Kata “kepercayaan” adalah istilah kebijakan yang berkaitan tetapi dibedakan dari
“agama” oleh negara. Sejak kemerdekaannya, Indonesia telah mengatur agama dan kepercayaan.
Keduanya pun telah menjadi perdebatan publik dan akademik sejak saat itu. Keduanya bahkan
telah menjadi bagian perdebatan politik di kalangan pendiri bangsa Indonesia saat mereka
merumuskan dasar atau konstitusi negara Indonesia. Penghayat kepercayaan harus mengalami
diskriminasi dan bahkan persekusi dari aparat negara dalam sejarah panjang Indonesia. Mereka
distigma dan diklaim primitif atau ketinggalan oleh masyarakat luas karena mewarisi tradisi
leluhurnya. Mereka dituduh sesat atau kafir karena ajaran dan tradisinya berbeda dari enam (6)
yang diakui dan dilayani oleh negara.
Terlepas dari adanya perubahan kebijakan yang memberi jaminan hak sipil kepada
penghayat kepercayaan, respon aparat pemerintah, masyarakat, termasuk penghayat sendiri
masih beragam. Di berbagai daerah, pelayanan pemerintah terhadap pemenuhan hak-hak
penghayat belum maksimal. Selain sosialisasi, infrastruktur pelayanan juga masih minim. Dalam
hal pendidikan kepercayaan misalnya, masih banyak sekolah yang belum bersedia memberikan
pelayanan. Oleh karena itu, diperlukan dialog dan sinergi antara pemerintah, masyarakat sipil,
dan komunitas agama leluhur untuk menuntaskan pengakuan dan kesetaraan bagi warga
penghayat kepercayaan.