuasaan, tetapi pamrih kepada polotik
kebangsaan dan kerakyataan.

Institusi pendidikan merupakan institusi yang paling rentan terhadap infiltrasi


berbagai gerakan radikalisme agama, mengingat peserta didik merupakan sasaran yang
sangat rentan dilihat dari aspek sosial psikologis. Langkah preventif yang akan dilakukan di
institusi pendidikan di bawah binaan Kementerian Agama, meliputi perguruan tinggi agama,
pendidikan agama pada perguruan tinggi umum, madrasah, pesantren, dan pendidikan agama
pada sekolah, selengkapnya adalah sebagai berikut:

2.6.1 Di Perguruan Tinggi Agama Negeri akan dilakukan kegiatan antara lain,
Pemetaan radikalisme di seluruh PTAIN, Penguatan organisasi ekstra kampus,
Pemasyarakatan ideologi Pancasila, Semiloka dan simposium mengenai
strategi preventif dalam penanggulangan terorisme dan radikalisme agama,
Memperkuat regulasi kampus yang mempersempit munculnya pemikiran dan
gerakan radikalisme agama Menjadikan “Terorisme dan Radikalisme Agama"
sebagai materi dalam Mata Kuliah Dasar Umum, Memantau dan membimbing
aktivitas kampus melalui Unit Kegiatan Mahasiswa dan Lembaga Dakwah
Kampus dengan substansi ibadah dan akhlak mulia bersumber pada nash-nash
yang sahih, dan pengembangan wawasan multikultural bagi dosen dan
mahasiswa.

2.6.2 Di Perguruan Tinggi Umum meliputi kegiatan antara lain, Pemetaan


radikalisme di PTU, Pemasyarakatan ideologi Pancasila, penguatan kurikulum
dan materi pendidikan Agama, penguatan kegiatan ekstra kurikuler
keagamaan yang lebih terstruktur, Semiloka dan Simposium tentang Islam
dalam berbagai perspektif, pengembangan wawasan multikultural bagi dosen-
dosen pendidikan agama, dan sosialisasi bahaya terorisme bagi keutuhan
NKRI.

2.6.3 Di madrasah meliputi kegiatan antara lain, penguatan kurikulum pendidikan


agama melalui kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler, penguatan kegiatan
pembinaan kebangsaan melalui kepramukaan, penguatan peran guru BK
dalam pemberian bimbingan bagi siswa yang terdeteksi terkontaminasi
paham-paham keagamaan yang menyimpang, penguatan hubungan antara
madrasah dengan komite madrasah dalam penanggulanganmasuknya paham-
paham menyimpang, dan Pengembangan wawasan multikultural untuk guru
dalam memahami ajaran agama

2.7 Studi Kasus

2.7.1 Kasus Radikalisme Di Politeknik Negri Balikpapan

Tumbuh dan berkembangnya paham radikal dikalangan mahasiswa di Perguruan tinggi 


tidak terlepas dari konstribusi dan peran aktif mahasiswa itu sendiri sejak masih duduk
dibangku pendidikan sebelumnya, baik di sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) maupun
di Sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Bagi mahasiswa yang aktif mengikuti kegiatan
organisasi ekternal atau berorganisasi di luar sekolah/ kampus ada kecenderungan mahasiswa
tersebut memiliki cara pandang yang ekstrim atau fanatik terhadap paham dari organisasi
yang diikuti dibandingkan dengan mahasiswa yang hanya akif berorganisasi di internal
sekolah. Analisis ini didukung oleh kajian yang dilakukan oleh Saifuddin (2012), dari hasil
kajiannya menjelaskan munculnya radikalisme dikalangan mahasiswa bukan sesuatu yang
muncul sendiri ditengah-tengah kampus, radikalisme itu muncul karena adanya proses
komunikasi dengan jaringa-jaringan organisasi radikal di luar.

