Anda di halaman 1dari 26

IBNU SINA dan IBNU MISKAWAYH

Makalah disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


FILSAFAT ISLAM

Dosen Pengampu :

M. Yusron Maulana El Yunusi, M.Pd

Disusun Oleh :

1. Any Rahmawati (D71218058)


2. Qurrota Ayunin (D71218088)
3. M. Ilham Hafidin (D71218066)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, sebab hanya berkat-Nya
penulis dapat menyelsaikan makalah yang berjudul “Ibnu Sina dan Ibnu
Miskawayh” ini dengan tepat waktu. Sholawat serta salam tetap tercurahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada segenap pihak yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan tugas ini. Terutama kepada dosen
pembimbing mata kuliah Filsafat Islam, bapak M. Yusron Maulana El-Yunusi,
M.Pd. yang banyak memberi masukan kepada kelompok kami.
Terlepas dari itu penulis sadar dalam penyusunan makalah ini masih
sangat sederhana dan terbatas akan sumber yang kami gunakan. Oleh karena itu
penulis memohon maaf dan mengharapkan masukan terkait makalah ini agar
dapat menjadikan lebih baik untuk kedepannya.

Surabaya, 04 April 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan....................................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
PEMBAHASAN................................................................................................................3
A. IBNU SINA............................................................................................................3
1. Biografi..............................................................................................................3
2. Pemikiran Filsafat Ibnu Sina..............................................................................5
3. Analisis Pemikiran...........................................................................................11
4. Karya Ibnu Sina................................................................................................13
B. IBNU MISKAWAYH..........................................................................................14
1. Biografi............................................................................................................14
2. Pemikiran Filsafat Ibnu Miskawayh.................................................................15
3. Analisis Pemikiran...........................................................................................17
4. Karya-Karya Ibnu Miskawayh.........................................................................19
C. Perbandingan Pemikiran antara Ibnu Sina dan Ibnu Miskawayh..........................20
KESIMPULAN................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................22

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam kehidupan manusia itu pasti memiliki adanya suatu proses
pendidikan yang harus dimiliki oleh setiap orang dan dalam pendidikian itu
manusia juga tidak akan terlepas dengan mengalami sebuah proses
pendidikan itu sendiri, dan dari itu berhasil atau tidaknya itu tergantung dari
adanya faktor pendidikan tersebut. Jadi, pada intinya sumber dari
perkembangan di dunia yakni tidak terlepas dari para ilmuan yang telah
mencurahkan segala perhatian dan ilmunya di dalam dunia pendidikan ini.
Dan juga segala sesuatu yang telah dilakukan oleh para ulama yang
mana beliau telah ikut serta berkewajiban untuk menyebarluaskan ilmu-
ilmunya kepada masyarakat dan umat. Adapun faktor pendidikan dalam
makalah ini meliputi pendidik, peserta didik dan lingkungannya menurut para
ulama klsaik diantaranya yakni: Ibnu Sina dan Ibnu Miskawih. Yang mana di
faktor pertama menurut Ibnu Miskawih, orang tua merupakan pendidik yang
pertama bagi anak-anaknya karena peran yang demikian sangatlah penting
dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka dari itu perlulah adanya
hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak sehingga, adanya rasa
cinta dan kasih dari keduanya. Sehingga, mereka mendapatkan perhatian
dengan seksama dan tidak terjadi perbedaan antara peserta didik dan anak
yang sedang melakukan bimbingan.1
Maka dari penjelasan diatas tersebut ibnu Miskawih berpendapat
bahwa untuk mencapai suatu kebahagiaan itu tidak bisa dilakukan secara
sendiri akan tetapi dengan cara bersama-sama atas dasar saling menolong dan
saling melengkapi. Adapun menurut Ibnu Sina bahwa beliau mengatakan
jikalau guru yang baik adalah yang berakal cerdas, beragama, memiliki cara
mendidik, berakhlak yang mulia dan juga memandang manusia sebagai
makhluk pendidikan dalam pembahasannya tentang konsep manusia. Namun

1
Mintaraga.Eman Surya, “ Educational Factors In Classical UlamaPrespective”. Vol.19 No. 1,
Maret 2018, hlm. 27.

1
demikian masih terdapat berbagai persoalan umat dan pendidikan islam
sekarang ini menurut Assegaf berpangkal pada empat hal sebagai berikut: 1)
Lemahnya visi; 2) Penekanan pada kesalehan individual sehingga
menyebabkan ketertinggalan individual; 3) Keilmuan yang dikotomis; dan 4)
Pola piker normative e-deduktif.2 Jadi pada intinya dari keempat hat yang
diatas harus kita cari solusinya sehingga, pendidikan umat islam ini dapat
memperoleh sebuah kemajuan dan kejayaan kemabali. Meskipun pada
dasarnya para filosof muslim ini dari segi berfilsafatnya masih terpengaruh
oleh cara berfikir dari filsafat Yunani. Makadari itu, mereka memikirkan
sebuah cara untuk meluruskan antara agama dan logika dan filsafat dengan
logika rasio sehingga, membentuk suatu ilmu yang metodenya sangat khas
dengan perkembangan pemikiran rasional dalam islam. Dari sinilah makalah
ini ingin mencoba membahas salah sosok seorang filsuf muslim yang
terkemuka yakni Ibnu Sina dan Ibnu Miskawih yang sangatlah menarik untuk
bisa kita kaji atau di diskusikan bersama. Bagaimana bentuk pemikiran
filsafatnya ini? Dan inilah latar belakang pemikiran yang menjadi pokok
pembahasan makalah yang sederhana ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemikiran Ibnu Sina?
2. Bagaimana pemikiran Ibnu Miskawayh?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana pemikiran Ibnu Sina
2. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana pemikiran Ibnu Miskawayh

