Anda di halaman 1dari 44

2

BAB II

KERANGKA TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

PENELITIAN

A. Deskripsi Teori

1. Hakikat Model Pembelajaran Problem Based Learning

a. Pengertian Model Pembelajaran

Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola yang

digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau

pembelajaran dalam tutorial. Model pembelajaran terkait dengan pemilihan

strategi, pembuatan struktur metode, keterampilan, dan aktivitas peserta didik.

Model pembelajaran menurut Arends dalam Trianto mengacu pada

pendekatan pembelajaran yang digunakan, termasuk di dalam tujuan

pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan

pembelajaran, dan pengelolaan kelas.1 Dapat diartikan bahwa model

pembelajaran mengacu kepada sudut pandang kita terhadap proses

pembelajaran yang digunakan, di dalam model pembelajaran terdapat tujuan

yang ingin dicapai antara guru dan peserta didik. Setiap model pembelajaran

memiliki tahapan (sintaks) yang diperlukan untuk mencapai tujuan

pembelajaran. Lingkungan pembelajaran merupakan salah satu faktor

1
Trianto, Model Pembelajaran Terpadu Konsep, Strategi, dan Impelementasinya dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), hlm. 54

10
11

pendukung guru untuk menentukan model pembelajaran yang tepat.

Joyce dan Weil menyatakan bahwa model-model pengajaran

sebenarnya bisa dianggap sebagai model-model pembelajaran. Saat kita

membantu siswa untuk memperoleh informasi, gagasan, skill, nilai, cara

berpikir, dan tujuan mengekspresikan diri mereke sendiri, sebenarnya kita

tengah mengajari mereka untuk belajar.2 Pada hakikatnya, hasil intruksi

jangka panjang dari pembelajaran ialah bagaimana siswa mampu

meningkatkan kualitas dan kapabilitas mereka agar dapat belajar lebih mudah

dan efektif, baik karena pengetahuan dan keterampilan yang sudah mereka

kuasai atau karena penguasaan mereka mengenai proses belajar yang lebih

baik lagi di masa mendatang. Penyampaian dalam pembelajaran sedikit

banyaknya akan berpengaruh terhadap kemampuan siswa dalam mendidik diri

mereka sendiri. Diharapkan dengan pembelajaran yang efektif dapat

mencetak para pelajar yang handal.

Kemp dalam Sumantri menjelaskan bahwa model pembelajaran

adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa

agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. 3 Teori

tersebut mengindikasikan bahwa model pembelajaran adalah kegiatan

2
Bruce Joyce, Marsha Weil, Emily Calhoun, Models of Teaching, Terj. Achmad
Fawaid, Khoirul Anam (Jakarta: Pustaka Belajar, 2009), hlm. 36
3
M. Syarif Sumantri, Strategi Pembelajaran Teori dan Praktik di Tingkat Pendidikan
Dasar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015)
12

pembelajaran yang harus dilakukan oleh guru dan siswa agar pembelajaran

yang diajarkan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Model pembelajaran

dapat dicapai dengan efektif dan efisien berarti pembelajaran tersebut

memungkinkan peserta didik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan

secara maksimal dengan komponen pembelajaran (waktu, biaya, tenaga) yang

minimal.

Dari beberapa teori ahli tersebut dapat dinyatakan bahwa, model

pembelajaran adalah suatu perencanaan yang memiliki sintaks, digunakan

sebagai pedoman guru untuk dapat membantu siswa dalam memperoleh

informasi, ide, keterampilan, cara berpikir, dan mengekspresikan ide diri sendiri

agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien untuk

menimbulkan hasil belajar pada siswa.

b. Pengertian Model Problem Based Learning

Problem based learning (PBL) merupakan proses pembelajaran yang

penyampainnya dilakukan dengan cara menyajikan suatu permasalahan,

mengajukan pertanyaan-pertanyaan, memfasilitasi penyelidikan, dan

membuka dialog.

Jones, Rasmussen, dan Moffit dalam Yamin mengungkapkan Problem

Based Learning lebih menekankan terhadap pemecahan masalah secara

autentik atau nyata, seperti permasalahan yang terjadi dalam kehidupan


13

sehari-hari.4 Mereka berpendapat bahwa PBL merupakan cara belajar yang

menekankan terhadap pemecahan masalah. Di dalam memecahkan masalah

model pembelajaran ini menggunakan permasalahan yang kontekstual atau

nyata, sehingga peserta didik akan menyadari bahwa menyelesaikan

merupakan sebuah proses dari belajar.

Senada dengan teori di atas, Hmelo-Silver dan Serafino & Cicchelli

dalam Eggen mendefinisikan Problem Based Learning atau pembelajaran

berbasis masalah adalah seperangkat model mengajar yang menggunakan

masalah sebagai fokus untuk mengembangkan keterampilan pemecahan

masalah, materi, dan pengaturan diri.5 PBL merupakan model pembelajaran

yang menggunakan masalah sebagai fokus pembelajaran untuk

mengembangkan keterampilan-keterampilan peserta didik dalam

memecahkan masalah, materi, dan juga pengaturan terhadap dirinya. Model

pembelajaran ini memberikan tantangan kepada siswa sehingga bisa

memperoleh kepuasan dengan menemukan pengetahuan baru bagi dirinya

sendiri.

Adapun Wena mendefinisikan Problem Based Learning sebagai

strategi pembelajaran dengan menghadapkan siswa pada permasalahan-

4
Martinis Yamin, Strategi & Metode dalam Model Pembelajaran (Jakarta: Referensi
(GP Press Group), hlm. 63
5
Paul Eggen, Don Kauchak, Strategi dan Model Pembelajaran (Mengerjakan Konten
dan Keterampilan Berpikir) (Jakarta: PT Indeks, 2012), hlm. 307
14

permasalahan praktis sebagai pijakan dalam belajar atau dengan kata lain

siswa belajar melalui permasalahan-permasalahan.6 Peserta didik dihadapkan

dengan permasalahan-permasalahan kontekstual yang berada di sekitar

lingkungan peserta didik, dimana siswa akan belajar untuk memecahkan

permasalahan sebagai pijakan siswa dalam belajar.

Menurut Dutch dalam Amir mendefinisikan bahwa Problem Based

Learning merupakan metode instruksional yang menantang siswa agar “belajar

untuk belajar”, bekerja sama dalam kelompok untuk mencari solusi bagi

permasalahan yang nyata. Masalah ini digunakan untuk meningkatkan rasa

ingin tahu siswa serta kemampuan analisis dan inisiatif atas materi

pembelajaran. PBL mempersiapkan siswa untuk dapat berpikir kritis, analitis,

dan untuk mencari serta menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai. 7

Menurut Amir PBL merupakan metode instruksional, maksud metode

instruksional disini berarti cara menyajikan (menguraikan, memberi contoh,

memberi latihan, dan tugas) kepada siswa untuk mencapai tujuan tertentu agar

siswa dapat mencari solusi bagi permasalahan yang kontekstual. Masalah ini

digunakan untuk meningkatkan rasa ingin tahu siswa, serta kemampuan untuk

dapat menganalisis dan berinisiatif atas materi pembelajaran. PBL

6
Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer Suatu Tinjauan
Konseptual Operasional (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), hlm. 91
7
M. Taufiq Amir, Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning (Jakarta:
Prenada Media Group, 2010), hlm. 21
15

mempersiapkan siswa untuk dapat berpikir kritis, analitis, bekerja sama dalam

kelompok untuk mencari solusi dari permasalahan yang disajikan.

Senada dengan teori Dutch, Arends mengemukakan bahwa Problem

Based Learning membantu siswa untuk mengembangkan keterampilan

berpikir dan keterampilan mengatasi masalah, mempelajari peran-peran orang

dewasa dan menjadi pelajar yang mandiri.8 Dapat diartikan PBL merupakan

suatu inovasi pembelajaran, dengan menggunakan PBL, kemampuan berpikir

kritis siswa dapat dioptimalkan melalui kerja tim yang terarah sehingga dapat

mengembangkan kemampuan berpikirnya secara berkelanjutan, siswa

diharapkan dapat menjadi pelajar yang mandiri karena dalam pembelajaran

PBL ini siswa bertanggung jawab untuk menyusun strategi dan memecahkan

permasalahan sendiri.