Data penelitian diambil menggunakan kuesioner dan wawancara terhadap mahasiswa


yang pada umumnya aktif berorganisasi sebelum masuk ke Perguruan tinggi. Organisasi yang
diikuti mahasiswa sangat bervariasi sesuai dengan bakat dan minat dan potensi diri
mahasiswa, baik yang bersifat kepemimpinan, olah raga, bahasa, seni dan yang bersifat
keagamaan maupun gerakan/politik  yang kuliah di Politeknik Negeri Balikpapan sejak masih
dibangku pendidikan sekolah menengah atas sudah aktif mengikuti organisasi, baik
organisasi internal kampus seperti Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), Pramuka, Palang
Merah Remaja (PMR), Paduan suara, Latihan Baris Berbaris, Softball Club, Taekwondo Club
Quba, Stekpala, Islam terpadu, maupun organisasi eksternal kampus. Ikatan
Pemuda Muhammadiyah (IPM) dan Hizbul Wathan, hingga menjadi mahasiswa masih tetap
eksis berorganisasi untuk mengembangkan potensi dirinya, baik organisasi internal kampus
seperti, Student English Club (SEC), Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM), KPIS,
Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), GEMA, dan Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam
(HIMPA) maupun organisasi eksternal kampus seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Hizbul Wathan
(HW) Pencak Silat, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) , Peregerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMI).

Dari 380 mahasiswa yang dijadikan sampel diketahui 8,4 persen (32 mahasiswa)
yang aktif mengikuti organisasi di luar kampus dan 12,36 % (42 mahasiswa) yang hanya
aktif mengikuti organisasi internal kampus dan tidak aktif berorganisasi di luar kampus
secara umum 7,89 % (30 mahasiswa ) yang aktif di dalam kampus dia juga aktif
berorganisasi di luar kampus ini menunjukkan mahasiswa Poltekba yang aktif
mengembangkan potensi dirinya bukan hanya aktif di organisasi internal kampus tetapi juga
aktif berorganisasi eksternal di luar kampus. Dari 380 mahasisawa ada 4 mahasiswa (1,04% )
yang terindikasi paham radikal berdasarkan indikator dari Badan Nasional Penanggulangan
Teroris (BNPT) yaitu; ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan
mengatasnamakan agama, mengkafirkan orang lain, memaknai jihad secara terbatas,
mendukung, menyebarkan dan mengajak bergabung dengan ISIS. Dari hasil analisis angket
dan wawancara terhadap responden seperti ; sangat setuju ingin mengubah ideologi negara
yang berdasarkan pancasila dan mengganti dengan negara khilafah, setuju melakukan
kekerasan bagi orang lain yang tidak Sependapat dengan keyakinannya, bahkan dia rela mati
untuk mempertahankan keinginan karena dianggap jihad, tidak menyetujui pemimpin yang
berbeda keyakinan. Tiga dari empat kriteria radikal dari BNPT, sudah terdapat pada 4
mahasiswa tersebut.

Dari hasil analisis ini juga diketahui terbentuknya paham radikal dikalangan
mahasiswa melalui jaringan organisasi eksternal kampus. Yusuf Qordowi dalam Hammad
(2018) menyebut kriteria radikal adalah (1) sering mengklaim kebenaran tunggal dan
menyesatkan kelompok lain yang tidak sependapat dengan isi pikirannya; (2) mempersulit
agama Islam yang ringan dengan berargumen bahwa ibadah sunah seakan-akan wajib dan
makruh seakan-akan haram; (3) mayoritas kelompok radikal sangat berlebihan dalam
beragama yang tidak pada tempatnya; (4) dalam menjalin interaksi sosial cenderung kasar
keras dalam bicara da bersikap emosional dalam berdakwah; (5) mudah berburuk sangka
kepada orang lain di luar golongannya; (5) mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda
pendapat. Ada dua organisasi eksternal yang berkembang di kampus Politeknik negeri
Balikpapan yaitu Himpunan Mahasiswa Islam dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah/Ikatan
pemuda Muhammadiyah. Kedua organisasi ini lebih berkembang di Politeknik karena
memiliki kader/anggota dan komisariat/cabang sedangkan organisasi ekternal yang lain
anggota/kadernya kurang berkembang meskipun memiliki kader hanya satu atau dua orang.
Berdasarkan data yang 
diperoleh, mahasiswa yang hanya aktif di kampus yang hanya mengikuti organisasi internal
kampus kecenderungan tidak memiliki pola fikir yang radikal, seperti; sangat menghargai
dengan pemeluk agama lain, dan menjunjung tinggi pemimpin meskipun pemimpin itu
berbeda keyakinan atau non muslim, mengakui ideologi pancasila sebagai dasar negara
republik Indonesia, menghindari sikap kekerasan dan arogansi dalam melakukan tindakan
sekalipun itu dengan keyakinan yang berbeda. 