2
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2014)
hlm. 1.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. IBNU SINA
1. Biografi
Ibnu sina dengan nama lengkap Abu ‘Ali Al-Husain bin Abdullah
bin Sina. Dilahirkan di daerah Afsyana dekat Bukhara pada tahun 370/980
M dan meninggal pada tahun 1037 M di usianya 58 tahun kemudian
jenazahnya dikebumikan di Hamadzan. Dalam dunia barat nama ibnu sina
lebih populer dengan sebutan Avicenna, sebutan tersebut akibat dari
metamorfose Yahudi-Spanyol latin. Perubahan ini berawal ketika naskah-
naskah Arab diterjemahkan kedalam bahasa latin pada pertengahan abad
ke dua belas.3
Sejak usia mudanya Ibnu Sina telah menguasai beberapa disiplin
ilmu diantaranya seperti matematika, logika, fisika, kedokteran, hukum,
astronomi, dan lain-lainnya. Ibnu Sina dalam usia dininya telah
memperlihatkan bakat yang sangat luar biasa atas pengetahuan, bahkan
dalam usia sepuluh tahun ia telah menghafal keseluruhan Al-Qur’an dan
juga tata bahasa.4 Ayahnya adalah seorang penganut Isma’iliyah yang
mana sangat memperhatikan pendidikannya serta dirumah tempat
tinggalnya merupakan tempat pertemuan-pertemuan para sarjana dari
dekat atau daerah jauh.5
Kepintaran Ibnu Sina sangatlah mengagumkan, di usia tujuh belas
tahun ia telah paham terhadap teori-teori kedokteran yang saat itu melebihi
siapapun. Nama Ibnu Sina semakin terkenal dalam ilmu kedokteran ketika
ia berhasil menyembuhkan penguasa Bukhara yaitu pangeran Nuh Ibn
Mansur yang pada saat itu belum ada seorang dokter mampu
menyembuhkan sang pangeran tersebut.6 Dari peristiwa itu Nuh Ibn
3
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof dan FIlsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2004),
hlm. 93
4
Ibid., hlm.94
5
Sayyed Hossein Nasr, Tiga Mazab Utama Filsafat Islam, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2014), hlm. 43
6
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof dan FIlsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada,2004),hlm.94

3
Mansur menghadiahkan kepada Ibnu Sina untuk memanfaatkan
perpustakaan pribadinya yang mana didalam perpustakaan tersebut ada
berbagai bahan bacaan ilmu pengetahuan sebagai pemuas hasrat Ibnu Sina
terhadap ilmu.7 Dan secara tidak langsung ia juga diangkat sebagai
konsultan dokter-dokter praktisi.
Ibnu Sina disebutkan mempunyai hutang budi terhadap Al-Farabi
dalam otobiografinya. hal ini terjadi ketika Ibnu Sina berusaha untuk
memahami dari alam metafisika dari Aristoteles, walaupun sudah dibaca
berulang-ulang kali hingga hampir hafal diluar kepala, tetapi ia merasa
masih sulit untuk memahaminya. Kesulitan ini teratasi ketika ia
menemukan komentar dan ulasan-ulasan dalam risalah kecil Al-Farabi
yang mana memberikan penjelasan tentang poin-poin yang sulit. 8Dari
anekdot ini juga dapat diartikan bahwasanya Ibnu Sina adalah pewaris
filsafat Neoplatonisme Islam yang dikembangkan oleh Al-Farabi.
Kehidupan Ibnu Sina mulai sulit ketika terjadi kekacauan politik di
Asia Tengah, yang diakibatkan oleh bangkitnya kekuatan dari Mahmud
Al-Ghaznawi. Karena kejadian tersebut , membuat Ibnu Sina tidak betah
diprovinsi tempat tinggalnya sehingga dengan terpaksa Ibnu Sina harus
pindah dari Bukhara menuju Jurjaniyah (Georgia). Belum lama di
Jurjaniyah Ibnu Sina harus beranjak lagi ke Hamazan untuk menemui
keluargananya yaitu Syam al-Dawlah (penguasa Hamazan) yang saat itu
sedang mengalami sakit, dari situ Ibnu Sina berhasil menyembuhkannya
dan membuatnya sangat disukai di istana. Berkat menyembuhkan Syam al-
Dawlah, ia diangkat menjadi wazir yang mana harus melaksanakan tugas-
tugas berat selama beberapa tahun sampai sang penguasa meninggal.9
Sebagai pemikir yang inovatif dan kreatif umumnya, Ibnu Sina
juga tidak terlepas dari cobaan yang menimpa dirinya. Ketika pustaka
istana, Kutub Khana terbakar, ia dituduh membakaranya.10 Agar orang lain

7
Muhammad Athif Al-‘Iraqy, al-Falsafah al-Islamiyyat, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1978), hlm.44
8
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), hlm. 190
9
Sayyed Hossein Nasr, Tiga Mazab Utama Filsafat Islam, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2014), hlm. 44
10
Muhammad Athif Al-‘Iraqy, al-Falsafah al-Islamiyyat, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1978), hlm.44.