Dari beberapa teori tersebut dapat diartikan bahwa Problem Based

Learning adalah model mengajar yang menggunakan masalah sebagai titik

awal untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah sehingga

siswa dapat memberdayakan, mengasah, menguji, dengan menggunakan PBL

kemampuan berpikir kritis siswa dapat dioptimalkan melalui kerja tim yang

terarah sehingga dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya secara

berkelanjutan.

8
Richard I. Arends, Learning To Teach, terj Helly Prajitno Soetjipto, Sri Mulyani
Soetjipto (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2008), hlm. 43
16

c. Karakteristik Model Problem Based Learning

Setiap model pembelajaran memiliki karakteristik tertentu yang

membuatnya berbeda dengan model pembelajaran yang lainnya. Savio dan

Hughes dalam Wena menyatakan bahwa stategi belajar berbasis masalah

memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:

1) belajar dimulai dengan suatu permasalahan, 2) permasalahan yang


diberikan harus berhubungan dengan dunia nyata siswa, 3)
mengorganisasikan pembelajaran di seputar permasalahan, bukan di
seputar disiplin ilmu, 4) memberikan tanggung jawab yang besar
dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar
mereka sendiri, 5) menggunakan kelompok kecil. 6) menuntut siswa
untuk mendemonstrasikan apa yang telah dipelajarinya dalam bentuk
produk dan kinerja.9

Dapat diparafrasekan bahwa karakteristik pembelajaran berbasis

masalah adalah pembelajaran dimulai dengan membahas suatu

permasalahan yang kontekstual. Permasalahan yang akan di bahas dalam

pembelajaran biasanya bersifat kompleks, serta memerlukan beberapa

penerapan konsep. Kemudian siswa dapat memperdalam pengetahuan

mereka tentang apa yang mereka ketahui dan apa yang perlu diketahui untuk

dapat memecahkan permasalahan tersebut secara berkelompok atau individu

dapat. Peran guru dalam pembelajaran hanya sebagai fasilitator, sehingga

siswa sendiri yang bertanggung jawab sendiri terhadap proses belajar mereka.

9
Made Wena, Loc.Cit.
17

Pembelajaran berbasis masalah memiliki tiga karakteristik, yang

digambarkan pada pelajaran Scott dan Laura dalam Eggen, yaitu, 1) pelajaran

berfokus pada pemecahan masalah, 2) tanggung jawab untuk menyusun

strategi dan memecahkan masalah, 3) guru mendukung proses saat siswa

mengerjakan masalah.10

PBL merupakan pembelajaran yang berawal dari masalah dan

memecahkan masalah merupakan tujuan dari pembelajaran. Siswa diberikan

tanggung jawab untuk menyusun strategi untuk pemecahan masalah. Siswa

biasanya dibagi menjadi beberapa kelompok kecil, sehingga siswa terlibat dan

berpartisipasi dalam proses tersebut. Siswa dalam kelompok tersebut

bertanggung jawab untuk menyusun strategi dan memecahkan permasalahan.

Pada pembelajaran PBL ini, guru mendukung proses saat siswa mengerjakan

masalah, guru menuntun siswa dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan

dan memberi dukungan pengajaran lain saat siswa berusaha memecahkan

masalah.

Dari paparan pendapat ahli di atas, peneliti menyimpulkan bahwa

karakteristik utama yang harus ada dalam pembelajaran PBL, yaitu: a)

pembelajaran dimulai dari mengangkat suatu permasalan sebagai fokus utama

dalam pembelajaran, b) guru hanya sebagai fasilitator, c) siswa bertanggung

10
Paul Eggen, Don Kauchak, Paul Eggen, Don Kauchak, Strategi dan Model
Pembelajaran (Mengerjakan Konten dan Keterampilan Berpikir) (Jakarta: PT Indeks,
2012), hlm. 307
18

jawab untuk mencari solusi permasalahan yang disajikan baik secara individu

maupun berkelompok, d) permasalahan yang diangkat adalah permasalahan

yang berhubungan dengan dunia nyata siswa (konstekstual).

d. Tahapan Pembelajaran Problem Based Learning

Pembelajaran berbasis masalah memiliki prosedur yang jelas dalam

melibatkan peserta didik untuk mengidentifikasi permasalahan. Langkah-

langkah pembelajaran berbasis masalah secara garis besar menurut

pandangan Ibrahim dan Nur dalam Susanto terdiri dari lima tahapan utama

yaitu: 1) orientasi siswa pada masalah, 2) mengorganisasikan siswa untuk

belajar, 3) membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, 4)

mengembangkan dan menyajikan hasil karya, 5) menganalisis dan

mengevaluasi proses pemecahan masalah.11

Langkah pertama yang dikemukakan oleh Ibrahim dan Nur adalah

orientasi siswa pada masalah, pada tahap ini di awal pembelajaran guru

menjelaskan terlebih dahulu tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, kemudian

guru menjelaskan logistik yang diperlukan oleh siswa dalam kegiatan

pembelajaran dan guru memotivasi siswa untuk terlibat aktif pada aktivitas

pemecahan masalah.

11
Ahmad Susanto, Pengembangan Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014), hlm. 83
19

Langkah kedua yang harus dilaksanakan mengorganisasikan siswa

untuk belajar, di tahap ini guru membantu siswa untuk dapat mendefinisikan,

menemukan konsep berdasarkan masalah, dan mengorganisasikan tugas

belajar yang berhubungan dengan permasalahan tersebut.

Langkah ketiga adalah membimbing penyelidikan individual maupun

kelompok, pada tahap ini guru mendorong siswa baik secara individu maupun

berkelompok untuk saling bekerja sama dalam mengumpulkan informasi

mengenai permasalahan yang ingin dipecahkan dan melaksanakan berbagai

percobaan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

Tahap keempat adalah guru membantu siswa untuk mengembangkan

dan menyajikan hasil karya, pada tahap ini guru membantu siswa berbagi

tugas dengan teman sekelompoknya untuk merencanakan dan menyiapkan

hasil karya yang sesuai, seperti laporan.

Tahap terakhir yang harus dilakukan adalah menganalisis dan

mengevaluasi proses pemecahan masalah, guru membantu siswa untuk

melakukan evaluasi terhadap hasil penyelidikan yang telah mereka lakukan

dan proses yang mereka gunakan dalam menemukan hasil tersebut.

Pembelajaran dengan model PBL dapat dilakukan secara lebih efektif

apabila siswa mampu mengidentifikasikan permasalahan dan menganalisis

proses pemecahan permasalahan tersebut. Menurut Fogarty dalam Rusman

Pembelajaran berbasis masalah atau PBL dimulai dengan masalah yang tidak
20

terstuktur-sesuatu yang kacau. Dari kekacauan tersebut siswa menggunakan

berbagai kecerdasannya melalui diskusi dan penelitian untuk menentukan isu

nyata yang ada.12 Teori tersebut mengindikasikan bahwa pembelajaran PBL

dimulai dengan adanya permasalahan yang tidak terstruktur, dari

permasalahan tersebut siswa akan menggunakan kecerdasan yang ada pada

dirinya untuk dapat memecahkan masalah melalui berbagai diskusi, penelitian,

pengamatan untuk menentukan isu nyata yang ada.

Tidak jauh berbeda, Arends mengemukakan lima langkah dalam

merencanakan pembelajaran berbasis masalah, yaitu 1) memberikan orientasi

tentang permasalahannya kepada siswa, 2) mengorganisasikan siswa untuk

meneliti, 3) membantu investigasi mandiri dan kelompok, 4) mengembangkan

dan mempresentasikan hasil karya dan memamerkan, 5) menganalisis dan

mengevaluasi proses mengatasi masalah.13

Pada fase yang pertama, yakni memberikan orientasi tentang

permasalahannya kepada siswa, guru menyampaikan tujuan pembelajaran,

membangun sikap positif terhadap pembelajaran agar peserta didik termotivasi

untuk terlibat aktif dalam kegiatan mengatasi permasalahan. Guru memberikan

12
Rusman, Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 243
13
Arends, Op.Cit., hlm. 56
21

situasi permasalahan semenarik dan seakurat mungkin agar membangkitkan

ketertarikan dan memotivasi peserta didik.

