Anda di halaman 1dari 6

Nama : Gita Millenia Prameswari

NIM : 180111100260

KONSEP PERMAAFAN HAKIM


Konsep Pemaafan Hakim atau juga Rechterlijk Pardon. Konsep ini pun dianut oleh Hukum
Belanda. Dimana hakim dapat memberikan pemaafan terhadap terdakwa. Artinya, dengan
pertimbangan tertentu, hakim bisa memberikan maaf dan terdakwa dinyatakan bersalah meski
tak dijatuhi hukuman.

1. Konsep Pemaafan Hakim pada KUHP Belanda

Kitab Undang Undang Hukum Pidana atau Wetboek van Stafrecht, umum dikenal dengan
KUH Pidana atau KUHP ialah peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar hukum
pidana di Indonesia.

Dalam konsep pemaafan hakim pada KUHP Belanda disebutkan di Pasal 9a WvS, penyusun
hukum acara pidana Belanda mengharmonisasikannya dengan memasukkan 4 (empat)
kemungkinan dalam menjatuhkan suatu putusan oleh Majelis hakim1 :

 Pemidanaan atau penjatuhan pidana;


 Putusan bebas (vrij spraak);
 Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging); dan
 Putusan Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon).

Latar Belakang dimasukkannya konsep Rechterlijk Pardon, konsep ini ialah suatu lembaga
baru yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf pada seseorang yang
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya 2. menurut Prof. Nico Keizer
ialah banyak nya yang sebenarnya telah memenuhi pembuktian, akan tetapi jika dijatuhkan suatu
pemidanaan akan bertentangan dengan rasa keadilan.

Dalam perkembangan system pemidanaan saat ini, dikenal alternative lain dalam system
pemidanaan yaitu “ Lembaga Pemaafan Hakim”. Terkait penerapan Lembaga Pemaafan Hakim
1
T.P.Marguery, 2008, Doctoral thesis Unity and Diversity of the public prosecutot services in Europe: A Study of
the Czech, Dutch, French, and Polish System, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Gronigen, Gronigen.
2
Adery Ardhan Saputro, 2016, Konsepsi Rechterlijk Pardon atau Pemaafan Hakim Dalam Rancangan KUHP,
Lembaga kajian MaPPI, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok.
ini telah banyak diterapkan di berbagai negara dan Lembaga ini sebagai alternative pemidanaan
muncul secara progresif terutama di negara – negara belahan Eropa. Hal ini didasari oleh
semakin tingginya angka kriminalitas di negara negara tersebut, sementara penjara – penjara
tidak cukup mampu untuk mengatasi semakin membludaknya jumlah narapidana.3

Sebenarnya bagi beberapa negara, konsep lembaga pemaafan hakim terdengar asing. Hal ini
dikarenakan konsepsi pardon/clemency pada umumnya terletak pada kekuasaan eksekutif, bukan
pada yudisial. Hanya sedikit negara yang mengatur judicial pardon, diantaranya :

 Belanda
 Perancis
 Portugal
 Greenland
 Somalia
 Uzbekistan
 Yunani

Secara historis hubungan antara pemidanaan dengan pemaafan (pardon) telah


berlangsung sejak code of hamurabi. Pada code of Hammurabi mengatur akan suatu
keseimbangan antara kelakuan legalitas dengan keadilan yang muncul dari masyarakat.4

Penggunaan lembaga pemaafan secara berlebihan, juga terjadi pada negara negara
common law. Salah satu perkara yang menghebohkan ialah pemberian Amnesty/pardon oleh
King of Charles II oleh parlemen Inggris karena suatu perbuatan tindak pidana.

Di dalam KUHP Belanda terdapat beberapa pengaturan terkait Putusan Rechterlijk Pardon di
Criminal Procedure Code Belanda, sebagai berikut:

 Pasal 9a Criminal Code of Netherlands

Terjemahannya adalah : Lembaga pemaafan hakim dapat dilakukan terhadap delik ringan
dan/atau dari kepribadian pelaku
3
Lukman Hakim, “Penerapan Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) dalam system peradilan pidana di
Indonesia : Optimalisasi Teori Dualistis Dalam Sistem Peradilan pemidanaan”, (Disertasi, dipertahankan dalam
sidang terbuka pada 1 maret 2019 di Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta), 140- 141.
4
King, “Hammurabis Code of LSaws”, diakses 13 Oktober 2015
 Pasal 353 ayat (1) Criminal Procedure Code of Netherlands

Terjemahannya adalah menjelaskan mengenai kedudukan barang/ objek yang disita pada
putusan Rechterlijk Pardon.

 Pasal 359 ayat (4) Criminal Procedure Code of Netherlands

Terjemahannya adalah terkait putusan Rechterlijk Pardon, maka Majelis Hakim/ hakim wajib
memberikan alasan khusus pada pertimbangan putusannya.