4
tidak bisa menguasai ilmu yang ada disana. Cobaan lain datang ketika
keadaan politis Ibnu Sina memburuk, dan ketika ia menolak untuk
meneruskan lagi jabatannya sebagai wazir di istana sepeninggal Syam al-
Dawlah. Akibat dari penolakan tersebut Ibnu Sina dipenjarakan oleh putra
dari Syam al-Dawlah atas dasar semata-mata kedengkiannya atau
ketidaksenangannya terhadap Ibnu Sina.
Setelah beberapa bulan dipenjara, Ibnu Sina berhasil meloloskan
diri dengan memanfaatkan pengepungan Hamazan dengan menyamar
dengan berpakaian seperti guru sufi dan lari menuju Isfahan yang mana
sebagai pusat besar pembelajaran. Kedatangan Ibnu Sina telah lama
ditunggu-tunggu dan disambut dengan oleh penguasa disana dengan segala
hormat. Di kota ini Ibnu Sina mengabdi kepada ‘Ala’ al-Daulah dan
menikmati kedamaian di kota tersebut. Selama lima belas tahun Ibnu Sina
menetap di Isfahan dengan kedamaiannya dimanfaatkan untuk menulis
banyak karya-karya penting dan mempelajari ilmu astronomi sehingga
membangun sebuah observatorium.11Kedamaian yang diperoleh Ibnu Sina
saat di Isfahan ini berlangsung sementara lantaran dengan adanya invasi
oleh Masud, putra dari Mahmud al-Ghaznawi . dari peristiwa tersebut
banyak karya hikmah yang hilang dan keadaan Ibnu Sina saat itu
menderita karena penyakit perut, ia kembali ke Hamazan hingga ajal
memanggilnya pada 428 H/1037 M.12
2. Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
a. Ketuhanan
Dalam pembuktian adanya tuhan (isbat wujud Allah) Ibnu sina
menggunakan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud. Dalam
argumen ini sepertinya tidak ada tambahan sama sekali dan
mengesankan duplikat dari al-Farabi, segala sesuatu yang ada dalam

11
Sayyed Hossein Nasr, Tiga Mazab Utama Filsafat Islam, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2014), hlm. 45.
12
Ibid., hlm. 45.

5
filsafat wujudnya, Ibnu Sina membagi pada tiga tingkatan dipandang
memiliki daya kreasi tesendiri sebagai berikut:13
1) Wajib al-Wujud, esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai
wujud. Dari sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud tersebut
yang mana keduanya sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari
tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud
selama-lamanya.
Lebih jauh lagi Ibnu Sina membagi wajib al-wujud kedalam
wajib al-wujud bi dzatihi dan wajib al-wujud bi ghairihi. Dari
ketegori pertama yakni wajib al-wujud bi dzatihi ialah yang
wujudnya dengan sebab zatnya semata, mustahil jika diandaikan
tidak ada. Dan kategori kedua yakni wajib al-wujud bi ghairihi
ialah wujudnya terkait dengan sebab adanya sesuatu yang lain
diluar zatnya.14 Dari kedua kategori yang dikemukakan Ibnu Sina
posisi Allah termasuk pada yang pertama (wajib al-wujud li dzatihi
la li syai’in akhar).
2) Mumkin al-wujud, dari esensinya yang boleh mempunyai wujud
dan boleh pula tidak berwujud. Dengan istilah lain, jika diandaikan
tidak ada atau diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni
boleh ada dan boleh tidak ada.15
Mumkin al-wujud ini jika dilihat dari segi esensinya, tidak mesti
ada dan tidak mesti tidak ada karena itu ia disebut mumkin al-
wujud bi dzatihi. Jenis mumkin ini mencakup semua yang ada,
selain Allah.
3) Mumtani’ al-wujud, esensi yang tidak dapat mempunyai wujud,
seperti yang ada sekarang ini juga kosmos lain disamping kosmos
yang ada.16
13
Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme dalam islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm.33-
34.
14
Muhammad ‘Athif Al-‘Iraqy, al-Manhaj al-Naqdy fi Falsafat Ibn Rusdy, (Kairo: Dar Al-Ma’arif,
1980), hlm. 206-207.
15
Ibid., hlm. 206.
16
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof dan FIlsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2004),
hlm. 99.

6
b. Emanasi
Dalam emanasi Ibnu sina mengambil emanasi yang
dikemukakan oleh al-farabi. Sebagaimana juga al-farabi menemui
kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya yang banyak yang
bersifat materi (alam) dari yang Esa, juah dari arti banyak, jauh dari
materi, maha sempurna, dan tidak berkehendak apapun. Dalam
mengatasi masalah tersebut Ibnu sina juga mengungkapkan
penciptaan secara emanasi (pancaran).17
Emanasi (pancaran) ini bukan berasal dari pemikiran Ibnu Sina
atau al-Farabi, tetapi asalnya dari “ramuan Plotinus” yang menyatakan
bahwa alam ini terjadinya karena pancaran dari yang Esa (the
One).filsafat Plotinus yang menyetakan bahwa “dari yang satu hanya
satu yang melimpah”. Diislamkan oleh Ibnu Sina juga al-Farabi
bahwasanya Allah menciptakan alam semesta secara emanasi. Hal
tersebut memungkinkan karena didalam Al-Qur’an tidak ditemukan
informasi mengenai penciptaan alam dari materi yang sudah ada atau
dari tiadanya. Walau dari prinsip Ibnu sina sama dengan Plotinus
namun hasil dan tujuannya berbeda, dari pendapat Plotinus dapat
dikatakan yang Esa sebagai penyebab yang pasif berubah menurut
Ibnu Sina menjadi aktif.
Dalam proses penacaran menurut Ibnu Sina ialah ketika Allah
wujud sebagai akal langsung memikirkan (ber-ta’aqqul) terhadap zat-
Nya sebagai objek pemikirannya, maka memancarlah akal pertama.
Dari akal pertama ini memancar akal kedua, jiwa pertama, dan langit
pertama, sampai seterusnya hingga akal kesepuluh dan tidak dapat
menghasilkan akal sejenisnya.
Berlainan dengan pendapat al-Farabi bagi Ibnu Sina Akal
pertama mempunyai dua sifat yaitu sifat wajib wujudnya sebagai
ciptaan secara pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya jika