Fase yang kedua yakni mengorganisasikan siswa untuk meneliti. Guru

mengembangkan keterampilan kolaborasi di antara siswa, dan membantu

siswa untuk menginvestigasi terkait dengan permasalahannya secara

bersama-sama.

Fase yang ketiga membantu investigasi mandiri dan kelompok. Pada

tahap ini guru membantu siswa untuk menginvestigasi permasalahan yang

telah ditetapkan. Pada tahap ini guru harus memastikan bahwa semua siswa

ikut terlibat aktif dalam investigasi ,dan dari investigas tersebut akan

memunculkan solusi yang sesuai dengan permasalahan yang tengah dihadapi.

Fase keempat yakni mengembangkan dan mempresentasikan hasil

karya dan memamerkan, guru mendorong siswa untuk melakukan eksperimen

dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber untuk menciptakan dan

mengkonstruksikan ide-ide nya sendiri. Setelah mengumpulkan informasi, guru

membantu siswa untuk menyampaikan hasil investigasinya ke kelompok lain.

Fase yang terakhir menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi

masalah. Pada tahap ini guru membantu siswa untuk menganalisis dan

mengevaluasi proses berpikir nya sendiri. Selama fase ini, guru meminta siswa

untuk merekonstruksikan pikiran dan kegiatan mereka dari fase pembelajaran.

Langkah-langkah yang digunakan peneliti dalam proses pembelajaran


22

adalah langkah-langkah menurut pandangan Ibrahim dan Nur yakni: 1)

orientasi siswa pada masalah, 2) mengorganisasikan siswa untuk belajar, 3)

membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, 4) Mengembangkan

dan menyajikan hasil karya, 5) Menganalisis dan mengevaluasi proses

pemecahan masalah.

e. Keunggulan dan Kelemahan Model Problem Based Learning

Problem Based Learning memiliki berbagai keunggulan dan

kelemahannya seperti yang terdapat pada pendekatan pembelajaran yang

lainnya. Menurut Ngalimun PBL sebaiknya digunakan dalam pembelajaran

karena:

a) dengan PBL pembelajaran akan lebih bermakna. b) dalam situasi


PBL, siswa mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan
secara bersamaan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang
relevan. c) PBL dapat menumbuhkan kemampuan berpikir kritis,
menumbuhkan inisiatif siswa dalam bekerja, memotivasi siswa
dalam bekerja, dan juga dapat mengembangkan hubungan
interpersonal dalam bekerja kelompok.14

Pembelajaran PBL ada pada konteks aplikasi konsep, yang berarti pada

pembelajaran PBL siswa dituntut untuk belajar memecahkan suatu

permasalahan, dari pemecahan permasalahan tersebut mereka akan

menerapkan pengetahuan yang dimilikinya dalam kehidupan sehari-hari,

14
Ngalimun dkk., Strategi dan Model Pembelajaran (Yogyakarta: Aswaja Pressindo,
2011), hlm. 121
23

Belajar dapat lebih bermakna lagi apabila siswa berhadapan dengan situasi di

mana konsep diterapkan. Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan

konteks nyata bukan lagi teoritis sehingga saat pembelajaran berlangsung

mereka dapat menemukan masalah-masalah dalam aplikasi suatu konsep

atau teori.

Menurut Putra model pembelajaran PBL memiliki kelebihan yakni:

a) siswa dapat lebih memahami konsep yang diajarkan lantaran ia


sendiri yang menemukan konsep tersebut, b) melibatkan siswa
secara aktif dalam menyelesaikan masalah dan menuntut
keterampilan untuk berpikir lebih tinggi, c) pengetahuan tertanam
berdasarkan skemata yang dimiliki siswa, d) siswa dapat
merasakan manfaat pembelajaran, e) menjadikan siswa lebih
mandiri dan dewasa, f) pengondisian siswa dalam belajar kelompok
yang saling berinteraksi terhadap pembelajar dan temannya,
sehingga pencapaian ketuntasan belajar siswa dapat diharapkan, g)
PBL diyakini dapat menumbuhkembangkan kemampuan kreativitas
siswa, karena setiap tahapannya menuntut adanya keaktifan
siswa.15

Selain memiliki beberapa keunggulan, PBL juga memiliki beberapa

kelemahan. Adapun kelemahan dari PBL menurut Susanto antara lain: a)

peserta didik merasa enggan untuk mencoba memecahkan permasalahan

apabila tidak memiliki minat, atau tidak memiliki kepercayaan bahwa masalah

yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, b) keberhasilan model PBL mebutuhkan

cukup waktu untuk persiapan. c) tanpa pemahaman untuk berusaha

15
Sitiatava Rizenna Putra, Belajar Mengajar Kreatif Berbasis Sains (Yogyakarta:
Diva Press, 2013), hlm. 82
24

memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar

dari apa yang mereka pelajari.16

Berdasarkan beberapa teori tersebut, PBL memiliki beberapa

keunggulan dan kelemahan, keunggulan PBL menurut peneliti yaitu: a)

pembelajaran akan lebih bermakna, karena siswa yang menemukan konsep

tersebut, b) menumbuhkan kemampuan berpikir kritis siswa, c) melibatkan

siswa secara aktif dalam menyelesaikan masalah, d) siswa mampu

memberikan aspirasinya dan dapat menerima pendapat dari orang lain.

Kelemahan dalam pembelajaran PBL ialah dalam menggunakan model ini

diperlukan waktu yang lama pada saat mengimplementasikannya pada proses

pembelajaran dan diperlukannya minat siswa untuk dapat memecahkan

permasalahan.

2. Hakikat Model Discovery Learning

a. Pengertian Model Discovery Learning

Dalam proses pembelajaran, guru diharapkan dapat menguasai dan

mengintegrasikan konsep-konsep belajar. Salah satu model pembelajaran

yang sering digunakan guru adalah model pembelajaran penemuan

(discovery). Brunner menyatakan bahwa peserta didik harus berperan secara

aktif dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Pembelajaran discovery

16
Ahmad Susanto, Op.Cit., hlm, 89
25

dapat mendorong peserta didik berperan aktif dalam proses pembelajaran

dengan mengajukan pertanyaan dan menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip

umum berdasarkan pengalaman dan kegiatan praktis.17 Dalam discovery

learning siswa didorong untuk belajar secara mandiri. Siswa hendaknya belajar

melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep, prinsip-prinsip agar

mereka memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen-eksperimen

untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.

Senada dengan Brunner, Ormrod mendefinisikan pembelajaran

discovery adalah suatu proses dimana para siswa berinteraksi dengan

lingkungannya dan memperoleh informasi bagi diri mereka sendiri—mungkin

dengan menelusuri dan memanipulasi objek atau mungkin dengan melakukan

percobaan laboratorium yang sistematis.18 Ormrod beranggapan bahwa

discovery learning merupakan proses pembelajaran yang membuat peserta

didik belajar aktif menemukan pengetahuannya sendiri, peserta didik dapat

memperoleh pengetahuannya melalui menelusuri dan memanipulasi objek

atau bisa juga dengan melakukan eksperimen atau percobaan.

Sependapat dengan pendapat Ormrod, Hosnan mengemukakan

17
Donni Juni Priansa, Pengembangan Strategi & Model Pembelajaran Inovatif,
Kreatif, dan Prestatif dalam Memahami Peserta Didik (Bandung: CV Pustaka Setia,
2017), hlm. 258
18
Jeanne Ellis Ormrod, Educational Psychology Developing Learners, terj. Amitya
Kumara (Jakarta: Erlangga, 2008), hlm. 170
26

bahwa model discovery merupakan model pembelajaran berdasarkan

pandangan kontruktivisme. Model discovery menekankan pentingnya

pemahaman struktur atau ide-ide penting terhadap suatu disiplin ilmu melalui

keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran.19 Menurut pendapat di

atas dapat dikatakan bahwa model discovery adalah suatu model untuk

mengembangkan cara belajar siswa secara aktif dengan menemukan sendiri,

menyelidiki sendiri, maka pemahaman yang di dapatkan dapat lebih bermakna.