2.7.2 Kesimpilan Studi Kasus


Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan ada potensi radikalisme di kalangan
mahasiswa Politeknik Negeri Balikpaan meski masih tergolong rendah. Terbentuknya paham
radikal dikalangan mahasiswa sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan jaringan organisasi
yang ada di luar kampus yang menganut paham radikal.

BAB 3. Penutup

3.1 Kesimpulan

Radikalisme di Indonesia umumnya didasari oleh isu agama. Radikalisme terjadi


karena adanya ketimpangan baik dalam segi sosial, politik, dan ekonomi. Radikalisme
terbentuk dari respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung, respon tersebut diwujudkan
dalam bentuk evaluasi, penolakan, bahkan perlawanan. Tindakan radikal yang terjadi bahkan
memunculkan kasus terorisme atas dasar keagamaan. Sebagai konsekuensi dari
penerimaannya terhadap agama-agama yang beragam, bangsa Indonesia, seperti yang telah
disinggung terdahulu, sesekali harus menghadapi perselisihan. Karenanya mereka dituntut
untuk terus menerus mencari upaya dalam menciptakan kerukunan dan harmoni yang
menjadi syarat persatuan bangsa. Di Indonesia perbedaan agama merupakan salah satu
keragaman bangsa. Karena agama memiliki nilai-nilai yang sakral, maka agama dapat
menguasai kesadaran dan emosi para pemeluknya yang jika terusik maka akan melahirkan
konflik yang jika tidak cepat diatasi maka akan menimbulkan tindakan-tindakan radikalisme.
Pemerintah di tuntut bersikap netral dalam arti tidak memihak agama manapun. Oleh sebab
itu, perlu secara berkala mengadakan dialog dan musyawarah antarumat beragama,
menetapkan peraturanperaturan tentang hubungan antarumat beragama serta yang terpenting
sebenarnya adalah dengan memahami teks-teks agama bukan hanya interpretasi secara
tekstual saja tetapi diperlukan juga interpretasi kontekstual.
Daftar Pustaka

Markum, M., & Winarno, W. (2020). UPAYA MEMBANGUN KARAKTER BANGSA


MENCEGAH RADIKALISUPAYA MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
MENCEGAH RADIKALISME DAN TERORISME DI INDONESIAME DAN
TERORISME DI INDONESIA. Jurnal PPKn: Penelitian dan Pemikiran Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, 8(1), 38-61.

Noor, W. (2019). Pendidikan Agama Islam Dan Antisipasi Radikalisme


Keagamaan. Scientia: Jurnal Hasil Penelitian, 4(1), 85-100.

Saifuddin, S. (2011). Radikalisme Islam Di Kalangan Mahasiswa (Sebuah Metamorfosa


Baru). Analisis: Jurnal Studi Keislaman, 11(1), 17-32.

Rokhmad, A. (2012). Radikalisme Islam dan upaya deradikalisasi paham radikal. Walisongo:


Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 20(1), 79-114.

Ruslan, I. (2017). Islam dan Radikalisme: Upaya Antisipasi dan Penanggulangannya.


KALAM 9 (2): 215-232.

Turmudi, E. (2012). Melihat Kembali Radikalisme Islam di Indonesia dan Upaya-Upaya


Pencegahannya. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 14(2), 211-234.

Abdullah, A. (2016). Gerakan Radikalisme dalam Islam: Perspektif Historis. Addin, 10(1), 1-


28.

Nurjannah, N. (2013). Faktor Pemicu Munculnya Radikalisme Islam Atas Nama


Dakwah. Jurnal Dakwah, 14(2), 177-198.

Anda mungkin juga menyukai