17
Ibid., hlm. 10.

7
ditinjau dari hakikat dirinya.18 Dengan demikian, Ibnu Sina membagi
objek pemikiran akal-akal tersebut menjadi tiga : Allah (wajib al-
wujud li dzatihi), dirinya akal-akal (wajib al-wujud li ghairihi) sebagai
pancaran dari Allah, dan dirinya akal-akal (mumkin al-wujud) ditinjau
dari hakikat dirinya.
c. Jiwa
Keistimewaan pemikiran Ibnu Sina terdapat pada
pembahasannya tentang jiwa. Semua jiwa memancar dari Akal
Sepuluh, Demikian juga jiwa manusia yang bersumber dari akal
sepuluh. Didalam dalil naqli, jiwa disebut al-nafs atau al-ruh
sebagaimana di dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’ : 85, Shad : 71-72, dan
Al-Fajr : 27-30. Secara garis besar Ibnu Sina membagi bahasan
tentang jiwa menjadi dua bagian :19
1) Fisika, berbicara tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan
manusia.
a) Jiwa yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan mempunyai tiga
daya yaitu makan, tumbuh, dan berkembang biak.
b) Jiwa pada hewan dibagi menjadi dua daya yaitu gerak (al-
mutaharrikat) dan menangkap (al-mudrikat). Daya menangkap
dibagi menjadi dua bagian :
(1) Menagkap dari luar dengan pancaindra.
(2) Menangkap dari dalam dengan indra-indra batin yang
terdiri atas lima indra yaitu :
(a) Indra bersama, yaitu menerima segala hal yang
ditangkap oleh indra luar.
(b) Indra al-Khayyal, yang tugasnya menyimpan segala
apa yang diterima oleh indra bersama.
(c) Imajinasi yang tugasnya menyusun apa yang disimpan
dari indra al-khayyal.

18
Ibid., hlm. 102.
19
Ibid., hlm. 106.

8
(d) Indra wahmiyah (estimasi), dapat menangkap sesuatu
yang abstrak terlepas dari materi, seperti kambing
akan lari ketika melihat serigala.
2) Jiwa manusia (al-nafs al-natiqat), mempunyai dua daya yaitu
praktis dan teoritis. Daya praktis berhubungan dengan jasad,
sedangkan daya teoritis berhubungan dengan hal-hal yang bersifat
abstrak. Dari daya teoritis ini mempuyai empat tingakatan
berikut :20
(a) Akal mareriil yang semata-mata mempunyai potensi untuk
berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
(b) Akal al-malakat, akal yang mulai dilatih untuk berpikir tentang
hal-hal yang abstrak.
(c) Akal aktual, sudah bisa berpikir tentang hal-hal yang abstrak.
(d) Akal mustafad, akal ini telah mampu berpikir tentang hal-hal
yang bersifat abstrak tanpa adanya daya dan upaya. Akal
seperti ini yang dapat berhubungan dan menerima pengetahuan
dari akal aktif.21
3) Metafisika, dari metafisika ini membicarakan tentang hal-hal
berikut :22
a) Wujud jiwa
Dalam pembuktian adanya jiwa Ibnu Sina memaparkan
empat dalil berikut :
(1) Dalil alam kejiwaan.
Dalam dalil didasari oleh pengetahuan dan fenomena
gerak. Gerak disini dibagi menjadi dua jenis yaitu, gerak
paksaan dan gerak tidak paksaan. Gerak paksaan adalah
gerak yang disebabkan dorongan dari luar yang

20
Ibid., hlm. 106.
21
Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme dalam islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 30.
22
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof dan FIlsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004),
hlm. 107.

9
ditimbulkan oleh suatu benda. Gerak tidak paksaan adalah
gerak yang berlawanan atau sesuai dengan hukum alam.
(2) Konsep “aku” dalam kesatuan fenomena psikologis.
Dari dalil ini Ibnu Sina mendasarkan pada hakikat
manusia. Apabila seseorang diajak untuk berbicara tentang
pribadinya atau orang lain maka bukan jisimnya,
melainkan pada hakikatnya yaitu jiwanya.23
(3) Dalil kontinuitas
Dalil ini membicarakan tentang perbandingan antara jiwa
dan jasad. Jasad yang selama ini kita ketahui dari waktu ke
waktu senantiasa mengalami perubahan dan pergantian.
Sementara jiwa bersifat kontinu yang mana tidak
mengalami perubahan maupun pergantian.
b) Hakikat jiwa
Pendapat tentang hakikat jiwa yang dikemukakan Ibnu
Sina lebih dekat dengan pendapat Plato yang menyatakan
bahwa jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri (al-nafs
jauhar qa’im bi dzatih), sementara definisi jiwa menurut
Aristoteles yang menyatakan bahwa kesempurnaan awal bagi
jasad alami yang organis tidak membuat Ibnu Sina merasa
puas. Menurut Ibnu Sina mendefinisikan bahwa jiwa
merupakan substansi rohani yang tidak tersusun atas materi-
materi, kesatuan antara keduanya bersifat accident, hancurnya
jasad tidak membawa pada hancurnya jiwa.24
c) Hubungan jiwa dengan jasad
Sebelum Ibnu Sina mengemukakan tentang hubungan
jasad dengan jiwa, Aristoteles dan Plato lebih dahulu
membicarakan tentang hal tersebut. Aristoteles
menggambarkan antara keduanya yang bersifat esensial.