Melalui belajar discovery siswa dapat belajar berpikir analitis dan mencoba

untuk memecahkan sendiri permasalahan yang dihadapi.

Sementara Sund berpendapat bahwa pembelajaran penemuan

merupakan proses mental yang menuntut peserta didik untuk

mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip.20 Peserta didik secara mandiri

mengalami proses mental sendiri, proses mental yang dimaksud antara lain:

mengamati, mencerna, mengerti, menggolongkan, membuat dugaan,

menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan lainnya. Peran guru dalam

pembelajaran discovery hanya membimbing dan memberikan instruksi.

Pembelajaran discovery memiliki tiga ciri utama, yakni: a)

mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan,

19
M. Hosnan, Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2014), hlm. 282
20
Donni Juni Priansa, Manajemen Peserta Didik dan Model Pembelajaran (Bandung:
Alfabeta, 2015), hlm. 214
27

menggabungkan, dan menggeneralisasi pengetahuan, b) berpusat pada

peserta didik, c) kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan

pengetahuan yang sudah ada.21

Tujuan dari mengeksplorasi dan memecahkan masalah yakni untuk

menciptakan pengetahuan yang baru, menggabungkan pengetahuan baru

dengan pengetahuan yang sudah dimiliki, kemudian dapat menggeneralisasi

pengetahuan yang sudah diterima. Berpusat pada peserta didik berarti peserta

didik didorong untuk akfit dalam proses pembelajaran. Peserta didik harus aktif

dalam menemukan sendiri informasi yang kemudian diolah menjadi

pengetahuan yang baru. Maka pembelajaran yang di terima lebih bermakna.

Mengembangkan pengetahuan yang baru dengan yang sudah ada mempunyai

arti bahwa adanya pengembangan pengetahuan yang telah dimiliki siswa,

dimana pengetahuan yang baru ditemukan digabungkan dengan pengetahuan

siswa sebelumnya.

Dari beberapa teori tersebut dapat didefinisikan Discovery Learning

menekankan pentingnya pemahaman struktur atau ide-ide penting terhadap

suatu disiplin ilmu, pada model pembelajaran ini mengembangkan cara belajar

siswa aktif dengan cara menemukan sendiri, menyelidiki, mengajukan

pertanyaan, dan menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum berdasarkan

21
Nur Hamiyah, Mochammad Jauhar, Strategi Belajar Mengajar di Kelas (Jakarta:
Prestasi Pustakarya, 2014), hlm. 181
28

pengalaman dan kegiatan praktis, maka hasil yang diperoleh akan bertahan

lama dalam ingatan siswa.

b. Langkah-Langkah Model Discovery Learning

Menurut Brunner langkah-langkah dalam discovery learning adalah

sebagai berikut:

a) menentukan tujuan pembelajaran, b) melakukan identifikasi


karakteristik peserta didik (kemampuan awal, minat, gaya
belajar, dan sebagainya), c) memilih materi pelajaran, d)
menentukan topik-topik yang harus dipelajari peserta didik
secara induktif (dari contoh-contoh generalisasi), e)
mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh,
ilustrasi, tugas, dan sebagainya untuk dipelajari peserta didik, f)
mengatur topik pembelajaran dari yang konkret ke abstrak, atau
dari tahap aktif, ikonik sampai simbolik, g) melakukan penilaian
proses dan hasil belajar peserta didik.22

Brunner berpendapat bahwa dalam melaksanakan model discovery

learning terdapat tahapan, diantaranya yaitu dengan menentukan tujuan

pembelajaran. Setiap pembelajaran pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai.

Dengan menentukan tujuan pembelajaran dapat ditentukan apa dan

bagaimana harus melakukan tahap yang lainnya. Dengan merumuskan tujuan

pembelajaran menjadi acuan untuk menentukan jenis materi pembelajaran,

media yang digunakan, strategi yang digunakan dan lain-lain.

22
Donni Juni Priansa, Op.Cit., hlm. 215
29

Tahap kedua, guru melakukan identifikasi karakteristik peserta didik,

pada tahap ini guru menentukan strategi yang akan digunakan pada saat

pembelajaran, apakah cocok dengan kondisi awal, minat, gaya belajar,

karakteristik peserta didik. Tahap ketiga, yakni memilih materi pembelajaran,

karena setiap pembelajaran memiliki karakteristik sendiri sehingga perlu

disampaikan dengan metode tertentu sesuai dengan materi yang akan

disampaikan. Memahami topik yang akan dipelajari peserta didik dari hal yang

khusus ke hal yang khusus. Tahap keempat, guru mengembangkan bahan-

bahan pembelajaran sesuai dengan karakteristik sasaran dan tuntutan

pemecahan masalah belajar.

Tahap kelima, mengatur topik pembelajaran dari topik yang konkrit

(dapat dilihat) menuju abstrak. Pada dasarnya peserta didik belajar melalui

benda/objek konkret. Untuk memahami konsep abstrak peserta didik

membutuhkan benda-benda konkret sebagai perantara atau visualisasinya.

Seiring berjalannya tahap kognisi, mereka sudah mampu memahami dan

membayangi hal-hal abstrak yang ada di sekitar mereka.

Tahap selanjutnya, penilaian proses dan hasil belajar peserta didik,

mempunyai arti setelah melakukan pembelajaran, guru melakukan penilaian

proses dan hasil belajar untuk mengukur kemajuan yang dialami peserta didik

dalam memahami materi yang telah diajarkan, sehingga guru dapat

mengetahui kesulitan yang dialami peserta didik saat mengikuti pembelajaran.


30

Adapun Syah menyatakan bahwa dalam implementasi discovery

learning terdapat tahapan atau prosedur yang harus dilakukan yaitu sebagai

berikut: a) stimulasi/pemberian ransangan (stimulation) b) pernyataan

masalah (problem statement), c) pengumpulan data (data collection), d)

pemrosesan data (data processing), e) verifikasi (verification), f)

generalisasi/menarik kesimpulan (generalization).23

Pada tahap stimulasi/ pemberian ransangan, peserta didik dihadapkan

dengan pada hal yang menimbulkan kebingungan. Dari kebingungan tersebut

kemudian timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Pada tahap ini, guru

dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan,

menyajikan permasalahan, atau aktivitas pembelajaran lainnya yang

mengarah kepada persiapan pemecahan masalah. Tahap selanjutnya adalah

pernyataan masalah, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengidentifikasi agenda-agenda masalah yang relevan dengan pembelajaran.

Selanjutnya, memilih salah satu dari agenda-agenda masalah yang telah

diidentifikasi dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis sebagai pernyataan

sementara atas pertanyaan yang diajukan.

Tahap ketiga yakni pengumpulan data, pada tahap ini guru

memberikan kesempatan kepada siswa secara aktif untuk mengumpulkan

informasi yang relevan sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber untuk

23
Donni Juni Priansyah, Op.Cit., 261
31

membuktikan benar atau tidaknya hipotesis. Pada tahap ini siswa dapat

membuktikan hipotesis dan menjawab pertanyaan yang telah diajukan. Tahap

keempat yakni pemrosesan data, dimana informasi-informasi yang telah

didapatkan peserta didik kemudian di proses untuk mendapatkan

pengetahuan baru mengenai alternatif jawaban atau penyelesaian yang perlu

mendapat pembuktian secara logis.

Tahap kelima yakni verifikasi, yang berarti peserta didik membuktikan

benar atau tidaknya hipotesis yang telah ditetapkan sebelumnya dengan

temuan alternatif yang dihubungkan dengan hasil pengolahan data. Dengan

tahap pembuktian ini guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk

menemukan konsep-konsep baru melalui contoh yang ia jumpai dalam

kehidupannya.