 Pasal 402 ayat (2) huruf a Criminal Code of Netherlands

Terjemahannya : terkait putusan Rechterlijk Pardon tidak dapat dilakukan kasasi

Kesimpulan dan inti dari Konsep permaafan Hakim belanda, yaitu adanya lembaga
pemaafan, merupakan suatu elemen penting untuk menjawab permasalahan – permasalahan
yang tidak dapat diakomodir hanya dengan 3 jenis putusan (bebas, lepas, dana, pemidanaan).
Selain itu, lembaga pemaafan dapat dipandang sebagai “penjaga gawang terakhir” atas suatu
perkara yang mengganggu keadilan di masyarakat dapat dikatakan sebagai pintu darurat/klep
pengaman dari adanya system peradilan pidana yang tidak tepat guna.5

Dalam KUHP Belanda masih menerapkan Pemaafan Hakim/ Rechterlijk Pardon,


dikarenakan Belanda memiliki latar belakang nilai individualism dan liberalism sehingga
kebutuhan dan kepentingan masing masing individu bukan menjadi prioritas melainkan
mengutamakan kepentingan bersama. Seseorang mendapatkan keadilan atau tidak bukanlah
menjadi persoalan, yang dilihat hanyalah seseorang telah melakukan suatu perbuatan yang
memenuhi rumusan delik dalam undang – undang maka seseorang tersebut dinyatakan
bersalah dan harus dipidana.6

2. Konsep Pemaafan Hakim pada RKUHP (Draft Sept 2019)

5
Adery Ardhan Saputro, 2015, “Konsepsi Rechterlijk Pardon atau Pemaafan Hakim dalam Rancangan KUHP”,
Vol.28 No.1. hal. 61-76.
6
2019, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Vol.1 No.3.
Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP), secara limitatif, hanya terdapat
3 (tiga) jenis putusan pidana di Indonesia, yaitu : Pemidanaan (veroordeling), Putusan bebas
(vrijspraak), dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging).

Dalam perkembangan sistem pemidanaan saat ini, dikenal alternatif lain dalam sistem
pemidanaan yaitu “Lembaga Pemaafan Hakim”. Terkait penerapan Lembaga pemaafan hakim
ini telah banyak diterapkan di berbagai negara dan lembaga ini sebagai alternative pemidanaan
muncul secara progresif terutama di negara – negara belahan Eropa. Hal ini didasari oleh
semakin tingginya angka kriminalitas di negara negara tersebut, sementara penjara – penjara
tidak cukup mampu untuk mengatasi semakin membludaknya jumlah narapidana. 7 Sebagai
contoh terdapat negara perancis, Denmark, yunani, Greenland, Somalia, Uzbekistan, Portugal
dna belanda yang mengatur mengenai non imposing of a penalty atau pemaafan hakim.

Bahkan Belanda sebagai kakak kandung dalam sistem hukum pidana Indonesia (KUHP
berasal dari WvS Belanda berdasarkan asas konkordansi), telah menerapkan Lembaga Pemaafan
Hakim ini sejak tahun 1983 dan atas hal ini telah mampu menekan tingkat kriminalitas di
negaranya.

Hadirnya rancangan baru KUHP untuk memperbaharui KUHP yang saat ini berlaku pada
esensinya merupakan suatu upaya untuk melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai –
nilai sesuai dengan sentral sosiopolitik, sosiofilosofi dan sosiokultural masyarakat Indonesia
yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan criminal dan kebijakan penegakan hukum di
Indonesia8.

Berkaitan dengan topik Rechterlijk Pardon, kebijakan yang dilakukan masih berada pada
tahap formulasi yang dirumuskan dalam RKUHP. Kebijakan Rechterlijk Pardon diatur pada
BAB III RKUHP (per September 2019) Paragraf 2 tentang Pedoman Pemidanaan dan dimuat
dalam ketentuan pasal 54 ayat (2) dengan rumusan “ringannya perbuatan, keadaan pribadi
pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat
dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan

7
Lukman Hakim, “Penerapan Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) dalam system peradilan pidana di
Indonesia : Optimalisasi Teori Dualistis Dalam Sistem Peradilan pemidanaan”, (Disertasi, dipertahankan dalam
sidang terbuka pada 1 maret 2019 di Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta), 140- 141.
8
Putri, Ni Putu Yulita Damar, and Sagung Putri M.E Purwani. “Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”.
Jurnal Kertha Wicara 9, no.8 (2020):1-13.
dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”. Dalam bagian penjelasan kebijakan
formulasi ini disebut sebagai Asas Rechterlijk Pardon (pemaafan Hakim). Kebijakan ini menjadi
pedoman baru bagi hakim dalam menjatuhkan putusan. Berdasarkan rumusan pasal 54 ayat (2)
terlihat bahwa Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) memberikan peluang terhadap seseorang
untuk tidak dijatuhkan sanksi pidana maupun tindakan.9