23
Ibid., hlm. 108.
24
Ibid., hlm. 110.

10
Sebaliknya, Plato menggambarkannya bersifat accident karena
antara jasad dengan jiwa saling berdiri sendiri.
Menurut Ibnu Sina, hubungan antara jiwa dan jasad
sangat erat dan salinga ada keterkaitan antara keduanya. Jasad
adalah tempat dari jiwa, adanya jasad merupakan syarat mutlak
terciptanya jiwa. Dalam istilah lain, jiwa tidak akan diciptakan
tanpa adanya jasadyang akan ditempatinya.25 Jika tidak
demikian maka akan terjadi jiwa tanpa jasad atau satu jasad
ditempati beberapa jiwa.
d. Perbedaan antara Filosof dan Nabi
Ibnu Sina menyatakan bahwa nabi dan filosof menerima
kebenaran dari sumber yang sama, yaitu malaikat jibril yang juga
disebut akal kesepuluh atau akal aktif. Tetapi, dilihat dari cara
memperolehnya berbeda antara keduanya. Hubungan malaikat jibril
dengan nabi terjadi melalui akal materiil yang disebut hads (kekuatan
suci,qudsiyyat) , sedangkan para filosof melalui akal mustafad. Tuhan
menganugerahkan akal materiil kepada nabi sebagai orang pilihan-
Nya yang dayanya lebih kuat dibandingkan akal mustafad yang
dimiliki oleh filosof. Pengetahuan yang diperoleh nabi disebut dengan
wahyu, berlainan dengan pengetahuan yang diperoleh filosof yang
berbentuk ilham, tetapi antara keduanya tidaklah bertentangan.26

3. Analisis Pemikiran
Dapat diketahui bahwa pemikiran-pemikiran dari Ibnu Sina banyak
yang telah dikemukakan sebelumnya oleh al-Farabi. Namun, Ibnu Sina
berhasil untuk menjelaskan secara rinci dan lengkap dengan gaya
bahasanya yang menarik sehingga karya-karyanya sangat terkenal hingga

25
Ibrahim Madkur, Fi Falsafah al-Islamiyyat wa Manhaj wa Tathbiquh, (Mesir: Dar al-Ma’arif,
1968), hlm. 82.
26
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1983), hlm. 18
dan 84.

11
masa sekarang. Karena itu tepat sekali dikatakan bahwa pada masa Ibnu
Sina filsafat islam di dunia Islam Timur Mengalami puncak tertinggi.27
Dari pemikirannya tentang pembuktian adanya tuhan Ibnu Sina
tidak memakai dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi Ibnu Sina
memakai dalil adanya wujud pertama, yakni wajib al-wujud. Alam
semesta ini adalah mumkin al-wujud yang memerlukan suatu sebab yang
mengeluarkannya menjadi wujud. Maka dari itu, dalam menetapkan
adanya Allah tidak perlu para perenungan selain terhadap wujud itu
sendiri, tanpa pembuktian dengan salah satu makhluk-Nya.28 Meskipun
makhlukbisa menjadi bukti wujud-Nya, dari kedua macam pembuktian
diatas telah terdapat didalam Al-Qur’an surat Fussilat ayat 53 :
ِ ‫ق اَ َولَ ْم يَ ْك‬
ِّ‫ف بِ َربِّكَ اَنَّهُ َعلَى ُكل‬ َ ُ‫اق َوفِ ْي اَنفُ ِس ِه ْم َحتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ ْم اَنَّه‬
ُ ‫الح‬ ِ َ‫َسنر ْي ِه ْم ايتِنا َ فِي االَف‬
)٥٣( ‫َش ْي ٍء َش ِه ْي ٌد‬
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
kebesaran Kami pada alam semesta dan pada diri mereka sendiri,
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa tuhanmu menyaksikan
segala sesuatu.” (QS. Fussilat: 53)

Dari dalil diatas telihat bahwa adanya perbedaan antara Ibnu Sina
dan ahli kalam pada umumnya. Ibnu Sina dalam menetapkan adanya Allah
mengemukakan dalil ontologi yang mana telah dikemukakan oleh al-
Farabi. Sementara ahli kalam berpijak pada konsep alam baharu yang
mengemukakan dalil kosmologi.29 Sebagiamana al-Farabi yang membahas
tentang sifat-sifat Allah, Ibnu Sina juga menyucikan Allah dari segala sifat
yang dikaitkan oleh esensi-Nya karena Allah maha Esa dan maha
Sempurna. Jika sifat Allah dipisahkan dari zat-Nya, maka tentulah akan
membuat zat Allah menjadi pluralitas.30
27
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 31.
28
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof dan FIlsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2004),
hlm. 99.
29
Ahmad Dauqy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm. 71.
30
Hana Al-Fakhury, Tarikh al-Falsafat al-‘Arabiyyat, (Beirut: Mu’assasat li al-Thaba’ah wa al-
Nasyr, 1963), hlm. 496.