Tahap keenam yakni generalisasi/menarik kesimpulan, pada tahap ini

peserta didik menarik kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan

berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama dengan

memperhatikan hasil dari verifikasi.

3. Kemampuan Berpikir Kritis

a. Pengertian Berpikir

Banyak pandangan, dan sudah dianggap pengetahuan umum bahwa

pembeda manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah kemampuan berpikir.


32

Berpikir adalah daya yang paling utama dan mencirikan ciri yang khas yang

membedakan manusia dari hewan. Dengan kemampuan berpikir manusia

dapat memvariasikan tindakan, menentukan pilihan, mengembangkan

tindakan, bahkan merevolusikan peradabannya.

Santrock berpendapat bahwa berpikir melibatkan kegiatan manipulasi

dan mentransformasi informasi dalam memori. Kita berpikir untuk membentuk

konsep, menalar, berpikir secara kritis, membuat keputusan, berpikir secara

kreatif, dan memecahkan masalah.24 Berpikir melibatkan kegiatan menipulasi

dan mentransformasi dalam memori, yang berarti kegiatan penyusunan ulang

informasi. Pengetahuan yang tersimpan dalam memori digabungkan dengan

pengetahuan yang didapatkan sekarang, sehingga merubah pengetahuan

seseorang tentang situasi yang tengah dihadapi. Melalui berpikir dapat

membentuk suatu konsep, menalar, membentuk seseorang untuk mampu

berpikir secara kritis, mengambil keputusan dari berbagai kemungkinan,

berpikir secara kreatif, dan memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi.

Berbeda dengan Santrock, Purwanto mendefinisikan bahwa berpikir

merupakan suatu keaktifan pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan

yang terarah kepada suatu tujuan. Kita berpikir untuk menemukan

24
John W. Santrock, Educational Psychology, terj. Diana Angelica (Jakarta: Salemba
Humanika, 2009), hlm. 7
33

pemahaman/pengertian yang kita kehendaki.25 Menurutnya, berpikir

merupakan suatu proses yang aktif untuk dapat merumuskan dan

mengarahkan sebuah informasi kepada tujuan tertentu, dengan berpikir kita

dapat menemukan pemahaman/ pengertian baru tentang apa yang akan dituju.

Beyer dalam Iskandar mendefinisikan bahwa kemampuan berpikir

merupakan upaya manusia untuk membentuk konsep, memberi sebab atau

membuat penentuan.26 Beyer berpendapat bahwa kemampuan berpikir

merupakan usaha yang dilakukan manusia untuk membentuk konsep agar

dapat menggambarkan ciri suatu objek atau kejadian, dengan membentuk

konsep manusia memungkinkan untuk mengadakan klasifikasi atau

penggolongan, kemudian memberi sebab dari sebuah kejadian, dan

menentukan pilihan yang akan diambil.

Berdasarkan teori di atas dapat didefinisikan bahwa kemampuan

berpikir merupakan aktivitas atau kegiatan mental yang melibatkan kerja otak

untuk membuat konsep, memberi sebab atau penentuan, membuat

generalisasi, menalar, berpikir secara kritis, membuat keputusan, berpikir

secara kreatif, dan memecahkan masalah dan juga untuk menangguhkan

keputusan.

25
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007),
hlm. 43
26
Iskandar, Psikolgi Pendidikan (Sebuah Orientasi Baru) (Jakarta: REFERENSI,
2012), hlm. 87
34

b. Pengertian Berpikir Kritis

Berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang

digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil

keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian.27

Berpikir kritis memungkinkan siswa untuk menemukan kebenaran di tengah

peristiwa dan informasi yang mengelilingi mereka. Berpikir kritis merupakan

proses sistematis yang memungkinkan siswa untuk dapat merumuskan dan

mengevaluasi pendapat serta keyakinan mereka sendiri. Berpikir kritis juga

merupakan proses teorganisir yang memungkinkan siswa untuk dapat

mengevaluasi bukti, asumsi, logika, dan bahasa yang mendasari pernyataan

orang lain.

Menurut Costa dalam Amri mengkategorikan proses berpikir kompleks

atau berpikir tingkat tinggi ke dalam empat kelompok yang meliputi pemecahan

masalah (problem solving), pengambilan keputusan (desicion making), berpikir

kritis (critical thinking), dan berpikir kreatif (creative thinking).28 Dalam

kehidupan bermasyarakat berpikir kritis sangat diperlukan, karena manusia

selalu dihadapkan pada permasalahan yang memerlukan pemecahan. Untuk

27
Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning Menjadikan Kegiatan
Belajar Mengajar Mengasyikan dan Bermakna, terj. Ibnu Setiawan (Bandung: Kaifa,
2014), hlm. 183
28
Sofan Amri, Iif Khoiru Ahmadi, Proses Pembelajaran Inovatif dan Kreatif Dalam
Kelas (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010), hlm. 62
35

memecahkan permasalahan tersebut maka diperlukan data-data agar dapat

dibuat keputusan yang logis, dan untuk membuat suatu keputusan yang tepat,

diperlukan kemampuan berpikir kritis.

Menurut Dressel dan Mayhew dalam Amri terdapat beberapa

kemampuan yang dikaitkan dengan konsep berpikir kritis adalah, kemampuan-

kemampuan untuk dapat memahami suatu permasalahan, menyeleksi

informasi penting untuk dapat menyelesaikan permasalahan, memahami

asumsi-asumsi, merumuskan dan menyeleksi hipotesis yang relevan, dan

menarik kesimpulan yang valid dan menentukan kevalidan dari kesimpulan-

kesimpulan tersebut.29 Teori tersebut mengindikasikan bahwa berpikir kritis

merupakan kemampuan untuk dapat memahami secara utuh sebuah

permasalahan, menyeleksi informasi yang dibutuhkan, apakah informasi yang

diterima sudah sesuai dengan fakta yang terjadi, lalu memahami asumsi-

asumsi yang ada, dan menyeleksi hipotesis yang dikira relevan, dan

menentukan apakah kesimpulan yang ditelaah tersebut valid atau tidak.

Desmita mendefinisikan berpikir kritis merupakan kemampuan untuk

berpikir secara logis, reflektif, dan produktif yang diaplikasikan dalam menilai

siatuasi untuk membuat pertimbangan dan keputusan yang baik.30 Teori

29
Ibid., hlm. 63
30
Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2014), hlm.153
36

tersebut mengindikasikan bahwa pemikiran kritis merupakan kemampuan

untuk dapat berpikir dengan menggunakan logika, rasional, masuk akal, sadar

apa yang diketahui dan apa yang dibutuhkan, serta berpikir untuk

menghasilkan paham pemikiran baru yang diaplikasikan dalam menilai situasi

untuk dapat membuat dan menimbang keputusan dengan bijak.

Menurut Halpen dalam Susanto mengemukakan bahwa, berpikir kritis

adalah memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan

tujuan.31 Proses tersebut dilalui setelah menentukan tujuan,

mempertimbangkan, dan mengacu langsung pada sasaran. Berpikir kritis juga

biasa disebut directed thinking, sebab berpikir langsung kepada fokus yang

akan dituju.

Menurut Dewey dalam Fisher berpikir kritis merupakan pertimbangan

yang aktif, persistent (terus-menerus), dan teliti mengenai sebuah keyakinan

atau bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari sudut

alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang

menjadi kecenderungannya.32 Menurut Dewey berpikir secara aktif berarti

proses di mana seseorang mengajukan berbagai pertanyaan untuk dirinya,

menemukan informasi yang relevan dengan dirinya, ketimbang menerima

31
Ahmad Susanto, Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), hlm. 122
32
Alec Fisher, Berpikir Kritis: Sebuah Pengantar, terj.Benyamin Hadinata (Jakarta:
Erlangga, 2008), hlm. 2
37

berbagai hal dari orang lain sebagian besarnya secara pasif. Kemudian

persistent dan teliti dewey ingin mengontraskannya dengan cara berpikir yang

tidak direfleksikan di mana kita membuat kesimpulan secara terburu-buru atau

mengambil kesimpulan secara cepat, tanpa memikirkan sebab-akibatnya.