Selain dalam Pasal 54 ayat (2), konsep Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) juga diberikan
perincian dalam Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) terkait hal apa saja yang harus dilakukan serta
syarat harus dipenuhi demi memberikan kepastian hukum. Ketentuan pasal ini telah memperluas
makna dan memprioritaskan pemaafan hakim yang telah ditentukan dalam Pasal 54 ayat (2)
karena merumuskan secara lebih rinci kemungkinan penerapan konsep Rechterlijk Pardon
(pemaafan hakim) dalam beberapa keadaan sehingga pemaafan yang diberikan memang sesuai
dan tepat sasaran. Rumusan pasal 70 ayat (1) ini juga menjawab persoalan hukum pidana yang
selama ini dinilai cenderung kaku dan tidak memihak kepada pelaku dan masyarakat.

Jika ditinjau lebih dalam, maka intisari dari konsep Rechterlijk Pardon (Pemaafan Hakim)
adalah hakim menjatuhkan putusan bersalah tanpa pidana. Artinya, ketika jaksa Penuntut Umum
mengajukan dakwaan kepada Pengadilan dan Terdakwa terbukti melakukan suatu tindak pidana
tetapi hakim tidak menjatuhkan pidana ataupun mengenakan tindakan kepada terdakwa dengan
kata lain bahwa hakim memberikan ‘maaf’ pada terdakwa karena mempertimbangkan keadilan
dan kemanusiaan. Hakim diberikan ruang untuk memberikan pemaafan dalam wujud
pembebasan dari hukuman kepada pelaku tindak pidana karena apabila pidana itu dijatuhkan
akan tidak sesuai dengan keadilan yang dipandang oleh masyarakat. Konsep rechterlijk pardon
yang diformulasikan pada RKUHP ini berkaitan erat dengan tujuan pemidanaan yang mengarah
pada nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan sesuai nilai Pancasila. Suatu kemajuan pula dalam
hukum pidana Indonesia karena secara terang kini tujuan pemidanaan dicantumkan dalam
RKUHP yakni diatur dalam pasal 51 yang pada pokoknya merumuskan 4 tujuan pemidanaan
yakni mencegah dilakukkannya tindak pidana; memasyrakatkan terpidana yang dilakukan
dengan binaan dan bimbingan agar kembali menjadi ornag baik; menyelesaikan konflik/
permasalahan yang diakibatkan oleh terjadinya tindak pidana, mengembalikan keseimbangan,dll.
Dengan dirumuskannya tujuan pemidanaan dalam RKUHP maka hakim harus lebih
9
Putu Mery Lusyana Dewi, I Ketut Rai Setiabudhi, 2020. “Kebijakan Formulasi Rechterlijk Pardon (Pemaafan Hakim)
dalam RKUHP”. Vol.9, No.9 hlm.1-18.
mempertimbangkan efektivitas dari pemidanaan itu sendiri, tidak hanya dorongan untuk
memenjarakan pelaku tetapi juga melihat pada apa yang ingin dicapai dari pemidanaan
tersebut.10

Urgensi Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) yang diformulasikan dalam RKUHP ditinjau
secara filosofis telah sesuai dengan nilai nilai yang terkandung didalam Pancasila serta tujuan
pemidanaan yang tidak merendahkan martabat manusia, secara yuridis sebagai bentuk
konsekuensi logis negara hukum sehingga harus dituangkan dalam peraturan perundang
undangan, dan secara sosiologis berkaca pada kasus-kasus yang telah terjadi ternyata putusan
hakim dinilai hanya menerapkan hukum secara imperative dan mengesampingkan nilai keadilan
dalam masyarakat dan kemanusiaan.

Kesimpulannya ialah bahwasannya Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) diperlukan adanya


penjelasan dari masing masing unsur yang terdapat dalam rumusan pasal yang ada di RKUHP
terkait Rechterlijk Pardon, sehingga tidak menimbulkan banyak intepretasi/penafsiran hakim
dalam penerapan konsep ini nantinya. Adapun terkait itu juga diperlukan adanya suatu upaya
adaptasi di lingkungan masyarakat sekitar tambahan khususnya bagi para hakim terkait dengan
konsep Rechterlijk Pardon ini karena apabila konsep ini diterapkan dengan benar maka keadilan
yang diharapkan dalam masyarakat akan terwujud, tetapi sebaliknya apabila keliru menerapkan
konsep ini maka banyak kasus tindak pidana yang seharusnya ditindak lanjuti akan lepas dari
hukuman.

10
Putu Mery Lusyana Dewi, I Ketut Rai Setiabudhi, 2020. “Kebijakan Formulasi Rechterlijk Pardon (Pemaafan
Hakim) dalam RKUHP”. Vol.9, No.9 hlm.1-18.

Anda mungkin juga menyukai