12
Sebagaimana al-Farabi, Ibnu Sina pun juga memajukan tentang
emanasi untuk meng-Esakan Allah semutlak-mutlaknya. Untuk itu, Allah
tidak bisa menciptakan alam semesta yang banyak jumlah serta unsurnya
ini secara langsung. Teori tentang emanasi antara Plotinus dan Ibnu Sina
berbeda, menurut Plotinus alam ini terpancar dari yang satu (Tuhan) dalam
artian yang mengesankan bahwa Allah bersifat tidak pencipta dan tidak
aktif, sementara menurut Ibnu Sina adalah kebalikan dari pendapat
Plotinus yang mengesankan bahwa Allah itu bersifat pencipta dan aktif.31
Ibnu Sina juga menempatkan jiwa diperingkat paling tinggi. Tidak
hanya sebagai dasar berpikir, daya-daya yang terdapat dalam jiwa
tumbuhan dan hewan juga dimiliki oleh manusia. Menurut Ibnu Sina jiwa
manusia tidak hancur karena hancurnya badan. Semetara yang hancur
bersaam dengan hancurnya badan adalah jiwa hewan dan tumbuhan yang
berada pada manusia dan tidak akan dihidupkan kembali diakhirat. Karena
fungsi-fungsinya bersifat fisik dan jasmani, pembalasan untuk kedua jiwa
ini ditentukan didunia ini juga.32
4. Karya Ibnu Sina
Ibnu Sina adalah seorang penulis yang sangat produktif meski ia
orang yang sibuk bekerja dalam pemerintahan, dan pada saat dipenjarakan
ia juga tidak berhenti dalam menulis berbagai karya dibidang ilmu
pengetahuan yang sampai saat ini membawa pengaruh besar pada generasi
sesudahnya, baik itu didalam dunia Barat atau Timur. Beberapa karya
tulisnya yang sangat penting yakni sebagai berikut:33
a. Al-Syifa’, dalam kitab ini berisi tentang filsafat yang dibagi atas
empat bagian: ketuhanan, fisika, matematika, dan logika.
b. Al-Najat, kitab ini adalah ringkasan dari kitab Al-Syifa’. Dari kitab ini
dikhususkan untuk kelompok terpelajar yang ingin mengetahui
tentang dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap.
31
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof dan FIlsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004),
hlm. 104.
32
Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 76.
33
Hana Al-Fakhury, Tarikh al-Falsafat al-‘Arabiyyat, (Beirut: Mu’assasat li al-Thaba’ah wa al-
Nasyr, 1963), hlm. 96.

13
c. Al-Qanun fi al-Thibb, kitab ini membahas berbagai penyakit dan ilmu
kedokteran yang dibagi atas lima kitab dalam berbagai ilmu.
d. Al-Isyarat wa al-Tanbihat, didalamnya mengandung uraian tentang
logika dan hikmah Ibnu Sina.

B. IBNU MISKAWAYH
1. Biografi
Ibnu Miskawayh memiiki nama lengkap Abu Ali Ahmad bin
Muhammad bin Yaqub Miskawayh yang lahir di kota Rayy pada tahun
940 M dan wafat di Isfahan pada tahun 1030 M. Ibnu Miskawayh
menghabiskan masa kecil dan remajanya di Rayy, sebelum akhirnya beliau
hijrah ke Baghdad. Setelah kembali dari Baghdad beliau diberi amanah
untuk menjadi seorang pustakawan. Ibnu Miskawayh menganggap bahwa
perpustakaan itu serupa dengan sekolah, tempat dimana ia bisa mendalami
dan mengkaji berbagai ilmu pengetahuan seperti filsafat, sejarah,
kedokteran, astronomi, geografi, maupun kimia.34
Dalam pengkajiannya Ibnu Miskawayh lebih tertarik mengkaji
sejarah dan etika. Dalam pengkajian ilmunya Ibnu Miskawayh juga
memiliki guru dalam ilmu sejarah yaitu Abu Bakr Ahmad ibnu Kamil al-
Qadhi. Sedangkan dalam filsafat, Ibnu Miskawayh berguru dari Ibnu al-
Khammar.35
Dasarnya Ibnu Miskawayh adalah seorang yang ahli sejarah dan
moralis. Dalam perjalanannya dia menghasilkan sebuah karya yang
monumental yang berjudul Tahdib al-Akhlaq wa Tatkhir al-A’raq yang
berisi tentang pembinaan akhlak.36
2. Pemikiran Filsafat Ibnu Miskawayh
a) Pemikiran Filsafat Jiwa
Pemikiran Ibnu Miskawayh mengenai jiwa, ia berpendapat
bahwa jiwa adalah jauhar rohani yang tidak hancur karena kematian

34
Wahyu Murtiningasih, Biografi Ilmuan Muslim, (Yogyakarta: Insan Madani, 2009) hlm. 179.
35
Amroeni Drajat, Filsafat Islam, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006) hlm. 41.
36
Wahyu Murtiningasih, Biografi Ilmuan Muslim, (Yogyakarta: Insan Madani, 2009) hlm. 180.