Kemudian alasan-alasan yang mendukung, dewey menandaskan apa hal-hal

yang menjadi alasan kita untuk meyakini sesuatu dan implikasi dari keyakinan-

keyakinan kita.

Untuk dapat mengajarkan atau melatih siswa agar mampu berpikir

kritis diperlukan beberapa tahapan sebagaimana yang dikemukakan oleh

Arends dalam Susanto, yaitu: a) keterampilan menganalisis, b) keterampilan

menyintesis, c) keterampilan mengenal dan memecahkan masalah, d)

keterampilan menyimpulkan, e) keterampilan menganalisis atau menilai.33

Keterampilan menganalisis, yaitu sebuah keterampilan dalam

menguraikan sebuah struktur ke dalam komponen-komponen yang lebih kecil,

untuk mengetahui struktur pengorganisasian tersebut. Tujuan pokoknya

adalah memahami sebuah konsep dengan cara menguraikan atau merinci ke

bagian yang lebih kecil. Kata operasional yang mengindikasikan keterampilan

berpikir analitis, yaitu: menguraikan, mengidentifikasi, menggambarkan,

menghubungkan, memerinci.

Keterampilan menyintesis merupakan kebalikan dari keterampilan

33
Ahmad Susanto, Op.Cit., hlm. 129
38

menganalisis, yaitu keterampilan yang menggabungkan bagian-bagian yang

lebih kecil menjadi suatu bentuk atau susunan yang baru. Keterampilan

mengenal dan memecahkan masalah, merupakan keterampilan aplikatif

konsep kepada beberapa pengertian baru. Keterampilan ini menuntut

pembaca untuk memahami bacaan dengan kritis sehingga setelah membaca

siswa mampu menangkap pokok pikiran bacaan. Tujuan dari keterampilan ini

agar siswa mampu memahami dan menerapkan konsep ke dalam

permasalaha atau ruang lingkup baru.

Keterampilan menyimpulkan, yaitu sebagai suatu keterampilan untuk

memutuskan keadaan suatu obyek berdasarkan fakta, konsep, dan prinsip

yang diketahui. Terakhir, keterampilan mengevaluasi atau menilai, yakni

keterampilan yang menuntut pemikiran yang matang dalam menentukan nilai

sesuatu dengan kriteria yang ada.

Pierce dan associates dalam Desmita menyebutkan beberapa

karakteristik yang diperlukan dalam pemikiran kritis, yaitu:

(1) Kemampuan untuk menarik kesimpulan dari pengamatan, yaitu


kemampuan untuk menarik kesimpulan, mampu menunjukkan
pernyataan yang benar atau salah dari hasil pengamatan. (2)
Kemampuan untuk mengidentifikasi asumsi, yaitu kemampuan
untuk mengumpulkan dan menyusun dari dugaan-dugaan yang
diterima. (3) Kemampuan untuk berpikir secara deduktif, berpikir
deduktif adalah menarik kesimpulan berdasarkan alasan-alasan
tertentu. Kesimpulan ditarik berdasarkan dari keadaan yang berlaku
umum untuk hal-hal yang khusus. (4) Kemampuan untuk membuat
interprestasi yang logis, hal ini berarti kemampuan untuk
menguraikan fakta-fakta, serta menjelaskan masalah secara masuk
akal. (5) Kemampuan untuk mengevaluasi argumentasi mana yang
39

lemah dan yang kuat, artinya kemampuan untuk menilai suatu


pendapat, gagasan mana yang kuat dan mana yang lemah.34

Untuk menilai kemampuan berpikir kritis Watson dan Glaser dalam

Amri dan Ahmadi melakukan pengukuran melalui tes yang mencakup lima

buah indikator, yaitu mengenal asumsi, melakukan inferensi, deduksi,

interprestasi, dan mengevaluasi argumen. Berpikir kritis berkaitan erat dengan

argumen, karena argumen adalah serangkaian dari pernyataan yang

mengandung pernyataan penarikan kesimpulan. Dalam argumen yang valid

sebuah kesimpulan harus ditarik secara logis dari premis-premis yang ada.

Ennis dalam Amri menyatakan secara singkat 6 unsur dasar dalam berpikir

kritis, yaitu: 1) fokus (focus), 2) alasan (reason), 3) kesimpulan (inference), 4)

situasi (situation), 5) kejelasan (clarity), 6) tinjauan ulang (overview).35

Fokus, merupakan langkah awal dari berpikir kritis adalah

mengidentifikasi permasalahan dengan baik. Menemukan pikiran utama dalam

argumen. Permasalahan yang menjadi fokus bisa terdapat dalam kesimpulan

sebuah argumen. Kemudian alasan berarti mengetahui kebenaran yang

digunakan untuk mendukung kesimpulan atau argumen tersebut. Kesimpulan,

merupakan langkah berpikir dari alasan menuju kesimpulan, situasi

merupakan mencocokkan dengan situasi yang sebenarnya, situasi luas yang

34
Desmita, Op.Cit., hlm. 154
35
Sofan Amri dkk., Op.Cit., hlm. 64
40

mempengaruhi seseorang ketika berpikir terhadap sesuatu yang harus

dipercaya dan diputuskan, kejelasan, harus ada kejelasan dalam

menyampaikan informasi baik secara tulis maupun lisan sehingga tidak terjadi

kesalahan dalam membuat kesimpulan, tinjauan ulang berarti memeriksa

sesuatu yang sudah ditemukan, diputuskan, dipertimbangkan, dan

disimpulkan.

Santrock dalam Desmita mengajukan beberapa pedoman bagi guru

dalam membantu siswa untuk dapat mengembangkan keterampilan berpikir

kritis, yakni: 1) guru harus berperan sebagai pembimbing siswa dalam

menyusun pemikiran mereka sendiri, 2) menggunakan atau menanyakan

pertanyaan yang berbasis pemikiran, 3) bangkitkan rasa ingin tahu siswa,

dorong siswa untuk bertanya, menyelidiki, merenungkan, meneliti, 4) libatkan

siswa dalam perencanaan dan stategi, 5) beri siswa model peran pemikir yang

positif dan kritis, 6) guru harus mampu menjadi model peran pemikir yang

positif bagi siswa.36

Guru berperan sebagai fasilitator yaitu membimbing dan membantu

siswa dalam menyusun pemikiran mereka sendiri, guru harus menghargai

setiap pertanyaan yang diajukan oleh siswa, guru memancing siswa dengan

memberikan suatu permasalahan agar siswa dapat menspekulasi jawaban

dari permasalahan tersebut. Guru memahami sudut pandang siswa,

36
Desmita, Op.Cit., hlm. 160
41

memperkuat rasa ingin tahu siswa, dan mendorong siswa untuk melakukan

elaborasi jawabannya.

Kedua, guru mengajukan pertanyaan yang dapat membangkitkan

minat dan keingintahuan siswa tentang suatu topik atau permasalahan yang

menstimulasikan pemikiran siswa untuk dapat melakukan diskusi. Ketiga

bangkitkan rasa ingin tahu siswa untuk bertanya, menyelidiki, merenungkan,

meneliti. Melalui kegiatan bertanya siswa diransang untuk aktif berpikir dalam

melakukan berbagai aktifitas pembelajaran. Keempat guru bekerjasama

dengan siswa dalam menyusun rencana pembelajaran, menentukan tujuan

yang ingin dicapai, dan mencari arah yang tepat dalam mencapai hasil.

Kelima, guru dapat mengundang atau menunjukkan tokoh yang memiliki

pemikiran kritis atau tokoh menginspirasi untuk menujukkan kepada siswa dan

memotivasi siswa untuk dapat mengikuti jejak tokoh tersebut. Terakhir, guru

harus memperlihatkan bahwa dia adalah seorang pemikir yang aktif, positif,

kritis, serta ingin tahu. Guru sebagai role mode untuk siswa.

