Anda di halaman 1dari 1

Pendahuluan

Film Atas Nama Percaya menceritakan perjalanan panjang kelompok penghayat


kepercayaan atau penganut agama leluhur yaitu Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) di Jawa
Barat dan agama leluhur Marapu dari Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timu. Film
dokumenter berdurasi 36 menit ini memaparkan sejarah dan keragaman pengalaman penghayat
kepercayaan dalam memperjuangkan kesetaraan di hadapan negara dan masyarakat.

Kata “kepercayaan” adalah istilah kebijakan yang berkaitan tetapi dibedakan dari
“agama” oleh negara. Sejak kemerdekaannya, Indonesia telah mengatur agama dan kepercayaan.
Keduanya pun telah menjadi perdebatan publik dan akademik sejak saat itu. Keduanya bahkan
telah menjadi bagian perdebatan politik di kalangan pendiri bangsa Indonesia saat mereka
merumuskan dasar atau konstitusi negara Indonesia. Penghayat kepercayaan harus mengalami
diskriminasi dan bahkan persekusi dari aparat negara dalam sejarah panjang Indonesia. Mereka
distigma dan diklaim primitif atau ketinggalan oleh masyarakat luas karena mewarisi tradisi
leluhurnya. Mereka dituduh sesat atau kafir karena ajaran dan tradisinya berbeda dari enam (6)
yang diakui dan dilayani oleh negara.

Setelah mengalami perjalanan diskriminatif yang panjang sejak kemerdekaan Republik


Indonesia, sekalipun belum maksimal, pendidikan kepercayaan telah dikembangkan oleh
Direktorat Kepercayaan bekerjasama dengan MLKI, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat
lokal. Pendidikan Kepercayaan (sebanding dengan pendidikan agama) telah diajarkan di sekolah-
sekolah tingkat SD, SMP, dan SMA. Pemerintah juga telah menyediakan KTP khusus untuk para
penghayat kepercayaan. Dengan demikian, sudah terdapat jaminan hak sipil bagi penghayat
kepercayaan.

Terlepas dari adanya perubahan kebijakan yang memberi jaminan hak sipil kepada
penghayat kepercayaan, respon aparat pemerintah, masyarakat, termasuk penghayat sendiri
masih beragam. Di berbagai daerah, pelayanan pemerintah terhadap pemenuhan hak-hak
penghayat belum maksimal. Selain sosialisasi, infrastruktur pelayanan juga masih minim. Dalam
hal pendidikan kepercayaan misalnya, masih banyak sekolah yang belum bersedia memberikan
pelayanan. Oleh karena itu, diperlukan dialog dan sinergi antara pemerintah, masyarakat sipil,
dan komunitas agama leluhur untuk menuntaskan pengakuan dan kesetaraan bagi warga
penghayat kepercayaan.

Anda mungkin juga menyukai