14
jasmani, jiwa menurutnya adalah kesatuan yang tidak terbagi-bagi,
akan selalu hidup dan tidak dapat diraba oleh panca indra, karena ia
bukan jisim melainkan bagian dari jisim.37
b) Pemikiran Filsafat Akhlak
Dalam pemikiran Ibnu Miskawayh ini selalu mendapat
keiistimewaan dan perhatian utama, karena pembahasannya yang
didasarkan pada Al-Quran dan Hadist yang kemudian dikombinasikan
dengan pemikiran lain seperti filsafat Yunani kuno dan pemikiran
Persia yang ia jadikan sebagai pelengkap. Ibnu Miskawayh banyak
terinspirasi oleh Plato, dan Aristoteles, namun pengaruh dari
Aristoteles yang lebih mendominasi.38
Dalam hal ini Ibnu Miskawayh menuliskan dalam bukunya
Tahdib al-Akhlaq yang berarti pembinaan akhlak. Sedangkan akhlak
menurut Ibnu Miskawayh ialah sifat atau keadaan jiwa seseorang yang
mendorong untuk melakukan suatu perbuatan tanpa proses berpikir
dan pertimbangan. Menurutnya Akhlak bisa berubah sesuai dengan
kebiasaan atau latihan.39
Pemikiran tersebut sejalan dengan ajaran islam. Al-Quran
dan Hadist juga telah menjelaskan secara gamblang bahwa tujuan dari
Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak umat
manusia.40 Seperti pada hadist berikut:

ِ َ‫ْت ُألت ِّمما َ َمكا َ ِر َماَأل خال‬


‫ق‬ ُ ‫إنَّ َما بُ ِعس‬
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan
keshalihan akhlak” (HR. Al-Baihaqi)

Dan dalam firman Allah :


َ‫َوما َ َأرْ َس ْلناَكَ إالَّرحْ مةً لِّلعا لمين‬

37
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof dan FIlsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004),
hlm. 133.
38
Ibid., hlm 138.
39
Ibid., hlm.
40
Hasyimiyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Radar Jaya Jakarta, 2005), hlm. 62.

15
“Dan tiadalah Kami mengutus Muhammad,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi alam semesta”(Q.S
Al-Anbiya’:107).

c) Pemikiran Filsafat Kenabian


Pada pemikiran mengenai filsafat kenabian Ibnu Miskawayh
menafsirkan kenabian secara ilmiah, usahanya ini dapat
meminimalisir perbedaan antara nabi dan filosof dan juga memperkuat
hubungan keharmonisan antara wahyu dan akal. 41
Menurutnya nabi dan filosof memiliki persamaan dalam
mencapai kebenaran. Perbedaannya terdapat pada teknik
memperolehnya. Nabi memperoleh kebenaran langsung dari atas ke
bawah, yaitu dari Akal Aktif langsung kepada nabi sebagai rahmat
dari Allah. Sedangkan filosof memperoleh kebenaran dari bawah ke
atas, yaitu dari daya indrawi kemudian naik ke daya khayal, dan
kemudian naik lagi hingga ke daya pikir yang dapat menangkap
hakikat-hakikat atau kebenaran dari Akal Aktif.42
d) Pemikiran Filsafat Emanasi
Ibnu Miskawayh mengartikan bahwa Allah menciptakan alam
semsesta secara pancaran.43 Pemikiran ini bertentangan dengan Guru
Kedua yakni Al-Farabi, menurutnya entitas pertama yang diciptakan
Allah secara pancaran ialah Akal Aktif (‘Aql fa’al) tanpa perantara
suatu apapun, dan dari Akal aktif inilah Allah menciptakan jiwa dan
dengan perantaraan jiwa pula Allah menciptakan planet.44
e) Pemikiran Filsafat Ketuhanan
Menurut Ibnu Miskawayh Tuhan adalah zat yang tidak
berjisim, Azali, dan Pencipta.45 Ia juga menuturkan bahwa Tuhan itu

41
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof dan FIlsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004),
hlm. 136.
42
Ibid., hlm. 136.
43
Ibid., hlm. 134.
44
Ibid., hlm. 135.
45
Ibid., hlm. 133.

16
Penggerak pertama yang tidak bergerak dan Pencitap yang tidak
berubah.46
Tuhan dapat dikenal dengan proposisi negative, dan tidak bisa
dengan proposisi negatif.47 Ibnu Miskawayh menyatakan bahwa
Tuhan adalah Zat yang jelas dan Zat yang tidak jelas. Dikatakan Ibnu
Miskawayh sebagai Zat yang jelas karena Dia adalah Yang Hak
(benar). Sedangkan dikatakan Zat yang tidak jelas karena kelemahan
akal pikiran untuk menangkap-Nya. Pemikiran Pendapat Ibnu
Miskawayh ini dapat diterima karena perbedaan wujud Sang Pencipta
dengan makhluk-Nya.48

3. Analisis Pemikiran
Ibnu Miskawayh dikenal sebagai filosof yang penting dalam
bidang akhlak. Namun selain itu ada beberapa pemikiran lainnya seperti
kenabian, ketuhanan, jiwa, emanasi.
Meski beberapa teorinya terkesan rasionalis, Ibnu Miskawayh juga
berpendapat bahwa Tuhan adalah Dzat yang jelas sekaligus tidak jelas. Ia
juga menyimbolkan bahwa Tuhan itu sebagai penegatifan, maksud dari
penegatifan disini bahwa Tuhan itu tidak sama dengan seluruh rupa dari
ciptaan-Nya, bersifat abadi dan immaterial.49 Dari situ terciptalah teori
emanasi oleh ibnu miskawayh, menurutnya entitas pertama yang
memancar dari Tuhan ialah Akal Aktif tanpa perantara sesuatu apapun.
Dari Akal Aktif ini kemudia timbul jiwa, dengan perantaraan jiwa
timbullah planet-planet.50 Dari pancaran itulah Tuhan dapat memelihara
tatanan alam semesta.51
Pemikiran Ibnu Miskawayh tentang akhlak, dalam kitabnya
Tahdzib al-Akhlaq dia menerangkan bahwa akhlak itu adalah suatu
keadaan jiwa untuk bertindak tanpa berpikir dan mempertimbangkan
46
Ibid., hlm. 133.
47
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Radar Jaya Jakarta, 2005) hlm. 58.
48
Ibid., hlm. 59.
49
Achmad Ghalib, Filsafat Islam, (Pamulang: Faza Media, 2009) hlm. 117.
50
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Radar Jaya Jakarta, 2005) hlm. 59.
51
Ibid., hlm. 60.