Pada prinsipnya, orang yang mampu berpikir kritis adalah orang yang

tidak begitu saja menerima atau menolak sesuatu, dapat berupa gagasan atau

pembaharuan. Mereka akan mencermati, menganalisis, dan mengevaluasi

informasi sebelum memutuskan untuk menerima atau menolak informasi

tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa berpikir kritis

merupakan proses berpikir kompleks atau berpikir tingkat tinggi yang


42

memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif, untuk dapat memahami

makna permasalahan secara lebih mendalam, tetap berpikiran terbuka tentang

pendekatan dan perspektif yang berbeda, dan teliti mengenai sebuah

keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari

sudut alasan-alasan yang mendukungnya, untuk mengajarkan siswa agar

mampu berpikir kritis diperlukan tahapan seperti keterampilan menganalisis,

keterampilan menyintesis, keterampilan mengenal dan memecahkan masalah,

keterampilan menyimpulkan dan yang terakhir keterampilan mengevaluasi

atau menilai.

4. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

a. Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan bagian dari Ilmu

Pengetahuan atau Sains yang berasal dari bahasa Inggris yaitu “science”.

Fowler mendefinisikan bahwa IPA merupakan ilmu yang sistematis dan

dirumuskan, yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan

didasarkan terutama atas pengamatan dan induksi.37 IPA merupakan suatu

ilmu teoritis, yang diperoleh melalui pengamatan/observasi, eksperimen

terhadap gejala-gejala alam, penyimpulan, penyusunan teori dan demikian

37
Abdullah Aly, Eny Rahma, Ilmu Alamiah Dasar (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011),
hlm.18
43

seterusnya. Fakta-fakta tentang gejala kebendaan/ alam diselidiki akan

diselidiki secara berulang-ulang. Dari hasil penyelidikan tersebutlah

dirumuskan keterangan ilmiah (teori). Teori selalu didasari oleh suatu hasil dari

pengamatan.

Senada dengan pendapat Fowler, Trianto mendefinisikan bahwa IPA

berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga

IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-

fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu

proses penemuan.38 IPA berkaitan dengan cara mengetahui alam secara

sistematis, dengan belajar IPA diharapkan peserta didik dapat mempelajari diri

sendiri dan alam sekitar. Proses pembelajaran menekankan kepada

pengalaman langsung agar peserta didik mengembangkan kompetensi

memahami alam sekitar secara lebih ilmiah. Pembelajaran IPA diarahkan

kepada proses penemuan agar membantu peserta didik untuk memahami

alam secara lebih mendalam.

Berbeda dengan pendapat di atas, Chiappetta dalam Fathonah

mengutarakan bahwa hakikat sains adalah sebagai a way of thinking (cara

berpikir), a way of investigating (cara penyelidikan), dan a body of knowledge

38
Trianto, Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2007), hlm. 99
44

(sekumpulan pengetahuan).39 Sebagai cara berpikir, sains merupakan

aktivitas mental (berpikir) manusia yang dicirikan oleh adanya proses berpikir

yang terjadi di dalamnya. Para ilmuan berusaha untuk mengungkap,

menjelaskan, serta menggambarkan fenomena alam. Ide-ide dan penjelasan

gejala alam tersebut disusun dalam pikiran dan kegiatan tersebut didorong

oleh rasa ingin tahu (curiousity) untuk memahami dan menjelaskan fenomena-

fenomena alam.

Sebagai cara penyelidikan mempunyai maksud sains terbentuk dari

hasil penyelidikan yang terjadi secara terus menerus. Sains memberikan

gambaran tentang pendekatan-pendekatan dalam menyusun pengetahuan.

Observasi (pengamatan) dan prediksi merupakan dasar sejumlah metode

dalam menyelesaikan masalah pengetahuan. Lalu sains sebagai sekumpulan

pengetahuan yang berarti susunan sistematis hasil temuan yang dilakukan

oleh para ilmuan. Hasil temuan dapat berupa fakta, konsep, hipotesis, teori,

hukum maupun model ke dalam kumpulan pengetahuan yang sesuai dengan

bidang kajiannya, misalnya biologi, kimia, fisika, dan yang lainnya.

Maksud IPA dalam penelitian ini yaitu IPA dipandang sebagai way of

thinking dan sebagai produk. IPA sebagai produk berarti, dalam pembelajaran

IPA menggunakan model Problem Based Learning ini siswa mampu

39
Siti Fatonah dan Zuhdan K. Prasetyo, Pembelajaran Sains (Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2014), hlm. 6
45

memahami materi pembelajaran IPA serta mampu mengaplikasikan

pengetahuan yang dimilikinya untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang

ada dalam kehidupan sehari-hari. IPA sebagai way of thinking berarti dengan

menggunakan model Problem Based Learning siswa dapat mengembangkan

kemampuan berpikir kritis dalam menyelesaikan permasalahan yang terdapat

dalam kehidupan sehari-hari.

c. Pengertian Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

Wisudawati dan Sulistyowati mengemukakan bahwa pembelajaran

IPA adalah interaksi antara komponen-komponen pembelajaran dalam bentuk

proses pembelajaran untuk mencapai tujuan yang berbentuk kompetensi yang

telah ditetapkan.40 Pembelajaran IPA mempunyai arti bahwa adanya hubungan

timbal balik antara komponen-komponen pembelajaran yang terdiri dari tujuan

yang ingin dicapai, pendidik, peserta didik, bahan atau materi pembelajaran,

media, dan sebagainya untuk mencapai tujuan yang berbentuk kompetensi

yang telah ditetapkan.

Menurut Bambang Sumintono pada dasarnya pembelajaran IPA di

sekolah memiliki dampak yang penting, karena pembelajaran IPA

berhubungan dengan: 1) keberlangsungan umat manusia di dunia, dengan

40
Asih Widi Wisudawati, Eka Sulistyowati, Metodologi Pembelajaran IPA (Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2014), hlm. 26
46

mempelajari IPA siswa dapat memutuskan secara bijak mengenai pilihan

tindakan yang bijak terhadap isu global yang sedang berkembang, 2) tuntutan

angkatan kerja dalam lingkungan ekonomi yang berbasis ilmu pengetahuan

dan teknologi. Adanya suatu kebutuhan bagi masyarakat dan berbagai

kelompok agar menguasai dan mengikuti ilmu pengetahuan dan teknologi

sesuai dengan perkembangan jaman.

Menurut Claxton dalam Samatowa, pendidikan IPA dapat ditingkatkan

apabila anak bersikap seperti ilmuwan bagi diri mereka sendiri, dan jika mereka

diperbolehkan dan didorong untuk melakukan hal seperti itu.41 Pembelajaran

IPA akan lebih menyenangkan dan mudah apabila kegiatan anak di kelas di

antisipasi menjadi serupa dengan apa yang sesungguhnya dilakukan oleh

ilmuwan dalam percobaan mereka, anak melakukan kegiatan serupa seperti

ilmuwan untuk memahami konsep atau menguji berbagai teori.

Pembelajaran IPA melatih anak berpikir kritis dan objektif. Melalui

pembelajaran IPA siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya

melalui pengamatan objek, diskusi, dan eksperimen-eksperimen untuk menguji

suatu teori. Rasional artinya masuk akal dan logis, dapat diterima sesuai

dengan kenyataan atau sesuai dengan pengalaman, pengamatan sesuai

dengan panca indera.

41
Usman Samatowa, Pembelajaran IPA Sekolah Dasar (Jakarta: PT Indeks, 2016),
hlm. 9.
47

5. Karakteristik Siswa Kelas V SD

Karakteristik siswa dapat dikatakan sebagai ciri khusus yang dimilki

oleh masing-masing siswa baik pada invidu maupun kelompok untuk

pertimbangan siswa dalam proses pengorganisasian pembelajaran. Usia

siswa Sekolah Dasar berkisar antara 6-12 tahun. Kalau mengacu pada

pembagian tahapan perkembangan anak, berarti anak usia Sekolah Dasar

berada pada dua masa perkembangan, yaitu masa kanak-kanak tengah (6-9

tahun), dan masa kanak-kanak akhir (10-12 tahun).42

Siswa SD merupakan kategori yang banyak mengalami perubahan

secara drastis, baik secara mental maupun fisik. Anak usia Sekolah Dasar

memiliki karakteristik senang bermain, senang bergerak, senang bekerja

dalam kelompok, dan senang merasakan sesuatu secara langsung.

Mengacu pada teori kognitif Piaget, pemikiran anak usia sekolah dasar

memasuki tahap pemikiran operasional konkret.43 Aktivitas mental anak

terfokus kepada objek nyata atau pada berbagai kejadian yang pernah

dialaminya. Anak sudah memiliki kemampuan berpikir melalui runtutan sebab

akibat dan mulai mengenali banyak cara dalam menyelesaikan permasalahan

yang dihadapi. Dalam memahami alam sekitarnya, mereka tidak lagi terlalu

mengandalkan informasi dari apa yang dilihatnya, karena sudah mampu untuk

42
Desmita, Op.Cit., hlm. 35
43
Ibid., hlm 104
48

membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan yang

sesungguhnya, dan antara yang bersifat sementara dengan yang bersifat

menetap.

Selanjutnya, perkembangan moral pada anak usia Sekolah Dasar

adalah bahwa anak sudah dapat mengikuti peraturan atau tuntutan dari orang

tua atau lingkungan sosialnya. Pada akhir usia ini (usia 11 atau 12 tahun), anak

sudah dapat memahami alasan yang mendasari suatu peraturan. Di samping

itu, anak sudah dapat mengasosiasikan setiap bentuk perilaku dengan konsep

benar salah atau baik buruk.44

Menurut peneliti PBL sangat tepat untuk diterapkan siswa kelas V,

karena siswa kelas V sudah dapat berpikir logis dan mempunyai kemampuan

berpikir melalui runtutan sebab-akibat, dan mampu untuk menyelesaikan

permasalahan yang dihadapinya.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Hasil penelitian yang relevan dengan peneliti adalah penelitian yang

dilakukan oleh Novi Sulis Setyaningsih dengan judul ”Pengaruh Penggunaan

Model Problem Based Learning terhadap Hasil Belajar IPA Kelas V SD Di

44
Ahmad Susanto, Op.Cit, hlm. 76
49

Kelurahan Cempaka Putih Barat Jakarta Pusat.”45 Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa adanya pengaruh positif, yang artinya kelas eksperimen

lebih tinggi skor rata-ratanya dibandingkan kelas kontrol yaitu 82 > 74.

Penelitian ini berpengaruh secara signifikan dengan hasil uji-t yang

membuktikan bahwa thitung > ttabel pada 𝛼 = 0,05 yaitu 3,14 > 1,67.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Rini Istanti dengan judul

“Pengaruh Model Problem Based Learning (PBL) Terhadap Motivasi Belajar

IPA Siswa Kelas V SD Negeri Gadingan Kecamatan Wates.”46 Terdapat

pengaruh positif penggunaan PBL terhadap motivasi belajar IPA, hal tersebut

dibuktikan dengan rata-rata hasil posttest kelompok eksperimen 81,82 lebih

tinggi dibandingkan dengan rata-rata hasil posttest kelompok kontrol yaitu

71,42. Perbandingan motivasi belajar kelompok eksperimen lebih tinggi

dibandingkan kelompok kontrol. Terbukti selisih pada pertemuan ke-1

eksperimen lebih tinggi yaitu 6,82%, pada pertemuan ke-2 lebih tinggi 5,68%,

pada pertemuan ke-3 lebih tinggi 4,77%, dan pada pertemuan ke-4 memiliki

beda yang besar yaitu 21,14%. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat

pengaruh positif penggunaan model PBL terhadap berpikir kritis IPA siswa.

45
Novi Sulis Setyaningsih, ” Pengaruh Penggunaan Model Problem Based Learning
terhadap Hasil Belajar IPA Kelas V SD Di Kelurahan Cempaka Putih Barat Jakarta
Pusat.” (Skripsi: Jakarta, FIP UNJ, 2016)
46
Rini Istanti, “Pengaruh Model Problem Based Learning (PBL) Terhadap Motivasi
Belajar IPA Siswa Kelas V SD Negeri Gadingan Kecamatan Wates”. (Skripsi:
Yogyakarta, FIP UNY, 2015)
50

C. Kerangka Berpikir

IPA dipahami sebagai ilmu yang lahir dan berkembang dari lewat

langkah-langkah observasi, perumusan masalah, penyusunan hipotesis

melalui eksperimen, penarikan kesimpulan, serta penemuan teori dan konsep.

IPA merupakan mata pelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa

untuk dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis melalui metode

menemukan sendiri dan memecahkan suatu permasalahan.

Keterampilan berpikir terdiri atas empat tingkatan, yaitu: recall thinking

(menghafal), basic thinking (berpikir dasar), critical thinking (berpikir kritis), dan

creative thinking (berpikir kreatif). Kemampuan berpikir tingkat tinggi membuat

siswa untuk dapat menginterpretasikan, menganalisa, atau bahkan

memanipulasi sebuah informasi agar menjadi tidak monoton. Kemampuan

berpikir manusia terus mengalami perubahan, mengacu kepada adanya

perubahan yang dinamis, kemampuan berpikir manusia berkembang dari

berpikir dasar menjadi berpikir tinggi. Pada jenjang SD berpikir awal terjadi

pada siswa kelas awal, yakni siswa kelas 1 sampai dengan kelas III SD. Seiring

dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki, kemampuan berpikir

siswa mulai mengarah pada berpikir tingkat tinggi yang menekankan cara

berpikir abstrak. Hal ini terjadi pada siswa kelas IV sampai dengan kelas VI SD

yang sudah mulai belajar untuk berpikir secara abstrak.

Salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thingking)


51

adalah kemampuan berpikir kritis. Berpikir kritis mempunyai kaitan erat dengan

kemampuan manusia untuk dapat memecahkan permasalahan dan untuk

mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan berpikir kritis

siswa dapat ditumbuhkembangkan melalui proses mengamati,

membandingkan, mengkelompokkan, menghipotesis, mengumpulkan data,

menafsirkan, menyimpulkan, menyelesaikan masalah, dan mengambil

keputusan. Pengembangan kemampuan berpikir yang optimal mensyaratkan

bahwa kelas tersebut kelas yang interaktif. Agar pembelajaran dapat interaktif,

maka diperlukan desain pembelajaran yang menarik agar siswa dapat terlibat

aktif dalam kegiatan pembelajaran.

Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang

erat kaitannya dengan berpikir kritis. PBL merupakan pembelajaran yang

penyampainnya dilakukan dengan cara menyajikan suatu permasalahan,

mengajukan pertanyaan-pertanyaan, memfasilitasi penyelidikan, dan

membuka dialog. PBL Melibatkan siswa turut aktif dalam menyelesaikan

masalah dan menuntut keterampilan berpikir yang lebih tinggi. Penerapan

model PBL menekankan pada penggunaan masalah yang kontekstual dan ada

dalam kehidupan sehari-hari siswa. Dengan masalah yang diberikan, siswa

akan terampil dalam melakukan penyelidikan sehingga siswa dapat

menyelesaikan permasalahan. Melalui masalah yang diberikan siswa mampu

untuk mengolah informasi, sehingga diharapkan keterampilan berpikir kritis


52

siswa akan berkembang.

Dilihat dari perkembangan kognitif Piaget, siswa kelas V sudah mampu

untuk dapat berpikir logis, siswa kelas V mempunyai kemampuan berpikir

melalui runtutan sebab-akibat, dan mampu untuk menyelesaikan

permasalahan yang dihadapinya.

Dari pemaparan di atas, diduga bahwa dengan penerapan model

pembelajaran Problem Based Learning berpengaruh secara positif terhadap

kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran IPA.

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, dapat dirumuskan hipotesis

sebagai berikut:

Hα = Terdapat pengaruh positif penggunaan model Problem Based Learning

terhadap kemampuan berpikir kritis kelas V SDN Malaka Jaya.

H‫ = ס‬Tidak terdapat pengaruh positif penggunaan model Problem Based

Learning terhadap kemampuan berpikir kritis kelas V di SDN Malaka

Jaya.
2

Anda mungkin juga menyukai