17
terlebih dahulu apa yang akan ia lakukan.52 Ibnu Miskawayh juga
membagi akhlak dalam dua jenis yakni alamiah atau naluri dan yang
bertolak dari watak karena suatu kebiasaan atau latihan, ia juga
menuturkan bahwa akhlak itu bersifat alamiah, namun akhlak juga dapat
berubah karena disiplin atau nasehat-nasehat yang mulia.53
Berdasarkan karya yang telah ditulisnya, ada tiga tujuan dari
pendidikan akhlak. Yang pertama yakni mencetak tingkah laku manusia
yang baik, kedua mengangkat manusia dari derajat yang rendah (tercela),
ketiga mengarahkan manusia menjadi makhluk yang sempurna. Sehingga
tujuan pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawayh adalah untuk menjadi
manusia yang mulia dihadapan Allah SWT.54
Dalam pemikirannya tentang etika, Ibnu Miskawayh memulai dari
mendalami ilmu jiwa manusia, menurutnya ilmu jiwa memiliki keutamaan
tersendiri dibandingkan dengan ilmu yang lainnya, karena manusia tidak
akan mampu mencapai suatu ilmu kecuali dirinya telah mengetahui ilmu
jiwa sebelumnya.
Menurut Ibnu Miskawayh Jiwa adalah bukanlah tubuh yang dapat
dilihat oleh indra karena jiwa adalah bagian dari tubuh (jisim). Jiwa dapat
mengetahui esensi dan substansi sendiri yaitu akal, dimana ia tidak
membutuhkan sesuatu yang lain untuk mengetahui sesuatu, kecuali dirinya
sendiri.55 Ibnu Miskawayh juga menerangkan tentang eksistensi dan sifat
jiwa yang pertama, Kekuatan Rasional atau daya pikir. Kedua, kekuatan
apentitif atau maarah. Ketiga, gairah atau nafsu. 56
Keberadaan jiwa menurut Ibnu Miskawayh adalah untuk
membantah kaum materialis yang tidak mengakui adanya roh bagi
manusia. Roh tidak berbentuk materi, sekalipun ia bertempat pada suatu

52
Ahmad Wahyu dan Ulfa Kesuma. “ANALISIS FILOSUFIS PEMIKIRAN IBNU MISKWAIH.”
Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 2 No. 1 2019, hlm. 95.
53
Ibid., hlm. 92.
54
Ibid., hlm. 92.
55
Ibid., hlm. 93.
56
Ibid., hlm. 95.

18
materi, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu
hingga materi itu hancur atau mengalami kematian.57
Pemikirannya tentang kenabian, pemikiran Ibnu Miskawayh
selaras dengan pemikiran Al-farabi dalam memperkecil perbedaan Nabi
dengan Filsuf. Menurutnya Ibnu Miskawayh Nabi adalah manusia pilihan
yang memperoleh hakikat-hakikat kebenaran karena pengaruh akal
aktifnya.58 Maksudnya disini, Nabi memperoleh pengetahuannya langsung
dari Tuhan sehingga dapat dikatakan teknik memperolehnya adalah
vertical dari atas ke bawah. Sedangkan para filsuf mendapatkan
pengetahuan dari daya pikir mereka kemudian naik ke daya khayal mereka
hingga ke Akal Aktif, sehingga teknik memperolehnya adalah vertical dari
bawah ke atas. Para filsuf mencari sendiri dengan rasio mereka mengenai
sesuatu yang masih abstrak. Sedangkan Nabi memperoleh langsung dari
Tuhan.

4. Karya-Karya Ibnu Miskawayh


Adapun beberapa karya yang telah ditulis oleh Ibnu Miskawayh adalah:59
1. Al-Fauz al-Akbar;
2. Al-Fauz al-Ashgar;
3. Tajarib al-Umam;
4. Uns al-Farid
5. Tartib al-Sa’adah;
6. Al-Mustaufa;
7. Jawidan Khirad;
8. Al-Jami’;
9. AL-Siyar;
10. One the Simple Drugs;
11. On the Composition of the Bajats;
12. Kitab al-Asyribah;

57
Ibid., hlm. 96.
58
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Radar Jaya Jakarta, 2005) hlm. 61.
59
Ibid., hlm. 57.

19
13. Tahdzib al-Akhlaq;
14. Risalah fi al-Lazzah wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs;
15. Ajwibah wa As’ilah fi al-Nafs wa al-‘Aql;
16. Thaharah al-Nafs.

C. Perbandingan Pemikiran antara Ibnu Sina dan Ibnu Miskawayh


Dapat diketahui bahwa Ibnu Miskawaih dan Ibnu Sina adalah tokoh
filsuf terkenal pada masanya. Dari pemikiran antara kedua tokoh tersebut
terdapat persamaan dan perbedaan antara keduanya.

20
BAB III

KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas mengenai pemikiran Ibnu Sina dan Ibnu
Miskawayh dapat ditarik kesimpulan,

21
DAFTAR PUSTAKA

22
23

Anda mungkin juga menyukai